1

loading...

Wednesday, June 19, 2019

MAKALAH FILSAFAT NASIONAL

MAKALAH FILSAFAT NASIONAL 

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang

Ajaran filsafat yang komprehensif telah menduduki status tinggi dalam kebudayaan manusia, yakni sebagai ideologi bangsa dan negara. Seluruh aspek kehidupan suatu bangsa diilhami dan berpedoman ajara-ajaran filsafat. Dengan demikian, kehidupan sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan, bahkan kesadaran atas nilai-nilai hukum dan moral bersumber dari ajaran filsafat.
Manusia sebagai individu, sebagai masyarakat, sebagai bangsa dan negara, hidup dalam ruang sosial-budaya. Aktivitas pewarisan dan pengembangan sosial budaya itu tidak lain melalui pendidikan. Dan untuk menjamin pendidikan itu benar dengan proses yang efektif, dibutuhkan landasan-landasan filosofis dan ilmiah sebagai asas normatif dan pedoman pelaksanaan pembinaan.
Pancasila dalam pendekatan filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang mendalam mengenai pancasila. Filsafat Pancasila dapat didefinisikan secara ringkas sebagai refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila dalam bangunan bangsa dan negara Indonesia. Untuk mendapatkan pengertian yang mendalam dan berangkat dari sila-sila tersebut kita cari intinya, hakekat dari inti dan selanjutnya pokok-pokok yang terkandung di dalamnya.

B.  Rumusan Masalah
1.        Apa Pengertian Filsafat nasional ?
2.        Apa Saja Fungsi Utama Filsafat Nasional ?
3.        Siapa saja Tokoh Pemikir Filsafat nasional ?

C.  Tujuan Penulisan
1.        Memenuhi tugas mata kuliah
2.        Memahami knsep filsafat Nasional
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Filsafat
     Kata filsafat berasal dari bahasa inggris dan bahasa yunani. Dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy sedangkan dalam bahasa Yunani philein atau philos dan sofein atau sophi. Ada pula yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafah, yang artinya al-hikmah. Philos, arinya cinta sedangkan sophia,  artinya kebijaksanaan. Dengan demikian, filsafat dapat diartikan “cinta kebijaksanna atau al-hikmah.” Orang yang mencintai atau mencari kebijaksanaan atau kebenaraan disebut dengan filsuf. Filsuf selalu mencari kebenaran dan kebijaksanaan tanpa mengenal batas.[1]
     Sebagai falsafah negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila memang merupakan karunia terbesar dari Allah SWT dan ternyata merupakan light-star bagi segenap bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya, baik sebagai pedoman dalam memperjuangkan kemerdekaan, juga sebagai alat pemersatu dalam hidup kerukunan berbangsa, serta sebagai pandangan hidup untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-hari, dan yang jelas tadi telah diungkapkan sebagai dasar serta falsafah negara Republik Indonesia.
     Pancasila dalam pendekatan filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang mendalam mengenai pancasila. Filsafat Pancasila dapat didefinisikan secara ringkas sebagai refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila dalam bangunan bangsa dan negara Indonesia. Untuk mendapatkan pengertian yang mendalam dan berangkat dari sila-sila tersebut kita cari intinya, hakekat dari inti dan selanjutnya pokok-pokok yang terkandung di dalamnya.
1.      Filsafat adalah proses pencarian kebenaran dengan cara menelusuri hakikat dan sumber kebenaran secara sistematis, logis, kritis, rasional, dan spekulatif. Alat yang digunakan untuk mencari kebenaran adalah akal yang merupakan sumber utama dalam berpikir. Dengan demikian, kebenaran berpikir yang rasional, logis, sistematis,kritis, radikal, dan universal.
2.      Filsafat adalah pengetahuan tentang cara berpikir terhadap segala sesuatu atau sarwa sekalian alam. Artinya, materi pembicaraan filsafat adalah segalah hal yang menyangkut keseluruhan yang bersifat universal. Dengan demikian, pencarian kebenaran filosofi tidak pernah berujung dengan kepuasan dan tidak mengenal pemutlakan kebenaran. Bahkan, untuk suatu yang “sudah” dianggap benar pun, kebenarannya masih di ragukan. Dikatakan mengenal kata puas karena kebenaran akan mengikuti situasi dan kondisi dan alam pikiran manusia yang haus dengan pengetahuan.
Di Indonesia, Pancasila digolongkan sebagai filsafat Nasional dalam arti produk, filsafat sebagai pandangan hidup, dan filsafat dala arti praktis. Hal ini berarti Pancasila mempunyai fungsi dan peranan sebagai pedoman dan pegangan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi bangsa Indonesia dimanapun mereka berada.
Pancasila sebagai sistem filsafat nasional yaitu suatu konsep tentang dasar negara yang terdiri dari lima sila sebagai unsur yang mempunyai fungsi masing-masing dan satu tujuan yang sama untuk mengatur dan menyelenggarakan kehidupan bernegara di Indonesia.

B.  Fungsi Utama Filsafat Nasional
Filsafat Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia adalah kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya menjadi negara yang sejahtera. Dari kenyataan inilah maka fungsi dan peranan Pancasila meliputi: [2]
a.       Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia
b.      Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia
c.       Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia
d.      Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia
e.       Pancasila sebagai perjanjian luhur Indonesia
f.       Pancasila sebagai pandangan hidup yang mempersatukan bangsa Indonesia
g.      Pancasila sebagai cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia
h.      Pancasila sebagai moral pembangunan
i.        Pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila

C.  Tokoh Pemikir Filsafat Nasional
a.         M. Yamin
Menurut Muh. Yamin (1957; 26) untuk menyusun filsafat sejarah nasional banyak kita petik dari pujangga baru dari timur dan barat. Mereka itu antara lain; Herodotus, Ibn Khaldun, prapanca, Giovanni Battista Vico, Immanuel Kant, Hegel, Karl Max, karl Jaspers, Durant dan Arnold J. Toynbee (W.H. Frederick dan S. Soeroto dalam R.E Tamburaka, 2002;168).
Filsafat sejarah nasional mempunyai empat dasar kajian yaitu :
1.    Kebenaran
Kebenaran itu tersembunyi dalam dunia kebatinan dibelakang kejadian-kejadian sejarah di zaman yang lampau sebagai kelahiran masyarakat manusia. Walaupun kebenaran itu tidak dimiliki oleh ahli pemikir sejarah, tetapi ddengan meninjau atau menafsirkan segala kejadian itu dia telah dan selalu berkeyakinan secara subjektif bahwa tafsiannya ialah kesungguhan dari kebenaran secara objektif.
2.    Sejarah Indonesia
Yang menjadi objek filsafat sejarah atau yang ditafsirkannya ialah sejarah Indonesia. Dalam hal ini maka sejarah adalah ilmu pengetahuan yang dipahamkan dan telah dirumuskan secara ilmiah dengan bernama demikian.oleh karena objek itulah filsafat itu menjadi filsafat sejarah, sehingga kejadian-kejadian sebagai kelahiran masyarakat di zaman yang lampau membatasi filsafat khusus, sedangkan cara menafsirkan dan hubungan kejadian itu adalah dlam taraf yang umum dan universal.
3.    Sintesis
Tafsiran sintesis menjamin penulisan sejarah yang sempurna dan Historiorafi yang demikian memang jauh lebih sulit dari penulisan sejarah berdasarkan suatu macam tafsiran saja. Uraian dan penyelidikan tentang penafsiran sejarah memberi hasil kepada kita, bahwa tafsiran sintesislah yang harus dilakukan untuk mendapat Historiografi Indonesia yang baik dan yang dapat dipertanggungjawabkan bagi penulis buku sejarah yang berisi uraian panjang apalagi sebagai buku pelajaran disekolah dan untuk dibaca oleh rakyat diluar dinding gedung perguruan.
4.    Nasionalisme Indonesia
Pertama ; yang menjadi objek tafsirannya adalah sejarah nasional Indonesia, yang berbeda cara menulis dari sejarah Indonesia sebelum proklamasi, karena yang menjadi dasar kepada penulisan sejarah Indonesia sesudah tahun 1945 ialah adanya kemerdekaan Bangsa Indonesia yang menjadi syarat mutlak bagi segala ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh hikmah manusia bebas.
Corak kedua ; cara menafsirkan kejadian sejarah adalah sesuai dengan jalan pikiran orang atau bangsa Indonesia yang telah bebas merdeka, dan tak terikat rasa rendah atau berpemandangan sempit didalam ruangan pikiran terbatas.
Corak ketiga ; uraian dengan lisan atau menuliskan sejarah Indonesia memenuhi syarat para pengarang supaya secara subjektif sesuai dengan susila perjuangan kemerdekaan; memenuhi syarat susila pada karangan penulisan dan memnuhi syarat ilmu jiwa dan pendidikan pada si pembaca dan si pendengar, supaya rasa nasionalisme Indonesia merdeka menjadi kebanggaan yang jangan mudah tersinggung, malahn supaya menjadikan sejarah indonesi sumber inspirasi dan ilmu pengetahuan untuk kehidupan bangsa yang ingin berjiwa besar dan luas.
b.        Soedjatmoko
Sudah menjadi ciri manusia yang berpikir bahwa ia hendak menyusun pengetahuannya sedemikian rupa, sehingga pengetahuan itu dapat dicukupi oleh satu atau dua asas pokok dan prinsip saja. Demikian jugalah manusia, dalam menghadapi fakta-fakta sejarah, sejak dahulu telah mencoba untuk merumuskan suatu filsafat sejarah yang mencukupi segala sesuatu yang diketahuinya di dalam lapangan sejarah itu, dibawah satu atau beberapa prinsip orang, sehingga makna dari sejarah untuk manusia itu menjadi terang. Agustinus dalam “De Civitate Dei” telah menggambarkan sejarah berbagai pembeberan daripada kemauan Tuhan mulai awal penciptaan alam sampai hari kiamat. Kita sendiri telah menyaksikan runtuhnya impian jepang fasis yang menganggap dirinya sebagai sesuatu bangsa yang mempunyai asal serta panggilan tersendiri di dunia.[3]
c.         Prof. Sartono Kartodirjo
Menurut Prof. Sartono Kartodirjo filsafat sejarah adalah adalah suatu bagian filsafat yang berusaha memberikan jawaban terhadap pernyataan mengenai makna dari suatu proses peristiwa sejarah.manusia budaya tidak puas dengan pengetahuan sejarah,dicarinya makna yang menguasai kejadian-kejadian sejarah.dicarinya hubungan fakta-fakta dan sampai kepada asal dan tujuannya.kekuatan apakah yang akan menggerakkan sejarah kearah tujuannya.[4]
Sartono Kartodirdjo mengubah dan memperkenalkan sudut pandang dalam penulisan Sejarah Indonesia, dari sudut pandang  Neerkando-sentrisme/Eropa-sentrisme diubah menjadi sudut pandang Indonesia-sentrisme. Menurut Sartono seharusnya penulisan sejarah tidak hanya terfokus pada orang-orang besar dan atau negara, namun dalam rekontruksi sejarah yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo juga memperhatikan dan melibatkan peranan “wong cilik” yang ada di dalamnya.















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Filsafat nasional Pancasila adalah  tuntutan formal yang fungsional dari kedudukan dan fungsi dasar negara Pancasila sebagai sistem Kenegaraan Republik Indonesia. Kesadaran memiliki dan mewarisi sistem kenegaraan Pancasila adalah dasar pengamalan dan pelestariannya, sedangkan jaminan utamanya ialah subjek manusia Indonesia seutuhnya terbina melalui sistem pendidikan nasional yang dijiwai oleh filsafat pendidikan Pancasila.
B.  Saran
Setelah kita membahas dan menyimpulkan makalah ini, maka kami menyarankan agar memperhatikan dan memahami semua permasalahan ini. Hendaknya kita mengaplikasikan semua apa yang telah kita bahas itu ke dalam kehidupan sehari-hari.












DAFTAR PUSTAKA

Agus Sutono. 2015. “Meneguhkan Pancasila Sebagai Filsafat Pendidikan
Nasional”. Jurnal Ilmiah Civis, volume 5, Nomor 1, Januari 2015.
Kaelan. 1996. Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Kaelan. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi.
Yogyakarta: Paradigma.
Sartono Kartodirdjo, 1987. Kebudayaan Pembangunan Dalam Perspektif
Sejarah:Kumpulan Karangan , Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press


[1] Agus Sutono. 2015. “Meneguhkan Pancasila Sebagai Filsafat Pendidikan  Nasional”. Jurnal Ilmiah Civis, volume 5, Nomor 1, Januari 2015.
[2] Kaelan. 1996. Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
[3] Kaelan. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Paradigma.
[4] Sartono Kartodirdjo, 1987. Kebudayaan Pembangunan Dalam Perspektif Sejarah:Kumpulan Karangan , Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

No comments:

Post a Comment