1

loading...

Saturday, July 6, 2019

KAJIAN TOKOH KONTEMPORER YUSUF AL QARDHAWI


KAJIAN TOKOH KONTEMPORER YUSUF AL QARDHAWI



A.  Biografi Yusuf Al Qardhawi
Yusuf al Qardhawi ( lahir di Shafth  Turaab, Kairo, Mesir 9 September 1926 umur 86 tahun ) adalah seorang cendekiawan Muslim yang berasal dari Mesir. Ia dikenal sebagai seorang Mujtahid pada era modern ini.[1]
Selain sebagai seorang Mujtahid ia juga dipercaya sebagai seorang ketua majelis fatwa. Banyak dari fatwa yang telah dikeluarkan digunakan sebagai bahan rujukan atas permasalahan yang terjadi. Namun banyak pula yang mengkritik fatwa-fatwanya.[2]
Profil Pribadi
Lahir di sebuah desa kecil di Mesir bernama Shafth Turaab di tengah Delta Sungai Nil, pada usia 10 tahun ia sudah hafal Al Qur’an. Menamatkan pendidikan di Ma’had Tsanawi, Qardhawi terus melanjutkan ke Universitas al-Azhar , Fakultas Ushuluddin dan lulus pada tahun 1952. Tapi gelar doktorny baru ia peroleh pada tahun 1972 dengan disertasi “Zakat dan Dampaknya dalam Penanggulangan Kemiskinan”, yang kemudian disempurnakan menjadi Fiqh Zakat. Sebuah buku yang sangat komprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern.

B.   Karya Yusuf Al Qardhawi
Yusuf Qardhawi telah menulis berbagai buku dalam bidang keilmuan Islam, seperti bidang sosial, dakwah, fiqh, demokrasi dan lain sebagainya. Buku karya Qardhawi sangat diminati umat Islam di berbagai penjuru dunia. Bahkan, banyak buku-buku atau kitabnya yang telah dicetak ulang hingga puluhan kali dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahan.

Berikut sejumlah buku karya Qardhawi :
1.      Dalam bidang Fiqh dan Ushul Fiqh sebagai seorang ahli fiqh, Qardhawi telah menulis sedikitnya 14 buah buku, baik Fiqh maupun Ushul Fiqh. Antara lain, Al Halal wa al Haram fi al Islam ( Halal dan Haram dalam Islam ), Al Ijtihad fi al Shari’at al Islamiah ( Ijtihad dalam Syariat Islam ), Fiqh al-Siyam ( Hukum Tentang Puas ), Fiqh al-Taharah ( Hukum Tentang Bersuci ), Fiqh al-Ghina’ wa al-Musiqa (Hukum Tentang Nyanyian dan Musik ).
2.      Ekonomi Islam. Dalam bidang ekonomi Islam, buku karya Qardhawi antara lain, Fiqh Zakat, Bay’u al-Murabahah li al-Amri bi al-Shira (Sistem Jual Beli al-Murabahah), Fawa’id al-Bunuk Hiya al-Riba al-Haram (Manfaat Diharamkannya Bunga Bank), Dawr al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtisad al-Islami (Peranan Nilai dan Akhlak dalam Ekonomi Islam) serta Dur al-Zakat fi Alaj al-Musykilat al-Iqtisadiyyah (Peranan Zakat dalam Mengatasi Masalah Ekonomi).
3.      Pengetahuan tentang Al Qur’an dan As-Sunnah. Qardhawi menulis sejumlah buku dan kajian mendalam terhadap metodologi mempelajari Al Qur’an, cara berinteraksi dan pemahaman terhadap Al Qur’an maupun Sunnah. Buku-bukunya antara lain Al Aql wa al-Iim fi Al Qur’an (Sabar dalam Al Qur’an), Tafsir Surah al Ra’d dan Kayfa Nata’mal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah (Bagaimana berinteraksi dengan Sunnah).
4.      Akidah Islam. Dalam bidang ini Qardhawi menulis sekitas empat buku, antara lain Wujud Allah (Adanya Allah), Haqiqat al-Tawhid (Hakikat Tauhid), Iman bi Qadr (Keimanan kepada Qadar).
Selain karya diatas, Qardhawi juga banyak menulis buku tentang Tokoh-tokoh Islam seperti Al Ghazali, Para Wanita Beriman dan Abu Hasan Al-Nadwi. Qardhawi juga menulis buku Akhlak berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Kebangkitan Islam, Sastra dan Syair serta banyak lagi yang lainnya.[3]

C. Pemikiran Yusuf Al Qardhawi
Yusuf al-Qardhawi, seorang pemikir Islam kontemporer berkebangsaan Mesir, menunjukkan angka perbandingan 1 : 9 menyangkut ayat-ayat yang berdimensi ta’abbudi dan ayat-ayat yang berdimensi ta’aquli.
Banyak orang yang mengenal Yusuf al-Qardhawi dengan pemikiran Islamnya yang cemerlang demi kemajuan pendidikan Islam, kita bisa mengenal Pemikiran Salafinya. Yang dimaksud Pemikiran Salafi adalah kerangka berpikir (manhaj fikri) yang tercermin dalam pemahaman generasi terbaik dari ummat ini. Yakni para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, dengan mempedomani hidayah Al-Qur’an dan tuntunan Nabi SAW.
Kriteria Manhaj Salafi yang benar adalah suatu manhaj yang secara global berpijak pada prinsip berikut :
1.      Berpegang pada nash-nash yang ma’shum (suci), bukan kepada pendapat para ahli atau tokoh.
2.      Mengembalikan masalah-masalah “mutasyabihat”(yang kurang jelas) kepada masalah “muhkamat” (yang pasti dan tegas). Dan mengembalikan masalah yang zhanni kepada yang qath’i.
3.      Memahami kes-kes furu’(kecil) dan juz’i (tidak prinsipil), dalam kerangka prinsip dan masalah fundamental.
4.      Menyerukan “Ijtihad” dan pembaharuan. Memerangi “Taqlid” dan kejumudan.
5.      Mengajak untuk ber-iltizam (memegang teguh) akhlak Islamiah, bukan meniru trend.
6.      Dalam masalah fiqh, berorientasi pada “kemudahan” bukan “mempersulit.
7.      Dalam hal bimbingan dan penyuluhan, lebih memberikan motivasi, bukan menakut-nakuti.
8.      Dalam bidang aqidah, lebih menekankan penanaman keyakinan, bukan dengan perdebatan.
9.      Dalam masalah ibadah, lebih mementingkan jiwa ibadah, bukan formalitinya.
10.  Menekankan sikap “ittiba” (mengikuti) dalam masalah agama dan menanamkan semangat “ikhtira”(kreativiti dan daya cipta) dalam masalah kehidupan duniawi.[4]

D. Metode Ijtihad Al-Qardhawi
Sebelum mengemukakan tentang metode ijtihad Yusuf al-Qardhawi, terlebih dahulu akan dikemukakan definisi ijtihad itu sendiri. Dalam hal ini, terdapat berbagai macam rumusan yang dikemukakan ulama berkaitan tentang ijtihad, namun al-Qardhawi tidak membuat definisi sendiri. Akan tetapi, ia lebih memilih definii ijtihad yang dikemukakan oleh Imam al-Syaukani (w.1255 H) dalam Kitabnya “Irsyad al-Fubul” setelah membandingkannya dengan definisi yang dikemukakan al-Amidi (w.631 H) dalam Kitabnya “al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam”. Definisi ijtihad yang dikemukakan al-Syaukani sebagai berikut :
“Mencurahkan seluruh kemampuan guna menemukan hukum syari’at yang bersifat prktis dengan cara mengambil kesimpulan hukum”.
Sedangkan menurut al-Amidi, definisi ijtihad sebagai berikut :
“Mencurahkan seluruh kemampuan unruk mencari hukum syari’at yang bersifat zhanni, sampai dirinya tidak merasa mampu lagi mencari tambahan kemampuannya tersebut.”
1.    Ijtihad Intiqa’i / Tarjih
Yang dimaksud Ijtihad al-Intiqa’i atau tarjih adalah memilih salah satu dari beberapa pendapat yang terdapat dari beberapa khazanah fiqh Islam, baik dalam formulasi fatwa atau keputusan hakim, dengan menggunakan instrument eksplanasi untuk mengambil beberapa pendapat tersebut.
Adapun kriteria yang digunakan untuk melakukan tarjih menurut al-Qardhawi seperti berikut :
a         Mempunyai relevansi dengan kehidupan sekarang.
b        Lebih memprioritaskan untuk merealisasikan maksud-maksud syara’.
c         Untuk kemaslahatan manusia.
d        Menolak bahaya.
2.    Ijtihad Insya’i
Yang dimaksud dengan ijtihad insya’i adalah usaha untuk menetapkan konkluse hukum dari suatu persoalan baru yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu, karena memang belum muncul waktu itu.
Mengenai ijtihad insya’i ini, al-Qardhawi berpendapat bahwa setelah mengutip berbagai pendapat para ulama, maka langkah selanjutnya adalah mengkaji kembali berbagai pendapat terebut, kemudian menarik kesimpulan yang sesuai dengan nash al-Qur’an dan Hadits, kaidah-kaidah dan maqashid al-syar’iyyah sambil berdo’a semoga Allah mengilhamkan kebenaran, tidak menghalangi tabir pahal, dan mejaga dari belenggu fanatisme dan taqlid serta hawa nafsu dan prasangka buruk terhadap orang lain.
3.    Integrasi antara Ijtihad Intiqa’i dan Insya’i
Diantara bentuk ijtihad kontemporer adalah ijtihad perpaduan antara intiqa’i dan insya’i, yaitu memilih pendapat para ulama terdahulu yang dipandang lebih relevan dan kuat kemudian dalam pendapat tersebut ditambah unsur-unsur ijtihad baru.[5]


E. Pemikiran Hukum Al-Qardhawi dan Metode Ijtihadnya
a.      Bidang Ibadah
Sebuah persoalan yang masih menjadi ruang perdebatan hingga hari ini adalah tentang hukum berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
Dalam hal ini, al Qardhawi lebih dahulu mengemukakan dua pendapat ulama yang dijadikannya sebagai bahan pertimbangan, yaitu : Pertama, pendapat yang mengatakan haram berjabat tangan antara laki dan perempuan bila disertai syahwat dan bersenang-senang terhadap salah satunya atau keduanya (laki-laki atau perempuan), atau dikhawatirkan akan terjadi fitnah. Pendapat ini, diperkuat oleh ulama yang mengatakan bahwa bersentuhan kulit laki-laki dengan perempuan pada asal hukum mubah-bisa berubah menjadi haram bila disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan timbul fitnah. Kedua, diperbolehkan berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan tua yang sudah tidak punya gairah lagi terhadap laki-laki atau sebaliknya.

Terhadap hadits-hadits yang dijadikan dalil keharaman berjabat dengan lawan jenis diatas, menurut Qardhawi ada beberapa hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
1)   Hadits-hadits tersebut tidak seorangpun dari imam-imam hadits yang menyatakan secara jelas keshahihannya, karena itu ada kemungkinan terputus jalan periwayatannya atau bia jadi terdapat cacat yang samar-samar.
2)   Ulama Hanafiyah dan sebagian Ulama Malikiyah mengatakan pengharaman itu mesti berdasarkan dalil qath’i yaitu Al-Qur’an dan Hadits mutawatir dan masyhur.
3)   Hadits-hadits yang dijadikan alasan pengharaman berjabat tangan, terdapat kalimat “menyentuh kulit wanita yang tidak halal baginya” tidak dimaksudkan semata-mata bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat.

Setelah mengemukakan berbagai pendapat ulama diatas, Al Qardhawi menetapkan bahwa hukum berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan, adalah :
1)   Dibolehkan bila tidak disertai dengan syahwat dan tidak menimbulkan fitnah. Akan tetapi, apabila dikhawatirkan akan terjadi fitnah terhadap salah satunya atau keduanya atau disertai syahwat dan bersenang-senang, maka berjabat tangan antara lawan jenis keharamannya tidak diragukan lagi ataupun sebaliknya.
2)   Diperbolehkan berjabat tangan hanya sebatas kebutuhan, yaitu dengan karib kerabat yang dekat atau semenda yang terjadi hubungan erat dan akrab diantara mereka, serta tidak menimbulkan syahwat dan fitnah.
b.      Bidang Mu’amalah
Fatwa Al Qardhawi dalam bidang mu’amalah yang dikemukakan disini adalah mengenai Bank Air Susu Ibu (ASI).
Untuk menjelaskan persoalan bank ASI ini, Al Qardhawi menjelaskan terlebih dahulu tentang hakikat menyusi dan kadar susuan yang menyebabkan haramnya perkawinan. Dalam hal ini, Al Qardhawi mengemukakan pengertian menyusui (radha’) yang menyebabkan haram perkawinan-menurut jumhur ulama dari Madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah yaitu segala sesuatu (air susu) yang sampai ke perut bayi melalui kerongkongan atau lainnya, dengan mengisap puting susu maupun melalui cara lain, seperti menuangkan air susu lewat mulut (al wajur) atau melalui hidung(al sa’utb) ke kerongkongan atau melalui suntikan lewat dubur.
Atas dasar ini, Al Qardhawi menyatakan bahwa penyusuan bayi melalui Bank ASI diperbolehkan dan tidak menyebabkan haramnya pernikahan. Pendapat Al Qardhawi ini senada dengan apa yang dikemukakan Ibn Hazm sebagaimana dikutip Al Qardhawi dalam kitabnya yang menyatakan bahwa sifat penyusuan yang mengaharamkan perkawinan hanyalah yang menyusu dengan cara mengisap dan menyusui dengan mulutnya. Sedangkan orang yang diberi minum susu seorang wanita dengan menggunakan bejana atau dituangkan ke dalam mulutnya lantas ditelannya, dimakan bersama roti atau dicampur dengan makanan lain, dituangkan ke dalam mulut, hidung atau telinganya, atau dengan suntikan, maka yang demikian itu sama sekali tidak mengharamkan perkawinan, meskipun sudah menjadi makanan pokoknya sehari-hari. Alasannya sebagaimana disebut dalam Surat An-Nisa’ ayat 23
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ
“... dan diharamkan bagimu menikah dengan ibu-ibumu yang menyusui  kamu, dan saudari-saudari kamu, dan saudari-saudari kamu sepersusuan...”

c.       Bidang Munakahat
Salah satu fatwa Al-Qardhawi dalam masalah munakahat yang dicontohkan disini adalah mengenai kawin paksa.
Dalam hal ini, Al-Qardhawi memilih pendapat jumhur ulama Salaf, Madzhab Abu Hanifah, Ahmad dan lainnya yaitu melarang anak gadis yang sudah dewasa dipaksa untuk dinikahkan, kecuali dengan meminta persetujuannya terlebih dahulu. Berdasarkan sejumlah hadits shahih dan juga kesepakatan (ijma’) para ulama terdahulu, qawa’id as syari’ah dan juga sesuai maqashid syari’at,maqashid syari’at, yaitu mewujudkan kemaslahatan umat. Metode yang digunakannya adalah istihsan.
d.      Bidang Jinayat
Fatwa Al-Qardhawi dalam bidang jinayat yang akan ditemukan disini adalah masalah menggugurkan kandungan (aborsi) akibat pemerkosaan.
Menurut Al Qardhawi, pendapat pertengahan tersebut adalah haram melakukan aborsi ketika bertemunya sperma dengan indung telur, dan menghasilkan makhluk dalam bentuk baru yang menetap di dalam rahim, walaupun janin belum berumur 120 hari, kecuali karena kondisi darurat yang mu’tabar (akurat), maka tidak ada halangan menerapkan salah satu dari dua pendapat diatas (apakah pendapat yang mengatakan boleh 40 atau 42 hari dan sebelum 120 hari ).[6]
DAFTAR PUSTAKA 
Qadir , Abdurrahman, Studi Pembaharuan Hukum Islam : Studi Pemikiran Yusuf Qardhawi tentang Zakat Profesi, Jakarta : IAIN Syarif  Hidayatullah, 1990.  
Qardhawi, Yusuf , Masalah-masalah Islam Kontemporer,Jakarta : Najah Press, 1994.

https://www.academia.edu, diakses 24 Mei 2019, 20 : 05.

Jurnal Ushuluddin Vol.XVIII No.1, Januari 2012, diakses 24 Mei 2019, 20 : 30.

Yasid Abu, Islam Akomodatif : Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama Universal,  Jakarta : LKIS, 2004.



[1] Abdurrahman Qadir, Studi Pembaharuan Hukum Islam : Studi Pemikiran Yusuf Qardhawi tentang Zakat Profesi, (Jakarta : IAIN Syarif  Hidayatullah, 1990),h.16.
[2] Yusuf Qardhawi,Masalah-masalah Islam Kontemporer,(Jakarta : Najah Press, 1994),h.219.
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Yusuf al-Qardhawi diakses 24 Mei 2019, 20 : 00 WIB.

[4] Abu Yasid, Islam Akomodatif : Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama Universal, (Jakarta : LKIS, 2004),h.22.
[5] https://www.academia.edu, diakses 24 Mei 2019, 20 : 05.
[6] Jurnal Ushuluddin Vol.XVIII No.1, Januari 2012, diakses 24 Mei 2019, 20 : 30.

No comments:

Post a Comment