KAJIAN TOKOH KONTEMPORER YUSUF AL QARDHAWI
A. Biografi Yusuf
Al Qardhawi
Yusuf al Qardhawi (
lahir di Shafth Turaab, Kairo, Mesir 9
September 1926 umur 86 tahun ) adalah seorang cendekiawan Muslim yang berasal
dari Mesir. Ia dikenal sebagai seorang Mujtahid pada era modern ini.[1]
Selain sebagai seorang
Mujtahid ia juga dipercaya sebagai seorang ketua majelis fatwa. Banyak dari
fatwa yang telah dikeluarkan digunakan sebagai bahan rujukan atas permasalahan
yang terjadi. Namun banyak pula yang mengkritik fatwa-fatwanya.[2]
Profil
Pribadi
Lahir di sebuah desa
kecil di Mesir bernama Shafth Turaab di tengah Delta Sungai Nil, pada usia 10
tahun ia sudah hafal Al Qur’an. Menamatkan pendidikan di Ma’had Tsanawi,
Qardhawi terus melanjutkan ke Universitas al-Azhar , Fakultas Ushuluddin dan
lulus pada tahun 1952. Tapi gelar doktorny baru ia peroleh pada tahun 1972
dengan disertasi “Zakat dan Dampaknya dalam Penanggulangan Kemiskinan”, yang
kemudian disempurnakan menjadi Fiqh Zakat. Sebuah buku yang sangat komprehensif
membahas persoalan zakat dengan nuansa modern.
B.
Karya
Yusuf Al Qardhawi
Yusuf Qardhawi telah
menulis berbagai buku dalam bidang keilmuan Islam, seperti bidang sosial,
dakwah, fiqh, demokrasi dan lain sebagainya. Buku karya Qardhawi sangat
diminati umat Islam di berbagai penjuru dunia. Bahkan, banyak buku-buku atau
kitabnya yang telah dicetak ulang hingga puluhan kali dan diterjemahkan ke
dalam berbagai bahan.
Berikut sejumlah buku
karya Qardhawi :
1. Dalam
bidang Fiqh dan Ushul Fiqh sebagai seorang ahli fiqh, Qardhawi telah menulis
sedikitnya 14 buah buku, baik Fiqh maupun Ushul Fiqh. Antara lain, Al Halal wa
al Haram fi al Islam ( Halal dan Haram dalam Islam ), Al Ijtihad fi al Shari’at
al Islamiah ( Ijtihad dalam Syariat Islam ), Fiqh al-Siyam ( Hukum Tentang Puas
), Fiqh al-Taharah ( Hukum Tentang Bersuci ), Fiqh al-Ghina’ wa al-Musiqa
(Hukum Tentang Nyanyian dan Musik ).
2. Ekonomi
Islam. Dalam bidang ekonomi Islam, buku karya Qardhawi antara lain, Fiqh Zakat,
Bay’u al-Murabahah li al-Amri bi al-Shira (Sistem Jual Beli al-Murabahah),
Fawa’id al-Bunuk Hiya al-Riba al-Haram (Manfaat Diharamkannya Bunga Bank), Dawr
al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtisad al-Islami (Peranan Nilai dan Akhlak dalam
Ekonomi Islam) serta Dur al-Zakat fi Alaj al-Musykilat al-Iqtisadiyyah (Peranan
Zakat dalam Mengatasi Masalah Ekonomi).
3. Pengetahuan
tentang Al Qur’an dan As-Sunnah. Qardhawi menulis sejumlah buku dan kajian
mendalam terhadap metodologi mempelajari Al Qur’an, cara berinteraksi dan
pemahaman terhadap Al Qur’an maupun Sunnah. Buku-bukunya antara lain Al Aql wa
al-Iim fi Al Qur’an (Sabar dalam Al Qur’an), Tafsir Surah al Ra’d dan Kayfa
Nata’mal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah (Bagaimana berinteraksi dengan Sunnah).
4. Akidah
Islam. Dalam bidang ini Qardhawi menulis sekitas empat buku, antara lain Wujud
Allah (Adanya Allah), Haqiqat al-Tawhid (Hakikat Tauhid), Iman bi Qadr
(Keimanan kepada Qadar).
Selain
karya diatas, Qardhawi juga banyak menulis buku tentang Tokoh-tokoh Islam
seperti Al Ghazali, Para Wanita Beriman dan Abu Hasan Al-Nadwi. Qardhawi juga
menulis buku Akhlak berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Kebangkitan Islam,
Sastra dan Syair serta banyak lagi yang lainnya.[3]
C. Pemikiran Yusuf Al Qardhawi
Yusuf
al-Qardhawi, seorang pemikir Islam kontemporer berkebangsaan Mesir, menunjukkan
angka perbandingan 1 : 9 menyangkut ayat-ayat yang berdimensi ta’abbudi dan
ayat-ayat yang berdimensi ta’aquli.
Banyak
orang yang mengenal Yusuf al-Qardhawi dengan pemikiran Islamnya yang cemerlang
demi kemajuan pendidikan Islam, kita bisa mengenal Pemikiran Salafinya. Yang
dimaksud Pemikiran Salafi adalah kerangka berpikir (manhaj fikri) yang
tercermin dalam pemahaman generasi terbaik dari ummat ini. Yakni para sahabat
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, dengan mempedomani hidayah
Al-Qur’an dan tuntunan Nabi SAW.
Kriteria
Manhaj Salafi yang benar adalah suatu manhaj yang secara global berpijak pada
prinsip berikut :
1. Berpegang
pada nash-nash yang ma’shum (suci), bukan kepada pendapat para ahli atau tokoh.
2. Mengembalikan
masalah-masalah “mutasyabihat”(yang kurang jelas) kepada masalah “muhkamat”
(yang pasti dan tegas). Dan mengembalikan masalah yang zhanni kepada yang
qath’i.
3. Memahami
kes-kes furu’(kecil) dan juz’i (tidak prinsipil), dalam kerangka prinsip dan
masalah fundamental.
4. Menyerukan
“Ijtihad” dan pembaharuan. Memerangi “Taqlid” dan kejumudan.
5. Mengajak
untuk ber-iltizam (memegang teguh) akhlak Islamiah, bukan meniru trend.
6. Dalam
masalah fiqh, berorientasi pada “kemudahan” bukan “mempersulit.
7. Dalam
hal bimbingan dan penyuluhan, lebih memberikan motivasi, bukan menakut-nakuti.
8. Dalam
bidang aqidah, lebih menekankan penanaman keyakinan, bukan dengan perdebatan.
9. Dalam
masalah ibadah, lebih mementingkan jiwa ibadah, bukan formalitinya.
10. Menekankan
sikap “ittiba” (mengikuti) dalam masalah agama dan menanamkan semangat
“ikhtira”(kreativiti dan daya cipta) dalam masalah kehidupan duniawi.[4]
D. Metode Ijtihad Al-Qardhawi
Sebelum mengemukakan
tentang metode ijtihad Yusuf al-Qardhawi, terlebih dahulu akan dikemukakan
definisi ijtihad itu sendiri. Dalam hal ini, terdapat berbagai macam rumusan
yang dikemukakan ulama berkaitan tentang ijtihad, namun al-Qardhawi tidak
membuat definisi sendiri. Akan tetapi, ia lebih memilih definii ijtihad yang
dikemukakan oleh Imam al-Syaukani (w.1255 H) dalam Kitabnya “Irsyad al-Fubul” setelah
membandingkannya dengan definisi yang dikemukakan al-Amidi (w.631 H) dalam
Kitabnya “al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam”.
Definisi ijtihad yang dikemukakan al-Syaukani sebagai berikut :
“Mencurahkan
seluruh kemampuan guna menemukan hukum syari’at yang bersifat prktis dengan
cara mengambil kesimpulan hukum”.
Sedangkan menurut
al-Amidi, definisi ijtihad sebagai berikut :
“Mencurahkan
seluruh kemampuan unruk mencari hukum syari’at yang bersifat zhanni, sampai
dirinya tidak merasa mampu lagi mencari tambahan kemampuannya tersebut.”
1. Ijtihad
Intiqa’i / Tarjih
Yang dimaksud Ijtihad al-Intiqa’i atau tarjih adalah memilih salah satu dari
beberapa pendapat yang terdapat dari beberapa khazanah fiqh Islam, baik dalam
formulasi fatwa atau keputusan hakim, dengan menggunakan instrument eksplanasi
untuk mengambil beberapa pendapat tersebut.
Adapun kriteria yang
digunakan untuk melakukan tarjih menurut al-Qardhawi seperti berikut :
a
Mempunyai
relevansi dengan kehidupan sekarang.
b
Lebih
memprioritaskan untuk merealisasikan maksud-maksud syara’.
c
Untuk
kemaslahatan manusia.
d
Menolak bahaya.
2. Ijtihad
Insya’i
Yang dimaksud dengan
ijtihad insya’i adalah usaha untuk
menetapkan konkluse hukum dari suatu persoalan baru yang belum pernah
dikemukakan oleh ulama terdahulu, karena memang belum muncul waktu itu.
Mengenai ijtihad insya’i ini, al-Qardhawi berpendapat
bahwa setelah mengutip berbagai pendapat para ulama, maka langkah selanjutnya
adalah mengkaji kembali berbagai pendapat terebut, kemudian menarik kesimpulan
yang sesuai dengan nash al-Qur’an dan Hadits, kaidah-kaidah dan maqashid al-syar’iyyah sambil berdo’a
semoga Allah mengilhamkan kebenaran, tidak menghalangi tabir pahal, dan mejaga
dari belenggu fanatisme dan taqlid serta hawa nafsu dan prasangka buruk
terhadap orang lain.
3. Integrasi
antara Ijtihad Intiqa’i dan Insya’i
Diantara bentuk ijtihad
kontemporer adalah ijtihad perpaduan antara intiqa’i
dan insya’i, yaitu memilih
pendapat para ulama terdahulu yang dipandang lebih relevan dan kuat kemudian
dalam pendapat tersebut ditambah unsur-unsur ijtihad baru.[5]
E. Pemikiran Hukum Al-Qardhawi dan Metode
Ijtihadnya
a.
Bidang
Ibadah
Sebuah persoalan yang
masih menjadi ruang perdebatan hingga hari ini adalah tentang hukum berjabat
tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
Dalam hal ini, al
Qardhawi lebih dahulu mengemukakan dua pendapat ulama yang dijadikannya sebagai
bahan pertimbangan, yaitu : Pertama,
pendapat yang mengatakan haram berjabat tangan antara laki dan perempuan bila
disertai syahwat dan bersenang-senang terhadap salah satunya atau keduanya
(laki-laki atau perempuan), atau dikhawatirkan akan terjadi fitnah. Pendapat
ini, diperkuat oleh ulama yang mengatakan bahwa bersentuhan kulit laki-laki
dengan perempuan pada asal hukum mubah-bisa berubah menjadi haram bila disertai
dengan syahwat atau dikhawatirkan timbul fitnah. Kedua, diperbolehkan berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan
tua yang sudah tidak punya gairah lagi terhadap laki-laki atau sebaliknya.
Terhadap hadits-hadits
yang dijadikan dalil keharaman berjabat dengan lawan jenis diatas, menurut
Qardhawi ada beberapa hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
1) Hadits-hadits
tersebut tidak seorangpun dari imam-imam hadits yang menyatakan secara jelas
keshahihannya, karena itu ada kemungkinan terputus jalan periwayatannya atau
bia jadi terdapat cacat yang samar-samar.
2) Ulama
Hanafiyah dan sebagian Ulama Malikiyah mengatakan pengharaman itu mesti
berdasarkan dalil qath’i yaitu
Al-Qur’an dan Hadits mutawatir dan masyhur.
3) Hadits-hadits
yang dijadikan alasan pengharaman berjabat tangan, terdapat kalimat “menyentuh kulit wanita yang tidak halal
baginya” tidak dimaksudkan semata-mata bersentuhan kulit dengan kulit tanpa
syahwat.
Setelah mengemukakan berbagai pendapat
ulama diatas, Al Qardhawi menetapkan bahwa hukum berjabat tangan antara
laki-laki dan perempuan, adalah :
1) Dibolehkan
bila tidak disertai dengan syahwat dan tidak menimbulkan fitnah. Akan tetapi,
apabila dikhawatirkan akan terjadi fitnah terhadap salah satunya atau keduanya
atau disertai syahwat dan bersenang-senang, maka berjabat tangan antara lawan
jenis keharamannya tidak diragukan lagi ataupun sebaliknya.
2) Diperbolehkan
berjabat tangan hanya sebatas kebutuhan, yaitu dengan karib kerabat yang dekat
atau semenda yang terjadi hubungan erat dan akrab diantara mereka, serta tidak
menimbulkan syahwat dan fitnah.
b.
Bidang
Mu’amalah
Fatwa Al Qardhawi dalam
bidang mu’amalah yang dikemukakan
disini adalah mengenai Bank Air Susu Ibu (ASI).
Untuk menjelaskan persoalan
bank ASI ini, Al Qardhawi menjelaskan terlebih dahulu tentang hakikat menyusi
dan kadar susuan yang menyebabkan haramnya perkawinan. Dalam hal ini, Al Qardhawi
mengemukakan pengertian menyusui (radha’)
yang menyebabkan haram perkawinan-menurut jumhur ulama dari Madzhab Hanafiyah,
Malikiyah dan Syafi’iyah yaitu segala sesuatu (air susu) yang sampai ke perut
bayi melalui kerongkongan atau lainnya, dengan mengisap puting susu maupun
melalui cara lain, seperti menuangkan air susu lewat mulut (al wajur) atau melalui hidung(al
sa’utb) ke kerongkongan atau melalui suntikan lewat dubur.
Atas dasar ini, Al
Qardhawi menyatakan bahwa penyusuan bayi melalui Bank ASI diperbolehkan dan
tidak menyebabkan haramnya pernikahan. Pendapat Al Qardhawi ini senada dengan
apa yang dikemukakan Ibn Hazm sebagaimana dikutip Al Qardhawi dalam kitabnya
yang menyatakan bahwa sifat penyusuan yang mengaharamkan perkawinan hanyalah
yang menyusu dengan cara mengisap dan menyusui dengan mulutnya. Sedangkan orang
yang diberi minum susu seorang wanita dengan menggunakan bejana atau dituangkan
ke dalam mulutnya lantas ditelannya, dimakan bersama roti atau dicampur dengan
makanan lain, dituangkan ke dalam mulut, hidung atau telinganya, atau dengan
suntikan, maka yang demikian itu sama sekali tidak mengharamkan perkawinan,
meskipun sudah menjadi makanan pokoknya sehari-hari. Alasannya sebagaimana
disebut dalam Surat An-Nisa’ ayat 23
حُرِّمَتۡ
عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ
وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ
“...
dan diharamkan bagimu menikah dengan ibu-ibumu yang menyusui kamu, dan saudari-saudari kamu, dan
saudari-saudari kamu sepersusuan...”
c.
Bidang
Munakahat
Salah satu fatwa
Al-Qardhawi dalam masalah munakahat yang dicontohkan disini adalah mengenai
kawin paksa.
Dalam hal ini,
Al-Qardhawi memilih pendapat jumhur ulama Salaf, Madzhab Abu Hanifah, Ahmad dan
lainnya yaitu melarang anak gadis yang sudah dewasa dipaksa untuk dinikahkan,
kecuali dengan meminta persetujuannya terlebih dahulu. Berdasarkan sejumlah
hadits shahih dan juga kesepakatan (ijma’)
para ulama terdahulu, qawa’id as syari’ah
dan juga sesuai maqashid
syari’at,maqashid syari’at, yaitu mewujudkan kemaslahatan umat. Metode yang
digunakannya adalah istihsan.
d.
Bidang
Jinayat
Fatwa Al-Qardhawi dalam
bidang jinayat yang akan ditemukan
disini adalah masalah menggugurkan kandungan (aborsi) akibat pemerkosaan.
Menurut Al Qardhawi,
pendapat pertengahan tersebut adalah haram melakukan aborsi ketika bertemunya
sperma dengan indung telur, dan menghasilkan makhluk dalam bentuk baru yang
menetap di dalam rahim, walaupun janin belum berumur 120 hari, kecuali karena
kondisi darurat yang mu’tabar
(akurat), maka tidak ada halangan menerapkan salah satu dari dua pendapat
diatas (apakah pendapat yang mengatakan boleh 40 atau 42 hari dan sebelum 120
hari ).[6]
DAFTAR PUSTAKA
Qadir ,
Abdurrahman, Studi Pembaharuan Hukum
Islam : Studi Pemikiran Yusuf Qardhawi tentang Zakat Profesi, Jakarta :
IAIN Syarif Hidayatullah, 1990.
Qardhawi, Yusuf , Masalah-masalah Islam Kontemporer,Jakarta
: Najah Press, 1994.
https://www.academia.edu,
diakses 24 Mei 2019, 20 : 05.
Jurnal
Ushuluddin Vol.XVIII No.1, Januari 2012, diakses 24 Mei 2019, 20 : 30.
Yasid Abu, Islam Akomodatif : Rekonstruksi Pemahaman
Islam sebagai Agama Universal, Jakarta
: LKIS, 2004.
[1] Abdurrahman Qadir, Studi Pembaharuan Hukum Islam : Studi
Pemikiran Yusuf Qardhawi tentang Zakat Profesi, (Jakarta : IAIN Syarif Hidayatullah, 1990),h.16.
[2] Yusuf Qardhawi,Masalah-masalah Islam Kontemporer,(Jakarta
: Najah Press, 1994),h.219.
[4] Abu Yasid, Islam Akomodatif : Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama
Universal, (Jakarta : LKIS, 2004),h.22.
[5] https://www.academia.edu,
diakses 24 Mei 2019, 20 : 05.
[6] Jurnal Ushuluddin Vol.XVIII
No.1, Januari 2012, diakses 24 Mei 2019, 20 : 30.
No comments:
Post a Comment