1

loading...

Friday, July 19, 2019

Makalah Aliran-Aliran Tentang Konsepsi Ketuhanan


Makalah Aliran-Aliran Tentang Konsepsi Ketuhanan


A.      Mukaddimah
                Aliran mengenai konsep ketuhanan berbeda dengan perkembangan konsep kepercayaan kepada Tuhan. Perkembangan konsep ketuhanan menekankan aspek sejarah, dan perubahan yang terjadi dari satu fase ke fase berikutnya. Sedangkan dalam aliran konsep ketuhanan dilihat dari segi hubungan Tuhan dengan dunia dan makhlukNya. Aliran-aliran konsep  ketuhanan disebut world view tentang realitas yang tertinggi. Seseorang berkemungkinan menarik garis yang sama dengan orang lain, tetapi wujud interpretasi akan berbeda sesuai dengan persepsi atau tujuan masing-masing.
Seorang teisme akan berkata bahwa Tuhan adalah wujud tertinggi, mahasempurna, tidak terbatas, berada di luar alam dan di dalam alam. Jadi, Tuhan mencipta sekaligus memelihara. Berbeda dengan deisme, dia tidak mengakui campur tangan Tuhan di dunia setelah menciptakan alam. Jarak antara Tuhan dan alam sangat jauh dan tidak mungkin berinteraksi dengan alam.

B.      Pembahasan
1.       Teisme
Tokoh Kristen pertama yang mengemukakan gagasan teisme adalah St. Agustinus. Menurutnya, Tuhan ada dengan sendirinya, tidak diciptakan, tidak berubah, abadi, bersifat personal dan maha sempurna.Tuhan adalah kekuatan personal yang terdiri atas Bapak, Anak, dan Roh Kudus. Tuhan menciptakan alam jauh dari alam di luar dimensi waktu, tetapi dia mengendalikan setiap kejadian dalam alam. Mukjizat pun benar-benar ada karena Tuhan selalu mengatur ciptaannya.[1] Salah satu jenis teisme adalah monoteisme dan politeisme. Sebutan teisme dicetuskan oleh Ralph Cudworth pada tahun 1587 sebagai lawan karta ateisme. [2]
Menurut teisme, Tuhan berada di alam (immanent) dan jauh dari alam (transcendent). Tuhan setelah menciptakan alam, tetap aktif dan memelihara alam. Oleh karena itu teisme meyakini kebenaran mukjizat walaupun menyalahi hukum alam. Agama penganut teisme adalah Yahudi, Kristen, dan Islam.[3]
Tipe-tipe teisme diantaranya, teisme rasional yang dipelopori Rene Descartes dan Leibniz; teisme eksistensial, Soren Kierkegaard; teisme fenomenologi, Peter Koestenbaum; teisme empiris, Thomas Reid, dsb. Kesemuanya memiliki cara pandang tersendiri tentang Tuhan, cara mendekati Tuhan, dan hubungannya dengan alam. Contohnya yang terjadi pada Yahudi dan Islam di satu pihak yang mengEsakan Tuhan, dan Kristen ortodok di pihak lain yang meyakini bahwa Tuhan adalah tiga pribadi.
Adapun dalil mengenai keEsaan Tuhan,
قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ ١
Artinya:
“Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa” (Q.S. Al-Ikhlas:1)
               Transendensi Tuhan dicantumkan dalam surat Al-A’raf ayat 54.
إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ ....
Artinya:
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ´Arsy....”
               Imanensi Tuhan dijelaskan dalam surat Qaf ayat 16,
وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ وَنَعۡلَمُ مَا تُوَسۡوِسُ بِهِۦ نَفۡسُهُۥۖ وَنَحۡنُ أَقۡرَبُ إِلَيۡهِ مِنۡ حَبۡلِ ٱلۡوَرِيدِ ١٦
Artinya:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”
Adapun ayat yang menunjukkan bahwa Tuhan transenden dan immanen adalah surat Yunus ayat 3,
إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَۖ
Artinya:
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ´Arsy untuk mengatur segala urusan.“
Awal ayat ini menjelaskan bahwa Tuhan bersemayam di ‘Arsy yang mengesankan Tuhan jauh dari alam. Pada akhir ayat Dia mengatur segala urusan Yang mengesankan bahwa Tuhan selalu memerhatikan alam (immanen). Jadi ayat ini menjelaskan bahwa Tuhan transenden sekaligus immanen.[4]
Konsep teisme dalam Islam dijelaskan oleh Al-Ghazali. Menurutnya, Allah adalah Zat Yang Maha Esa dan pencipta alam sekaligus berperan aktif dalam mengendalikan alam.Allah menciptakan alam dari tidak ada (cretio exnihilo). Mukjizat adalah suatu peristiwa yang wajar karena Ia mahakuasa dan berkehendak mutlak, mampu mengubah segala ciptaan-Nya sesuai kehendak mutlak-Nya.[5]
Al-Ghazali yang haus akan kebenaran pada akhir hidupnya menitiktekankan pada immanensi Tuhan. Ia berpendapat bahwa kedekatan Tuhan itu sekaligus membuka tabir pengetahuan.  Pertama, dia meyakini bahwa kebenaran dapat diperoleh melalui indra. Tetapi indra bohong. Sebab ketika mata melihat bulan hanya sebesar bola, padahal bulan hampir sama dengan bumi. Kedua, dia meyakini akal lah yang mendatangkan kebenaran, karena bisa menetapkan bahwa bulan jauh lebih besar dari bola. Tetapi itupun tak bisa dijadikan acuan. Karena ketika seseorang bermimpi, ia benar-benar merasa mengalami kejadian dalam mimpi tersebut. Tapi ternyata mimpi hanya ilusi belaka.
Oleh karena itu ia mencari pengetahuan yang tak dapat diragukan lagi, bersumber dari yang Mahabenar, yaitu Tuhan, sehingga terjadilah al-kasyaf  (terbukanya tabir) tidak ada lagi hijab antar hamba pencari pengetahuan dengan yang memiliki pengetahuan. Inilah pengetahuan yang hakiki.
Menurut Agustinus, manusia terdiri dari jasad yang fana dan jiwa yang tidak mati. Ketika dibangkitkan setelah kematian, jiwa manusia akan mencapai kesempurnaan. Karena hakikat yang sebenarnya dari manusia adalah jiwa, dan jiwa yang bersih akan kembali ke pencipta-Nya.
Filsuf Yahudi yang berpaham teisme adalah Ibnu Maimun. Menurutnya, Tuhan adalah transenden. Tetapi ia berargumen bahwa Tuhan memerhatikan nasib makhluk-Nya dan mendengar doa kita. Bukti Tuhan memerhatikan nasib makhluk-Nya adalahdengan memberi nikmat sampai bertingkat-tingkat. Aemakin penting sesuatu itu untuk kebutuhan hidup, semakin mudah diperoleh. Sebaliknya, semakin tidak dibutuhkan, hal itu semakin jarang dan mahal.
Dari ketiga filsuf yang berlainan agama, tampak benang merah yang menghubungkan pemikiran mereka, yaitu Tuhan secara zat adalah transenden dan jauh dari pengetahuan manusia.  Ditinjau dari segi perbuatan-Nya , Tuhan berada dalam alam, bahkan memerhatikan nasib makhluk-Nya. Namun pandangan semacam ini memiliki kontribusi positif dan tak luput dari kritikan.

1.1.       Kontribusi positif
·         Dengan perlunya ada suatu realitas tertinggi yang perlu dianut.Moral ateisme tidak dapat diidentifikasi secara jelas dan diusut asalnya. Adapun moral teisme dapat diidentifikasi dan diusut asalnya, yakni Tuhan yang merupakan puncak kesempurnaan moral yang berhak disembah. Maka  tak heran ada penganut teisme yang rela mengorbankan dirinya untuk Tuhan teistik, seperti mati syahid.
·         Teisme menawarkan landasan yang kukuh, standar moral yang universal. Karena nilai yang obsolut mengunggulimoral dan tingkah laku yang dibuat oleh manusia yang bersifat relatif dan berubah.
·         Teisme meletakkan dasar yang kukuh dalam menghargai manusia, yaitu sebagai ciptaan Tuhan dan wakilnya di bumi. Jadi dasar ketinggian martabat manusia karena Tuhan menciptakannya lebih tinggi dari makhluk lain
·         Teisme menawarkan kehidupan abadi setelah mati dengan mempertegas keberadaan manusia di dunia, dari mana, sedang ke mana dan hendak kemana disaat nihilisme menyimpulkan bahwa hidup adalah sesuatu yang tidak bernilai.

1.2.       Kritikan Terhadap Teisme
Menurut Sigmund Freud, agama manusia hanya refleksi dari keinginan-keinginan yang dipersonifikasikan dengan bentuk yang abstrak. Menurut pendukung materialisme, terutama Karl Marx, agama adalah bagian dari kelas buruh yang menderita. Mereka tidak mampu melawan struktur kelas yang begitu kuat sehingga mencari kekuatan supernatural untuk menolongnya. Dari sinilah muncul Tuhan-Tuhan sesuai kebutuhannya. Menurutnya, dengan sosialisme, tidak ada seorangpun lapar dan tertindas.
Kritik Karl Marx terhadap agama hanya berdasar pada agama yang ada di Eropa kala itu. Sehingga baginya keyakinan pada Tuhan menyebabkan kelas-kelas dalam masyarakat semakin tajam, dan ilmu empiris yang ia jadikan sebagai tolak ukur sebuah keyakinan pun salah. Fenomena agama memang dapat diukur secara empiris, tetapi tidak untuk hal kepercayaan. Kepercayaan ukurannya kafir dan iman, sedangkan ilmu empiris ukurannya logisdan tak logis.

2.      Deisme
Kata “deisme” berasal dari bahasa Latin eus yang berarti Tuhan. Menurut paham deisme, Tuhan berada diluar alam. Tuhan menciptakan alam dan sesudah alam diciptakan, ia tidak memerhatikan dan memelihara alam. Alam berjalan sesuai dengan peraturan-peraturan tetap dan sangat sempurna yang telah ditetapkan ketika proses penciptaan. Tidak ada intervensi pada alam melalui kekuatan supernatural. Manusia dengan akalnya mampu mengurus kehidupan dunia. Deisme dibagi menjadi empat tipe, yaitu:
1.      Tuhan tidak terlibat dengan pengaturan alam. Menciptakan, memprogramkan perjalanannya tetapi tidak menghiraukan apa yang telah dan akan terjadi.
2.      Tuhan terlibat dengan kejadian di alam, tetapi bukan mengenai perbuatan moral manusia. Manusia memiliki kebebasan.
3.      Tuhan mengatur alam sekaligus memperhatikan perbuatan moral manusia. Tetapi manusia tidak akan hidup setelah mati.
4.      Tuhan mengatur alam dan mengharapkan manusia mematuhi hukum moral yang berasal dari alam. Serta ada kehidupan setelah mati. Pandangan ini berkembang dan hanya dianut di Amerika dan Inggris.

1.1.     Aspek Positif Deisme
Aspek positif dari deisme adalah peranan akal yang ditonjolkan untuk memahami masalah-masalah agama secara lebih kritis. Contohnya tentang fungsi akal dalam membedakan mukjizat yang palsu dan sebenarnya.Selain itu, deisme membantu mengevaluasi kepercayaan agar terhindar dari ketaklidan dan kejumudan.
Kemunculan deisme dipelopori Newton pada abad ke-17.Menurutnya, Tuhan hanya pencipta alam, alam tidak membutuhkan Tuhan untuk memperbaikinya karena alam sudah memiliki mekanisme sendiri untuk menjaga keseimbangan. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan, sebagian ilmuawan semakin meyakini kebenaran dan keuiversalan hukum-hukum fisika yang tetap. Dibutuhkannya peran Tuhan bagi alam semakin kecil. Sehingga semakin lama timbullah paham bahwa Tuhan hanya menciptakan alam dan kemudian membiarkannya berjalan menurut hukum yang telah ditentukan.
Salah satu tokoh deisme adalah Thomas Paine. Ia menolak wahyu Ilahi dan mengagungkan kemampuan akal. Ia mengakui kesempurnaan Tuhan, tetapi hanya akal yang bisa mengungkapkan Tuhan. Ia menolak pengetahuan tentang Tuhan  yang berasal dari wahyu kepada orang tertentu. Baginya, wahyu Tuhan yang sebenarnya adalah manusia yang sudah dilengkapi dengan akal. Karena wahyu mustahil diturunkan karena keterbatasan bahasa manusia untuk menangkap kandungannya. Agama hanya penemuan manusia, dirancang untuk memperbudak manusia, memonopoli kekuasaan, dan mencari keuntungan. Baginya, agama wahyu kristen lah yang melakukan praktik tersebut.

1.2.     Kritikan dan Kelemahan Deisme
1.    Deisme menolak mukjizat, padahal deisme mengakui bahwa Tuhan menciptakan alam dari tiada. Jika Tuhan mampu menciptakan air dari tiada, mengapa mereka menolak kemampuan Tuhan menjalankan manusia diatas air?
2.    Sebagian besar penganut deisme meyakini keuniversalan dan kemutlakan hukum alam. Tapi ilmuan modern menolak 100% untuk kemutlakan hukum alam, karena alam sangat luas dan belum semua data terkumpul untuk bisa memastikan suatu hukum.Tidak ada alasan untuk menolak mukjizat yang menyalahi hukum alam yang belum tetap.
3.    Tuhan menciptakan alam untuk kebaikan makhluk-Nya. Tak mungkin ia membiarkan makhluknya terbengkalai. Maka dari itu Ia selalu bersama dengan makhluknya agar berjalan sesuai petunjuk-Nya.
4.    Tidak mudah menolak wahyu karena memerlukan penelitian dan pengkajian yang lebih mendalam.



[1] Jumhurul Umami, Aliran-Aliran dalam Ketuhanan, ditulis tanggal 2 Juli 2009 dapat diakses melalui google.
[2] Wikipedia: Ensiklopedi bebas; lihat pula Hlasey, William (1969). Louis Shores. Ed (dalam bahasa inggris). Collier’s Encyclopedia. 22 (edisi ke-20). Crowell-Coliier Educational Corporation. Hlm. 26-267.
[3] Amsal bakhtiar, Filsafat Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hlm. 2.
[4] Ibid., hlm. 82.
[5] Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah, 1968, hlm. 240.

No comments:

Post a Comment