MAKALAH HUBUNGAN ISLAM DAN PLURALISME
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kita menganggap bahwa Indonesia adalah negara
religius. Selanjutnya, kita menganggap bahwa orang Indonesia itu dengan
sendirinya juga religius, yaitu manusia yang berTuhan. Buktinya setiap tahun
orang yang pergi haji dari Indonesia adalah yang terbanyak sedunia. Jumlah yang
pergi umroh juga banyak. Rumah ibadah bertambah terus setiap tahun. Suasana
Ramadhan selalu semarak dengan aktivitas keagamaan.[1]
Disamping itu, Masyarakat
Indonesia, merupakan masyarakat plural. Keniscayaan ini, diperoleh manakala
ditinjau dari aspek yang melingkupinya, mulai dari etnis, bahasa, budaya hingga
agama. Ini artinya pluralitas merupakan realitas bagi masyarakat Indonesia.[2]
Disisi lain, Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2005 telah resmi mengeluarkan
fatwa, bahwa paham Pluralisme Agama adalah bertentangan dengan Islam dan haram
bagi umat islam memeluknya.[3]
Fenomena
antipluralisme, antiliberalisme, dan antisekulerisme tersebut tampaknya tidak
terjadi hari ini dan di bumi Indonesia, tetapi sudah berlangsung berabad-abad
dan berlangsung diberbagai tempat di dunia muslim. Ia tampaknya telah menjadi
konstruksi yang begitu kukuh dalam masyarakat muslim selama berabad-abad. Nalar
religius mayoritas kaum beragama hari ini masih terus mewarisi kebudayaan
arabia produk abad pertengahan, ketika akal intelektual dikalahkan oleh
teks-teks keagamaan yang dimaknai secara tunggal dan literal, ketika paradigma
teologis “kekuasaan” mengalahkan paradigma teologis “keadilan”, dan ketika
pemaknaan esoteris atas teks-teks keagamaan dihegemoni oleh pemakanaan
eksoteris. Konstruksi ini kemudia diproduksi dan didoktrinkan secara terus
menerus dari generasi ke generasi melalui berbagai media sosial dan pendidikan,
tanpa ada perubahan kearah kemajuan yang berarti bagi kemanusiaan. Alih-alih,
ruang-ruang dialog untuk mengkritik paradigma doktrinal tersebut mampat,
stagnan, malahan justru melahirkan stigma-stigma yang melukai wilayah psikologi
dan fisik, atau bahkan membunuh karakter-karakter manusia.[4]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
rumusan yang hendak disampaikan yaitu:
1. Apa
pengertian Islam dan Pluralisme?
2. Bagaimana
perkembangan Pluralisme di Indonesia?
3. Apa
hubungan Islam dan Pluralisme?
C. Tujuan Makalah
Berdasarkan
rumusan masalah tersebut, maka tujuan Makalah
ini dibuat yaitu:
1. Mengetahui pengertian Islam dan Pluralisme.
2. Mengetahui perkembangan Pluralisme di Indonesia.
3. Mengetahui hubungan Islam
dan Pluralisme.
D.
Manfaat
Diharapkan Penulisan
Makalah ini agar pembaca mengenal dan mengetahui Islam dan Pluralisme.
1.
Bagi Penulis, untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Kebudayaan
Islam dan Kebudayaan Lokal.
2.
Bagi Pembaca, sebagai bahan acuan materi Islam
dan Pluralisme.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Islam dan Pluralisme Agama
Istilah Islam dan Pluralisme
masih sering disalahpahami oleh sebagian orang. Hal ini dapat dilihat dari
semakin menjamurnya kajian internasional tentang Islam dan Pluralisme. Sungguh
sangat mengejutkan, bahwa banyak yang mencoba mendefinisikan Pluralisme agama. Sementara
definisi agama dalam wacana barat mengandung polemik yang tak berkesudahan
dalam berbagi bidang. Sehingga sangat sulit, bahkan hampir mustahil untuk
mendapatkan definisi agama yang diterima semua kalangan. [5]
Prof.
Dr. Harun Nasution mengemukakan bahwa Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya
diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad saw sebagai
Rasul.[6]
Sedangkan, menurut Dr. Muslim Ibrahim yang mengatakan bahwa Islam berarti patuh
dan taat serta berserah diri kepada Allah secara menyeluruh sehingga
terwujudlah “salam” dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.[7]
Islam
adalah agama damai, bukan agama pedang. Hal ini menurut Abd al-Basit dapat
dibuktikan melalui surat-surat Rasulullah kepada para raja pada waktu itu,
antara lain surat kepada Heraclius, Raja Romawi. Dari surat tersebut, dapat
diambil pelajaran bahwa dakwah dengan cara-cara damai dan lembut adalah
karakter dakwah Nabi. Jika Heraclius bersedia memeluk Islam, maka dia
dijanjikan akan mendapat pahala yang berlipat, namun jika menolak maka
ancamannya adalah dosa, bukan ancaman diteror dengan pedang. Dengan demikian
kalangan Barat menuduh Nabi sebagai penebar teror. Kelembutan dakwah nabi
berdasarkan firman Allah, “Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. [Q.S. An Nahl:125]. “Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. [Q.S. Al-'Imran:159]. Dakwah
secara santun pun menjadi ciri khas para sahabat. Dalam sebuah riwayat,
diceritakan Nabi mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman dan bersabda, “Ajaklah mereka dengan hal-hal yang mudah.
Janganlah memberatkan mereka. Berilah mereka kabar gembira dan jangan membuat
mereka lari ketakutan”. Ajaran cinta damai ini tentu sangat bertentangan
dengan tindakan-tindakan kekerasan kaum radikal.[8]
Sedangkan pengertian
pluralisme Agama, berasal dari dua kata yaitu:”pluralisme” dan “agama”. Dalam
bahasa arab diterjemahkan ”al-ta’addudiyah
al-diniyyah” dan dalam bahasa inggris diterjemahkan “religious pluralism”. Karena istilah Pluralisme berasal dari Bahasa
Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk pada kamus
bahasa tersebut. Pluralisme berarti “ jama” atau lebih dari satu. Sedangkan
pluralisme menurut Anis Malik Toha dalam bukunya “Tren Pluralisme Agama” (2005:11)
mempunyai 3 pengertian. pertama,
bermakna kegerejaan, yaitu sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu
dalam struktur kegerejaan. kedua, pengertian
filosofis, berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran
yang mendasarkan lebih dari satu. ketiga,
pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui eksistensi
keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan
menjunjung tinggi aspek perbedaan yang sangat karakteristik dalam
kelompok-kelompok tersebut.[9]
Di dalam Al-Qur’an
terdapat beberapa ayat yang mengisyaratkan bahwa pluralitas merupakan sesuatu
yang alamiah. Allah tidak menghendaki manusia untuk menjadi satu umat saja. “Dan kalau Allah
menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah
menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu
kerjakan”[Q.S.
An Nahl:93]. “Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah
menjadikan mereka satu umat (saja), tetapi Dia memasukkan orang-orang yang
dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zalim tidak ada bagi
mereka seorang pelindungpun dan tidak pula seorang penolong [Q.S. Ash-Shura:8]. Juga
dinyatakan bahwa masing-masing kelompok manusia mempunyai jalan hidup yang
memang cocok untuk mereka. Perbedaan itu memang sesuatu yang alami dan
karenanya yang penting adalah bagaimana masing-masing kelompok dapat berbuat
untuk kebaikan umat manusia.[10]
B.
Perkembangan
Pluralisme di Indonesia
Pemikiran Pluralisme
Agama muncul pada masa yang disebut Masa Pencerahan (Renaissance), tepatnya pada abad XVIII masehi, masa yang sering
disebut sebagai titik permulaan bangkitnya pemikiran moderen. Yaitu masa yang
diwarnai dengan wacana-wacana baru pergulakan pemikiran manusia yang
berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari
kungkungan-kungkungan agama.[11]
Masyarakat Indonesia,
merupakan masyarakat plural. Keniscayaan ini, diperoleh manakala ditinjau dari
aspek yang melingkupinya, mulai dari etnis, bahasa, budaya hingga agama. Ini
artinya pluralitas merupakan realitas bagi masyarakat Indonesia.[12]
Abu Rabi’melihat,
meskipun Islam telah menjadi kekuatan, nilai dalam menumbuhkan etos pluralisme
keagamaan sejak Indonesia merdeka, namun potensi untuk menjadi gerakan sosial
yang kental dengan sentimen anti-Kristennya, masih terbuka lebar. Berbagai
kecenderungan dan pola pemikiran keislaman yang muncul akhir-akhir ini,
menggambarkan posisi Islam yang berbeda-beda dalam berhadapan dengan komunitas
agama lain. Oleh sebab itu, menurutnya, aspirasi politik keagamaan yang
berkembang, akan tetap membuka peluang bagi tumbuhnya gerakan sosial Islam yang
sulit menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, ketebukan dan moderasi. Hal ini
merupakan tantangan yang semakin nyata seiring dengan perkembangan wacana
keagamaan paska moderen.[13]
Menurut kelompok yang
menolak Pluralisme agama, mereka berpendapat agama bahwa “Pluralitas Agama” dan
“Pluralisme Agama” merupakan dua hal yang berbeda. Pluralitas Agama adalah
kondisi dimana berbagai macam agama mewujud secara bersamaan dalam suatu
masyarakat atau negara. Sedangkan Pluralisme Agama adalah suatu paham yang
mengatakan bahwa semua agama sama dan benar. Pluralisme tersebut menjadi tema
penting dalam disiplin sosiologi, teologi, dan filsafat agama yang berkembang
di Barat dan merupakan agenda penting globalisasi. Oleh karena itu, menganggap
Pluralisme Agama sebagai sunatullah adalah
klaim yang berlebihan.[14]
Sedangkan menurut
kelompok yang menerima Pluralisme agama, mereka sepakat bahwa fatwa MUI tentang
haramnya Liberalisme, Sekulerisme, dan Pluralisme, disamping sejumlah fatwa
yang lain, merupakan pengingkaran terhadap realitas kemajemukan yang merupakan “sunnah” dan kehendak Tuhan, mencenderai
demokrasi, melanggar HAM, dan konstitusi Negara Republik Indonesia. Fatwa MUI
juga mereka anggap telah menjegal ilmu pengetahuan dan peradaban, serta
memasungkan kreatifitas dan pemikiran manusia. Dengan begitu, menurut mereka
fatwa-fatwa tersebut bukan hanya merusak citra agama tetapi juga membahayakan
masa depan kemanusiaan dan secara khusus mengancam kebhinekaan negara Kesatuan
Republik Indonesia yang dibangun, disepakati bersama, dengan mengorbankan darah
dimana-mana.[15]
C.
Hubungan
antara Islam dan Pluralisme
Di
dunia Islam, kedudukan agama sedemikian sakralnya, sehingga kritik atasnya
hampir-hampir merupakan sesuatu yang dianggap pantangan. Akan tetapi, melakukan
kritik atas diri sendiri sebagai manusia beriman merupakan suatu keharusan,
ketika perjalanan hidup keimanan ternyata tidak membawa manusia ke keadaan yang
diidealkan dan ketika kenyataan sekuler yang dirasakan “kebenarannya” ternyata
menyimpang atau bahkan bertentangan dengan ajaran keimanan.[16]
Sebagai
sebuah produk budaya, Islam berpotensi untuk dipahami dan diekspresikan dalam
berbagai corak sesuai dengan keberagaman manusia. Dari sejak kehadiranya,
kepelbagaian bahkan sudah terlihat. Dalam sikap individual para sahabat Nabi
Muhammad saw., terdapat orang-orang yang lembut seperti Abu Bakar dan ‘Utsman,
namun juga terdapat orang yang keras seperti ‘Umar dan ‘Ali.[17]
Sehingga bisa terlihat bahwa dalam memahami Islam pun menjadi berbeda-beda dari
masing-masing pemeluknya.
Dalam
tradisi Islam, terdapat elemen-elemen yang ekslusif-intoleran sekaligus
inklusif-toleran. Nalar dogmatis eksklusif senantiasa meyakini dan memonopoli
kebenaran tunggal yang tidak dapat terbagi-bagi. Kebenaran hanya satu, sakral,
statis, dan terjaga sampai hari kiamat.[18]
Sebagaimana dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat
cepat hisab-Nya.” [Q.S. Al 'Imran:19]
Sehingga
muncul anggapan bahwa Islam adalah agama yang paling benar dan agama lain
adalah salah. Ini merupakan pandangan dogmatis arus utama yang didasari oleh
asumsi subjektif bahwa agama merekalah (Islam) yang toleran sementara pemeluk
agama yang lain adalah intoleran. Beginilah realitas dunia Islam, tak
terkecuali di Indonesia, dimana para pemeluk Islam masih terkungkung dalam
fanatisme dan ortodiksi sehingga wacana pluralisme dan inklusivisme masih
dimusihi bahkan diteror.[19]
Nalar
dogmatis eksklusif merupakan nalar yang terbentuk secara hegemonik dalam semua
tradisi agama. Ia sering mengatasnamakan dirinya sebagai otoritas resmi yang
disakralkan. Otoritas resmi begitu gigih mendaku dirinya berhak memvonis benar
atau sesatnya sebuah pemikiran dan aliran. Ia juga secara arogan mengklaim
berhak menentukan hal-hal yang boleh dipikirkan dan yang terlarang dipirkan.
Hal-hal yang terlarang dipikirkan patut disingkirkan oleh otoritas resmi karena
dinilai sesat dan menyesatkan. Otoritas resmi seakan-akan mempunyai stempel
benar dan salah. Pluralisme, liberalisme, dan isme-isme lainnya disesatkan dan
dilarang untuk dipikirkan.[20]
Otoritas
resmi selalu berusaha menjaga kewibawaan Al-Qur’an, hadist, dan simbol-simbol
agama berupa pendapat sahabat dan ulama salaf saleh. Ciri khas otoritas resmi
Islam, misalnya, akan membiarkan orang-orang yang berusaha mengungkapkan
kebrobokan Barat dan otoritas agama lain. Namun, sebaliknya, otoritas resmi islam
secara ironis akan memusuhi siapa saja yang berani mengkritik kewibawaannya.
Inilah arogansi dan intoleransi dalam tradisi agama. Nalar-nalar seperti ini
harus didekonstruksi dan didesakralisasi guna mewujudkan toleransi dan
kebebasan berpendapat.[21]
Tidak
ada artinya meneriakkan slogan toleransi jika tidak dibarengi dengan keadilan
yang berpijak pada upaya menghormati hak-hak orang lain. Kamus-kamus bahasa
mendefinisikan toleransi sebagai “sikap pemikiran dan perilaku yang berlandasan
pada penerimaan terhadap pemikiran dan perilaku orang lain, baik dalam keadaan
bersepakat atau berbeda pendapat dengan kita”. Intinya, toleransi adalah
menghormati orang lain yang berbeda.[22]
Sebagaimana dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada Al Quran, dan di
antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Tuhanmu lebih
mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan (40). Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah:
"Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap
apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu
kerjakan" (41). [Yunus,40-41]
Anjuran
inklusif-toleransi juga tercermin dalam tulisan Ibn Rusyd, “Wajib bagi kita
meneliti apa yang pernah dikatakan oleh para pendahulu kita, tidak peduli
apakah mereka seagama dengan kita atau tidak. Sesungguhnya alat yang sah
dipakai untuk menyembelih (yang diibaratkan seperti metode filsafat) tidak
dipandang apakah berasal dari orang seagama atau tidak. Wajib bagi kita menelitinya,
Jika benar, maka akan kita terima, Dan jika salah, maka kita waspadai.[23]
Gamal
al-Banna[24]- Al-Qur’an
adalah dalil terbesar yang mengafirmasi pluralisme beragama. Al-Qur’an melarang
masing-masing kelompok agama mengklaim umat yang paling utama seraya
merendahkan kelompok agama lain. Kelompok-kelompok agama tidak boleh mengklaim
dirinya adalah ahli surga sementara kelompok lain adalah ahli neraka.
Klaim-klaim seperti ini sama saja merampas hak Allah. Sudah saatnya dai Islam
mengetahui bahwa mereka tidak dituntut mengislamkan non-Muslim. Mereka tidak
berhak mengklaim bahwa selain orang Islam akan masuk neraka karena kunci-kunci
surga dan neraka tidak berada di tangan mereka.[25]
Yang dituntut dari para dai setelah turunnya firman Allah yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah
dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila
kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka
Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. [Q.S. Al
Maidah:105] adalah sekedar menjadi saksi atas manusia. Para dai hanya
bertugas memperkenalkan Islam kepada mereka kemudian membiarkan mereka
menentukan keyakinan mereka sendiri.[26]
BAB
III
PENUTUP
A.
Analisis
Islam
adalah agama yang terbuka, tidak menutup diri, dan memberikan kebebasan
berpikir bagi pemeluknya, serta mengajak pemeluknya untuk senantiasa
berinteraksi antar sesama manusia tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang
lain serta meghimbau untuk senantiasa berdialog mencari kebenaran yang hakiki
dengan pihak lain (non Islam) secara baik-baik.
Disamping
itu, Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural, sehingga sudah menjadi
wajar manakala di Indonesia terjadi hubungan antar berbagai agama yang ingin
hidup rukun. Sehingga sikap pluralis dan toleransi menjadi sebuah senjata
penting untuk lancarnya kehidupan beragama dan bernegara.
B.
Kesimpulan
Pluralisme
Agama di Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang pasti terjadi. Karena
ditinjau dari aspek yang melingkupinya, mulai dari etnis, bahasa, budaya hingga
agama. Ini artinya pluralitas merupakan realitas bagi masyarakat Indonesia.
Sehingga
fatwa-fatwa MUI tentang haramnya liberalisme, sekulerisme, dan pluralisme
adalah fatwa yang bisa merusak citra agama dan juga bisa membahayakan masa
depan kemanusiaan serta secara khusus mengancam kebhinekaan negara Kesatuan
Republik Indonesia yang dibangun, disepakati bersama, dengan mengorbankan darah
dimana-mana.
C.
Saran
Memahami
Islam dan Pluralisme memerlukan kajian yang mendalam agar tidak terjadi
kesalahan pemahaman. Sehingga menjadi penyebab perpecahan umat dan kehidupan
bernegara pun akan terganggu. Oleh sebab itu, belajar terbuka, tidak bersikap
eksklusif adalah langkah awal untuk mempelajari Islam dan Puralisme. Hal ini
sangat penting mengingat Islam adalah agama yang ditujukan untuk semua umat.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemahan.
Ibrahim,
Muslim. Pendidikan Islam untuk Mahasiswa. (Jakarta: Erlangga, 1989).
Machasin. Islam Dinamis Islam Harmonis. (Yogyakarta: LkiS, 2011).
Masduqi, Irwan. Berislam Secara Toleran. (Bandung:
Mizan:2011).
Muhammad, Husain.
Mengaji Pluralisme. (Bandung: Al-Mizan, 2001).
Nasution,
Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. (Jakarta: UI Press, 2001) jilid I.
Toha, Anis
Malik. Tren Pluralisme Agama. (Jakarta: Perspektif, 2006).
Wahid, Salahuddin. Berguru Pada Realitas. (Malang: UIN-Maliki, 2011).
Wahyuninto,
Lusi dan Abd. Qodir Muslim. Memburu Akar
Pluralisme Agama. (Malang: UIN-Maliki Press, 2010).
Zainuddin, M. Pluralisme Agama. (Malang: Maliki-Press,
2010).
[3] Liza Wahyuninto dan Abd. Qodir Muslim, Memburu
Akar Pluralisme Agama (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hal. 41
[6] Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya, jilid I, (Jakarta:
UI Press, 2001), hal .17.
[24] Gamal al-Banna (1920) adalah seorang pemikir Islam yang progresif dari
Mesir. Ia adalah adik bungsu Hasan al-Banna (1906-1949), pendiri gerakan
Ikhwanul Muslimin.
No comments:
Post a Comment