1

loading...

Friday, July 19, 2019

MAKALAH HUBUNGAN ISLAM DAN PLURALISME

MAKALAH HUBUNGAN ISLAM DAN PLURALISME

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Kita menganggap bahwa Indonesia adalah negara religius. Selanjutnya, kita menganggap bahwa orang Indonesia itu dengan sendirinya juga religius, yaitu manusia yang berTuhan. Buktinya setiap tahun orang yang pergi haji dari Indonesia adalah yang terbanyak sedunia. Jumlah yang pergi umroh juga banyak. Rumah ibadah bertambah terus setiap tahun. Suasana Ramadhan selalu semarak dengan aktivitas keagamaan.[1]
Disamping itu, Masyarakat Indonesia, merupakan masyarakat plural. Keniscayaan ini, diperoleh manakala ditinjau dari aspek yang melingkupinya, mulai dari etnis, bahasa, budaya hingga agama. Ini artinya pluralitas merupakan realitas bagi masyarakat Indonesia.[2] Disisi lain, Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2005 telah resmi mengeluarkan fatwa, bahwa paham Pluralisme Agama adalah bertentangan dengan Islam dan haram bagi umat islam memeluknya.[3]
Fenomena antipluralisme, antiliberalisme, dan antisekulerisme tersebut tampaknya tidak terjadi hari ini dan di bumi Indonesia, tetapi sudah berlangsung berabad-abad dan berlangsung diberbagai tempat di dunia muslim. Ia tampaknya telah menjadi konstruksi yang begitu kukuh dalam masyarakat muslim selama berabad-abad. Nalar religius mayoritas kaum beragama hari ini masih terus mewarisi kebudayaan arabia produk abad pertengahan, ketika akal intelektual dikalahkan oleh teks-teks keagamaan yang dimaknai secara tunggal dan literal, ketika paradigma teologis “kekuasaan” mengalahkan paradigma teologis “keadilan”, dan ketika pemaknaan esoteris atas teks-teks keagamaan dihegemoni oleh pemakanaan eksoteris. Konstruksi ini kemudia diproduksi dan didoktrinkan secara terus menerus dari generasi ke generasi melalui berbagai media sosial dan pendidikan, tanpa ada perubahan kearah kemajuan yang berarti bagi kemanusiaan. Alih-alih, ruang-ruang dialog untuk mengkritik paradigma doktrinal tersebut mampat, stagnan, malahan justru melahirkan stigma-stigma yang melukai wilayah psikologi dan fisik, atau bahkan membunuh karakter-karakter manusia.[4]

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan yang hendak disampaikan yaitu:  
    1.    Apa pengertian Islam dan Pluralisme?
    2.    Bagaimana perkembangan Pluralisme di Indonesia?
    3.    Apa hubungan Islam dan Pluralisme?

C. Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan Makalah ini dibuat yaitu:
1.    Mengetahui pengertian Islam dan Pluralisme.
2.    Mengetahui perkembangan Pluralisme di Indonesia.
3.    Mengetahui hubungan Islam dan Pluralisme.

D.    Manfaat
Diharapkan Penulisan Makalah ini agar pembaca mengenal dan mengetahui Islam dan Pluralisme.
1.    Bagi Penulis, untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam dan Kebudayaan Lokal.
2.    Bagi Pembaca, sebagai bahan acuan materi Islam dan Pluralisme.
BAB II
PEMBAHASAN

A.           Pengertian Islam dan Pluralisme Agama

Istilah Islam dan Pluralisme masih sering disalahpahami oleh sebagian orang. Hal ini dapat dilihat dari semakin menjamurnya kajian internasional tentang Islam dan Pluralisme. Sungguh sangat mengejutkan, bahwa banyak yang mencoba mendefinisikan Pluralisme agama. Sementara definisi agama dalam wacana barat mengandung polemik yang tak berkesudahan dalam berbagi bidang. Sehingga sangat sulit, bahkan hampir mustahil untuk mendapatkan definisi agama yang diterima semua kalangan. [5]
Prof. Dr. Harun Nasution mengemukakan bahwa Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad saw sebagai Rasul.[6] Sedangkan, menurut Dr. Muslim Ibrahim yang mengatakan bahwa Islam berarti patuh dan taat serta berserah diri kepada Allah secara menyeluruh sehingga terwujudlah “salam” dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.[7]
Islam adalah agama damai, bukan agama pedang. Hal ini menurut Abd al-Basit dapat dibuktikan melalui surat-surat Rasulullah kepada para raja pada waktu itu, antara lain surat kepada Heraclius, Raja Romawi. Dari surat tersebut, dapat diambil pelajaran bahwa dakwah dengan cara-cara damai dan lembut adalah karakter dakwah Nabi. Jika Heraclius bersedia memeluk Islam, maka dia dijanjikan akan mendapat pahala yang berlipat, namun jika menolak maka ancamannya adalah dosa, bukan ancaman diteror dengan pedang. Dengan demikian kalangan Barat menuduh Nabi sebagai penebar teror. Kelembutan dakwah nabi berdasarkan firman Allah, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. [Q.S. An Nahl:125]. “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. [Q.S. Al-'Imran:159]. Dakwah secara santun pun menjadi ciri khas para sahabat. Dalam sebuah riwayat, diceritakan Nabi mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman dan bersabda, “Ajaklah mereka dengan hal-hal yang mudah. Janganlah memberatkan mereka. Berilah mereka kabar gembira dan jangan membuat mereka lari ketakutan”. Ajaran cinta damai ini tentu sangat bertentangan dengan tindakan-tindakan kekerasan kaum radikal.[8]
Sedangkan pengertian pluralisme Agama, berasal dari dua kata yaitu:”pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa arab diterjemahkan ”al-ta’addudiyah al-diniyyah” dan dalam bahasa inggris diterjemahkan “religious pluralism”. Karena istilah Pluralisme berasal dari Bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk pada kamus bahasa tersebut. Pluralisme berarti “ jama” atau lebih dari satu. Sedangkan pluralisme menurut Anis Malik Toha dalam bukunya “Tren Pluralisme Agama” (2005:11) mempunyai 3 pengertian. pertama, bermakna kegerejaan, yaitu sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu dalam struktur kegerejaan. kedua, pengertian filosofis, berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu. ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui eksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan menjunjung tinggi aspek perbedaan yang sangat karakteristik dalam kelompok-kelompok tersebut.[9]
Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang mengisyaratkan bahwa pluralitas merupakan sesuatu yang alamiah. Allah tidak menghendaki manusia untuk menjadi satu umat saja. “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan”[Q.S. An Nahl:93]. “Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat (saja), tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zalim tidak ada bagi mereka seorang pelindungpun dan tidak pula seorang penolong [Q.S. Ash-Shura:8]. Juga dinyatakan bahwa masing-masing kelompok manusia mempunyai jalan hidup yang memang cocok untuk mereka. Perbedaan itu memang sesuatu yang alami dan karenanya yang penting adalah bagaimana masing-masing kelompok dapat berbuat untuk kebaikan umat manusia.[10]
B.            Perkembangan Pluralisme di Indonesia
Pemikiran Pluralisme Agama muncul pada masa yang disebut Masa Pencerahan (Renaissance), tepatnya pada abad XVIII masehi, masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya pemikiran moderen. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergulakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama.[11]
Masyarakat Indonesia, merupakan masyarakat plural. Keniscayaan ini, diperoleh manakala ditinjau dari aspek yang melingkupinya, mulai dari etnis, bahasa, budaya hingga agama. Ini artinya pluralitas merupakan realitas bagi masyarakat Indonesia.[12]
Abu Rabi’melihat, meskipun Islam telah menjadi kekuatan, nilai dalam menumbuhkan etos pluralisme keagamaan sejak Indonesia merdeka, namun potensi untuk menjadi gerakan sosial yang kental dengan sentimen anti-Kristennya, masih terbuka lebar. Berbagai kecenderungan dan pola pemikiran keislaman yang muncul akhir-akhir ini, menggambarkan posisi Islam yang berbeda-beda dalam berhadapan dengan komunitas agama lain. Oleh sebab itu, menurutnya, aspirasi politik keagamaan yang berkembang, akan tetap membuka peluang bagi tumbuhnya gerakan sosial Islam yang sulit menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, ketebukan dan moderasi. Hal ini merupakan tantangan yang semakin nyata seiring dengan perkembangan wacana keagamaan paska moderen.[13]
Menurut kelompok yang menolak Pluralisme agama, mereka berpendapat agama bahwa “Pluralitas Agama” dan “Pluralisme Agama” merupakan dua hal yang berbeda. Pluralitas Agama adalah kondisi dimana berbagai macam agama mewujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau negara. Sedangkan Pluralisme Agama adalah suatu paham yang mengatakan bahwa semua agama sama dan benar. Pluralisme tersebut menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi, dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan merupakan agenda penting globalisasi. Oleh karena itu, menganggap Pluralisme Agama sebagai sunatullah adalah klaim yang berlebihan.[14]
Sedangkan menurut kelompok yang menerima Pluralisme agama, mereka sepakat bahwa fatwa MUI tentang haramnya Liberalisme, Sekulerisme, dan Pluralisme, disamping sejumlah fatwa yang lain, merupakan pengingkaran terhadap realitas kemajemukan yang merupakan “sunnah” dan kehendak Tuhan, mencenderai demokrasi, melanggar HAM, dan konstitusi Negara Republik Indonesia. Fatwa MUI juga mereka anggap telah menjegal ilmu pengetahuan dan peradaban, serta memasungkan kreatifitas dan pemikiran manusia. Dengan begitu, menurut mereka fatwa-fatwa tersebut bukan hanya merusak citra agama tetapi juga membahayakan masa depan kemanusiaan dan secara khusus mengancam kebhinekaan negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibangun, disepakati bersama, dengan mengorbankan darah dimana-mana.[15]
C.           Hubungan antara Islam dan Pluralisme
Di dunia Islam, kedudukan agama sedemikian sakralnya, sehingga kritik atasnya hampir-hampir merupakan sesuatu yang dianggap pantangan. Akan tetapi, melakukan kritik atas diri sendiri sebagai manusia beriman merupakan suatu keharusan, ketika perjalanan hidup keimanan ternyata tidak membawa manusia ke keadaan yang diidealkan dan ketika kenyataan sekuler yang dirasakan “kebenarannya” ternyata menyimpang atau bahkan bertentangan dengan ajaran keimanan.[16]
Sebagai sebuah produk budaya, Islam berpotensi untuk dipahami dan diekspresikan dalam berbagai corak sesuai dengan keberagaman manusia. Dari sejak kehadiranya, kepelbagaian bahkan sudah terlihat. Dalam sikap individual para sahabat Nabi Muhammad saw., terdapat orang-orang yang lembut seperti Abu Bakar dan ‘Utsman, namun juga terdapat orang yang keras seperti ‘Umar dan ‘Ali.[17] Sehingga bisa terlihat bahwa dalam memahami Islam pun menjadi berbeda-beda dari masing-masing pemeluknya.
Dalam tradisi Islam, terdapat elemen-elemen yang ekslusif-intoleran sekaligus inklusif-toleran. Nalar dogmatis eksklusif senantiasa meyakini dan memonopoli kebenaran tunggal yang tidak dapat terbagi-bagi. Kebenaran hanya satu, sakral, statis, dan terjaga sampai hari kiamat.[18] Sebagaimana dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” [Q.S. Al 'Imran:19]
Sehingga muncul anggapan bahwa Islam adalah agama yang paling benar dan agama lain adalah salah. Ini merupakan pandangan dogmatis arus utama yang didasari oleh asumsi subjektif bahwa agama merekalah (Islam) yang toleran sementara pemeluk agama yang lain adalah intoleran. Beginilah realitas dunia Islam, tak terkecuali di Indonesia, dimana para pemeluk Islam masih terkungkung dalam fanatisme dan ortodiksi sehingga wacana pluralisme dan inklusivisme masih dimusihi bahkan diteror.[19]
Nalar dogmatis eksklusif merupakan nalar yang terbentuk secara hegemonik dalam semua tradisi agama. Ia sering mengatasnamakan dirinya sebagai otoritas resmi yang disakralkan. Otoritas resmi begitu gigih mendaku dirinya berhak memvonis benar atau sesatnya sebuah pemikiran dan aliran. Ia juga secara arogan mengklaim berhak menentukan hal-hal yang boleh dipikirkan dan yang terlarang dipirkan. Hal-hal yang terlarang dipikirkan patut disingkirkan oleh otoritas resmi karena dinilai sesat dan menyesatkan. Otoritas resmi seakan-akan mempunyai stempel benar dan salah. Pluralisme, liberalisme, dan isme-isme lainnya disesatkan dan dilarang untuk dipikirkan.[20]
Otoritas resmi selalu berusaha menjaga kewibawaan Al-Qur’an, hadist, dan simbol-simbol agama berupa pendapat sahabat dan ulama salaf saleh. Ciri khas otoritas resmi Islam, misalnya, akan membiarkan orang-orang yang berusaha mengungkapkan kebrobokan Barat dan otoritas agama lain. Namun, sebaliknya, otoritas resmi islam secara ironis akan memusuhi siapa saja yang berani mengkritik kewibawaannya. Inilah arogansi dan intoleransi dalam tradisi agama. Nalar-nalar seperti ini harus didekonstruksi dan didesakralisasi guna mewujudkan toleransi dan kebebasan berpendapat.[21]
Tidak ada artinya meneriakkan slogan toleransi jika tidak dibarengi dengan keadilan yang berpijak pada upaya menghormati hak-hak orang lain. Kamus-kamus bahasa mendefinisikan toleransi sebagai “sikap pemikiran dan perilaku yang berlandasan pada penerimaan terhadap pemikiran dan perilaku orang lain, baik dalam keadaan bersepakat atau berbeda pendapat dengan kita”. Intinya, toleransi adalah menghormati orang lain yang berbeda.[22] Sebagaimana dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada Al Quran, dan di antaranya ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang berbuat kerusakan (40).  Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah: "Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan" (41). [Yunus,40-41]
Anjuran inklusif-toleransi juga tercermin dalam tulisan Ibn Rusyd, “Wajib bagi kita meneliti apa yang pernah dikatakan oleh para pendahulu kita, tidak peduli apakah mereka seagama dengan kita atau tidak. Sesungguhnya alat yang sah dipakai untuk menyembelih (yang diibaratkan seperti metode filsafat) tidak dipandang apakah berasal dari orang seagama atau tidak. Wajib bagi kita menelitinya, Jika benar, maka akan kita terima, Dan jika salah, maka kita waspadai.[23]
Gamal al-Banna[24]- Al-Qur’an adalah dalil terbesar yang mengafirmasi pluralisme beragama. Al-Qur’an melarang masing-masing kelompok agama mengklaim umat yang paling utama seraya merendahkan kelompok agama lain. Kelompok-kelompok agama tidak boleh mengklaim dirinya adalah ahli surga sementara kelompok lain adalah ahli neraka. Klaim-klaim seperti ini sama saja merampas hak Allah. Sudah saatnya dai Islam mengetahui bahwa mereka tidak dituntut mengislamkan non-Muslim. Mereka tidak berhak mengklaim bahwa selain orang Islam akan masuk neraka karena kunci-kunci surga dan neraka tidak berada di tangan mereka.[25] Yang dituntut dari para dai setelah turunnya firman Allah yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. [Q.S. Al Maidah:105] adalah sekedar menjadi saksi atas manusia. Para dai hanya bertugas memperkenalkan Islam kepada mereka kemudian membiarkan mereka menentukan keyakinan mereka sendiri.[26]
BAB III
PENUTUP
A.           Analisis

Islam adalah agama yang terbuka, tidak menutup diri, dan memberikan kebebasan berpikir bagi pemeluknya, serta mengajak pemeluknya untuk senantiasa berinteraksi antar sesama manusia tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang lain serta meghimbau untuk senantiasa berdialog mencari kebenaran yang hakiki dengan pihak lain (non Islam) secara baik-baik.
Disamping itu, Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural, sehingga sudah menjadi wajar manakala di Indonesia terjadi hubungan antar berbagai agama yang ingin hidup rukun. Sehingga sikap pluralis dan toleransi menjadi sebuah senjata penting untuk lancarnya kehidupan beragama dan bernegara.

B.            Kesimpulan

Pluralisme Agama di Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang pasti terjadi. Karena ditinjau dari aspek yang melingkupinya, mulai dari etnis, bahasa, budaya hingga agama. Ini artinya pluralitas merupakan realitas bagi masyarakat Indonesia.
Sehingga fatwa-fatwa MUI tentang haramnya liberalisme, sekulerisme, dan pluralisme adalah fatwa yang bisa merusak citra agama dan juga bisa membahayakan masa depan kemanusiaan serta secara khusus mengancam kebhinekaan negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibangun, disepakati bersama, dengan mengorbankan darah dimana-mana.

C.           Saran

Memahami Islam dan Pluralisme memerlukan kajian yang mendalam agar tidak terjadi kesalahan pemahaman. Sehingga menjadi penyebab perpecahan umat dan kehidupan bernegara pun akan terganggu. Oleh sebab itu, belajar terbuka, tidak bersikap eksklusif adalah langkah awal untuk mempelajari Islam dan Puralisme. Hal ini sangat penting mengingat Islam adalah agama yang ditujukan untuk semua umat.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan terjemahan.
Ibrahim, Muslim. Pendidikan Islam untuk Mahasiswa. (Jakarta: Erlangga, 1989).
Machasin. Islam Dinamis Islam Harmonis. (Yogyakarta: LkiS, 2011).
Masduqi, Irwan. Berislam Secara Toleran. (Bandung: Mizan:2011).
Muhammad, Husain. Mengaji Pluralisme. (Bandung: Al-Mizan, 2001).
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. (Jakarta: UI Press, 2001) jilid I.
Toha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama. (Jakarta: Perspektif, 2006).
Wahid, Salahuddin. Berguru Pada Realitas. (Malang: UIN-Maliki, 2011).
Wahyuninto, Lusi dan Abd. Qodir Muslim. Memburu Akar Pluralisme Agama. (Malang: UIN-Maliki Press, 2010).
Zainuddin, M. Pluralisme Agama. (Malang: Maliki-Press, 2010).



[1] K.H. Salahuddin Wahid, Berguru Pada Realitas, (Malang: UIN-Maliki, 2011), hal. 3.
[2] Dr. H. M. Zainuddin, M.A., Pluralisme Agama, (Malang: Maliki-Press, 2010), hal. 1.
[3] Liza Wahyuninto dan Abd. Qodir Muslim, Memburu Akar Pluralisme Agama (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hal. 41
[4] KH. Husain Muhammad, Mengaji Pluralisme, (Bandung: Al-Mizan, 2001), hal. 62.
[5] Liza Wahyuninto dan Abd. Qodir Muslim, Memburu Akar Pluralisme Agama, hal. 9.
[6] Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid I, (Jakarta: UI Press, 2001), hal .17.
[7] Dr. Muslim Ibrahim, MA, Pendidikan Islam untuk Mahasiswa, (Jakarta: Erlangga, 1989), hal. 13.
[8] Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran, (Bandung: Mizan:2011), hal. 231-232
[9] Liza Wahyuninto dan Abd. Qodir Muslim, Memburu Akar Pluralisme Agama, hal. 8.
[10] Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis, (Yogyakarta: LkiS, 2011), hal. 254-255
[11] Dr. Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta: Perspektif, 2006), hal. 16.
[12] Dr. H. M. Zainuddin, M.A., Pluralisme Agama, hal. 1.
[13] Dr. H. M. Zainuddin, M.A., Pluralisme Agama, hal 2.
[14] Dr. H. M. Zainuddin, M.A., Pluralisme Agama, hal 4.
[15] KH. Husain Muhammad, Mengaji Pluralisme,  hal. 60.
[16] Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis, hal. 43-44
[17] Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis, hal 130
[18] Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran, hal. 52-53
[19] Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran, hal. 47-48
[20] Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran, hal. 51
[21] Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran, hal. 51
[22] Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran, hal. 60
[23] Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran, hal. 60
[24] Gamal al-Banna (1920) adalah seorang pemikir Islam yang progresif dari Mesir. Ia adalah adik bungsu Hasan al-Banna (1906-1949), pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin.
[25] Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran, hal. 71
[26] Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran, hal. 71

No comments:

Post a Comment