MAKALAH HUKUM QA'IDAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Qawa’id
fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah suatu hukum kully (menyeluruh) yang
mencakup intisari hukum-hukum fiqih. Qawa’id fiqhiyah mempunyai beberapa
kaidah, diantaranya adalah seperti pembahasan dalam makalah ini yaitu al-‘adah
al-muhakkamah (adat atau kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan
suatu hukum) yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar dalam menetapkan
suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih kita akan mengetahui segala permasalahan
fiqih, karena kaidah fiqih menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih
sehingga dapat dengan bijak dalam menerapkan hukum fiqih dalam waktu,
tepat, situasi dan kondisi yang seringkali berubah-ubah. Manusia
dalam kehidupannya banyak memiliki kebiasaan atau tradisi yang dikenal luas
dilingkungannya. Tradisi ini dapat berupa perkataan perbuatan yang berlaku yang
disebut “urf”. Kebiasaan-kebiasaan seperti itu, menjadi bahan pertimbangan
ketika akan menetapkan hukum dalam masalah tidak ada ketegasan dalam al-Qur’an
maupun al-Sunnah.[1]
Dalam menyikapi kompleksitas
persoalan yang berkembang ditengah-tengah umat membutuhkan jawaban yang logis
dan syari. Masalahnya tidak semua kasus baru yang muncul ditegaskan dalam teks
secara tersurat, baik nash al-Qur’an maupun al-Sunnah. Disaat yang sama, kejadian
dan peristiwa terus bertambah seiringi perjalanan waktu. Dorongan kuat untuk
berijtihad dan beranalogi menggunakan kaedah-kaedah yang didasari kedua sumber
hukum islam akhirnya mutlak diperlukan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa Definisi
Qa’idah ?
2.
Bagaimana Dasar
Hukum Qa’idah ?
3.
Bagaimana
Masalah-masalah terkait dengan Qa’idah?
C.
Tujuan
1. Untuk
Mengetahui Definisi Qa’idah
2. Untuk
Mengetahui Dasar Hukum Qa’idah
3. Untuk
Mengetahui masalah-masalah terkait dengan Qa’idah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Qa’idah
Definisi al-‘adah dalam kamus bahasa Arab bermaksud
sesuatu yang berulang-ulang. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu sebagai
kebiasaan. Abu Latif mendefenisikan adat sebagaimana yang dipahami dari
perkataan Arab: “Sesuatu perkataan dan perbuatan yang terus menerus dilakukan
oleh manusia. Yaitu apa yang penting iya dapat diterima oleh akal manusia dan
iya dilakukan secara berulang-ulang.” Sedangkan Definisi al-‘urf menurut kamus bahasa Arab semakna dengan ma’ruf yaitu sesuatu di
ketahui manusia dari pada kebaikan dan mereka menerimanya dengan itmi’nan
(tenang,nyaman). Didalam bahasa melayu, diterjemahkan sebagai sesutu yang
dipahami sebagai adat seperti adat pepatih, adat melayu dan sebagainya. Karena
adat disebut dikenali dalam kalangan Minangkabau dan suku lainnya.
Dalam
mendefinikan kata “al-‘adah”, terdapat perbedaan pendapat dikalangsn psrs
ulama, di antaranya:[2]
a. Al-Zarka
“Al-‘adah adalah
sesuatu yang terus menerus(kontinu) dilakukan, diterima oleh tabiat yang sehat,
serta terjadi secara berulang-ulang.”
b. Ali
Haidar
“Al-,adah adalah
sesuatu yang menetap di dalam hati , dan terulang-ulangnya sesuatu itu bisa di
terima oleh orang-orang yang memiliki tabiat yang sehat.”
c. Al-hindi
“Al-‘adah adalah sesutu
yang menetap dalam hati, berupa perkara (perbuatan) yang terjadi
berulang-ulang, serta diterima oleh tabiat yang sehat.”
Al-‘adah secara bahasa di ambil dari
mashdar al-‘audu atau al-mu’awadah yang artinya adalah “berulang-ulang kembali”.
Jadi al-‘adah adalah sebuah nama Al-‘adah secara bahasa di ambil dari mashdar
al-‘audu atau al-mu’awadah yang artinya adalah “berulang-ulang kembali”. Jadi
al-‘adah adalah sebuah nama yang diperuntukkan untuk sebuah perbuatan yang di
lakukan berulang-ulang, sehingga karena seringnya perbuatan itu jadi sangat
perlu dilakukan, bahkan karena mudahnya sampai menyerupai tabiat atau karakter
yang alamiah.
a yang diperuntukkan
untuk sebuah perbuatan yang di lakukan berulang-ulang, sehingga karena
seringnya perbuatan itu jadi sangat perlu dilakukan, bahkan karena mudahnya
sampai menyerupai tabiat atau karakter yang alamiah.
Al-‘adah atau al-‘urf adalah sesutu
yang memiliki suatu kesamaan dengan apa yang di anggap benar oleh kalangan ahli
agama yang memiliki akal sehat (ulil albab) dan mereka tidak mengingkarinya. Menurut
al-Zarka, sesuatu kebiasaan, baik yang berlaku secara umum (adat al-‘am) atau
yang berlaku secara khusus (adat al-Khas) dapat dijadikan penentu didalam
menetapkan suatu hukum sar’i yang tentunya hukum sya’i yang tidak bertentangan
dengan ketentuan nash.
Didalam bahasa syar’i, antara kata
al-‘adat dan al-‘urf tidak terdapat perbedaan. Akan tetapi perbedaan antara
keduanya terjadi dikalangan para ulama, namun pada hakikatnya keduanya memiliki
unsur pengertian yang serupa yaitu keduanya adalah sesuatu yang dilakukan
berulang-ulang dan disepakati serta di
lakukan oleh suatu komunitas tertentu secara umum. Al-‘adah lebih luas
cakupannya (umum) bila dibandingkan dengan al-‘urf, maka setiap ‘urf pasti
disebut al-‘adah, dan tidak semua al-‘adah disebut ‘urf.
B.
Dasar
Hukum Qa’idah
·
Dasar Hukum
Qa’idah didalam Al-Qur’an:
Dari macam-macam ‘urf sebagaimana telah diuraikan di
atas, diketahui bahwa meskipun ‘urf merupakan suatu kebiasaan (adat) yang
berlaku dan dilakukan secara komunal oleh masyarakat tetapi tidak semua adat
yang berlaku itu dapat diterima sebagai landasan hukum, Satria Effendi menjelaskan
argumennya yang dapat menjadikan ‘urf sebagai landasan hukum, diantaranya
adalah firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 199 yang berbunyi :
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ
الْجَاهِلِينَ
“Jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang
yang bodoh.”
Para ulama Ushul Fiqh sependapat bahwa
‘urf dipahami sebagai suatu yang baik dan menjadi kebiasaan masyarakat. Oleh
sebab itu, ayat ini dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang
telah dianggap baik sehingga menjadi suatu kebiasaan di dalam masyarakat.
Pada dasarnya, syari’at islam sejak awal
banyak menampung dan mengakui adat yang baik dalam masyarakat selama tradisi
itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Kedatangan islam tidak serta merta menghapuskan tradisi yang
telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara selektif islam menjaga keutuhan
tradisi itu, namun ada pula yang dihapuskan. Contoh, kegiatan mudharabah (bagi
untung) dalam perdagangan yang sudah berkembang pada masyarakat sebelum islam.
Adat
pada bangsa Arab sebelum islam merupakan qa’idah asasi bagi setiap
kehidupannya, baik mengenai keagamaan, akhlak,penghidupan, perdagangan ataupun
mengenai macam-macam perbuatan. Setelah islam hadir, maka yang menjadi azas
hukum bangsa arab berganti dengan aturan atau nash yang berdasarkan kepada
al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh sebab itu, maka fungsi adat menjadi pudar. Hanya
saja ada beberapa adat yang dimasukkan dalam kontruksi hukum islam, di
antaranya adalah tentang takaran gandum yang kemudian menjadi hukum dalam jual
beli.
Dalam uraian tentang kehujjahan ‘urf ini,
dapat disimpulkan bahwa diterimanya ‘urf sebagai landasan pembentukan hukum islam
memberi peluang luas bagi dinamisasi hukum islam. Sebab, disamping banyak
masalah-masalah yang tertampung oleh masalah adat ini, maka tidak diingkari
adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan hukum waktu dan tempat. Contoh,
al-Qur’an menjelaskan pada surat al-Baqoarah ayat 233:[3]
وَإِنْ ۗعَلَيْهِمَجُنَاحَ فَلَا وَتَشَاوُرٍ مِنْهُمَا تَرَاضٍ عَنْ فِصَالًا أَرَادَا فَإِنْ
آتَيْتُمْ مَا سَلَّمْتُمْ إِذَا عَلَيْكُمْ جُنَاحَ فَلأَوْلَادَكُمْ تَسْتَرْضِعُوا أَنْ أَرَدْتُمْ
بَصِيرٌ تَعْمَلُونَ بِمَا اللَّهَ أَنَّ وَاعْلَمُوا اللَّهَ وَاتَّقُوا ۗبِالْمَعْرُوفِ
“Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin
anak-anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut.
Ayat tersebut tidak menjelaskan beberapa
kadar kepatutan imbalan yang harus diberikan kepada orang yang menyusukan
anaknya. Untuk mengoperasionalisasikan ayat ini, perlu merujuk kepada ayat yang
berlaku dalam satu masyarakat tempat iya berada. Hal ini juga berlaku pada
kewajiban membayar upah terhadap pekerjaan lainnya, karena tidak ada ketentuan
nash yang menyebutkan nominal yang harus diberikan, maka perlu diperhatikan
adat.
Firman Allah dalam al-Qur’an surat
al-Baqarah ayat 228:
مَا يَكْتُمْنَ أَنْ لَهُنَّ يَحِلُّ وَلَا ۗقُرُوءٍ ثَلَاثَةَ بِأَنْفُسِهِنَّ يَتَرَبَّصْنَ وَالْمُطَلَّقَاتُ
أَحَقُّ وَبُعُولَتُهُنَّ ۗالْآخِرِ وَالْيَوْمِ بِاللَّهِ يُؤْمِنَّ كُنَّ إِنْ أَرْحَامِهِنَّ فِي اللَّهُ خَلَقَ
ۖبِالْمَعْرُوفِ عَلَيْهِنَّ الَّذِي مِثْلُ وَلَهُنَّ ۗإِصْلَاحًا أَرَادُوا إِنْ ذَٰلِكَ فِي بِرَدِّهِنَّ
حَكِيمٌ عَزِيزٌ وَاللَّهُ ۗدَرَجَةٌ عَلَيْهِنَّ وَلِلرِّجَالِ
“Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri ( menunggu) tiga kali quru’, tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang dicptakan Allah dalam rahinny, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghedaki ishlah. Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf, akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada
istrinya. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana. (al-Baqarah:228)
Firman
Allah dalam surat an-nisa ayat 19:
تَعْضُلُوهُنَّ وَلَا ۗكَرْهًا النِّسَاءَ تَرِثُوا أَنْ لَكُمْ يَحِلُّ لَآمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
وَعَاشِرُوهُنَّ ۚمُبَيِّنَةٍ بِفَاحِشَةٍ يَأْتِينَ أَنْ إِلَّا آتَيْتُمُوهُنَّ مَا بِبَعْضِ لِتَذْهَبُوا
خَيْرًا فِيهِ اللَّهُ وَيَجْعَلَ شَيْئًا تَكْرَهُوا أَنْ فَعَسَىٰ كَرِهْتُمُوهُنَّ نْ فَإِۚبِالْمَعْرُوفِ كَثِيرًا
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal
bagi kamu mempusakai wanita dengan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan patut. Kemudian bils kami
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak.”(An-nisa: 19)
Dalam
konteks hukum islam, para ulama berpendapat bahwa hanya ‘urf yang sahih sajalah
yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum. Beberapa ulama yang mendasarkan
ketetapan hukumnya pada ‘urf antara lain ulama malikiyah menetapkan hukum
berdasarkan perbuatan-perbuatan penduduk Madinah. ‘Urf shahih tentulah harus
dilestarikan dalam kaitannya dengan upaya pembentukan hukum dalam proses
peradilan. Sebagaimana qa’idah fiqh mengatakan: “ al-Adatu Muhakkamah” (Adat
merupakan hukum).[4]
Adat, baik yang bersifat umum maupun khusus bisa dijadikan dasar hukum untuk
menetapkan ketentuan hukum syari’at. Sejalan dengan ini Abdul Wahhab Khallaf
menulis adat adalah syari’ah muhakkamah dan berdasarkan syara’ ‘urf itu mempunyai i’tibar.[5]
Berkenan dengan ‘urf fasid, para ulama
telah sepakat untuk tidak harus mempertahankanya. Hal ini disebabkan penerimaan
‘urf fasid berarti menetang syara’. Jika terdapat kebiasaan dalam msyarakat
menyediakan minuman keras dalam satu pesta, pinjam-meminjam dengan riba,
tukar-menukar istri, sogok-menyogok untuk kelancaran urusan dan lainnya yang
berdampak negatif, maka hal ini tidak bisa dipakai sebagai ‘urf.
·
Dasar Hukum
Qa’idah didalam Hadits:
مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ
عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ
سَيْءٌ
“Apa
yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan
apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun
digolongkan sebagai perkara yang buruk” (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani
dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).
Macam-macam ‘urf
Menurut Abdul Wahab Khallaf, ‘urf
perbuatan maupun perkataan terbagi kepada dua kelompok yaitu ‘urf shahih dan
‘urf fasid dengan penjelasan sebagai berikut:
1. ‘Urf Shahih
‘Urf Shahih adalah segala sesuatu yang
sudah di kenal ummat manusia yang tidak berlawanan dengan dalil syara’. Dan ia
tidak menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban. Muhammad Abu Zahrah
membagi jenis ‘Urf ini menjadi dua yaitu:
a. ‘Urf ‘Am (Umum)
yang telah berlaku umum diseluruh masyarakat tanpa memandang kenyataan di masa
lalu. Contohnya adalah mandi di kolam, memasak dengan kompor, penumpang
angkutan umum yang bercampur antara laki-laki dan perempuan dan mencuci dengan
sabun.
b. ‘Urf Khas (Khusus)
yaitu ‘Urf yang berlaku dan dikenal disuatu tempat atau masyarakat tertentu.
Contohnya dilingkungan masyarakat Rejang terdapat beberapa kata yang mengandung
arti positif, tapi dalam bahasa Bengkulu selatan mempunyai arti negatif.
2. ‘Urf Fasid
‘Urf fasid adalah ‘urf yyang jelek dan tidak bisa
diterima (mardud) karena bertentangan dengan syari’at. Dari pendapat ini dapat
diketahui bahwa setiap kebiasaan yang menghalalkan yang diharamkan Allah dan
mengandung maksiat termasuk kedalam jenis ini. Contohnya: Kebiasaan masyarakat
menggunakan minuman kersa pada suatu pesta resmi dan menyampaikan pendapat
secara emosional dan anarkis. Berdasarkan pembagian ‘urf diatas, dapat
disimpulkan bahwa:
Pertama, ditinjau
dari bentuknya, maka ‘urf terdiri dari:
a. ‘Urf
berupa perkataan (Qauliyah). Contohnya adalah kata makanan ringan, dalam hal
ini masyarakat mengenal bahwa makanan kue adalah termasuk makanan ringan.
b. ‘Urf
berupa perbuatan (al-fi’li). Contohnya adalah perbuatan jual-beli dalam
masyarakat tanpa menyebutkan akad jual-beli.
Kedua,
ditinjau
dari segi nilai, maka ‘urf terdiri dari: ‘urf sahih yang tidak bertentangan
dengan syara’, dan ‘urf fasid yang tidak bermanfaat dan banyak berseberangan
dengan dalil syara’.
Ketiga,
ditinjau
dari luas wilayah berlakunya, ‘urf terdiri dari ‘urf ‘am yang berlaku secara
umum dalam wilayah yang luas. Contohnya menggunakan kendaraan tanpa perlu minta
izin kepada pemilik pabrik kendaraan itu. Dan berbelanja ke pasar tanpa
memerlukan saksi dalam transaksi. Dan ‘urf khas yang berlaku pada suatu wilayah
atau sekelompok masyarakat saja misalnya menggunakan kain sarung bagi
masyarakat melayu Bengkulu pada acara
pernikahan.
Adapun syarat ‘urf yang dapat diterima
adalah:
a. Tidak
ada dalil khusu tentang suatu masalah baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah.
b. Tidak
bertentangan dengan hukum syara’
c. Bersifat
massal dan tidak dilakukan oleh beberapa serta tidak menimbulkan kesulitan atau
menyebabkan kesempitan.
d. Tidak
ada pihak yang berbeda keinginannya dengan ‘urf.
Contohnyam, adat yang
berlaku di masyarakat bahwa suami isteri yang baru menikah harus tetap tinggal
dirumah orang tua isteri selama satu bulan, namun karena telah ada kesepakatan
maka pasangan suami isteri itu, maka diperbolehkan untuk tinggal di tempat lain
tanpa harus menunggu satu bulan. Dalam masalah ini, yang berlaku adalah
kesepakatan suami isteri tersebut, walaupun berlawanan dengan ‘urf.
C.
Masalah-masalah
Terkait dengan Qa’idah
Al-‘adah atau kebiasaan yang diamalkan olehh manusia
boleh dan bisa saja berubah dari masa ke masa dan dari generasi ke generasi,
malah dari satu tempat kesatu tempat yang lain, contohnya dalam bidang
jual-beli seperti yang disebutkan, kebiasaan yang diamalkan oleh generasi hari
ini menggunakan alat takaran dan timbangan dalam kilogram telah berbeda dari
pada generasi terdahulu.
Begitu juga kebiasaan (al-‘adah) pada suatu masa,
pada awalnya mereka berjual-beli dengan menyatakan ijab dan qabul, kemudian
berubah kepada bai’ al-mu’atah (bertukar tangan) saja. Kebiasaan kini, orang
mulai banyak membayar tunai dengan kartu kredit atau debit, tetapi tidak
mustahil datang suatu masa ketika orang tidak lagi menggunakan tunai langsung.
Sealain itu, saat ini juga dikenal jual beli saham yang sifatnya fluktuatif
karena yang dihargai adalah kinerja suatu perusahaan dan prospeknya dimasa mendatang.
Padahal, jual-beli dahulu dilakukan serah terima antara barang dengan barang
(barter), barang denga uang, dan barang atau uang dengan jasa. Inilah
contoh-contoh kebiasaan (al-‘adah) yang akan berubah-ubah mengikuti dinamika
zaman, keadaan, dan tempat. Oleh sebab itu, penggunaan kaedah tampak jelas dan
dominan pada bidang muamalat.
Menurutahli Ushul Fiqh, ‘urf adalah sesuatu yang
telah saling dikenal oleh manusia dan mereka menjadikannya tradisi. Salah satu
isu yang terkait dengan kaedah tersebut ialah soal sifat merata yang harus ada
pada sesuatu yang telah dikatakan menjadi ‘adat/’urf. Sesuatu itu disebut
‘adat/’urf kalau ia sudah dan terus berlaku secara merata pada semua anggota
masyarakat dari millieu yang bersangkutan. Sebaliknya, jika ia hanya berlaku
pada beberapa orang saja maka ia tidak bisa disebut sebagai ‘adat/’urf.
Isu lain yang terkait ialah soal apakah ‘adat/’urf
itu bisa berkedudukan sebagai syarat
pada suatu akad. Misalnya, ‘urf/’adat masyarakat didaerah A ialah memetik
ceremai sebelum matang: apakah ‘adat/’urf itu berkedudukan sebagai syarat
sehingga jual-belinya sah tanpa menyebut syarat pemetikan iu.
Dalam hal ini, ada dua pendapatm yaitu pendapat yang
mengiyakan atas pertanyaan itu dan pendapat yang mengasikkannya. Imam al-Qaffal
adalah salah seorang yang mendukung pendapat pertama tersebut yakni ‘adat/’urf
berkedudukan sebagai syarat pada suatu akad. Sementara Jumhur Ulama berpendapat
sebaliknya, yakni ‘adat/’urf tidak bisa berkedudukan sebagai syarat pada suatu
akad.
Isu lain yang terkait ialah soal ‘adat/’urf yang
berlaku dalam bahasa, apakah ‘adat/’urf yang pertama kali ada atau yang terkait
kali ada. Dalam hal ini, yang dijadikan
pegangan ialah ‘urf/’adat yang pertama kali ada. Isu lain yang terkait dengan
masalah di atas ialah soal kaedah: Maksud kaedah ini ialah bahwa setiap
ketentuan hukum syara’ yang tidak bisa dirujuk kepada sumber syara’ dan bahasa,
maka ia harus dirujukkan kepada ‘adat/’urf.
Contoh-contoh
Penetapatan Hukum Berdasarkan ‘Adat/’Urf
Banyak sekali masalah hukum yang
ditetapkan berdasarkan ‘adat/’urf. Berikut ini sebagian contoh yang
dikelompokkan menjadi dua kategori.
1.
Kategori
Ibadat
Masalah-masalah ibadat
yang dasar rujukannya ‘adat/’urf,antara lain:
-
Masalah usia
mulai haid bagi wanita dan usia baligh
-
Masalah masa
minimal, masa kebiasaan, dan masa maksimal bagi haid, nifas, serta suci
-
Masalah kriteria
sedikit dan banyak bagi perbuatan –perbuatan yang merusak shalat
-
Masalah kriteria
sedikit dan banyak pada najis yang dimaafkan
-
Masalah kriteria
lama dan singkat berkenaan dengan pelaksanaan shalat jum’at dan Khutbahnya
(jarak anatara keduanya).
2.
Kategori
Muamalat
Masalah-masalah
muamalat yang penetapan hukumnya berdasarkan ‘adat/’urf, antara lain:
-
Masalah kriteria
lama dan singkatnya masa penundaan pengembalian barang yang bercacat yang
berakibat barang itu tidak bisa dikembalikan lagi oleh pembelinya.
-
Masalah
mengambil buah-buahan yang jatuh dari pohonnya.
-
Masalah kriteria
kelayakan tempat penyimpanan barang/harta yang menjadi objek curian.
-
Masalah upah
buruh dan mandor berkaitan dengan beban kerja dan tanggung jawab.
-
Masalah
timbangan dan takaran sesuatu yang tidak ada penjelasannya dari Nabi SAW.
D.
Qa’idah-qa’idah
Cabang
Pertama:
اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ
العَمَلُ بِهَا
“Apa yang dilakukan oleh masyarakat secara umum,bisa dijadikan hujjah
(alasan/argument/dalil) yang wajib diamalkan”
Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat
kebiasaan di masyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat
menaatinya.
Contoh: Apabila tidak ada perjanjian antara sopir truk
dan kuli mengenai menaikkan dan menurunkan batu bata, maka sopir diharuskan
membayar ongkos sebesar kebiasaan yang berlaku.
Kedua:
اِنَّمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ اِذَا
اضْطَرَدَتْ اَو غَلَبَتْ
“Al-‘adat yang diakui (oleh syar’i)
hanyalah apabila langsung terus menerus dan berlaku umum”
Dalam masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang
dapat diterima sebagai adat kebiasaan, apabila perbuatan atau perkataan
tersebut sering berlakunya, atau dengan kata lain sering berlakunya itu sebagai
suatu syarat (salah satu syarat) bagi suatu adat untuk dapat dijadikan sebagai
dasar hukum.
Contohnya:
Seseorang berlangganan fasilitas layanan internet dengan membayar sejumlah uang
setiap bulannya kepada operator perusahaan jaringan telekomunikasi tertentu.
Maka jika akses internet terhenti karena kesalahan operator walaupun tidak
disengaja, si pelanggan dapat menuntut ganti rugi atau kompensasi kepada
perusahaan tersebut.
Ketiga:
الْمَعْرُوْفُ بَيْنَ تُجَّارِ كَالْمَشْرُوْطِ
بَيْنَهُمْ
“Sesuatu yang sudah diketahui oleh kalangan pedagang adalah sama dengan
sesuatu yang disyaratkan di kalangan mereka”. Sebenarnya penerapan dari qa’idah
ini tidaklah jauh berbeda dari qa’idah sebelumnya. Hanya saja menurut al-Zarqa,
qa’idah ini lebih terfokus pada adat komunitas pedagang. Misalnya, seorang
pedagang menjual dagangan, dan kebiasaan yang berlaku disana adalah pembayaran
suatu barang tidak dengan kontan.
Keempat:
التَّعْيِيْنُ باِلْعُرْفِ كَالتَّعْيِيْنِ
بِالنَّص
“Sesuatu yang ditentukan oleh kebiasaan umum, sama
dengan sesuatu yang ditentukan oleh dalil nash” Penetapan suatu hukum tertentu yang didasarkan pada ‘urf dan telah memenuhi
syarat-syarat sebagai dasar hukum, maka kedudukannya sama dengan penetapan
suatu hukum yang didasarkan pada nash.
Contohnya: Memanfaatkan atau memakai barang-barang yang disewa, dipinjam
atau dititipkan yang tidak dijelaskan pada waktu akad. Maka boleh dan tidaknya
pemanfaatan atas barang tersebut, dikembalikan pada adat kebiasaan yang
berlaku.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwasannya
Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab
terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan
al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf adalah Apa yang dianggap baik dan benar
oleh manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi
kebiasaan. Istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek
yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek
pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya.
Di
samping itu adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf
harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat
aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. persamaannya,
adat dan al-’Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal
sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang dan sesuai dengan
karakter pelakunya.
Hukum
yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam
arti bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat
yang baik itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah. Bahwasannya kaidah
fiqh asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab
terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan
al-‘urf. Al-‘adah atau al-‘urf adalah apa yang dianggap baik dan benar oleh
manusia secara umum yang dilakukan secara umum yang dilakukan secara
berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan. Istilah adat dan al-‘Urf
memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya,
istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-‘Urf
hanya melihat pelakunya.
Disamping
itu adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-‘urf harus
dijalani oleh komunitas tertentu.
Sederhananya, adat hanya melihat aspek
pekerjaan, sedangkan al-‘Urf lebih menekankan aspek pelakunya.
Persamaannya, adat dan al-‘urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal
sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang dan sesuai dengan karakter
pelakunya. Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah siring perubahan waktu
dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan
adat istiadat yang baik itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.
B.
Kritik dan Saran
Dalam penulisan makalah mengenai Al ‘adah Muhakkamah
apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam penulisan, mohon kritik dan
sarannya, dan diharapkan makalah ini berguna dan menambah ilmu bagi pembacanya.
Dan diharapkan bagi pembaca supaya dapat memahami makalah ini dengan baik.
[1] Satria
Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta:
Kencana,2008), h. 154.
[2] Ahmad
Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam
perspektif fiqh, Cet I (jakarta ilmu jaya dengan Anglo Media, 2004), h. 158
[3] Toha
andiko. 2011. Ilmu Qawaid Fiqihiyyah. Yoyagkarta:penerbit teras. h. 143
[4] Subhi
Mahmasani, Falsafat Tasyri’ fi al-Islam,Alih
Bahasa Ahmad Sudjono. h.194.
No comments:
Post a Comment