1

loading...

Tuesday, July 16, 2019

MAKALAH HUKUM QA'IDAH


MAKALAH HUKUM QA'IDAH 

BAB I
PENDAHULUAN
    A.    Latar Belakang Masalah
Qawa’id fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah suatu hukum kully (menyeluruh) yang mencakup intisari hukum-hukum fiqih. Qawa’id fiqhiyah mempunyai beberapa kaidah, diantaranya adalah seperti pembahasan dalam makalah ini yaitu al-‘adah al-muhakkamah (adat atau kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih kita akan mengetahui segala permasalahan fiqih, karena kaidah fiqih menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih sehingga dapat dengan bijak dalam menerapkan hukum  fiqih dalam waktu, tepat, situasi dan kondisi yang seringkali berubah-ubah. Manusia dalam kehidupannya banyak memiliki kebiasaan atau tradisi yang dikenal luas dilingkungannya. Tradisi ini dapat berupa perkataan perbuatan yang berlaku yang disebut “urf”. Kebiasaan-kebiasaan seperti itu, menjadi bahan pertimbangan ketika akan menetapkan hukum dalam masalah tidak ada ketegasan dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah.[1]           
            Dalam menyikapi kompleksitas persoalan yang berkembang ditengah-tengah umat membutuhkan jawaban yang logis dan syari. Masalahnya tidak semua kasus baru yang muncul ditegaskan dalam teks secara tersurat, baik nash al-Qur’an maupun al-Sunnah. Disaat yang sama, kejadian dan peristiwa terus bertambah seiringi perjalanan waktu. Dorongan kuat untuk berijtihad dan beranalogi menggunakan kaedah-kaedah yang didasari kedua sumber hukum islam akhirnya mutlak diperlukan.  
    B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Definisi Qa’idah  ?
2.      Bagaimana Dasar Hukum Qa’idah ?
3.      Bagaimana Masalah-masalah terkait dengan Qa’idah?
    C.    Tujuan
1.      Untuk Mengetahui Definisi Qa’idah
2.      Untuk Mengetahui Dasar Hukum Qa’idah
3.      Untuk Mengetahui masalah-masalah terkait dengan Qa’idah

BAB II
PEMBAHASAN
    A.    Pengertian Qa’idah

Definisi al-‘adah dalam kamus bahasa Arab bermaksud sesuatu yang berulang-ulang. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu sebagai kebiasaan. Abu Latif mendefenisikan adat sebagaimana yang dipahami dari perkataan Arab: “Sesuatu perkataan dan perbuatan yang terus menerus dilakukan oleh manusia. Yaitu apa yang penting iya dapat diterima oleh akal manusia dan iya dilakukan secara berulang-ulang.” Sedangkan Definisi al-‘urf  menurut kamus bahasa Arab  semakna dengan ma’ruf yaitu sesuatu di ketahui manusia dari pada kebaikan dan mereka menerimanya dengan itmi’nan (tenang,nyaman). Didalam bahasa melayu, diterjemahkan sebagai sesutu yang dipahami sebagai adat seperti adat pepatih, adat melayu dan sebagainya. Karena adat disebut dikenali dalam kalangan Minangkabau dan suku lainnya.
            Dalam mendefinikan kata “al-‘adah”, terdapat perbedaan pendapat dikalangsn psrs ulama, di antaranya:[2]
a.       Al-Zarka
“Al-‘adah adalah sesuatu yang terus menerus(kontinu) dilakukan, diterima oleh tabiat yang sehat, serta terjadi secara berulang-ulang.”
b.      Ali Haidar
“Al-,adah adalah sesuatu yang menetap di dalam hati , dan terulang-ulangnya sesuatu itu bisa di terima oleh orang-orang yang memiliki tabiat yang sehat.”
c.       Al-hindi
“Al-‘adah adalah sesutu yang menetap dalam hati, berupa perkara (perbuatan) yang terjadi berulang-ulang, serta diterima oleh tabiat yang sehat.”
        Al-‘adah secara bahasa di ambil dari mashdar al-‘audu atau al-mu’awadah yang artinya adalah “berulang-ulang kembali”. Jadi al-‘adah adalah sebuah nama Al-‘adah secara bahasa di ambil dari mashdar al-‘audu atau al-mu’awadah yang artinya adalah “berulang-ulang kembali”. Jadi al-‘adah adalah sebuah nama yang diperuntukkan untuk sebuah perbuatan yang di lakukan berulang-ulang, sehingga karena seringnya perbuatan itu jadi sangat perlu dilakukan, bahkan karena mudahnya sampai menyerupai tabiat atau karakter yang alamiah.
a yang diperuntukkan untuk sebuah perbuatan yang di lakukan berulang-ulang, sehingga karena seringnya perbuatan itu jadi sangat perlu dilakukan, bahkan karena mudahnya sampai menyerupai tabiat atau karakter yang alamiah.
        Al-‘adah atau al-‘urf adalah sesutu yang memiliki suatu kesamaan dengan apa yang di anggap benar oleh kalangan ahli agama yang memiliki akal sehat (ulil albab) dan mereka tidak mengingkarinya. Menurut al-Zarka, sesuatu kebiasaan, baik yang berlaku secara umum (adat al-‘am) atau yang berlaku secara khusus (adat al-Khas) dapat dijadikan penentu didalam menetapkan suatu hukum sar’i yang tentunya hukum sya’i yang tidak bertentangan dengan ketentuan nash.
     Didalam bahasa syar’i, antara kata al-‘adat dan al-‘urf tidak terdapat perbedaan. Akan tetapi perbedaan antara keduanya terjadi dikalangan para ulama, namun pada hakikatnya keduanya memiliki unsur pengertian yang serupa yaitu keduanya adalah sesuatu yang dilakukan berulang-ulang  dan disepakati serta di lakukan oleh suatu komunitas tertentu secara umum. Al-‘adah lebih luas cakupannya (umum) bila dibandingkan dengan al-‘urf, maka setiap ‘urf pasti disebut al-‘adah, dan tidak semua al-‘adah disebut ‘urf.

    B.     Dasar Hukum Qa’idah
·         Dasar Hukum Qa’idah didalam Al-Qur’an:
Dari macam-macam ‘urf sebagaimana telah diuraikan di atas, diketahui bahwa meskipun ‘urf merupakan suatu kebiasaan (adat) yang berlaku dan dilakukan secara komunal oleh masyarakat tetapi tidak semua adat yang berlaku itu dapat diterima sebagai landasan hukum, Satria Effendi menjelaskan argumennya yang dapat menjadikan ‘urf sebagai landasan hukum, diantaranya adalah firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 199 yang berbunyi :
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf,       serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
     Para ulama Ushul Fiqh sependapat bahwa ‘urf dipahami sebagai suatu yang baik dan menjadi kebiasaan masyarakat. Oleh sebab itu, ayat ini dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga menjadi suatu kebiasaan di dalam masyarakat.
     Pada dasarnya, syari’at islam sejak awal banyak menampung dan mengakui adat yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Kedatangan islam  tidak serta merta menghapuskan tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara selektif islam menjaga keutuhan tradisi itu, namun ada pula yang dihapuskan. Contoh, kegiatan mudharabah (bagi untung) dalam perdagangan yang sudah berkembang pada masyarakat sebelum islam.
       Adat pada bangsa Arab sebelum islam merupakan qa’idah asasi bagi setiap kehidupannya, baik mengenai keagamaan, akhlak,penghidupan, perdagangan ataupun mengenai macam-macam perbuatan. Setelah islam hadir, maka yang menjadi azas hukum bangsa arab berganti dengan aturan atau nash yang berdasarkan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh sebab itu, maka fungsi adat menjadi pudar. Hanya saja ada beberapa adat yang dimasukkan dalam kontruksi hukum islam, di antaranya adalah tentang takaran gandum yang kemudian menjadi hukum dalam jual beli.
     Dalam uraian tentang kehujjahan ‘urf ini, dapat disimpulkan bahwa diterimanya ‘urf sebagai landasan pembentukan hukum islam memberi peluang luas bagi dinamisasi hukum islam. Sebab, disamping banyak masalah-masalah yang tertampung oleh masalah adat ini, maka tidak diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan hukum waktu dan tempat. Contoh, al-Qur’an menjelaskan pada surat al-Baqoarah ayat 233:[3]
وَإِنْ ۗعَلَيْهِمَجُنَاحَ فَلَا وَتَشَاوُرٍ مِنْهُمَا تَرَاضٍ عَنْ فِصَالًا أَرَادَا فَإِنْ
آتَيْتُمْ مَا سَلَّمْتُمْ إِذَا عَلَيْكُمْ جُنَاحَ فَلأَوْلَادَكُمْ تَسْتَرْضِعُوا أَنْ أَرَدْتُمْ
بَصِيرٌ تَعْمَلُونَ بِمَا اللَّهَ أَنَّ وَاعْلَمُوا اللَّهَ وَاتَّقُوا ۗبِالْمَعْرُوفِ
“Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anak-anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.

    Ayat tersebut tidak menjelaskan beberapa kadar kepatutan imbalan yang harus diberikan kepada orang yang menyusukan anaknya. Untuk mengoperasionalisasikan ayat ini, perlu merujuk kepada ayat yang berlaku dalam satu masyarakat tempat iya berada. Hal ini juga berlaku pada kewajiban membayar upah terhadap pekerjaan lainnya, karena tidak ada ketentuan nash yang menyebutkan nominal yang harus diberikan, maka perlu diperhatikan adat.
           Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 228:
مَا يَكْتُمْنَ أَنْ لَهُنَّ يَحِلُّ وَلَا ۗقُرُوءٍ ثَلَاثَةَ بِأَنْفُسِهِنَّ يَتَرَبَّصْنَ وَالْمُطَلَّقَاتُ
أَحَقُّ وَبُعُولَتُهُنَّ ۗالْآخِرِ وَالْيَوْمِ بِاللَّهِ يُؤْمِنَّ كُنَّ إِنْ أَرْحَامِهِنَّ فِي اللَّهُ خَلَقَ
ۖبِالْمَعْرُوفِ عَلَيْهِنَّ الَّذِي مِثْلُ وَلَهُنَّ ۗإِصْلَاحًا أَرَادُوا إِنْ ذَٰلِكَ فِي بِرَدِّهِنَّ
حَكِيمٌ عَزِيزٌ وَاللَّهُ ۗدَرَجَةٌ عَلَيْهِنَّ وَلِلرِّجَالِ
 “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri ( menunggu) tiga kali quru’, tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang dicptakan Allah dalam rahinny, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghedaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana. (al-Baqarah:228)
Firman Allah dalam surat an-nisa ayat 19:
تَعْضُلُوهُنَّ وَلَا ۗكَرْهًا النِّسَاءَ تَرِثُوا أَنْ لَكُمْ يَحِلُّ لَآمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
وَعَاشِرُوهُنَّ ۚمُبَيِّنَةٍ بِفَاحِشَةٍ يَأْتِينَ أَنْ إِلَّا آتَيْتُمُوهُنَّ مَا بِبَعْضِ لِتَذْهَبُوا
خَيْرًا فِيهِ اللَّهُ وَيَجْعَلَ شَيْئًا تَكْرَهُوا أَنْ فَعَسَىٰ كَرِهْتُمُوهُنَّ نْ فَإِۚبِالْمَعْرُوفِ كَثِيرًا
 “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan patut. Kemudian bils kami tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak.”(An-nisa: 19)
      Dalam konteks hukum islam, para ulama berpendapat bahwa hanya ‘urf yang sahih sajalah yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum. Beberapa ulama yang mendasarkan ketetapan hukumnya pada ‘urf antara lain ulama malikiyah menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbuatan penduduk Madinah. ‘Urf shahih tentulah harus dilestarikan dalam kaitannya dengan upaya pembentukan hukum dalam proses peradilan. Sebagaimana qa’idah fiqh mengatakan: “ al-Adatu Muhakkamah” (Adat merupakan hukum).[4] Adat, baik yang bersifat umum maupun khusus bisa dijadikan dasar hukum untuk menetapkan ketentuan hukum syari’at. Sejalan dengan ini Abdul Wahhab Khallaf menulis adat adalah syari’ah muhakkamah dan berdasarkan syara’ ‘urf  itu mempunyai i’tibar.[5]
         Berkenan dengan ‘urf fasid, para ulama telah sepakat untuk tidak harus mempertahankanya. Hal ini disebabkan penerimaan ‘urf fasid berarti menetang syara’. Jika terdapat kebiasaan dalam msyarakat menyediakan minuman keras dalam satu pesta, pinjam-meminjam dengan riba, tukar-menukar istri, sogok-menyogok untuk kelancaran urusan dan lainnya yang berdampak negatif, maka hal ini tidak bisa dipakai sebagai ‘urf.
·         Dasar Hukum Qa’idah didalam Hadits:
مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk” (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).
Macam-macam ‘urf
            Menurut Abdul Wahab Khallaf, ‘urf perbuatan maupun perkataan terbagi kepada dua kelompok yaitu ‘urf shahih dan ‘urf fasid dengan penjelasan sebagai berikut:
1.      ‘Urf Shahih
‘Urf Shahih adalah segala sesuatu yang sudah di kenal ummat manusia yang tidak berlawanan dengan dalil syara’. Dan ia tidak menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban. Muhammad Abu Zahrah membagi jenis ‘Urf ini menjadi dua yaitu:
a.       ‘Urf ‘Am (Umum) yang telah berlaku umum diseluruh masyarakat tanpa memandang kenyataan di masa lalu. Contohnya adalah mandi di kolam, memasak dengan kompor, penumpang angkutan umum yang bercampur antara laki-laki dan perempuan dan mencuci dengan sabun.
b.      ‘Urf Khas (Khusus) yaitu ‘Urf yang berlaku dan dikenal disuatu tempat atau masyarakat tertentu. Contohnya dilingkungan masyarakat Rejang terdapat beberapa kata yang mengandung arti positif, tapi dalam bahasa Bengkulu selatan mempunyai arti negatif.
2.      ‘Urf Fasid
‘Urf fasid adalah ‘urf yyang jelek dan tidak bisa diterima (mardud) karena bertentangan dengan syari’at. Dari pendapat ini dapat diketahui bahwa setiap kebiasaan yang menghalalkan yang diharamkan Allah dan mengandung maksiat termasuk kedalam jenis ini. Contohnya: Kebiasaan masyarakat menggunakan minuman kersa pada suatu pesta resmi dan menyampaikan pendapat secara emosional dan anarkis. Berdasarkan pembagian ‘urf diatas, dapat disimpulkan bahwa:
      Pertama, ditinjau dari bentuknya, maka ‘urf terdiri dari:
a.       ‘Urf berupa perkataan (Qauliyah). Contohnya adalah kata makanan ringan, dalam hal ini masyarakat mengenal bahwa makanan kue adalah termasuk makanan ringan.
b.      ‘Urf berupa perbuatan (al-fi’li). Contohnya adalah perbuatan jual-beli dalam masyarakat tanpa menyebutkan akad jual-beli.
Kedua, ditinjau dari segi nilai, maka ‘urf terdiri dari: ‘urf sahih yang tidak bertentangan dengan syara’, dan ‘urf fasid yang tidak bermanfaat dan banyak berseberangan dengan dalil syara’.
Ketiga, ditinjau dari luas wilayah berlakunya, ‘urf terdiri dari ‘urf ‘am yang berlaku secara umum dalam wilayah yang luas. Contohnya menggunakan kendaraan tanpa perlu minta izin kepada pemilik pabrik kendaraan itu. Dan berbelanja ke pasar tanpa memerlukan saksi dalam transaksi. Dan ‘urf khas yang berlaku pada suatu wilayah atau sekelompok masyarakat saja misalnya menggunakan kain sarung bagi masyarakat  melayu Bengkulu pada acara pernikahan.
Adapun syarat ‘urf yang dapat diterima adalah:
a.       Tidak ada dalil khusu tentang suatu masalah baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah.
b.      Tidak bertentangan dengan hukum syara’
c.       Bersifat massal dan tidak dilakukan oleh beberapa serta tidak menimbulkan kesulitan atau menyebabkan kesempitan.
d.      Tidak ada pihak yang berbeda keinginannya dengan ‘urf.
Contohnyam, adat yang berlaku di masyarakat bahwa suami isteri yang baru menikah harus tetap tinggal dirumah orang tua isteri selama satu bulan, namun karena telah ada kesepakatan maka pasangan suami isteri itu, maka diperbolehkan untuk tinggal di tempat lain tanpa harus menunggu satu bulan. Dalam masalah ini, yang berlaku adalah kesepakatan suami isteri tersebut, walaupun berlawanan dengan ‘urf.

    C.    Masalah-masalah Terkait dengan Qa’idah
Al-‘adah atau kebiasaan yang diamalkan olehh manusia boleh dan bisa saja berubah dari masa ke masa dan dari generasi ke generasi, malah dari satu tempat kesatu tempat yang lain, contohnya dalam bidang jual-beli seperti yang disebutkan, kebiasaan yang diamalkan oleh generasi hari ini menggunakan alat takaran dan timbangan dalam kilogram telah berbeda dari pada generasi terdahulu.
Begitu juga kebiasaan (al-‘adah) pada suatu masa, pada awalnya mereka berjual-beli dengan menyatakan ijab dan qabul, kemudian berubah kepada bai’ al-mu’atah (bertukar tangan) saja. Kebiasaan kini, orang mulai banyak membayar tunai dengan kartu kredit atau debit, tetapi tidak mustahil datang suatu masa ketika orang tidak lagi menggunakan tunai langsung. Sealain itu, saat ini juga dikenal jual beli saham yang sifatnya fluktuatif karena yang dihargai adalah kinerja suatu perusahaan dan prospeknya dimasa mendatang. Padahal, jual-beli dahulu dilakukan serah terima antara barang dengan barang (barter), barang denga uang, dan barang atau uang dengan jasa. Inilah contoh-contoh kebiasaan (al-‘adah) yang akan berubah-ubah mengikuti dinamika zaman, keadaan, dan tempat. Oleh sebab itu, penggunaan kaedah tampak jelas dan dominan pada bidang muamalat.
Menurutahli Ushul Fiqh, ‘urf adalah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka menjadikannya tradisi. Salah satu isu yang terkait dengan kaedah tersebut ialah soal sifat merata yang harus ada pada sesuatu yang telah dikatakan menjadi ‘adat/’urf. Sesuatu itu disebut ‘adat/’urf kalau ia sudah dan terus berlaku secara merata pada semua anggota masyarakat dari millieu yang bersangkutan. Sebaliknya, jika ia hanya berlaku pada beberapa orang saja maka ia tidak bisa disebut sebagai ‘adat/’urf.
Isu lain yang terkait ialah soal apakah ‘adat/’urf itu bisa berkedudukan  sebagai syarat pada suatu akad. Misalnya, ‘urf/’adat masyarakat didaerah A ialah memetik ceremai sebelum matang: apakah ‘adat/’urf itu berkedudukan sebagai syarat sehingga jual-belinya sah tanpa menyebut syarat pemetikan iu.
Dalam hal ini, ada dua pendapatm yaitu pendapat yang mengiyakan atas pertanyaan itu dan pendapat yang mengasikkannya. Imam al-Qaffal adalah salah seorang yang mendukung pendapat pertama tersebut yakni ‘adat/’urf berkedudukan sebagai syarat pada suatu akad. Sementara Jumhur Ulama berpendapat sebaliknya, yakni ‘adat/’urf tidak bisa berkedudukan sebagai syarat pada suatu akad.
Isu lain yang terkait ialah soal ‘adat/’urf yang berlaku dalam bahasa, apakah ‘adat/’urf yang pertama kali ada atau yang terkait kali  ada. Dalam hal ini, yang dijadikan pegangan ialah ‘urf/’adat yang pertama kali ada. Isu lain yang terkait dengan masalah di atas ialah soal kaedah: Maksud kaedah ini ialah bahwa setiap ketentuan hukum syara’ yang tidak bisa dirujuk kepada sumber syara’ dan bahasa, maka ia harus dirujukkan kepada ‘adat/’urf.
Contoh-contoh Penetapatan Hukum Berdasarkan ‘Adat/’Urf
Banyak sekali masalah hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘adat/’urf. Berikut ini sebagian contoh yang dikelompokkan menjadi dua kategori.
1.      Kategori Ibadat
Masalah-masalah ibadat yang dasar rujukannya ‘adat/’urf,antara lain:
-          Masalah usia mulai haid bagi wanita dan usia baligh
-          Masalah masa minimal, masa kebiasaan, dan masa maksimal bagi haid, nifas, serta suci
-          Masalah kriteria sedikit dan banyak bagi perbuatan –perbuatan yang merusak shalat
-          Masalah kriteria sedikit dan banyak pada najis yang dimaafkan
-          Masalah kriteria lama dan singkat berkenaan dengan pelaksanaan shalat jum’at dan Khutbahnya (jarak anatara keduanya).
2.      Kategori Muamalat
Masalah-masalah muamalat yang penetapan hukumnya berdasarkan ‘adat/’urf, antara lain:
-          Masalah kriteria lama dan singkatnya masa penundaan pengembalian barang yang bercacat yang berakibat barang itu tidak bisa dikembalikan lagi oleh pembelinya.
-          Masalah mengambil buah-buahan yang jatuh dari pohonnya.
-          Masalah kriteria kelayakan tempat penyimpanan barang/harta yang menjadi objek curian.
-          Masalah upah buruh dan mandor berkaitan dengan beban kerja dan tanggung jawab.
-          Masalah timbangan dan takaran sesuatu yang tidak ada penjelasannya dari Nabi SAW.
     D.    Qa’idah-qa’idah Cabang
Pertama:
اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا

“Apa yang dilakukan oleh masyarakat secara umum,bisa dijadikan hujjah (alasan/argument/dalil) yang wajib diamalkan”

Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di masyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat menaatinya.
Contoh: Apabila tidak ada perjanjian antara sopir truk dan kuli mengenai menaikkan dan menurunkan batu bata, maka sopir diharuskan membayar ongkos sebesar kebiasaan yang berlaku.

            Kedua:
اِنَّمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ اِذَا اضْطَرَدَتْ اَو غَلَبَتْ

“Al-‘adat yang diakui  (oleh syar’i) hanyalah apabila langsung terus menerus dan berlaku umum”
Dalam masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang dapat diterima sebagai adat kebiasaan, apabila perbuatan atau perkataan tersebut sering berlakunya, atau dengan kata lain sering berlakunya itu sebagai suatu syarat (salah satu syarat) bagi suatu adat untuk dapat dijadikan sebagai dasar hukum.
 Contohnya: Seseorang berlangganan fasilitas layanan internet dengan membayar sejumlah uang setiap bulannya kepada operator perusahaan jaringan telekomunikasi tertentu. Maka jika akses internet terhenti karena kesalahan operator walaupun tidak disengaja, si pelanggan dapat menuntut ganti rugi atau kompensasi kepada perusahaan tersebut.
           
            Ketiga:

الْمَعْرُوْفُ بَيْنَ تُجَّارِ كَالْمَشْرُوْطِ بَيْنَهُمْ

“Sesuatu yang sudah diketahui oleh kalangan pedagang adalah sama dengan sesuatu yang disyaratkan di kalangan mereka”. Sebenarnya penerapan dari qa’idah ini tidaklah jauh berbeda dari qa’idah sebelumnya. Hanya saja menurut al-Zarqa, qa’idah ini lebih terfokus pada adat komunitas pedagang. Misalnya, seorang pedagang menjual dagangan, dan kebiasaan yang berlaku disana adalah pembayaran suatu barang tidak dengan kontan.

            Keempat:
التَّعْيِيْنُ باِلْعُرْفِ كَالتَّعْيِيْنِ بِالنَّص

“Sesuatu yang ditentukan oleh kebiasaan umum, sama dengan sesuatu yang ditentukan oleh dalil nash” Penetapan suatu hukum tertentu yang didasarkan pada ‘urf dan telah memenuhi syarat-syarat sebagai dasar hukum, maka kedudukannya sama dengan penetapan suatu hukum yang didasarkan pada nash.
Contohnya: Memanfaatkan atau memakai barang-barang yang disewa, dipinjam atau dititipkan yang tidak dijelaskan pada waktu akad. Maka boleh dan tidaknya pemanfaatan atas barang tersebut, dikembalikan pada adat kebiasaan yang berlaku.
 BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Bahwasannya Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf  adalah Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan. Istilah adat dan al-’Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-’Urf hanya melihat pelakunya.
Di samping itu adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-’Urf harus harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-’Urf lebih menekankan aspek pelakunya. persamaannya, adat dan al-’Urf  adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang dan sesuai dengan karakter pelakunya.
Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah. Bahwasannya  kaidah  fiqh asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. Al-‘adah atau al-‘urf adalah apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan. Istilah adat dan al-‘Urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-‘Urf hanya melihat pelakunya.
Disamping itu adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara al-‘urf harus dijalani oleh komunitas tertentu.  Sederhananya, adat hanya melihat aspek  pekerjaan, sedangkan al-‘Urf lebih menekankan aspek pelakunya. Persamaannya, adat dan al-‘urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang dan sesuai dengan karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah siring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.

B.     Kritik dan Saran

Dalam penulisan makalah mengenai Al ‘adah Muhakkamah apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam penulisan, mohon kritik dan sarannya, dan diharapkan makalah ini berguna dan menambah ilmu bagi pembacanya. Dan diharapkan bagi pembaca supaya dapat memahami makalah ini dengan baik.




[1] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana,2008), h. 154.
[2] Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam perspektif fiqh, Cet I (jakarta ilmu jaya dengan Anglo Media, 2004), h. 158
[3] Toha andiko. 2011. Ilmu Qawaid Fiqihiyyah. Yoyagkarta:penerbit teras. h. 143
[4] Subhi Mahmasani, Falsafat Tasyri’ fi al-Islam,Alih Bahasa Ahmad Sudjono. h.194.
[5] Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh,h. 132.


No comments:

Post a Comment