MAKALAH PROBLEM KEJAHATAN (NATURALISME, HUMANISME DAN EKSITENSILISME)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di zaman serba modern seperti sekarang ini dimana
teknologi berkembang dengan pesatnya, manusia selalu dituntut untuk selalu
berpikir kreatif, mampu memaksimalkan daya nalarnya serta dapat berpikir
kritis. Pengetahuan yang telah diperoleh merupakan hasil dari berbagai
pertanyaan dan pertimbangan yang muncul sebagai aksi balik dari berbagai
problem yang dihadapi.
Agama sebagai ilmu pengetahuan yang sifatnya sakral
dan mistik yang bersumber dari Tuhan juga tidak pernah lepas dari berondongan
pertanyaan para pemeluknya. Lebih-lebih karena agama itu sifatnya abstrak,
sehingga studi dan pengkajian tentangnya sering dilakukan demi mencapai
kematangan dalam
berkeyakinan. Akibatnya jika tidak bisa menemukan
jawaban dari berondongan pertanyaan tersebut atau meskipun menemukan jawabannya
namun tidak sesuai dan dirasakan adanya pertentangan dengan hatinya, maka akan
muncullah apa yang dinamakan doubt religion atau keraguan
beragama.
Untuk intensitasnya, jenis keraguan seseorang terhadap
agama bermacammacam. Ada yang sifatnya ringan yang dengan cepat dapat diatasi,
dan ada pula yang mengalami keraguan berat sampai kepada pindah agama. Semua
itu dipengaruhi oleh tingkat perkembangannya masing-masing. Semakin cepat
perkembangannya maka ia akan semakin kritis terhadap ajaran agama yang
dianutnya. Dan jika sikap kritis itu tidak ditangani secara tepat dan benar,
bukan hal mustahil jika seseorang dapat berpindah keyakinan. Oleh karena itu
penanganan yang serius terhadap perkembangan seorang remaja terutama mengenai
masalah keyakinan perlu mendapatkan perhatian lebih. Dan itu tidak hanya
menjadi tanggungjawab kyai atau pemuka agama tetapi kita semua yang memiliki
pengetahuan agama.
Hal-hal yang biasanya diragukan atau dikonflikkan
yaitu ajaran agama yang diterima, aplikasi ajaran agama, pemuka agama, dan
fungsi serta tugas lembaga keagamaan. Dalam ajaran agama biasanya terdapat
perbedaan pendapat antara golongan satu dengan golongan lain sehingga hal itu
memunculkan adanya aliran-aliran dalam keagamaan seperti madzhab dalam Islam
dan sekte dalam kristen. Aplikasi ajaran kadang membuat seseorang merasa sangsi
dengan keyakinan yang dianutnya. Terkadang antara teori dengan aplikasi tidak
berjalan dengan semestinya. Artinya terdapat adanya kesenjangan antara teori
dengan praktek. Dan untuk para pemuka agama, mereka harus tahu kedudukan
mereka. Sebagai orang yang menjadi teladan, mereka harus bisa memberikan contoh
yang baik dan sesuai dengan ajaran agama. Jika seandainya saja mereka sampai
berbudi pekerti yang tidak sesuai dengan ajaran agama maka tidak mustahil para
penganutnya akan sangsi dan berpaling kepada agama lain. terakhir adalah fungsi
serta tugas lembaga keagamaan. Dalam hal ini lembaga keagamaan harus berfungsi
dan bekerja sesuai dengan tujuan semula lembaga itu dibentuk. Akan sangat tidak
sesuai jika lembaga keagamaan melakukan sesuatu kegiatan yang bertentangan
dengan ajaran agama.
Menurut Jalaludin, konflik memiliki bentuk
bermacam-macam. Pertama konflik antara percaya dan ragu. Konflik ini sering
dialami oleh kebanyakan orang terutama bagi yang pengetahuan agamanya rendah
atau pas-pasan. Orang seperti ini basanya mudah sekali terpengaruh oleh orang
lain karena dirinya tidak mempunyai pedoman yang kuat serta pendirian yang teguh.
Kedua konflik antara pemilihan satu diantara dua macam keagamaan. Ia menganggap
semua agama itu bagus dan baik sehingga ia mengalami kesulitan dalam memutuskan
agama mana yang akan ia anut. Ketiga konflik yang terjadi oleh pemilihan antara
ketaatan beragama atau sekularisme. Disatu sisi ia percaya dengan kehidupan
akhirat dan ingin selamat dari neraka sedangkan disisi lain ia ingin hidup
merdeka dan terbebas dari peraturan agama yang membatasinya. Keempat konflik
yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan (adat) dengan
kehidupan keagamaan yang didasarkan atas petunjuk Ilahi. Bentuk konflik yang
keempat ini biasanya sangat sulit diselesaikan, apalagi sampai harus melepaskan
suatu kebiasaan yang sudah mendarah daging. Seperti di pulau Jawa misalnya.
Masyarakat Jawa sudah dapat menerima agama Islam, namun mereka tidak bisa
meninggalkan adat atau kebiasaan masa lalunya meskipun hal itu bertentangan
dengan ajaran agama Islam. Sinkretisme antara Islam dengan kebudayaan Jawa
sebenarnya merupakan konflik yang masih terus dcarikan penyelesaiannya karena
tidak dibenarkan disatu sisi menjalankan syariat Islam namun di sisi lain masih
menjalankan hal-hal yang berbau syirik.
Tanpa disadari, sinkretisme (tidak hanya dalam Islam)
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan keragu-raguan dalam beragama.
Percampuran antara dua hal yang berbeda, seperti agama dengan mistik, meskipun
bisa berjalan beriringan namun kadang lebih sering menimbulkan konflik pada
para penganutnya.
Seseorang kadang merasa ragu untuk menentukan antara
unsur agama dengan mistik. Sejalan dengan perkembangan mesyarakat secara tidak
disadari tindak keagamaan yang mereka praktekkan ditopangi oleh praktek
kebatinan dan mistik. Hal ini disebabkan karena kurangnya keseriusan dalam
memahami dan mengamalkan agamanya. Dan akibatnya yaitu mereka mudah tergiur
dalam mengadopsi kepercayaan, ritual, dan tradisi dari agama lain atau yang
akhir-akhir ini bermunculan.
Pendidikan atau dasar pengetahuan yang dimiliki
seseorang serta tingkat pendidikan yang dimilikinya juga akan membawa pengaruh
mengenai sikapnya terhadap terhadap agama. Seseorang yang terpelajar biasanya
akan lebih krits terhadap ajaran agamanya, terutama yang bersifat dogmatis.
Dengan nalarnya, mereka memiliki kemampuan menafsirkan ajaran agama yang
dianutnya secara lebih rasional
B. Rumusan
Masalah
Dalam penyusunan makalah ini penulis memberikan
batasan-batasan masalah, seperti :
1. Naturalisme
2. Humanisme dan
Eksistensialisme
3. Problem
Kejahatan
4. Pluralitas Agama
C. Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini di bagi menjadi dua yaitu
tujuan umum dan tujuan khusus.
1. Tujuan
Umum
a. Mengetahui
akar keraguan terhadap agama
b. Meneliti
dan mempekajari akar keraguan terhadap agama
c. Meneliti
dan menyelesakan dari permasalahan yang ada
BAB II
PEMBAHASAN
A. NATURALISME
Salah satu problem yang dihadapi manusia modern,
terutama para ilmuan adalah apakah agama dapat sejalan dengan teori-teori
ilmiah? Sebab,ilmu menekankan pembahasannya pada alam fisik sedangkan agama
pada hal yang diluar fisik. Ilmu menyelidiki natur sedangkan agama membahas
supernatur.
Ilmu tidak dapat tersususn kecuali atas dasar hukum
alam yang tetap. Dasar intelektual ilmu sudah dirintis sejak zaman filsafat
yunanai. Filsafat yunanai mengatakan bahwa alam berjalan menurut hukum-hukum
yang tetap dan sistem yang sama (unifornity of nature). Ilmu disususn atas
prinsip tersebut,baik dimasa yang lalu maupun dimasa sekarang dan akan datang.
Suatu teori ilmiah tidak dapat dicapai kalau keberagaman dan fafkta-fakta yang
ada dalm alam tidak mempunyai hukum atu aturan yang jelas dan tetap.
Ahli kedokteran perancis, claude Bernard, mengatakan
bahwa sarat utama yang harusdipenuhi oleh ilmuwan yang menyelidiki alam adalah
bahwa dia harus mempunyai pikiran yang merdeka secara mutlak beerdasarkan aas
kesangsian filsafat, tetapi ia harus tidak menjadi orang yang skeptis, ia harus
percaya pada hubungan yang pasti dan erat antara sebab dan akibat baik dalam
arti makhluk hidup maupun benda yang mati.[1]
Pendapat yang semacam ini sebenarnya sudah pernah
dikemukakan oleh ibnu rosyid. Menurutnya, hubungan sebab dan akibat adalah
suatu hubungan yang tetap dan pasti karena tanpa kepastian hubungan sebab
akibat tidak akan ditemukan suatu teori ilmiah. Selain itu, jika semua benda
tidak mempunyai ciri tertentu maka seseorang akan sulit memberikan definisi
terhadap benda itu, seperti api sifatnya membakar. Kalau sifat membakar tidak
ada pada api, maka api sama dengan benda lain dan semua benda alam menjadi
sama, padahal setiap benda memiliki ciri-ciri khusus.[2]
Kalau ilmu mempunyai konsep yang pasti tentang alam
fisik, agama pum mempunyai doktri-doktrin yang pasti juga tentang alam
metafisik. Mukjizat dan doa adalah ajaran agama yang tidak bisa dibantah lagi,
seperti nabi ibrahim tidak terbakar oleh api. Menurut hukum alam, api arus
membakar, tetapi ternyata dalam kasus Nabi Ibrahim tidak. Disini, terlihat
bahwa dua konsep tersebut bertentangan satu sama lain. Problemnya kemudian
adalah kalau agama yang lebih benar maka teori ilmu tersingkir, sedangkan kalau
teori ilmu lebih benar maka sebaliknya.
Sebagian ilmuwan menyatakan bahwa hukum positiflah
yang didahulukan sbab kenyataan tulah yang memberikan manfaat bagi kehidupan
manusia. Contohnya, seseorang yang terkena penyakit lumpuh, apa yang harus
dilakukannya? Berobat atu berdo’a. Kalau obat sudah cukup, maka dia tidak perlu
berdoa epada Tuhan kalau ada pendapat yang mengatakan disamping obat juga perlu
do’a, tentu pikiran tersebut tidak mempunya dasar yang jelas.seba, menurut
penganut positifisme, seseorang tidak perlu lagi memakai dua macam obat kalau
satu macam obat saja sudah cukup, do’a tidak diperlukan lagi. Do’a, demikian
positifisme, merupakan peninggalan dari sias-sisa zaman primiti dan do’a akan
hilang kalau kecerdasan semakain tinggi.[3]
Kalau sebagian ilmuwan, kendati sebagian
ilmuwan, terutama positifis, menolak campur tangan kekuatan supr natural dalam
alam, sebagian alam yang lain masih mengakui bahwa tuhan itu ada dan
menciptakan dunia ini dengan sempurna. Kebanyakan ilmuwan di barat lebih
cenderung pada deisme. Mereka mengakui tuhan yang sempurna dan esa seerta
pencipta, tetapi setelah penciptaan tuhan tidak ikut campur lagi dalam proses
keberlangsungan alam. Tuhan tidak memelihara hasil ciptaan alam, paham ini bisa
dikategorikan dalam aliran degradasi.
Kesulitan antara dua kutub yang berbeda titik pandang
dan ukuran lama ini sudah dirasakan, baik oleh agamawan maupun ilmuwan. Kalau
seseprang percaya pada campur tnagan tuhan setiap saat (fatalisme) tanpa
menghiraukan keteraturan alam, dia akan terjebak dalam determinisme teologis
yang sempit. Sebaliknya jika yakin akan keuniversalan dan kepastian hukum alam,
dia juga terjebak dalam determinisme naturalis yang sempit. Determnisme
naturlis juga dinamakan dengan sistem tertutup atau meknistik, yaitu alam
berproses sesuai dengan mekanisme yang sudah tetap.
Untuk memecahkan persoalan ini perlu dicarikan suatu
alternatif. Alternatif ketiga ini adalah jalan tengah antara dua kuub yang yang
ekstrim tesebut. Kalau seseorang percaya hanya pada hkum alam yang pasti, tentu
dia tidak menetapkan hukum alam ribuan tahun yang silam dan ribuan tahun yang
akan datang lewat hukum alam yang ada sekarang. Kebenaran penyataan ini sangat
diragukan karena tidak ada prediksi yang benar-benar tepat dibuat manusia.
Contohnya, keadaan cuaca adalah peristiwa alam yang bisa dijelaskn secara mekanis
dapat diuji dan diukur secara empiris dan berlaku setiap tahun. Namun, hukum
cuaca itu tidak bisa untuk dijadikan ketetapan yang pasti bagi keadaan cuca
tahun depan apalgi puluhan tahun yang akan datang.
Keberatan yang lain dari konsep ini adalah alam yang
begitu luas dan beragam. Yang diketahui oleh manusia aadalah masih terlalu
sedikit dibandingkan yang belum. Oleh karena itu, sebagian ilmuwan modern
berkesimpulan, kebenaran ilmiah tidak sampai pada tingkat 100%. Tingkat
kebenarannya hanya sekitar 90% saja. Mereka memberikan istilah peluang untuk
menggantikan kepastian.Menurut hukum alam, roti pasti mengenyangkan, tetapi
dalam istilah mereka roti berpeluang mengenyangkan.
Kelihatannya penyelesaian nyang dikeluarkan ole para
ilmuwan modern lebih mendekati jalan tengah yang diharapkan oleh kaum agamawan.
Prinsip ini tidak menolak susunan alam yang serba teratur dan juga tidak
menolakpeluang penyimpangan dari hukum alam itu dalam hal-hal tertentu. Bagi
kalangan agama jalan tengah ini juga merupakan penyelesaian yang cukup logis
karena pernyataan empiris menyatakan adalah suatu hukum yang harmonis.
Namun, bahwa dilihat peluang do’a dan mukjizat itu
hanya 10%, ada kemungkinan sebagian penganut agama tidak setuju dengan
penyelesaian kaum ilmuwan modern itu. Penyelesaian tersebut dianggap
merendahkan campur tangan Tuhan dan mengagungkan kemampuan akal manusia. Karena
itu, bisa saja timbul penolakan terhadap cara yang demikian.[4]
Ibnu Rosyid filosof muslim dari andalusia,
berpendapat bahwa untuk menghilangkan keraguan kaum naturalis dalam agama, mka
pengertian mukjizat perlu diperluas. Selama ini, demikian ibnu husyid berfokus
hanya pada hal-hal super natural, seperti nabi ibrahim tidak erbakar dan nabi
isa mampu menhidupkan orang mati. Padahal, esensi mukjizat tidak demikian.
Mukjizat adalah bukti-bukti kebenaran seorang utusan Alloh. Untuk membuktikan
seorang itu adalah utusan Alloh. Demikian ibnu Rosyid, dia harus membuktikan
sesuai dengan fungsi dibawanya. Bukan pada kemampuan berjalannya di atas air
atau tidk terbakar oleh api, tetapi kandungan risalah yang dibawanya. Kandungan
itu berisi ajaran-ajaran untuk keselamatan umat manusia didunia dan di akhirat.
Nabi Muhammada mukjizatnya adalah Al-Qur’an, sedangkan Nabi Musa adalah Taurat.
Inilah Mukjizat yang cocok dengan kenabian, bukan hal yang bersifat
supranatural, tulis ibn Rusyd.[5]
B.
Humanisme dan Eksistensialisme
Istilah humanisme berasal dari humanitas,
yang berarti pendidikan manusia. Humanisme menegaskan bahwa manusia adalah
ukuran segala sesuatu. Kebesaran manusia harus dihidupkan kembali, yang selama
ini terkubu pada abad pertengahan.[6]
Humanisme pada awalnya tidak anti agama. Humanisme
ingin mengurangi peranan institusi gereja dan kerajaan yang begitu besar,
sehingga manusia sebagai makhluk Tuhan kehilangan kebebasannya.
Puncak perkembangan humanisme adalah eksistesialisme.
Eksistensialisme mengakui bahwa eksistensi mendahului esensi (hakikat).
Sebagaimana Marxisme, eksistensialisme mengutamakan manusia sebagai individu
yang bebas dan menghilangkan peranan Tuhan dalam kehidupannya. Eksistensialisme
mengutamakan kemajuan dan perbaikan. Nietzsche salah seorang tokoh
eksistensialisme dengan lantang mengatakan bahwa Tuhan telah mati dan terkubur.[7]
C.
Problem Kejahatan
Kejahatan pada prinsipnya dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu kejahatan moral dan kejahatan alam. Kejahatan moral berasal dari
manusia, sedangkan kejahatan alam berasal di luar kemampuan manusia.[8]
Masalahnya kemudian adalah Al-Qur’an sendiri
menandaskan bahwa Nabi Ibrahim tidak terbakar oleh api. Dalam hal ini ibn rusyd
menjawab “ tidak terbakarnya Nabi Ibrahim oleh api, bukan sebagai bukti
kenabian, tetapi sebagian dari keyakinan yang ditujukan untuk orang yang awam.
Adapun filosof harus meyakini mukjizat yang lain dari itu, yaitu kandungan
risalah para nabi”
D.
Pluralitas Agama
Sebagaimana kejahatan, pluralitas agama merupakan
problem yang cukup rumit. Agama di satu sisi, menekankan kebenaran yang
absolut, tetapi di sisi lain jumlah agama itu banyak. Setiap agama mengaku
ajarannyalah yang paling benar. Karena itu, timbul tanda tanya mana agama yang
paling benar dari sekian agama yang ada? Apakah semua agama itu benar, atau
semuanya tidak benar? Kalau ada agama yang paling benar dari sekian agama, maka
bagaimana mengerahui agama yang paling benar tersebut? Pertanyaan semacam ini sering
diajukan, tidak saja dari kaum ateis, tetapi kaum intelektual yang percaya
kepada Tuhan.[9]
Al-Razi, seorang filosof yang percayakepada Tuhan,
menolak agama-agama yang ada karena setiap agama mempropagandakan kebenarannya
sendiri dan para penganut menganggap agama merekalah yang paling benar.
Menururnya, akal mampu mampu mengetahui yang baik dan yang buruk tanpa
pertolongan wahyu dan nabi. Dengan akal, seseorang mampu mengetahui Tuhan.
Menurutnya, tidak ada keistimewaan seseorang untuk mendapat wahyu sebab semua
manusia dilahirkan sama, perbedaan kemu_ dian bukan karena pembawaan, tetapi
karena pendidikan dan kemampuan, Di samping itu, ajaranpara Nabi bertentangan
satu sama lainnya. Jika mereka membawa ajaran atas nama Tuhan yang satu, kenapa
terjadi kontradiksi ini.[10]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Salah satu problem yang dihadapi manusia modern,
terutama para ilmuan adalah apakah agama dapat sejalan dengan teori-teori
ilmiah? Sebab,ilmu menekankan pembahasannya pada alam fisik sedangkan agama
pada hal yang diluar fisik. Ilmu menyelidiki natur sedangkan agama membahas
supernatur.
Istilah
humanisme berasal dari humanitas, yang berarti pendidikan manusia.
Humanisme menegaskan bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu. Kebesaran
manusia harus dihidupkan kembali, yang selama ini terkubu pada abad
pertengahan.
Kejahatan
pada prinsipnya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kejahatan moral dan
kejahatan alam. Kejahatan moral berasal dari manusia, sedangkan kejahatan alam
berasal di luar kemampuan manusia
DAFTAR
PUSTAKA
Amsal
Bakhtiar, 2009, Filsafat Agama,Wisata Pemikiran dan Kepercayaan
Manusia, Rajawali Pers, Jakarta,
Ibnu
Rosyid, 1971, Tahaful-Altahaful. Dar, Al-Ma’arif.Kairo Jilid
Dua.
[1] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama,Wisata Pemikiran dan
Kepercayaan Manusia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 137.
[2] Ibnu Rosyid, Tahaful-Altahaful (Dar,
Al-Ma’arif.Kairo , 1971 , Jilid Dua),
hlm. .785.
[6]Http://Linggadp.Blog.Fisip.Uns.Ac.Id/2012/04/03/Pluralitas-Agama-Kerukunan-Dalam-Keragaman/
[9] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Agama,Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 138
No comments:
Post a Comment