1

loading...

Friday, July 5, 2019

MAKALAH ILMU PENDIDIKAN ISLAM "MATERI PENDIDIKAN ISLAM "


MAKALAH ILMU PENDIDIKAN ISLAM 

"MATERI PENDIDIKAN ISLAM "

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang masalah
     Agama Islam adalah satu agama samawi yang ada dimuka bumi in. Agama Islam pun pada awalnya bermula di Negeri Arab yang dibawa oleh Rasulullah SAW, berawal dari penyebaran agama yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi hingga pada akhirnya menjadi agama dengan pemeluk terbanyak seperti agama Kristen, agama Hindu, agama Buddha dan lain-lainnya.
     Dalam proses penyebaran agama Islam, terdapat banyak cara-cara dalam menyebarkan ajaran agama Islam, salah satunya di bidang pendidikan. Dalam bidang ini pun, Rasulullah telah mempraktekkan ketika Beliau masih hidup. Hingga sekarang, hadist yang menjadi pedoman umat Islam kedua setelah al-Qur’an digunakan dalam kehidupan dan permasalahan umat Islam sehari-hari.
     Tidak hanya al-Qur’an dan al-Hadist sebagai sumber ajaran maupun pedoman umat Islam dalam kehidupannya, terutama di bidang pendidikan. Dalam bidang pendidikan Islam sendiri, tidak hanya al-Qur’an dan al-Hadist, juga ada Aqidah, Akhlak, Muamalah, Fiqih dan Tarikh. Hal-hal tersebut lah yang masih digunakan sebagai panduan dalam pendidikan saat ini.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan yang dibahas di makalah ini, yakni:
1.      Apa pengertian Aqidah? Apa saja yang menjadi ruang lingkupnya?
2.      Mengapa Akhlak menjadi sumber dalam ajaran pendidikan Islam
3.      Mengapa al-Qur’an menjadi sumber ajaran pendidikan Islam?
4.      Mengapa al-Hadist menjadi sumber dalam ajaran pendidikan Islam?
5.      Mengapa Muamalah menjadi sumber dalam ajaran pendidikan Islam?
6.      Mengapa ilmu Fiqih menjadi sumber dalam ajaran pendidikan Islam?
7.      Mengapa ilmu Tarikh menjadi sumber dalam pendidikan ajaran Islam?

C.     Tujuan Makalah
     Adapun tujuan dari makalah ini yaitu untuk memperoleh wawasan dan pengetahuan serta alasan mengapa Aqidah, Akhlak, al-Qur’an, al-Hadist, Muamalah, ilmu Fiqih dan ilmu Tarikh bisa menjadi sumber dalam ajaran pendidikan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Aqidah
Istilah akidah berasal dari kata ‘aqada (ikatan atau simpul), jamaknya ‘aqa-id (mahkota, simpulan atau ikatan-ikatan iman). Dari segi bahasa aqidah berarti sesuatu yang tersimpul dalam hati dan dihormat seperti mahkota. Dari  kata tersebut muncul i’tiqaad yang berarti membenarkan atau kepercayaan.
Akidah secara istilah berarti sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia berdasarkan fitrah, akal dan wahyu, kemudian dipatrikan dalam hati, diyakini kebenaranya dan ditolak kebenaran selainnya.[1]
Tauhid menjadi inti rukun iman dan prima causa selutuh keyakinan Islam. Dari uraian singkat diatas, tampak logis dan sistematisnya pokok-pokok keyakinan Islam yang terangkum dalam istilah Rukun Iman itu. Pokok-pokok keyakinan ini merupakan asas seluruh ajaran Islam, seperti telah disebut di atas. Jumlahnya enam, dimulai dari (a) keyakinan kepada Allah, lalu (b) keyakinan pada Malaikat-Malaikat, (c) keyakinan pada kitab-kitab suci, (d) keyakinan pada para Nabi dan Rasul Allah, (e)  keyakinan ada adanya Hari Akhir, dan (f) keyakinan pada Kada dan Kadar Allah. Pokok-pokok keyakinan atau Rukun iman ini merupakan akidah Islam.
1.      Keyakinan Kepada Allah
Menurut akidah Islam, konsepsi tentang Ketuhanan Yang Maha Esa disebut Tauhid. Ilmunya adalah Ilmu Tauhid. Ilmu Tauhid adalah ilmu tentang KemahaEsaan Tuhan adalah sebagai berikut:
a.       Allah Maha Esa Dalam Zat-Nya
b.      Allah Maha Esa dalam Sifat-sifat-Nya
c.       Allah Maha Esa dalam Perbuatan-perbuatan-Nya
d.      Allah Maha Esa dalam Wujud-Nya
e.       Allah Maha Esa dalam Menerima Ibadah
f.       Allah Maha Esa dalam Menerima Hajat dan Hasrat Manusia
g.      Allah Maha Esa dalam Memberi Hukum.
2.      Keyakinan Pada Para Malaikat
Malaikat adalah makhluk ghaib, tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia. Akan tetapi, dengan izin Allah, malaikat dapat menjelmakan dirinya seperti manusia, seperti malaikat Jibril menjadi manusia di hadapan Maryam, ibu Isa Almasih (QS. Maryam (19): 16-17, misalnya.
Beriman kepada para malaikat mempunyai konsekuensi terhadap seorang muslim. Konsekuensinya, seorang muslim harus meyakini adanya kehidupan rohani yang harus dikembangkan sesuai dengan dorongan para malaikat itu.
Selain para malaikat ada makhluk ghaib ciptaan Tuhan. Yang dimaksud adalah setan. Setan diciptakan dari api. Berbeda dengan malaikat yang mendorong manusia berbuat baik, kerja setan adalah menyesatkan manusia.
3.      Keyakinan Pada Kitab-kitab Suci
Kitab-kitab suci itu memuat wahyu Allah. Perkataan kitab yang berasal dari kata kerja kataba (artinya ia telah menulis) memuat wahyu Allah. Perkataan wahyu berasal dari bahasa Arab: al-wahy. Kata ini mengandung makna suara, bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Firman Allah itu mengandung ajaran, petunjuk, pedoman yang diperlukan oleh manusia dalam perjalanan hidupnya di dunia ini menuju akhirat.
Al-Qur’an menyebut beberapa kitab suci misalnya zabur yang diturunkan melalui Nabi Daud, taurat yang diturunkan melalui Nabi Musa, injil yang diturunkan melalui Nabi Isa, dan al-qur’an yang diturunkan melalui Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Namun, dalam perjalanan sejarah, kecuali al-Qur’an, isi kitab-kitab suci itu telah berubah, tidak lagi memuat firman-firman Allah yang asli sebagaimana disampaikan malaikat Jibril kepada Rasul dahulu.

4.      Keyakinan pada Para Nabi dan Rasul
Yakin pada para Nabi dan Rasul merupakan rukun iman keempat. Di dalam buku-buku Ilmu Tauhid disebutkan bahwa antara Nabi dan Rasul ada perbedaan tugas utama. Para Nabi menerima tuntunan berupa wahyu, akan tetapi tidak mempunyai kewajiban menyampaikan wahyu itu kepada umat manusia. Oleh karena itu, seorang Rasul adalah Nabi, tetapi seorang nabi belum tentu Rasul. Di dalam Al-Quran diebut nama25 orang Nabi, beberapa di antaranya berfungsi juga sebagai Rasul(Daud, Musa, Isa, Muhammad) yang berkewajiban menyampaikan wahyu yang diterimanya kepada manusia dan menunjukkan cara-cara pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sepanjang sejarah manusia, selalu saja ada orang ynag memberi peringatan kepada mereka agar manusia senantiasa berada di jalan yang benar. Yang memberi peringatan itu adalah para Nabi dan Rasul. Jumlah mereka, karena itu, adalah banyak. Namun, beberapa jumlahnya yang pasti tidaklah diketahui. Ada yang berpendapat (Hasbi Ash Shiddieqy seperti yang dikutip Nasruddin Razak, 1977: 144) jumlah para Rasul yang pernah diutus Tuhan untuk memimpin manusia 313 orang, sedang jumlah Nabi 124.000 orang. Al-Qur’an tidak menyebut jumlah itu. Yang disebut di dalam Al-Quran adalah nama 25 orang Nabi, seperti yang telah dikemukakan di atas.
Setelah para Nabi dan Rasul yang banyak itu diutus Tuhan untuk memimpin masing-masing umatnya di bumi ini, Allah mengutus Nabi Muhammad untuk seluruh umat manusia. Keunikan kedudukan Beliau dalam sejarah umat manusia itu kini diungkapkan dengan jelas oleh para sarjana, diantaranya oleh dua orang sarjana nonmuslim Amerika (1) Philip Kurie Hitti dalam bukunya Islam a Way of Life (1970) dan (2) Michael H. Hart dalam bukunya The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in History (1978). Menurut (1) Philip Kurie Hitti, kedudukan dan peran Nabi Muhammad luar biasa dalam sejarah umat manusia. Sejarah hidupnya (Nabi Muhammad) jelas dan lengkap serta terpelihara dari masa ke masa. Akhlaknya baik, yang biasanya digambarkan dengan kata-kata (1) dapat dipercaya(amanah); (2) selalu benar (shiddiq); (3) cerdas dan bijaksana (fatanah); dan (4) selalu menyampaikan apa yang harus disampaikannya (tabligh).
Oleh karena akhlaknya demikian, seluruh suri teladan yan diberikannya dalam mengamalkan agama islam dalam berbagai sunnah menjadi sumber nilai dan norma kedua umat Islam sesudah wahyu. “Sesungguhnya, pada diri Rasul Allah, terdapat suri teladan yang baik bagi kamu,” demikian (lebih kurang) terjemahan firman Tuhan dalam al-Qur’an surat al-Ahzab (33): 21. Dan kaena itu ”Apa yang dibawanya ikutilah dan apa yang dilarangnya jauhilah” (Q. S. Al-Hasyr (59): 7).
5.      Keyakinan Pada Hari Kiamat dan PertanggungJawaban Manusia di Akhirat
Rukun iman yang kelima adalah keyakinan kepada hari akhir. Keyakinan ini sangat penting dalam rangkaian kesatuan rukun iman lainnya, sebab tanpa mempercayai hari akhirat sama halny dengan orang tidak mempercayai agama Islam, walaupun orang itu menyatakan ia percaya kepada Allah, al-Qur’an dan Nabi Muhammad. Menurut Abdul A’la Maududi (Altaf Gauhar, 1983: 13), manusia tidak dilepaskan begitu saja ke dunia ini sebagai binatang yang tidak bertanggungjawab. Ia bertanggungjawab atas segala perbuatannya dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu kepada Allah(kelak). Saat memberikan pertanggungan jawab itu telah ditentukan ole Allah, yakni setelah hari kiamat, sesudah kehidupan manusia di atas bumi ini berkahir dan berganti dengan kehidupan lain. Pada waktu itu kelak semua manusia(juga yang sudah mati) akan dibangkitkan(dihidupkan Tuhan kembali) dan dipanggil untuk memberikan pertanggungan jawab yang lengkap mengenai segala perbuatannya, apakah sesuai atau tidak sesuai dengan larangan atau perintah Allah, seperti yang telah disinggung di atas.
Keyakinan kepada hari akhirat ini membuat manusia terbagi ke dalam 3 kategori. Kategori pertama adalah manusia yang tidak percaya kepada hari akhirat dan memandang kehidupan di dunia ini sebagai satu-satunya kehidupan. Kategori kedua adalah manusia yang tidak menyangkal hari akhirat, tetapi bergantung kepada campur tangan atau bantuan pihak lain untuk mensucikan diridan menebus dosa-dosanya. Kategori ketiga adalah manusia-manusia yang yakin pada hari akhirat sebagaimana diterangkan dalam ajaran Islam. Orang yakin akan adanya hari akhirat dan yakin pula bahwa ia bertanggung jawab terhadap segala perbuatan yang dilakukannya, memperoleh pengawasan dalam dirinya setiap saat ia menyimpang dari jalan yang benar.
Keyakinan kepada hari akhirat inilah yang mendorong manusia menyesuaikan diri dengan kerangka nilai abadi yang ditetapkan Allah. Keyakinan kepda hari kahirat ini pulalah yang menolong manusia memperkembangkan kepribadiannya secara sehat dan mantap. Karena itu pula ajaran Islam mementingkan benar keyakinan kepada hari akhirat(Altaf Gauhar, 1983: 14-15).
6.      Keyakinan pada Kada dan Kadar (Takdir)
Di dalam sejarah Islam, perkataan kada dan kadar yang disebut juga takdir dalam pembicaraan sehari-hari, pernah menimbulkan selah paham terhadap ajaran Islam. Sebabnya, karena perkataan takdir diartikan sebagai sikap yang pasrah kepada nasib tanpa usaha atau ikhtiar. Untuk menghindari kesalahpengertian itu, perlu dipahami benar makna yang dikandung oleh kedua perkataan tersebut. Yang dimaksud dengan kada adalah ketentuan mengenai sesuatu atau ketetapan tentang sesuatu, sedang kadar adalah ukuran sesuatu menurut hukum tertentu. Dapat pula dikatakan bahwa kada adalah ketentuan atau ketetapan, sedang kadar adalah ukuran. Dengan demikian yang dimaksud dengan kada dan kadar atau takdir adalah ketentuan atau ketetapan (Allah) menurut ukuran atau norma tertentu.
Untuk memahami takdir, manusia harus hidup dengan ikhtiar, sebab dalam kehidupan sehari-hari nyatany takdir Ilahi berkaitan erat dengan usaha manusia. Usaha manusia haruslah maksimal, (sebanyak-banyaknya) dan optimal (sebaik-baiknya) diiringi dengan doa dan tawakkal. Tawakkal yang dimaksud adalah tawakkal dalam makna menyerahkan nasib dan kesudahan usaha kita kepada Allah, sementara kita terus berikhtiar serta yakin bahwa penentuan terakhir segala-galanya berada dalam kekuasaan Allah. Inilah makna takdir yang sebenarnya, yang berlangsung melalui proses usaha (ikhtiar), doa dan tawakkal.[2]

B.     Akhlak
Perkataan akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab akhlaq, bentuk jamak kata khuluq atau al-khulq, yang secara etimologis (bersangkutan dengan cabang ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul kata serta perubahan dalam bentuk dan makna) antara lain berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at (Rachmat Djatnika, 1987: 25). Dalam kepustakaan, akhlak diartikan juga sikap yang melahirkan perbuatan (perilaku, tingkah laku) mungkin baik, mungkin buruk.
Budi Pekerti adalah kata majemuk perkataan budi dan pekerti, gabungan kata yang berasal dari bahasa Sanskerta dan bahasa Indonesia. Dalam bahasa Sanskerta budi artinya alat kesadaran (batin), sedang dalam bahasa Indonesia pekerti berarti kelakuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) budi pekerti ialah tingkah laku, perangai, akhlak. Budi pekerti mengandung makna perilaku yang baik, bijaksana dan manusiawi. Di dalam perkataan itu tercermin sifat, watak, seseorang dalam perbuatan sehari-hari.
Kalau perkataan budi pekerti dihubungkan dengan akhlak, jelas, seperti yang disebutkan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia di atas, kedua-duanya mengandung makna yang sama. Baik budi pekerti maupun akhlak mengandung makna yang ideal, tergantung pada pelaksanaan atau penerapannya melalui tingkah laku yang mungkin positif, mungkin negatif, mungkin baik, mungkin buruk.
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Ia dengan takwa, yang akan dibicarakan nanti, merupakan ‘buah’ pohon Islam yan gberakarkan akidah, bercabang dan berdaun syari’ah. Pentingnya kedudukan akhlak, dapat dilihat dari berbagai sunnah qauliyah (sunnah dalam bentuk perkataan) Rasulullah. Diantaranya adalah, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”(Hadiis Rawahu Ahmad); “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya” (H.R. tarmizi). Dan, akhlak Nabi Muhammad, yang diutus menyempurnakan akhlak manusia itu, disebut akhlak Islam atau akhlak Islami, karena bersumber dari wahyu Allah yang kini terdapat dalam al-Qur’an yang menjadi sumber utama agama dan ajaran Islam.
1.      Akhlak Terhadap Allah, Kepada Manusia dan Lingkungan Hidup
Butir-butir akhlak di dalam al-Qur’an dan al-Hadits bertebaran laksana gugusan bintang-bintang di langit. Karena banyaknya tidak mungkin semua dicatat di ruang ini. Lagi pula, selain satu butir dapat dilihat dari berbagai segi juga mempunyai kaitan bahkan persamaan dengan takwa. Di dalam ruangan ini, karena itu, hanya dicantumkan beberapa saja sebagai contoh.
a.       Akhlak terhadap Allah (Khalik) antara lain adalah:
(1)                Mencintai Allah melebihi cinta kepada apa dan siapa pun juga dengan mempergunakan firman-Nya dalam al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan kehidupan;
(2)                Melaksanakan segala perintah dan mejuahi segala larangan-Nya;
(3)                Mengharapkan dan berusaha memperoleh keridaan Allah;
(4)                Mensyukuri nikmat dan karunia Allah;
(5)                Menerima dengan ikhlas semua kada dan kadar Ilahi setelah berikhtiar maksimal (sebanyak-banyaknya, hingga batas tertinggi);
(6)                Memohon ampun hanya kepada Allah;
(7)                Bertaubat hanya kepada Allah. Taubat yang paling tinggi adalah taubat nasuha, yaitu taubat benar-benar taubat, tidak lagi melakukan perbuatan sama yang dilarang Allah, dan dengan tertib melaksanakan semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya;
(8)                Tawakkal (berserah diri) kepada Allah
b.      Akhlak terhadap Makhluk, dibagi 2:
(1)     Akhlak terhadap Manusia,
a)    Akhlak terhadap Rasulullah (Nabi Muhammad), antara lain:
·      Mencintai Rasulullah secara tulus dengan mengikuti semua sunnahnya
·      Menjadikan Rasulullah sebagai idola, suri teladan dalam hidup dan kehidupan;
·      Menjalankan apa yang disuruhnya, tidak melakukan apa yanng dilarangnya;
b)   Akhlak terhadap Orang Tua, antara lain:
·      Mencintai mereka melebihi cinta kepada kerabat lainnya;
·      Merendahkan diri kepada keduanya diiringi perasaan kasih sayang ;
·      Berkomunikasi dengan orang tua dengan khidmat, mempergunakan kata-kata lemah lembut;
·      Berbuat baik kepada ibu-bapak dengan sebaik-baiknya;
·      Mendo’akan keselamtan dan keampunan bagi mereka kendatipun seorang atau kedua-duanya telah meninggal dunia;
c)    Akhlak terhadap Diri Sendiri, antara lain:
·      Memelihara kesucian diri;
·      Menutup aurat (bagian tubuh yang tidak boleh kelihatan, menurut hukum dan akhlak Islam);
·      Jujur dalam perkataan dan perbuatan;
·      Ikhlas;
·      Sabar;
·      Rendah hati;
·      Malu melakukan perbuatan jahat;
·      Menjauhi dengki;
·      Menjauhi dendam;
·      Berlaku adil terhadap diri sendiri dan orang lain;
·      Menjauhi segala perkataan dan perbuatan sia-sia;
d)   Akhlak terhadap Keluarga, Karib Kerabat, antara lain:
·      Saling membina rasa cinta dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga;
·      Saling menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak;
·      Berbakti kepada ibu-bapak;
·      Mendidik anak-anak dengan kasih sayang;
·      Memelihara hubungan silaturrahim dan melanjutkan silaturrahim yang dibina orang tua yang telah meninggal dunia.
e)    Akhlak terhadap tetangga, antara lain:
·      Saling mengunjungi;
·      Saling bantu di waktu senang lebih-lebih tatkala susah;
·      Saling beri-memberi;
·      Saling hormat-menghormati;
·      Saling menghindari pertengkaran dan permusuhan.
f)    Akhlak terhadap Masyarakat, antara lain:
·      Memuliakan tamu;
·      Menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan;
·      Saling menolong dalam melakukan kebajikan dan takwa;
·      Menganjurkan anggota masyarakat termasuk diri sendiri berbuat baik dan mencegah diri sendiri dan orang lain melakukan perbuatan jahat (mungkar);
·      Memberi makan fakir miskin dan berusaha melapangkan hidup dan kehidupannya;
·      Bermusyawarah dalam segala urusan mengenai kepentingan bersama;
·      Mentaati putusan yang telah diambil;
·      Menunaikan amanah dengan jalan melaksanakan kepercayaan yang diberikan sesorang atau masyarakat kepada kita;
·      Menepati janji.
c.       Akhlak terhadap Bukan Manusia (Lingkungan Hidup)
Antara lain:
(1)       Sadar dan memelihara kelestarian lingkungan hidup;
(2)       Menjaga dan memanfaatkan alam terutama hewani dan nabati, fauna, flora (hewan dan tumbuh-tumbuhan) yang sengaja diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia dan makhluk lainnya;
(3)       Sayang pada sesama makhluk
Penggolongan sikap manusia dalam butir-butir akhlak tersebut di atas,, kalau dikelompokkan secara lain akan sama dengan penggolongan hubungan takwa dalam kehidupan manusia yang akan dibicarakan di bawah[3]

C.     Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang di turunkan kepada Nabi Muhammad  SAW yang merupan mukjizat melalui perantaraan malaikat Jibril untuk di sampaikan kepada umat manusia sebagai pedoman hidup sehingga umat manusia mendapat petunjuk untuk kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an yang berisukan 30 juz, 86 surah diturunkan di Mekkah dan 28 surah dibturunkan di Madinah sehingga seluruhnya berjumlah 114 surah. Sedangkah jumlah ayatnya terdiri dari 4.780 ayat diturunkan mekah dan 1.456 ayat di turunkan di Madinah sehingga keseluruhan ayat Al-Qur’an berjumlah 6.236 ayat.
Secara etimologi Al-Qur’an berarti “bacaan” atau “yang dibaca”. Pengertian ini di sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Qiyamah ayat 16-17 :

Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasainya). Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.

Selain dalam Surah Al-Qiyamah tersebut, kata Al-Qur’an yang berarti “bacaan” juga dapat ditemukan antara lain dalam QS. Al-Baqarah [2]: 185; Al-Hijr [15]: 87; Al-Ahqaf [46]: 29; Al-Waqi’ah [56]: 77; An-Nahl [16]: 6; Thaha [20]: 2; Al-Hasyar [59]: 59 dan Al-Insan: 23.
Menurut istilah, Al-Qur’an berarti firman Allah yang merupakan mukjizat, yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul terakhir dengan perantaran malaikat Jibril yang tertulis dalam mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir yang diperintahkan membacanya, yang di mulai dengan Surah Al-Fatihah dan di akhiri dengan Surah An-Nas.
Dalam definisi yang lain dikemukakan juga bahwa Al-Qur’an adalah lafas berbahasa Arab yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk di sampaikan kepada manusia secara mutawatir, yang diperintahkan membacanya dan mendapatkan pahala bagi yang membacanya.[4]
Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Mempunyai beberapa nama, di samping nama Al-Qur’an itu sendiri. Nama-nama itu dalah :
1.      Al-Qur’an
Seperti yang disebutkan dalam firman QS. Al-Israa’[17]: 9 :

إِنَّ هَٰذَا ٱلْقُرْءَانَ يَهْدِى لِلَّتِى هِىَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
Sesungguhnya Al Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.
2.      Al-kitab
Nama tersebut dapat di jumpai dalam firman-Nya QS. Al-Baqarah [2]: 2:

ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
“Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”
3.      Al-Furqan
Al-Furqan artinya pemisah atau pembeda antara yang hak dan yang bathil. QS. Al-Furqan [25]:  1:

تَبَارَكَ ٱلَّذِى نَزَّلَ ٱلْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِۦ لِيَكُونَ لِلْعَٰلَمِينَ نَذِيرًا
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.”
4.      AzZikr
Mengandung arti peringatan. Di satu sisib Al-Qur’an untuk mengingak Allah dan di sisi Al-Qur’an berisi tentang peringatan hari akhirat dan segala bentuk balasan di alam syurga dan neraka. QS. Al-Hijr [15]: 9:

5.      Al-Huda
Berarti petunjuk. Nama ini menunjukan fungsi Al-Qur’an selaku petunjuk yang hanya dengannya manusia dapat mencapai keridhaan Allah. QS. Al-Taubah [9]: 33:

6.      Al-Syifa
Mengandun arti obat atau penawar jiwa Akar problem manusia terletak di dalam dada manusia itu sendiri. Dan Al-Qur’an datang memberi solusi atas problematika manusia yang ada di dalam dada itu. Begitulah Al-Qur’an yang dengan namanya ini memberi petunjuk sekaligus garasi bahwa segala persoalan manusia daat diselesaikan jika saja ia benar-benar mau membaca, menghayati dan mengamalkannya secara konsisten. QS. Al-Israa’[17]: 82.[5]

D.    Al-Hadist
Sebagai sumber agama dan ajaran Islam, Al-Hadis mempunyai peranan penting setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat Islam diturunkan pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan.
Ada 3 peranan Al-Hadis disamping Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam. Pertama, menegaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Kedua, sebagai penjelasan isi Al-Qur’an. Ketiga, menambahkan atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau samar-samar ketentuannya di dalam Al-Qur’an.[6]

E.     Muamalah
     Muamalah adalah bentukan dari akar kata ‘amal’ yang berarti kerja. Muamalah mengandung makna keterlibatan dua orang atau lebih dalam sebuah amal (kerja). Islam sebagai agama yang komprehensif sebagaiman diuraian sebelumnya, menurut perwujudan iman dalam bentu amal (kerja) baik dalam bentuk titual ibadah kepada Allah SWT maupun dalam hubungannya dengan sesama manusia bahan dengan alam sekitarnya.
KH.Ali Yafie (1996) menjelaskan bahwa manusia terlibat dalam ibadah kepada Allah SWT sebagai perwujudan pengabdiannya kepada-Nya dan terlibat pula dengan sesamanya dalam pergaulannya untu memenuhi kebutuhan pemelihararaan dan pelestarian hidupnya. Sepajang garis kehidupan yang demikian, agama memberi petunjik kepada manusia untu mewujudkan konsep “salam” dalam ehidupan itu dimana mereka akan menikmati keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan. Itulah pengertian umum kata muamalah dalam ungkapan Al-din al Muamalah.
Muamalah adalah interaksi manusia dalam mewujudan kepentingannya masing-masing dalam pergaulan hidupnya sehari-hari, seperti jual-beli, utang-piutang, gadai-menggadai, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, bergadang, berbagi hasil usaha, pengairan pertanian, dan berbagai ragam bentuk kerja (amal) yang berkembang terus sejaln dengan perembangan budaya masyarakat dan kemajuan peradaban yang berkelanjutan dari waktu kewaktu dan dari tempat-ketempat lainnya (Yafie, 199 : 7).
Ruang lingkup kajian muamalah tidak terikat ada aspek-aspek tertentu. Ruanglingkup kajian ini bersifat dinamis mengikuti kecendrungan perkembangan hukum positif.
Muchtar Yahya sebagaimana dikutip Muhammad (2007), mengemukakan bahwa lingkup hukum muamalah ini bersifat dinamis. Namun demikian, lapangan hukum muamalah (Islam) secara umum terbagi ke dalam hukum keluarga (akhwalus syakhsiyah), hukum privat (ahkamul al-madaniyah), hukum pidana (ahkamul jinaiyah), hukum acara (ahkamul murafa’at), hukum perundang-undangan (ahkamul dusturiyah), hukum internasional (ahkamul dauliyah), dan hukum ekonomi dan keuangan (ahkamul iqtishadiyah-maaliyah).
Hukum keluarga (akhwalus-syakhsiyah) adalah hukum yang berkaitan erat dengan kekeluargaan seja awal pertama dibinanya. Tujuan hukum ini ialah untuk mengatur hubungan kehidupan suami istri, anak keturunan, dan kerabat satu sama lain.
Hukum privat (ahkamul madaniyah) adalah hukum mengatur hak manusia satu sama lain dalam tukar-menukar kebendaan dan manfaat seperti yang terjadi dalam jual-beli, transaksi, perserikatan dagang, sewa-menyewa, utang-piutang, dan lain-lain. Hukum ini bertujuan untuk mengatur hak kebendaan setiap orang, memelihara, melindungi, dan memanfaatkannya.
Hukum pidana (ahkamul jinaiyah) yaitu hukum yang berhubungan dengan tindak pidana dan sanksi-sanksinya. Tujuan hukum ini ialah untuk memelihara kehidupan manusia, harta benda, kehormatan, dan hak-hak mereka.
Hukum perundang-undangan (ahkamul dusturiyah) yaitu hukum yang membicarakan tentang asa dan tata cara pembuatan undang-undang dengan tujuan utama untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat.
Hukum internasional (ahkamul dauliyah) adlah hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara Islam dengan negara-negara lain (non-islam) dalam hal perdamaian, muamalah antara warga negara Islam dengan non-Islam yang berada dalam wilayah kekuasaan Islam.
Hukum ekonomi dan keuangan (ahkamul iqtishadiyah-maliyah) yaitu hukum yang mengatur masalah-masalah ekonomi dan keuangan baik yang terkait dengan pemasukan maupun pengeluarannya, hak-hak fakir miskin terhadap harta kekayaan, dan masalah keuangan antara pemerintah dengan warga negaranya.[7]

F.      Ilmu Fiqih
Secara etimologis kata fikih berasal dari bahasa arab, yang merupakan kata jadian (mashdar). Menurut Al-Jurjani, fikih secara bahasa berarti ungkapan tentang pemahaman maksud pembicaraan dari pembicaraanya. Menurut Muhammad Dasuqi, secara bahasa fikih berarti pemahaman yang mendalam, bukan sekedar dalam paham makna lahir suatu kata, melainkan dalalah, orientasi dan isyarat-isyarat lafaz. Menurut istilah, banyak ulama mendefinisikan fikih, yang secara substansif definisi-definisi tersebut cenderung sama. Abdul wahhab khallaf mendefinisikan fikih dalam dua pengertian, fikih sebagai disiplin ilmu dan fikih sebagai komplisi hukum Islam yang merupakan produk jadi yang dihimpun dalam satu himpunan. Sebagaimana kata syariat, kata fikih juga mengalami perkembangan dalam penggunaanya.
 Menurut al-Maushu’at al Fiqhiyyah al Kuwattiyah fikih mengalami tiga fase perkembangan, yaitu:
1.              Tahap pertama
          Pada tahap pertama kata fikih digunakan untuk menunjuk seluruh ajaran agama, baik yang berkaitan dengan akidah,amaliyah,maupun akhlak.
2.              Tahap kedua
          Pada tahap kedua,aspek akidah dilepaskan dari cakupan fikih, sehingga fikih hanya mencakup dua aspek saja, yaitu amaliah dan akhlak. Sedang akidah sudah berdiri sendiri sebagai satu disiplin tersendiri, yaitu ilmu tauhid
3.              Tahap ketiga
          Pada tahap ketiga aspek akhlak dilepaskan dari lingkungan fikih dan berdiri sendiri sebagai satu disiplin tersendiri, yaitu ilmu akhlak atau tasawuf.
Dari ketiga tahap tersebut, fikih hanya mencakup satu aspek saja dari tiga aspek hukum islam, yaitu aspek yang berkaitan dengan perbuatan lahir manusia (amaliyah). Selanjutnya hukum-hukum amaliyah terbagi menjadi dua. Pertama; ma’ulima min al-din bi ad-darurah (hukum-hukum yang dapat diketahui secara gamblang/jelas berdasarkan Alquran dan sunnah), seperti kewajiban shalat 5 waktu, zakat,puasa ramadhan, haji bagi yang mampu dan juga keharaman riba,zina,minum-minuman keras dan judi. Hukum-hukum semacam ini tidak dinamakan fikih, hukum-hukum semacam ini dinamakan syariat. Kedua: ma yustanbatu min al-adillah al-tafsilliyah (hukum-hukum yang digali dari balik dalil-dalil yang terperinci) seperti kapan niat suatu ibadah dilakukan, batas menyapu kepala dalam wudhu, meletakkan tangan pada saat berdiri dalam solat, penetapan tanggal satu ramadhan dan satu syawal. Hukum-hukum ini dinamakan fikih dan hukumnya bersifat relatif. Orang yang menguasai fikih adalah faqih.[8]
G.    Ilmu Tarikh
1.      Pengertian Sejarah pendidkan Islam (Tarikh)
Kata sejarah dalam bahasa Arab disebut tarikh, yang mennurut bahasa berarti ketentuan masa. Sedang menurut istilah berarti “keterangan yang telah terjadi di kalangannya pada masa yang telah lampau atau pada masa yang masih ada”. Kata Tarikh juga  dipakai dalam arti perhitungan tahun, seperti keterangan mengenai tahun sebelum atau sesudah Masehi dipakai sebutan sebelum atau sesudah tarikh Masehi. Kemudian yang dimaksud dengan ilmu tarikh, ialah “suatu pengetahuan yang gunanya untuk mengetahui keadaan-keadaan atau kejadian-kejadian yang telah lampau maupun yang sedang terjadi di kalangan umat”

2.      Obyek dan Metode Sejarah Pendidikan Islam
Sejarah biasanya ditulis dan dikaji dari sudut pandangan suatu fakta atau kejadian tentang peradaban bangsa. Maka obyek sejarah pendidikan Islam mencakup fakta-fakta yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam baik informal, formal maupun non formal. Dengan demikian akan diperoleh apa yang disebut “sejarah serba obyek”. Namun sebagai cabang ilmu pengetahuan, obyek sejarah pendidikan Islam umumnya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan dalam obyek-obyek sejarah pendidikan, sama seperti mengenai sidat-sifat yang dimilikinya. Dengan perkataan lain bersifat menjadi “sejarah serba subyek”.
Mengenai metode sejarah pendidikan Islam, walaupun terdapat hal-hal yang sifatnya khusus, akan tetapi berlaku kaidah-kaidah yang ada dalam penulisan sejarah. Kebiasaan daripada penelitian dan penulisan sejarah meliputi suatu perpaduan khusus keterampilan intelektual. Sejarawan harus menguasai alat-alat analisis untuk menilai kebenaran materi-materi sumbernya, dan perpaduan untuk mengumpulkan dan menfasirkan materi-materi itu ke dalam kisah yang penuh bermakna. Sehubungan dengan ini H. Munawar Cholil mengemukakan bahwa, pengetahuan yang diperlukan sebagai alat menyusun sejarah itu cukup banyak, tetapi yang perlu diketahui terlebih dahulu adalah ilmu bumi ( Takhtitul ardh) ilmu isi bumi (Tabaqaatul ardh) dan ilmu negara (Taqwimul Buldaan).
Akan tetapi, mengingat bahwa obyek sejarah pendidikan Islam sangat sarat dengan nilai-nilai agamawi, filosofi, psikologi dan sosiologi, maka perlu menempatkan obyek sasarannya itu secara utuh, menyeluruh dan mendasar. Sesuai dengan sifat dan sikap itu, maka metode yang harus ditempuh pertama-tama deskriptif, kemudian komparatif dan ketiga analisi-sintesis tanpa menyingkirkan nilai agamawi tadi. Dengan cara deskriptif dimaksudkan bahwa ajaran-ajaran Islam, sebagai agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW dalam Qur’an dan Hadits, terutama yang berhubungan dengan pengertian Pendidikan, harus diuraikan sebagaimana adanya, dengan maksud untuk memahami makna yang terkandung dalam ajaran tersebut.
Kemudian dengan cara kompetitif dimaksudkan bahwa ajaran-ajaran Islam itu dikomparasikan dengan fakta-fakta yang terjadi dan berkembang dalam kuru-kurun serta di tempat-tempat tertentu untuk mengetahui adanya persamaan dan perbedaan dalam suatu permasalahan tertentu, sehingga diketahui pula adanya garis yang tertentu yang menghubungkan pendidikan Islam dengan pendidikan yang dibandingkan.
Ketiga, dengan pendekatan analisis-sintesis. Pendekatan analisis-sintesis artinya secara kritis membahas, meneliti istilah-istilah, pengertian-pengertian yang diberikan oleh Islam, sehingga diketahui adanya kelebihan dan kekhasan pendidikan Islam. Dan sintesis dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan yang diambil guna memperoleh suatu keutuhan dan kelengkapan kerangka pencapaian tujuan serta manfaat penulisan sejarah pendidikan Islam.

3.      Kegunaan Sejarah Pendidikan Islam
Karena sejarah menyimpan atau mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme dan melahirkan nilai-nilai baru bagi pertumbuhan serta perkembangan kehidupan umat manusia. Seumber utama ajaran Islam (Al-Qur’an) mengandung cukup banyak nilai-nilai kesejarahan, yang langsung atau tidak langsung mengandung makna yang besar, pelajaran yang sangat tinggi dan pimpinan utama, khususnya bagi umat Islam. Maka Tarikh dan ilmu Tarikh (sejarah) dalam Islam menduduki arti penting dan mempunyai kegunaan dalam kajian tentang Islam. Oleh sebab itu kegunaan tentang sejarah pendidikan Islam meliputi 2 aspek, yaitu kegunaan yang bersifat umum dan kegunaan yang bersifat akademis.
Yang bersifat umum, sejarah pendidikan Islam mempunyai kegunaan sebagai faktor keteladanan. Hal ini sejalan dengan makna yang tersurat dan tersirat dalam firman Allah.
Artinya: Demi sesungguhnya, Rasulullah itu adalah contoh teladan yang baik bagi kamu sekalian. (Q.S. 33 :21)
Artinya: Katakanlah olehmu (Muhammad) : Jika kamu sekalian cinta kepada Allah, maka hendaklah ikut akan daku, niscaya Allah cinta kepada kamu (Q.S. 3 :31)
Artinya: Dan hendaklah kamu mengikuti akan dia (Nabi Muhammad) supaya kamu mendapat petunjuk. (Q.S. 7 : 158)
Berpedoman pada tiga ayat di atas, maka umat Islam dapat meneladani proses pendidikan Islam semenjak zaman kerasulan Muhammad SAW, zaman Khulafa’ur Rasyidin, zaman ulama-ulama besar dan para pemuka gerakan pendidikan Islam. Karena, secara global bahwa proses pendidikan Islam pada hakikatnya merupakan pengejawantahan (manifestasi) daripada pemikiran mereka tentang konsepsi Islam di bidang pendidikan.  Dan para ulama Islam sering mendenngungkan akan pentingnya kegunaan tairkh dan ilmu tarikh, seperti yang diungkapkan oleh H. Munawar Cholil, bahwa: “Sesungguhnya pengetahuan tarikh itu banyak gunanya, baik bagi urusan kesuniaan maupun urusan keakhiratan. Barang siapa hafal (mengerti benar) tentang tarikh, bertambahlah akal pikirannya. Tarikh itu bagi masa menjadi cermin. Sesungguhnya tarikh itu menjadi cermin perbandingan bagi masa yang baru. Tarikh dan ilmu tarikh itu pokok kemajuan suatu umat, mana kala ada suatu umat tidaj memperhatikan tarikh dan ilmu tarikh, maka umat itu tentulah akan ketinggalan di belakang (dalam kemunduran); dan mana kala suatu umat sungguh-sungguh memperhatikan tarikh dan ilamu tarikh, maka tentulah umat itu maju ke muka (dalam kemajuan)”.
Yang bersifat akademis, kegunaan sejarah pendidikan Islam selain memberikan perbendaharaan perkembangan ilmu pengetahuan (teori dan praktek), juga untuk menumbuhkan perspektif baru dalam rangka mencari relevansi pendidikan Islam terhadap segala bentuk perubahan dan perkembangan ilmu teknologi. Dalam Syllabus Fakultas Tarbiyah IAIN, kegunaan studi sejarah pendidikan Islam diharapkan dapat:
a.     Mengetahui dan memahami pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, sejak zaman lahirnya sampai masa sekarang.
b.    Mengambil manfaat dari proses pendidikan Islam, guna memecahkan problematika pendidikan Islam pada masa kini.
c.     Memiliki sikap positif terhadap perubahan-perubahan dan pembaharuan-pembaharuan sistem pendidikan Islam.
Selain itu sejarah pendidikan Islam akan mempunyai kegunaan dalam rangka pembangunan dan pengembangan pendidikan Islam. Dalam hal ini, sejarah pendidikan Islam akan memberikan arah kemajuan yang pernah dialami dan dinamismenya sehingga pembangunan dan pengembangan itu tetap berada dalam kerangka pandangan yang utuh dan mendasar.
4.      Periodisasi Sejarah Pendidikan Islam
Sejarah pendidikan Islam hakikatnya tidak terlepas daari sejarah Islam. Oleh sebab itu periodisasi sejarah pendidikan Islam dapat dikatakan berada dalam periode-periode sejarah Islam itu sendiri. Secara garis besar Dr. Harun Nasution membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode, yaitu periode klasik, pertengahan, dan modern.
Kemudian perinciannya dapat dibagi menjadi 5 masa, yaitu:
a.     Masa hidupnya Nabi Muhammad SAW (571-632 M);
b.    Masa khalifah yang empat (Khulafa’ur Rasyidin: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di Madinah/ 632-661 M);
c.     Masa kekuasaan Umawiyah di Damsyik (661-750 M);
d.    Masa kekuasaan Abbasiyah di Bagdad (750-1250 M); dan
e.     Masa dari jatuhnya kekuasaan khalifah di Bagdad tahun 1250 M sampai sekarang.
Pembagian 5 masa di atas dalam kaitannya dengan periodisasi sejarah pendidikan Islam nampak sebagaimana diuraikan pada bagian kedua. Akan tetapi dalam kaitannya dengan kajian pendidikan Islam di Indonesia, maka cakupan pembahsannya akan berkaitan dengan sejarah Islam di Indonesia dengan fase-fase sebagai berikut:
a.     Fase datangnya Islam ke Indonesia;
b.    Fase pengembangan dengan melalui proses adaptasi;
c.     Fase berdirinya kerajaan-kerajaan Islam (proses politik);
d.    Fase kedatangan orang Barat (zaman penjajahan);
e.     Fase penjajahan Jepang;
f.     Fase Indonesia merdeka; dan
g.    Fase pembangunan.
Sejarah pendidikan Islam yang terjadi di Indonesia secara periodisasi diungkapkan dalam uraian bagian ketiga. Dengan demikian periodisasi uraian tentang sejarah pendidikan Islam ini mencakup periode sejarah Islam yang terjadi dalam kawasan dunia Islam dan kawasan Indonesia. Hal ini erat kaitannya dengan kepentingan studi atau kajian Islam di Indonesia.[9]
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Tidak hanya al-Qur’an dan al-Hadist sebagai sumber ajaran maupun pedoman umat Islam dalam kehidupannya, terutama di bidang pendidikan. Dalam bidang pendidikan Islam sendiri, tidak hanya al-Qur’an dan al-Hadist, juga ada aqidah, Akhlak, Muamalah, Fiqih dan Tarikh.
Ketujuh sumber itu memiliki hubungan satu sama lain. Contohnya saja, di dalam Al-Qur’an, beberapa ayat ada yang menjelaskan tentang Aqidah, ada juga beberapa di dalam ayat yang menjelaskan tentang kisah perjuangan para Nabi terdahulu sehingga umat Islam dapat mengambil pelajaran dan makna dalam kisah tersebut. Tidak hanya itu, Al-Hadist pun ada untuk menjelaskan lebih rinci mengenai apa hal-hal yang masih rancu maknanya.
Dalam pendidikan, terutama pendidikan Islam, tidak hanya mengembangkan ilmu pengetahuan para pesera didik, pendidikan Islam juga memiliki misi untuk mengembangkan spritual serta pribadi pesera didik. Maka dari itu Al-Qur’an, Al-Hadist, Aqidah, Akhlak, Muamalah, Fiqih, dan Tarikh menjadi sumber dalam pendidikan Islam.
B.     Saran
Penulis berharap kepada pembaca agar memberikan kritik dan saran tentang makalah yang berjudul Materi Pendidikan Islam, dan penulis juga berharap agar pembaca dapat menambah wawasan tentang Materi Pendidikan Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Zuhairini, dkk.2008.  Sejarah Pendidikan Islam.Jakarta: PT Bumi Aksara.
Suwarjin.2017.Sejarah Pengembangan Fikih.Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Syafe’i, Imam, dkk.2014.Pendidikan Agama Islam Berbasis Karakter di Perguruan
Tinggi.Jakarta: PT RajaGrafindo.
ali, Mohammad daud.1998. Pendidikan Agama Islam.Jakarta: PT RajaGrafindo.
mahfud, Rois.2011.Al-Islam Pendidikan Agama Islam.Jakarta Timur: Penerbit
Erlangga.


[1] Drs. Imam Syafe’i, M. Ag., dkk.2014.Pendidikan Agama Islam Berbasis Karakter di Perguruan Tinggi.(PT RajaGrafindo: Jakarta). Hlm. 97
[2] Prof.H.Mohammad Daud Ali, S.H.1998. Pendidikan Agama Islam.(PT RajaGrafindo: Jakarta).hlm. 200-233.
[3] Prof.H.Mohammad Daud Ali, S.H.1998.Pendidikan Agama Islam.(PT RajaGrafindo Persada: Jakarta).hlm. 346-359
[4] Drs.H.Rois Mahfud, M.Pd..2011.Al-Islam Pendidikan Agama Islam.(Penerbit Erlangga).hlm. 107-110
[5] Drs. Imam Syafe’i, M. Ag., dkk..Pendidikan Agama Islam Berbasis Karakter di Perguruan Tinggi.(PT RajaGrafindo: Jakarta). Hlm. 50-51.
[6] Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H..1998. Pendidikan Agama Islam. (PT RajaGrafindo Persada: Jakarta). Hlm. 93-113.
[7] Drs.H.Rois Mahfud, M.Pd..2011. Al-Islam Pendidikan Agama Islam.(Penerbit Erlangga).
[8] Dr. Suwarjin,M.A.2017.Sejarah Pengembangan Fikih.(Pustaka Belajar: Yogyakarta).hlm. 10-13.
[9] Dra. Zuhairini, dkk..2008.  Sejarah Pendidikan Islam.(PT Bumi Aksara: Jakarta). Hlm. 1-8.

No comments:

Post a Comment