MAKALAH ILMU PENDIDIKAN ISLAM
"MATERI PENDIDIKAN ISLAM "
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah
Agama Islam adalah satu agama samawi yang
ada dimuka bumi in. Agama Islam pun pada awalnya bermula di Negeri Arab yang
dibawa oleh Rasulullah SAW, berawal dari penyebaran agama yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi hingga pada akhirnya menjadi agama dengan pemeluk terbanyak
seperti agama Kristen, agama Hindu, agama Buddha dan lain-lainnya.
Dalam proses penyebaran agama Islam,
terdapat banyak cara-cara dalam menyebarkan ajaran agama Islam, salah satunya
di bidang pendidikan. Dalam bidang ini pun, Rasulullah telah mempraktekkan
ketika Beliau masih hidup. Hingga sekarang, hadist yang menjadi pedoman umat
Islam kedua setelah al-Qur’an digunakan dalam kehidupan dan permasalahan umat
Islam sehari-hari.
Tidak hanya al-Qur’an dan al-Hadist sebagai
sumber ajaran maupun pedoman umat Islam dalam kehidupannya, terutama di bidang
pendidikan. Dalam bidang pendidikan Islam sendiri, tidak hanya al-Qur’an dan
al-Hadist, juga ada Aqidah, Akhlak, Muamalah, Fiqih dan Tarikh. Hal-hal
tersebut lah yang masih digunakan sebagai panduan dalam pendidikan saat ini.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan
yang dibahas di makalah ini, yakni:
1. Apa pengertian Aqidah? Apa saja yang
menjadi ruang lingkupnya?
2. Mengapa Akhlak menjadi sumber dalam
ajaran pendidikan Islam
3. Mengapa al-Qur’an menjadi sumber ajaran
pendidikan Islam?
4. Mengapa al-Hadist menjadi sumber dalam
ajaran pendidikan Islam?
5. Mengapa Muamalah menjadi sumber dalam
ajaran pendidikan Islam?
6. Mengapa ilmu Fiqih menjadi sumber dalam
ajaran pendidikan Islam?
7. Mengapa ilmu Tarikh menjadi sumber dalam
pendidikan ajaran Islam?
C. Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu untuk
memperoleh wawasan dan pengetahuan serta alasan mengapa Aqidah, Akhlak,
al-Qur’an, al-Hadist, Muamalah, ilmu Fiqih dan ilmu Tarikh bisa menjadi sumber
dalam ajaran pendidikan Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Aqidah
Istilah
akidah berasal dari kata ‘aqada (ikatan
atau simpul), jamaknya ‘aqa-id
(mahkota, simpulan atau ikatan-ikatan iman). Dari segi bahasa aqidah berarti sesuatu yang tersimpul
dalam hati dan dihormat seperti mahkota. Dari
kata tersebut muncul i’tiqaad yang
berarti membenarkan atau kepercayaan.
Akidah
secara istilah berarti sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh
manusia berdasarkan fitrah, akal dan wahyu, kemudian dipatrikan dalam hati,
diyakini kebenaranya dan ditolak kebenaran selainnya.[1]
Tauhid menjadi inti rukun iman dan prima causa selutuh keyakinan Islam.
Dari uraian singkat diatas, tampak logis dan sistematisnya pokok-pokok keyakinan
Islam yang terangkum dalam istilah Rukun Iman itu. Pokok-pokok keyakinan ini
merupakan asas seluruh ajaran Islam, seperti telah disebut di atas. Jumlahnya
enam, dimulai dari (a) keyakinan kepada Allah, lalu (b) keyakinan pada
Malaikat-Malaikat, (c) keyakinan pada kitab-kitab suci, (d) keyakinan pada para
Nabi dan Rasul Allah, (e) keyakinan ada
adanya Hari Akhir, dan (f) keyakinan pada Kada dan Kadar Allah. Pokok-pokok
keyakinan atau Rukun iman ini merupakan akidah Islam.
1. Keyakinan Kepada Allah
Menurut
akidah Islam, konsepsi tentang Ketuhanan Yang Maha Esa disebut Tauhid. Ilmunya adalah Ilmu Tauhid. Ilmu
Tauhid adalah ilmu tentang KemahaEsaan
Tuhan adalah sebagai berikut:
a. Allah
Maha Esa Dalam Zat-Nya
b. Allah
Maha Esa dalam Sifat-sifat-Nya
c. Allah
Maha Esa dalam Perbuatan-perbuatan-Nya
d. Allah
Maha Esa dalam Wujud-Nya
e. Allah
Maha Esa dalam Menerima Ibadah
f. Allah
Maha Esa dalam Menerima Hajat dan Hasrat Manusia
g. Allah
Maha Esa dalam Memberi Hukum.
2. Keyakinan Pada Para Malaikat
Malaikat
adalah makhluk ghaib, tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia. Akan
tetapi, dengan izin Allah, malaikat dapat menjelmakan dirinya seperti manusia,
seperti malaikat Jibril menjadi manusia di hadapan Maryam, ibu Isa Almasih (QS.
Maryam (19): 16-17, misalnya.
Beriman
kepada para malaikat mempunyai konsekuensi terhadap seorang muslim. Konsekuensinya, seorang muslim harus
meyakini adanya kehidupan rohani yang harus dikembangkan sesuai dengan dorongan
para malaikat itu.
Selain
para malaikat ada makhluk ghaib ciptaan
Tuhan. Yang dimaksud adalah setan. Setan diciptakan dari api. Berbeda dengan
malaikat yang mendorong manusia berbuat baik, kerja setan adalah menyesatkan
manusia.
3. Keyakinan Pada Kitab-kitab Suci
Kitab-kitab
suci itu memuat wahyu Allah. Perkataan kitab
yang berasal dari kata kerja kataba (artinya
ia telah menulis) memuat wahyu Allah. Perkataan wahyu berasal dari bahasa Arab: al-wahy.
Kata ini mengandung makna suara, bisikan, isyarat, tulisan dan kitab.
Firman Allah itu mengandung ajaran, petunjuk, pedoman yang diperlukan oleh
manusia dalam perjalanan hidupnya di dunia ini menuju akhirat.
Al-Qur’an
menyebut beberapa kitab suci misalnya zabur
yang diturunkan melalui Nabi Daud, taurat
yang diturunkan melalui Nabi Musa, injil
yang diturunkan melalui Nabi Isa, dan al-qur’an
yang diturunkan melalui Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Namun, dalam
perjalanan sejarah, kecuali al-Qur’an, isi kitab-kitab suci itu telah berubah,
tidak lagi memuat firman-firman Allah yang asli sebagaimana disampaikan
malaikat Jibril kepada Rasul dahulu.
4. Keyakinan pada Para Nabi dan Rasul
Yakin
pada para Nabi dan Rasul merupakan rukun iman keempat. Di dalam buku-buku Ilmu
Tauhid disebutkan bahwa antara Nabi dan Rasul ada perbedaan tugas utama. Para
Nabi menerima tuntunan berupa wahyu, akan tetapi tidak mempunyai kewajiban
menyampaikan wahyu itu kepada umat manusia. Oleh karena itu, seorang Rasul
adalah Nabi, tetapi seorang nabi belum tentu Rasul. Di dalam Al-Quran diebut
nama25 orang Nabi, beberapa di antaranya berfungsi juga sebagai Rasul(Daud,
Musa, Isa, Muhammad) yang berkewajiban menyampaikan wahyu yang diterimanya
kepada manusia dan menunjukkan cara-cara pelaksanaannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Sepanjang
sejarah manusia, selalu saja ada orang ynag memberi peringatan kepada mereka
agar manusia senantiasa berada di jalan yang benar. Yang memberi peringatan itu
adalah para Nabi dan Rasul. Jumlah mereka, karena itu, adalah banyak. Namun,
beberapa jumlahnya yang pasti tidaklah diketahui. Ada yang berpendapat (Hasbi
Ash Shiddieqy seperti yang dikutip Nasruddin Razak, 1977: 144) jumlah para Rasul
yang pernah diutus Tuhan untuk memimpin manusia 313 orang, sedang jumlah Nabi
124.000 orang. Al-Qur’an tidak menyebut jumlah itu. Yang disebut di dalam
Al-Quran adalah nama 25 orang Nabi, seperti yang telah dikemukakan di atas.
Setelah
para Nabi dan Rasul yang banyak itu diutus Tuhan untuk memimpin masing-masing
umatnya di bumi ini, Allah mengutus Nabi Muhammad untuk seluruh umat manusia.
Keunikan kedudukan Beliau dalam sejarah umat manusia itu kini diungkapkan
dengan jelas oleh para sarjana, diantaranya oleh dua orang sarjana nonmuslim
Amerika (1) Philip Kurie Hitti dalam bukunya Islam a Way of Life (1970) dan (2) Michael H. Hart dalam bukunya The 100, a Ranking of the Most Influential
Persons in History (1978). Menurut (1) Philip
Kurie Hitti, kedudukan dan peran Nabi Muhammad luar biasa dalam sejarah
umat manusia. Sejarah hidupnya (Nabi Muhammad) jelas dan lengkap serta
terpelihara dari masa ke masa. Akhlaknya baik, yang biasanya digambarkan dengan
kata-kata (1) dapat dipercaya(amanah);
(2) selalu benar (shiddiq); (3)
cerdas dan bijaksana (fatanah); dan
(4) selalu menyampaikan apa yang harus disampaikannya (tabligh).
Oleh
karena akhlaknya demikian, seluruh suri teladan yan diberikannya dalam
mengamalkan agama islam dalam berbagai sunnah menjadi sumber nilai dan norma
kedua umat Islam sesudah wahyu. “Sesungguhnya,
pada diri Rasul Allah, terdapat suri teladan yang baik bagi kamu,” demikian
(lebih kurang) terjemahan firman Tuhan dalam al-Qur’an surat al-Ahzab (33): 21.
Dan kaena itu ”Apa yang dibawanya ikutilah
dan apa yang dilarangnya jauhilah” (Q. S. Al-Hasyr (59): 7).
5. Keyakinan Pada Hari Kiamat dan
PertanggungJawaban Manusia di Akhirat
Rukun
iman yang kelima adalah keyakinan kepada hari akhir. Keyakinan ini sangat
penting dalam rangkaian kesatuan rukun iman lainnya, sebab tanpa mempercayai
hari akhirat sama halny dengan orang tidak mempercayai agama Islam, walaupun
orang itu menyatakan ia percaya kepada Allah, al-Qur’an dan Nabi Muhammad.
Menurut Abdul A’la Maududi (Altaf Gauhar, 1983: 13), manusia tidak dilepaskan
begitu saja ke dunia ini sebagai binatang yang tidak bertanggungjawab. Ia
bertanggungjawab atas segala perbuatannya dan harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya itu kepada Allah(kelak). Saat memberikan pertanggungan jawab itu
telah ditentukan ole Allah, yakni setelah hari kiamat, sesudah kehidupan
manusia di atas bumi ini berkahir dan berganti dengan kehidupan lain. Pada
waktu itu kelak semua manusia(juga yang sudah mati) akan
dibangkitkan(dihidupkan Tuhan kembali) dan dipanggil untuk memberikan
pertanggungan jawab yang lengkap mengenai segala perbuatannya, apakah sesuai
atau tidak sesuai dengan larangan atau perintah Allah, seperti yang telah
disinggung di atas.
Keyakinan
kepada hari akhirat ini membuat manusia terbagi ke dalam 3 kategori. Kategori pertama adalah manusia yang tidak
percaya kepada hari akhirat dan memandang kehidupan di dunia ini sebagai
satu-satunya kehidupan. Kategori kedua adalah manusia yang tidak menyangkal
hari akhirat, tetapi bergantung kepada campur tangan atau bantuan pihak lain
untuk mensucikan diridan menebus dosa-dosanya. Kategori ketiga adalah
manusia-manusia yang yakin pada hari akhirat sebagaimana diterangkan dalam
ajaran Islam. Orang yakin akan adanya hari akhirat dan yakin pula bahwa ia
bertanggung jawab terhadap segala perbuatan yang dilakukannya, memperoleh
pengawasan dalam dirinya setiap saat ia menyimpang dari jalan yang benar.
Keyakinan
kepada hari akhirat inilah yang mendorong manusia menyesuaikan diri dengan
kerangka nilai abadi yang ditetapkan Allah. Keyakinan kepda hari kahirat ini
pulalah yang menolong manusia memperkembangkan kepribadiannya secara sehat dan
mantap. Karena itu pula ajaran Islam mementingkan benar keyakinan kepada hari
akhirat(Altaf Gauhar, 1983: 14-15).
6. Keyakinan pada Kada dan Kadar (Takdir)
Di
dalam sejarah Islam, perkataan kada dan kadar yang disebut juga takdir dalam
pembicaraan sehari-hari, pernah menimbulkan selah paham terhadap ajaran Islam.
Sebabnya, karena perkataan takdir diartikan sebagai sikap yang pasrah kepada
nasib tanpa usaha atau ikhtiar. Untuk menghindari kesalahpengertian itu, perlu
dipahami benar makna yang dikandung oleh kedua perkataan tersebut. Yang
dimaksud dengan kada adalah ketentuan
mengenai sesuatu atau ketetapan tentang sesuatu, sedang kadar adalah ukuran sesuatu menurut hukum tertentu. Dapat pula
dikatakan bahwa kada adalah ketentuan atau ketetapan, sedang kadar adalah ukuran. Dengan demikian
yang dimaksud dengan kada dan kadar atau takdir adalah ketentuan atau ketetapan
(Allah) menurut ukuran atau norma tertentu.
Untuk
memahami takdir, manusia harus hidup dengan ikhtiar,
sebab dalam kehidupan sehari-hari nyatany takdir Ilahi berkaitan erat
dengan usaha manusia. Usaha manusia haruslah maksimal, (sebanyak-banyaknya) dan
optimal (sebaik-baiknya) diiringi dengan doa dan tawakkal. Tawakkal yang
dimaksud adalah tawakkal dalam makna menyerahkan nasib dan kesudahan usaha kita
kepada Allah, sementara kita terus berikhtiar serta yakin bahwa penentuan
terakhir segala-galanya berada dalam kekuasaan Allah. Inilah makna takdir yang
sebenarnya, yang berlangsung melalui proses usaha (ikhtiar), doa dan tawakkal.[2]
B. Akhlak
Perkataan akhlak dalam bahasa
Indonesia berasal dari bahasa Arab akhlaq,
bentuk jamak kata khuluq atau al-khulq, yang secara etimologis
(bersangkutan dengan cabang ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul kata serta
perubahan dalam bentuk dan makna) antara lain berarti budi pekerti, perangai,
tingkah laku atau tabi’at (Rachmat Djatnika, 1987: 25). Dalam kepustakaan,
akhlak diartikan juga sikap yang melahirkan perbuatan (perilaku, tingkah laku)
mungkin baik, mungkin buruk.
Budi
Pekerti adalah kata majemuk perkataan budi dan
pekerti, gabungan kata yang berasal dari bahasa Sanskerta dan bahasa Indonesia.
Dalam bahasa Sanskerta budi artinya alat kesadaran (batin), sedang dalam bahasa
Indonesia pekerti berarti kelakuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989)
budi pekerti ialah tingkah laku, perangai, akhlak. Budi pekerti mengandung
makna perilaku yang baik, bijaksana dan manusiawi. Di dalam perkataan itu
tercermin sifat, watak, seseorang dalam perbuatan sehari-hari.
Kalau perkataan budi pekerti
dihubungkan dengan akhlak, jelas,
seperti yang disebutkan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia di atas, kedua-duanya
mengandung makna yang sama. Baik budi pekerti maupun akhlak mengandung makna
yang ideal, tergantung pada pelaksanaan atau penerapannya melalui tingkah laku
yang mungkin positif, mungkin negatif, mungkin baik, mungkin buruk.
Akhlak menempati posisi yang sangat
penting dalam Islam. Ia dengan takwa, yang akan dibicarakan nanti, merupakan
‘buah’ pohon Islam yan gberakarkan akidah, bercabang dan berdaun syari’ah.
Pentingnya kedudukan akhlak, dapat dilihat dari berbagai sunnah qauliyah (sunnah dalam bentuk perkataan) Rasulullah.
Diantaranya adalah, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak”(Hadiis Rawahu Ahmad); “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang
yang paling baik akhlaknya” (H.R. tarmizi). Dan, akhlak Nabi Muhammad, yang
diutus menyempurnakan akhlak manusia itu, disebut akhlak Islam atau akhlak Islami,
karena bersumber dari wahyu Allah yang kini terdapat dalam al-Qur’an yang
menjadi sumber utama agama dan ajaran Islam.
1. Akhlak Terhadap Allah, Kepada Manusia
dan Lingkungan Hidup
Butir-butir
akhlak di dalam al-Qur’an dan al-Hadits bertebaran laksana gugusan
bintang-bintang di langit. Karena banyaknya tidak mungkin semua dicatat di
ruang ini. Lagi pula, selain satu butir dapat dilihat dari berbagai segi juga
mempunyai kaitan bahkan persamaan dengan takwa. Di dalam ruangan ini, karena
itu, hanya dicantumkan beberapa saja
sebagai contoh.
a. Akhlak
terhadap Allah (Khalik) antara lain adalah:
(1)
Mencintai
Allah melebihi cinta kepada apa dan siapa pun juga dengan mempergunakan
firman-Nya dalam al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan kehidupan;
(2)
Melaksanakan
segala perintah dan mejuahi segala larangan-Nya;
(3)
Mengharapkan
dan berusaha memperoleh keridaan Allah;
(4)
Mensyukuri
nikmat dan karunia Allah;
(5)
Menerima
dengan ikhlas semua kada dan kadar Ilahi setelah berikhtiar maksimal
(sebanyak-banyaknya, hingga batas tertinggi);
(6)
Memohon
ampun hanya kepada Allah;
(7)
Bertaubat
hanya kepada Allah. Taubat yang paling tinggi adalah taubat nasuha, yaitu taubat benar-benar taubat, tidak lagi
melakukan perbuatan sama yang dilarang Allah, dan dengan tertib melaksanakan
semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya;
(8)
Tawakkal
(berserah diri) kepada Allah
b. Akhlak
terhadap Makhluk, dibagi 2:
(1) Akhlak terhadap Manusia,
a) Akhlak terhadap Rasulullah (Nabi
Muhammad), antara lain:
·
Mencintai
Rasulullah secara tulus dengan mengikuti semua sunnahnya
·
Menjadikan
Rasulullah sebagai idola, suri
teladan dalam hidup dan kehidupan;
·
Menjalankan
apa yang disuruhnya, tidak melakukan apa yanng dilarangnya;
b) Akhlak terhadap Orang Tua, antara lain:
·
Mencintai
mereka melebihi cinta kepada kerabat lainnya;
·
Merendahkan
diri kepada keduanya diiringi perasaan kasih sayang ;
·
Berkomunikasi
dengan orang tua dengan khidmat, mempergunakan kata-kata lemah lembut;
·
Berbuat
baik kepada ibu-bapak dengan sebaik-baiknya;
·
Mendo’akan
keselamtan dan keampunan bagi mereka kendatipun seorang atau kedua-duanya telah
meninggal dunia;
c) Akhlak terhadap Diri Sendiri, antara
lain:
·
Memelihara
kesucian diri;
·
Menutup
aurat (bagian tubuh yang tidak boleh kelihatan, menurut hukum dan akhlak
Islam);
·
Jujur
dalam perkataan dan perbuatan;
·
Ikhlas;
·
Sabar;
·
Rendah
hati;
·
Malu
melakukan perbuatan jahat;
·
Menjauhi
dengki;
·
Menjauhi
dendam;
·
Berlaku
adil terhadap diri sendiri dan orang lain;
·
Menjauhi
segala perkataan dan perbuatan sia-sia;
d) Akhlak terhadap Keluarga, Karib Kerabat,
antara lain:
·
Saling
membina rasa cinta dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga;
·
Saling
menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak;
·
Berbakti
kepada ibu-bapak;
·
Mendidik
anak-anak dengan kasih sayang;
·
Memelihara
hubungan silaturrahim dan melanjutkan silaturrahim yang dibina orang tua yang
telah meninggal dunia.
e) Akhlak terhadap tetangga, antara lain:
·
Saling
mengunjungi;
·
Saling
bantu di waktu senang lebih-lebih tatkala susah;
·
Saling
beri-memberi;
·
Saling
hormat-menghormati;
·
Saling
menghindari pertengkaran dan permusuhan.
f) Akhlak terhadap Masyarakat, antara lain:
·
Memuliakan
tamu;
·
Menghormati
nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan;
·
Saling
menolong dalam melakukan kebajikan dan takwa;
·
Menganjurkan
anggota masyarakat termasuk diri sendiri berbuat baik dan mencegah diri sendiri
dan orang lain melakukan perbuatan jahat (mungkar);
·
Memberi
makan fakir miskin dan berusaha melapangkan hidup dan kehidupannya;
·
Bermusyawarah
dalam segala urusan mengenai kepentingan bersama;
·
Mentaati
putusan yang telah diambil;
·
Menunaikan
amanah dengan jalan melaksanakan kepercayaan yang diberikan sesorang atau
masyarakat kepada kita;
·
Menepati
janji.
c. Akhlak
terhadap Bukan Manusia (Lingkungan Hidup)
Antara
lain:
(1) Sadar dan memelihara kelestarian
lingkungan hidup;
(2) Menjaga dan memanfaatkan alam terutama
hewani dan nabati, fauna, flora (hewan dan tumbuh-tumbuhan) yang sengaja
diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia dan makhluk lainnya;
(3) Sayang pada sesama makhluk
Penggolongan sikap manusia dalam
butir-butir akhlak tersebut di atas,, kalau dikelompokkan secara lain akan sama
dengan penggolongan hubungan takwa dalam kehidupan manusia yang akan
dibicarakan di bawah[3]
C. Al-Qur’an
Al-Qur’an
adalah kalam Allah SWT yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupan mukjizat melalui perantaraan
malaikat Jibril untuk di sampaikan kepada umat manusia sebagai pedoman hidup
sehingga umat manusia mendapat petunjuk untuk kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat. Al-Qur’an yang berisukan 30 juz, 86 surah diturunkan di Mekkah dan 28
surah dibturunkan di Madinah sehingga seluruhnya berjumlah 114 surah. Sedangkah
jumlah ayatnya terdiri dari 4.780 ayat diturunkan mekah dan 1.456 ayat di
turunkan di Madinah sehingga keseluruhan ayat Al-Qur’an berjumlah 6.236 ayat.
Secara
etimologi Al-Qur’an berarti “bacaan” atau “yang dibaca”. Pengertian ini di
sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Qiyamah ayat 16-17 :
Janganlah kamu gerakkan
lidahmu untuk (membaca) Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasainya).
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya.
Selain
dalam Surah Al-Qiyamah tersebut, kata Al-Qur’an yang berarti “bacaan” juga
dapat ditemukan antara lain dalam QS. Al-Baqarah [2]: 185; Al-Hijr [15]: 87;
Al-Ahqaf [46]: 29; Al-Waqi’ah [56]: 77; An-Nahl [16]: 6; Thaha [20]: 2;
Al-Hasyar [59]: 59 dan Al-Insan: 23.
Menurut
istilah, Al-Qur’an berarti firman Allah yang merupakan mukjizat, yang di
turunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul terakhir dengan perantaran
malaikat Jibril yang tertulis dalam mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir yang diperintahkan membacanya,
yang di mulai dengan Surah Al-Fatihah dan di akhiri dengan Surah An-Nas.
Dalam
definisi yang lain dikemukakan juga bahwa Al-Qur’an adalah lafas berbahasa Arab
yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk di sampaikan kepada manusia
secara mutawatir, yang diperintahkan
membacanya dan mendapatkan pahala bagi yang membacanya.[4]
Wahyu
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Mempunyai beberapa nama, di samping
nama Al-Qur’an itu sendiri. Nama-nama itu dalah :
1. Al-Qur’an
Seperti
yang disebutkan dalam firman QS. Al-Israa’[17]: 9 :
إِنَّ هَٰذَا ٱلْقُرْءَانَ يَهْدِى
لِلَّتِى هِىَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ
ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
Sesungguhnya Al
Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi
kabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi
mereka ada pahala yang besar.
2. Al-kitab
Nama
tersebut dapat di jumpai dalam firman-Nya QS. Al-Baqarah [2]: 2:
ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ فِيهِ
هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
“Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”
3. Al-Furqan
Al-Furqan
artinya pemisah atau pembeda antara yang hak dan yang bathil. QS. Al-Furqan [25]: 1:
تَبَارَكَ ٱلَّذِى نَزَّلَ
ٱلْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِۦ لِيَكُونَ لِلْعَٰلَمِينَ نَذِيرًا
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan
Al-Furqaan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan
kepada seluruh alam.”
4. AzZikr
Mengandung
arti peringatan. Di satu sisib Al-Qur’an untuk mengingak Allah dan di sisi
Al-Qur’an berisi tentang peringatan hari akhirat dan segala bentuk balasan di
alam syurga dan neraka. QS. Al-Hijr [15]: 9:
5. Al-Huda
Berarti
petunjuk. Nama ini menunjukan fungsi Al-Qur’an selaku petunjuk yang hanya
dengannya manusia dapat mencapai keridhaan Allah. QS. Al-Taubah [9]: 33:
6. Al-Syifa
Mengandun
arti obat atau penawar jiwa Akar problem manusia terletak di dalam dada manusia
itu sendiri. Dan Al-Qur’an datang memberi solusi atas problematika manusia yang
ada di dalam dada itu. Begitulah Al-Qur’an yang dengan namanya ini memberi
petunjuk sekaligus garasi bahwa segala persoalan manusia daat diselesaikan jika
saja ia benar-benar mau membaca, menghayati dan mengamalkannya secara
konsisten. QS. Al-Israa’[17]: 82.[5]
D. Al-Hadist
Sebagai
sumber agama dan ajaran Islam, Al-Hadis mempunyai peranan penting setelah
Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup umat Islam diturunkan
pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut,
agar dapat dipahami dan diamalkan.
Ada
3 peranan Al-Hadis disamping Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam. Pertama, menegaskan lebih lanjut
ketentuan yang terdapat di dalam Al-Qur’an.
Kedua, sebagai penjelasan isi Al-Qur’an. Ketiga, menambahkan atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau
samar-samar ketentuannya di dalam Al-Qur’an.[6]
E. Muamalah
Muamalah adalah bentukan dari akar kata
‘amal’ yang berarti kerja. Muamalah mengandung makna keterlibatan dua orang
atau lebih dalam sebuah amal (kerja). Islam sebagai agama yang komprehensif
sebagaiman diuraian sebelumnya, menurut perwujudan iman dalam bentu amal
(kerja) baik dalam bentuk titual ibadah kepada Allah SWT maupun dalam
hubungannya dengan sesama manusia bahan dengan alam sekitarnya.
KH.Ali
Yafie (1996) menjelaskan bahwa manusia terlibat dalam ibadah kepada Allah SWT
sebagai perwujudan pengabdiannya kepada-Nya dan terlibat pula dengan sesamanya
dalam pergaulannya untu memenuhi kebutuhan pemelihararaan dan pelestarian
hidupnya. Sepajang garis kehidupan yang demikian, agama memberi petunjik kepada
manusia untu mewujudkan konsep “salam” dalam ehidupan itu dimana mereka akan
menikmati keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan. Itulah pengertian umum
kata muamalah dalam ungkapan Al-din al Muamalah.
Muamalah
adalah interaksi manusia dalam mewujudan kepentingannya masing-masing dalam
pergaulan hidupnya sehari-hari, seperti jual-beli, utang-piutang,
gadai-menggadai, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, bergadang, berbagi hasil usaha,
pengairan pertanian, dan berbagai ragam bentuk kerja (amal) yang berkembang
terus sejaln dengan perembangan budaya masyarakat dan kemajuan peradaban yang
berkelanjutan dari waktu kewaktu dan dari tempat-ketempat lainnya (Yafie, 199 :
7).
Ruang
lingkup kajian muamalah tidak terikat ada aspek-aspek tertentu. Ruanglingkup
kajian ini bersifat dinamis mengikuti kecendrungan perkembangan hukum positif.
Muchtar
Yahya sebagaimana dikutip Muhammad (2007), mengemukakan bahwa lingkup hukum
muamalah ini bersifat dinamis. Namun demikian, lapangan hukum muamalah (Islam)
secara umum terbagi ke dalam hukum keluarga (akhwalus syakhsiyah), hukum privat (ahkamul al-madaniyah), hukum pidana (ahkamul jinaiyah), hukum acara (ahkamul
murafa’at), hukum perundang-undangan (ahkamul
dusturiyah), hukum internasional (ahkamul
dauliyah), dan hukum ekonomi dan keuangan (ahkamul iqtishadiyah-maaliyah).
Hukum
keluarga (akhwalus-syakhsiyah) adalah
hukum yang berkaitan erat dengan kekeluargaan seja awal pertama dibinanya.
Tujuan hukum ini ialah untuk mengatur hubungan kehidupan suami istri, anak
keturunan, dan kerabat satu sama lain.
Hukum
privat (ahkamul madaniyah) adalah
hukum mengatur hak manusia satu sama lain dalam tukar-menukar kebendaan dan
manfaat seperti yang terjadi dalam jual-beli, transaksi, perserikatan dagang,
sewa-menyewa, utang-piutang, dan lain-lain. Hukum ini bertujuan untuk mengatur
hak kebendaan setiap orang, memelihara, melindungi, dan memanfaatkannya.
Hukum
pidana (ahkamul jinaiyah) yaitu hukum
yang berhubungan dengan tindak pidana dan sanksi-sanksinya. Tujuan hukum ini
ialah untuk memelihara kehidupan manusia, harta benda, kehormatan, dan hak-hak
mereka.
Hukum
perundang-undangan (ahkamul dusturiyah)
yaitu hukum yang membicarakan tentang asa dan tata cara pembuatan undang-undang
dengan tujuan utama untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat.
Hukum
internasional (ahkamul dauliyah)
adlah hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara Islam dengan
negara-negara lain (non-islam) dalam hal perdamaian, muamalah antara warga negara
Islam dengan non-Islam yang berada dalam wilayah kekuasaan Islam.
Hukum
ekonomi dan keuangan (ahkamul
iqtishadiyah-maliyah) yaitu hukum yang mengatur masalah-masalah ekonomi dan
keuangan baik yang terkait dengan pemasukan maupun pengeluarannya, hak-hak
fakir miskin terhadap harta kekayaan, dan masalah keuangan antara pemerintah
dengan warga negaranya.[7]
F. Ilmu Fiqih
Secara
etimologis kata fikih berasal dari bahasa arab, yang merupakan kata jadian
(mashdar). Menurut Al-Jurjani, fikih secara bahasa berarti ungkapan tentang
pemahaman maksud pembicaraan dari pembicaraanya. Menurut Muhammad Dasuqi,
secara bahasa fikih berarti pemahaman yang mendalam, bukan sekedar dalam paham
makna lahir suatu kata, melainkan dalalah, orientasi dan isyarat-isyarat lafaz.
Menurut istilah, banyak ulama mendefinisikan fikih, yang secara substansif
definisi-definisi tersebut cenderung sama. Abdul wahhab khallaf mendefinisikan
fikih dalam dua pengertian, fikih sebagai disiplin ilmu dan fikih sebagai
komplisi hukum Islam yang merupakan produk jadi yang dihimpun dalam satu
himpunan. Sebagaimana kata syariat, kata fikih juga mengalami perkembangan
dalam penggunaanya.
Menurut al-Maushu’at al Fiqhiyyah al
Kuwattiyah fikih mengalami tiga fase perkembangan, yaitu:
1.
Tahap
pertama
Pada
tahap pertama kata fikih digunakan untuk menunjuk seluruh ajaran agama, baik
yang berkaitan dengan akidah,amaliyah,maupun akhlak.
2.
Tahap
kedua
Pada
tahap kedua,aspek akidah dilepaskan dari cakupan fikih, sehingga fikih hanya
mencakup dua aspek saja, yaitu amaliah dan akhlak. Sedang akidah sudah berdiri
sendiri sebagai satu disiplin tersendiri, yaitu ilmu tauhid
3.
Tahap
ketiga
Pada tahap ketiga aspek akhlak
dilepaskan dari lingkungan fikih dan berdiri sendiri sebagai satu disiplin
tersendiri, yaitu ilmu akhlak atau tasawuf.
Dari ketiga tahap tersebut, fikih
hanya mencakup satu aspek saja dari tiga aspek hukum islam, yaitu aspek yang
berkaitan dengan perbuatan lahir manusia (amaliyah). Selanjutnya hukum-hukum
amaliyah terbagi menjadi dua. Pertama; ma’ulima min al-din bi ad-darurah
(hukum-hukum yang dapat diketahui secara gamblang/jelas berdasarkan Alquran dan
sunnah), seperti kewajiban shalat 5 waktu, zakat,puasa ramadhan, haji bagi yang
mampu dan juga keharaman riba,zina,minum-minuman keras dan judi. Hukum-hukum
semacam ini tidak dinamakan fikih, hukum-hukum semacam ini dinamakan syariat.
Kedua: ma yustanbatu min al-adillah al-tafsilliyah (hukum-hukum yang digali
dari balik dalil-dalil yang terperinci) seperti kapan niat suatu ibadah
dilakukan, batas menyapu kepala dalam wudhu, meletakkan tangan pada saat
berdiri dalam solat, penetapan tanggal satu ramadhan dan satu syawal.
Hukum-hukum ini dinamakan fikih dan hukumnya bersifat relatif. Orang yang
menguasai fikih adalah faqih.[8]
G. Ilmu Tarikh
1. Pengertian Sejarah pendidkan Islam
(Tarikh)
Kata
sejarah dalam bahasa Arab disebut tarikh,
yang mennurut bahasa berarti ketentuan
masa. Sedang menurut istilah berarti “keterangan yang telah terjadi di
kalangannya pada masa yang telah lampau atau pada masa yang masih ada”. Kata
Tarikh juga dipakai dalam arti perhitungan tahun, seperti keterangan
mengenai tahun sebelum atau sesudah Masehi dipakai sebutan sebelum atau sesudah
tarikh Masehi. Kemudian yang dimaksud
dengan ilmu tarikh, ialah “suatu
pengetahuan yang gunanya untuk mengetahui keadaan-keadaan atau
kejadian-kejadian yang telah lampau maupun yang sedang terjadi di kalangan
umat”
2. Obyek dan Metode Sejarah Pendidikan
Islam
Sejarah
biasanya ditulis dan dikaji dari sudut pandangan suatu fakta atau kejadian
tentang peradaban bangsa. Maka obyek sejarah pendidikan Islam mencakup
fakta-fakta yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan
Islam baik informal, formal maupun non formal. Dengan demikian akan diperoleh
apa yang disebut “sejarah serba obyek”. Namun sebagai cabang ilmu pengetahuan,
obyek sejarah pendidikan Islam umumnya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan
dalam obyek-obyek sejarah pendidikan, sama seperti mengenai sidat-sifat yang
dimilikinya. Dengan perkataan lain bersifat menjadi “sejarah serba subyek”.
Mengenai
metode sejarah pendidikan Islam, walaupun terdapat hal-hal yang sifatnya
khusus, akan tetapi berlaku kaidah-kaidah yang ada dalam penulisan sejarah.
Kebiasaan daripada penelitian dan penulisan sejarah meliputi suatu perpaduan
khusus keterampilan intelektual. Sejarawan harus menguasai alat-alat analisis
untuk menilai kebenaran materi-materi sumbernya, dan perpaduan untuk
mengumpulkan dan menfasirkan materi-materi itu ke dalam kisah yang penuh
bermakna. Sehubungan dengan ini H. Munawar Cholil mengemukakan bahwa,
pengetahuan yang diperlukan sebagai alat menyusun sejarah itu cukup banyak,
tetapi yang perlu diketahui terlebih dahulu adalah ilmu bumi ( Takhtitul ardh)
ilmu isi bumi (Tabaqaatul ardh) dan ilmu negara (Taqwimul Buldaan).
Akan
tetapi, mengingat bahwa obyek sejarah pendidikan Islam sangat sarat dengan
nilai-nilai agamawi, filosofi, psikologi dan sosiologi, maka perlu menempatkan
obyek sasarannya itu secara utuh, menyeluruh dan mendasar. Sesuai dengan sifat
dan sikap itu, maka metode yang harus ditempuh pertama-tama deskriptif,
kemudian komparatif dan ketiga analisi-sintesis tanpa menyingkirkan nilai
agamawi tadi. Dengan cara deskriptif dimaksudkan bahwa ajaran-ajaran Islam,
sebagai agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW dalam Qur’an dan Hadits, terutama
yang berhubungan dengan pengertian Pendidikan,
harus diuraikan sebagaimana adanya, dengan maksud untuk memahami makna yang
terkandung dalam ajaran tersebut.
Kemudian
dengan cara kompetitif dimaksudkan bahwa ajaran-ajaran Islam itu dikomparasikan
dengan fakta-fakta yang terjadi dan berkembang dalam kuru-kurun serta di
tempat-tempat tertentu untuk mengetahui adanya persamaan dan perbedaan dalam
suatu permasalahan tertentu, sehingga diketahui pula adanya garis yang tertentu
yang menghubungkan pendidikan Islam dengan pendidikan yang dibandingkan.
Ketiga,
dengan pendekatan analisis-sintesis. Pendekatan analisis-sintesis artinya
secara kritis membahas, meneliti istilah-istilah, pengertian-pengertian yang
diberikan oleh Islam, sehingga diketahui adanya kelebihan dan kekhasan
pendidikan Islam. Dan sintesis dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan yang
diambil guna memperoleh suatu keutuhan dan kelengkapan kerangka pencapaian
tujuan serta manfaat penulisan sejarah pendidikan Islam.
3. Kegunaan Sejarah Pendidikan Islam
Karena
sejarah menyimpan atau mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme dan
melahirkan nilai-nilai baru bagi pertumbuhan serta perkembangan kehidupan umat
manusia. Seumber utama ajaran Islam (Al-Qur’an) mengandung cukup banyak
nilai-nilai kesejarahan, yang langsung atau tidak langsung mengandung makna
yang besar, pelajaran yang sangat tinggi dan pimpinan utama, khususnya bagi
umat Islam. Maka Tarikh dan ilmu Tarikh (sejarah) dalam Islam menduduki arti
penting dan mempunyai kegunaan dalam kajian tentang Islam. Oleh sebab itu
kegunaan tentang sejarah pendidikan Islam meliputi 2 aspek, yaitu kegunaan yang
bersifat umum dan kegunaan yang bersifat akademis.
Yang
bersifat umum, sejarah pendidikan Islam mempunyai kegunaan sebagai faktor
keteladanan. Hal ini sejalan dengan makna yang tersurat dan tersirat dalam
firman Allah.
Artinya:
Demi sesungguhnya, Rasulullah itu adalah
contoh teladan yang baik bagi kamu sekalian. (Q.S. 33 :21)
Artinya:
Katakanlah olehmu (Muhammad) : Jika kamu
sekalian cinta kepada Allah, maka hendaklah ikut akan daku, niscaya Allah cinta
kepada kamu (Q.S. 3 :31)
Artinya:
Dan hendaklah kamu mengikuti akan dia
(Nabi Muhammad) supaya kamu mendapat petunjuk. (Q.S. 7 : 158)
Berpedoman
pada tiga ayat di atas, maka umat Islam dapat meneladani proses pendidikan
Islam semenjak zaman kerasulan Muhammad SAW, zaman Khulafa’ur Rasyidin, zaman
ulama-ulama besar dan para pemuka gerakan pendidikan Islam. Karena, secara
global bahwa proses pendidikan Islam pada hakikatnya merupakan pengejawantahan
(manifestasi) daripada pemikiran mereka tentang konsepsi Islam di bidang
pendidikan. Dan para ulama Islam sering
mendenngungkan akan pentingnya kegunaan tairkh dan ilmu tarikh, seperti yang
diungkapkan oleh H. Munawar Cholil, bahwa: “Sesungguhnya pengetahuan tarikh itu
banyak gunanya, baik bagi urusan kesuniaan maupun urusan keakhiratan. Barang
siapa hafal (mengerti benar) tentang tarikh, bertambahlah akal pikirannya.
Tarikh itu bagi masa menjadi cermin. Sesungguhnya tarikh itu menjadi cermin
perbandingan bagi masa yang baru. Tarikh dan ilmu tarikh itu pokok kemajuan
suatu umat, mana kala ada suatu umat tidaj memperhatikan tarikh dan ilmu
tarikh, maka umat itu tentulah akan ketinggalan di belakang (dalam kemunduran);
dan mana kala suatu umat sungguh-sungguh memperhatikan tarikh dan ilamu tarikh,
maka tentulah umat itu maju ke muka (dalam kemajuan)”.
Yang
bersifat akademis, kegunaan sejarah pendidikan Islam selain memberikan
perbendaharaan perkembangan ilmu pengetahuan (teori dan praktek), juga untuk
menumbuhkan perspektif baru dalam rangka mencari relevansi pendidikan Islam
terhadap segala bentuk perubahan dan perkembangan ilmu teknologi. Dalam Syllabus Fakultas Tarbiyah IAIN, kegunaan
studi sejarah pendidikan Islam diharapkan dapat:
a. Mengetahui dan memahami pertumbuhan dan
perkembangan pendidikan Islam, sejak zaman lahirnya sampai masa sekarang.
b. Mengambil manfaat dari proses pendidikan
Islam, guna memecahkan problematika pendidikan Islam pada masa kini.
c. Memiliki sikap positif terhadap
perubahan-perubahan dan pembaharuan-pembaharuan sistem pendidikan Islam.
Selain
itu sejarah pendidikan Islam akan mempunyai kegunaan dalam rangka pembangunan
dan pengembangan pendidikan Islam. Dalam hal ini, sejarah pendidikan Islam akan
memberikan arah kemajuan yang pernah dialami dan dinamismenya sehingga
pembangunan dan pengembangan itu tetap berada dalam kerangka pandangan yang
utuh dan mendasar.
4. Periodisasi Sejarah Pendidikan Islam
Sejarah
pendidikan Islam hakikatnya tidak terlepas daari sejarah Islam. Oleh sebab itu
periodisasi sejarah pendidikan Islam dapat dikatakan berada dalam
periode-periode sejarah Islam itu sendiri. Secara garis besar Dr. Harun
Nasution membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode, yaitu periode klasik,
pertengahan, dan modern.
Kemudian
perinciannya dapat dibagi menjadi 5 masa, yaitu:
a. Masa hidupnya Nabi Muhammad SAW (571-632
M);
b. Masa khalifah yang empat (Khulafa’ur
Rasyidin: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di Madinah/ 632-661 M);
c. Masa kekuasaan Umawiyah di Damsyik
(661-750 M);
d. Masa kekuasaan Abbasiyah di Bagdad
(750-1250 M); dan
e. Masa dari jatuhnya kekuasaan khalifah di
Bagdad tahun 1250 M sampai sekarang.
Pembagian 5 masa di atas dalam
kaitannya dengan periodisasi sejarah pendidikan Islam nampak sebagaimana
diuraikan pada bagian kedua. Akan tetapi dalam kaitannya dengan kajian
pendidikan Islam di Indonesia, maka cakupan pembahsannya akan berkaitan dengan
sejarah Islam di Indonesia dengan fase-fase sebagai berikut:
a. Fase datangnya Islam ke Indonesia;
b. Fase pengembangan dengan melalui proses
adaptasi;
c. Fase berdirinya kerajaan-kerajaan Islam
(proses politik);
d. Fase kedatangan orang Barat (zaman
penjajahan);
e. Fase penjajahan Jepang;
f. Fase Indonesia merdeka; dan
g. Fase pembangunan.
Sejarah pendidikan Islam yang
terjadi di Indonesia secara periodisasi diungkapkan dalam uraian bagian ketiga.
Dengan demikian periodisasi uraian tentang sejarah pendidikan Islam ini
mencakup periode sejarah Islam yang terjadi dalam kawasan dunia Islam dan
kawasan Indonesia. Hal ini erat kaitannya dengan kepentingan studi atau kajian
Islam di Indonesia.[9]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tidak
hanya al-Qur’an dan al-Hadist sebagai sumber ajaran maupun pedoman umat Islam
dalam kehidupannya, terutama di bidang pendidikan. Dalam bidang pendidikan
Islam sendiri, tidak hanya al-Qur’an dan al-Hadist, juga ada aqidah, Akhlak,
Muamalah, Fiqih dan Tarikh.
Ketujuh
sumber itu memiliki hubungan satu sama lain. Contohnya saja, di dalam
Al-Qur’an, beberapa ayat ada yang menjelaskan tentang Aqidah, ada juga beberapa
di dalam ayat yang menjelaskan tentang kisah perjuangan para Nabi terdahulu
sehingga umat Islam dapat mengambil pelajaran dan makna dalam kisah tersebut.
Tidak hanya itu, Al-Hadist pun ada untuk menjelaskan lebih rinci mengenai apa
hal-hal yang masih rancu maknanya.
Dalam
pendidikan, terutama pendidikan Islam, tidak hanya mengembangkan ilmu
pengetahuan para pesera didik, pendidikan Islam juga memiliki misi untuk
mengembangkan spritual serta pribadi pesera didik. Maka dari itu Al-Qur’an,
Al-Hadist, Aqidah, Akhlak, Muamalah, Fiqih, dan Tarikh menjadi sumber dalam
pendidikan Islam.
B. Saran
Penulis berharap kepada
pembaca agar memberikan kritik dan saran tentang makalah yang berjudul Materi
Pendidikan Islam, dan penulis juga berharap agar pembaca dapat menambah wawasan
tentang Materi Pendidikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhairini,
dkk.2008. Sejarah Pendidikan Islam.Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Suwarjin.2017.Sejarah Pengembangan Fikih.Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
Syafe’i, Imam,
dkk.2014.Pendidikan Agama Islam Berbasis
Karakter di Perguruan
Tinggi.Jakarta:
PT RajaGrafindo.
ali, Mohammad
daud.1998. Pendidikan Agama Islam.Jakarta:
PT RajaGrafindo.
mahfud,
Rois.2011.Al-Islam Pendidikan Agama Islam.Jakarta
Timur: Penerbit
Erlangga.
[1] Drs. Imam Syafe’i, M. Ag., dkk.2014.Pendidikan Agama Islam Berbasis Karakter di Perguruan Tinggi.(PT
RajaGrafindo: Jakarta). Hlm. 97
[2] Prof.H.Mohammad Daud Ali, S.H.1998. Pendidikan Agama Islam.(PT RajaGrafindo: Jakarta).hlm. 200-233.
[3] Prof.H.Mohammad Daud Ali, S.H.1998.Pendidikan Agama Islam.(PT RajaGrafindo Persada: Jakarta).hlm.
346-359
[4] Drs.H.Rois Mahfud, M.Pd..2011.Al-Islam
Pendidikan Agama Islam.(Penerbit Erlangga).hlm. 107-110
[5] Drs. Imam Syafe’i, M. Ag., dkk..Pendidikan
Agama Islam Berbasis Karakter di Perguruan Tinggi.(PT RajaGrafindo:
Jakarta). Hlm. 50-51.
[6] Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H..1998. Pendidikan Agama Islam. (PT RajaGrafindo Persada: Jakarta). Hlm.
93-113.
[7] Drs.H.Rois Mahfud, M.Pd..2011. Al-Islam
Pendidikan Agama Islam.(Penerbit Erlangga).
[8] Dr. Suwarjin,M.A.2017.Sejarah
Pengembangan Fikih.(Pustaka Belajar: Yogyakarta).hlm. 10-13.
[9] Dra. Zuhairini, dkk..2008. Sejarah Pendidikan Islam.(PT Bumi Aksara:
Jakarta). Hlm. 1-8.
No comments:
Post a Comment