MAKALAH ILMU PENDIDIKAN ISLAM
“ PROSES BELAJAR MENGAJAR DALAM PENDIDIKAN ISLAM ”
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar
merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan.
Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu, yakni mengalami.
Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan melainkan pengubahan
kelakuan.
Istilah
mengajar dan belajar adalah dua peristiwa yang berbeda, akan tetapi antara
keduanya terdapat hubungan erat sekali. Bahakan antara keduanya terjadi kaitan
dan interaksi satu sama lain.
Proses
belajar mengajar merupakan kegiatan yang sangat penting untuk dikuasai dengan
baik dan prima oleh setiap pendidik, karena proses belajar mengajar ini sangat
menentukan keberhasilan atau kegagalan pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep belajar dan mengajar
dalam pendidikan Islam ?
2. Bagaimana konsep proses belajar mengajar
dalam pendidikan Islam ?
3. Apa sajakah komponen-komponen proses
belajar mengajar dalam pendidikan Islam ?
4. Bagaimana cara melaksanakan proses
belajar mengajar dalam pendidikan Islam ?
C. Tujuan
1. Dapat mengetahui konsep belajar dan
mengajar dalam pendidikan Islam.
2. Dapat mengetahui konsep proses belajar
mengajar dalam pendidikan Islam.
3. Dapat mengetahui komponen-komponen
proses belajar mengajar dalam pendidikan Islam.
4. Dapat mengetahui cara melaksanakan
proses belajar mengajar dalam pendidikan Islam.
BAB
II
ISI
A. Konsep Belajar dan Mengajar dalam
Pendidikan Islam
1. Pengertian Belajar
Secara
umum, belajar adalah proses perubahan. Perubahan-perubahan itu tidak hanya
perubahan lahir tetapi juga perubahan batin, tidak hanya perubahan tingkah
lakunya yang nampak, tetapi dapat juga perubahan-perubahan yang tidak dapat
diamati. Perubahan-perubahan itu bukan perubahan yang negatif, tetapi perubahan
yang positif, yaitu perubahan yang menuju ke arah kemajuan atau ke arah
perbaikan.
Adapun
pengertian belajar menurut beberapa aliran, yaitu :
1. Menurut aliran Koneksionisme, belajar
adalah usaha untuk membentuk hubungan antara perangsang dan reaksi.
2. Menurut aliran Behaviourisme, belajar
adalah usaha untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi-kondisi atau
situasi-situasi di sekitar kita.
3. Menurut aliran Psycho refleksiologi,
belajar dipandangnya sebagai usaha untuk membentuk reflek-reflek baru.[1]
Ada dua istilah yang digunakan
Al-Qur’an yang berkonotasi belajar, yaitu ta’allama
dan darasa. Ta’allama berasal dari
kata ‘alima’ yang telah mendapat
tambahan dua huruf (imbuhan), yaitu ta’
dan huruf yang sejenis dengan lam fi’il-nya yang dilambangkan dengan tashdid sehingga menjadi ta’allama. ‘alima berarti “mengetahui”,
dari kata ‘alima’ juga terbentuk kata
al-‘ilm (ilmu). Penambahan ta’ dan tashdid pada kata ‘alima
sehingga menjadi ta’allama membuat
perubahan, yaitu mutawwa’ah; yang
berarti adanya bekas suatu perbuatan. Maka ta’allama
secara harfiah dapat diartikan kepada “menerima ilmu sebagai akibat dari
suatu pengajaran”. Dengan demikian, “belajar” sebagai terjemahan dari ta’allama dapat didefinisikan menjadi
perolehan ilmu sebagai akibat dari aktivitas pembelajaran atau dengan kata lain
belajar merupakan suatu aktivitas yang dilakukan seseorang di mana aktivitas
itu membuatnya memperoleh ilmu.[2]
Dalam Al-Qur’an kata ta’allama itu
terulang dua kali. Keduanya digunakan dalam perbincangan tentang ilmu sihir.
Salah satu ayat tersebut yaitu :
فَيَتَعَلَّمُونَ
مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُمْ
بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا
يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ ۚ
Artinya :
“
Maka mereka mempelajari dari keduanya (malaikat itu) apa yang (dapat)
memisahkan antara seorang (suami) dengan istrinya. Mereka tidak akan dapat
mencelakakan seseorang dengan sihirnya kecuali dengan izin Allah. Mereka
sesuatu yang mencelakakan, dan tidak memberi manfaat kepada mereka.”
Q.S Al-Baqarah (2):102.[3]
Berdasarkan pengertian ta’allama (belajar) diatas, maka ayat
ini dapat diartikan sebagai “bahwa orang Yahudi menerima ilmu sihir dari Harut
dan Marut sebagai hasil pengajaran keduanya. Dan ilmu yang mereka dapatkan itu
tidak bermanfaat buat mereka, bahkan memberi mudarat”. Mereka melakukan
berbagai aktivitas sesuai dengan bimbingan atau arahan guru sihir, di mana
berdasarkan aktivitas dan mengikuti arahan tukang sihir tersebut maka para
pencari ilmu sihir itu memperoleh apa yang mereka cari. Tetapi pada akhirnya
pengetahuan yang telah mereka peroleh sesunguhnya tidak berguna bagi mereka
sendiri, malahan dapat mencederai mereka. Objek yang dipelajari mestilah
sesuatu yang berguna atau bermanfaat bagi kehidupan manusia. Sesuatu yang tidak
berguna bahkan dapat mencederai manusia tidak pantas dipelajari. Oleh karena
itu, Al-Qur’an melarang manusia mempelajari ilmu sihir, karena ilmu tersebut
tidak dapat mendatangkan manfaat bahkan sebaliknya yaitu mendapat kemudaratan.[4]
Kata darasa dalam Al-Qur’an terulang sebanyak 6 kali. . Kata darasa secara harfiah selalu diartikan
kepada “mempelajari” seperti yang
terlihat dalam salah satu firman Allah, yaitu:
وَكَذَٰلِكَ
نُصَرِّفُ الْآيَاتِ وَلِيَقُولُوا دَرَسْتَ وَلِنُبَيِّنَهُ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya :
“
Dan demikianlah Kami menjelaskan berulang-ulang ayat-ayat Kami agar orang-orang
musyrik mengatakan, ‘Engkau telah mempelajari ayat-ayat itu (dari ahli Kitab),’
dan agar Kami menjelaskan Al-Qur’an itu kepada orang-orang yang mengetahui. ”
Q.S Al-an’am (6):105.[5]
Kata darasa dalam ayat ini berarti “engkau telah mempelajari”. Al-Isfihani secara harfiah memaknai kata
darasa itu dengan “meninggalkan
bekas”, seperti yang terlihat makna ungkapan darasa al-daru yang semakna dengan
baqiya al-‘ilma sama artinya dengan tanawaltu athrahu bi al-hifzi (saya
memperoleh bekasnya dan mmenghafal). Maka, belajar dapat didefinisikan sebagai
suatu kegiatan pencarian ilmu, di mana hasilnya berbekas dan berpengaruh
terhadap orang yang mencarinya. Artinya, belajar tidak hanya sekedar aktivitas
tetapi ia mesti mendatangkan pengaruh atau perubahan pada orang yang belajar
tersebut.[6]
2. Pengertian Mengajar
Mengajar
ialah menyampaikan pengetahuan kepada siswa didik atau murid di sekolah, mewariskan
kebudayaan kepada generasi muda melalui lembaga pendidikan sekolah, usaha mengorganisasi lingkungan sehingga
menciptakan kondisi belajar bagi siswa dan mengajar disebut pula memberikan
bimbingan belajar kepada murid.[7]
Dalam
Islam, kata “mengajar” mempunyai akar kata yang sama dengan belajar, yaitu
berasal dari kata “ajar”. Secara harfiah kata “mengajar” diartikan sebagai
“memberikan pelajaran”. Artinya, mengajar sebagai suatu pekerjaan melibatkan
berbagai hal, yaitu guru sebagai pengajar, materi pelajaran dan pelajar.
Perbincangan
Al-Qur’an tentang mengajar menggunakan kata ‘allama.
Kata ini berasal dari ‘alima, yang
telah mendapat tambahan satu huruf yang sejenis dengan ‘ain fi’il-nya yang kemudian diganti dengan tasydid sehingga
menjadi ‘allama. Dengan demikian
mengajar dapat diartikan kepada suatu aktivitas atau kegiatan yang dilakukan
seorang yang dapat membuat orang lain mengetahui atau menguasai suatu ilmu.
Kegiatan itu meliputi kegiatan sepihak dan interaksi aktif antara kedua belah
pihak. Yang terakhir disebut juga dengan pembelajaran.
Al-Qur’an
menggunakan kata ‘allama 41 kali
dalam dua sighat (pola), yaitu fi’il madi
dan mudari. Ayat – ayat tersebut pada
umumnya menggambarkan bahwa Allah-lah yang mengajar manusia. Artinya, Allah
melimpahkan ilmu kepada manusia baik secara langsung maupun tidak. Dia mengajar
Nabi mengenai apa saja yang tidak ia ketahui, dan bahkan Dia juga mengajar
segala manusia, seperti yang ditegaskan dalam Q.S Al-Alaq (96):3-5.[8]
اقْرَأْ وَرَبُّكَ
الْأَكْرَم ُ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ ُ عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
ُ
Artinya
:
“ Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha mulia, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S Al-Alaq (96):3-5.[9]
Jadi,
Allah tidak hanya Pencipta manusia tetapi Dia juga mengajar dan melimpahkan
ilmu kepada manusia. Allah yang membuat manusia itu berilmu dengan menciptakan
potensi dalam diri manusia tersebut, dengan potensi itulah manusia dapat
menggali dan mencari ilmu pengetahuan serta menerimanya. Dia mengajar manusia
melalui alam ciptaan-Nya dan wahyu yang disampaikan kepada Nabi.
Selain
istilah ‘allama, dalam bahasa Arab
terdapat pula istilah rabba, darrasa dan ‘addaba yang berdekatan maknanya dengan ‘allama tersebut. Istilah – istilah ini secara harfiah mempunyai
makna yang berbeda. Tetapi secara terminologi, semuanya menggambarkan hal-hal
yang berkaitan dengan pekerjaan atau proses yang dilalui dalam melaksanakan
pembelajaran terutama oleh guru.[10]
B. Konsep Proses Belajar Mengajar dalam
pendidikan Islam
Proses
belajar mengajar dapat diartikan bukan hanya mentrasformasikan ilmu
pengetahuan, wawasan, pengalaman dan keterampilan kepada peserta didik,
melainkan juga menggali, mengarahkan dan membina seluruh potensi yang ada dalam
diri peserta didik, sesuai dengan tujuan yang direncanakan. Proses belajar
mengajar tersebut harus berjalan dengan baik dan efektif, yaitu proses belajar
mengajar yang menyenangkan, menggembirakan, bergairah, penuh motivasi, tidak
membosankan serta menciptakan kesan yang baik pada diri peserta didik. Untuk
mewujudkan keadaan yang sedemikian itu, maka proses belajar mengajar harus
disertai dengan memelihara motivasi, kebutuhan, keinginan, tujuan, kesediaan
dan perbedaan perorang diantara peserta didik seperti :
a) Berusaha menyiapkan peluang partisipasi
dan pelaksanaan peraktis diantara mereka.
b) Menjadi teladan bagi mereka dalam segala
hal yang disampaikannya.
c) Menaruh perhatian pada faktor-faktor
kepahaman.
d) Mengetahui hubungan-hubungan.
e) Penyusunan yang baik, tepat, baru dan
dijamin keasliannya.
f) Punya pemikiran yang sehat.
Selain
itu, seorang guru harus memelihara kesan (effort)
yang antara lain berarti bahwa pengalaman mengajar haruslah menggembirakan
peserta didik, menarik perhatian dan memenuhi kebutuhan kepada ketentraman,
penghargaan dan kesuksesan.[11]
C. Komponen – Komponen Proses Belajar
Mengajar dalam Pendidikan Islam
1. Peserta Didik
Peserta
didik adalah orang yang menuntut ilmu atau disebut juga pelajar, yaitu orang
yang belajar. Konsep belajar sesungguhnya tidak mesti tertuju pada siswa yang
menuntut ilmu di lembaga pendidikan seperti sekolah. Tidak juga berarti orang
yang selalu membutuhkan guru untuk mengajar apa yang tidak diketahuinya.
Dalam
sejarah Islam, nabi Muhammad saw sebenarnya sama seperti manusia pada umumnya.
Punya kelemahan dan kelebihan sebagai manusia. Bahkan sebelum turunnya wahyu
pertama, nabi Muhammad saw tidak pernah mengenyam pendidikan formal layaknya
seorang pelajar yang kita ketahui saat ini.[12]
Dalam
proses belajar mengajar, siswa sebagai peserta didik tidak hanya objek
pendidikan tetapi juga sebagai subjek. Murid sebagai objek dan subjek
pendidikan digambarkan dalam salah satu ayat Al-Qur’an yaitu :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ
فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ
وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُون َ وَعَلَّمَ آدَمَ
الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ
أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَٰ
Artinya :
”Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Dan Dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu
mamang benar orang-orang yang benar!"Q.S Al-Baqarah (2):30-31.[13]
Ada dua sosok peserta didik yang diperbincangkan
dalam ayat ini, yaitu malaikat dan Nabi Adam as. Pendidiknya adalah Allah swt;
Dia mengajar malaikat dan juga mengajar Adam. Malaikat diberi hak berbicara
mengenai apa yang akan Allah swt lakukan, yaitu penciptaan manusia sebagai
khalifah di muka bumi. Dan Nabi Adam as sebagai peserta didik tidak hanya
menerima transfer ilmu, tanpa usaha, dari Allah swt. Tetapi Allah swt
memberikan daya kepadanya berupa indra, akan dan qalbu sehingga membuat Adam
aktif dan memperoleh ilmu mengungguli malaikat.
Ayat di atas menggambarkan petunjuk untuk para
pendidik, bahwa janganlah mereka melihat atau memperlakukan para peserta didik
sebagai objek semata. Tetapi perlakukan jugalah sebagai subjek. Sebagaimana
Allah swt memberikan kesempatan kepada
malaikat untuk berbicara walaupun pada akhirnya malaikat harus menerima
ketetapan Allah swt menciptakan Adam sebagai khalifah.[14]
2. Objek Belajar
Objek belajar
adalah kelompok - kelompok ilmu pengetahuan yang tersusun dalam kurikulum.
Objek belajar dalam Islam terdiri dari tiga kelompok besar, yaitu :
a) Al-Qur’an
b) Manusia
c) Realitas alam semesta.[15]
3. Tujuan
Dalam pendidikan
Islam, ada 5 sudut pandang dalam merumuskan tujuan pada level aplikatif yaitu
dari segi :
a) Fisik
Konsep tujuan
proses kependidikan Islam diarahkan untuk mencapai tingkat atau level fisik
jasmani yang sehat dan kuat.
b) Motorik
Sistem
kependidikan Islam seharusnya mampu melahirkan peserta–peserta didik yang
terampil, gesit, cekatan dan kreatif.
c) Sikap dan Kepribadian
Diharapkan
sistem kependidikan Islam mampu melahirkan generasi–generasi yang beriman dan berakhlak
d) Intelektual
Sistem
kependidikan Islam seharusnya mampu menciptakan manusia – manusia yang cerdas,
kreatif, berwawasan luas dan inovatif.
e) Akidah
Rumusan konkret
sistem kependidikan Islam diarahkan pada konsep “reflektif” dari akidah Islam itu sendiri, yaitu rajin dan tekun
beribadah.[16]
4. Pendidik
Dalam bahasa
Arab, guru disebutkan dengan mu’allim,
murabbi, mudarris dan al-mu’addib.
Istilah mu’allim diartikan sebagai
sosok seorang yang mempunyai kompetensi keilmuan yang sangat luas. Guru sebagai
murabbi berarti mempunyai peranan dan
fungsi membuat pertumbuhan, perkembangan serta menyuburkan intelektual dan jiwa
peserta didik. Adapun guru sebagai muddaris
mempunyai tugas dan kewajiban membuat bekas dalam jiwa peserta didik seperti
perubahan perilaku, sikap dan penambahan atau pengembangan ilmu pengetahuan
mereka. Sedangkan mu’addib mempunyai
tugas membuat anak didiknya menjadi insan yang berakhlak mulia sehingga mereka
berprilaku terpuji.[17]
Seorang tenaga
pengajar atau guru dalam pandangan Islam memiliki kedudukan yang sangat mulia.
Nabi Muhammad saw bersabda :
“sesungguhnya
Allah Yang Maha Suci dan para malaikat-Nya
serta semua penghuni langit dan bumi-Nya, sampai semut dalam lubang dan
ikan di dasar laut sekalipun, niscaya akan memintakan rahmat bagi orang-orang
yang mengajar manusia kepada kebaikan”. (HR. At-Turmudzi dari Ibnu Majah).[18]
5. Lembaga dan Lingkungan
Di dalam Islam
disebutkan bahwa tidak semua hal yang berhubungan dengan kekerabatan atau dekat
dengan seseorang adalah hal yang baik untuk orang itu. Perumpamaan tersebut
terdapat dalam ayat berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
ۚ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya :
”Hai orang-orang mukmin,
sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh
bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan
tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”. Q.S At-Taghabun (64):14.[19]
Jika ayat ini di Qiyas-kan dengan faktor lembaga dan
lingkungan pendidikan, maka itu berarti tidak setiap lembaga atau lingkungan
pendidikan selalu membawa pengaruh dan fungsi positif bagi peserta didiknya.[20]
D. Proses Belajar Mengajar dalam Pendidikan
Islam
Al-Qur’an
sebagai petunjuk bagi manusia dalam melakukan berbagai aktivitas diyakini
mengandung petunjuk tentang cara mewujudkan kondisi proses belajar mengajar
yang baik dan efektif. Hasil kajian Omar Mohammad Al-Taoumy Al-Syaibani
terhadap Al-Qur’an berkaitan dengan proses belajar mengajar menyatakan
dasar-dasar dan sumber-sumber umum yang
dapat dibangun dalam konsep proses belajar mengajar yang baik dan efektif,
yaitu :
1. Dasar kemanusiaan
Dasar
kemanusiaan yaitu dasar yang berpijak kepada asumsi manusia yang dijadikan
sebagai sasaran pendidikan atau peserta didik adalah manusia yang wajar, bukan
manusia super, melainkan manusia sebagai ciptaan Tuhan lengkap dengan kelebihan
dan kekurangannya dan antara satu dan lainnya berdiri sejajar, sederajat tanpa
ada diskriminasi.[21]
Dalam
Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang memberi petunjuk agar kegiatan belajar
mengajar berjalan dengan semestinya tanpa diskriminasi.
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ
رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ
Artinya
:
“Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik.” Q.S An-Nahl (16):125.[22]
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ
اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ
Artinya :
“ Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.” Q.S Al-Imran
(3):159.[23]
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ
بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِين
Artinya :
“ Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang
mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
Q.S Al-A’raf (7):199.[24]
قُلْ يَا عِبَادِيَ
الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ
Artinya :
“ Katakanlah:
"Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. ” Q.S Az-Zumar (39):53.[25]
2. Dasar Bio Psikologi
Al-Qur’an dan al-Sunnah banyak
menjelaskan tentang berbagai potensi biopsikologis yang dimilki manusia.
Potensi tersebut sebagai anugerah Tuhan yang harus disyukuri dengan cara menggunakannya
secara benar dan baik. Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia bukan hanya sebagai
makhluk rohaniah, melainkan juga sebagai makhluk jasmaniah yang tunduk kepada
hukum pertumbuhan dan perkembangan yang teratur (sunnatullah). Salah satu ayat
Al-Qur’an yang menggambarkan adanya potensi jasmani yang dimiliki manusia,
yaitu :[26]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ
ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ
وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ ۚ وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا
نَشَاءُ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا
أَشُدَّكُمْ ۖ وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّىٰ وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَىٰ
أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِنْ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا ۚ وَتَرَى
الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ
وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ
Artinya
:
“ Hai
manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka
(ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari
setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang
sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu
dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah
ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan
berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang
diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun,
supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya.
Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di
atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan
yang indah. ” Q.S Al-Hajj (22):5.[27]
Berdasarkan
ayat Al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia (secara biologis) dapat diketahui
tentang beberapa hal, yaitu :
1. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan dan sekaligus menjadi tanda
kekuasaan-Nya.
2. Manusia secara fisik terikat oleh hukum pertumbuhan, mulai dari
tanah (turab), setetes air mani (nutfah), segumpal darah (alaqah), segumpal daging (mudghah), ada yang sempurna kejadiannya
dan ada yang tidak sempurna, berkembang dalam rahim dalam waktu yang
ditentukan, kemudian lahir ke dunia sebagai bayi, dan kemudian terus berkembang
menjadi dewasa tua hingga pikun.
3. Asal usul manusia berasal dari materi (fisik-jasmi) yakni tanah,
nutfah, alaqah, mudghah, air,
tembikar dan seterusnya yang diberi bentuk dan diberi nyawa hingga kemudian
hidup.
4. Adanya pendengaran, penglihatan dan hati nurani menggambarkan
adanya berbagai potensi jasmani yang dapat digunakan untuk memahami, mengingat
dan seterusnya.
5. Tingkat kesanggupan panca indera setiap manusia dalam menangkap
pelajaran antara satu dan lainnya tidak sama.
Al-Qur’an
menginformasikan tentang biofisik manusia yang demikian itu tentu ada
maksudnya, yakni agar benar-benar dipelajari dengan seksama berbagai rahasia
dan hikmahnya untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
menentukan kebijakan dalam melakukan kegiatan pendidikan.[28]
3. Dasar Psikologis
Dasar
psikologis adalah sejumlah kekuatan psiklogis termasuk motivasi, kebutuhan
emosi, minat, sikap, keinginan, kesediaan, bakat-bakat dan kecakapan akal
(intelektual).
Berbagai
potensi psikologi yang terdapat dalam diri manusia lebih lenjut dikemukakan di
dalam Al-Qur’an dengan menggunakan kata insan.
Kata insan dilihat dari asal kata anasa yang mempunyai arti melihat,
mengetahui dan meminta izin mengandung pengertian adanya kaitan dengan
kemampuan penalaran. Dengan penalarannya manusia dapat mengambil pelajaran dari
apa yang dilihatnya. Ia dapat pula mngetahui apa yang benar dan apa yang salah
dan terdorong untuk meminta izin menggunakan sesuatu yang bukan miliknya.
Di dalam
Al-Qur’an, kata insan dipakai untuk
menyatakan manusia lapangan kegiatan yang sangat luas. Kata insan antara lain digunakan :
1. Untuk menyatakan bahwa manusia menerima pelajaran dari Tuhan
tentang apa yang tidak diketahuinya. (Q.S Al-Alaq’ (96):1-5).
2. Untuk menyatakan bahwa manusia mempunyai musuh yang nyata yaitu
setan. (Q.S Yusuf (12):5).
3. Untuk menyatakan bahwa manusia dapat memikul amanah dari Tuhan.
(Q.S Al-Ahzaab (33):72).
4. Untuk menyatakan bahwa manusia bekerja dengan waktu, ia harus
mengatur dan menggunakan waktu tersebut dengan sebaik-baiknya agar tidak
merugi. (Q.S Al-‘Asr (103):1-3).
5. Untuk menyatakan bahwa manusia akan mendapatkan bagian dari apa
yang telah dikerjakannya. (Q.S An-Najm (53):39).
6. Manusia mempunyai keterkaitan dengan moral atau sopan santun.
(Q.S Al-Ankabuut (29):8).
Dari
ayat tersebut, dapat ditarik pengertian bahwa kata insan dipakai dalam Al-Qur’an dalam kaitan dengan berbagai kegiatan
manusia.[29]
4. Dasar Sosiologis
Proses
belajar mengajar juga harus memperhatikan dasar sosiologis. Dalam proses
pengajarannya, seorang guru harus seiya sekata ddan bersesuaian dengan
nilai-nilai masyarakat dan tradisi-tradisinya yang baik dan dengan tujuan,
kebutuhan, harapannya terhadap anggota-anggotanya dan tuntunan kehidupan yang
berjaya di masyarakat tersebut.
Selain
itu kegiatan proses belajar mengajar juga harus memperhatikan adanya hubungan
yang erat antara metode mengajar dan proses belajar dan tempat tujuan terakhir
metode mengajar.
Kajian
para ahli menunjukkan tentang banyaknya metode mengajar yang didasarkan pada
sudut pandang dasar yang berbeda-beda, yaitu :
1. Metode mengajar yang didasarkan pada alat-alat dan bahan-bahan
yang digunakan padanya dapat mengambil bentuk metode kitab, metode
perpustakaan, metode laboratorium dan metode proyek.
2. Metode yang berdasar pada cara yang diikutinya dalam
mengemukakan fakta, seperti metode penyusunan masa, metode penyusunan
psikologis, metode penyusunan logis, metode penyusunan mengikut perkara, mata
pelajaran, unit pelajaran atau mengikuti masalah kehidupan.
3. Metode yang didasarkan pada tujuan yang dituju oeh guru, dapat
mengambil bentuk metode nasihat, petunjuk, bimbingan, latihan, menikmati dan
apresiasi, pemikiran, kesimpulan dan anaisis, penafsiran (diagnosis) dan metode
pengembangan pengalaman.
4. Metode yang didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai murid
dapat mengambil metode penyelesaian masalah dan metode proyek.
5. Metode yang berdasar pada derajat kebebasan berpikir seperti
metode autokrasi atau tangan besi, metode pengambilan kesimpulan dari awal,
metode pengambilan kesimpulan terpimpin dan metode percobaan.
6. Metode yang berdasar pada cara yang digunakan dalam ulangan dan
penilaian seperti metode lisan (oral), metode laporan tertulis dan metode ujian
tertulis.
7. Metode yang didasar pada panca indera luar, yaitu metode
penglihatan, pendengaran dan gerakan.
Selain itu, terdapat
pula beberapa metode lain, yaitu :
1. Metode pengambilan kesimpulan atau induktif.
2. Metode perbandingan.
3. Metode kuliah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
“Belajar”
sebagai terjemahan dari ta’allama
dapat didefinisikan menjadi perolehan ilmu sebagai akibat dari aktivitas
pembelajaran atau dengan kata lain belajar merupakan suatu aktivitas yang
dilakukan seseorang di mana aktivitas itu membuatnya memperoleh ilmu. Belajar
dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan pencarian ilmu, di mana hasilnya
berbekas dan berpengaruh terhadap orang yang mencarinya.
Dalam Islam,
kata “mengajar” mempunyai akar kata yang sama dengan belajar, yaitu berasal
dari kata “ajar”. Secara harfiah kata “mengajar” diartikan sebagai “memberikan
pelajaran”. Artinya, mengajar sebagai suatu pekerjaan melibatkan berbagai hal,
yaitu guru sebagai pengajar, materi pelajaran dan pelajar.
Proses belajar
mengajar dapat diartikan bukan hanya mentrasformasikan ilmu pengetahuan,
wawasan, pengalaman dan keterampilan kepada peserta didik, melainkan juga
menggali, mengarahkan dan membina seluruh potensi yang ada dalam diri peserta
didik, sesuai dengan tujuan yang direncanakan. Proses belajar mengajar tersebut
harus berjalan dengan baik dan efektif, yaitu proses belajar mengajar yang
menyenangkan, menggembirakan, bergairah, penuh motivasi, tidak membosankan
serta menciptakan kesan yang baik pada diri peserta didik.
Komponen-komponen
proses belajar mengajar dalam pendidikan Islam, yaitu :
1. Peserta didik
2. Objek belajar
3. Tujuan belajar
4. Pendidik
5. Lembaga dan lingkungan
Proses belajar mengajar dalam pendidikan Islam
meyatakan dasar-dasar, yaitu :
1. Dasar kemanusiaan
2. Dasar bio-psikologi
3. Dasar psikologis
4. Dasar sosiologis
B. Saran
Menyadari
bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih
fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan sumber-sumber
yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan.
Untuk
saran bisa berisi kritik atau masukan terhadap penulisan juga bisa untuk
menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah dijelaskan.
Karena pada dasarnya pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan
kita semua dan saran adalah langkah terbaik untuk membuat makalah ini menjadi
lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
https://tafsirq.com
(diakses 24-26 Mei 2019)
Hamalik, Oemar. 2018. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi
Aksara,
Muliawan, Jasa Ungguh. 2015. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Raja
Grafindo.
Mustaqim dan Abdul Wahib. 2003. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nata,
Abuddin. 2016. Pendidikan dalam
Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Prenada Media Group.
Yusuf,
Kadar Muhammad. 2013. Tafsir Tarbawi
Pesan-Pesan Al-Qur’an tentang Pendidikan. Jakarta: Amzah.
[1] Mustaqim dan Abdul
Wahib, Psikologi Pendidikan (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2003), hal. 61.
[2] Kadar M Yusuf, Tafsir Tarbawi Pesan-Pesan Al-Qur’an tentang
Pendidikan (Jakarta: Amzah, 2013), hal. 34.
[4] Kadar M Yusuf, Tafsir Tarbawi Pesan-Pesan Al-Qur’an tentang
Pendidikan (Jakarta: Amzah, 2013), hal. 36.
[5] Diakses dari
https://tafsirq.com/6-al-anam/ayat-105, pada tanggal 24 Mei 2019 pukul 22.43.
[6] Kadar M Yusuf, Tafsir Tarbawi Pesan-Pesan Al-Qur’an tentang
Pendidikan (Jakarta: Amzah, 2013), hal. 37.
[7] Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar (Jakarta: Bumi
Aksara, 2008), hal. 45.
[8] Kadar M Yusuf, Tafsir Tarbawi Pesan-Pesan Al-Qur’an tentang
Pendidikan (Jakarta: Amzah, 2013), hal. 58.
[9] Diakses dari
https://tafsirq.com/96-al-alaq/ayat-3-5, pada tanggal 25 Mei 2019 pukul 21.25.
[10] Kadar M Yusuf, Tafsir Tarbawi Pesan-Pesan Al-Qur’an tentang
Pendidikan (Jakarta: Amzah, 2013), hal. 59.
[11] Abuddin Nata, Pendididkan dalam Perspektif Al-Qur’an
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), hal. 185.
[12] Jasa Ungguh Muliawan,
Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT
Raja Grafindo,2015), hal. 167.
[13]Diakses dari https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-30
-31,
pada tanggal 25 Mei 2019 pukul 22.22.
[14] Kadar M Yusuf, Tafsir Tarbawi Pesan-Pesan Al-Qur’an tentang
Pendidikan (Jakarta: Amzah, 2013), hal. 71.
[15] Jasa Ungguh Muliawan,
Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT
Raja Grafindo,2015), hal. 169.
[16] Ibid., hal. 171.
[17] Kadar M Yusuf, Tafsir Tarbawi Pesan-Pesan Al-Qur’an tentang
Pendidikan (Jakarta: Amzah, 2013), hal. 62.
[18] Jasa Ungguh Muliawan,
Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT
Raja Grafindo,2015), hal. 174.
[20] Jasa Ungguh Muliawan,
Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT
Raja Grafindo,2015), hal. 176.
[21] Abuddin Nata, Pendididkan dalam Perspektif Al-Qur’an
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), hal. 186.
[26] Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), hal. 189.
[28] Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), hal. 191.
[29] Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), hal. 195.
[30] Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), hal. 203.
No comments:
Post a Comment