MAKALAH PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU MISKAWAIH
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali
Ahmad ibnu Muhammad ibnuYa’cub ibnu Miskawaih. Ia dilahirkan di kota Rayy, Iran
pada tahun 330 H / 941 M dan wafat di Asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/ 16
Februari 1030 M.[1]
Sejarah hidup tokoh ini tidak banyak
diketahui orang. Para penulis dalam berbgai literature tidak mengungkapkan
biografinya secara rinci. Beberapa hal yang perlu dijelaskan bahwa ia belajar
sejarah teritama Tarikh al- Thabari kepada Abu Bakar ibnu Kamil al-
Qadhi dan belajar filsafat pada Ibnu Al- Khammar, mufasir kenamaan karya-karya
Aristoteles. Selain itu Ibnu Miskawaih menyerap ilmu kimia dari Abu al- Thayyib
al- Razi, seorang ahli kimia.
Disiplin ilmunya meliputi kedokteran,
bahasa, sejarah dan filsafat. Akan tetapi, ia lebih popular sebagai seorang
filosof akhlak ( al-falsafat al-‘amaliyat ) ketimbamg filosof ketuhanan
(al- falsafat al-nazzariyyat al- illahiyyat ). Agaknya ini dimotifasi
oleh situasi masyarakat yang sangat kacau di masanya, seperti minuman keras,
perzinaan, dll.[2]
Ibnu Miskawaih bekerja selama
berpuluh-puluh tahun sebagai pustakawan pada sejumlah wazir dan amir Bani
Buwaih, yakni Wazir Hasan al- Mahlabi di Baghdad (384- 352 H). Wazir Abu al-
FadhlAli ibnu Muhammad di Rayy (360-366 H), Amir Add ad-Daulah ibnu Buwaih di
Baghdad (367-373 H), dll.[3]
Ibnu Miskawaih juga digelari Guru ketiga(
al-mualimin al-tsalits ) setelah al-farabi yang digelari guru kedua (
al-mualimin al-tsani ) sedangkan yang dianggap guru pertama ( al-mualimin
al-Awwal ) adalah Aristoteles. Sebagai bapak etika islam, beliau telah
merumuskan dasar-dasar etika dalam kitabnya tahdzib al-akhlak wa tathir al-a’raq
( pendidikan budi dan pembersih akhlak ). Sementara itu sumber filsafat etika
ibnu Miskawaih berasal dari filsafat yunani, peradapan Persia, ajaran syariat
islam, dan pengalaman pribadi. Ibnu Miskawaih adalah seorang teoritis dalam
hal-hal akhlaq artinya ia telah mengupas filsafat akhlaqiyah secara analisa
pengetahuan. Ini tidaklah berarti bahwa ibnu Miskawaih tidak berakhlak, hanya
saja persoalan ditinjau dari segi pengetahuan semata-mata.
B. Karya Tulis Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih tidak hanya dikenal sebagai
seorang pemikir (filosof), tetapi ia juga seorang penulis yang produktif.
Keseluruhan karyanya berjumlah 18 buah yang sebagian besar mengkaji masalah
jiwa dan etika. Karyanya antara lain :
a. Al-Fauz al- Akbar
b. Al-Fauz al- Asghar
c. Tajarib al- Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulisnya
pada tahun 369 H/ 979 M)
d. Uns al- Farid (koleksi anekdot, syair, peribahasa da kata-kata
hikmah)
e. Tartib al- Sa’adat (isinya akhlak dan politik)
f. Al- Mustaufa (isinya syair-syair pilihan)
g. Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak)
h. Al- Jami’
i.
Al- Siyab
j.
On the Simple Drugs (tentang kedokteran)
k. On the Compisition of the Bajats (seni memasak)
l.
Kitab al- Ashribah (tentang minuman)
m. Tahzib al- Akhlak ( tentang akhlak )
n. Risalat fi al- Lazzat Wa al-Alam fi Jauhar al-Nafs
o. Ajwibat wa As’ilat fi an-Nafs wa a-Aql
p. Al-Jawab fi al-Masa’il al-Salas
q. Risalat fi Jawab fi Su’al Ali ibn Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi
Haqiqat al-Aql
r. Thaharat al-Nafs.
C.
Pemikiran Filsafat Ibnu Miskawaih
1.
Ketuhanan
Tuhan, menurut Ibnu Miskawaih adalah zat yang tidak berjisim, Azali
dan pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek. Ia tidak terbagi-bagi dan tidak
mengandung kejama’an serta tak satu pun yang setara dengan-Nya. Ia ada tanpa
diadakan da nada-Nya tidak bergantung kepada yang lain, sementara yang lain membutuhkan-Nya.
Menurut De Boer, [4] Ibnu Miskawaih menyatakan, Tuhan adalah
zat yang jelas dan Zat yang tidak jelas. Dikatakan Zat yang jelas bahwa ia
adalah yang haq (benar). Yang Benar adalah terang. Dikatakan tidak jelas karena
kelemahan akal pikiran kita untuk menangkap-Nya.
Tuhan dapat dikenal dengan propogasi
negative dan tidak dapat dikenal dengan sebaliknya, yaitu propogasi positif.
Alasannya propogasi positif akan menyamakan Tuhan dengan alam. Segala sesuatu
di alam ini ada gerakan. Gerakan tersebut merupakan sifat bagi alam yang
menimbulkan perubahan pada sesuatu dari bntuknya semula. Ini sebagai bukti tentang adanya pencipta
alam.
2.
Emanasi
Ibnu miskawaih menganut paham emanasi, yakni Allah menciptakan alam
secara pancaran. Namun, emanasinya bertentangan dengan emanasi Al- Farabi.
Menurutnya entitas pertama yang diciptakan Allah secara pancaran ialah ‘Aql
Fa’al (akal aktif). Akal aktif ini tanpa perantara sesuatu pun. Ia qodim, sempurna dan tak
berubah. Penciptaan-Nya secara pancaran yang terus-menerus dapat memelihara
tatanan di alam iini. Andaikan Allah menahan atau tidak aktif menciptakannya,
maka akan terhenti kewujudan di alam ini.
Ibnu Miskawaih juga mengemukakan teori
evolusi. Menurut Ibnu Miskawaih, evolusi berlangsung dari alam mineral kea lam
tumbuh-tumbuhan, berlanjut ke alam binatang dan seterusnya kea lam manusia.[5] Transisi dari alam mineral kea lam
tumbuhan terjadi melalui kerang, dari alam tumbuhan kea lam binatang melalui
pohon kurma dan alam binatang kea lam manusia melalui kera.
3. Kenabian
Menurut Ibnu Miskawaih, nabi adalah seorang
muslim yang memperoleh hakikat-hakikat atau kebenaran karena pengaruh Akal
Aktif atas daya imajinasinya. Kebenaran seperti ini diperoleh pula oleh para
filosof. Perbedaannya hanya terletak pada tehknik memoerolehnya. Filosof
mendapat kebenaran dari bawah ke atas, yakni dari daya indrawi menaik ke daya
khayal dan menaik lagi ke daya berpikir yang dapat berhubungan dan menangkap
hakikat-hakikat atau kebenaran dari akal aktif. Sementara itu, nabi mendapat
kebenaran diturunkan langsung dari atas ke bawah, yakni dari akal aktif
langsung kepda nabi sebagai rahmat Allah. Dari itu, sumber kebenaran yang diperoleh
nabi dan filosof adalah sama, yaitu akal aktif
4. Jiwa
Jiwa, menurut Ibnu Miskawaih adalah jauhar
rohani yang tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Ia adalah kesatuan yang
terbagi-bagi, ia akan hidup selalu, tidak dapat diraba dengan panca indra
karena ia bukan jism atau bagian dari jism. Dalam konsepsi Ibnu Miskawaih, jiwa
dilukiskan sebagai sesuatu yang bersifat immaterial, bukan bagian tubuh, tidak
membutuhkan tubuh, tidak dapat ditangkap oleh indra jasmani.[6]
Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya.
Argument yang dimajukannya ialah jiwa dapat menangkap bentuk sesuatu yang
berlawanan dalam waktu yang bersamaan, seperti warna putih dan hitam, sedangkan
badan tidak dapat demikian.[7]
Jiwa tidak dapat bermateri, sekalipun ia
bertempat pada materi, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu
tertentu. Ibnu Miskawaih juga membedakan
antara pengetahuan jiwa dan pengetahuan pancaindra. Secara tegas ia
katakan bahwa pancaindra tidak dapat menangkap selain apa yang dapat diraba
atau diindra. Sementara jiwa dapat menangkap apa yang dapat ditangkap
pancaindra, yakni yang dapat diraba atau tidak.
5. Akhlak
Ibnu Miskawaih merupakan pembahan seorang
moralis yang terkenal. Hampir setiap pembahasan akhlak dalam Islam, filsafatnya
ini selalu mendapat perhatian utama. Keistimewaan yang menarik dalam tulisannya ialah
pembahasan yang didasarkan pada ajaran Islam (Al Quran dan hadis) dan
dikombinasikan dengan pemikiran yang lain sebagai pelengkap. Akhlak
menurut konsep Ibnu Miskawaih ialah
suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa
piker dan pertimbangan.[8]
Ibnu Miskawaih menolak segala bentuk kehidupan Al-Muttawahid (pertapaan). Hal
ini disebabjan kehidupan seperti itu tidak cocok dengan hukum agama yang pada
dasarnya merupakan mazhab akhlak yang mendorong manusia untuk mencintai
sesamanya.
Kewajiban yang dibebankan agama adalah
latihan akhlak bagi jiwa manusia yang bertujuan untuk syair keagamaan, seperti
sholat jama’ah, haji dan lain-lainnya yang tidak lain adalah untuk menanamkan
sifat keutamaan pada jiwa manusia. Pada sisi lain, kehidupan pertapaan dapat
dinilai mengandung kadar kedzaliman karena kebutuhan hidupnya dibebankan kepada
orang lain.[9]
Padahal dalam kehidupan ini manusia harus saling membantu dalam segala aspek
untuk mencapai kemajuan, baik yang bersifat sosial maupun kebudayaan.
6. Kebahagian ( sa’adah)
Miskawaih membedakan antar al-khair
(kebaikan ) dengan as-sa’adah ( kebahagiaan). Dimana kebaikan menjadi tujuan
semua orang: kebaikan umum bagi seluruh manusia dalam kedudukan sebagai
manusia. Sedangkan kebahagiaan adalah kebaikan bagai seseorang, tidak bersifat
umum, tetapi relative tergantung kepada orang perorang.
Ada dua pandangan pokok tentang
kebahagiaan. Yang pertama diwakili oleh plato yang mengatakan bahwa hanya
jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih berhubungan
dengan badan ia tidak akan memperoleh kebahagian. Pandangan kedua di pelopori
oleh Aristoteles, yang mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di dunia
walaupun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja, kebahagiaan berbeda menurut masing-masing
menurut orang, seperti orang miskin memandang kebahagiaan itu pada kekayaan,
dan orang sakit pada kesehatan dan lainnya.
Ibu
Miskawaih mencoba mengompromikan kedua pandangan yang berlawanan itu,
menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur yaitu jiwa dan badan, maka
kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih rendah tingkatnya
dan lebih tidak abadi sifatnya jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa.
Kebahagiaan yang bersifat benda mengandung kepedihan dan peyesalan, serta
menghambat perkembangan jiwanya menuju kehadiran Allah swt. Kebahagiaan jiwa
merupakan kebahagiaan yang sempurna yang mampu mengantar manusia menuju derajat
malaikat.
7. Pendidikan islam
Dalam karangan-karangan beliau banyak menunjukkan hal-hal yang
sifatnya material dalam kontek moral seperti pokok pendidikan akhlaknya ketika
mengangkat persoalan-persoalan yang wajib bagi kebutuhan manusia dan jiwa
sebagai hal wajib akan menentukan perubahan psikologis ketika terjadi interaksi
sesama manusia. Dari
beberapa uraian diatas memberikan konsekwensi logis, dimana seluruh materi
pendidikan pada umumnya merupakan hal yang wajib dipelajari didalam pendidikan
moral/akhlak, seharusnya ilmu-ilmu yang diajarkan dalam proses pendidikan moral
tidak hanya diperuntukkan sebagai tujuan akademik semata tetapi akan lebih
bermamfaat ketika hal-hal yang bersifat subtansial/esensial dipenerapannya
dalam hubungan sosial.
Dapat disimpulkan bahwasanya
sifat utama itu antara lain: hikmah, berani, dan murah yang apabila ketiga
sifat utama ini selaras, maka sifat keempat akan timbul darinya, yakni
keadilan. Sedangkan lawan dari semua sifat itu adalah bodoh, rakus, penakut,
dan zalim.
Tujuan pendidikan akhlak yang
dirumuskan Ibnu Miskawaih memang terlihat mengarah kepada terciptanya manusia
agar sebagai filosuf. Karena itu Ibnu Miskawaih memberikan uraian tentang
sejumlah ilmu yang dapat di pelajari agar menjadi seorang filosuf. Ilmu
tersebut ialah:
a)
Matematika
b)
Logika dan
c)
Ilmu kealaman
Jadi, jika dianalisa dengan
secara seksama, bahwa berbagai ilmu pendidikan yang diajarkan Ibnu Miskawaih
dalam kegiatan pendidikan seharusnya tidak diajarkan semata-mata karena ilmu
itu sendiri atau tujuan akademik tetapi kepada tujuan yang lebih pokok
yaitu akhlak yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu membawa misi akhlak yang
mulia dan bukan semata-mata ilmu. Semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang maka
akan semakin tinggi pula akhlaknya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ibnu Miskawah adalah seorang filosof muslim dan juga digelari Guru
ketiga( al-mualimin al-tsalits ) setelah al-farabi yang digelari guru kedua dan
Aristoteles sebagai guru pertama. Ibnu miskawah juga disebut juga sebagai bapak
etika islam, filsafatnya ini selalu mendapat perhatian utama.
Keistimewaan yang menarik
dalam tulisannya ialah pembahasan yang didasarkan pada ajaran Islam (Al Quran
dan hadis) dan dikombinasikan dengan pemikiran yang lain sebagai pelengkap, Sementara itu,
ia juga mengambil pemikiran-pemikiran para filosuf sebelumnya, terutama
filsafat Aristoteles. Namun selanjutnya, menjadi lebih khas tulisan-tulisannya
adalah ia memadukan antara hasil kerja filosuf dan ajaran syariat Islam.
ibnu Miskawaih
juga menganut faham Emanasi yakni Allah menciptakan alam secara pancaran, namun
Emanasinya ini berbeda dengan Emanasi Al-Farabi. Menurutnya entitas pertama
yang memancarkan dari Allah ialah ‘aql Fa’al’ ( akal aktif ). Akal aktif ini timbullah jiwa dan dengan perantaraan
jiwa pula timbullah planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus ari Allah
dapat memelihara tatanan alam ini. Andaikan Allah menahan pancaran-Nya, maka
akan terhenti kemajuan dalam alam ini.
DAFTAR PUSTAKA
-
Zar
Sirajuddin, 2014 Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya, Jakarta : PT Raja Grafindo,
-
Drajat
Amroeni, 2006 Filsafat Islam : Buat yang pengen tahu, Jakarta, Penerbit
Erlangga,
-
T. J. De Boer, op. cit.
-
Ismail, 2014 Filsafat Islam :
Tokoh dan Pemikiran, Bogor, penerbit IPB Press
[1] Zar Sirajuddin, Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya, (
Jakarta : PT Raja Grafindo, 2014), hlm. 131.
[2] Ibid, hlm. 132.
[3] Drajat Amroeni, Filsafat Islam : Buat yang pengen tahu, (
Jakarta, Penerbit Erlangga, 2006 ), hlm. 43.
[4] T. J. De Boer, Tarikh al-Falsafat fi al-Islam (Kairo :
Mathba’ah Taklif, 1962)
[5] Drajat Amroeni, Filsafat Islam : Buat yang pengen tahu, (
Jakarta, Penerbit Erlangga, 2006 ), hlm. 44.
[6] Ibid .
[7] T. J. De Boer, op. cit. hlm
186
[8] Ismail, Filsafat Islam :
Tokoh dan Pemikiran, (Bogor, penerbit IPB Press, 2014 ). Hlm 37.
[9] Ibid, Zar Sirajuddin. Hlm 134.
No comments:
Post a Comment