1

loading...

Saturday, July 6, 2019

MAKALAH QOWAID AL-FIQHYAH "EMPAT PRINSIP PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM"


MAKALAH QOWAID AL-FIQHYAH EMPAT PRINSIP PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM/ MAKHARIJ FIQHYAH ATAU SOLUSI FIQH



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
   Hukum Islam adalah salah satu aspek ajaran Islam yang menempati posisi yang sangat krusial dalam pandangan umat islam, karena ia merupakan manifestasi paling kongkrit dari hukum Islam sebagai sebuah agama. Sedemikian pentingnya hukum Islam dalam skema doktrinal-Islam, sehingga seorang orientalis, Joseph Schacht menilai, bahwa “adalah mustahil memahami Islam tanpa memahami hukum Islam”. Jika dilihat dari perspektif historisnya,Hukum Islam pada awalnya merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal inidapat di lihat dari munculnya sejumlah madzhab hukum yang responsif terhadap tantangan historisnya masing-masing dan memiliki corak sendiri-sendiri, sesuai dengan latar sosio kultural dan 2 politis dimana madzhab hukum itu mengambil tempat untuk tumbuh dan berkembang. Ijtihad adalah mencurahkan pikiran dengan bersungguh-sungguh. Sedangkan menurut istilah, arti Ijtihad adalah proses penetapan hukum syariat dengan mencurahkan seluruh pikiran dan tenaga secara bersungguh-sungguh. Kata “Ijtihad” berasal dari bahasa Arab, yaitu “Ijtihada Yajtahidu Ijtihadan” yang artinya mengerahkan segala kemampuan dalam menanggung beban. Dengan kata lain, Ijtihad dilakukan ketika ada pekerjaan yang sulit untuk dilakukan. Di dalam agama Islam, Ijtihad adalah sumber hukum ketiga setelah Al-quran dan hadits. Fungsi utama dari Ijtihad ini adalah untuk menetapkan suatu hukum dimana hal tersebut tidak dibahas dalam Al-quran dan hadits. Orang yang melaksanakan Ijtihad disebut dengan Mujtahid dimana orang tersebut adalah orang yang ahli tentang Al-quran dan hadits.
Fatwa mulai diperlukan saat era kerasulan berakhir, yakni setelah wafatnya Rasulullah SAW. Namun, keberadaan sahabat Rasulullah, para tabiin dan tabiut tabiin memudahkan umat bertanya setiap permasalahan hukum Islam. Mereka berperan sebagai mujtahid yang menentukan hukum Islam berdasarkan hasil ijtihad. Namun, perlu dibedakan antara ijtihad dan fatwa. Ijtihad mengacu kepada para cendekiawan yang mencari pendapat mengenai penerapan hukum. Adapun fatwa mengacu pada peran sosial seorang mujtahid sebagai konsultan dalam perkara hukum, hampir mirip dengan peran qadhi atau hakim. Saat itu, belum terdapat lembaga fatwa.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja Empat prinsip pengembangan hukum islam/ makharij fiqhyah atau solusi fiqh?
2.      Apa yang dimaksud ijtihad dan fatwa ekonomi islam?
3.      Bagaimana penerapan kaidah-kaidah fiqh dalam fatwa DSN? 
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui tentang Empat prinsip pengembangan hukum islam/ makharij fiqhyah atau solusi fiqh
2.      Untuk mengetahui tentang ijtihad dan fatwa ekonomi islam
3.      Untuk mengetahui penerapan kaidah-kaidah fiqh dalam fatwa DSN

 BAB II
PEMBAHASAN

A.    Prinsip pengembangan hukum islam/ makharij fiqhyah
Fatwa adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Fatwa dalam bahasa Arab berarti nasihat, petuah, jawaban atau pendapat.Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmiyang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakuiotoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagaitanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan olehpeminta fatwa (mustaftî) yang tidak mempunyai keterikatan.Penggunaannya dalam kehidupan beragama di Indonesia, fatwadikeluarkan oleh MUI sebagai suatu keputusan tentang persoalanijtihâdiyah yang terjadi di Indonesia guna dijadikan pegangan. Sementara sumber hukum Islam terdiri dari al-Quran, al-Sunnah, danra’y (akal fikiran manusia) dengan berbagai metode diantaranyaadalah ijma, qiyas, istihsan, istishab, al-masalih al-mursalah, dan `urf.[1]
Ijma’ adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahlimengenai masalah pada suatu tempat di suatu masa. Dengandemikian fatwa merupakan ketentuan hukum Islam yang diterbitkanberdasarkan pemikiran dan ijtihad dengan cara ijma’.Namun, fatwa tidak sama persis dengan ijma karena didalam ijma telah terjadikesepakatan/tidak ada perbedaan pendapat atas suatu masalah (yangdiminta ataupun tidak diminta). Kedudukan mufti dihadapan umat sama seperti kedudukanNabi dihadapan umat Islam, karena sebagaimana hadis Rasulullahbahwa “Ulama adalah ahli waris para Nabi”. Arti pentingnya ulamakarena ulama menggantikan kedudukan Rasulullah dalammenyampaikan hukum-hukum syariat, mengajar manusia danmemberi peringatan kepada mereka dan mufti menggantikan.
Nabi dalam memutuskan hukum-hukum yang digali dari dalil-dalilhukum melalui analisis dan ijtihad mereka sehingga berdasarkan halini maka mufti kedudukannya sangat penting sebagaimanadisebutkan oleh al-Syâtibî bahwa mufti merupakan pencetus hukumyang wajib diikuti dan dilaksanakan keputusannya, dan didalammelaksanakan tugasnya memberikan fatwa, MUI memiliki pedomandasar dan prosedur yang dirumuskan dialam Keputusan No. U-596/MUI/X/1997 yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 1997. Untuk memperjelas dasar-dasar dalam memberikan fatwa, berikutrincian dimaksud:
a.       Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas kitabullahdan sunnah rasul yang mu’tabarak serta tidak bertentangandengan kemashlahatan umat.
b.      Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunah Rasulsebagaimana ditentukan pada Pasal 2 Ayat 1, Keputusan Fatwahendaklah tidak bertentangan dengan ijma, qiyas yangmu’tabar dan dalil-dalil hukum yang lain seperti istihsân,maslahah mursalah dan saddu al dzari’ah.
c.       Sebelum pengambilan keputusan fatwa, hendaklah ditinjaupendapat-pendapat para imam madzhab terdahulu, baik yangberhubungan dengan dalil-dalil hukum yang berhubungandengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbedapendapat
d.      Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akandiambil keputusan fatwanya, dipertimbangkan.[2]
Dalil-Dalil tentang Fatwa Firman Allah SWT. dalam al-Qur’an surat  an-Nahl ayat 43:
                
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan.
Fatwa merupakan produk dari pemikiran para Mujtahid untuk menjawab  berbagai persoalan yang muncul ditengah-tengah masyarakat. Fatwa tidak dapat terlepas  dari  perbedaan  pro  dan  konta.  Hal  ini  disebabkan  karena  beberapa  faktor :
    a.       perbedaan rujukan atau kutipan nash/hadis karena kondisi dan tempat, perbedaan memahami nash.
    b.      perbedaan pengetahuan yang mereka miliki (metodologi), perbedaan tingkat sosio cultural, sosio historis dan stratifikasi masyarakat tempat mereka berdomisili, subyektivitas para imam.  Namun  demikian  pro  dan  kontra yang  terjadi  menjadi  sebuah  kontribusi  dalam  perkembangan pemikiran hokum Islam itu sendiri, hal ini dikarenakan dengan terjadinya pro  dan  kontra,  dapat  menimbulkan  pemikiran-pemikiran  baru  dalam  hokum  Islam, sehingga hokum Islam dapat menjadi hokum yang dinamis dan berlaku sepanjang masa.[3]
Metode Fatwa Dalam mengeluarkan fatwa, di gunakan beberapa metode tertentu, setiap ulama ataupun organisasi Islam yang salah satu wewenangnya mengeluarkan fatwa dapat menggunakan metode yang berbeda-beda, dalam hal ini penulis akan mengemukakan metode fatwa yang digunakan oleh dua ulama’ kontemporer saat ini, yaitu :
A.    Yusuf al-Qordowi
     Yusuf al-Qordowi merupakan seorang ulama’ kontemporer dan dikenal cenderung sekuler karena banyak bersentuhan dengan kehidupan masyarakat muslim di barat dan Wahbah al Zuhaily yang merupakan seorang ulama kontemporer dan dikenal cenderung salafi karena banyak bersentuhan dengan kehidupan masyarakat muslim di Timur Yusuf al-Qordowi Metode yang di gunakan dalam memberikan fatwa bertumpu pada hal-hal berikut :
a.       Tidak fanatik dan tidak taqlid, namun demikian Yusuf al-Qordowi menghormati kepada para imam madhab, tidak bertaqlid kepada mereka bukan berarti menodai mereka, tetapi sebaliknya mengikuti metode dan cara pandang mereka, hal-hal yang harus diperhatikan yaitu tidak mengemukakan pendapat tanpa mengemukakan dalil yang kuat atau dalil yang tidak kontradiktif, mampu mentarjih/memilih yang paling kuat diantara pendapat-pendapat yang paling kuat atau bertentangan dengan pertimbnangan dalil dan argumentasi masingmasing, memiliki kemampuan untuk melakukan ijtihad juz’i atau parsial.
b.      Mempermudah tidak mempersulit, bahwasanya Islam dibangun atas dasar mempermudah dan menghilangkan kesukaran bagi hamba sebagaimana dalam alQur’an surat al-Baqarah ayat 185, al-Maidah ayat 6 dan an-Nisa’ ayat 28, karakteristik zaman yang terus berubah, zaman sekarang sikap hidup materialism (madiyyah) lebih dominan daripada spiritualisme (ruhiyyah), individualism (ananiyyah) lebih dominan daripada kebersamaan, pragmatisme (naf’iyyah) lebih dominan daripada ahlak,
c.       Berbicara kepada manusia dengan bahasa zamannya atau bahasa yang mudah dimengerti masyarakat penerima fatwa, hal ini dapat menggunakan cara berbicara secara rasional dan tidak berlebihan, tidak menggunakan istilah-istilah yang sulit dimengerti, mengemukakan hukum disertai hikmah dan illat (alasan hukum) yang sesuai dengan falsafah umum dienul Islam,
d.      Berpaling dari sesuatu yang tidak bermanfaat.
e.       Bersikap pertengahan antara memperlonggar dan memperketat.
f.       Memberikan hak fatwa yang berupa keterangan dan penjelasan, penjelasan dari metode ini adalah suatu fatwa tidak memiliki arti apabila tidak disertai dalil, ruh bfatwa terletak pada dalil, menyebutkan hikmah dan illat hukum, membandingkan sikap pandangan Islam dengan sesuatu di luar Islam, memberikan pengantar atau pendahuluan ketika hendak menjelaskansesuatu yang dirasa aneh atau janggal, menunjukkan sesuatu yang dihalalkan sebagai pengganti dari yang diharamkan, menghubungkan suatu ketentuan dengan ketentuan lain dalam hukum Islam, seorang mufti tiodak menjawab pertanyaan yang tidak urgen misalnya pertanyaan yang pada masa terdahulu pernah ditanyakan dan dibahas.[4]
B.     Wahbah Zuhaili
         Sebagaimana yang dikemukakan dalam kitab al-Fiqh al-Islamy wa adillatuh, dalam berfatwa dilakukan metode sebagai berikut:
a.       Terlebih dahulu melakukan kajian terhadap nash-nash yang terdapat dalam al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan disiplin ilmu yang berhubungan seperti ilmu bahasa dengan memperhatikan kata-kata mujmal, musytarak, atau lafazh yang diragukan termasuk lafazh yang ‘amm atau khashsh, haqiqah atau majaz, haqiqah atau ’urf, muthlaq atau muqayyad dll, jika ia menemukan nash yang jelas mengenai masalah yang dikajinya, maka ia berpegang teguh pada nash tersebut dan menghukumi masalah yang sedang dikajinya dengan ketentuan yang ada dalam nash-nash itu. Sedangkan apabila ia tidak menemukannya dalam Kitabullah, maka ia mencari dalam sunnah Rasul yang berupa perkataan (Qauliyah).
b.      Apabila ia menemukan dalam hadits tersebut tentang hukum dari masalah yang sedang dikajinya maka ia menggunakan hadits amaliyah atau taqririyah itu sebagai dalil atau sumber hukum.
c.       Jika dari kedua sumber tersebut ia tidak menemukan kepastian hukum dari masalah yang sedang dikaji, Wahbah Zuhaili kemudian memperhatikan beberapa pendapat-pandapat ulama dengan memperhatikan hadits yang dijadikan dalil oleh para ulama tersebut antara shahih dan dhoifnya dengan cara ia melakukan pen-takhrij-tan dan pen-tahqiq-kan agar hadits-hadits tersebut dapat diketahui shahih dan dhoifnya sehingga bisa memilih pendapat yang bersandar pada hadits shahih.
d.      Melakukan tarjih terhadap pendapat yang mengacu pada sandaran dalil yang shahih, atau jika hadits yang digunakan sebagai dalil oleh para ulama tersebut mempunyai kekuatan yang sama dalam derajat hadits, maka lebih memilih pendapat yang mempunyai potensi lebih untuk menimbulkan kemaslahatan dan menolak kerusakan. Jika Wahbah tidak melakukan tarjih terhadap bebepara pendapat ulama, ia lebih mengutamakan untuk mengamalakan pendapat jumhur ulama, alasannya dukungan para ulama terhadap satu pendapat dapat dijadikan alasan kuat dalam pen-tarjih-an.
e.        tidak menemukannya dalam beberapa pendapat ulama, ia melakukan qiyas dengan ilhaq atau mempertemukan masalah yang sedang dikajinya dengan masalah yang sudah mempunyai ketentuan hukum dari sumbernya yang mempunyai kesamaan illat, kemudian ia menghukumi masalah yang dikajinya dengan hukum yang sama dengan masalah yang sudah mempunyai ketentuan hukum dari sumbernya. Selain dari itu kemudian ia juga menggunakan logika yang sesuai dengan aturan dalam hukum Islam.[5]
Demikian cara atau metode yang dilakukan, adakalanya merujuk kepada makna lahiriyah nash, jika memang nash tersebut sesuai dengan realitas masalah yang sedang dikajinya. Adakalanya ia juga menganalogikan masalah tersebut dari nash-nash yaitu qiyas, atau dengan menimbang realitas maslahah yang dihadapinya dengan menggunakan kaidah-kaidah umum yang digali dari dalil-dalil al-Qur’an dan asSunnah seperti istihsan , maslahah mursalah, urf, sadd adz-Dzari’ah dan yang lainnya.
Adapun cara istihsan yang digunakan Wahbah Zuhaily yaitu dengan Mengunggulkan (memakai) qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk untuk itu, dimana istihsan ini disebut dengan istihsan qiyasi. Atau dengan cara Pengecualian masalah juz’iyah dari Ashal yang bersifat Kully atau dari kaidahkaidah yang berlaku umum karena ada dalil (petunjuk) khusus yang mengharuskan hal tersebut yang disebut dengan istihsan istisna’i. sedangkan metode Wahbah  Zuhaily di dalam maslahah mursalah yaitu dengan menentukan sebuah hukum yang dapat memperbaiki peraturan syariat atau tujuan syariat (maqasyit al-syariat) yang sebelumnya tidak ada ketentuan dalil dalam syariat, sehingga dapat terwujud menarik kebaikan (jalbu al-mashalih) dan menolak kerusakan (dar’u al-mafasid). Sedangkan dalam urf yang digunakan oleh Wahbah Zuhaili adalah urf yang sudah berlaku secara umum dari masa sahabat dan sesudahnya yang tidak bertentangan dengan nash syara’ dan kaidahkaidah dasar. Adapun sadd az-Dzari’ah yang digunakan Wahabah Zuhaili yaitu untuk menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak, karena ia bisa menjadi sarana (adzdzariah) terjadinya suatu perbuatan lain yang dilarang.
Hukum Islam seperti telah disingggung diatas mencakup syariat dan fiqh, yang merupakan penjelmaan dari hukum Islam itu sendiri, seperti telah dijelaskan syariat mencakup norma yang mengatur hubungan baik ibadah dan muamalah, sedangkan fiqh dalam bahasa berarti paham atau pengertian, apabila dihubungkan dengan kajian ini dapat diartikan  sebagai ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan norma-norma hukum dasar yang terdapat dalam Al-qur’an dan ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam sunnah Nabi yang direkam dalam kitab-kitab hadist.   Dalam hukum Islam memuat prinsip-prinsip sebagai titik tolak pelaksanaan ketetapan-ketetapan Allah yang berkaitan dengan mukallaf, baik yang berbentuk perintah, larangan maupun pilihan-pilihan. Diantara prinsip-prinsip hukum Islam menurut Juhaya S. Praja sebagai berikut : 
1.      Prinsip Tauhid 
      Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah SWT QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai maniprestasi kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian tidak boleh terjadi setiap mentuhankan sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia kepada keseluruhan kehendak-Nya.  Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas hukum Ibadah, yaitu Azas kemudahan atau meniadakan kesulitan. Dari azas hukum tersebut terumuskan kaidah-kaidah hukum ibadah sebagai berikut: Al-ashlu fii al-ibadati tuqifu wal ittiba’: yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. 

2.      Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar 
     Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridho Allah dan menjauhi hal yang dibenci Allah.
3.      Prinsip Keadilan 
   Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mizan atau keseimbangan. Kata keadilan dalam al-Qur’an kadang samakan dengan al-qist. Pembahasan keadilan  pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi,  keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena esensinya, sebab Allah tidak mendapat keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.
4.      Prinsip Kebebasan 
    Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama atau hukum Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dalam arti luas yang mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama.
5.      Prinsip Persamaan 
    Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial seperti komunis. 
6.       Prinsip Saling Tolong Menolong
    Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.[6] 

7.      Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan umatnya , tegasnya toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam.

B.     Ijtihad dan fatwa ekonomi islam
Ijtihad (Arab: اجتهاد) Adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.[7]
Fatwa (Arab: فتوى, fatwā) adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Islam.Fatwa sendiri dalam bahasa Arab artinya  adalah "nasihat", "petuah", "jawaban" atau "pendapat". Betul bahwa kaidah fiqih muamalah “dalam muamalah semua itu boleh kecuali ada dalil yang melarang”, Memang akan membuat pelaku muamalah memiliki ruang gerak yang lebih luas dalam berkreasi muamalah. Namun sebelumnya haruslah setiap orang yang memiliki amanah mengeluarkan fatwa, menjaga kedalaman pemahaman agar kreasi muamalah betul-betul berlandaskan pada pengetahuan yang cukup. 
Contoh sederhana dalam hal ini adalah Ketika tujuan ekonomi islam untuk memperoleh keadilan dalam konsumsi, maka halituhanya bisa dijawab dengan alokasi sumberdaya yang tepat di segala masyarakat.  Sedangkan ilmu, mungkin bisa saja menjawab berapa harga yang seharusnya (dalam kerangka teoritis) ada berdasarkan demand dan supply, namun ia tidak bisa menjamin keadilan konsumsi itu sendiri. Hal ini disebabkan karena ilmu hanya menjelaskan peristiwa itu yang terjadi saja, tetapi ia tidak mejelaskan keadilan yang terjadi.[8]

C.     penerapan kaidah-kaidah fiqh dalam fatwa DSN
1.      Penggunaan Kaidah Fikih dalam Fatwa MUI tentang Keuangan  Syariah
Eksistensi MUI dan Regulasi Kewenangan Fatwanya MUI memandang bahwa kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan pembangunan yang menyentuh seluruh aspek kehidupan, di samping membawa berbagai kemudahan dan kebahagiaan, juga menimbulkan sejumlah perilaku dan persoalan-persoalan baru. Cukup banyak persoalan yang sebelumnya tidak pernah dikenal bahkan tidak  pernah terbayangkan, sekarang hal itu menjadi kenyataan. Atas kenyataan ini, Helmi Karim memberikan pandangannya, umat Islam meyakini bahwa Islam mampu mengatur kehidupan umat manusia secara sempurna dalam semua aspek kehidupan. Islam  sepanjang sejarahnya sejak diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad, hal ini tidaklah menjadikan Islam kaku dalam menghadapi tahap-tahap sejarah yang dilaluinya, melainkan  sebaliknya, menjadikan Islam semakin dewasa untuk berperan nyata di tengah-tengah kehidupan umat manusia. Di antara peran nyata Islam ini adalah eksistensi institusi-institusi Islam, termasuk di dalamnya adalah peran MUI dalam lembaran sejarahnya.
Pada periode sesudah kemerdekaan Indonesia, pemerintah memandang umat Islam sebagai kelompok mayoritas memiliki potensi yang penting. Pemerintah memandang bahwa program pembangunan yang berkaitan dengan agama khsusnya dapat sukses jika didukung oleh para tokoh agama, atau minimal ulama  tidak menghalanginya. Hal ini berarti bahwa kerja sama pemerintah dengan ulama perlu dijalin. Untuk maksud tersebut, pada masa kepemimpinan Soekarno telah didirikan Majelis Ulama yang selanjutnya disusul oleh lahirnya pelbagai Majelis Ulama Daerah tetapi belum mempunyai pegangan dan cara kerja yang seragam. 
Pada masa selanjutnya, atas prakarsa pemerintah Orde Baru diadakan suatu Musyawarah Nasional Ulama yang terdiri atas  utusan wakil-wakil ulama propinsi se-Indonesia di Jakarta pada tanggal 21-28 Juli 1975. Musyawarah ini berhasil secara bulat  menyepakati pendirian Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Selama waktu 40 tahun sejak kelahiran MUI pada tahun 1975, MUI memberikan perhatian terhadap kesejahteraan rohani umat dan telah menghasilkan fatwa-fatwa yang terkait dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat. MUI telah menerbitkan sejumlah fatwa yang terkait masalah-masalh ibadah, hukum, sosial, politik, etika, dan ekonomi.[9] Menurut pandangan Helmi Karim, fatwa-fatwa yang dihasilkan oleh MUI kadangkala menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Ada pihak yang memandang fatwa MUI sebagai corong penguasa dan ada pula masyarakat yang menilai fatwa MUI tidak konsisten. Munculnya aneka respon seperti itu erat kaitannya dengan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang konsep ijtihad MUI dan karakter hukum Islam yang dijadikan referensi oleh MUI dalam produksi fatwa. Oleh karena itu, kajian dalam bidang ijtihad MUI tersebut penting dilakukan.
Karim selanjutnya menjelaskan bahwa sejak MUI berdiri sampai akhir tahun 1990 lembaga tersebut telah membahas masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan dalam bentuk fatwa yang mencapai 49 buah. Jika dilakukan pengelompokan, fatwa yang dihasilkan oleh MUI sampai tahun 1990 dapat diklasifikasikan kepada bidang ibadat, seperti shalat, puasa, zakat dan haji serta yang berkaitan dengan itu dan bidang non-ibadah seperti masalah al-ahwal al-syakhshiyah (perdata), keluarga berencana, makanan dan minuman, serta bidang-bidang lainnya.

2.      Penggunaan Kaidah Al-Ḥājah Qad Tunazzalu Manzilah Al-Ḍarurah Dalam Fatwa DSN-MUI
   Penulis memilih kaidah al-ḥājah qad tunazzalu manzilah al-ḍarurah, karena dalam kaidah ini terdapat kata ḥājah (kebutuhan) yang terikat dengan batasan dan kriteria yang dibuat dan tetapkan oleh ulama. Hampir semua kitab syaraḥ yang menjeaskan kaidah al-ḥājah qad tunazzalu manzilah al-ḍarurah, memberikan kriteria dan batasan mengenai al-ḥājah (kebutuhan). Sementara kaidah yang paling banyak digunakan yang pertama, yaitu al-aṣlu fī al- mu’āmalāt al-ibāḥah ḥatta yadulla al-dalīlu ‘alā taḥrīmiha merupakan kaidah dasar yang pada umumnya sudah menjadi kesepakatan ulama  mengenai pemberian ruang yang luas bagi pengembangan praktik mu’amalah. 
Kaidah al-ḥājah qad tunazzalu manzilah al-ḍarurah, menduduki posisi kedua sebagai kaidah yang paling banyak digunakan dalam buku kumpulan fatwa Keuangan Syariah DSN-MUI. Kaidah ini digunakan sebanyak 23 kali.[10]

No.
No. Fatwa
Subyek
Keterangan
1
22/DSN-MUI/III/2002
Jual Beli Istishna ’Paralel

Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sebagai mustaṣni’ dari nasabah dapat memesan kepada pihak ketiga untuk memenuhi kebutuhan pesanan nasabah. Hanya saja LKS dilarang mengambil margin during constructiom (MDC) dari nasabah yang memesan barang. Fatwa ini tidak merinci jenis dan criteria obyek 
istiṣnā’ yang dipesan
nasabah. Apakah obyek atau komoditas tersebut benar-benar menjadi kebutuhan masyarakat secara mendesak.
2
29/DSN-MUI/VI/2002
Pembiayaan Pengurusa Haji Lembaga 
Keuangan Syariah
Fatwa ini melegitimasi tindakan LKS untuk mengenakan biaya pengurusan haji kepada nasabah, karena pengurusan pembiayaan haki menjadi kebutuhan masyarakat. Pengurusan tersebut dengan menggunakan akad dan prinsip ijarah Lebih dari itu, fatwa ini juga melegitimasi diperbolehkannya LKS memberikan talangan pelunasan dana haji nasabah bila perlukan.
3
30/DSN-
MUI/VI/2002

Pembiayaan Rekening Koran Syariah

Fatwa ini melegitimasi LKS untuk mengambil upah (ujrah) dari jasa atau fasilitas reking Koran dan melegitimasi diperbolehkannya Pembiayaan Rekning Koran Syariah (PRKS) yang dapat pula dilakukan dengan wa’d dalam pemberian fasilitas pinjaman (qarḍ). Fatwa
Ini juga tidak memberikan batasan dan criteria  kebutuhan pinjaman melalui akad (qarḍ)yang diajukan nasabah, apakah kebutuhan primer, skunder atau hanya kebutuhan tersier.[11]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
    Fatwa adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Fatwa dalam bahasa Arab berarti nasihat, petuah, jawaban atau pendapat.Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmiyang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakuiotoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagaitanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan olehpeminta fatwa (mustaftî) yang tidak mempunyai keterikatan. Ijtihad (Arab: اجتهاد) Adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. penerapan kaidah-kaidah fiqh dalam fatwa DSN ada dua yaitu: Penggunaan Kaidah Fikih dalam Fatwa MUI tentang Keuangan  Syariah dan Penggunaan Kaidah Fikih dalam Fatwa MUI tentang Keuangan  Syariah

B.     Saran
    Demikian makalah ini saya buat, yang mana tentunya tidak lepas dari kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyajian. Karena saya sadar bahwa saya adalah manusia biasa dan kesempurnaan hanya milik Allah Swt. Untuk itu kritik dan saran sangatlah saya harapkan demi perbaikan dan evaluasi untuk makalah berikutnya, harapan saya semoga bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA
Imam Mustofa,2018,Jurnal Studi Keislaman, Vol.18, No.2
Imron Rosyidi,2018, Penggunaan Kaidah Fiqh dalam Fatwa MUI tentang Keuangan Syariah, Vol.8, No.2.



No comments:

Post a Comment