MAKALAH QOWAID AL-FIQHYAH EMPAT PRINSIP PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM/ MAKHARIJ FIQHYAH ATAU SOLUSI FIQH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hukum
Islam adalah salah satu aspek ajaran Islam yang menempati posisi yang sangat
krusial dalam pandangan umat islam, karena ia merupakan manifestasi paling
kongkrit dari hukum Islam sebagai sebuah agama. Sedemikian pentingnya hukum
Islam dalam skema doktrinal-Islam, sehingga seorang orientalis, Joseph Schacht
menilai, bahwa “adalah mustahil memahami Islam tanpa memahami hukum Islam”.
Jika dilihat dari perspektif historisnya,Hukum Islam pada awalnya merupakan
suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal inidapat di lihat dari munculnya
sejumlah madzhab hukum yang responsif terhadap tantangan historisnya
masing-masing dan memiliki corak sendiri-sendiri, sesuai dengan latar sosio
kultural dan 2 politis dimana madzhab hukum itu mengambil tempat untuk tumbuh
dan berkembang. Ijtihad adalah mencurahkan pikiran dengan
bersungguh-sungguh. Sedangkan menurut istilah, arti Ijtihad adalah proses
penetapan hukum syariat dengan mencurahkan seluruh pikiran dan tenaga secara
bersungguh-sungguh. Kata “Ijtihad” berasal dari bahasa Arab, yaitu “Ijtihada
Yajtahidu Ijtihadan” yang artinya mengerahkan segala kemampuan dalam
menanggung beban. Dengan kata lain, Ijtihad dilakukan ketika ada pekerjaan
yang sulit untuk dilakukan. Di dalam agama Islam, Ijtihad adalah sumber hukum
ketiga setelah Al-quran dan hadits. Fungsi utama dari Ijtihad ini adalah untuk
menetapkan suatu hukum dimana hal tersebut tidak dibahas dalam Al-quran dan
hadits. Orang yang melaksanakan Ijtihad disebut dengan Mujtahid dimana orang
tersebut adalah orang yang ahli tentang Al-quran dan hadits.
Fatwa
mulai diperlukan saat era kerasulan berakhir, yakni setelah wafatnya Rasulullah
SAW. Namun, keberadaan sahabat Rasulullah, para tabiin dan tabiut tabiin
memudahkan umat bertanya setiap permasalahan hukum Islam. Mereka berperan
sebagai mujtahid yang menentukan hukum Islam berdasarkan hasil ijtihad. Namun,
perlu dibedakan antara ijtihad dan fatwa. Ijtihad mengacu kepada para
cendekiawan yang mencari pendapat mengenai penerapan hukum. Adapun fatwa
mengacu pada peran sosial seorang mujtahid sebagai konsultan dalam perkara
hukum, hampir mirip dengan peran qadhi atau hakim. Saat itu, belum terdapat
lembaga fatwa.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
saja Empat prinsip pengembangan hukum islam/ makharij fiqhyah atau solusi fiqh?
2. Apa
yang dimaksud ijtihad dan fatwa ekonomi islam?
3. Bagaimana
penerapan kaidah-kaidah fiqh dalam fatwa DSN?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui tentang Empat prinsip pengembangan hukum islam/ makharij fiqhyah
atau solusi fiqh
2. Untuk
mengetahui tentang ijtihad dan fatwa ekonomi islam
3. Untuk
mengetahui penerapan kaidah-kaidah fiqh dalam fatwa DSN
PEMBAHASAN
A.
Prinsip
pengembangan hukum islam/ makharij fiqhyah
Fatwa adalah
sebuah istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang
berkaitan dengan hukum Islam. Fatwa dalam bahasa Arab berarti nasihat, petuah,
jawaban atau pendapat.Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat
resmiyang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakuiotoritasnya,
disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagaitanggapan atau jawaban
terhadap pertanyaan yang diajukan olehpeminta fatwa (mustaftî) yang tidak
mempunyai keterikatan.Penggunaannya dalam kehidupan beragama di Indonesia,
fatwadikeluarkan oleh MUI sebagai suatu keputusan tentang persoalanijtihâdiyah
yang terjadi di Indonesia guna dijadikan pegangan. Sementara sumber hukum Islam
terdiri dari al-Quran, al-Sunnah, danra’y (akal fikiran manusia) dengan
berbagai metode diantaranyaadalah ijma, qiyas, istihsan, istishab, al-masalih
al-mursalah, dan `urf.[1]
Ijma’ adalah persetujuan atau kesesuaian
pendapat para ahlimengenai masalah pada suatu tempat di suatu masa.
Dengandemikian fatwa merupakan ketentuan hukum Islam yang
diterbitkanberdasarkan pemikiran dan ijtihad dengan cara ijma’.Namun, fatwa
tidak sama persis dengan ijma karena didalam ijma telah
terjadikesepakatan/tidak ada perbedaan pendapat atas suatu masalah (yangdiminta
ataupun tidak diminta). Kedudukan mufti dihadapan umat sama seperti
kedudukanNabi dihadapan umat Islam, karena sebagaimana hadis Rasulullahbahwa “Ulama adalah ahli waris para Nabi”.
Arti pentingnya ulamakarena ulama menggantikan kedudukan Rasulullah dalammenyampaikan
hukum-hukum syariat, mengajar manusia danmemberi peringatan kepada mereka dan
mufti menggantikan.
Nabi dalam memutuskan hukum-hukum yang
digali dari dalil-dalilhukum melalui analisis dan ijtihad mereka sehingga
berdasarkan halini maka mufti kedudukannya sangat penting sebagaimanadisebutkan
oleh al-Syâtibî bahwa mufti merupakan pencetus hukumyang wajib diikuti dan
dilaksanakan keputusannya, dan didalammelaksanakan tugasnya memberikan fatwa,
MUI memiliki pedomandasar dan prosedur yang dirumuskan dialam Keputusan No.
U-596/MUI/X/1997 yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 1997. Untuk memperjelas
dasar-dasar dalam memberikan fatwa, berikutrincian dimaksud:
a. Setiap
keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas kitabullahdan sunnah rasul yang
mu’tabarak serta tidak bertentangandengan kemashlahatan umat.
b. Jika
tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunah Rasulsebagaimana ditentukan pada
Pasal 2 Ayat 1, Keputusan Fatwahendaklah tidak bertentangan dengan ijma, qiyas
yangmu’tabar dan dalil-dalil hukum yang lain seperti istihsân,maslahah mursalah
dan saddu al dzari’ah.
c. Sebelum
pengambilan keputusan fatwa, hendaklah ditinjaupendapat-pendapat para imam
madzhab terdahulu, baik yangberhubungan dengan dalil-dalil hukum yang
berhubungandengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbedapendapat
d. Pandangan
tenaga ahli dalam bidang masalah yang akandiambil keputusan fatwanya,
dipertimbangkan.[2]
Dalil-Dalil
tentang Fatwa Firman Allah SWT. dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 43:
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang
lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan.
Fatwa merupakan produk dari pemikiran para Mujtahid untuk
menjawab berbagai persoalan yang muncul
ditengah-tengah masyarakat. Fatwa tidak dapat terlepas dari
perbedaan pro dan
konta. Hal ini
disebabkan karena beberapa
faktor :
a. perbedaan rujukan atau kutipan
nash/hadis karena kondisi dan tempat, perbedaan memahami nash.
b. perbedaan pengetahuan yang mereka
miliki (metodologi), perbedaan tingkat sosio cultural, sosio historis dan
stratifikasi masyarakat tempat mereka berdomisili, subyektivitas para
imam. Namun demikian
pro dan kontra yang
terjadi menjadi sebuah
kontribusi dalam perkembangan pemikiran hokum Islam itu sendiri,
hal ini dikarenakan dengan terjadinya pro
dan kontra, dapat
menimbulkan
pemikiran-pemikiran baru dalam
hokum Islam, sehingga hokum Islam
dapat menjadi hokum yang dinamis dan berlaku sepanjang masa.[3]
Metode Fatwa Dalam mengeluarkan
fatwa, di gunakan beberapa metode tertentu, setiap ulama ataupun organisasi
Islam yang salah satu wewenangnya mengeluarkan fatwa dapat menggunakan metode
yang berbeda-beda, dalam hal ini penulis akan mengemukakan metode fatwa yang
digunakan oleh dua ulama’ kontemporer saat ini, yaitu :
A. Yusuf
al-Qordowi
Yusuf al-Qordowi merupakan seorang ulama’ kontemporer dan dikenal
cenderung sekuler karena banyak bersentuhan dengan kehidupan masyarakat muslim di
barat dan Wahbah al Zuhaily yang merupakan seorang ulama kontemporer dan
dikenal cenderung salafi karena banyak bersentuhan dengan kehidupan masyarakat
muslim di Timur Yusuf al-Qordowi Metode yang di gunakan dalam memberikan fatwa
bertumpu pada hal-hal berikut :
a. Tidak
fanatik dan tidak taqlid, namun demikian Yusuf al-Qordowi menghormati kepada
para imam madhab, tidak bertaqlid kepada mereka bukan berarti menodai mereka,
tetapi sebaliknya mengikuti metode dan cara pandang mereka, hal-hal yang harus
diperhatikan yaitu tidak mengemukakan pendapat tanpa mengemukakan dalil yang
kuat atau dalil yang tidak kontradiktif, mampu mentarjih/memilih yang paling
kuat diantara pendapat-pendapat yang paling kuat atau bertentangan dengan
pertimbnangan dalil dan argumentasi masingmasing, memiliki kemampuan untuk
melakukan ijtihad juz’i atau parsial.
b. Mempermudah
tidak mempersulit, bahwasanya Islam dibangun atas dasar mempermudah dan
menghilangkan kesukaran bagi hamba sebagaimana dalam alQur’an surat al-Baqarah
ayat 185, al-Maidah ayat 6 dan an-Nisa’ ayat 28, karakteristik zaman yang terus
berubah, zaman sekarang sikap hidup materialism (madiyyah) lebih dominan
daripada spiritualisme (ruhiyyah), individualism (ananiyyah) lebih dominan
daripada kebersamaan, pragmatisme (naf’iyyah) lebih dominan daripada ahlak,
c. Berbicara
kepada manusia dengan bahasa zamannya atau bahasa yang mudah dimengerti
masyarakat penerima fatwa, hal ini dapat menggunakan cara berbicara secara
rasional dan tidak berlebihan, tidak menggunakan istilah-istilah yang sulit
dimengerti, mengemukakan hukum disertai hikmah dan illat (alasan hukum) yang
sesuai dengan falsafah umum dienul Islam,
d. Berpaling
dari sesuatu yang tidak bermanfaat.
e. Bersikap
pertengahan antara memperlonggar dan memperketat.
f. Memberikan
hak fatwa yang berupa keterangan dan penjelasan, penjelasan dari metode ini
adalah suatu fatwa tidak memiliki arti apabila tidak disertai dalil, ruh bfatwa
terletak pada dalil, menyebutkan hikmah dan illat hukum, membandingkan sikap
pandangan Islam dengan sesuatu di luar Islam, memberikan pengantar atau
pendahuluan ketika hendak menjelaskansesuatu yang dirasa aneh atau janggal,
menunjukkan sesuatu yang dihalalkan sebagai pengganti dari yang diharamkan,
menghubungkan suatu ketentuan dengan ketentuan lain dalam hukum Islam, seorang
mufti tiodak menjawab pertanyaan yang tidak urgen misalnya pertanyaan yang pada
masa terdahulu pernah ditanyakan dan dibahas.[4]
B. Wahbah
Zuhaili
Sebagaimana yang dikemukakan dalam
kitab al-Fiqh al-Islamy wa adillatuh, dalam berfatwa dilakukan metode sebagai
berikut:
a. Terlebih
dahulu melakukan kajian terhadap nash-nash yang terdapat dalam al-Qur’an dengan
menggunakan pendekatan disiplin ilmu yang berhubungan seperti ilmu bahasa
dengan memperhatikan kata-kata mujmal, musytarak, atau lafazh yang diragukan
termasuk lafazh yang ‘amm atau khashsh, haqiqah atau majaz, haqiqah atau ’urf,
muthlaq atau muqayyad dll, jika ia menemukan nash yang jelas mengenai masalah
yang dikajinya, maka ia berpegang teguh pada nash tersebut dan menghukumi
masalah yang sedang dikajinya dengan ketentuan yang ada dalam nash-nash itu.
Sedangkan apabila ia tidak menemukannya dalam Kitabullah, maka ia mencari dalam
sunnah Rasul yang berupa perkataan (Qauliyah).
b. Apabila
ia menemukan dalam hadits tersebut tentang hukum dari masalah yang sedang
dikajinya maka ia menggunakan hadits amaliyah atau taqririyah itu sebagai dalil
atau sumber hukum.
c. Jika
dari kedua sumber tersebut ia tidak menemukan kepastian hukum dari masalah yang
sedang dikaji, Wahbah Zuhaili kemudian memperhatikan beberapa pendapat-pandapat
ulama dengan memperhatikan hadits yang dijadikan dalil oleh para ulama tersebut
antara shahih dan dhoifnya dengan cara ia melakukan pen-takhrij-tan dan
pen-tahqiq-kan agar hadits-hadits tersebut dapat diketahui shahih dan dhoifnya
sehingga bisa memilih pendapat yang bersandar pada hadits shahih.
d. Melakukan
tarjih terhadap pendapat yang mengacu pada sandaran dalil yang shahih, atau
jika hadits yang digunakan sebagai dalil oleh para ulama tersebut mempunyai
kekuatan yang sama dalam derajat hadits, maka lebih memilih pendapat yang mempunyai
potensi lebih untuk menimbulkan kemaslahatan dan menolak kerusakan. Jika Wahbah
tidak melakukan tarjih terhadap bebepara pendapat ulama, ia lebih mengutamakan
untuk mengamalakan pendapat jumhur ulama, alasannya dukungan para ulama
terhadap satu pendapat dapat dijadikan alasan kuat dalam pen-tarjih-an.
e. tidak menemukannya dalam beberapa pendapat
ulama, ia melakukan qiyas dengan ilhaq atau mempertemukan masalah yang sedang
dikajinya dengan masalah yang sudah mempunyai ketentuan hukum dari sumbernya
yang mempunyai kesamaan illat, kemudian ia menghukumi masalah yang dikajinya
dengan hukum yang sama dengan masalah yang sudah mempunyai ketentuan hukum dari
sumbernya. Selain dari itu kemudian ia juga menggunakan logika yang sesuai
dengan aturan dalam hukum Islam.[5]
Demikian cara atau metode yang
dilakukan, adakalanya merujuk kepada makna lahiriyah nash, jika memang nash
tersebut sesuai dengan realitas masalah yang sedang dikajinya. Adakalanya ia
juga menganalogikan masalah tersebut dari nash-nash yaitu qiyas, atau dengan
menimbang realitas maslahah yang dihadapinya dengan menggunakan kaidah-kaidah
umum yang digali dari dalil-dalil al-Qur’an dan asSunnah seperti istihsan ,
maslahah mursalah, urf, sadd adz-Dzari’ah dan yang lainnya.
Adapun cara istihsan yang digunakan
Wahbah Zuhaily yaitu dengan Mengunggulkan (memakai) qiyas khafi dan
meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk untuk itu, dimana istihsan ini
disebut dengan istihsan qiyasi. Atau dengan cara Pengecualian masalah juz’iyah
dari Ashal yang bersifat Kully atau dari kaidahkaidah yang berlaku umum karena
ada dalil (petunjuk) khusus yang mengharuskan hal tersebut yang disebut dengan
istihsan istisna’i. sedangkan metode Wahbah
Zuhaily di dalam maslahah mursalah yaitu dengan menentukan sebuah hukum
yang dapat memperbaiki peraturan syariat atau tujuan syariat (maqasyit
al-syariat) yang sebelumnya tidak ada ketentuan dalil dalam syariat, sehingga
dapat terwujud menarik kebaikan (jalbu al-mashalih) dan menolak kerusakan
(dar’u al-mafasid). Sedangkan dalam urf yang digunakan oleh Wahbah Zuhaili
adalah urf yang sudah berlaku secara umum dari masa sahabat dan sesudahnya yang
tidak bertentangan dengan nash syara’ dan kaidahkaidah dasar. Adapun sadd
az-Dzari’ah yang digunakan Wahabah Zuhaili yaitu untuk menentukan apakah suatu
perbuatan dilarang atau tidak, karena ia bisa menjadi sarana (adzdzariah)
terjadinya suatu perbuatan lain yang dilarang.
Hukum Islam seperti
telah disingggung diatas mencakup syariat dan fiqh, yang merupakan penjelmaan
dari hukum Islam itu sendiri, seperti telah dijelaskan syariat mencakup norma
yang mengatur hubungan baik ibadah dan muamalah, sedangkan fiqh dalam bahasa
berarti paham atau pengertian, apabila dihubungkan dengan kajian ini dapat
diartikan sebagai ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan
norma-norma hukum dasar yang terdapat dalam Al-qur’an dan ketentuan-ketentuan
umum yang terdapat dalam sunnah Nabi yang direkam dalam kitab-kitab hadist. Dalam hukum Islam memuat prinsip-prinsip sebagai titik tolak pelaksanaan
ketetapan-ketetapan Allah yang berkaitan dengan mukallaf, baik yang
berbentuk perintah, larangan maupun pilihan-pilihan. Diantara prinsip-prinsip hukum Islam menurut Juhaya S. Praja sebagai
berikut :
1.
Prinsip Tauhid
Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua
manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang
dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah).
Prinsip ini ditarik dari firman Allah SWT QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan
atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam
arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai
maniprestasi kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian tidak boleh terjadi setiap
mentuhankan sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum
Islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia kepada keseluruhan
kehendak-Nya. Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas
hukum Ibadah, yaitu Azas kemudahan atau meniadakan kesulitan. Dari azas hukum
tersebut terumuskan kaidah-kaidah hukum ibadah sebagai berikut: Al-ashlu fii
al-ibadati tuqifu wal ittiba’: yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak wajib
dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
2.
Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar
Hukum Islam digerakkan untuk
merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang
dikehendaki dan ridho Allah dan menjauhi hal yang dibenci Allah.
3.
Prinsip Keadilan
Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim
al-mizan atau keseimbangan. Kata keadilan dalam al-Qur’an kadang samakan dengan
al-qist. Pembahasan keadilan pada umumnya berkonotasi dalam penetapan
hukum atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan dalam hukum Islam
meliputi berbagai aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip
moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena
esensinya, sebab Allah tidak mendapat keuntungan dari ketaatan dan tidak pula
mendapatkan kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut
hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat
membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.
4.
Prinsip Kebebasan
Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki
agar agama atau hukum Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi
berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip
hukum Islam adalah kebebasan dalam arti luas yang mencakup berbagai macamnya,
baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam
dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama.
5.
Prinsip Persamaan
Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat
dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang
perbudakan dan penghisapan darah manusia atas manusia. Prinsip persamaan ini
merupakan bagian penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam
menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal
stratifikasi sosial seperti komunis.
6.
Prinsip
Saling Tolong Menolong
Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang
diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.[6]
7.
Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah
toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan umatnya ,
tegasnya toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam.
B.
Ijtihad
dan fatwa ekonomi islam
Ijtihad (Arab: اجتهاد) Adalah
sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa
saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak
dibahas dalam Al-Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan
matang.[7]
Fatwa (Arab: فتوى, fatwā) adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada suatu masalah
yang berkaitan dengan hukum Islam.Fatwa sendiri dalam bahasa Arab artinya adalah "nasihat",
"petuah", "jawaban" atau "pendapat". Betul bahwa kaidah
fiqih muamalah “dalam muamalah semua itu boleh kecuali ada dalil yang
melarang”, Memang akan membuat pelaku muamalah memiliki ruang gerak yang lebih luas
dalam berkreasi muamalah. Namun sebelumnya haruslah setiap orang yang memiliki amanah
mengeluarkan fatwa, menjaga kedalaman pemahaman agar kreasi muamalah betul-betul
berlandaskan pada pengetahuan yang cukup.
Contoh sederhana dalam hal
ini adalah Ketika tujuan ekonomi islam untuk memperoleh keadilan dalam konsumsi,
maka halituhanya bisa dijawab dengan alokasi sumberdaya yang tepat di segala masyarakat. Sedangkan
ilmu, mungkin bisa saja menjawab berapa harga yang seharusnya (dalam kerangka teoritis)
ada berdasarkan demand dan supply, namun ia tidak bisa menjamin keadilan
konsumsi itu sendiri. Hal ini disebabkan karena ilmu hanya menjelaskan peristiwa
itu yang terjadi saja, tetapi ia tidak mejelaskan keadilan yang terjadi.[8]
C.
penerapan kaidah-kaidah fiqh dalam fatwa DSN
1. Penggunaan Kaidah Fikih
dalam Fatwa MUI tentang Keuangan Syariah
Eksistensi MUI dan Regulasi Kewenangan
Fatwanya MUI memandang bahwa kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi serta tuntutan pembangunan yang menyentuh seluruh aspek kehidupan, di
samping membawa berbagai kemudahan dan kebahagiaan, juga menimbulkan sejumlah
perilaku dan persoalan-persoalan baru. Cukup banyak persoalan yang sebelumnya
tidak pernah dikenal bahkan tidak pernah terbayangkan, sekarang hal itu
menjadi kenyataan. Atas kenyataan ini, Helmi Karim memberikan pandangannya,
umat Islam meyakini bahwa Islam mampu mengatur kehidupan umat manusia secara
sempurna dalam semua aspek kehidupan. Islam sepanjang sejarahnya sejak
diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad, hal ini tidaklah menjadikan Islam
kaku dalam menghadapi tahap-tahap sejarah yang dilaluinya, melainkan
sebaliknya, menjadikan Islam semakin dewasa untuk berperan nyata di
tengah-tengah kehidupan umat manusia. Di antara peran nyata Islam ini
adalah eksistensi institusi-institusi Islam, termasuk di dalamnya adalah peran
MUI dalam lembaran sejarahnya.
Pada periode sesudah kemerdekaan
Indonesia, pemerintah memandang umat Islam sebagai kelompok mayoritas memiliki
potensi yang penting. Pemerintah memandang bahwa program pembangunan yang
berkaitan dengan agama khsusnya dapat sukses jika didukung oleh para tokoh
agama, atau minimal ulama tidak menghalanginya. Hal ini berarti bahwa
kerja sama pemerintah dengan ulama perlu dijalin. Untuk maksud tersebut, pada
masa kepemimpinan Soekarno telah didirikan Majelis Ulama yang selanjutnya
disusul oleh lahirnya pelbagai Majelis Ulama Daerah tetapi belum mempunyai
pegangan dan cara kerja yang seragam.
Pada masa selanjutnya, atas prakarsa
pemerintah Orde Baru diadakan suatu Musyawarah Nasional Ulama yang terdiri
atas utusan wakil-wakil ulama propinsi se-Indonesia di Jakarta pada
tanggal 21-28 Juli 1975. Musyawarah ini berhasil secara bulat menyepakati
pendirian Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Selama waktu 40 tahun sejak kelahiran
MUI pada tahun 1975, MUI memberikan perhatian terhadap kesejahteraan rohani
umat dan telah menghasilkan fatwa-fatwa yang terkait dengan berbagai aspek
kehidupan masyarakat. MUI telah menerbitkan sejumlah fatwa yang terkait
masalah-masalh ibadah, hukum, sosial, politik, etika, dan ekonomi.[9]
Menurut pandangan Helmi Karim, fatwa-fatwa yang dihasilkan oleh MUI kadangkala
menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Ada pihak yang
memandang fatwa MUI sebagai corong penguasa dan ada pula masyarakat
yang menilai fatwa MUI tidak konsisten. Munculnya aneka respon seperti itu
erat kaitannya dengan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang konsep ijtihad
MUI dan karakter hukum Islam yang dijadikan referensi oleh MUI dalam
produksi fatwa. Oleh karena itu, kajian dalam bidang ijtihad MUI tersebut
penting dilakukan.
Karim selanjutnya menjelaskan bahwa sejak MUI berdiri sampai akhir tahun 1990 lembaga tersebut telah membahas masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan dalam bentuk fatwa yang mencapai 49 buah. Jika dilakukan pengelompokan, fatwa yang dihasilkan oleh MUI sampai tahun 1990 dapat diklasifikasikan kepada bidang ibadat, seperti shalat, puasa, zakat dan haji serta yang berkaitan dengan itu dan bidang non-ibadah seperti masalah al-ahwal al-syakhshiyah (perdata), keluarga berencana, makanan dan minuman, serta bidang-bidang lainnya.
Karim selanjutnya menjelaskan bahwa sejak MUI berdiri sampai akhir tahun 1990 lembaga tersebut telah membahas masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan dalam bentuk fatwa yang mencapai 49 buah. Jika dilakukan pengelompokan, fatwa yang dihasilkan oleh MUI sampai tahun 1990 dapat diklasifikasikan kepada bidang ibadat, seperti shalat, puasa, zakat dan haji serta yang berkaitan dengan itu dan bidang non-ibadah seperti masalah al-ahwal al-syakhshiyah (perdata), keluarga berencana, makanan dan minuman, serta bidang-bidang lainnya.
2. Penggunaan Kaidah Al-Ḥājah
Qad Tunazzalu Manzilah Al-Ḍarurah Dalam Fatwa DSN-MUI
Penulis memilih kaidah al-ḥājah qad tunazzalu manzilah al-ḍarurah,
karena dalam kaidah ini terdapat kata ḥājah (kebutuhan) yang terikat dengan
batasan dan kriteria yang dibuat dan tetapkan oleh ulama. Hampir semua kitab
syaraḥ yang menjeaskan kaidah al-ḥājah qad tunazzalu manzilah al-ḍarurah,
memberikan kriteria dan batasan mengenai al-ḥājah (kebutuhan). Sementara kaidah
yang paling banyak digunakan yang pertama, yaitu al-aṣlu fī al- mu’āmalāt
al-ibāḥah ḥatta yadulla al-dalīlu ‘alā taḥrīmiha merupakan kaidah dasar yang
pada umumnya sudah menjadi kesepakatan ulama mengenai pemberian ruang
yang luas bagi pengembangan praktik mu’amalah.
Kaidah al-ḥājah qad tunazzalu manzilah
al-ḍarurah, menduduki posisi kedua sebagai kaidah yang paling banyak digunakan
dalam buku kumpulan fatwa Keuangan Syariah DSN-MUI. Kaidah ini digunakan
sebanyak 23 kali.[10]
No.
|
No. Fatwa
|
Subyek
|
Keterangan
|
1
|
22/DSN-MUI/III/2002
|
Jual Beli Istishna ’Paralel
|
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sebagai mustaṣni’
dari nasabah dapat memesan kepada pihak ketiga untuk memenuhi kebutuhan pesanan
nasabah. Hanya saja LKS dilarang mengambil margin during constructiom (MDC) dari nasabah yang memesan barang. Fatwa ini tidak merinci jenis dan criteria obyek
istiṣnā’ yang dipesan nasabah. Apakah obyek atau komoditas tersebut benar-benar menjadi kebutuhan masyarakat secara mendesak. |
2
|
29/DSN-MUI/VI/2002
|
Pembiayaan Pengurusa Haji Lembaga
Keuangan Syariah |
Fatwa ini melegitimasi tindakan LKS untuk mengenakan biaya pengurusan haji kepada nasabah, karena pengurusan pembiayaan haki menjadi kebutuhan masyarakat. Pengurusan tersebut dengan menggunakan akad dan prinsip ijarah Lebih dari itu, fatwa ini juga melegitimasi diperbolehkannya LKS memberikan talangan pelunasan dana haji nasabah bila perlukan.
|
3
|
30/DSN-
MUI/VI/2002 |
Pembiayaan Rekening Koran Syariah
|
Fatwa ini melegitimasi LKS untuk mengambil upah (ujrah) dari jasa atau fasilitas reking Koran dan melegitimasi diperbolehkannya Pembiayaan Rekning Koran Syariah (PRKS) yang dapat
pula dilakukan dengan wa’d dalam pemberian fasilitas pinjaman (qarḍ). Fatwa
Ini juga tidak memberikan batasan dan criteria kebutuhan pinjaman melalui akad (qarḍ)yang diajukan nasabah, apakah kebutuhan primer, skunder atau hanya kebutuhan tersier.[11]
|
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Fatwa adalah sebuah
istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan
dengan hukum Islam. Fatwa dalam bahasa Arab berarti nasihat, petuah, jawaban
atau pendapat.Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat
resmiyang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakuiotoritasnya,
disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagaitanggapan atau jawaban
terhadap pertanyaan yang diajukan olehpeminta fatwa (mustaftî) yang tidak
mempunyai keterikatan. Ijtihad (Arab:
اجتهاد) Adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa
dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan
suatu perkara yang tidak dibahas
dalam Al-Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan
pertimbangan matang. penerapan kaidah-kaidah fiqh dalam
fatwa DSN ada dua yaitu: Penggunaan
Kaidah Fikih dalam Fatwa MUI tentang Keuangan Syariah
dan Penggunaan Kaidah Fikih dalam Fatwa
MUI tentang Keuangan Syariah
B.
Saran
Demikian makalah ini saya buat, yang mana tentunya tidak lepas dari
kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyajian. Karena saya sadar bahwa saya
adalah manusia biasa dan kesempurnaan hanya milik Allah Swt. Untuk itu kritik
dan saran sangatlah saya harapkan demi perbaikan dan evaluasi untuk makalah
berikutnya, harapan saya semoga bermanfaat.
DAFTAR
PUSTAKA
Imam
Mustofa,2018,Jurnal Studi Keislaman, Vol.18, No.2
Imron
Rosyidi,2018, Penggunaan Kaidah Fiqh dalam Fatwa MUI tentang Keuangan Syariah, Vol.8,
No.2.
No comments:
Post a Comment