MAKALAH PERTUMBUHAN HUKUM EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah
perekonomian dunia, memperlihatkan bahwa banyak permasalahan yang mendesak di
dunia karena masalah ekonomi. Contohnya pada tahun 1930 dunia mengalami
masalah pengangguran di kalangan tenaga kerja dan sumber daya lainnya, begitu
juga tahun 1940 dunia mengalami masalah merealokasikan sumber daya yang langka
dengan cepat antara kebutuhan perang dengan kebutuhan sipil. Tahun 1950 terjadi
masalah inflasi, tahun 1960 terjadi kemunduran pertumbuhan ekonomi, tahun 1970 dan
awal tahun 1980 terjadi kasus biaya energi yang meningkat (harga minyak yang
meningkat sepuluh kali dibandingkan dekade sebelumnya) (Lipsey, et. al. 1991),
memasuki akhir tahun 2008 sampai dengan saat ini krisis finansial global
yang dimulai di Amerika Serikat sejak 2007 yang dipicu macetnya kredit
perumahan (subprime mortgage) juga telah menimbulkan permasalahan yang
mendunia.
Dampak
yang dirasakan Indonesia antara lain karena perekonomian dunia melemah sehingga
pasar ekspor bagi produk Indonesia menjadi sangat menurun, nilai tukar rupiah
terdepresiasi sehingga hutang luar negeri pemerintah maupun swasta menjadi
beban yang cukup berat. Sejarah Indonesia dalam kurun waktu yang panjang
sebagai negara jajahan bangsa asing karena alasan ekonomi bahwa Indonesia
merupakan sumber hasil bumi yang sangat penting bagi dunia juga mempelihatkan
bahwa masalah ekonomi adalah masalah yang penting bagi suatu negara.
Dari
uraian diatas, kita dapat melihat bahwa persoalan-persoalan ekonomi selalu
muncul dari penggunaan sumberdaya yang langka untuk memuaskan keinginan manusia
yang tak terbatas dalam upaya meningkatkan kualitas hidupnya. Akibat
kelangkaan, maka terjadi perebutan untuk menguasai sumberdaya yang langka
tersebut. Perebutan menjadi penguasa atas sumber daya yang langka bisa
menimbulkan persengketaan antar pelaku ekonomi bahkan bisa memicu perang baik
antar daerah maupun antar negara.
Permasalahan ekonomi ini perlu diatur agar
pemanfaatan sumber daya yang terbatas dapat berjalan dengan baik dengan
prinsip-prinsip keadilan. Hukum ekonomi merupakan salah satu alat untuk
mengatasi berbagi persoalan tersebut.
B.
Rumusan Masalah
a)
Bagaimana
Sejarah perkembangan Hukum Ekonomi
Syariah di
Indonesia ?
b)
Apa
Pengertian Perbankan Syariah ?
c)
Apa
yang dimaksud Asuransi syariah ?
d)
Apa
yang dimaksud Pasar modal syariah ?
e)
Apa
yang dimaksud Reksadana syariah ?
f)
Apa
yang dimaksud Obligasi syariah ?
g)
Apa
yang dimaksud Sekuritas syariah ?
h)
Bagaiamana
Pembiayaan syariah ?
i)
Bagaiamana
Pengadaian syariah ?
j)
Apa
yang dimaksud Dana pensiun Lembaga Keuangan Syariah ?
k)
Apa
Pengertian Bisnis Syariah ?
l)
Apa
Pengertian Perikatan dalam Islam?
m)
Bagaiamana
Kompetensi Peradilan Agama Mengadili Sengketa
Ekonomi Syariah ?
C.
Tujuan Penulisan
a)
Untuk
Mengetahui Sejarah perkembangan Hukum Ekonomi
Syariah di Indonesia, Perbankan Syariah, Asuransi syariah, Pasar modal
syariah, dan Reksadana syariah.
b)
Untuk
Mengetahui Obligasi syariah, Sekuritas syariah, Pembiayaan syariah, Pengadaian
syariah, serta Dana pensiun Lembaga Keuangan Syariah.
c)
Untuk
Mengetahui Bisnis Syariah, perikatan dalam islam dan Kompetensi Peradilan Agama
Mengadili Sengketa Ekonomi Syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah perkembangan Hukum Ekonomi
Syariah di Indonesia
Pemanfaatan
sumber daya yang terbatas menyebabkan perlunya suatu perangkat hukum yang dapat
mengatur agar semua pihak yang berkepentingan mendapat perlakuan yang adil
(win-win solution) dan agar tidak terjadi perselisihan diantara pelaku
ekonomi. Fungsi hukum salah satunya adalah mengatur kehidupan manusia
bermasyarakat di dalam berbagai aspek. Manusia melakukan kegiatan ekonomi
untuk memenuhi kebutuhannya. Manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri,
oleh karena itu manusia melakukan interaksi dengan manusia lainnya.
Interaksi ini sering kali tidak berjalan dengan baik karena adanya benturan
kepentingan diantara manusia yang berinteraksi. Agar tidak terjadi
perselisihan maka harus ada kesepakatan bersama diantara mereka. Kegiatan
ekonomi sebagai salah satu kegiatan sosial manusia juga perlu diatur dengan
hukum agar sumber daya ekonomi, pemanfaatan dan kegiatannya dapat berjalan
dengan baik dengan mempertimbangkan sisi keadilan bagi para pelaku
ekonomi. Hukum atau peraturan perekonomian yang berlaku disetiap kelompok
sosial atau suatu bangsa berbeda-beda tergantung kesepakatan yang berlaku pada
kelompok sosial atau bangsa tersebut.
Hukum
tertinggi yang mengatur mengenai perekonomian di Indonesia terdapat dalam pasal
33 UUD 1945, yang berbunyi :
1)
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas
kekeluargaan
2)
Cabang–cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
3)
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
4)
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional.
5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur
dalam undang-undang.
Hukum Ekonomi Indonesia juga harus mampu memegang amanat UUD
1945 (amandemen) pasal 27 ayat (2) yang berisi : “Tiap-tiap warga Negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Negara juga
memiliki kewajiban untuk mensejahteraan rakyatnya, sehingga perekonomian harus
dapat mensejahterakan seluruh rakyat, sementara fakir miskin dan anak yang
terlantar juga perlu dipelihara oleh Negara. Negara perlu membuat iklim yang
kondusif bagi usaha dan bagi masyarakat yang tidak mampu dapat diberdayakan.
Sementara yang memang tidak dapat berdaya seperti orang sakit, cacat perlu
diberi jaminan sosial (Pasal 34 UUD 1945). Tugas negara ini dalam kondisi
sekarang tidaklah mudah dimana kemampuan keuangan pemerintah sendiri juga
terbatas. Konsep perekonomian yang baik perlu dilaksanakan.
Indonesia merupakan bagian dari masyarakat global sehingga
Indonesia pun tidak terlepas dari hukum internasional termasuk yang menyangkut
ekonomi. Aspek hukum yang mengatur perekonomian Indonesia sudah
diamanatkan dalam UUD 1945 yang sudah empat kali diamandemen, namun baru
tahun 1982 ada sebuah penelitian yang dilakukan mengenai Hukum Ekonomi
Indonesia. Penelitian ini dilakukan oleh Universitas Padjajaran Bandung
yang di pimpin oleh DR. C.F.G Sunaryati Hartono, S.H, yang diterbitkan dalam
bentuk buku dengan judul Hukum Ekonomi Indonesia. Dalam buku tersebut Hukum
Ekonomi Indonesia dibedakan menjadi dua yaitu Hukum Ekonomi Pembangunan dan
Hukum Ekonomi Sosial (Soedijana, Yohanes, Setyardi, 2008).
Hukum Ekonomi Pembangunan adalah pengaturan dan pemikiran
hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi
(peningkatan produksi) secara nasional dan berencana. Hukum Ekonomi Pembangunan
meliputi bidang-bidang pertanahan, bentuk-bentuk usaha, penanaman modal asing,
kredit dan bantuan luar negeri, perkreditan dalam negeri perbankan, paten,
asuransi, impor ekspor, pertambangan, perburuhan, perumahan, pengangkutan dan
perjanjian internasional. Hukum Ekonomi Sosial adalah pengaturan dan pemikiran
hukum mengenai cara-cara pembagian hasil pembangunan ekonomi nasional secara
adil dan merata, sesuai dengan martabat kemanusiaan (hak asasi manusia) manusia
Indonesia (distribusi yang adil dan merata). Hukum Ekonomi Sosial meliputi
bidang obat-obatan, kesehatan dan keluarga berencana, perumahan, bencana alam,
transmigrasi, pertanian, bentuk-bentuk perusahaan rakyat, bantuan dan
pendidikan bagi pengusaha kecil, perburuhan, pendidikan, penderita cacat,
orang-orang miskin dan orang tua serta pensiunan (Soedijana, Yohanes, Setyardi,
2008).
Sejarah Hukum Ekonomi Indonesia juga pernah menganut sistem
ekonomi Pancasila, yang menurut Emil Salim menpunyai ciri-ciri sebagai berikut
:
a)
Sistem ekonomi pasar dengan unsur perencanaan
b)
Berprinsip keselarasan, karena Indonesia menganut paham
demokrasi ekonomi dengan azas perikehidupan keseimbangan. Keseimbangan
antara kepentingan individu dan masyarakat
c)
Kerakyatan, artinya sistem ekonomi ditujukan untuk
kepentingan rakyat banyak
d)
Kemanusiaan, maksudnya sistem ekonomi yang memungkinkan
pengembangan unsur kemanusiaan.
B.
Perbankan Syariah
Perbankan
Syari’ah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syari’ah dan Unit
Usaha-Usaha Syari’ah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan
proses dalam melaksanakan kegiatan usaha lainnya.Sama seperti halnya dengan
bank konvensional, bank syariah juga menawarkan nasabah dengan bank
konvensional adalah dalam produk perbankan. Hanya saja bedanya denga bank
konvensional adalah dalam hal penentuan harga, baik terhadap harga jual maupun
harga belinya. Produk-produk yang ditawarkan sudah tentu sangat Islami.,
termasuk dalam memberikan pelayanan kepada nasabahnya. Berikut ini jeis-jenis
produk bank syariah yang ditawarkan adalah sebagai berikut:
1)
Al-wadi’ah
(Simpanan)
Al-Wadi’ah atau
dikenal dengan nama titipan atau simpanan, merupakan titipan murni dari satu
pihak ke pihak lain, baik perorangan maupun badan hukum yang harus dijaga dan
dikembalikain kapan saja bila si penitip menghendaki.Penerima simpanan disebut
yad al-amanah yang artinya tangan amanah. Si penyimpan tidak bertanggung jawab
atas segala kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada titipan selama hal itu
bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam
memelihara barang titipan. Penggunaan uang titipan harus terlebih dulu meminta
izin kepada si pemilik uang dan dengan catatan si pengguna uang menjamin akan
mengembalikan uang tersebut secara utuh. Dengan demikian prinsip yad al-amanah
(tangan amanah) menjadi yad adh-dhamanah (tangan penanggung).
Prinsip wadi’ah
yang diterapkan adalah wadi’ah yad dhamanah yang diterapkan pada produk
rekening giro. Wadh’ah dhamanah berbeda dengan wadi’ah amanah. Dalam wadi’ah
amanah harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi, sedangkan
dhamanah yang dititipi (bank) boleh memanfaatkan harta titipan tersebut. Implikasi
hukumnya sama dengan qardh, dimanan nasabah meminjamkan uang kepada bank.
Pemilik dana tidak mendapat imbalan tapi insentif yang tidak diperjanjikan.
Dalam praktiknya nisbah antara bank (shahibul maal) dengan deposan (mudharib)
biasanya bonus untuk giro wadiah sebesar 30%, nisbah 40%:60% untuk simpanan
tabungan dan nisbah 45%:55% untuk simpanan deposito.
2)
Pembiayaan
Dengan Bagi Hasil
a.
Al-musyarakah
(Partisipasi Modal)
Al-musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih
untuk melakukan usaha tertentu. Masing-masing pihak memberikan dana atau amal
dengan kesepakatan bahwa keuntungan atau resiko akan ditanggung bersama sesuai
dengan kesepakatan. Al-musyarakah dalam praktik perbankan diaplikasikan dalam
hal pembiayaan proyek. Dalam hal ini nasabah yang dibiayai dengan bank
sama-sama menyediakan dana untuk melaksanakan proyek tersebut. Keuntungan dari
proyek dibagi sesuai dengan kesepakatan untuk bank setelah terlebih dulu
mengembalikan dana yang dipakai nasabah. Al-musyarakah dapat pula dilakukan
untuk kegiatan investasi seperti pada lembaga keuangan modal ventura.
b.
Al-mudharabah
Pengertian Mudharabah dapat didefinisikan sebagai sebuah akad atau perjanjian
diantara dua belah pihak, dimana pihak pertama sebagai pemilik modal (shahib
al-mal atau al-mal), memercayakan kepada pihak kedua atau pihak lain
(pengusaha), untuk menjalankan suatu aktivitas atau usaha. Apabila mengalami
kerugian maka akan ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat
kelalaian pengelola, maka sipengelolalah yang bertanggug jawab.Dan didalam
prktiknya mudharabah terbagi menjadi 2 macam, yakni:a) mudharabah muthlaqah
merupakan kerja sama antara pihak pertama dan pihak lain yang cakupannya lebih
luas. Maksudnya tidak dibatasi oleh waktu, spesifikasi usaha dan daerah bisnis.
b) mudharabah muqayyadah merupakan kebalikan dari mudharabah muthlaqah di mana
pihak lain dibatasi oleh waktu spesifikasi usaha dan daerah bisnis.
c.
Al-muzara’ah
Pengertian AI-muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik
lahan dengan penggarap. Pemilik lahan menyediakan lahan kepada penggarap untuk
ditanami produk pertanian dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen.
Dalam dunia perbankan kasus ini diaplikasikan untuk pembiayaan bidang plantation
atas dasar bagi hasil panen.Pemilik lahan dalam hal ini menyediakan lahan,
benih, dan pupuk. Sedangkan penggarap menyediakan keahlian, tenaga, dan waktu.
Keuntungan diperoleh dari hasil panen dengan imbalan yang telah disepakati.
d.
Al-musaqah
Pengertian AI-musaqah merupakan bagian dari al-muza’arah yaitu penggarap hanya
bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan dengan menggunakan dana dan
peralatan mereka sendiri. Imbalan tetap diperoleh dari persentase hasil panen
pertanian. Jadi tetap dalam konteks adalah kerja sama pengolahan pertanian
antara pemilik lahan dengan penggarap.
3)
Bai’al
Murabahah
Pengertian Bai’al-Murabahah merupakan kegiatan jual beli pada harga
pokok dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam hal ini penjual harus
terlebih dulu memberitahukan harga pokok yang ia beli ditambah keuntungan yang
diinginkannya. Sebagai contoh harga pokok barang “X” Rp 100.000,-. Keuntungan
yang diharapkan adalah sebesar Rp 5.000,-, sehingga harga jualnya Rp
105.000,-. Kegiatan Bai’al-Murabahah ini baru dilakukan setelah ada kesepakatan
dengan pembeli, baru kemudian dilakukan pemesanan. Dalam dunia perbankan
kegiatan Bai’al-Murabahah pada pembiayaan produk barang-barang investasi baik
dalam negeri maupun luar negeri seperti Letter of credit atau lebih dikenal
dengan nama L/C.
4)
Bai’as-Salam
Bai’as-salam artinya pembelian barang yang diserahkan kemudian
hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Prinsip yang harus dianut adalah
harus diketahui terlebih dulu jenis, kualitas dan jumlah barang dan hukum awal
pembayaran harus dalam bentuk uang.
5)
Bai’al
Istishna’
Bai’ Al istishna’ merupakan bentuk khusus dari akad Bai’assalam,
oleh karena itu ketentuan dalam Bai` Al istishna’ mengikuti ketentuan dan
aturan Bai’as-salam. Pengertian Bai’ Al istishna’ adalah kontrak penjualan
antara pembeli dengan produsen (pembuat barang). Kedua belah pihak harus
saling menyetujui atau sepakat lebih dulu tentang harga dan sistem pembayaran.
Kesepakatan harga dapat dilakukan tawar-menawar dan sistem pembayaran dapat
dilakukan di muka atau secara angsuran per bulan atau di belakang.
6)
Al-Ijarah
(Leasing)
Pengertian Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang
atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barang itu sendiri. Dalam praktiknya kegiatan ini dilakukan
oleh perusahaan leasing, baik untuk kegiatan operating lease maupun financial
lease.
7)
Al-Wakalah
(Amanat)
Wakalah atau wakilah artinya penyerahan atau pendelegasian atau
pemberian mandat dari satu pihak kepada pihak lain. Mandat ini harus dilakukan
sesuai dengan yang telah disepakati oleh si pemberi mandat.
8)
Al-Kafalah
(Garansi)
Al-Kafalah merupakan jaminan yang diberikan penanggung kepada
pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dapat
pula diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak
lain. Dalam dunia perbankan dapat dilakukan dalam hal pembiayaan dengan
jaminan seseorang.
9)
Al-Hawalah
Al-Hawalah merupakan pengalihan utang dari orang yang berutang
kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Atau dengan kata lain pemindahan
beban utang dari satu pihak kepada lain pihak. Dalam dunia keuangan atau
perbankan dikenal dengan kegiatan anjak piutang atau factoring.
10)
Ar-Rahn
Ar-Rahn merupakan kegiatan menahan salah satu harta milik si
peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Kegiatan seperti ini
dilakukan seperti jaminan utang atau gadai.
Selain itu produk pemberian jasa lainnya, seperti:
Ø Jasa penerbitan L/C
Ø Jasa Transfer
Ø Jasa Inkaso
Ø Bank Garansi
Ø Menerima Zakat, Infak, dan Sadaqoh (untuk disalurkan)
Secara
spesifik risiko-risiko yang akan menyebabakan bervariasinya tinngkat keuntungan
bank meliputi risiko likuiditas, risiko kredit dan tingkat bunga, dan risiko
modal. Namun demikian, bank syariah tidak akan menghadapi risiko bunga,walapun
di lingkungan dimana berlaku dual banking system meningkatnya tingkat bunga di
pasar konvensional dapat berdampak pada meningkatnya risiko berpindah ke bank
konvensional.
C.
Asuransi Syariah
Menurut Dewan Syariah Nasional, definisi ASURANSI SYARIAH (Ta’min, Takaful
atau Tadhamun) adalah usaha untuk saling melindungi dan tolong menolong
diantara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’
yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad
(perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Asuransi Syariah
adalah sebuah sistem dimana para peserta meng-infaq-kan/menghibahkan sebagian
atau seluruh kontribusi yang akan digunakan untuk membayar klaim, jika terjadi
musibah yang dialami oleh sebagian peserta. Peranan perusahaan disini hanya sebatas pengelolaan
operasional asuransi dan investasi dari dana-dana/kontribusi yang
diterima/dilimpahkan kepada perusahaan.
Asuransi syari’ah disebut juga dengan asuransi ta’awun yang
artinya tolong menolong atau saling membantu . Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa Asuransi ta’awun prinsip dasarnya adalah dasar syariat yang saling
toleran terhadap sesama manusia untuk menjalin kebersamaan dalam meringankan
bencana yang dialami peserta. Prinsip ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam
surat Al Maidah ayat 2, yang artinya :
“Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan
dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan”
D.
Pasar Modal Syariah
Pasar modal secara
umum merupakan suatu tempat bertemunya para penjual dan pembeli untuk melakukan
transaksi dalam rangka memperoleh modal. Penjual dalam pasar modal merupakan
perusahaan untuk menjual efek-efek di pasar modal yang disebut emiten,
sedangkan pembeli disebut investor.
Pasar modal Syari’ah
secara sederhana dapat diartikan sebagai pasar modal yang menerapkan
prinsip-prinsip Syari’ah dalam kegiatan transaksi ekonomi dan terlepas dari
hal-hal yang dilarang seperti: riba, perjudian, spekulasi.
Sedangkan efek
Syari’ah adalah efek yang dimaksudkan dalam peraturan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal yang akad, pengelolaan perusahaan, maupun cara penerbitannya
memenuhi prinsip-prinsip Syari’ah yang penetapannya dilakukan oleh DSN-MUI (Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia) dalam bentuk fatwa.
E.
Reksadana Syariah
Reksadana di Inggris
dikenal dengan sebutan Unit Trust yang berarti Unit (saham)
kepercayaan, di Amerika dikenal dengan sebutan Mutual Fund yang
berarti dana bersama dan di Jepang dikenal sebutan Investment Fund yang
berarti pengelolaan dana untuk investasi berdasarkan kepercayaan. Reksadana
tersusun menjadi dua konsep, yaitu reksadana yang berarti jaga atau pelihara
dan konsep dana yang berarti (himpunan) uang. Dengan demikan dapat dikatakan
bahwa reksadana adalah kumpulan uang yang di pelihara.
Menurut
Undang-undang No. 8 Tahun 1995 Pasal 1 Ayat 27 tentang pasar modal, bahwa
reksadana adalah wadah yang digunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat
pemodal untuk selanjutnya di investasikan dalam portofolio efek oleh manajer
investasi. Efek yang dimaksud adalah surat-surat berharga, termasuk surat
pengakuan utang, saham, obligasi, dan pasar uang. Lembaga reksadana adalah
emiten (penerbit) unit-unit sertifikat saham yang kegiatan utamanya adalah
melakukan investasi dalam efek, investasi kembali atau perdagangan efek di
bursa efek.
Disamping reksadana
konvensional, telah hadir pula reksadana syariah.Reksadana syariah adalah
reksadana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip syariat Islam. Baik
dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (shahib al-mal)
dengan manajer investasi sebagai wakil, maupun antara manajer investasi sebagai
wakil dengan pengguna investasi.
Reksadana
syariah pertama kali di perkenalkan di Indonesia pada tahun 1998 oleh PT Dana
reksa Investment Management, dimana pada saat itu PT Dana reksa
mengeluarkan produk Reksadana berdasarkan prinsip syariah berjenis Reksadana
campuran yang dinamakan Dana reksa Syariah Berimbang. Reksadana syariah
merupakan lembaga intermediasi yang membantu surplus unit melakukan penempatan
dana untuk di investasikan. Salah satu tujuan dari reksadana syariah adalah
memenuhi kebutuhan kelompok investor yang ingin memperoleh pendapatan investasi
dari sumber dan cara yang bersih dan data di pertanggung jawabkan secara agama
serta sejalan dengan prinsip-prinsip syariah.
F.
Obligasi Syariah
Obligasi syariah
adalah sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002 adalah
suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang
dikeluarkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah
berupa hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat
jatuh tempo.
Obligasi secara
konvensional adalah bukti utang dari emiten yang dijamin oleh penanggung yang
mengandung janji pembayaran bunga atau janji lainnya serta pelunasan pokok
pinjaman yang dilakukan pada tanggal jatuh tempo.
Obligasi syariah pun
dikenal dengan nama sukuk. Jenis-Jenis sukuk antara lain:
a) Sukuk
Korporasi
Sukuk
korporasi adalah jenis obligasi syariah yang diterbitkan oleh suatu perusahaan
yang memenuhi prinsip-prinsip syariah.
Adapun
beberapa pihak yang terlibat :
1. Obligor, adalah emiten yang
bertanggung jawab atas pembayaran imbalan dan nilai
nominal sukuk yang diterbitkan sampai dengan sukuk jatuh
tempo.
2. Wali amanat (trustee)
untuk mewakili kepentingan investor.
3. Investor, yaitu pemegang sukuk yang
memiliki hak atas imbalan, margin, dan nilai nominal sukuk sesuai
partisipasi masing-masing.
Adapun
jenis sukuk dikenal secara internasional dan telah
mendapatkan endorsement dari The Accounting and
Auditing Organisation for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) dan
diadopsi dalam UU No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN, antara lain :
1) Sukuk Ijarah
2) Sukuk Mudharabah
3) Sukuk Musyarakah
4) Sukuk Istisna’.
5) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
SBSN
adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah,
sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang
rupiah maupun valuta asing.
Karakteristik
SBSN :
1)
Sebagai bukti
kepemilikkan suatu aset berwujud atau hak manfaat (beneficial tittle);
pendapatan berupa imbalan (kupon), margin, dan bagi hasil, sesuai jenis akad
yang digunakan
2)
Terbebas dari
unsur riba, gharar, dan maysir
3)
Penerbitannya melalui
wali amanat berupa special purpose vehicle (SPV).
4)
Memerlukan underlying
aset (sejumlah tertentu aset yang akan menjadi objek perjanjian).
5)
Penggunaan proceeds harus
sesuai prinsip syariah.
Adapun tujuan
dari sukuk negara :
1) Memperluas
basis sumber pembiayaan anggaran negara.
2) Mendorong
pengembangan pasar keuangan syariah.
3) Mengembangkan
alternatif instrumen investasi.
G.
Sekuritas Syariah
Istilah
sekuritas (securities) seringkali disebut juga dengan efek, yakni sebuah nama
kolektif untuk macam-macam surat berharga, misalnya saham, obligasi, surat
hipotik, dan jenis surat lain yang membuktikan hak milik atas sesuatu barang.
Dengan istilah yang hampir sama, sekuritas dapat juga dipahami
sebagai promissory notes/commercial bank notes yang menjadi bukti
bahwa satu pihak mempunyai tagihan pada pihak lain. Adapun, yang dimaksud
dengan sekuritas syariah atau efek syariah adalah efek sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal yang akad, pengelolaan
perusahaan, maupun cara penerbitannya memenuhi prinsip-prinsip syariah.
Di antara bank-bank
Islam yang ada, terdapat dua pendapat yang berbeda dalam menyikapi surat
berharga. Pertama, mayoritas bank Islam menolak perdagangan surat berharga.
Kedua, bank Islam di Malaysia, dalam beberapa kondisi termasuk juga bank Islam
di Indonesia, menerima transaksi surat berharga.
Alasan
penyangkalan mereka yang menolak transaksi surat berharga adalah karena di
dalamnya terkandung bai ad-dayn (jual beli utang). Sementara itu,
Islam secara tegas telah mengharamkan jual beli utang. Reaksi yang berbeda
dikemukakan oleh pendapat kedua, yakni mereka yang mengabsahkan transaksi surat
berharga. Umumnya, mereka menyandarkan pada prinsip bahwa surat berharga
tersebut haruslah diendors (dijamin) oleh pihak penerbit, kemudian surat
berharga tersebut haruslah timbul dari aktivitas yang tidak bertentangan dengan
syariah. Jadi, selama kedua hal ini tidak dilanggar, transaksi surat berharga
menjadi sah karenanya.
Bahkan,
sebagaimana diuraikan bank Islam di Malaysia merujuk pada beberapa fatwa yang
membolehkan jual beli surat berharga dan kebolehan mengambil keuntungan dalam
jual beli berdasarkan prinsip an taraddin minkum (kerelaan kedua
belah pihak).
Terlepas
bagaimanapun reaksi yang diungkapkan oleh umat, yang pasti, Islam sangat
menganjurkan umatnya untuk melakukan aktifitas ekonomi (mu’amalah) dengan cara
yang benar dan baik, serta melarang penimbunan barang, atau membiarkan harta
(uang) menjadi tidak produktif, sehingga aktivitas ekonomi yang dilakukan dapat
meningkatkan ekonomi umat. Tujuan utamanya adalah untuk memperoleh keuntungan
(falah), baik materi maupun non materi, dunia dan akhirat. Sementara itu,
segala bentuk aktivitas ekonomi yang dilakukan haruslah berdasarkan suka sama
suka, berkeadilan, dan tidak saling merugikan (la dharara wa la dhirara).Karena
itu, sehubungan dengan pembahasan sekuritas syariah ini, ada tiga kategori
sekuritas.
Pertama, segala
jenis sekuritas yang menawarkan predetermined fixed-income tidak
diperbolehkan dalam Islam, karena termasuk kategori riba. Dengan
demikian, interest-bearing securities, baik long term maupun short
term, akan masuk daftar instrumen investasi yang tidak sah. Saham preferen
(Preference stocks),debenture, treasury securities and consul,
dan commercial papers masuk dalam kategori ini.
Kategori kedua,
sekuritas-sekuritas yang berada dalam grey area(questionable) karena
dicurigai sarat dengan gharar, meliputi produk-produk derivatives,
seperti forward, future, dan juga options.
Kategori
ketiga, yakni sekuritas yang diperbolehkan, baik secara penuh maupun dengan
catatan-catatan meliputi, saham (stocks) dan Islamic bonds, profit loss
sharing based, goverment securities, penggunaan institusi pasar sekunder
dan mekanismenya semisal margin trading. Karena seringkali
catatan-catatannya begitu dominan, berikut ini akan diuraikan dua contoh
sekuritas yang telah akrab di tengah-tengah masyarakat, yakni saham dan
obligasi syariah.
H. Pembiayaan Syariah
Pembiayaan atau financing yaitu
pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada
pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri
maupun lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan
untuk mendukung investasi yang telah direncanakan.
Dalam kaitannya
dengan pembiayaan pada perbankan syariah atau istilah teknisnya disebut sebagai
aktiva produktif. Menurut ketentuan Bank Indonesia aktiva produktif adalah
penanaman dana Bank Syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk
pembiayaan, qard, piutang, surat berharga syariah, penyertaan modal, serta
sertifikat wadi’ah Bank Indonesia.
Istilah pembiayaan
pada intinya berarti I Believe, I Trust (saya percaya atau saya menaruh
kepercayaan). Dengan demikian pengertian pembiayaan adalah:
1.
Penyerahan
nilai ekonomi sekarang atas kepercayaan dengan harapan mendapatkan kembali
suatu ekonomi yang sama di kemudian hari.
2.
Suatu
tindakan atas dasar perjanjian yang dalam perjanjian tersebut terdapat jasa dan
balas jasa (prestasi dan kontra prestasi) yang keduanya dipisahkan oleh unsur
waktu.
3.
Pembiayaan
adalah suatu hak, dengan hak mana seseorang dapat mempergunakannya untuk tujuan
tertentu, dalam batas waktu tertentu dan atas pertimbangan tertentu pula.
Penyaluran dana adalah transaksi penyediaan dana dan atau barang
serta fasilitas lainnya kepada nasabah yang tidak bertentangan dengan syariah
islam dan standar akuntansi perbankan syariah, serta tidak termasuk jenis
penyaluran dana yang dilarang menurut ketentuan Bank Indonesia.
I.
Pegadaian Syariah
Dalam istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan
dengan rahn dan dapat juga dinamai al-hasbu.
Secara etimologis, arti rahn adalah tetap dan lama,
sedangkan al-hasbu berarti penahanan terhadap suatu barang
dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.
Sedangkan menurut Sabiq, rahn adalah menjadikan barang yang
mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, hingga
orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian
(manfaat) barangnya itu.
Adapun
pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam Kitab
al-Mughni adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu
hutang untuk dipenuh dari harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup
membayarnya dari orang yang berpiutang.
Ibnu
Sayyidah mengartikan dengan sesuatu yang disimpan seseorang sebagai pengganti
sesuatu yang diambilnya. Adapun al-Harali mengartikannya dengan suatu
kepercayaan dengan cara memberikan sesuatu yang sepadan dengan jalan tertentu.
Sedangkan rahn menurut
istilah sebagaimana dikemukakan para ulama adalah sebagai berikut:
a.
Hanafiyah: “Menjadikan
sesuatu tertahan karena ada kewajiban yang harus dipenuhinya, seperti utang.”
b.
Malikiyah: “Sesuatu
yang dikuasa sebagai kepercayaan karena adanya utang.”
c.
Syafi’iyah dan
Hanabilah: “Menjadikan barang sebagai jaminan (kepercayaan) atas utang yang
dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang pada waktunya tidak
bisa membayar utangnya.”
Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor: 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukuk Ekonomi
Syariah Pasal 20 mendefinisikan rahn sebagai berikut:
“Pengusaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan.”
Dari
definisi yang dikemukakan para ulama diatas tentang rahn, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dinamakan gadai adalah akad sebuah
kepercayaan dengan cara menjadikan sesuatu sebagai barang jaminan atas utang yang
harus dibayarnya. Dan apabila utang pada waktunya tidak terbayar, maka barang
yang dijadikan jaminan tersebut dapat dijual untuk membayar utangnya.
Dalam
jurnal Ahmad Supriyadi mengatakan bahwa gadai syariah adalah hubungan hukum
antara satu orang atau lebih dengan seorang atau lebih dengan kata seepakat
untuk mengikatkan dirinya bahwa di satu pihak (rahin) bersedia
menyerahkan barang untuk ditahan oleh murtahin dan membayar biaya perawatan dan
sewa tempat penyimpanan serta asuransi sedangkan murtahin sepakat untuk
memberikan pinjaman uang tertentu sebesar nilai taksir.
Pengertian
gadai yang ada dalam syariah agak berbeda dengan pengertian gadai yang ada
dalam hukum positif, sebab pengertian gadai dalam hukum positif seperti yang
tercantum dalamBurgerlijk Wetbook (Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas
suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berhutang
atau oleh seseorang lain atas dirinya, dan yang memberikan kekuasaan kepada
orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan dari pada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya
yang telah dikeluarkan untuk menyelamatannya setelah barang itu digadaikan,
biaya-biaya mana harus didahulukan (Pasal 1150 KUH Perdata).
Jika
memperhatikan pengertian gadai (rahn) di atas, maka tampak bahwa fungsi
dari akad perjanjian antara pihak peminjam dengan pihak yang meminjam uang
adalah untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang dan/ atau jaminan keamanan
uang yang dipinjamkan. Karena itu,rahn pada prinsipnya merupakan
suatu kegiatan utang piutang yang murni berfungsi sosial, sehingga dalam buku
fiqh muamalah akad ini merupakan akad tabarru’ atau akad derma yang tidak
mewajibkan imbalan.
J.
Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syariah
Dana pensiun syariah adalah dana pensiun yang
dikelola dan dijalankan berdasarkan prinsip syariah. Pertumbuhan lembaga
keuangan syariah di Indonesia, secara lambat tetapi pasti juga mendorong
perkembangan dana pensiun yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah. Sampai
saat ini dana pensiun syariah berkembang pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan
(DPLK) yang dilaksanakan oleh beberapa bank dan asuransi syariah.
Pengelolaan dana pensiun yang sesuai dengan ajaran Islam akan memiliki
banyak manfaat bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang loyal terhadap
syariah. Al-quran sendiri mengajarkan umatnya untuk tidak meninggalkan
keturunan yang lemah dan menyiapkan hari esok agar lebih baik. Ajaran ini dapat
dimaknai sebagai pentingnya pencadangan sebagian kekayaan untuk hari depan.
Demikian ini sangat penting, mengingat setelah pensiun, manusia masih memiliki
kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Dengan cadangan dana tersebut, ketika
seseorang memasuki masa kurang produktif, masih memiliki sumber pendapatan.
Dana pensiun syariah memiliki potensi besar untuk berkembang di Indonesia,
hal ini bisa ditandai dengan alasan :
1)
Masih sedikit proporsi
masyarakat yang mau mengikuti dana pensiun.
2)
Berkembangnya lembaga
keuangan dan bisnis syariah, tentunya SDM yang bekerja dalam institusi tersebut
menjadi segmented target dan captive market yang
jelas bagi dana pensiun syariah.
3)
Rasa percaya (trust), rasa
memiliki dan awarness masyarakat terhadap pentingnya industri
keuangan dan bisnis syariah yang terus membaik program dana pensiun syariah
Manulife yang berkembang relatif cukup baik.
Untuk dapat memahami
peran dana pensiun perlu dilihat pada konsideran UU No. 11 / 1992 sebagai
berikut :
1)
Bahwa sejalan dengan
hakikat pembangunan nasional, diperlukan penghimpunan dan pengelolaan dana guna
memelihara kesinambungan penghasilan pada hari tua dalam rangka mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2)
Bahwa dana pensiun
merupakan sarana penghimpunan dana guna meningkatkan peran serta masyarakat
dalam melestarikan pembangunan nasional yang mengikat dan berkelanjutan.
3)
Bahwa adanya dana
pensiun dapat pula meningkatkan motivasi dan ketenangan kerja untuk
meningkatkan produktivitas.
4)
Dana pensiun yang
sangat besar jumlahnya dan dapat berperan secara aktif dalam pembiayaan
pembangunan, sebagai salah satu lembaga keuangan penghimpunan dana, sekaligus
membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja dan
memperbesar produksi nasional.
K. Bisnis Syariah
Kata Bisnis berasal dari bahasa inggris, Bussines
(plural business). Mengandung sebuah arti di antaranya Commercial
Activity involving the exchange of money for goods or services- Usaha
komersial yang menyangkut soal penukaran uang bagi produsen dan distributor (goods)
atu bidang jasa (services).
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya
sebagai : Usaha dagang,Usaha komersial,dalm dunia perdagangan,Bidang usaha.
Jadi,Bisnis dapat di artikan sebagai “ Segala bentuk aktivitas dari
berbag transaksi-transaksi yang di lakukan manusia guna mengahsilakn
keuntungan, baik berupa barang atau jasa untk memenuhi kebutuhan masyarakat
sehari-hari”.
Bisnis juga dapat di definisikan sebagai pertukaran barang dan jasa,atau
uang yang saling menguntungkan atau member manfaat. Ada yang mengartikan bisnis
sebagai suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan distribusi
atau penjualan barang dan jasa-jasa yang di inginkan konsumen untuk memperoleh
profit (keuntungan).
Kata syariat biasa disebut asy-syariah (mufrad dari syara’i) secara harfiah
berarti jalan ke sumber air dan tempatorang-orang yang minum. Singkatnya tujuan dari syariah itu sendiri
adalah menjamin keselamatan manusia secara fisik,moral,dan spiritual di dunia
ini dan untuk menyiapkan perjumpaan dengan Allah di hari yang akan datang.
Dari penjelasan di atas,dapat di tarik
kesimpulan bahwa,Bisnis Syariah merupakan “ Serangkaian aktivitas bisnis
dalam berbagai bentuknya(yang tidak di batasi),Namun di batasi dalam cara
perolehan dan pendayaan hartanya (ada aturan halal dan haram). Dalam
arti,Pelaksanaan bisnis harus tetap berpegang pada ketentuan syariat
(aturan-aturan dalam Al-Quran Dan Al-Hadits ). Dengan demikian syariat
merupakan nilai utama yang menjadi paling strategis maupun taktis bagi pelaku
kegaiatan ekonomi (bisnis).
L. Perikatan alam Islam
Perikatan dalam bahasa Arab terdapat
dua istilah, pertama kata ‘aqada artinya menyimpulkan, lihat
Q.S. Al Maiah (5): 1, dalam kamus Al Munawir, Bahsa Arab
Indonesia aqad adalah mengikat, dapat juga disebut
‘uquud artinya perjanjian (yang tercatat) kontrak. Kedua
‘ahdu (lihat Q.S. Ali Imran (3) : 76, yatiu berjanji. Dari segi bahasa aqad adalah ikatan, mengikat.
Ikatan artinya menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali. Fathurrahman Djamil menyamakan kata al
‘aqdu dengan istilah verbintenisdalam KUH Perdata. Sedaangkan
Istilah al ‘ahdu disamakan dengan perjanjian
atauovereenkomst, yaitu pernyataan dari seorang untuk mengerjakan atau
tidak mengerjakan sesuatu yang tiidak berkaitan dengan orang lain.
Oleh Quraish Shihab kata
‘uquud diberikata pengertian mengikat sesuatu dengan sesuatu sehingga
tidak menjadi bagiannya dan tidak terpisah dengannya. Dalam Kompilasi
hukum Ekonomi Syariah kata aqad diberi perngerttian adalah kesepakatan dalalm suatu
perjanjinan antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tiidak melakukan
perbuatan hukum tertentu.
Jadi hukum perikatan Islam adalah seperangkat kaidah
hukum Islam yang mengatur tentang hubungnan antara dua pihak atau lebih
mengenai suatu benda atau barang yang menjadi halal dari suatu objek transaksi.
Menurut para ahli hukum Islam (fuqaha) aqad adalah pertalian antara ijab dan
qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap
objeknya.
Dengan demikian kaidah-kaidah hukum
yang berhubngan langsung dengan hukum perikatan Islam adalah
bersumber dari Alqur’an dan Sunnah Rasulullah (syariah) dan hasil pemikiran
manusia (ijtiha) sebagai implemenatasi dari syariah yaitu
fikih. Ini berarti hukum perikatan Islam di satu sisi bersifat
hubungan perdata dan di satu sisi yang lain sebagai kepatuhan menjalankan
ajaran agama Islam (syari’at Islam). hukum perikatan Islam
bersifat religiu transendental yang melekat pada kaidah-kaidah yang
melingkupi hukum perikatan Islalm itu sendiri sebagai pencerminan
dari otoritas Allah. Dengan demikian subtansi hukum perikatan
Islam materinya lebih luas dari hukum perdata Barat. Hal ini dapat
dilihat dari keterkaitan hukum perikatan itu sendiri dengan hukum
Islam , tidak hanya mengataru hubungan manusia dengan manusia (horisontal)
tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan Allah (vertikal). Menurut
Abdoerraeof terjadi suatu perikatan (al aqdu) melalui tiga tahap, yaitu:
1. Al
’Ahdu (perjanjian) = pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu dan tidak tersangkut paut dengan
kemauan orang lain.
2. Pesetujuan
= pernyataan setuju dari piihak kedua untuk melakukan sesuatu
sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan
itu harus sesuai dengan janji pihak pertama.
3. Apabila
janji kedua pihak dilaksanakan maka terjadilah ‘aqdu. Contoh: Ahmad menyatakan
janji membeli sebuah rumah, kemudian Ali menyatakkakn menjuall sebuah rumah,
maka Ahmad dan Ali berada pada tahap al ‘ahdu. Apabila tipe rumah
dan harg rumah telah disepakati oleh kedua pihak maka terjadi
persetujuan. Jika kedua janji tersebut dilaksanakan maka terjadi
perikatan atau akdu di antara keduanya.
Menurut Subekti perikatan adalah
suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, beerdasarkan mana
pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak
yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Sedangkan perjanjian adalah
suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua
orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal. Peristiwa perjanjian
tersebut menimbulkan hubungan diantara aorang-orang tersebut yang disebut
dengan perikatan. Jadi hubungan antra perikatan dgn
perjanjian aadalah perjanjian menimbulkan perikatan. Lihat Pasal
1233 KUH Perdata, bahwa perjanjian merupakan sumber perikatan.
Perbedaan hukum perikatan Islam dan
hukum perikatan dalam KUH Perdata ada pada tahap perjanjian. Pada hukum
perikatan Islam, janji pihak pertama terpiah dari janji phak kedua (dua tahap)
baru kemudian lahir perikatan. Sedangkan dalam KUH Perdata perjanjian antara
pihak pertama dan pihak kedua adalah satu tahap, yang kemudian melahirkan
perikatan. A. Gani Abdullah berpandangan bahwa hukum perikatan Islam titik
tolak adalah ikrar (Ijab dan kabul) dalam tiap transaksi.
M.Kompetensi
Peradilan Agama Mengadili Sengketa Ekonomi Syariah
Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI
Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah,
yang disahkan pada 22 Desember 2016 lalu.
Sebenarnya PERMA ini sudah ditunggu pembentukannya sejak
lama sebagai pelengkap dari berlakunnya PERMA No. 2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Alasan terbentuknya diawali dari
kekhawatiran Asosisasi Pengacara Indonesia (APSI).
Bila terjadinya
kekososongan hukum acara, penyelesaian sengketa ekonomi atau bisnis syariah
masih tunduk pada ketentuan hukum acara perdata yang biasa di lingkungan peradilan negeri. Walaupun sengketa ekonomi yang berdasarkan
prinsip syariah, namun dalam penggunaanya masih berkiblat pada sistem hukum
peninggalan kolonial Belanda, seperti HIR (Het Herzeine Indlandsche Reglement),
R.Bg (Rechts Reglement Buitengewesten), dan Rv (Reglement of de
Rechtsvordering).
Adanya PERMA ini juga berdampak pada implementasi
Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama terhadap meluasnya
kewenangan Pengadilan Agama akibat berkembangnya ekonomi syariah. Seperti,
penyelesaian perkara ekonomi syariah dapat dilakukan melalui hukum acara biasa
atau dalam bentuk gugatan sederhana (small claim court)
baik secara lisan maupun tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Agama yang
berwenang. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 2 PERMA Sengketa Ekonomi
Syariah yang menyebutkan bahwa “perkara ekonomi syariah dapat
diajukan dalam bentuk gugatan sederhana atau gugatan dengan acara biasa”.
Ini adalah substansi yang paling penting dari terbitnya PERMA ini.
Hal lainnya disebutkan pula, PERMA ini juga mengatur
pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan pembatalannya yang mempertegas
kewenangan pengadilan agama sehingga sudah tidak terjadi lagi dualisme
pelaksanaan putusan dan pembatalan arbitrase syariah antara pengadilan agama
dan pengadilan negeri. Hal ini termuat dalam Pasal 13 ayat (2) PERMA Sengketa Ekonomi
Syariah yang menyebutkan bahwa “pelaksanaan putusan arbitrase
syariah dan pembatalannya, dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama.” Namun, tata cara pelaksanaan putusan putusan arbitrase
syariah tetap mengacu pada UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Tak hanya itu, dalam PERMA ini mengatur juga
kewenangan Pengadilan Agama yang menangani urusan eksekusi hak tanggungan dan
fidusia yang menggunakan akad syariah. Hal ini ini dapat diperjelas dalam Pasal
13 ayat (1) PERMA Sengketa Ekonomi Syariah, yaitu “pelaksanaan putusan perkara
ekonomi syariah, hak tanggungan dan fidusia yang berdasarkan akad syariah
dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.”
PERMA ini juga mengakomodir layanan teknologi
informasi seperti pendaftaran gugatan dan pembuktian terutama dalam pemeriksaan
ahli. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 dan 11 PERMA Sengketa Ekonomi Syariah.
Pasal 4 diatas menyebutkan bahwa “penggugat mengajukan gugatannya
di kepaniteraan pengadilan atau melalui pendaftaran elektronik atau dapat
mendaftarkan gugatannya dengan mengisi blanko yang disediakan di kepaniteraan.”
Dan Pasal 11 menyatakan bahwa “Pemeriksaan ahli dapat
dilakukan dengan menggunakan bantuan teknologi informasi.”
Lebih jauh, PERMA ini juga menverifikasi hakim yang
dapat memeriksa dan mengadili sengketa ekonomi syariah, misalnya harus
bersertifikasi hakim ekonomi syariah, atau seminimal mungkin hakim agama yang
pernah mengikuti diklat fungsional ekonomi syariah.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ekonomi Syariah merupakan ilmu pengetahuan sosial
yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai
Islam. Ekonomi syariah atau sistim ekonomi koperasi berbeda dari kapitalisme,
sosialisme, maupun negara kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari
kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap
buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam
kaca mata Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki
dimensi ibadah.
Perbedaan sistem ekonomi syariah dengan sistem ekonomi biasa,
yaitu sistem ekonomi syariah dalam memperoleh keuntungan, sistem ini
menggunakan cara sistem bagi hasil berbeda dengan sistem ekonomi liberal maupun
sosial yang cenderung memperoleh keuntungan sebesar-besarnya tanpa melihat
aspek dari konsumennya.
Dengan melihat penduduk Indonesia yang mayoritas memeluk
agama islam seharusnya pemerintah mempertimbangkan untuk penerapan sistem
ekonomi syariah, untuk memperbaiki perekonomian yang dilanda berbagai masalah
seperti sekarang ini. Dibutuhkan strategi yang baik untuk mengatasi
kendala-kendala dalam penerapan ekonomi syariah di Indonesia
B.
Saran
Dengan selesainya makalah ini kami sadar bahwasanya
makalah kami ini masih jauh dari kesempurnaan, karena masih banyak kekurangan
dan kesalahan baik dari segi materi pembahasan maupun ejaan kata, maka dari itu
kami mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar di
kemudian hari kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi. Harapan kami makalah
ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan mengenai Pekembangan Ekonomi
Syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia (Konsep, Implementasi, dan
Institusionalisasi), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.
Ahmad Supriyadi, Struktur
Hukum Akad Rahn di Pegadaian Syariah Kudus, Jurnal Penelitian Islam, Vol.
5, No. 2, 2012.
Andi Soemitra, Bank
dan Lembaga Keuangan Syariah, Kencana, Jakarta, 2009.
Buchari Alma, Manajemen
Bisnis Syariah, Alfabeta, Bandung, 2009
Herman Darmawi, Pasar
Finansial dan Lembaga-lembaga Finansial, Bumi Aksara, Jakarta, 2006.
Huda, Nurul dan
Mohammad Heykal. 2010. Lembaga Keuangan Islam : Tinjauan Teoritis dan
Praktis, Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Huda,Nurul dan Mustafa
Edwin Nasution, Investasi Pada Pasar Modal Syariah, Kencana,
Jakarta, 2007
Khaerul Umam, Pasar
Modal Syariah dan Praktik Pasar Modal Syariah, Pustaka Setia, Bandung, 2013
Muhammad, Manajemen
Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002).
Soedijana,
F.X., Triyana Yohanes dan Untung Setyardi. Ekonomi Pembangunan Indonesia
(Tinjauan Aspek Hukum). Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. 2008
Yusuf
Muhammad. “Manajemen Keuangan Syariah”. Mataram: Penerbit Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Mataram, 2015.
No comments:
Post a Comment