1

loading...

Thursday, July 4, 2019

MAKALAH SISTEM PERHITUNGAN INBRENG


MAKALAH SISTEM PERHITUNGAN INBRENG


BAB I
PENDAHULUAN
      A.    Latar Belakang
Kehidupan seorang manusia tidaklah ada yang kekal dan abadi. Diapapun orangnya, pasti akan mengalami kematian, meninggalkan keluarga dan harta kekayaan yang dimilikinya. Harta kekayaan tersebut tentunya akan jatuh ke tangan yang berhak mendapatkannya. Jika pengaturan harta kekayaan ini tidak diatur dengan peraturan, maka akan terjadi sengketa harta kekayaan (peninggalan) dari yang meninggal dunia kepada para pihak yang ditinggalkan.
Maka dari itu, mengenai pembagian harta kekayaan peninggalan tersebut, diatur dengan hukum waris. Dengan maksud agar semua pihak yang berhak menerimanya mengetahui bagian-bagiannya termasuk untuk menghindari perselisihan antara ahli waris.
Adil dalam harta warisan, bukan berarti semua ahli wari bagiannya disamaratakan, akan tetapi pembagian tersebut disesuaikan berdasarkan status/kedudukannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk dalam hukum perdata.
Namun, akan berbeda manakala dibagikan harta tersebut, sesorang telah mendapatkan hibah dari yang membagikan warisan tersebut. Seperti apa pengaturan bagian warisan setelah terjadi hibah pada salah satu pihak, akan dibahas dalam makalah ini.
     B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sistem perhitungan Inbreng?
2.      Apa saja yang wajib inbreng dan tidak inbreng?
3.      Apa yang dimaksud dengan Inkorting?
4.      Ada berapa macam Inkorting dalam BW?

BAB II
PEMBAHASAN
     A.    Definisi Inkorting
Pasal 929 BW, dijelaskan tentang tuntutan inkorting harus diajukan menurut urutan hari pemindah tanganannya, mulai dari pemindah tanganan yang paling akhir, kemudian urutan prioritas pelaksanaan inkorting sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 916a BW, pertama dari ahli waris yang non legitimaris (garis kesamping, janda/duda, saudara-saudara), kedua dari wasiat (legaat dan erfstelling), dan ketiga di-inkorting dari hibah-hibah yang diberikan oleh pewaris semasa pewaris hidup, dengan maksud bahwa apabila setelah di-inkorting dari non legitimaris, bagian mutlak belum terpenuhi, maka dilanjutkan dengan inkorting terhadap ahli waris dalam wasiat, jika belum terpenuhi juga bagian mutlak, maka di inkorting dari hibah-hibah semasa pewaris hidup.[1]
    B.     Macam-macam Inkorting Pemotongan (inkorting) ada dua macam, yaitu sebagai berikut:
1.      Pemotongan semu (oneigenlijke inkorting) adalah pemotongan tidak langsung. Pemotongan ini dilakukan dari bagian ahli waris yang tidak berhak atas bagian mutlak dan pemotongan dari pemberian yang dilakukan dengan wasiat. Pemotongan semu dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Pemotongan langsung dari ahli waris ab intestato yang bukan legitimaris;
b.      Wasiat yang sudah dipotong, tetapi belum diberikan karena bagian mutlak tersinggung, hibah wasiat itu dipotong untuk menutup kekurangan bagian mutlak.
2.      Pemotongan yang sebenarnya (eigenlijke inkorting) adalah pemotongan yang sungguh-sungguh diadakan, seperti pemotongan terhadap hibah telah diberikan dan dikembalikan untuk menutupi LP.
    C.    Pembagian kepada selain legitimaris
Menurut R. Soerojo Wongsowidjojo, untuk menerapkan Pasal 916 KUHPerdata diperlukan adanya tiga golongan ahli waris, yaitu:
1.      Ahli waris ab intestato legitimaris;
2.      Ahli waris ab intestato bukan legitimaris;
3.      Pihak ketiga. Pemberian kepada pihak ketiga dibatasi oleh Pasal 916 a. Pihak ketiga tidak boleh menerima harta peninggalan melebihi ketentuan dalam Pasal 916a sehingga menyinggung LP. Jadi Pasal 916 a ini menentukan batas maksimum bagian untuk pihak ketiga. Terhadap si pewaris, ia hanya boleh memberikan harta peninggalannya dengan cara hibah, hibah wasiat atau pun pengangkatan sebagai ahli waris dengan jumlah yang tidak melebihi besarnya LP. Apabila melebihi besarnya LP, maka jumlah yang telah dihibahkan, dihibah wasiatkan. Artinya, bagian dari orang yang diangkat sebagai ahli waris itu harus dikurangi, pengurangan itu dinamakan inkorting (pengurangan/pemotongan). Sementara itu, jumlah yang boleh diberikan dengan cara hibah wasiat disebut bagian bebas, yaitu suatu bagian yang diberikan secara bebas oleh si pewaris kepada siapapun juga. Besarnya bagian bebas ini adalah besarnya harta peninggalan setelah dikurangi dengan bagian mutlak. Pasal 916 a mengatur bahwa: untuk pihak ketiga ditentukan maksimum yang boleh dipergunakan oleh si yang meninggal secara bebas, yaitu sepanjang tidak menyinggung LP. Bagian bebas itu di dalam bahasa Belanda disebut beschikbaar deel. Contoh: Aktiva warisan Rp 10juta, utang warisan Rp 5juta, legaat pada B → Rp 5juta. Hibah semasa hidup pada A Rp 4juta. Perhitungan LP: LP A = ½ (5juta + 4juta) – 4,5juta A telah menerima hibah 4juta. Kekurangan 500.000 B → di inkorting 500.000 → diserahkan pada A (AW legataris) Disini kedudukan A dan B sama-sama AW legataris.
    D.    Cara Memenuhi Bagian Mutlak
Contoh I: HW = 40juta B menerima legaat → dalam testament sebesar 30juta A menuntut LP Penyelesaian: Laksanakan legaat pada B 30juta, sisa → warisan 10juta Perhatikan → apakah ada pelanggaran LP LP A → ½ x ½ x 40juta = 10juta LP tidak terganggu, testament dapat dilaksanakan Contoh II: A mengangkat B sebagai ahli waris untuk 3/8 bagian harta peninggalannya, sedangkan B masih tetap sebagai ahli waris. C di onterferd oleh A. bagaimana pembagian waris A? Pelaksanaan wasiat: B menerima 3/8 x harta peninggalan. 3/8 x Rp. 48.000,00 = Rp. 18.000,00. Sisa setelah dipotong wasiat Rp. 48.000,00 – Rp. 18.000,00 = Rp. 30.000,00. Sisa ini dibagi antara ahli waris menurut undang-undang, yaitu B, d, dan E. C tidak memperoleh bagian sebab ia dikesampingkan sebagai ahli waris. Jadi B, D dan E mendapat sisa wasiat = 1/3 x Rp. 30.000,00 = Rp. 10.000,00. Akan tetapi, C tidak boleh dikesampingkan sama sekali, karena ia berhak atas LP. LP C ialah ¾ x ¼ x Rp. 48.000,00 = Rp. 9.000,00. Jumlah LP C, D dan E ialah 3 x ¾ x ¼ x Rp. 48.000,00 = Rp. 27.000,00. Jadi sisa warisan setelah dipotong Lp ialah Rp. 30.000,00 – Rp.27.000,00. Sisa ini dibagi antara ahli waris menurut undang-undang yang tidak di onterfd, yaitu B, D dan E masing-masing memperoleh 1/3 x Rp. 3.000,00 = Rp. 1.000,00. Maka pembagian warisan ialah: B= Rp. 18.000,00 + Rp. 1.000,00 = Rp. 19.000,00 C= Rp. 9.000,00 D= Rp. 9.000,00 + Rp. 1000,00 = Rp. 10.000,00 E= Rp. 9000,00 + Rp.1000,00 = Rp. 10.000,00 Catatan: Kekurangan LP terlebih dahulu diambil dari sisa yang harus dibagi. Apabila dengan cara seperti LP sudah tertutupi, maka bagian dari wasiat tidak boleh diganggu gugat. Jika sisa yang harus dibagi tidak cukup, barulah legaat dikurangi untuk menutupi kekurangan LP. Selama Legaat tidak menyinggung LP, legaat itu harus dihormati.[2]
     E.     Pengertian Inbreng/Pemasukan
Undang-undang sendiri tidak memberikan perumusan tentang apa yang dimaksud dengan inbreng. Namun, ditemukan pengertian inbreng menurut para ahli.
1.      Vegeens Opemheim
Menurutnya, inbreng adalah memperhitungkan kembali hibah-hibah yang diberikan pewaris kepada ahli warisnya, ke dalam warisan, agar pembagian warisan di antara para ahli waris menjadi lebih merata.
2.      Benyamin Asri dan Thabrani Asri
Yang dimaksud dengan inbreng adalah pemasukan suatu hibah atau wasiat yang pernah diberikan, utnuk diperhitungkan sebagai harta peninggalan (harta warisan), dengan maksud agar terdapat keseimbangan/pemerataan di dalam pembagian harta peninggalan di antara para ahli waris si pemberi hibah.
3.      Oemarsalim
Memperhitungkan pemberian benda-benda yang dilaksanakan oleh orang yang meninggalkan harta warisan pada waktu ia masih hidup kepada para ahli waris.[3]
F.     Kewajiban Inbreng
Kewajiban Inbreng diatur dalam KUHPerdata Pasal 1086 yang berbunyi:
“Dengan tidak mengurangi kewajiban ahli waris untku membayar kepada kawan-kawan waris mereka atau memperhitungkan dengan mereka ini segala utang mereka kepada harta peninggalan, maka segala hibah yang diperoleh dari si yang mewariskan di kala hidupnya orang ini, harus dimasukkan:
a.       oleh para ahli waris dalam garis turun ke bawah, baik sah maupun luar kawin, Bik mereka itu telah menerima warisannya secara murnimaupun dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran, baik mereka itu hanya memperoleh bagian mutlak mereka maupun mereka telah memperoleh lebih dari itu; kecuali apabila pemberian-pemberian itu telah dilakukan dengan pembebasan secara jelas dari pemasukan, atau pun apabila para penerima itu di dalam suatu akta otentik atau dalam suatu wasiat telah dibebaskan dari kewajibannya untuk memasukkan;
b.      oleh semua waris lainnya, baik waris karena kematian maupun waris wasiat, namun hanyalah dalam hal si yang mewariskan maupun si penghibah dengan tegas telah memerintahkan atau memperjanjikan dilakukannya pemasukan.”[4]
     G.    Pembebasan
Dalam hal pemasukan, sejauh pencantumannya tidak seluruhnya perlu dan benar, maka pengeluaran-pengelluaran ini juga dapat dipandang sebagai pemenuhan perikatan wajar (natuurlijke verbintennis) sebagai kebalikan dari oengeluaran-pengeluaran yang dimaksudkan dalam pasal 1097 B.W. :
a)      Biaya pemeliharaan dan pendidikan;
b)      Pembayaran-pembayaran untuk biaya hidup yang mendesak;
c)      Pengeluaran/pembayaran untuk mempelajari suatu cabang perdagangan, seni, pekerjaan tangan atau perusahaan;
d)     Biaya belajar
e)      Biaya untuk mengganti atau pergantian nomor dalam angkatan bersenjata negara;
f)       Biaya perkawinan, pakaian, dan perhiasan badanyang diberikan untuk perlengkapan perkawinan;
g)      Premi asuransi.
    H.    Besarnya Inbreng
Besarnya inbreng ditentukan dalam pasal 1088. Orang tidak diwajibkan inbreng lebih daripada yang ia terima dari warisan, dan oran yang menolak warisan tidak wajib untuk inbreng, kecuali untuk dan sebanyak yang diperlukan untuk memenuhi legitieme portie nya.
Pasal ini sebenarnya merupakan pembatasan atas pasal 1086, sebab dalam pasal 1086 dikatakan bahwa apa yang diterima ahli waris sebagai hibah, harus dimasukkan (inbreng), dalam pasal 1088 dikatakan, bahwa mereka hanya wajib inbreng sebesar apa yang mereka terima dari warisan, sedang pasal 1087 memberikan pembatasan lain, yaitu orang yang menolak warisan hanya harus inbreng sebesar dan untuk memenuhi kekurangan legitieme portie yang dituntut. Ketentuan pembatasan inbreng dalam pasal 1088 perlu diadakan, karena jika tidak, ahli waris yang telah menerima hibah yang besar dan melihat, bahwa sesudah inbreng, apa yang akan diterimanya dari warisan akan berjumlah lebih kecil dari hibah yang sudah dimasukkan (inbreng), akan cenderung menolak warisan, padahal menurut Klaasaen Eggens, penolakan warisan bukan hal yang terpuji dalam pandangan masyarakat.[5] Dengan demikian besarnya inbreng bergantung dari:
a.       Besarnya hibah;
b.      Besarnya hak bagian yang akan diterima oleh orang yang memberikan inbreng dari warisan; dan
c.       Kekurangan yang diperlukan untuk legitieme portie.

BAB III
PENUTUP
            Kesimpulan
Pasal 929 BW, dijelaskan tentang tuntutan inkorting harus diajukan menurut urutan hari pemindah tanganannya, mulai dari pemindah tanganan yang paling akhir, kemudian urutan prioritas pelaksanaan inkorting sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 916a BW, pertama dari ahli waris yang non legitimaris (garis kesamping, janda/duda, saudara-saudara), kedua dari wasiat (legaat dan erfstelling), dan ketiga di-inkorting dari hibah-hibah yang diberikan oleh pewaris semasa pewaris hidup, dengan maksud bahwa apabila setelah di-inkorting dari non legitimaris, bagian mutlak belum terpenuhi, maka dilanjutkan dengan inkorting terhadap ahli waris dalam wasiat, jika belum terpenuhi juga bagian mutlak, maka di inkorting dari hibah-hibah semasa pewaris hidup. Inkorting terbagi dua: 1. Pemotongan semu (oneigenlijke inkorting) adalah pemotongan tidak langsung. Pemotongan ini dilakukan dari bagian ahli waris yang tidak berhak atas bagian mutlak dan pemotongan dari pemberian yang dilakukan dengan wasiat. 2. Pemotongan yang sebenarnya (eigenlijke inkorting) adalah pemotongan yang sungguh-sungguh diadakan, seperti pemotongan terhadap hibah telah diberikan dan dikembalikan untuk menutupi LP.
inbreng adalah memperhitungkan kembali hibah-hibah yang diberikan pewaris kepada ahli warisnya, ke dalam warisan, agar pembagian warisan di antara para ahli waris menjadi lebih merata.

DAFTAR PUSTAKA

Prawirohamidjojo, R. Soetojo.  Hukum Waris Kodifikasi,
Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
J. Satrio,  Hukum Waris



[2] J. Satrio,  Hukum Waris, H. 305
[3] ibid
[4] Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, H. 282
[5]  R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, H.464-465

No comments:

Post a Comment