MAKALAH SISTEM PERHITUNGAN INBRENG
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kehidupan seorang manusia tidaklah ada yang
kekal dan abadi. Diapapun orangnya, pasti akan mengalami kematian, meninggalkan
keluarga dan harta kekayaan yang dimilikinya. Harta kekayaan tersebut tentunya
akan jatuh ke tangan yang berhak mendapatkannya. Jika pengaturan harta kekayaan
ini tidak diatur dengan peraturan, maka akan terjadi sengketa harta kekayaan
(peninggalan) dari yang meninggal dunia kepada para pihak yang ditinggalkan.
Maka dari itu, mengenai pembagian harta
kekayaan peninggalan tersebut, diatur dengan hukum waris. Dengan maksud agar
semua pihak yang berhak menerimanya mengetahui bagian-bagiannya termasuk untuk
menghindari perselisihan antara ahli waris.
Adil dalam harta warisan, bukan berarti semua
ahli wari bagiannya disamaratakan, akan tetapi pembagian tersebut disesuaikan
berdasarkan status/kedudukannya menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku termasuk dalam hukum perdata.
Namun, akan berbeda manakala dibagikan harta
tersebut, sesorang telah mendapatkan hibah dari yang membagikan warisan
tersebut. Seperti apa pengaturan bagian warisan setelah terjadi hibah pada
salah satu pihak, akan dibahas dalam makalah ini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana sistem
perhitungan Inbreng?
2.
Apa saja yang
wajib inbreng dan tidak inbreng?
3.
Apa yang
dimaksud dengan Inkorting?
4.
Ada berapa
macam Inkorting dalam BW?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Inkorting
Pasal 929 BW, dijelaskan tentang tuntutan
inkorting harus diajukan menurut urutan hari pemindah tanganannya, mulai dari
pemindah tanganan yang paling akhir, kemudian urutan prioritas pelaksanaan
inkorting sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 916a BW, pertama dari ahli waris
yang non legitimaris (garis kesamping, janda/duda, saudara-saudara), kedua dari
wasiat (legaat dan erfstelling), dan ketiga di-inkorting dari hibah-hibah yang
diberikan oleh pewaris semasa pewaris hidup, dengan maksud bahwa apabila setelah
di-inkorting dari non legitimaris, bagian mutlak belum terpenuhi, maka
dilanjutkan dengan inkorting terhadap ahli waris dalam wasiat, jika belum
terpenuhi juga bagian mutlak, maka di inkorting dari hibah-hibah semasa pewaris
hidup.[1]
B.
Macam-macam
Inkorting Pemotongan (inkorting) ada dua macam, yaitu sebagai berikut:
1.
Pemotongan
semu (oneigenlijke inkorting) adalah pemotongan tidak langsung. Pemotongan ini
dilakukan dari bagian ahli waris yang tidak berhak atas bagian mutlak dan
pemotongan dari pemberian yang dilakukan dengan wasiat. Pemotongan semu dibagi
menjadi dua, yaitu:
a.
Pemotongan
langsung dari ahli waris ab intestato yang bukan legitimaris;
b.
Wasiat yang
sudah dipotong, tetapi belum diberikan karena bagian mutlak tersinggung, hibah
wasiat itu dipotong untuk menutup kekurangan bagian mutlak.
2.
Pemotongan yang
sebenarnya (eigenlijke inkorting) adalah pemotongan yang sungguh-sungguh
diadakan, seperti pemotongan terhadap hibah telah diberikan dan dikembalikan
untuk menutupi LP.
C.
Pembagian
kepada selain legitimaris
Menurut R. Soerojo Wongsowidjojo, untuk menerapkan
Pasal 916 KUHPerdata diperlukan adanya tiga golongan ahli waris, yaitu:
1.
Ahli waris ab
intestato legitimaris;
2.
Ahli waris ab
intestato bukan legitimaris;
3.
Pihak ketiga.
Pemberian kepada pihak ketiga dibatasi oleh Pasal 916 a. Pihak ketiga tidak
boleh menerima harta peninggalan melebihi ketentuan dalam Pasal 916a sehingga
menyinggung LP. Jadi Pasal 916 a ini menentukan batas maksimum bagian untuk
pihak ketiga. Terhadap si pewaris, ia hanya boleh memberikan harta
peninggalannya dengan cara hibah, hibah wasiat atau pun pengangkatan sebagai
ahli waris dengan jumlah yang tidak melebihi besarnya LP. Apabila melebihi
besarnya LP, maka jumlah yang telah dihibahkan, dihibah wasiatkan. Artinya,
bagian dari orang yang diangkat sebagai ahli waris itu harus dikurangi,
pengurangan itu dinamakan inkorting (pengurangan/pemotongan). Sementara itu,
jumlah yang boleh diberikan dengan cara hibah wasiat disebut bagian bebas,
yaitu suatu bagian yang diberikan secara bebas oleh si pewaris kepada siapapun
juga. Besarnya bagian bebas ini adalah besarnya harta peninggalan setelah
dikurangi dengan bagian mutlak. Pasal 916 a mengatur bahwa: untuk pihak ketiga
ditentukan maksimum yang boleh dipergunakan oleh si yang meninggal secara
bebas, yaitu sepanjang tidak menyinggung LP. Bagian bebas itu di dalam bahasa
Belanda disebut beschikbaar deel. Contoh: Aktiva warisan Rp 10juta, utang
warisan Rp 5juta, legaat pada B → Rp 5juta. Hibah semasa hidup pada A Rp 4juta.
Perhitungan LP: LP A = ½ (5juta + 4juta) – 4,5juta A telah menerima hibah
4juta. Kekurangan 500.000 B → di inkorting 500.000 → diserahkan pada A (AW
legataris) Disini kedudukan A dan B sama-sama AW legataris.
D.
Cara Memenuhi
Bagian Mutlak
Contoh I: HW = 40juta B menerima legaat →
dalam testament sebesar 30juta A menuntut LP Penyelesaian: Laksanakan legaat
pada B 30juta, sisa → warisan 10juta Perhatikan → apakah ada pelanggaran LP LP
A → ½ x ½ x 40juta = 10juta LP tidak terganggu, testament dapat dilaksanakan
Contoh II: A mengangkat B sebagai ahli waris untuk 3/8 bagian harta
peninggalannya, sedangkan B masih tetap sebagai ahli waris. C di onterferd oleh
A. bagaimana pembagian waris A? Pelaksanaan wasiat: B menerima 3/8 x harta
peninggalan. 3/8 x Rp. 48.000,00 = Rp. 18.000,00. Sisa setelah dipotong wasiat
Rp. 48.000,00 – Rp. 18.000,00 = Rp. 30.000,00. Sisa ini dibagi antara ahli
waris menurut undang-undang, yaitu B, d, dan E. C tidak memperoleh bagian sebab
ia dikesampingkan sebagai ahli waris. Jadi B, D dan E mendapat sisa wasiat =
1/3 x Rp. 30.000,00 = Rp. 10.000,00. Akan tetapi, C tidak boleh dikesampingkan
sama sekali, karena ia berhak atas LP. LP C ialah ¾ x ¼ x Rp. 48.000,00 = Rp.
9.000,00. Jumlah LP C, D dan E ialah 3 x ¾ x ¼ x Rp. 48.000,00 = Rp. 27.000,00.
Jadi sisa warisan setelah dipotong Lp ialah Rp. 30.000,00 – Rp.27.000,00. Sisa
ini dibagi antara ahli waris menurut undang-undang yang tidak di onterfd, yaitu
B, D dan E masing-masing memperoleh 1/3 x Rp. 3.000,00 = Rp. 1.000,00. Maka
pembagian warisan ialah: B= Rp. 18.000,00 + Rp. 1.000,00 = Rp. 19.000,00 C= Rp.
9.000,00 D= Rp. 9.000,00 + Rp. 1000,00 = Rp. 10.000,00 E= Rp. 9000,00 +
Rp.1000,00 = Rp. 10.000,00 Catatan: Kekurangan LP terlebih dahulu diambil dari
sisa yang harus dibagi. Apabila dengan cara seperti LP sudah tertutupi, maka
bagian dari wasiat tidak boleh diganggu gugat. Jika sisa yang harus dibagi
tidak cukup, barulah legaat dikurangi untuk menutupi kekurangan LP. Selama
Legaat tidak menyinggung LP, legaat itu harus dihormati.[2]
E.
Pengertian
Inbreng/Pemasukan
Undang-undang
sendiri tidak memberikan perumusan tentang apa yang dimaksud dengan inbreng.
Namun, ditemukan pengertian inbreng menurut para ahli.
1.
Vegeens
Opemheim
Menurutnya, inbreng adalah
memperhitungkan kembali hibah-hibah yang diberikan pewaris kepada ahli
warisnya, ke dalam warisan, agar pembagian warisan di antara para ahli waris
menjadi lebih merata.
2.
Benyamin Asri
dan Thabrani Asri
Yang dimaksud dengan inbreng adalah
pemasukan suatu hibah atau wasiat yang pernah diberikan, utnuk diperhitungkan
sebagai harta peninggalan (harta warisan), dengan maksud agar terdapat
keseimbangan/pemerataan di dalam pembagian harta peninggalan di antara para
ahli waris si pemberi hibah.
3.
Oemarsalim
Memperhitungkan pemberian
benda-benda yang dilaksanakan oleh orang yang meninggalkan harta warisan pada
waktu ia masih hidup kepada para ahli waris.[3]
F.
Kewajiban
Inbreng
Kewajiban
Inbreng diatur dalam KUHPerdata Pasal 1086 yang berbunyi:
“Dengan tidak
mengurangi kewajiban ahli waris untku membayar kepada kawan-kawan waris mereka
atau memperhitungkan dengan mereka ini segala utang mereka kepada harta
peninggalan, maka segala hibah yang diperoleh dari si yang mewariskan di kala
hidupnya orang ini, harus dimasukkan:
a.
oleh para ahli
waris dalam garis turun ke bawah, baik sah maupun luar kawin, Bik mereka itu
telah menerima warisannya secara murnimaupun dengan hak istimewa untuk
mengadakan pendaftaran, baik mereka itu hanya memperoleh bagian mutlak mereka
maupun mereka telah memperoleh lebih dari itu; kecuali apabila
pemberian-pemberian itu telah dilakukan dengan pembebasan secara jelas dari
pemasukan, atau pun apabila para penerima itu di dalam suatu akta otentik atau
dalam suatu wasiat telah dibebaskan dari kewajibannya untuk memasukkan;
b.
oleh semua
waris lainnya, baik waris karena kematian maupun waris wasiat, namun hanyalah
dalam hal si yang mewariskan maupun si penghibah dengan tegas telah
memerintahkan atau memperjanjikan dilakukannya pemasukan.”[4]
G.
Pembebasan
Dalam hal pemasukan, sejauh pencantumannya
tidak seluruhnya perlu dan benar, maka pengeluaran-pengelluaran ini juga dapat
dipandang sebagai pemenuhan perikatan wajar (natuurlijke verbintennis) sebagai
kebalikan dari oengeluaran-pengeluaran yang dimaksudkan dalam pasal 1097 B.W. :
a)
Biaya
pemeliharaan dan pendidikan;
b)
Pembayaran-pembayaran
untuk biaya hidup yang mendesak;
c)
Pengeluaran/pembayaran
untuk mempelajari suatu cabang perdagangan, seni, pekerjaan tangan atau
perusahaan;
d)
Biaya belajar
e)
Biaya untuk
mengganti atau pergantian nomor dalam angkatan bersenjata negara;
f)
Biaya
perkawinan, pakaian, dan perhiasan badanyang diberikan untuk perlengkapan
perkawinan;
g)
Premi
asuransi.
H.
Besarnya
Inbreng
Besarnya inbreng ditentukan dalam pasal 1088.
Orang tidak diwajibkan inbreng lebih daripada yang ia terima dari warisan, dan oran
yang menolak warisan tidak wajib untuk inbreng, kecuali untuk dan sebanyak yang
diperlukan untuk memenuhi legitieme portie nya.
Pasal ini sebenarnya merupakan pembatasan atas
pasal 1086, sebab dalam pasal 1086 dikatakan bahwa apa yang diterima ahli waris
sebagai hibah, harus dimasukkan (inbreng), dalam pasal 1088 dikatakan, bahwa
mereka hanya wajib inbreng sebesar apa yang mereka terima dari warisan, sedang
pasal 1087 memberikan pembatasan lain, yaitu orang yang menolak warisan hanya
harus inbreng sebesar dan untuk memenuhi kekurangan legitieme portie yang
dituntut. Ketentuan pembatasan inbreng dalam pasal 1088 perlu diadakan, karena
jika tidak, ahli waris yang telah menerima hibah yang besar dan melihat, bahwa
sesudah inbreng, apa yang akan diterimanya dari warisan akan berjumlah lebih
kecil dari hibah yang sudah dimasukkan (inbreng), akan cenderung menolak
warisan, padahal menurut Klaasaen Eggens, penolakan warisan bukan hal yang
terpuji dalam pandangan masyarakat.[5]
Dengan demikian besarnya inbreng bergantung dari:
a.
Besarnya
hibah;
b.
Besarnya hak
bagian yang akan diterima oleh orang yang memberikan inbreng dari warisan; dan
c.
Kekurangan
yang diperlukan untuk legitieme portie.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pasal 929 BW, dijelaskan tentang tuntutan
inkorting harus diajukan menurut urutan hari pemindah tanganannya, mulai dari
pemindah tanganan yang paling akhir, kemudian urutan prioritas pelaksanaan
inkorting sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 916a BW, pertama dari ahli waris
yang non legitimaris (garis kesamping, janda/duda, saudara-saudara), kedua dari
wasiat (legaat dan erfstelling), dan ketiga di-inkorting dari hibah-hibah yang
diberikan oleh pewaris semasa pewaris hidup, dengan maksud bahwa apabila
setelah di-inkorting dari non legitimaris, bagian mutlak belum terpenuhi, maka
dilanjutkan dengan inkorting terhadap ahli waris dalam wasiat, jika belum
terpenuhi juga bagian mutlak, maka di inkorting dari hibah-hibah semasa pewaris
hidup. Inkorting terbagi dua: 1. Pemotongan semu (oneigenlijke inkorting)
adalah pemotongan tidak langsung. Pemotongan ini dilakukan dari bagian ahli
waris yang tidak berhak atas bagian mutlak dan pemotongan dari pemberian yang
dilakukan dengan wasiat. 2. Pemotongan yang sebenarnya (eigenlijke inkorting)
adalah pemotongan yang sungguh-sungguh diadakan, seperti pemotongan terhadap
hibah telah diberikan dan dikembalikan untuk menutupi LP.
inbreng adalah memperhitungkan kembali
hibah-hibah yang diberikan pewaris kepada ahli warisnya, ke dalam warisan, agar
pembagian warisan di antara para ahli waris menjadi lebih merata.
DAFTAR PUSTAKA
Prawirohamidjojo,
R. Soetojo. Hukum Waris Kodifikasi,
Subekti, dan
R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
J.
Satrio, Hukum Waris
No comments:
Post a Comment