MAKALAH TAKHRIJ HADIST
Takhrij Hadits
A. PENDAHULUAN
Hadits merupakan salah satu sumber hukum Islam,
namun tidak seluruh hadist dari Nabi SAW. Diterima oleh para sahabat secara
kolektif kemudian disampaukan kepada orang banyak secara mutawatir, seperti
Al-quran. Mayoritas hadist justru diriwayatkan secara individu (ahad) atau
beberapa orang saja sehingga tidak mencapai nilai mutawatir. Hadist yang
diterima secara mutawatir dapat diterima secara aklamasi sebagai hujjah tanpa
penilaian sifat-sifat individu para perawinya, seperti sifat adil, cerdas,
memiliki ingatan yang kuat, atau mudah hafal karena kualitas kolektivitas
tersebut sudah memiliki kualifikasi objektivitas yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Berbeda dengan hadist ahad, para periwayat dalam
sanad harus memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti
sanad yang harus bersambung (ittishal) serta periwayat harus bersifat adil
(adelah) dan memiliki hafalan kuat (dhabith). Oleh karena itu, para periwayat
hadist ahad perlu diteliti sifat-sifatnya agar dapat memnuhi kriteria hadist
shahih.
Sementara itu, sehubungan dengan masa munculnya
hadist yang bersamaan dengan turunya Al-quran, dalam periwayatannya Al-quran
tidak ada masalah. Ummat Islam menerimanya dan tidak memerlukan kajian silsilah
sanad karena selurunya ditulis sejak masa Rasululloh hidup serta Alquran
diterima oleh para sahabat secara mutawatir. Dengan demikian, Al-quran memiliki
kepastian hukum (qath’i al-wurud). Hal tersebut berbeda dengan sunnah atau
hadist yang tidak tertulis sejak masa Rasululloh SAW. Mayoritas hadsit hanya
dihafal oleh para sahabat karena pernah terjadi pemalsuan dan penyalahgunaan
kepentingan. Kondisi itu mengundang ulamak untuk meneliti autentisitas hadist
secara objektif.
Setelah terjadi pemalsuan hadist, terutama oleh
beberapa sakte Islam akibat konflik politik antara pendukung Sayyidina Ali dan
muawiyah (41 H), para ilmuan bangkit mengadakan peneltian hadist, secara garis
besar ada beberapa faktor yang malatarbelakangi perlunya takhrij hadist sebagaimana yang diungkapkan Prof. Dr.
M. Syuhudi Ismail, sebagai berikut :
B. PEMBAHASAN
a. Pengertian Takhrij Hadits
Secara etimologi kata “Takhrij” berasal
dari kata “kharaja” yang berarti menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan,
menyebutkan dan menumbuhkan. Maksudnya menampakkan sesuatu yang tidak jelas
atau masih tersembunyi, tidak kelihatan dan masih samar. Pengeluaran dan
penampakan disini tidak harus berbentuk fisik yang konkrit, tetapi mencakup
nonfisik yang hanya memerlukan tenaga
dan fikiran seperti makna kata isktikhraj إستخراج))
yang diartikan istinbath (إستنباط) yang berarti
mengeluarkan hukum dari nash/teks Al-quran dan hadist.[1]
Ø Pengertian
takhrij hadist setelah dibukukan.
Definisi pertama mendiskusikan keadaan
sanad dan matan yang sebenarnya. Setelaah ditelaah dari kitab sumber aslinya,
sanad dan matan tersebut menjadi jelas. Definisi kedua menyebutkan beberapa
sanad lain dari sebuah hadist dalam satu tema untuk memperkuat posisi sanad dan
memperjelas maksud matan. Jika ada yang lebih lengkap, akan saling menjelaskan
maksud matan. Definisi yang ketiga menelusuri hadist dari berbagai sumber
aslinya atau dari buku induk hadist untuk diteliti sanad dan matannya sesuai dengan
kaidah-kaidah ilmu hadist riwayah dan dirayah sehingga status hadist dapat
ditemukan, baik secara kualitas maupun kuantitas. Buku induk hadist itu seperti
kitab Al-Jami’ Al-Shahih li Al-Bukhori, Al-Jamik Al-Shahih li Muslim, Sunan Abi
Dawud, Jami’ Al-Tirmidzi, Sunan Al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, dan Musnad Ahmad.
Definisi terakhir inilah
yang pada umumnya berlaku diperguruan tinggi Islam dalam meningkatkan kualitas
studi hadist yang lebih kritis dan ilmiah, yaitu dengan melakukan penelusuran ke buku induk
hadist serta penelitian mutu sanad dan matan. dengan demikian, takhrij mimang
tidak dapat dipisahkan dari penelitian hadist dan inti sebenarnya adalah
penelitian itu sendiri.
b.
Tujuan
Takhrij Hadist
Dalam melakukan takhrij tentunya ada
tujuan yang ingin dicapai. Tujuan pokok dari takhrij yang ingin dicapai seorang
peneliti adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui
eksistensi suatu hadist apakah benar suatu hadist yang ingin diteliti terdapat
dalam buku-buku hadist atau tidak.
2. Mengetahui
sumber otentik suatu hadist dari buku hadist apa saja yang didapatkan.
3. Mengetahui
ada berapa tempat hadist tersebut dengan sanad yang berbeda didalam sebuah buku
hadist atau dalam beberapa buku induk hadist.
4. Mengetahui
kualitas hadist (maqbul/diterima atau mardud/tertolak).
c.
Faedah dan Manfaat Takhrij Hadits
Faedah dan manfaat takhrij hadits cukup
banyak, diantaranya yang dapat dipetik oleh yang melakukannya adalah sebagai
berikut[2] :
1. Mengetahui
referensi beberapa buku hadits. Dengan takhrij, seseorang dapat mengetahui siapa
perawi suatu hadist yang diteliti dan didalam kitab hadist apa saja hadist
tersebut didapatkan.
2. Menghimpun
sejumlah sanad hadist. Dengan takhrij, seseorang dapat menemukan sebuah hadist
yang akan diteliti disebuah atau dibeberapa buku induk hadist. Misalnya
terkadang dibeberapa tempat didalam kitab Al-Bukhori saja, atau didalam
kitab-kitab lain. Dengan demikian dia akan menghimpun sejumlah sanad.
3. Mengetahui
keadaan sanad yang bersambung (muttashil) dan yang terputus (munqathi’), dan
mengetahui kadar kemampuan perawi dalam mengingat hadist serta kejujuran dalam periwayatannya.
4. Mengetahui
status suatu hadist. Terkadang ditemukan sanad suatu hadist dha’if, tetapi
melalui sanad lain hukumnya shahih.
5. Meningkatkan
suatu hadist yang dha’if menjadi hasan li ghayrihi karena adanya dukungan sanad
lain yang seimbang atau lebih tinggi kualitasnya. Atau meningkatkannya hadist
hasan menjadi shahih li ghayrihi dengan ditemukannya sanad lain yang seimbang
atau lebih tinggi kualitasnya.
6. Mengetahui
bagaimana para imam hadist menilai kualitas suatu hadist dan bagaimana kritikan
yang disampaikan.
7. Seseorang
yang melakukan takhrij dapat menghimpun beberapa sanad dan matan suatu hadist.
d.
Kitab-kitab
Hasil Takhrij
Takhrij al-hadist dari berbagai kitab
hingga saat ini telah banyak dilakukan, baik dari kitab tafsir, fiqh, akhlak,
tasawuf, tauhed maupun sejarah. Akan tetapi masih banyak hadist yang terdapat
dalam berbagai kitab tersebut yang tidak menyebutkan sanad dan matannya. Oleh
karena itu, melalui takhrij ini ulamak dapat menemukan sanad dan mukharrihnya,
Bahkan hadist yang salah tulis, salah redaksi, dan tidak sempurna. Setelah itu
mereka dapat menjelaskan kelengkapannya sehingga sehingga dapat menilai hadist,
baik secara kualitas dan kuantitas. Berikut ini kitab-kitab takhrij hasil
penelitian ulama :
1. Takhrij
Ahadist Al-Kasysyaf karya Jamaluddin
Muhammad bin Abdillah Al-Hanafi (w. 762 H). sementara itu, Al-Kasysyaf adalah kitab tafsir yang ditulis oleh
Al-Zamakhsyri.
2. Al-Fath
Al-Samawi bi Takhrij Ahadist Al-Baidhawi karya Abdurrahman Al-Manawi (w. 1031
H)
3. Al-Turuq
wa Al-Wasa’il fi Ma’rifah Khulashah Al-Dalail karya Ahmad bin Ustman
Al-Turkumani (w. 747 H). kitab Khulashah tersebut merupakan syarah dari
Mukhtasyar Al-Qaduri, kitab penting dalam madzhab Hanafi.
4. Takhrij
Ahadist Al-Hidayah karya Muhammad bin Abdillah (w. 775 H). kitab ini di-takhrij
oleh Abdullah bin Yusuf Al-Zaila’i (w. 727 H). kitab Al-Hidayah adalah kitab
yang terkenal dalam mazhab Hanafi.
5. Khulashah
Al-Badar Al-Munir fi Takhrij Ahadist Al-Syarah Al-Kabir li Al-Wajiz karya
Sirajuddin bin Umar bin Ali Al-Anshari yang terkenal dengan nama Ibnu
Al-Mulaqqin (w. 808 H).
6. Takhrij
Ahadist Al-Minhaj karya Sirajuddin bin Umar bin Ali Al-Anshari (Ibnu
Al-Mulaqqin). Ia ulamak besar bermazhab Syafi’e yang ahli dalam bidang hadist,
fiqh, dan tarikh al-rijal.
7. Takhlish
Al-Habir karya Al-Hafidzh bin Hajar Al-Asqalani. Kitab ini merupakan ringkasan
dari kitab Al-Badr Al-Munir yang ditulis oleh Ibnu Al-Mulaqqin dan dicetak
bersama Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab.
8. Al-Mugni’am
Haml Al-Asfar fi Takhrij ma fi Al-Ihya’ min Al-Akbhar karya Al-Hafidz
Abdurrahman bin Husain Al-Iraqi (w. 806 H).[3]
e.
Objek
Takhrijul Hadist
Ada dua
objek dalam takhrij al-hadist, yaitu penelitian matan dan sanad. Kedua objek
penelitian tersebut saling berkaitan karena matan dapat dianggap valid jika
disertai silsilah sanad yang valid pula. Study pertama, yaitu penelitian matan,
biasanya menurut para pakar hadits disebut study internal hadits (dakhili).
Sementara itu studi kedua, yaitu penelitian sanad disebut studi eksternal hadits
(khariji). Studi internal hadits yang tidak disertai silsilah sanad yang valid
atau disertai silsilah sanad tetapi perawi tidak memiliki kredibilitas yang
tinggi, haditsnya menjadi tidak shahih dan dapat ditolak.
Studi
internal hadist adalah tujuan studi, sedangkan studi eksternal hadits adalah
sarana proses validitas suatu matan. Studi internal hadist merupakan output,
sedangkan studi internal hadits merupakan input. Studi internal hadits
bertujuan pengamalan semata, karena hadits merupakan sumber ajaran Islam yang
harus dipatuhi, sedangkan studi eksternal hadist bertujuan memelihara
orsinalitas syariat Islam itu sendiri.
Untuk
meneliti kualitas hadist apakah shahih atau tidak, hadist tersebut perlu
ditelusuri terlebih dahulu sanad dan matanya dari buku induk hadist sehingga
dapat ditemukan siapa perawinya dan isi hadistnya tersebut.
f.
Metode
Takhrij Hadist
Sebelum seseorang melakukan takhrij suatu hadist,
terlebih dahulu ia harus tahu metode atau langkah-langkah dalam takhrij
sehingga akan mendapatkan kemudahan-kemudahan dan tidak ada hambatan.
Diantaranya ada yang secara tematik, pengelompokan hadist didasarkan pada
tema-tema tertentu, seperti kitab Al-jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhori dan Sunan
Abu Dawud. Diantaranya lagi ada yang didasarkan pada nama perawi yang paling
atas, yaitu para sahabat seperti kitab Musnad Ahmad bin Hambal. Buku lain lagi
didasarkan pada huruf permulaan matan hadist diurutkan sesuai dengan alphabet
arab seperti kitab Al-Jami’ Ash-Shaghir karya As-Suyuthi, dan lain-lain. Semua
itu dilakukan oleh para ulamak dalam rangka memudahkan umat Islam untuk
mengkajinya sesuai dengan kondisi yang ada.
Karena banyaknya teknik dalam pengodifikasian buku
hadits, sangat diperlukan beberapa metode takhrij yang sesuai dengan teknik
buku hadits yang ingin diteliti. Paling tidak,ada lima metode takhrij dalam
arti penelusuran hadist dari sumber buku hadist, yaitu takhrij dengan kata (bi al-lafzhi), takhrij dengan tema (bi
al-mawdhu’), takhrij dengan permulaan matan (bi awwal al-matan), takhrij
melalui sanad pertama (bi ar-rawi al-a’la), dan takhrij dengan sifat (bi
ash-shifah). Cara penggunaannya sebagai mana berikut :
Ø Takhrij
dengan Kata (Bi Al-Lafzhi)
Pada metode takhrij pertama ini, penelusuran hadist
melalui kata/lafal matan hadist, baik dari permulaan, pertengahan, dan atau
akhiran. Kamus yang diperlukan metode takhrij ini salah satunya yang paling
mudah adalah kamus Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfash Al-Hadist An-Nabawi.
Maksud takhrij dengan kata adalah takhrij dengan
kata benda (kalimat isim) atau kata kerja (kalimat fi’il), bukan kata sambung
(kalimat huruf). Dalam bahasa arab yang mempunyai asal akar kata 3 huruf. Kata
itu diambil dari salah satu bagian dari teks hadist yang mana saja selain kata
sambung/kalimat huruf, kemudian dicari akar kata asal dalam bahasa arab yang
tiga huruf yang disebut dengan fi’il tsulatsi. Jika kata dalam teks hadist yang
dicari kata : مسلم misalnya, maka harus
dicari akar katanya, yaitu dari kata : سلم
setelah itu baru membuka kamus bab س bukan bab م
. demikian juga jika kata yang dicari itu kata : يلتمس maka akar katanya adalah : لمس
kamus yang dibuka adalah bab ل bukan bab ي
dan begitu seterusnya.
Kamus
yang digunakan untuk mencari hadist adalah Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfash
Al-Hadist An-Nabawi. Kamus ini terdiri dari 8 jilid, disusun oleh tim
orientalis, salah satunya adalah Arnord John Wensink atau disingkat A.J.
Wensinck (w. 1939 M), seorang professor bahasa-bahasa semit termasuk bahasa
arab di lieden, belanda. Tim telah berhasil menyusun urutan berbagai lafal dan
penggalan matan hadist, serta mensistematiskannya dengan baik, berkat kerja
sama dengan Muhammad Fuad Abdul Baqi[4]. Untuk kegiatan takhrij dalam arti kegiatan
mencari hadist dapat diketahui melalui periwayatan dalam kitab-kitab yang
ditunjuknya.
Ø Takhrij
dengan Tema (Bi Al-Mawdhu’)
Arti takhrij yang kedua ini adalah
penelusuran hadist yang didasarkan pada topik, misalnya bab Al-Khatam, Al-Ghusl,
Adh-Dhahiyah, dan lain-lain. Seorang peneliti hendaknya sudah mengetahui topik
suatu hadist kemudian ditelusuri melalui kamus hadist tematik. Salah satu kamus
tematik adalah Miftah min Kunuz As-Sunnah oleh Dr. Fuad Abdul Baqi, dalam kamus
ini dikemukakan berbagai topik, baik yang berkenaan dengan petunjuk-petunjuk
Rasululloh maupun berkaitan dengan nama. Untuk setiap topik biasanya disertakan
subtopik dan untuk setia subtopik dikemukakan data hadist dan kitab yang
menjelaskanya.
Diantara kelebihan metode ini, peneliti
bisa hanya mengetahui makna hadist, tidak diperlukan harus mengingat permulaan
matan teks hadist, tidak perlu menguasai asal usul akar kata, dan tidak perlu
mengatahui sahabat yang meriwayatkan. Disamping itu, peneliti terlatih berkemampuan
menyingkap makna kandungan hadist. Sedangkan diantara kesulitannya adalah
terkadang peneliti tidak memahami kandungan hadist atau kemungkinan hadist
memilki topik berganda[5].
Ø Takhrij dengan Permulaan Matan (Bi Awwal Al-Matan)
Takhrij
menggunakan permulaan matan
dari segi hurufnya, misalnyaawal suatu matan dimulai dengan
huruf mim maka dicari pada bab mim, jikadiawali
dengan huruf ba
maka dicari pada
bab ba, dan
seterusnya. Takhrijseperti
ini diantaranya dengan menggunkan
kitab Al-Jami’ Ash-Shaghir atauAl-Jamik
Al-Kabir, salah satu
karangan As-Suyuti (w.
911 H). dia
seorangulamak hadist yang memiliki
gelar Al-Musnid (gelar
keahlian meriwayatkanbeserta sanadnya)
dan al-muhaqqiq (peneliti) dan beliau hafal 200.999 hadist.Kitab Al-Jami’
Ash-Shaghir nama lengkapnya Al-Jami’ Ash-Shaghir fi AhadistAl-Basyir An-Nadzir,
sebuah kitab yang
menghimpun ribuan hadist
yangterpilih dan yang
singkat-singkat dipetik dari
kitabnya yang besar Jam’u Al-Jawami’,
terdiri dari dua juz dan susunan kitab hadist ini sesuai dengan
urutanalphabet arab Alif,
ba, ta, tsa
dan seterusnya.
Ø Takhrij Melalui Perawi yang
Paling Atas (Bi Ar-Rawi Al-A’la)
Takhrij ini menelusuri hadist melalui perawi yang
paling atas dalam sanad,yaitu dikalangan shabat (muttashil isnad)
atau tabi’in (dalam hadist
mursal).Artinya peneliti harus mengatahui terlebih dahulu siapa sanad-nya
dikalangansahabat atau tabi’in. Diantara
kitab yang digunakan dalam metode ini adalahkitab musnad
atau Al-Atraf, seperti
musnad Ahmad bin
Hambal, Tuhfat Al-Asyraf bi
Ma’rifat Al-Athraf karya
Al-Mizzi, dan lain-lain.
Ø Takhrij
dengan Sifat (Bi Ash-Shifah)
Telah banyak disebutkan sebagaimana pembahasan
diatas tentang metodetakhrij. Seseorang dapat memilih metode mana yang tepat
untuk ditentukannyasesuai sesuai dengan
kondisi orang tersebut.
Jika suatu hadist
sudah dapatdiketahui sifatnya,
misalnya mawdhu’, Shahih,
Qudsi, Mursal, Myashur,mutawatir dan lain-lain
sebaiknya di-takhrij melalui
kitab-kitab yang telahmenghimpun sifat-sifat tersebut.
C.
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas penulis dapat
menarik kesimpulan bahwa Secara etimologi kata “Takhrij” berasal dari kata “kharaja” yang berarti menampakkan, mengeluarkan,
menerbitkan, menyebutkan dan menumbuhkan. Sedangkan Menurut terminologi ada
beberapa definisi takhrij yang dikemukakan oleh para ulamak karena takhrij ini
terus berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi, diantaranya عَزْوُ الْأَحَادِيْثِ اِلَى الْكُتُبِ الْمَوْجُوْدَةِ فِيْهَا مَعَ بَيَانِ الْحُكْمِ عليها Menunjukkan asal beberapa hadist pada
kitab-kitab yang ada (kitab induk hadist) dengan menerangkan hukumnya.
Sebelum
melakukan takhrij sangat diperlukan beberapa metode takhrij yang sesuai dengan
teknik buku hadist yang ingin diteliti. Paling tidak ada 5 metode takhrij dalam
arti penelusuran hadits dari sumber buku hadist, yaitu takhrij dengan kata (bi
al-lafzhi), takhrij dengan tema (bi al-mawdhu’), takhrij dengan permulaan matan
(bi awwal al-matan), takhrij melalui sanad pertama (bi ar-rawi al-a’la), dan
takhrij dengan sifat (bi ash-shifah).
Takhrij
ini sangat penting bagi seseorang yang ingin memahami ilmu secara komperhensif
karena dengan sekian banyak hadist yang terkadang kontradiktif satu dengan yang
lain menjadikannya sulit dipelajari. Seseorang tidak cukup hanya melihat satu
hadist kemudian mengklaim hadist tersebut atau pemahamannya yang paling benar,
sebelum menelusuri hadist-hadist lain diberbagai buku induk . dengan demikian,
takhrij al-hadist sangat membantu seseorang dalam memahami hadist.
Daftar Pustaka
Ismail M. Syuhudi, Metodelogi penelitian hadist Nabi.
Jakarta : Bulan bintang, 1991.
Khon Abd. Majid, Ulumul Hadist. Jakarta : Amzah, 2012.
Khon Abdul Majid, Takhrij dan Metode Memahami Hadist.
Jakarta : Amzah, 2014.
Muhdi Abdul, Thuruq Takhrij Al-Hadist. Kairo :
Al-I’tisham 1987.
Ismail M. Syuhudi, Cara Praktis Mencari Hadist. Jakarta :
Bulan bintang, 1991.
Al-Asqalani, Tahdzib Al-Tahdzib, juz 10. Kairo :
Maktabah Al-Aiman.
Al-Razi, Al-Jarh wa Al-Ta’dil, juz 1. Kairo :
Maktabah Al-Aiman.
Ash-Shidieqiy T.M.
Hasbi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist,
jilid 2. Jakarta : Bulan Bintang, 1976.
No comments:
Post a Comment