1

loading...

Tuesday, July 2, 2019

MAKALAH TAKHRIJ HADIST


MAKALAH TAKHRIJ HADIST 

Takhrij Hadits
    A.    PENDAHULUAN
Hadits merupakan salah satu sumber hukum Islam, namun tidak seluruh hadist dari Nabi SAW. Diterima oleh para sahabat secara kolektif kemudian disampaukan kepada orang banyak secara mutawatir, seperti Al-quran. Mayoritas hadist justru diriwayatkan secara individu (ahad) atau beberapa orang saja sehingga tidak mencapai nilai mutawatir. Hadist yang diterima secara mutawatir dapat diterima secara aklamasi sebagai hujjah tanpa penilaian sifat-sifat individu para perawinya, seperti sifat adil, cerdas, memiliki ingatan yang kuat, atau mudah hafal karena kualitas kolektivitas tersebut sudah memiliki kualifikasi objektivitas yang dapat dipertanggungjawabkan.
Berbeda dengan hadist ahad, para periwayat dalam sanad harus memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti sanad yang harus bersambung (ittishal) serta periwayat harus bersifat adil (adelah) dan memiliki hafalan kuat (dhabith). Oleh karena itu, para periwayat hadist ahad perlu diteliti sifat-sifatnya agar dapat memnuhi kriteria hadist shahih.
Sementara itu, sehubungan dengan masa munculnya hadist yang bersamaan dengan turunya Al-quran, dalam periwayatannya Al-quran tidak ada masalah. Ummat Islam menerimanya dan tidak memerlukan kajian silsilah sanad karena selurunya ditulis sejak masa Rasululloh hidup serta Alquran diterima oleh para sahabat secara mutawatir. Dengan demikian, Al-quran memiliki kepastian hukum (qath’i al-wurud). Hal tersebut berbeda dengan sunnah atau hadist yang tidak tertulis sejak masa Rasululloh SAW. Mayoritas hadsit hanya dihafal oleh para sahabat karena pernah terjadi pemalsuan dan penyalahgunaan kepentingan. Kondisi itu mengundang ulamak untuk meneliti autentisitas hadist secara objektif.
Setelah terjadi pemalsuan hadist, terutama oleh beberapa sakte Islam akibat konflik politik antara pendukung Sayyidina Ali dan muawiyah (41 H), para ilmuan bangkit mengadakan peneltian hadist, secara garis besar ada beberapa faktor yang malatarbelakangi perlunya takhrij  hadist sebagaimana yang diungkapkan Prof. Dr. M. Syuhudi Ismail, sebagai berikut :

   B.     PEMBAHASAN
a.  Pengertian Takhrij Hadits
Secara etimologi kata “Takhrij” berasal dari kata “kharaja” yang berarti menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan dan menumbuhkan. Maksudnya menampakkan sesuatu yang tidak jelas atau masih tersembunyi, tidak kelihatan dan masih samar. Pengeluaran dan penampakan disini tidak harus berbentuk fisik yang konkrit, tetapi mencakup nonfisik yang hanya memerlukan tenaga  dan fikiran seperti makna kata isktikhraj إستخراج)) yang diartikan istinbath (إستنباط) yang berarti mengeluarkan hukum dari nash/teks Al-quran dan hadist.[1]
Ø  Pengertian takhrij hadist setelah dibukukan.
Definisi pertama mendiskusikan keadaan sanad dan matan yang sebenarnya. Setelaah ditelaah dari kitab sumber aslinya, sanad dan matan tersebut menjadi jelas. Definisi kedua menyebutkan beberapa sanad lain dari sebuah hadist dalam satu tema untuk memperkuat posisi sanad dan memperjelas maksud matan. Jika ada yang lebih lengkap, akan saling menjelaskan maksud matan. Definisi yang ketiga menelusuri hadist dari berbagai sumber aslinya atau dari buku induk hadist untuk diteliti sanad dan matannya sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu hadist riwayah dan dirayah sehingga status hadist dapat ditemukan, baik secara kualitas maupun kuantitas. Buku induk hadist itu seperti kitab Al-Jami’ Al-Shahih li Al-Bukhori, Al-Jamik Al-Shahih li Muslim, Sunan Abi Dawud, Jami’ Al-Tirmidzi, Sunan Al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, dan Musnad Ahmad.
                        Definisi terakhir inilah yang pada umumnya berlaku diperguruan tinggi Islam dalam meningkatkan kualitas studi hadist yang lebih kritis dan ilmiah, yaitu    dengan melakukan penelusuran ke buku induk hadist serta penelitian mutu sanad dan matan. dengan demikian, takhrij mimang tidak dapat dipisahkan dari penelitian hadist dan inti sebenarnya adalah penelitian itu sendiri.
b.      Tujuan Takhrij Hadist
Dalam melakukan takhrij tentunya ada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan pokok dari takhrij yang ingin dicapai seorang peneliti adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui eksistensi suatu hadist apakah benar suatu hadist yang ingin diteliti terdapat dalam buku-buku hadist atau tidak.
2.      Mengetahui sumber otentik suatu hadist dari buku hadist apa saja yang didapatkan.
3.      Mengetahui ada berapa tempat hadist tersebut dengan sanad yang berbeda didalam sebuah buku hadist atau dalam beberapa buku induk hadist.
4.      Mengetahui kualitas hadist (maqbul/diterima atau mardud/tertolak).

c. Faedah dan Manfaat Takhrij Hadits
Faedah dan manfaat takhrij hadits cukup banyak, diantaranya yang dapat dipetik oleh yang melakukannya adalah sebagai berikut[2] :
1.      Mengetahui referensi beberapa buku hadits. Dengan takhrij, seseorang dapat mengetahui siapa perawi suatu hadist yang diteliti dan didalam kitab hadist apa saja hadist tersebut didapatkan.
2.      Menghimpun sejumlah sanad hadist. Dengan takhrij, seseorang dapat menemukan sebuah hadist yang akan diteliti disebuah atau dibeberapa buku induk hadist. Misalnya terkadang dibeberapa tempat didalam kitab Al-Bukhori saja, atau didalam kitab-kitab lain. Dengan demikian dia akan menghimpun sejumlah sanad.
3.      Mengetahui keadaan sanad yang bersambung (muttashil) dan yang terputus (munqathi’), dan mengetahui kadar kemampuan perawi dalam mengingat  hadist serta kejujuran dalam periwayatannya.
4.      Mengetahui status suatu hadist. Terkadang ditemukan sanad suatu hadist dha’if, tetapi melalui sanad lain hukumnya shahih.
5.      Meningkatkan suatu hadist yang dha’if menjadi hasan li ghayrihi karena adanya dukungan sanad lain yang seimbang atau lebih tinggi kualitasnya. Atau meningkatkannya hadist hasan menjadi shahih li ghayrihi dengan ditemukannya sanad lain yang seimbang atau lebih tinggi kualitasnya.
6.      Mengetahui bagaimana para imam hadist menilai kualitas suatu hadist dan bagaimana kritikan yang disampaikan.
7.      Seseorang yang melakukan takhrij dapat menghimpun beberapa sanad dan matan suatu hadist.

d.      Kitab-kitab Hasil Takhrij
Takhrij al-hadist dari berbagai kitab hingga saat ini telah banyak dilakukan, baik dari kitab tafsir, fiqh, akhlak, tasawuf, tauhed maupun sejarah. Akan tetapi masih banyak hadist yang terdapat dalam berbagai kitab tersebut yang tidak menyebutkan sanad dan matannya. Oleh karena itu, melalui takhrij ini ulamak dapat menemukan sanad dan mukharrihnya, Bahkan hadist yang salah tulis, salah redaksi, dan tidak sempurna. Setelah itu mereka dapat menjelaskan kelengkapannya sehingga sehingga dapat menilai hadist, baik secara kualitas dan kuantitas. Berikut ini kitab-kitab takhrij hasil penelitian ulama :
1.      Takhrij Ahadist Al-Kasysyaf  karya Jamaluddin Muhammad bin Abdillah Al-Hanafi (w. 762 H). sementara itu, Al-Kasysyaf  adalah kitab tafsir yang ditulis oleh Al-Zamakhsyri.
2.      Al-Fath Al-Samawi bi Takhrij Ahadist Al-Baidhawi karya Abdurrahman Al-Manawi (w. 1031 H)
3.      Al-Turuq wa Al-Wasa’il fi Ma’rifah Khulashah Al-Dalail karya Ahmad bin Ustman Al-Turkumani (w. 747 H). kitab Khulashah tersebut merupakan syarah dari Mukhtasyar Al-Qaduri, kitab penting dalam madzhab Hanafi.
4.      Takhrij Ahadist Al-Hidayah karya Muhammad bin Abdillah (w. 775 H). kitab ini di-takhrij oleh Abdullah bin Yusuf Al-Zaila’i (w. 727 H). kitab Al-Hidayah adalah kitab yang terkenal dalam mazhab Hanafi.
5.      Khulashah Al-Badar Al-Munir fi Takhrij Ahadist Al-Syarah Al-Kabir li Al-Wajiz karya Sirajuddin bin Umar bin Ali Al-Anshari yang terkenal dengan nama Ibnu Al-Mulaqqin (w. 808 H).
6.      Takhrij Ahadist Al-Minhaj karya Sirajuddin bin Umar bin Ali Al-Anshari (Ibnu Al-Mulaqqin). Ia ulamak besar bermazhab Syafi’e yang ahli dalam bidang hadist, fiqh, dan tarikh al-rijal.
7.      Takhlish Al-Habir karya Al-Hafidzh bin Hajar Al-Asqalani. Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Al-Badr Al-Munir yang ditulis oleh Ibnu Al-Mulaqqin dan dicetak bersama Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab.
8.      Al-Mugni’am Haml Al-Asfar fi Takhrij ma fi Al-Ihya’ min Al-Akbhar karya Al-Hafidz Abdurrahman bin Husain Al-Iraqi (w. 806 H).[3]
e.       Objek Takhrijul Hadist
                        Ada dua objek dalam takhrij al-hadist, yaitu penelitian matan dan sanad. Kedua objek penelitian tersebut saling berkaitan karena matan dapat dianggap valid jika disertai silsilah sanad yang valid pula. Study pertama, yaitu penelitian matan, biasanya menurut para pakar hadits disebut study internal hadits (dakhili). Sementara itu studi kedua, yaitu penelitian sanad disebut studi eksternal hadits (khariji). Studi internal hadits yang tidak disertai silsilah sanad yang valid atau disertai silsilah sanad tetapi perawi tidak memiliki kredibilitas yang tinggi, haditsnya menjadi tidak shahih dan dapat ditolak.
                        Studi internal hadist adalah tujuan studi, sedangkan studi eksternal hadits adalah sarana proses validitas suatu matan. Studi internal hadist merupakan output, sedangkan studi internal hadits merupakan input. Studi internal hadits bertujuan pengamalan semata, karena hadits merupakan sumber ajaran Islam yang harus dipatuhi, sedangkan studi eksternal hadist bertujuan memelihara orsinalitas syariat Islam itu sendiri.
                        Untuk meneliti kualitas hadist apakah shahih atau tidak, hadist tersebut perlu ditelusuri terlebih dahulu sanad dan matanya dari buku induk hadist sehingga dapat ditemukan siapa perawinya dan isi hadistnya tersebut.

f.       Metode Takhrij Hadist
Sebelum seseorang melakukan takhrij suatu hadist, terlebih dahulu ia harus tahu metode atau langkah-langkah dalam takhrij sehingga akan mendapatkan kemudahan-kemudahan dan tidak ada hambatan. Diantaranya ada yang secara tematik, pengelompokan hadist didasarkan pada tema-tema tertentu, seperti kitab Al-jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhori dan Sunan Abu Dawud. Diantaranya lagi ada yang didasarkan pada nama perawi yang paling atas, yaitu para sahabat seperti kitab Musnad Ahmad bin Hambal. Buku lain lagi didasarkan pada huruf permulaan matan hadist diurutkan sesuai dengan alphabet arab seperti kitab Al-Jami’ Ash-Shaghir karya As-Suyuthi, dan lain-lain. Semua itu dilakukan oleh para ulamak dalam rangka memudahkan umat Islam untuk mengkajinya sesuai dengan kondisi yang ada.
Karena banyaknya teknik dalam pengodifikasian buku hadits, sangat diperlukan beberapa metode takhrij yang sesuai dengan teknik buku hadits yang ingin diteliti. Paling tidak,ada lima metode takhrij dalam arti penelusuran hadist dari sumber buku hadist, yaitu takhrij dengan kata (bi al-lafzhi), takhrij dengan tema (bi al-mawdhu’), takhrij dengan permulaan matan (bi awwal al-matan), takhrij melalui sanad pertama (bi ar-rawi al-a’la), dan takhrij dengan sifat (bi ash-shifah). Cara penggunaannya sebagai mana berikut :
Ø  Takhrij dengan Kata (Bi Al-Lafzhi)
Pada metode takhrij pertama ini, penelusuran hadist melalui kata/lafal matan hadist, baik dari permulaan, pertengahan, dan atau akhiran. Kamus yang diperlukan metode takhrij ini salah satunya yang paling mudah adalah kamus Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfash Al-Hadist An-Nabawi.
Maksud takhrij dengan kata adalah takhrij dengan kata benda (kalimat isim) atau kata kerja (kalimat fi’il), bukan kata sambung (kalimat huruf). Dalam bahasa arab yang mempunyai asal akar kata 3 huruf. Kata itu diambil dari salah satu bagian dari teks hadist yang mana saja selain kata sambung/kalimat huruf, kemudian dicari akar kata asal dalam bahasa arab yang tiga huruf yang disebut dengan fi’il tsulatsi. Jika kata dalam teks hadist yang dicari kata : مسلم misalnya, maka harus dicari akar katanya, yaitu dari kata : سلم setelah itu baru membuka kamus bab  س bukan bab م . demikian juga jika kata yang dicari itu kata : يلتمس  maka akar katanya adalah :  لمس kamus yang dibuka adalah bab ل  bukan bab ي dan begitu seterusnya.
            Kamus yang digunakan untuk mencari hadist adalah Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfash Al-Hadist An-Nabawi. Kamus ini terdiri dari 8 jilid, disusun oleh tim orientalis, salah satunya adalah Arnord John Wensink atau disingkat A.J. Wensinck (w. 1939 M), seorang professor bahasa-bahasa semit termasuk bahasa arab di lieden, belanda. Tim telah berhasil menyusun urutan berbagai lafal dan penggalan matan hadist, serta mensistematiskannya dengan baik, berkat kerja sama dengan Muhammad Fuad Abdul Baqi[4].  Untuk kegiatan takhrij dalam arti kegiatan mencari hadist dapat diketahui melalui periwayatan dalam kitab-kitab yang ditunjuknya.
  Ø  Takhrij dengan Tema (Bi Al-Mawdhu’)
Arti takhrij yang kedua ini adalah penelusuran hadist yang didasarkan pada topik, misalnya bab Al-Khatam, Al-Ghusl, Adh-Dhahiyah, dan lain-lain. Seorang peneliti hendaknya sudah mengetahui topik suatu hadist kemudian ditelusuri melalui kamus hadist tematik. Salah satu kamus tematik adalah Miftah min Kunuz As-Sunnah oleh Dr. Fuad Abdul Baqi, dalam kamus ini dikemukakan berbagai topik, baik yang berkenaan dengan petunjuk-petunjuk Rasululloh maupun berkaitan dengan nama. Untuk setiap topik biasanya disertakan subtopik dan untuk setia subtopik dikemukakan data hadist dan kitab yang menjelaskanya.
Diantara kelebihan metode ini, peneliti bisa hanya mengetahui makna hadist, tidak diperlukan harus mengingat permulaan matan teks hadist, tidak perlu menguasai asal usul akar kata, dan tidak perlu mengatahui sahabat yang meriwayatkan. Disamping itu, peneliti terlatih berkemampuan menyingkap makna kandungan hadist. Sedangkan diantara kesulitannya adalah terkadang peneliti tidak memahami kandungan hadist atau kemungkinan hadist memilki topik berganda[5].
  Ø  Takhrij dengan Permulaan Matan (Bi Awwal Al-Matan)
Takhrij  menggunakan permulaan   matan dari   segi hurufnya,   misalnyaawal suatu matan dimulai dengan huruf mim maka dicari pada bab mim, jikadiawali  dengan  huruf   ba   maka   dicari  pada  bab  ba,   dan  seterusnya.  Takhrijseperti ini   diantaranya dengan  menggunkan  kitab  Al-Jami’ Ash-Shaghir  atauAl-Jamik   Al-Kabir,   salah   satu   karangan  As-Suyuti  (w.  911  H).   dia   seorangulamak hadist yang memiliki   gelar  Al-Musnid (gelar keahlian  meriwayatkanbeserta sanadnya) dan al-muhaqqiq (peneliti) dan beliau hafal 200.999 hadist.Kitab Al-Jami’ Ash-Shaghir nama lengkapnya Al-Jami’ Ash-Shaghir fi AhadistAl-Basyir   An-Nadzir,  sebuah   kitab   yang   menghimpun   ribuan   hadist   yangterpilih dan yang   singkat-singkat   dipetik dari kitabnya yang besar  Jam’u Al-Jawami’, terdiri dari dua juz dan susunan kitab hadist ini sesuai dengan urutanalphabet   arab  Alif,  ba,   ta,   tsa  dan   seterusnya.
  Ø  Takhrij Melalui Perawi yang Paling Atas (Bi Ar-Rawi Al-A’la)
Takhrij ini menelusuri hadist melalui perawi yang paling atas dalam sanad,yaitu dikalangan shabat (muttashil  isnad)   atau   tabi’in (dalam hadist mursal).Artinya peneliti harus mengatahui terlebih dahulu siapa sanad-nya dikalangansahabat atau  tabi’in. Diantara kitab  yang digunakan dalam metode  ini adalahkitab  musnad  atau  Al-Atraf,   seperti  musnad  Ahmad  bin  Hambal,  Tuhfat Al-Asyraf   bi   Ma’rifat   Al-Athraf    karya  Al-Mizzi,   dan   lain-lain.

   Ø  Takhrij dengan Sifat (Bi Ash-Shifah)
Telah banyak disebutkan sebagaimana pembahasan diatas tentang metodetakhrij. Seseorang dapat memilih metode mana yang tepat untuk ditentukannyasesuai   sesuai   dengan   kondisi  orang  tersebut.   Jika  suatu   hadist   sudah   dapatdiketahui   sifatnya,   misalnya   mawdhu’,   Shahih,   Qudsi,   Mursal,   Myashur,mutawatir   dan  lain-lain   sebaiknya   di-takhrij  melalui   kitab-kitab   yang   telahmenghimpun sifat-sifat  tersebut.

C.    Kesimpulan
Dari penjelasan diatas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa Secara etimologi kata “Takhrij” berasal dari kata  “kharaja”  yang berarti menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan dan menumbuhkan. Sedangkan Menurut terminologi ada beberapa definisi takhrij yang dikemukakan oleh para ulamak karena takhrij ini terus berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi, diantaranya عَزْوُ الْأَحَادِيْثِ اِلَى الْكُتُبِ الْمَوْجُوْدَةِ فِيْهَا مَعَ بَيَانِ الْحُكْمِ عليها Menunjukkan asal beberapa hadist pada kitab-kitab yang ada (kitab induk hadist) dengan menerangkan hukumnya.
Sebelum melakukan takhrij sangat diperlukan beberapa metode takhrij yang sesuai dengan teknik buku hadist yang ingin diteliti. Paling tidak ada 5 metode takhrij dalam arti penelusuran hadits dari sumber buku hadist, yaitu takhrij dengan kata (bi al-lafzhi), takhrij dengan tema (bi al-mawdhu’), takhrij dengan permulaan matan (bi awwal al-matan), takhrij melalui sanad pertama (bi ar-rawi al-a’la), dan takhrij dengan sifat (bi ash-shifah).
Takhrij ini sangat penting bagi seseorang yang ingin memahami ilmu secara komperhensif karena dengan sekian banyak hadist yang terkadang kontradiktif satu dengan yang lain menjadikannya sulit dipelajari. Seseorang tidak cukup hanya melihat satu hadist kemudian mengklaim hadist tersebut atau pemahamannya yang paling benar, sebelum menelusuri hadist-hadist lain diberbagai buku induk . dengan demikian, takhrij al-hadist sangat membantu seseorang dalam memahami hadist.

Daftar Pustaka

Ismail M. Syuhudi, Metodelogi penelitian hadist Nabi. Jakarta : Bulan bintang, 1991.
Khon Abd. Majid, Ulumul Hadist. Jakarta : Amzah, 2012.
Khon Abdul Majid, Takhrij dan Metode Memahami Hadist. Jakarta : Amzah, 2014.
Muhdi Abdul, Thuruq Takhrij Al-Hadist. Kairo : Al-I’tisham 1987.
Ismail M. Syuhudi, Cara Praktis Mencari Hadist. Jakarta : Bulan bintang, 1991.
Al-Asqalani, Tahdzib Al-Tahdzib, juz 10. Kairo : Maktabah Al-Aiman.
Al-Razi, Al-Jarh wa Al-Ta’dil, juz 1. Kairo : Maktabah Al-Aiman.
Ash-Shidieqiy T.M. Hasbi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadist, jilid 2. Jakarta : Bulan Bintang, 1976.



[1] M. Syuhudi Ismail, 1991.Metodelogi penelitian hadist Nabi, Jakarta : Bulan bintang, hal 7-18
[2] Abd. Majid Khon, Ulumul Hadist, hal 131.
[3] T.M. Hasbi Ash-Shidieqiy, Pokok-Pokok Ilm
[4] M. Syuhudi Ismail, 1991, Cara Praktis Mencari Hadist, Jakarta : Bulan bintang, hal 49-50
[5] Abdul Muhdi bin Abdil Maujud, Thuruq Takhrij Hadist Rasululloh SAW. Hal 151

No comments:

Post a Comment