1

loading...

Tuesday, July 2, 2019

MAKALAH ULUMUL HADIST"PENERIMA HADIST"


MAKALAH ULUMUL HADIST 

"PENERIMA HADIST"

BAB I
PENDAHULUAN
   A.    Latar belakang
            Penghimpunan dan periwayatan hadits tidak bersifat konvensional, tetapi dihimpun dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat rumit yang telah ditetapkan oleh ulama, dan yang mereka jelaskan secara lengkap di dalam buku-buku Ushulul Hadits. Ulama tidak meninggalkan sesuatu pun yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW. kecuali mereka jelaskan. Sampai-sampai ada di antara mereka yang mengatakan: Ilmu-ilmu hadits itu telah matang sampai terbakar, karena banyaknya pengabdian dan perhatian serius ulama.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam studi periwayatan hadist, persoalan bentuk periwayatan juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadist. Dengan demikian apakah periwayatan suatu hadist harus dengan lafadz (teks) yang persis disampaikan oleh Nabi SAW. ataukah cukup dengan maknanya saja, menjadi isu penting dikalangan ulama hadist. Dalam makalah ini Insya Allah, kami juga akan mengupas seputaran periwayatan suatu hadits.
   B.     Rumusam masalah
1.      Pengertian penerimaan hadis?
2.      Pengertian periwayatan hadis?
3.      Bagaimana cara penerimaan hadis?
4.      Pengertian periwayatkan hadis?
   C.    Tujuan makalah
1.      Untuk mengetahui pengertian  penerimaan hadis?
2.      Untuk mengetahui pengertian periwayatan hadis?
3.      Untuk mengetahui bagaimana cara penerimaan hadis?
4.      Untuk mengetahui pengertian periwayatkan hadis?
BAB II
PEMBAHASAN
  A.    PENERIMAAN HADITS
    1.      Pengertian penerimaan hadis
            Dalam bahasa Arab, penerimaan disebut tahammul. Kata tersebut berasal dari kata hamala-yahmilu-hamlan yang artinya membawa, memikul, mengangkat, atau mengandung. Sementara itu, hubungannya dengan hadis adalah membawa, memikul, atau mengangkat periwayatan hadis. Hal itu karena sesungguhnya periwayatan hadis adalah amanat dari Allah SWT yang harus diemban. Sementara itu, tahammul secara istilah diartikan yaitu mengambil dan menerima hadis dari seseorang syekh dengan metode tertentu dari beberapa metode tahammul.
            Mengenai tahammul hadis, ada unsur kesengajaan dalam menerima hadis dari seorang syekh yang menyampaikan periwayatan dengan menggunakan metode tertentu. Misalkan, sang guru membaca dan sang murid mendengarkan, atau sebaliknya, Syekh Mahmud Al-Thahan memperjelas makna tahmmul.
            Dengan demikian,metode penerimaan hadis menjadi sangat urgen karena berpengaruh dalam diterima atau tolaknya suatu hadis yang diterima periwayatan dengan menggunakan metode tertentu.
    2.      Syarat-syarat penerimaan hadis
            Syarat tahammul adalah keahlian dalam periwayatan. Meskipun demikian, ulama pada umumnya tidak memberikan syarat untuk tahammul. Hal ini diibaratkan dengan orang yang mengikuti majelis taklim. Semua orang boleh mengikutinya, sekalipun nonmuslim dan belum balig.
Sementara itu, ulama berbeda pendapat tentang anak kecil yang menerima hadis, berikut ini penjelasannya:
a.       Ulama Syam mengatakan bahwa tahammul sebaiknya dimulai setelah usai tiga puluh tahun.
b.      Ulama Kufah mengatakan bahwa tahammul dilakukan setelah usia dua puluh tahun.
c.       Pada masa kini, hadis ndan sanadnya telah dibukukan. Dengan demikian, bersegerakan mendengar hadis itu lebih baik karena pendengaran dan penulisan anak sudah dinilai sah.
    3.      Penerimaan anak anak, orang kafir dan orang fasik
            Jumhur Ulama ahli hadits berbeda pendapat mengenai penerimaan hadist terhadap anak yang belum sampai umur (belum mukallaf), orang yang menerima hadist dalam keadaan kafir serta dalam keadaan fasik. Jumhur muhadditsin berpendapat bahwa seorang yang menerima hadist waktu masih kanak-kanak, atau masih dalam keadaan kafir atau dalam keadaan fasik dapat diterima periwayatannya setelah masing-masing dewasa, memeluk Islam dan bertobat.[1]
Adapun alasannya anak yang belum dewasa dapat dibenarkan menerima riwayat, ialah ijma'. Yakni seluruh umat Islam tidak ada yang membantah dan tidak ada yang membeda-bedakan riwayat para sahabat yang diterima sebelum dan sesudah dewasa. Para sahabat yang menerima hadist sebelum dewasa diantaranya Al-Hasan, Al-Husein, Ibnu 'Abbas, Nu'man bin Basyir dan lainnya. Tetapi mereka memperselisihkan masalah batas minimal umur anak yang belum dewasa, yang dapat dibenarkan dalam penerimaan riwayat. Beberapa pendapat tersebut diantaranya: 
a)      Pendapat ulama syam memandang usia yang ideal bagi seorang untuk meriwayatkan hadist pada usia 30 tahun, dan ulama kufah berpendapat minimal berusia 20 tahun. Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan ketamyizan seseorang diantaranya situasi dan kondisi yang berbeda. Oleh karena itu ketamyizan seseorang bukan diukur dari usia tetapi didasarkan pada tingkat kemampuan menangkap dan memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan dengan benar serta adanya kemampuan menghafal dan mengingat-ingat hafalannya. Mengenai penerimaan hadist oleh orang kafir jumhur ulama ahli hadist menganggap sah. Dalil yang digunakan oleh jumhur adalah hadist Jubair bin Muth'im :
أنَّهُ سَمِعَ النَّبِي صلي الله عليه وسلم يَقْرَأُ فِي المَغْرِبِ بِالطُّوْر
"Bahwa ia mendengar Nabi Muhammad membaca surat At-Thur pada   shalat maghrib"
Jubair mendengar sabda Rasulullah SAW. tersebut pada saat tiba di Madinah untuk penyelesaian urusan tawanan perang Badar, dalam keadaan kafir. Yang akhirnya ia memeluk Islam. Imam Ibnu Hajar menerima riwayat orang fasik dengan dalil qiyas "babul-aula",Artinya kalau penerimaan riwayat orang kafir yang disampaikan setelah memeluk agama Islam dapat diterima, apalagi penerimaan orang fasik yang disampaikan setelah ia bertobat dan diakui sebagai orang yang adil, tentu lebih dapat diterima. Kecuali riwayat orang gila yang diriwayatkan setelah sehat tetap tidak dapat diterima, lantaran diwaktu ia gila, hilanglah kesadarannya, hingga tidak lagi dikatakan sebagai orang yang dhabith.
b)      Al-Qadhi Iyad mengatakan bahwa batas minimal adalah 5 tahun, sebab pada usia ini anak sudah mampu menghafal apa yang dia ingat serta mengingat – ingat yang dihafal. Pendapat ini didasarkan pada hadist riwayat Bukhari dari sahabat Mahmud bin Al-Rubai':

عَقَلْتُ مِنَ النَّبِي صلي الله عليه وسلم مَجَّةً مَجَّهَا فِي وجْهِي مِنْ دَلْوٍ و أنَا ابْنُ خَمْسِ سِنِيْنَ"

            Artinya :
”Saya ingat Nabi Saw. Meludah air yang diambilnya dari timba kemukaku,    sedang pada saat itu aku berumur lima tahun".
c)      Al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi dengan himar. Saya merasa yakin bahwa yang dimaksudkan adalah tamyiz. Beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan keadaan sekitar.
d)     pendapat Abu Abdullah Al-Zuba'i yang dikutip oleh Mundzier Suparta mengatakan bahwa sebaiknya anak diperbolehkan menulis hadits pada usia 10 tahun. Sebab pada usia ini akal mereka sudah dianggap sempurna dalam arti bahwa mereka sudah mempunyai kemampuan untuk menghafal dan mengingat hafalannya serta sudah beranjak dewasa.
    4.      Cara Penerimaan Hadits
            Pada umumnya, ulama membagi metode (tata cara) penerimaan hadits kepada delapan macam , yakni sebagai berikut :
1.      Al-Sama’ min Lafdzi Syaikh
Yakni suatu cara penerimaan hadits dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan guru nya dengan cara didektekan baik dari hapalannya maupun dari tulisnnya. sehingga yang menghadirinya mendengar apa yang disampaikannya tersebut.
Menurut jumhur ahli hadist bahwa cara ini adalah cara yang paling tinggi tingkatannya. sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa as-sima’ yang dibarengi dengan al-kitabah mempunyai nilai lebih tinggi dan lebih kuat. Karena terjamin kebenarannya dan terhindar dari kesalahan dibanding dengan cara lainnya. disamping itu, para sahabat juga menerima hadist Nabi dengan cara seperti ini. Termasuk dalam kategori sama juga, seseorang yang mendengarkan hadist dari syeikh dari balik sattar (semacam kain pembatas). Jumhur ulama membolehkannya karna para sahabat juga pernah melakukan hal demikian ketika meriwayatkan hadist Rasulallah melalui para istri-istrinya.
2.      Qira’ah ‘ala Al Syaikh (‘Aradh Al Qira’ah)
Yakni suatu cara seseorang membacakan hadist dihapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan ataupun orang lain, sedang sang guru mendengar atau menyimaknya baik sang guru hafal maupun tidak tetapi ia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya atau ia tergolong tsiqqah. DR. ‘Ajjaj Al-khatib dengan mengutip pendapat Imam Ahmad mensyaratkan orang yang membaca itu mengetahui dan memahami apa yang dibaca. Sementara syarat bagi Syeikh menurut Imam Haramain henda nya yang ahli dan teliti ketika mendengar atau menyimak dari apa yang dibacakan oleh Qori’, sehingga tahrif maupun tashif dapat terhindarkan.Jika tidak demikian maka proses tahammul tidak sah.
Para ulama sepakat bahwa cara seperti ini dianggap sah. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai derajat al-qira’ah. Diantara mereka Abu Hanifah, Ibnu Juraij, Sufyan Al-Tsauri menganggap bahwa al qira’ah lebih baik jika dibanding al-sama’, sebab dalam al-qira’ah jika bacaan guru salah murid tidak leluasa dalam menolak kesalahan. Tetapi dalam al-qira’ah bila bacaan murid salah guru segera membenarkannya. Imam Malik, Imam Bukhari, sebagian besar ulama Hijaz dan Kufah menganggap bahwa antara al-qira’an dan al-sama’ mempunyai derajat yang sama. Sementara Ibnu Al-Shalah dan Imam Nawawi memandang bahwa al-sama’ lebih tinggi derajatnya dibanding al-qira’ah.
3.      Al-Ijazah
Yakni seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk  meriwayatkan hadist atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu. Sekalipun murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti:
أَجَزْتُ لَكَ أَنْ تَرْوِيَ عَنِّى                                             
“Saya mengizinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku.”
Para ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan ijazah ini sebagai cara untuk meriwayatkan hadist. Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadist dengan menggunakan ijazah ini dianggap bid’ah dan tidak diperbolehkan bahkan ada sebagian ulama yang menambahkan bahwa ijazah ini benar benar diingkari. Sedangkan ulama yang memperbolehkan cara ijazah ini menetapkan syarat hendaknya sang guru benar-benar mengerti tentang apa yang diijazahkan dan naskah muridnya menyamai dengan yang lain, sehingga seolah olah naskah tersebut adalah naskah aslinya serta hendaknya guru yang memberi ijazah itu benar benar ahli ilmu.
4.      Al-Munawalah
Yakni seseorang guru memberikan hadist atau beberapa hadist kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengatakan, bahwa al-munawalah ialah seseorang guru memberi kepada seseorang murid kitab asli yang didengar dari guru nya, atau sesuatu naskah yang sudah dicocokkan. Sambil berkata “inilah hadist-hadist yang sudah saya dengar dari seseorang, maka Riwayatkanlah hadist ini dariku dan saya ijazahkan kepadamu untuk diriwayatkan”. 
Al-munawalah mempunyai dua bentuk, yaitu:
a.       Al munawah dibarengi dengan ijazah. Misalnya setelah sang guru menyerahkan kitabnya yang telah ia riwayatkan atau naskahnya yang telah dicocokkan atau beberapa hadist yang telah ditulis, lalu ia katakan kepada muridnya “ini riwayat saya, maka riwayatkanlah dariku”. Termasuk al-munawalah dalam bentuk ini ialah sang murid membacakan naskah yang diperoleh dari gurunya kemudian sang guru mengakui dan mengijazahkan kepada muridnya untuk diriwayatkan darinya. cara ini menurut Al-Qadhi ‘Iyad termasuk periwayatan yang dianggap sah oleh para ulama ahli hadist.Hadist-hadist yang berdasar atas munawalah bersama ijazah biasanya menggunakan redaksi“seseorang telah memberitahukan kepada ku/kami”.
b.      Al munawalah tanpa dibarengi dengan ijazah, seperti perkataan guru kepada muridnya ”ini hadist saya” “inilah adalah hasil pendengaranku atau dari periwayatanku” dan tidak mengatakan “riwayatkanlah dariku atau saya ijazahkan kepadamu”.
5.      Al Mukatabah
Yakni seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadistnya guna diberikan kepada murid yang ada dihadapannya atau yang tidak hadir dengan jalan dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.Al-mukatabah terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a.       Al-mukatabah yang dibarengi dengan ijazah, yaitu sewaktu sang guru menuliskan beberapa hadist untuk diberikan kepada muridnya disertai dengan kata kata “ini adalah hasil periwayatanku, maka riwayatkanlah” atau “saya ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan kepada orang lain”. Kedudukan al-mukatabah dalam bentuk ini sama halnya dengan al-munawalah yang dibarengi dengan ijazah, yakni dapat diterima. Contoh:
أَجَزْتُ لَكَ مَا كَتَبْتُهُ إِلَيْكَ, أَجَزْتُ مَا كَتبْتُ بِهِ إِلَيْكَ
“Ku izinkan apa apa yang telah aku tulis kepadamu.”
b.      Al-mukatabah yang tidak dibarengi dengan ijazah, yakni guru memberikan hadist untuk diberikan kepada muridnya dengan tanpa disertai perintah untuk meriwayatkan atau mengijazahkan. Al-mukatabah dalam bentuk ini diperselisihkan oleh para ulama Syafi’iyah dan ulama Ushul menganggap sah periwayatan dengan cara ini. Sedangkan Al-Mawardi menganggap tidak sah. Contoh:
قَالَ حَدَّثَنَا فُلَانٌ   
  “telah memberitakan seseorang kepadaku”
6.       Al-I’lam
Yakni pemberitahuan seseorang kepada murid, bahwa kitab atau hadist yang diriwayatkannya dia terima dari seseorang (guru), dengan tanpa memberi izin kepada muridnya untuk meriwayatkannya. sebagian ulama ahli Ushul dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Al-Shalah menetapkan tidak sah meriwayatkan hadist dengan cara ini. Karena dimungkinkan bahwa sang guru sudah mengetahui ada sedikit atau banyak cacatnya.
7.       Al Washiyat
Yakni seorang guru ketika akan meninggal atau berpergian meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadist atau kitabnya, setelah sang guru meninggal atau bepergian. Periwayatan hadist dengan cara ini oleh jumhur dianggap lemah. Sementara Ibnu Sirin membolehkan mengamalkan hadist yang diriwayatkannya atas jalan wasiat ini. Orang yang diberi wasiat ini tidak boleh meriwayatkan hadist dari sipemberi wasiat dengan redaksi 
حَدَّثَنِى فُلَانٌ بِكَذَا  (seseorang telah memberitahukan kepadaku begini), karena si penerima wasiat tidak bertemu dengannya. Tetapi lafadz yang dipakai untuk menyampaikan hadist berdasarkan wasiat seperti:
أَوْصَى إِلَيَّ فُلَانٌ بِكِتَابٍ قَالَ فِيْهِ حَدَّثَنَا .....
“seseorang telah berwasiat kepadaku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam kitab itu: “telah bercita kepadamu……”
8.      Al Wijadah
Yakni, seseorang memperoleh hadist orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadist dan tidak melalui cara al-sama’, al-ijazah, ataupun al-munawalah. Para ulama berselisih pendapat mengenai cara ini. Kebanyakan ahli hadist dan ahli fiqh dari mazhab Malikiyah tidak memperbolehkan periwayatan hadist dengan cara ini. Imam Syafi’i dan segolongan pengikutnya memperbolehkan beramal dengan hadist yang periwayatannya melalui cara ini. Ibnu al-Shalah mengatakan, bahwa sebagian ulama muhaqqiqin mewajibkan mengamalkannya bila diyakini kebenarannya. Lafadz lafadz yang digunakan, ialah seperti:
قَرَأْتُ بِخَطِّ فُلَانٍ
 “saya telah membaca khath seseorang.”
    B.     PERIWAYATAN HADITS
    1.      Pengertian Periwayatan
            Periwayatan (riwayat) berasal dari bahasa Arab, yaitu riwayah yang berupa masdar dari kata rawa-yarwi-riwayatan dan bermakna al-naql wa al-haml (pemindahan dan pembawaan), al-nazhar wa al-tafkir (merenung dan berpikir), atau al-saqyu (minum dan menyiram). Di antara makna etimologis yang erat kaitannya dengan hadis adalah makna pemindahan dan pembawaan. Dengan demikian, periwayatan berarti proses memindahkan atau membawa berita dari sumbernya kepada orang lain. Disamping itu, periwayatan juga berarti kegiatan para periwayat dalam mentransfer hadis dari generasi ke generasi sampai kepada proses pembukuannya.[2]
Periwayatan secara istilah berarti kegiatan penerimaan, pemindahan, dan penyandaran hadis kepada orang yang dinisbatkan kepadanya dengan menggunakan bentuk kalimat penyampaian hadis.
Definisi diatas memberikan kriteria bahwa periwayatan harus memenuhi lima syarat, yaitu :
a.       Adanya kegiatan menerima hadis dari seorang periwayat.
b.      Adanya kegiatan menyampaikan hadis yang ia terima kepada orang lain.
c.       Adanya penyandaran susunan rangkaian periwayatan.
d.      Isi pemberitaan bersifat umum untuk semua manusia.
e.       Tidak ada kaitannya dengan pengandilan perkara.
Jika baru memenuhi satu kriteria saja, belum dinamakan periwayatan hadis. Misalkan, seseorang hanya menerima suatu riwayat, tetapi ia tidak menyampaikannya kepada orang lain atau seseorang menyampaikan suatu riwayat, tetapi tidak menyebutkan sandaran rangkaian periwayatan.
    2.      Syarat periwayatan hadis
            Sebagaimana telah disebutkan bahwa al-ada’ adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain. Oleh karenanya ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu menurut pertanggung jawaban yang sangat berat, sebab sah atau tidaknya suatu hadits juga tergantung padanya. Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur ahli hadits, ahli ushul, dan ahli fiqih menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadits seperti yang disebutkan berikut ini:
a)      Islam
Pada waktu meriwayatkan hadits, maka seorang perawi harus muslim, dan menurut ijma’ periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang yang fasik saja, kita disuruh bertawaquf,maka lebih-lebih perawi yang kafir. Kaitannya dengan masalah ini kita bias bandingkan dengan firman Alloh SWT yang artinya:
“hai orang-orang yang beriman, apabila dating kepadamu orang-orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui suatu keadaan sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu” (QS Al-Hujurat: 6)
b)      Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadits, walaupun penerimaannya sebelum baligh hal ii sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang artinya:
“hilang kewajiban menjalankan syari’at islam dari tiga golongan yaitu orang gila sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai dia bangun dan anak-anak sampai ia mimpi” ( HR. Abu Dawud dan Nasa’I )
Dan hadits ini diperkuat juga dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Al Hakim yang artinya “ diangkat kalam dari tiga orang : dari orang gila yang digagahi akalnya sehingga dia sembuh, dari orang tidur sehingga dia bangun, dari anak kecil hingga ia dewasa”
Para ulama tidak menerima riwayat anak kecil adalah karena anak kecil belum menyadari akibat berdusta dan syara’ tidak membenarkan anak kecil menjadi wali ehadap dirinya dalam urusan keduniaan maka dalam urusan keakheratan tentulah lebih utama lagi. Sampai umur adalah dasar untuk menetapkan seseorang itu mempunyai paham dengan pengertian maka dari itu baligh merupakan salah satu dari syarat-syarat periwayatan hadits[3]
c)       ‘adalah
Yang dimaksud dengan adil (‘adalah) disini adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri denag kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dari dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah yang merusak muru’ahnya seperti makan sambil jalan, berkamih dijalan-jalan besar, menggauli orang-orang rendah pekerti atau terlal suka bergurau dan selalu
d). Dhabith
            Dhabith ialah teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu ia menerima hingga menyampaikannya. Jalannya mengetahui ke Dhabittan perawi dengan jalan I’tibar terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan.
Ada yang mengatakan bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana disebutkan diatas, antara perawi satu dengan perawi yang lain harus bersambung, hadits yang disampaikan itu tidak syadz tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih kuat dan ayat-ayat Al-Qur’an.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
    Tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu. Sedangkan Al-‘Ada adalah adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits.
Mayoritas ulama cendrung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Ulama yang membolehkan juga masih berbeda pendapat mengenai batas usia anak boleh diterima periwayatannya, pendapat pertama mengatakan lima tahun sedangkan pendapat yang kedua mengatakan tamyiz.
Syarat kelayakan al-Ada adalah: Islam, Baligh, Sifat Adil, Dhabt. Sedangkan metode dalam tahammul al-ada’ adalah melalui beberapa jalan yaitu as-sima’, al-Qira’ah ‘ala Syaikh, al-Ijazah, al-Munawalah, al-Mukatabah, I’lam asy-Syaikh, al-Washiyyah, al-Wijadah.
B.     Saran
    Demikianlah makalah yang kami buat, Kami menyadari makalah jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. 2014 “ takhrij dan metode memahami hadis” jakarta, Imprint Bumi Aksara
Al- Khatib, M. ‘Ajaj.1998. Ushul Al-Hadits (Pokok-Pokok Ilmu Hadits). Jakarta: Gaya Media Pratama.
Karim, Abdullah.2005.Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Kalimantan: CV Haga Jaya Offset.



[1]Al- Khatib, M. ‘Ajaj.1998. Ushul Al-Hadits (Pokok-Pokok Ilmu Hadits). Jakarta: Gaya Media Pratama.
 [2]Karim, Abdullah.2005.Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Kalimantan: CV Haga Jaya Offset.
[3]Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. 2014 “ takhrij dan metode memahami hadis” jakarta, Imprint Bumi Aksara

No comments:

Post a Comment