MAKALAH ULUMUL HADIST
"PENERIMA HADIST"
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Penghimpunan dan
periwayatan hadits tidak bersifat konvensional, tetapi dihimpun dan
diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya berdasarkan
kaidah-kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan diterima,
kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat rumit yang telah
ditetapkan oleh ulama, dan yang mereka jelaskan secara lengkap di dalam
buku-buku Ushulul Hadits. Ulama tidak meninggalkan sesuatu pun yang berkaitan
dengan hadits Rasulullah SAW. kecuali mereka jelaskan. Sampai-sampai ada di
antara mereka yang mengatakan: Ilmu-ilmu hadits itu telah matang sampai
terbakar, karena banyaknya pengabdian dan perhatian serius ulama.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa dalam studi periwayatan hadist, persoalan bentuk periwayatan
juga menjadi isu yang krusial. Hal ini karena perdebatan masalah tersebut juga
berimplikasi terhadap keautentikan suatu hadist. Dengan demikian apakah
periwayatan suatu hadist harus dengan lafadz (teks) yang persis disampaikan
oleh Nabi SAW. ataukah cukup dengan maknanya saja, menjadi isu penting
dikalangan ulama hadist. Dalam makalah ini Insya Allah, kami juga akan mengupas
seputaran periwayatan suatu hadits.
B.
Rumusam
masalah
1. Pengertian
penerimaan hadis?
2. Pengertian
periwayatan hadis?
3. Bagaimana
cara penerimaan hadis?
4. Pengertian
periwayatkan hadis?
C.
Tujuan
makalah
1.
Untuk mengetahui
pengertian penerimaan hadis?
2. Untuk
mengetahui pengertian periwayatan hadis?
3. Untuk
mengetahui bagaimana cara penerimaan hadis?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENERIMAAN
HADITS
1.
Pengertian
penerimaan hadis
Dalam bahasa Arab,
penerimaan disebut tahammul. Kata tersebut berasal dari kata hamala-yahmilu-hamlan
yang artinya membawa, memikul, mengangkat, atau mengandung. Sementara itu,
hubungannya dengan hadis adalah membawa, memikul, atau mengangkat periwayatan
hadis. Hal itu karena sesungguhnya periwayatan hadis adalah amanat dari Allah
SWT yang harus diemban. Sementara itu, tahammul secara istilah diartikan yaitu
mengambil dan menerima hadis dari seseorang syekh dengan metode tertentu dari
beberapa metode tahammul.
Mengenai
tahammul hadis, ada unsur kesengajaan dalam menerima hadis dari seorang syekh
yang menyampaikan periwayatan dengan menggunakan metode tertentu. Misalkan,
sang guru membaca dan sang murid mendengarkan, atau sebaliknya, Syekh Mahmud
Al-Thahan memperjelas makna tahmmul.
Dengan
demikian,metode penerimaan hadis menjadi sangat urgen karena berpengaruh dalam
diterima atau tolaknya suatu hadis yang diterima periwayatan dengan menggunakan
metode tertentu.
2.
Syarat-syarat
penerimaan hadis
Syarat tahammul adalah
keahlian dalam periwayatan. Meskipun demikian, ulama pada umumnya tidak
memberikan syarat untuk tahammul. Hal ini diibaratkan dengan orang yang
mengikuti majelis taklim. Semua orang boleh mengikutinya, sekalipun nonmuslim
dan belum balig.
Sementara itu,
ulama berbeda pendapat tentang anak kecil yang menerima hadis, berikut ini
penjelasannya:
a. Ulama
Syam mengatakan bahwa tahammul sebaiknya dimulai setelah usai tiga puluh tahun.
b. Ulama
Kufah mengatakan bahwa tahammul dilakukan setelah usia dua puluh tahun.
c. Pada
masa kini, hadis ndan sanadnya telah dibukukan. Dengan demikian, bersegerakan
mendengar hadis itu lebih baik karena pendengaran dan penulisan anak sudah
dinilai sah.
3.
Penerimaan
anak anak, orang kafir dan orang fasik
Jumhur Ulama ahli
hadits berbeda pendapat mengenai penerimaan hadist terhadap anak yang belum
sampai umur (belum mukallaf), orang yang menerima hadist dalam keadaan kafir
serta dalam keadaan fasik. Jumhur muhadditsin berpendapat bahwa seorang yang
menerima hadist waktu masih kanak-kanak, atau masih dalam keadaan kafir atau
dalam keadaan fasik dapat diterima periwayatannya setelah masing-masing dewasa,
memeluk Islam dan bertobat.[1]
Adapun alasannya
anak yang belum dewasa dapat dibenarkan menerima riwayat, ialah ijma'. Yakni
seluruh umat Islam tidak ada yang membantah dan tidak ada yang membeda-bedakan riwayat
para sahabat yang diterima sebelum dan sesudah dewasa. Para sahabat yang
menerima hadist sebelum dewasa diantaranya Al-Hasan, Al-Husein, Ibnu 'Abbas,
Nu'man bin Basyir dan lainnya. Tetapi mereka memperselisihkan masalah batas
minimal umur anak yang belum dewasa, yang dapat dibenarkan dalam penerimaan
riwayat. Beberapa pendapat tersebut diantaranya:
a) Pendapat
ulama syam memandang usia yang ideal bagi seorang untuk meriwayatkan hadist
pada usia 30 tahun, dan ulama kufah berpendapat minimal berusia 20
tahun. Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan ketamyizan seseorang
diantaranya situasi dan kondisi yang berbeda. Oleh karena itu ketamyizan
seseorang bukan diukur dari usia tetapi didasarkan pada tingkat kemampuan
menangkap dan memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan dengan benar
serta adanya kemampuan menghafal dan mengingat-ingat hafalannya. Mengenai
penerimaan hadist oleh orang kafir jumhur ulama ahli hadist menganggap sah.
Dalil yang digunakan oleh jumhur adalah hadist Jubair bin Muth'im :
أنَّهُ سَمِعَ النَّبِي صلي الله عليه وسلم يَقْرَأُ فِي المَغْرِبِ بِالطُّوْر
"Bahwa ia mendengar Nabi Muhammad membaca
surat At-Thur pada shalat maghrib"
Jubair
mendengar sabda Rasulullah SAW. tersebut pada saat tiba di Madinah untuk
penyelesaian urusan tawanan perang Badar, dalam keadaan kafir. Yang akhirnya ia
memeluk Islam. Imam Ibnu Hajar menerima riwayat orang fasik dengan dalil
qiyas "babul-aula",Artinya kalau penerimaan riwayat orang
kafir yang disampaikan setelah memeluk agama Islam dapat diterima, apalagi
penerimaan orang fasik yang disampaikan setelah ia bertobat dan diakui sebagai
orang yang adil, tentu lebih dapat diterima. Kecuali riwayat orang gila yang
diriwayatkan setelah sehat tetap tidak dapat diterima, lantaran diwaktu ia
gila, hilanglah kesadarannya, hingga tidak lagi dikatakan sebagai orang yang
dhabith.
b) Al-Qadhi
Iyad mengatakan bahwa batas minimal adalah 5 tahun, sebab pada usia ini anak
sudah mampu menghafal apa yang dia ingat serta mengingat – ingat yang dihafal.
Pendapat ini didasarkan pada hadist riwayat Bukhari dari sahabat Mahmud bin
Al-Rubai':
عَقَلْتُ مِنَ النَّبِي صلي الله عليه وسلم مَجَّةً مَجَّهَا فِي وجْهِي مِنْ دَلْوٍ و أنَا ابْنُ خَمْسِ سِنِيْنَ"
Artinya
:
”Saya ingat Nabi Saw. Meludah air yang diambilnya
dari timba kemukaku, sedang pada saat itu aku berumur
lima tahun".
c) Al-Hafidz
Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh
anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi dengan
himar. Saya merasa yakin bahwa yang dimaksudkan adalah tamyiz. Beliau
menjelaskan pengertian tamyiz dengan keadaan sekitar.
d) pendapat
Abu Abdullah Al-Zuba'i yang dikutip oleh Mundzier Suparta mengatakan bahwa
sebaiknya anak diperbolehkan menulis hadits pada usia 10 tahun. Sebab pada usia
ini akal mereka sudah dianggap sempurna dalam arti bahwa mereka sudah mempunyai
kemampuan untuk menghafal dan mengingat hafalannya serta sudah beranjak dewasa.
4.
Cara
Penerimaan Hadits
Pada umumnya, ulama
membagi metode (tata cara) penerimaan hadits kepada delapan macam , yakni
sebagai berikut :
1. Al-Sama’
min Lafdzi Syaikh
Yakni suatu cara
penerimaan hadits dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan guru nya
dengan cara didektekan baik dari hapalannya maupun dari tulisnnya. sehingga
yang menghadirinya mendengar apa yang disampaikannya tersebut.
Menurut
jumhur ahli hadist bahwa cara ini adalah cara yang paling tinggi tingkatannya.
sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa as-sima’ yang dibarengi dengan
al-kitabah mempunyai nilai lebih tinggi dan lebih kuat. Karena terjamin
kebenarannya dan terhindar dari kesalahan dibanding dengan cara lainnya.
disamping itu, para sahabat juga menerima hadist Nabi dengan cara seperti ini.
Termasuk dalam kategori sama juga, seseorang yang mendengarkan hadist dari
syeikh dari balik sattar (semacam
kain pembatas). Jumhur ulama membolehkannya karna para sahabat juga pernah
melakukan hal demikian ketika meriwayatkan hadist Rasulallah melalui para
istri-istrinya.
2. Qira’ah
‘ala Al Syaikh (‘Aradh Al Qira’ah)
Yakni suatu cara
seseorang membacakan hadist dihapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan
ataupun orang lain, sedang sang guru mendengar atau menyimaknya baik sang guru
hafal maupun tidak tetapi ia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya atau
ia tergolong tsiqqah. DR. ‘Ajjaj Al-khatib dengan mengutip pendapat Imam Ahmad
mensyaratkan orang yang membaca itu mengetahui dan memahami apa yang dibaca.
Sementara syarat bagi Syeikh menurut Imam Haramain henda nya yang ahli dan
teliti ketika mendengar atau menyimak dari apa yang dibacakan oleh Qori’,
sehingga tahrif maupun tashif dapat terhindarkan.Jika
tidak demikian maka proses tahammul tidak sah.
Para
ulama sepakat bahwa cara seperti ini dianggap sah. Namun, mereka berbeda
pendapat mengenai derajat al-qira’ah. Diantara mereka Abu Hanifah, Ibnu Juraij,
Sufyan Al-Tsauri menganggap bahwa al qira’ah lebih baik jika dibanding
al-sama’, sebab dalam al-qira’ah jika bacaan guru salah murid tidak leluasa
dalam menolak kesalahan. Tetapi dalam al-qira’ah bila bacaan murid salah guru
segera membenarkannya. Imam Malik, Imam Bukhari, sebagian besar ulama Hijaz dan
Kufah menganggap bahwa antara al-qira’an dan al-sama’ mempunyai derajat yang
sama. Sementara Ibnu Al-Shalah dan Imam Nawawi memandang bahwa al-sama’ lebih
tinggi derajatnya dibanding al-qira’ah.
3. Al-Ijazah
Yakni seorang guru memberikan izin
kepada muridnya untuk meriwayatkan hadist atau kitab kepada
seseorang atau orang-orang tertentu. Sekalipun murid tidak membacakan kepada
gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti:
أَجَزْتُ لَكَ
أَنْ تَرْوِيَ عَنِّى
“Saya mengizinkan kepadamu untuk meriwayatkan
dariku.”
Para ulama berbeda pendapat mengenai
penggunaan ijazah ini sebagai cara untuk meriwayatkan hadist. Ibnu Hazm
mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadist dengan menggunakan ijazah ini dianggap
bid’ah dan tidak diperbolehkan bahkan ada sebagian ulama yang menambahkan bahwa
ijazah ini benar benar diingkari. Sedangkan ulama yang memperbolehkan cara
ijazah ini menetapkan syarat hendaknya sang guru benar-benar mengerti tentang
apa yang diijazahkan dan naskah muridnya menyamai dengan yang lain, sehingga
seolah olah naskah tersebut adalah naskah aslinya serta hendaknya guru yang
memberi ijazah itu benar benar ahli ilmu.
4. Al-Munawalah
Yakni seseorang guru
memberikan hadist atau beberapa hadist kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada
juga yang mengatakan, bahwa al-munawalah ialah seseorang guru memberi kepada
seseorang murid kitab asli yang didengar dari guru nya, atau sesuatu naskah
yang sudah dicocokkan. Sambil berkata “inilah hadist-hadist yang sudah saya dengar dari seseorang, maka
Riwayatkanlah hadist ini dariku dan saya ijazahkan kepadamu untuk
diriwayatkan”.
Al-munawalah mempunyai
dua bentuk, yaitu:
a. Al
munawah dibarengi dengan ijazah. Misalnya setelah sang guru menyerahkan
kitabnya yang telah ia riwayatkan atau naskahnya yang telah dicocokkan atau
beberapa hadist yang telah ditulis, lalu ia katakan kepada muridnya “ini riwayat saya, maka riwayatkanlah
dariku”. Termasuk al-munawalah dalam bentuk ini ialah sang murid
membacakan naskah yang diperoleh dari gurunya kemudian sang guru mengakui dan
mengijazahkan kepada muridnya untuk diriwayatkan darinya. cara ini menurut
Al-Qadhi ‘Iyad termasuk periwayatan yang dianggap sah oleh para ulama ahli
hadist.Hadist-hadist yang berdasar atas munawalah bersama ijazah biasanya
menggunakan redaksi“seseorang telah
memberitahukan kepada ku/kami”.
b. Al
munawalah tanpa dibarengi dengan ijazah, seperti perkataan guru kepada muridnya ”ini hadist saya” “inilah adalah hasil
pendengaranku atau dari periwayatanku” dan tidak mengatakan “riwayatkanlah dariku atau saya ijazahkan
kepadamu”.
5. Al
Mukatabah
Yakni seorang guru menuliskan
sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadistnya guna
diberikan kepada murid yang ada dihadapannya atau yang tidak hadir dengan jalan
dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.Al-mukatabah
terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Al-mukatabah
yang dibarengi dengan ijazah, yaitu sewaktu sang guru menuliskan beberapa
hadist untuk diberikan kepada muridnya disertai dengan kata kata “ini adalah hasil periwayatanku, maka
riwayatkanlah” atau “saya
ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan kepada orang lain”. Kedudukan
al-mukatabah dalam bentuk ini sama halnya dengan al-munawalah yang dibarengi
dengan ijazah, yakni dapat diterima. Contoh:
أَجَزْتُ
لَكَ مَا كَتَبْتُهُ إِلَيْكَ, أَجَزْتُ مَا كَتبْتُ بِهِ إِلَيْكَ
“Ku izinkan apa apa yang telah aku tulis kepadamu.”
b. Al-mukatabah
yang tidak dibarengi dengan ijazah, yakni guru memberikan hadist untuk
diberikan kepada muridnya dengan tanpa disertai perintah untuk meriwayatkan
atau mengijazahkan. Al-mukatabah dalam bentuk ini diperselisihkan oleh para
ulama Syafi’iyah dan ulama Ushul menganggap sah periwayatan dengan cara ini.
Sedangkan Al-Mawardi menganggap tidak sah. Contoh:
قَالَ
حَدَّثَنَا فُلَانٌ
“telah memberitakan seseorang kepadaku”
6. Al-I’lam
Yakni pemberitahuan seseorang
kepada murid, bahwa kitab atau hadist yang diriwayatkannya dia terima dari
seseorang (guru), dengan tanpa memberi izin kepada muridnya untuk
meriwayatkannya. sebagian ulama ahli Ushul dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu
Al-Shalah menetapkan tidak sah meriwayatkan hadist dengan cara ini. Karena
dimungkinkan bahwa sang guru sudah mengetahui ada sedikit atau banyak cacatnya.
7. Al
Washiyat
Yakni seorang guru ketika akan
meninggal atau berpergian meninggalkan pesan kepada orang lain untuk
meriwayatkan hadist atau kitabnya, setelah sang guru meninggal atau bepergian. Periwayatan
hadist dengan cara ini oleh jumhur dianggap lemah. Sementara Ibnu Sirin
membolehkan mengamalkan hadist yang diriwayatkannya atas jalan wasiat ini.
Orang yang diberi wasiat ini tidak boleh meriwayatkan hadist dari sipemberi
wasiat dengan redaksi
حَدَّثَنِى
فُلَانٌ بِكَذَا (seseorang telah memberitahukan kepadaku begini), karena si
penerima wasiat tidak bertemu dengannya. Tetapi lafadz yang dipakai untuk
menyampaikan hadist berdasarkan wasiat seperti:
أَوْصَى
إِلَيَّ فُلَانٌ بِكِتَابٍ قَالَ فِيْهِ حَدَّثَنَا .....
“seseorang telah berwasiat kepadaku dengan sebuah
kitab yang ia berkata dalam kitab itu: “telah bercita kepadamu……”
8. Al
Wijadah
Yakni, seseorang memperoleh hadist
orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadist dan tidak melalui cara al-sama’,
al-ijazah, ataupun al-munawalah. Para ulama berselisih pendapat mengenai cara
ini. Kebanyakan ahli hadist dan ahli fiqh dari mazhab Malikiyah tidak
memperbolehkan periwayatan hadist dengan cara ini. Imam Syafi’i dan segolongan
pengikutnya memperbolehkan beramal dengan hadist yang periwayatannya melalui
cara ini. Ibnu al-Shalah mengatakan, bahwa sebagian ulama muhaqqiqin mewajibkan
mengamalkannya bila diyakini kebenarannya. Lafadz lafadz yang digunakan, ialah
seperti:
قَرَأْتُ
بِخَطِّ فُلَانٍ
“saya telah membaca khath seseorang.”
B.
PERIWAYATAN
HADITS
1.
Pengertian
Periwayatan
Periwayatan
(riwayat) berasal dari bahasa Arab, yaitu riwayah yang berupa masdar dari kata
rawa-yarwi-riwayatan dan bermakna al-naql wa al-haml (pemindahan dan
pembawaan), al-nazhar wa al-tafkir (merenung dan berpikir), atau al-saqyu
(minum dan menyiram). Di antara makna etimologis yang erat kaitannya dengan
hadis adalah makna pemindahan dan pembawaan. Dengan demikian, periwayatan berarti
proses memindahkan atau membawa berita dari sumbernya kepada orang lain.
Disamping itu, periwayatan juga berarti kegiatan para periwayat dalam
mentransfer hadis dari generasi ke generasi sampai kepada proses pembukuannya.[2]
Periwayatan
secara istilah berarti kegiatan penerimaan, pemindahan, dan penyandaran hadis
kepada orang yang dinisbatkan kepadanya dengan menggunakan bentuk kalimat
penyampaian hadis.
Definisi diatas
memberikan kriteria bahwa periwayatan harus memenuhi lima syarat, yaitu :
a. Adanya
kegiatan menerima hadis dari seorang periwayat.
b. Adanya
kegiatan menyampaikan hadis yang ia terima kepada orang lain.
c. Adanya
penyandaran susunan rangkaian periwayatan.
d. Isi
pemberitaan bersifat umum untuk semua manusia.
e. Tidak
ada kaitannya dengan pengandilan perkara.
Jika baru memenuhi satu kriteria
saja, belum dinamakan periwayatan hadis. Misalkan, seseorang hanya menerima
suatu riwayat, tetapi ia tidak menyampaikannya kepada orang lain atau seseorang
menyampaikan suatu riwayat, tetapi tidak menyebutkan sandaran rangkaian
periwayatan.
2.
Syarat
periwayatan hadis
Sebagaimana telah
disebutkan bahwa al-ada’ adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada
orang lain. Oleh karenanya ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah
barang tentu menurut pertanggung jawaban yang sangat berat, sebab sah atau
tidaknya suatu hadits juga tergantung padanya. Mengingat hal-hal seperti ini,
jumhur ahli hadits, ahli ushul, dan ahli fiqih menetapkan beberapa syarat bagi
periwayatan hadits seperti yang disebutkan berikut ini:
a) Islam
Pada waktu meriwayatkan
hadits, maka seorang perawi harus muslim, dan menurut ijma’ periwayatan kafir
tidak sah. Seandainya perawinya seorang yang fasik saja, kita disuruh
bertawaquf,maka lebih-lebih perawi yang kafir. Kaitannya dengan masalah ini
kita bias bandingkan dengan firman Alloh SWT yang artinya:
“hai orang-orang yang
beriman, apabila dating kepadamu orang-orang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui suatu keadaan sehingga kamu akan menyesal atas
perbuatanmu itu” (QS Al-Hujurat: 6)
b) Baligh
Yang dimaksud dengan
baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadits, walaupun
penerimaannya sebelum baligh hal ii sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang
artinya:
“hilang kewajiban
menjalankan syari’at islam dari tiga golongan yaitu orang gila sampai dia
sembuh, orang yang tidur sampai dia bangun dan anak-anak sampai ia mimpi” ( HR.
Abu Dawud dan Nasa’I )
Dan
hadits ini diperkuat juga dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud
dan Al Hakim yang artinya “ diangkat kalam dari tiga orang : dari orang gila
yang digagahi akalnya sehingga dia sembuh, dari orang tidur sehingga dia
bangun, dari anak kecil hingga ia dewasa”
Para
ulama tidak menerima riwayat anak kecil adalah karena anak kecil belum
menyadari akibat berdusta dan syara’ tidak membenarkan anak kecil menjadi wali
ehadap dirinya dalam urusan keduniaan maka dalam urusan keakheratan tentulah
lebih utama lagi. Sampai umur adalah dasar untuk menetapkan seseorang itu
mempunyai paham dengan pengertian maka dari itu baligh merupakan salah satu
dari syarat-syarat periwayatan hadits[3]
c) ‘adalah
Yang dimaksud dengan
adil (‘adalah) disini adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang
menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga
kepribadian dan percaya pada diri sendiri denag kebenarannya, menjauhkan diri
dari dosa besar dan sebagian dari dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal
yang mubah yang merusak muru’ahnya seperti makan sambil jalan, berkamih
dijalan-jalan besar, menggauli orang-orang rendah pekerti atau terlal suka
bergurau dan selalu
d). Dhabith
Dhabith
ialah teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang
ia dengar dan hafal sejak waktu ia menerima hingga menyampaikannya. Jalannya mengetahui ke Dhabittan
perawi dengan jalan I’tibar terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang
tsiqat dan memberikan keyakinan.
Ada yang mengatakan bahwa disamping syarat-syarat
sebagaimana disebutkan diatas, antara perawi satu dengan perawi yang lain harus
bersambung, hadits yang disampaikan itu tidak syadz tidak ganjil dan tidak
bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih kuat dan ayat-ayat Al-Qur’an.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tahammul adalah
proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan
metode-metode tertentu. Sedangkan Al-‘Ada adalah adalah proses menyampaikan dan
meriwayatkan hadits.
Mayoritas
ulama cendrung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil,
yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak
memperbolehkannya. Ulama yang membolehkan juga masih berbeda pendapat mengenai
batas usia anak boleh diterima periwayatannya, pendapat pertama mengatakan lima
tahun sedangkan pendapat yang kedua mengatakan tamyiz.
Syarat
kelayakan al-Ada adalah: Islam, Baligh, Sifat Adil, Dhabt. Sedangkan metode
dalam tahammul al-ada’ adalah melalui beberapa jalan yaitu as-sima’, al-Qira’ah
‘ala Syaikh, al-Ijazah, al-Munawalah, al-Mukatabah, I’lam asy-Syaikh,
al-Washiyyah, al-Wijadah.
B.
Saran
Demikianlah
makalah yang kami buat, Kami menyadari makalah jauh dari sempurna maka dari itu
kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah
ini. Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan
bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.
H. Abdul Majid Khon, M.Ag. 2014 “ takhrij dan metode memahami hadis” jakarta,
Imprint Bumi Aksara
Al-
Khatib, M. ‘Ajaj.1998. Ushul Al-Hadits (Pokok-Pokok Ilmu Hadits).
Jakarta: Gaya Media Pratama.
Karim,
Abdullah.2005.Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Kalimantan: CV Haga Jaya
Offset.
[1]Al- Khatib, M. ‘Ajaj.1998. Ushul
Al-Hadits (Pokok-Pokok Ilmu Hadits). Jakarta: Gaya Media Pratama.
[3]Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag.
2014 “ takhrij dan metode memahami hadis” jakarta, Imprint Bumi Aksara
No comments:
Post a Comment