1

loading...

Friday, August 23, 2019

MAKALAH MUSAQAH DAN IJARAH


MAKALAH MUSAQAH DAN IJARAH 

BAB I
PENDAHULUAN
     A.    Latar Belakang
Secara teknis, kerjasama dalam bidang perkebunan sudah lama dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri. Sudah banyak yang dihasilkan dari kerja sama jenis ini. berdasarkan kebiasaan yang berlaku, akad dilakukan oleh pemilik kebun dan tukang kebun adalah akad kontrak kerja, dalam artian tukang kebun merawat kebun dengan upah bulanan atau mingguan yang telah ditentukan. Jarang sekali ditemukan kerjasama antara pemilik dan tukang kebun menggunakan system bagi hasil.
Padahal jika kemali pada ajaran Islam, kerjasama perkebunan yang dianjurkan adalah kerjasama dengan menggunakan bagi hasil. Dalam konteks ini, pemilik kebun dan pemilik akan berbagi hasil panen yang dihasilkan. Sementara itu pembagian hasil tersebut telah ditentukan oleh akad. Kerja sama ini dinamakan Musaqah yang dianjurkan oleh Islam. Selain itu, segala hal yang berkaitan dengan teknis, syarat, rukun, dan relevansi Musaqah akan dibahas dalam makalah yang kami susun ini.
Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam lapangan muamalah adalah Ijarah. Ijarah sering disebut dengan “upah” atau “imbalan”. Kalau sekiranya kitab-kitab fiqh sering mmenerjemahkan kata Ijarah dengan “sewa-menyewa”, maka hal tersebut janganlah diartikan menyewa sesuatu barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi harus dipahami dalam arti yang luas.
Manusia merupakan makhluk social yang tak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Dalam hidupnya, manusia bersosialisi dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang termasuk di dalamnya merupakan kegiatan ekonomi. Segala bentuk interaksi social guna memenuhi kebutuhan hidup manusia memerlukan ketentuan-ketentuan yang membatasi dan mengatur kegiatan tersebut.
Selain dipandang dari sudut ekonomi, sebagai umat muslim, kita juga perlu memandang kegiatan ekonomi dari sudut pandang islam. Ketentuan-ketentuan yang harus ada dalam kegiatan ekonomi sebaiknya juga harus didasarkan pada ssumber-sumber hokum islam, yaitu Al’Qur’an dan Al-Hadits.
Konsep Islam mengenai muamalah amatlah baik. Karena menguntungkan semua pihak yang ada di dalamnya. Namun jika moral manusia tidak baik maka pasti ada pihak yang dirugikan. Akhlakul Karimah secara menyeluruh harus menjadi rambu-rambu kita dalam ber-muamalah dan harus dipatuhi sepenuhnya.
Dan di sini kami membahas lebih lengkap dan jelas mengenai salah satu dari bentuk interaksi sosial manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya (kegiatan ekonomi), yaitu Ijarah.   
    B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Musaqah dan Ijarah?
2.      Apa landasan hukum yang mengatur tentang Musaqah dan Ijarah?
3.      Bagaimana rukun dan syarat Musaqah dan Ijarah?
4.      Apa saja masalah yang terjadi dalam Musaqah dan Ijarah?
     C.     Tujuan
1.      Dapat mengerti pengertian Musaqah dan Ijarah
2.      Mengetahui landasan hukum yang mengatur tentang Musaqah dan Ijarah
3.      Mengerti rukun dan syarat Musaqah dan Ijarah
4.      Mengerti masalah yang terjadi dalam Musaqah dan Ijarah

BAB II
PEMBAHASAN

       A.    Pengertian, Hukum, Rukun dan Syarat Musaqah[1]
1.      Pengertian Musaqah
Menurut bahasa Musaqah diambil dari kata al-saqah, yaitu seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya). Atau pohon-pohon yang lainnya yang mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.
Menurut terminologi Musaqah adalah akad untuk pemeliharaan tanaman (pertanian) dan yang lainnyaa dengan syarat-syarat tertentu.
Menurut Malikiyah, al-Musaqah ialah Sesuatu yang tumbuh ditanah. Yaitu dibagi menjadi lima macam:

a.       Pohon-pohon tersebut berakar kuat (tetap) dan berbuah. Buah itu dipetik serta pohon tersebut tetap ada dengan waktu yang lama, misalnya pohon anggur dan zaitun.
b.      Pohon-pohon tersebut berakar tetap, tetapi tidak berbuah seperti pohon kayu keras, karet, dan jati.
c.       Pohon-pohon tersebut tidak berakar kuat, tetapi berbuah dan dapat dipetik.
d.      Pohon-pohon tersebut tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang dapat dipetik, tetapi memilikiki kembang yang bermanfaat, seperti bunga mawar.

e.       Pohon-pohon yang diambil hijau dan basahnya sebagai suatu manfaat, bukan buahnya, seperti tanaman hias yang ditanam di halaman rumah dan di tempat lainnya.

Dengan demikian Musaqah adalah sebuah bentuk kerjasama petani pemilik kebun dengan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal. Kemudian segala sesuatu yang dihasilkan pihak kedua adalah merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.
Penggarap disebut musāqi. Dan pihak lain disebut pemilik pohon.Yang disebut kata pohon dalam masalah ini adalah: Semua yang ditanam agar dapat bertahan selama satu tahun keatas, untuk waktu yang tidak ada ketentuannya dan akhinya dalam pemotongan/penebangan. Baik pohon itu berbuah atau tidak.
Kerjasama dalam bentuk Musaqah ini berbeda dengan mengupah tukang kebun untuk merawat tanaman, karena hasil yang diterimanya adalah upah yang telah pasti ukurannya dan bukan dari hasilnya yang belum tentu.

2.      Hukum dan Dasar Hukum Musaqah[2]
Dalam menentukan keabsahan akad musāqah dari segi syara’, terdapat perbedaan ulama fiqh. Imam Abu Hanifah dan Zufar ibn Huzail mereka berpendirian bahwa akad al-Musaqah dengan ketentuan petani penggarap mendapatkan sebagian hasil kerjasama ini adalah tidak sah, karena Musaqah seperti ini termasuk mengupah seseorang dengan imbalan sebagian hasil yang akan dipanen dari kebun itu.
Akan tetapi menurut kebanyakan ulama, hukum Musaqah itu boleh atau mubah, berdasarkan sabda Rasulullah saw
Musaqah juga didasarkan atas ijma’ (kesepakatan para ulama), karena sudah merupakan suatu transaksi yang amat dibutuhkan oleh umat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagai bentuk sosial antara sesama manusia dengan jalan memberi pekerjaan kepada mereka yang kurang mampu. hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2, yaitu
Ayat diatas menjelaskan tentang perintah Allah kepada hamba-hambanya yang beriman untuk saling tolong-menolong dalam perbuatan baik  dan meninggalkan  kemungkaran.  Dengan  wujud  saling tolong-menolong orang berilmu membantu orang dengan ilmunya, orang kaya membantu dengan kekayaannya. Dan hendaknya kaum Muslimin menjadi satu tangan dalam membantu orang yang membutuhkan.
     3.      Rukun Dan Syarat-Syarat Musaqah
Terdapat beberapa perbedaan dikalangan ulama fiqh terhadap rukun-rukun Musaqah. Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad adalah ijāb dari pemilik tanah perkebunan dan qabūl dari petani penggarap, dan pekerjaan dari pihak petani penggarap. Jumhur ulama yang terdiri atas ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendiriran bahwa transaksi Musaqah harus memenuhi lima rukun, yaitu:
a.       Sighāt (ungkapan) ijāb dan qābūl.
b.      Dua orang/pihak yang melakukan transaksi;
c.       Tanah yang dijadikan objek Musaqah
d.      Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap;
e.       Ketentuan mengenai pembagian hasil Musaqah
Menurut Ulama Syafi’iyah ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam rukun-rukun Musaqah, sebagai berikut :
a.       Sighāt, ijāb qabūl yang kadang-kadang berupa terang-terangan dan kadang mendekati terang (sindiran).
b.      Dua orang yang bekerjasama (aqidaini) sebab perjanjian kerjasama Musaqah tak bisa berwujud kecuali dengan adanya pemilik tanah dengan penggarap yang keduanya disyaratkan agar benar-benar memiliki kelayakan kerjasama, karena kerjasama ini tidak sah dilakukan dengan orang gila, anak kecil sebagaimana yang dijelaskan di bab Jual Beli.
c.       Ada sasaran penggarapan yaitu pohonnya, sebab kerjasama Musaqah tidak akan terwujud kecuali dengan adanya pohon tersebut.
d.      Adanya pekerjaan dan pengolahan, sebab kerjasama Musaqah tidak akan terwujud tanpa adanya pekerjaan yang akan dimulai dari penggarapan sampai masa panen.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun adalah:
a.       Kedua belah pihak yang melakukan transaksi harus orang yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil baligh) dan berakal.
b.      Objek Musaqah
Objek Musaqah menurut ulama Hanafiah adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiyah muta’akhkhirin menyatakan Musaqah juga berlaku atas pohon yang tidak mempunyai buah, jika hal itu dibutuhkan masyarakat. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa objek Musaqah adalah tanaman keras dan palawija, seperti anggur, kurma, dan lain-lain, dengan dua syarat:
1)      Akad dilakukan sebelum buah itu layak dipanen;
2)      Tenggang waktu yang ditentukan jelas;
3)      Akadnya dilakukan setelah tanaman itu tumbuh;
4)      Pemilik perkebunan tidak mampu untuk mengolah dan memelihara tanaman itu.
Objek Musaqah menurut ulama Hanabilah bahwa Musaqah dimaksudkan pada pohon-pohon berbuah yang dapat dimakan. Oleh sebab itu, Musaqah tidak berlaku terhadap tanaman yang tidak memeiliki buah. Sedangkan ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa yang boleh dijadikan obyek akad Musaqah adalah kurma dan anggur saja.
c.       Hasil yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama, sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi dua, tiga dan sebagainya.
d.      Shighat dapat dilakukan dengan jelas (shārih) dan dengan samaran (kināyah). Disyariatkan shighāt dengan lāfaẓ dan tidak cukup dengan perbuatan saja.
Selain itu di dalam melakukan Musaqah disyaratkan terpenuhinya hal-hal sebagai berikut:
1)      Bahwa pohon yang di-Musaqah-kan diketahui dengan jalan melihat, atau memperkenalkan sifat-sifat yang tidak bertentangan dengan kenyataan pohonnya. Karena akad dinyatakan tidak sah, untuk sesuatu yang tidak diketahui dengan jelas.
2)      Bahwa masa yang diperlukan itu diketahui dengan jelas.Karena Musaqah adalah akad lazim yang menyerupai akad sewa-menyewa. Dengan kejelasan ini akan tidak ada unsur gharār.
3)      Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa menjelaskan masa lamanya, bukanlah  merupakan  syarat  dalam  Musaqah,  tetapi sunnah, yang berpendapat tidak diperlukannya syarat ini adalah ẓāhiriyah.
4)      Menurut mazhab Hanafi bahwa manakala masa Musaqah telah berakhir sebelum masaknya buah, pohon wajib ditinggalkan/dibiarkan ada di tangan penggarap, agar ia terus menggarap (tetapi) tanpa imbalan, sampai pohon itu berbuah masak.
5)      Bahwa akad itu dilangsungkan sebelum nampak baiknya buah/hasil. Karena dalam keadaan seperti ini, pohon memerlukan penggarapan. Adapun sesudah kelihatan hasilnya, menurut sebagian Ahli Fiqih adalah bahwa Musaqah tidak dibolehkan. Karena tidak lagj membutuhkan hal itu, kalaupun tetap dilangsungkan namanya Ijarah (sewa-menyewa), bukan lagi Musaqah. Namun, ada pula yang membolehkannya sekalipun dalam keadaan seperti ini. Sebab jika hal itu boleh berlangsung sebelum Allah menciptakan buah, masa sesudah itu tentu lebih utama.
6)      Bahwa imbalan yang diterima oleh penggarap berupa buah itu diketahui dengan jelas. Misalnya separuh atau sepertiga. Kalau dalam perjanjian ini disyaratkan untuk si penggarap atau si pemilik pohon mengambil hasil dari pohon-pohon tertentu saja, atau kadar tertentu, maka Musaqah tidaksah.
7)      Apabila satu syarat dan syarat-syarat ini tidak terpenuhi, akad dinyatakan fāsakh dan Musaqah menjadi fāsad.

4.      Macam- macam Musaqah, Hukum-hukum yang Terkait dengan Musaqah dan Berakhirnya Akad Musaqah.[3]
a.       Macam- macam Musaqah
1)      Musaqah yang bertitik pada manfaatnya, yaitu pada hasilnya berarti pemilik tanah (tanaman) sudah menyerahkan kepada yang mengerjakan segala upaya agar tanah (tanaman) itu membawa hasil yang baik. Kalau demikian orang yang mengerjakan berkewajiban mencari air, termasuk membuat sumur, parit ataupun bendungan yang membawa air, jadi pemilik hanya mengetahui hasilnya.
2)      Musaqah yang bertitik tolak pada asalnya, yaitu untuk mengairi saja, tanpa ada tanggung jawab untuk mencari air. Maka pemiliknyalah yang berkewajiban mencarikan jalan air, baik yang menggali sumur, membuat parit atau usaha-usaha yang lain. Musaqah yang pertama harus diulang-ulang setiap tahunnya (setiap tahun harus ada penegasan lagi).
b.      Hukum-hukum yang terkait dengan Musaqah
Hukum-hukum yang terkait dengan akad Musaqah yang şāhih adalah:
1)      Seluruh pekerjaan yang berkaitan dengan pemeliharaan tanaman, pengairan kebun, dan segala yang dibutuhkan untuk kebaikan tanaman itu, merupakan tanggung jawab petani penggarap.
2)      Seluruh hasil panen dari tanaman itu menjadi milik kedua belah pihak (pemilik dan petani).
3)      Jika kebun itu tidak menghasilkan apapun (gagal panen), maka masing-masing pihak tidak akan mendapatkan apa-apa.
4)      Akad Musaqah yang telah disepakati mengikat kedua belah pihak, sehingga masing-masing pihak tidak boleh membatalkan akad itu, kecuali ada uzur (halangan) yang membuat tidak mungkin untuk melanjutkan akad yang telah disetujui itu. Atas dasar itu, pemilik perkebunan berrhak untuk memaksa petani untuk bekerja, kecuali ada uzur pada diri petani itu.
5)      Petani penggarap tidak boleh melakukan akad Musaqah lain dengan pihak ketiga, kecuali atas keizinan dari pemilik perkebunan (pihak pertama).
Selain hukum-hukum yang berkaitan dengan akad Musaqah yang şāhih, terdapat pula hukum-hukum yang berkaitan dengan akad Musaqah yang fāsid. Adapun akad Musaqah yang bersifat fāsid apabila:

1)   Seluruh hasil panen disyaratkan menjadi milik salah satu pihak yang berakad, sehingga makna serikat tidak ada dalam akad.
2)   Mensyaratkan jumlah tertentu dari hasil panen bagi salah satu pihak, misalnya seperdua dan sebagiannya, atau bagian petani misalnya dalam bentuk uang, sehingga makna Musaqah sebagai serikat dalam hasil panen tidak ada lagi.
3)   Disyaratkan pemilik kebun juga ikut bekerja di kebun, bukan petani penggarap saja.
4)   Disyaraktan bahwa mencangkul tanah menjadi kewajiban petani penggarap, karena dalam akad Musaqah pekerjaan sejenis ini bukan pekerjaan petani, karena perserikatan dilakukan hanyalah untuk memelihara dan mengairi tanaman, bukan untuk memulai tanaman.
5)   Mensyaratkan seluruh pekerjaan yang bukan merupakan kewajiban petani atau pemilik.
6)   Melakukan kesepakatan terhadap tenggang waktu, sementara dalam tenggang waktu yang disepakati tanaman boleh dipanen, menurut adat kebiasaan setempat dan adat kebiasaan tanaman yang dipilih.
c.       Berakhirnya akad Musaqah
Menurut ulama fiqh, akad Musaqah berakhir apabila:
1)      Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis.
2)      Salah satu pihak meninggal dunia.
3)      Dan uzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.
Uzur yang mereka maksudkan dalam hal ini di antaranya adalah petani penggarap itu terkenal sebagai seorang pencuri hasil tanaman dan petani penggarap sakit yang tidak memungkinkan dia untuk bekerja. Jika petani yang wafat, maka ahli warisnya boleh melanjutkan akad itu jika tanaman itu belum dipanen, sedangkan jika pemilik perkebunan yang wafat, maka pekerjaan petani harus dilanjutkan. Jika kedua boleh pihak yang berakad meninggal dunia, kedua belah pihak ahli waris boleh memilih antara meneruskan akad atau menghentikannya.

      B.     Ijarah Pengertian Landasan Hukum Ijarah, dan Fatwa DSN-MUI[4]

1.      Pengertian Ijarah
Menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunah, al Ijarah berasal dari kata al-ajru (upah) yang berarti al-iwadh (ganti/kompensasi). Menurut pengertian syara’ Ijarah berarti akad pemindahan hak guna dari barang atau jasa yang diikuti dengan pembayaran upah atau biaya sewa tanpa disertai dengan perpindahan hak milik.
Ulama hanafiyah berpendapat Ijarah adalah akad atau suatu kemanfaatan dengan pengganti. Sedangkan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa Ijarah adalah akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu. Adapun ulama Malikiyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa Ijarah adalah menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.
Menurut fatwa DSN MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Ijarah, Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Dengan demikian akad Ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan pada penyewa.
Definisi fiqh Al-Ijarah disebut pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik pengertian bahwa Ijarah adalah suatu jenis perikatan atau perjanjian yang bertujuan mengambil manfaat suatu benda yang diterima dari orang lain dengan jalan membayar upah sesuai dengan perjanjian dan kerelaan kedua belah pihak dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan.
Dengan demikian Ijarah itu adalah suatu bentuk muamalah yang melibatkan dua belah pihak, yaitu penyewa sebagai orang yang memberikan barang yang dapat dimanfaatkan kepada si penyewa untuk diambil manfaatnya dengan penggantian atau tukaran yang telah ditentukan oleh syara’ tanpa diakhiri dengan kepemilikan.
Ada dua jenis Ijarah dalam hukum  islam :
a.       Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa.
b.      Ijarah yang berhubungan dengan sewa asset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari asset tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa.
2.      Landasan Hukum Ijarah
Dasar hukum atau landasan hukum Ijarah adalah Al-Qur’an, Al-Hadits, dan Ijma’. Dasar hukum Ijarah dari Al-Qur’an adalah Surat At-Thalaq: 6 dan Al-Qashash: 26.
a.       Al-Qur’an

1)    
At-Thalaq: 6

Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusui (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS. Ath-Thalaq: 6)

Al-Qashash: 26

Artinya: “salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang  kamu  ambil  untuk  bekerja  (pada  kita)  ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." (QS. Qashash: 26).

b.     
Al-Hadits
                                    c.       Ijma’[5]
Mengenai disyari’atkannya Ijarah, semua Ulama bersepakat, tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan ijma’ ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat dalam tataran teknisnya.
Pakar-pakar keilmuan dan cendekiawan sepanjang sejarah di seluruh negeri telah sepakat akan legitimasi Ijarah. Dari beberapa nash yang ada, kiranya dapat dipahami bahwa Ijarah itu disyari'atkan dalam Islam, karena pada dasarnya manusia senantiasa terbentur pada keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu, manusia antara yang satu dengan yang lain selalu terikat dan saling membutuhkan.
Ijarah (sewa menyewa) merupakan salah satu aplikasi keterbatasan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Bila dilihat uraian diatas, rasanya mustahil manusia bisa berkecukupan hidup tanpa berIjarah dengan manusia. Oleh karena itu boleh dikatakan bahwa pada dasarnya Ijarah itu adalah salah satu bentuk aktivitas antara dua pihak atau saling meringankan, serta termasuk salah satu bentuk tolong menolong yang diajarkan agama.

3. Fatwa DSN-MUI Tentang Pembiayaan Ijarah[6]
Ketentuan objek Ijarah dan kewajiban Lembaga Keuangan Syariah dan nasabah dalam pembiayaan Ijarah di dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 9/DSN-MUI/2000, tentang pembiayaan Ijarah, yaitu :
Pertama: Rukun dan Syarat Ijarah :
a.       Sighat Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad (berkontrak), baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
b.      Pihak-pihak yang berakad: terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan penyewa/pengguna jasa.
c.       Objek akad Ijarah yaitu :
1)      Manfaat barang dan sewa, atau
2)      Manfaat jasa atau upah
Kedua: Ketentuan Objek Ijarah :
a.       Objek Ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa.
b.      Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
c.       Manfaat barang atau jasa harus bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
d.      Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.
e.       Manfaat barang atau jasa harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidakjelasan) yang akan mengakibatkan sengketa.
f.       Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
g.      Sewa atau upah harus disepakati dalam akad dan wajib dibayar oleh penyewa/pengguna jasa kepada pemberi sewa/pemberi jasa (LKS) sebagai pembayaran manfaat atau jasa. Sesuatu yang dapat dijadikan harga (tsaman) dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam Ijarah.
h.      Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan objek kontrak.
i.        Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
Ketiga: Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah
1)      Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa :
1)      Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan.
2)      Menanggung biaya pemeliharaan barang.
3)      Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
2)      Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa :
1)      Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai akad (kontrak).
2)      Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).
3)      ika barang yang dirusak. Bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
Keempat: jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
BAB IV
PENUTUP
     A.     Kesimpulan
1.      Musaqah
Dari penjelasan musaqah yang ada dalam makalah ini, musaqah sebenarnya kerja sama perkebunan yang dianjurkan Islam dan dipraktekkan oleh Nabi saw. Sebagian ulama sudah sepakat atas kebolehan musaqah dengan ketentuan ketentuan yang sudah diatur secara rinci. Hal ini karena pendapat ini selain sudah mempunyai daar hukum yang kuat namun juga lebih relevan untuk diterapkan di zaman modern seperti sekarang ini, baik di lembaga pemerintahan maupun dalam lingkup masyarakat
2.      Ijarah
Menurut etimologi, ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfa’at). Al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-‘iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah. Sedangkan menurut istilah, ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti sewa-menyewa dan upah-mengupah.
3.      Dasar-dasar hukum atau rujukan iajarah adalah al-qur’an, al-sunnah dan al-ijma’.
Menurut Hanafiyah rukun ijarah hanya satu yaitu ijab dan qabul dari dua belah pihak yang bertransaksi. Adapun menurut jumhur ulama iajarah ada empat yaitu:
a.       Dua orang yang berakad
b.      Sighat (ijab dan qabul)
c.       Sewa atau imbalan
d.      Manfaat
Adapun syarat-syarat ijarah sebagimana yang ditulis Nasrun Haroen sebagai berikut:
a.       Yang terkait dengan dua orang yang berakad. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabalah disyaratkan ytelah balig dan berakal.
b.      Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya melakukan akad al-ijarah
c.        Manfaat yang menjadi objek ijarah harus dikatahui, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari
d.      Objek ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya
e.       Objek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’
f.       Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa
g.      Objek ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan
h.      Upah atau sewa dalam ijarah harus jelas.
Para ulama berbeda sudut pandang dalam hal upah atau imbalan terhadap pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya ibadah atau perwujudan ketaatan kepada Allah.
Menurut Sayyid sabiq, penyewa dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan tersebut pada orang lain, dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad awal.
Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Menurut Sayyid sabiq, ijarah akan menjadi batal dan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
a.       Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika ditangan penyewa
b.      Rusaknya barang yang disewakan
c.       Rusaknya barang yang diupahkan
d.      Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan
e.       Menurut Hanafi salah satu pihak dari yang berakad boleh membatalkanijarah jika ada kejadian-kejafian yang luar biasa.
f.       Menurut Sayyid Sabiq jika akad ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang 


[1] http://digilib.uinsby.ac.id/920/5/Bab%202.pdf (diakses pada 27 Maret, pukul 21.43 WIB)

[2] http://digilib.uinsby.ac.id/920/5/Bab%202.pdf (diakses pada 27 Maret, pukul 21.46 WIB)

[3] http://digilib.uinsby.ac.id/920/5/Bab%202.pdf (diakses pada 27 Maret, pukul 21.47 WIB)
[4] http://repository.radenintan.ac.id/1280/4/BAB_II.pdf (diakses pada 27 Maret, pukul 21.50 WIB)
[5] http://repository.radenintan.ac.id/1280/4/BAB_II.pdf (diakses pada 27 Maret, pukul 21.50 WIB)
[6] http://repository.radenintan.ac.id/1280/4/BAB_II.pdf (diakses pada 27 Maret, pukul 21.50 WIB)

No comments:

Post a Comment