MAKALAH PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
A.
PENDAHULUAN
Pancasila adalah dasar dari falsafah Negara Indonesia, sebagaimana
tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, setiap warga Negara
Indonesia wajib untuk mempelajari, menghayati, mendalami dan menerapkan
nilai-nilai pancasila dalam setiap bidang kehidupan.
Dalam kehidupan bangsa Indonesia, diakui bahwa nilai-nilai
pancasila adalah falsafah hidup atau pandangan yang berkembang dalam
sosial-budaya Indonesia. Nilai pancasila dianggap nilai dasar dan puncak atau
sari dari budaya bangsa. Oleh karena itu, nilai ini diyakini sebagai jiwa dan
kepribadian bangsa. Dengan mendasarnya nilai ini dalam menjiwai dan memberikan
indentitas, maka pengakuan atas kedudukan pancasila sebagai falsafah adalah
wajar.
Pancasila sebagai ajaran falsafah, pancasila mencerminkan
nilai-nilaidan pandangan mendasar dan hakiki rakyat Indonesia dalam hubungannya
dengan sumber kesemestaan, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Asas Ketuhanan Yang Maha
Esa sebagai asas fundamental dalam kesemestaan, dijadikan pula asas fundamental
kenegaraan. Asas fundamental dalam kesemestaan itu mencerminkan identitas atau
kepribadian bangsa Indonesia yang religious.
Pancasila sebagai system filsafat adalah merupakan kenyataan
pancasila sebagai kenyataan yang obyektif, yaitu bahwa kenyataan itu ada pada
pancasila sendiri terlepas dari sesuatu yang lain atau terlepas dari
pengetahuan orang. Kenyataan obyekrif yang ada dan terletak pada pancasila,
sehingga pancasila sebagai suatu system filsafat bersifat khas dan berbeda
dalam system-sistem filsafat yang lain. Hal ini secara ilmiah disebut sebagai
filsafat secara obyektif. Dan untuk mendapatkan makna yang lebih mendalam dan
mendasar, kita perlu mengkaji nilai-nilai pancasila dari kajian filsafat secara
menyeluruh
B.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Filsafat
Secara etimologis
istilah filsafat berasal dari bahasa yunani “philein”yang artinya cinta dan “sophos”
yang artinya hikmah atau kebijaksanaan (Nasution 1973). Jadi secara harfiah
istilah filsafat mengandung makna cinta kebijaksanaan. Dan nampaknya hal ini
sesuai dengan sejarah timbulnya ilmu pengetahuan, yang sebelumnya dibawah
naungan filsafat. Namun demikian jilau kita membahas pengertian dilsafat dalam
hubungannya dengan lingkup bahasannya maka mencakup banyak bidang Bahasa antara
lain tentang manusia, alam, pengetahuan, etika, logika, dan lain sebagainya.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka muncul pula filsafat politik,
social, hukum, Bahasa, ilmu pengetahuan, agama, dan bidang-bidang ilmu lainnya.[1]
Filsafat
memiliki bidang pembahasan yang sangat luas yaitu segala sesuatu baik yang
bersifat kongkrit maupun yang bersifat abstrak, maka untuk mengetahui lingkup
pengertian filsafat terlebih dulu perlu memahami pobjek material dan formal
ilmu filsafat.[2]
Objek Material
Filsafat yaitu objek pembahasan filsafat yang meliputi
seluruh sesuatu bail yang bersifat material seperti alam, benda, manusia,
binatang, dan lain sebagainya. Maupun yang bersifat abstrak misalnya nilai,
ide-ide, ideology, moral, pandangan hidup dan lain sebagainya.
Objek Formal
Filsafat, yaitu cara memandang seorang peneliti
trhadap objek material tersebut.
Keseluruhan
arti filsafat yang meliputi berbagai masalah tersebut dapat dikelompokkan
menajdi dua macam yaitu:
Pertama:
filsafat sebagai produk yang mencakup pengertian
1. Filsafat sebagai jenis pengetahuan,
ilmu, konsep, pemikiran-pemikiran dari pada filsuf pada zaman dahulu yang
lazimnya merupakan suatu aliran atau sistem filsafat tertentu misalnya
rasionalisme, materialism, pragmatism, dan lain sebagainya
2. Filsafat sebagai suatu jenis problema
yang dihadapi oleh manusia sebagai hsil dari aktivitas berfilsafat. Jadi
manusia mencari sesuatu kebenaran yang timbul dari persoalam yang bersumber
pada akal manusi.
Kedua:
filsafat
sebagai suatu proses yang dalam hal ini folsafat diartikan dalam bentuk suatu
aktivitas berfilsafat, dalam proses pemechan suatu permasalahan dengan
menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang sesuai dengan objeknya. Dalam pengertian ini filsafat merupakan suatu
sistem pengetahuan yang bersifat dinamis. Filsafat dalam pengertian itu tidak
lagi hanya merupakan suatu kumulan dogma yang hanya diyakini dan ditekuni dan
dipahami sebgai suatu nilai tertentu tetati lebih merupakan sutu aktivitas
berfilsafat, suatu proses yang dinamis dengan menggunakan suatu metode
tersendiri.[3]
2.
Cabang-cabang filsafat
Sebagaimana
ilmu lainnya filsafat memiliki cabang cabang yang berkembang sesuai dengan
persoalan filsafat yang dikemukakannya. Filsafat itu timbul karena adanya
persoalan yang dihadapi manusia,
kemudian diupayakan pemecahannya oleh para filsuf secara sistematis dan
rasional. Maka muncullah cabang cabang filsafat tersebut dan berkembang sesuai
dengan pemikiran dan problema yang dihadapi oleh maunisa.
Cabang
cabang filsafat yang tradisional terdiri atas empat yaitu logika, metafisika,
epistemology dan etika (lihat Titus, 1984:17), namun demikian berangsur angsur
berkembang sejalan dengan persoalan yang dihadapi oleh\ manusia. Maka untuk
mempermudah pemahaman kita perlu diutarakan cabang cabang filsfat yang pokok.
1. Metafisika
Yang
membahasa tentang hal hal yang bereksistensi dibalik fisis yang meliputi bidang
bidang ontology, kosmologi dan antropologi
2. Epistemology
Yang
berkaitan dengan persoalan hakikat pengetahuan.
3. Metodologi
Yang
berkaitan dengan persoalan filsafat berpikir, yaitu rumus rumus dan dalil dalil
berpikir yang benar
4. Etika
Yang
berkaitan dengan moralitas, tingkah laku manusia
5. Estetika
Yang
berkaitan dengan persoalan hakikat keindahan[4]
3. Susunan Kesatuan Sila-Sila Pancasila
Yang Bersifat Organis
Maksudnya bahwa sila-sila Pancasila pada
hakikatnya merupakan dasar filsafat negara Indonesia yang terdiri atas lima
sila yang masingmasing merupakan suatu asas peradaban. Namun demikian sila-sila
Pancasila itu merupakan suatu kesatuan dan keutuhan atau merupakan unsur yang
mutlak dari Pancasila. Sehingga dengan demikian sila-sila Pancasila itu
merupakan suatu kesatuan yang majemuk
tunggal Dengan konsekuensi setiap sila Pancasila ia tidak dapat berdiri
sendirisendiri yang terlepas dari sila-sila lainnya, serta diantara sila-sila
tersebut tidak boleh terjadi pertentangan.[5]
Kesatuan dari sila-sila Pancasila yang
bersifat organis tersebut pada hakikatnya secara filosofis bersumber pada
hakikat dasar ontologis manusia sebagai pendukung dari inti, isi dari sila-sila
Pancasila yaitu hakikatnya manusia adalah monopluralis , yang memiliki unsurunsur:
•
Susunan kodrat yaitu jasmani dan rohani;
•
Sifat kodrat yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial;
•
Kedudukan kodrat yaitu sebagai pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan, yang
kesemua unsur tersebut bersifat organis dan harmonis, serta mempunyai fungsi
masing-masing namun saling berhubungan. Dan oleh karena sila-sila Pancasila
tersebut merupakan pejelmaan dari hakikat manusia yang MONOPLURALIS yang
merupakan kesatuan organis, maka sila-sila Pancasil juga merupakan kesatuan yang
bersifat oraganis pula.
4. Susunan Pancasila yang Bersifat
Hierarkhis dan Berbentuk Piramidal
Maksudnya bahwa susunan sila-sila Pancasila
tersebut menggambarkan hubungan yang hierarkhis dalam urut-urutan yang luas (kwantitas)
dan juga dalam hal kwalitasnya (isinya). Maka jika dilihat dari intinya,
urut-urutan dari lima sila tersebut menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam
luasnya dan isi sifatnya, yang merupakan pengkhususan dari sila-sila dimukanya.
Sehingga dengan demikian maka kelima sila Pancasila tersebut, mempunyai
hubungan yang mengikat antara yang satu dengan yang lainnya, dan merupakan kesatuan
yang bulat. Susunan Pancasila yang bersifat khierarkhis dan piramidal ini, maka
berarti bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi basis dari
sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, sila Persatuan Indonesia, sila
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,
Serta sila Keadilan Ssosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dan sebaliknya berarti
bahwa Ketuhanan yang Mahas Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan, yang
berparsatuan, yang berkerakyatan dan berkeadilan soaial. Sehingga di dalam setiap
sila terkandung sila-sila lainnya.
Menurut
Natonagoro (1975 : 50) bahwa negara berdasarkan Pancasila, maka segala sesuatu
yang berkaitan dengan sifat dan hakikat negara, haruslah sesuai dengan hakikat
dari landasan Pancasila itu sendiri.[6]
Hal tersebut berarti
sila
pertama Ketuhanan, berarti sifat dan
keadaan negara harus sesuai dengan Tuhan.
Sila ke dua
Kemanusiaan, berarti sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan
hakikat manusia,
sila ke tiga Persatuan,
berarti sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan hakekat satu,
sila keempat Kerakyatan
berarti sifatsifat dan keadaan negara harus sesuai dengan hakikat rakyat, dan
sila ke
lima Keadilan, berarti sifat-sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan
hakikat adil. Kesesuaian yang dimaksud adalah kesesuaian antara hakikat
nilai-nilai dari sila-sila Pancasila dengan kondisi negara.
5. Rumusan Hubungan Kesatuan Sila-Sila Pancasila
yang Saling Mengisi dan Saling Mengkualifikasi.
Kesatuan sila-sila Pancasila yang
“Majemuk Tunggal”, “Hierarkhis” “Piramidal”, memiliki sifat yang saling mengisi
dan saling mengkualifikasi. Maksudnya bahwa dalam setiap sila Pancasila terkandung
nilai dari keempat sila lainnya. Atau dalam setiap sila senantiasa
dikualifikasi oleh keempat sila lainnya. Hal tersebut dapat djelaskan sebagai
berikut :[7]
1.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, berarti dia harus
ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Parsatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta
ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.
Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab;
berarti dia ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Parsatuan Indonesia,
ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan/ perwakilan,
dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3.
Sila Persatuan Indonesia; adalah ber-Ketuhanan
YME, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan dan Berkeadilan sosial
bagi seleuruh rakyat Indonesia.
4.
Sila Kerakyatan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan; adalah ber-Ketuhanan YME, Berkemanusiaan
yang adil dan beradab, Berparsatuan Indonesia dan Berkeadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
5.
Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
adlah ber- Ketuhanan YME, berkemanusiaan yang adil dan beradab, Berparsatuan
Indonesia, dan Berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyaratan/perwakilan. (Notonagoro, 1975: 43-44).
6. Kesatuan Sila-Sila Pancasila Sebagai
Suatu Sistem Filsafat
Kesatuan dari sila-sila Pancasila pada
hakikatnya bukanlah hanya bersifat formal logis saja, namun dia juga meliputi
kesatuan ontologis, dasar epistemologis, dan dasar aksiologis dari sila-sila
Pancasila tersebut.Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa kesatuan sila-sila Pancasila
adalah bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal, hal tersebeut
memnggambarkan bahwa hubungan hirarkhi sila-sila Pancasila dalam urut-urutan
yang luas (kuantitas). Dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila
itu dalam arti formal dan logis. Selain kesatuan sila-sila Pancasila itu
hirarkhis dalam hal kuantitas juga dalam isi sifatnya yaitu menyangkut makna
serta hakikat silasila Pancasila.[8]
Kesatuan
yang demikian meliputi kesatuan dalam hal dasar ontologis, dasar epistemologis
serta dasar aksiologis dari silasila Pancasila. (Natonogoro, 1984: 61, dan
1975: 52-57). Dengan demikian secara filosofis pancasila itu sebagai suatu
kesatuan sistem filsafat memiliki “dasar ontologis, dasar epistemologis, dan
dasar aksiologis sendiri”, yang berbeda dengan sistem filsafat lainnya, seperti
falsafat materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealism dan
faham-faham filsafat lainnya yang ada di atas dunia.
a. Dasar Antropologis Sila-sila
Pancasila
Pancasila yang terdiri atas lima sila setiap
silanya bukanlah merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, tapi merupakan
satu kesatuan dasar ontologis. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah
manusia yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, dan oleh karenanya
hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis.
Karena subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila adalah manusia, hal tersbut
dapat dijelaskan sebagai berikut : “Bahwa yang berketuhanan Yang Maha Esa
adalah manusia, demikian pula yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berparsatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan juga manusia, serta yang berkeadilan sosial pada
hakikatnya adalah semuanya manusia”(Notonagoro, 1975:23)
Demikian pula bila dilihat dari segi filsafat
negara bahwa Pancasila adalah dasar filsafat negara. Maka karena pendukung
pokok negara adalah rakyat, pada hal unsur rakyat itu adalah manusia, maka
tepatlahbila dikatakan bahwa hakikat dasar antropologis dari sila-sila
Pancasilaadalah manusia itu sendiri. Berikutnya bahwa manusia sebagai pendukung
pokok-pokok silasila Pancasila, secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak,
yang terdiri atas susunan koderat raga dan jiwa jasmani dan rohani. Sifat kodrat
manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, serta kedudukan
kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk
Tuhan Yang Mesa. Oleh karena kedudukan koderat manusia sebagai makhluk pribadi
dan sebagai makhluk Tuhan inilah maka secara hirarkhis sila pertama Ktuhanan
Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila Pancasila lainnya.
(Natonagoro, 1975: 53).[9]
b. Dasar Epistemologis Sila-Sila
Pancasila
Sebagai suatu sistem filsafat Pancasila
pada hakikatnya juga merupakan sistem pengetahuan. Sehingga Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari dia menjadi pedoman dan dasar bagi bangsa Indonesia, baik
dalam memandang ralitas alam semesta, manusia, bangsa, dan negara tentang makna
hidup, maupun dalam menyelesaikan masalah dalam hidup dan kehidupan. Pada
hakikatnya dasar Epistemologi Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan dasar
ontologisnya. Sebagai ideologi Pancasila bersumber pada nilai-nilai dasar dari
pancasila itu sendiri. Oleh karena itu maka dasar epistemologi Pancasila tidak
dapat dipisahkan dengan konsep dasar tentang hakikat manusia. Maka kalau
manusia merupakan basis ontologi dari Pancasila, maka sebagai implikasinya terhadap
bangunan epistemologi, adalah bangunan epistemologi yang
ditempatkan
dalam bangunan filsafat manusia (Pranarka, 1996: 32).[10]
Ada tiga persoalan mendasar yang
berhubungan epistemologi: Pertama tentang sumber pengetahuan manusia. Kedua
tentang teori kebenaran mansuia. Dan Ketiga tentang watak dari
pengetahuan manusia (Titus, 1984: 20).
Sementara
persoalan epistemologi dalam hubungannya dengan Pancasila adalah sebagai
berikut: Bahwa Pancasila sebagai suatu objek pengetahuan pada hakikatnya menjadi
“sumber pengetahuan Pancasila” dan “susunan pengetahuan Pancila”. Tentang sumber
pengetahuan Pancasila dia merupakaan nilai-nilai yang ada pada bangsa
Indonesia sendiri, dia bukan bersumber dari bangsa lain. Dia bukanlah hasil
perenungan/pemikiran dari beberapa orang semata, tapi dia merupakan hasil
rumusan olehwakil-wakil bangsa Indonesia dalam mendirikan negara Indonesia. Sehingga
bangsa Indonesia menjadi kausa materialis dari Pancasila.
Kemudian
karena sumber pengetahuan Pancasila itu adalah bangsa Indonesia sendiri yang
memiliki nilai-nilai adat istiadat serta kebudayaan dan nilai-nilai religius,
maka diantara bangsa Indonesia
sebagai
pendukung sila-sila Pancasila dengan Pancasila sendirisebagai suatu sistem
pengetahuan memiliki kesesuaian yang bersifat korespondensi.
Selanjutnya tentang susunan Pancasila
sebagai suatu sistem pengetahuan, karena Pancasila memiliki susunan yang bersifat
formal logis, baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya, baik dalam
arti susunan dari sila-silanya, maupun dari isi arti dari sila-sila Pancasila
yang bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal. Kemudian ada tiga yang
berkaitaan dengan isi arti Pancasila, yaitu:
Pertama:
Isi arti sila-sila Pancasila yang
bersifat umum dan universal. Ini merupakan intisari atau esinsi dari Pancasila,
sehingga menjadi pangkal tolak derivasi baik dalam pelaksanaan dibidang
kenegaraan dan tertib hukum Indonesia, serta dalam praksis dalam berbagai bidang
kehidupan sehari-hari.
Kedua:
Isi arti Pancasila yang umum dan
kolektif. Maksudnya isi arti Pancasila adalah merupakan pedoman kolektif negara
dan bangsa Indonesia terutama dalam tertib hukum Indonesia.
Ketiga:
Isi arti Pancasila yang bersifat khusus
dan konkrit. Maksudnya bahwa isi arti Pancasila dalam realisasi praksis dalam berbagai
bidang kehidupan. Sehingga memiliki sifat yang khusus, konkrit dan dinamis.
(Notonagoro, 1975: 16-40).
c. Dasar Aksiologis Sila-Sila
Pncasila
Sila-sila dalam Pancasila sebagai suatu
sistem filsafat dia memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, sehingga
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan
suatu kesatuan. Berkaitan dengan aksiologis (teori tentang nilai) ini dia
sangat dipengaruhi oleh titik tolak dan sudut pandang dalam menentukan pengertian
nilai dan hierarkhinya. Misalnya, bagi kaum materialis memandang hakikat nilai
yang tertinggi adalah nilai material. Kaum Hidonis berpandangan bahwa nilai tertinggi
adalah berupa kenikmatan dan kebahagiaan. Namun pada hakikatnya segala sesuatu
itu bernilai, tergantung nilai macam apa saja yang ada serta bagaimana hubungan
niali tersebut dengan manusia. Berkaitan dengan nilai ini Max. Sscheler
menggolongkan nilai(tinggi rendahnya suatu nilai) itu kepada empat golongan:[11]
- Nilai-nilai kenikmatan.
Nilai ini erat kaitannya dengan indera manusia. Sehingga sesuatu itu bernilai
(tinggi nilainya) mana kala ia menyenangkan, dan sesuatu itu tidak bernilai
(rendah nilainya) manakala tidak menyenangkan, terutama bila dikaitkan dengan indera
manusia.(Die Werireidhe des Anggenehmen und
Unangehmen).
Yang menyebabkan manusia senang atau menderita.
- Nilai-nilai Kehidupan.
Dalam tingkatan ini terdapat beberapa nilai yang penting bagi kehidupan manusia
(Werte des vitalen Fuhlens). Musalnya nilai kesegaran jasmani,
kesehatan, serta kesejahteraan umum.
- Nilai-nilai Kejiwaan:
Nilai yang terdapat dalam tingkatan ini ada milai –nilai kejiwaan (geistige
werte) yang sama sekali tidak tergantung kepada keadaan jasmani atau
lingkungan. Misalnya nilai keindahan, kebenaran, serta pengetahuan murni yang
dicapai melalui filsafat.
- Nilai-Nilai
Kerokhanian: Nilai yang terdapat dalam tingkatan ini antara laain adalah
modalitas nilai dari yang suci (Wer Modalitat der Hielgen und
Unbeilingen). Misalnya nilai-nilai pribadi. (Driyarkara, 1978).
Sementara
Notonagoro membedakan tingkatan nilai menjadi tiga macam, yaitu:
a.
Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia.
b.
Nilai Vital: yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan
suatu aktifitas atau kegiatan.
c.
Nilai-nilai Kerokhanian. Yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia,
yang dapat dibagi dalam empat macam tingkatan berikut,
Petama: Nilai kebenaran, yaitu nilai
yang bersumber pada akal, rasio, budi atau cipta manusia.
Kedua:
Nilai keindahan atau estetis. Yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia.
Ketiga:
adalah nilai kebaikan atau nilai moral. Yaitu nilai yang bersumber pada unsur
kehendak (will, wollen, karsa) manusia.
keempat:
nilai religius. Yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat
mutlak. Karena nilai nilai religius ini berhubungan dengan kepercayaan dan
keyakinan manusia dan nilai religius ini bersumber pada wahyu yang berasal dari
Tuhan Yang Maha Esa.[12]
Menurut
Notonagoro, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila itu adalah termasuk dalam
nilai kerokhanian, tetapi nilai kerokhanian yang mengakui nilai material dan
nilai vital. Sehingga dengan demikian nilainilai Pancasila yang mengandung
nilai kerokhanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan
harmonis. Yaitu nilai material, nilai vital dan nilai kebenaran serta nilai
keindahan (estetis), nilai kebaikan, nilai moral, maupun nilai kesucian yang
secarakeseluruhan bersifat sistemayik;hierarkhis. Artinya sila pertamapertama
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai basisnya sampaidengan sila Keadilan Sosial
sebagai tujuannya. (Darmodihardjo, 1978).
7. Nilai-Nilai Pancasila sebagai
suatu Sistem
Nilai-Nilai yang terkandung dalam sila
satu sampai dengan sila kelima adalah merupakan cita-cita, merupakan harapan dan
dambaan bangsa Indonesia yang akan diwujudkan dalam kehidupannya. Sejak dahulu
cita-cita tersebut telah didambakan agar terwujud dalammasyarakat dengan
ungkapan masyarakat yang gemah ripah loh jinawi, tata
tenteram karta raharja, dengan penuh harapan terealisasi dalam segenap
tingkah laku dan perbuatan bagi setiap manusia Indonesia. Selanjutnya bahwa
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu mempunyai tingkatan baik kuantitas
maupun kwalitasnya. Namun nilai-nilai tersebut merupakan suatu kesatuan yang
saling berhubungan serta saling melengkapi, serta tidak dapat dipisahkan dari
yang satu dengan yang lainnya. Sehingga nilai Pancasila itu merupakan nilai
yang integral dari suatu sistem nilai yang dimiliki bangsa Indonesia. Demikian
pula nilai-nilai Pancasila merupakan suatu sistem nilai, ia dapat dilacak dari
sila-sila Pancasila yang merupakan suatu sistem. Sila-sila itu merupakan suatu
kesatuan organik, karena antara sila yang satu dengan yang lainnya dalam
Pancasila itu saling mengklafikasi saling berkaitan dan berhubungan secara
erat. Nili-nilai yang terkandung dalam Pancasila termasuk nilai kerokhanian
yang tertinggi, kemudian nilai-nilai tersebut mempunyai urutan yang sesuai
dengan tingkatannya masing-masing, yaitu sebagai berikut:[13]
Nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah merupakan nilai yang tertinggi, krena nilai ke
Tuhanan adalah bersifat mutlak. Baru kemudian nilai kemanusiaan.
Nilai
kemanusiaan, adalah sebagai pengkhususan nilai ke Tuhanan, karena manusia
adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Nilai
Ketuhanan dan Nilai Kemanusiaan bila dilihat dari tingkatannya adalah lebih
tinggi dari pada nilai-nilai kenegaraan yang terkandung dalam sila ke tiga lainnya,
yaitu sila Persatuan, sila Kerakyatan dan sila Keadilan, karena ketiga nilai
tersebut berkaitan dengan kehidupan kenegaraan. Hal tersebut sebagaimana
dijelaskan dalam pokok-pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945, bahwa “ negara
adalah bedasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa berasarkan Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab”. Adapun nilai-nilai kenegaraan yang terkandung dalam ke tiga sila tersebut
berturut-turut memiliki tingkatan sebagai berikut:
•
Nilai persatuan dipandang memiliki tingkatan yang lebih tinggi daripada nilai
kerakyatan dan nilai keadilan sosial, karena persatuan adalah merupakan syarat
mutlak adanya rakyat dan terwujudnya rasa keadilan.
•
Sedangkan nilai kerakyatan yang didasari oleh nilai Ketuhanan, nilai
Kemanusiaan dan nilai Persatuan lebih tinggi dan mendasari nilai dari keadilan
sosial, karena Kerakyatan adalah sarana terwujudnya suatu Keadilan sosial,
•
Sementara nilai yang terakhir adalah nilai Keadilan sosial, yang merupakan
tujuan akhir dari keempat sila lainnya. Suatu hal yang perlu diperhatikan, yaitu
meskipun nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila berbeda-beda,
dan memiliki
timgkatan
yang berbeda-beda pula, namun secara keseluruhan nilai tersebut merupakan suatu
kesatuan, dan tidak saling bertentangan. Dan oleh sebab itu perlu direalisasikan
dalam kehidupan sehari-hari[14]
8. Menggali Sumber Historis,
Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat
1. Sumber Historis Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Pada 12 Agustus 1928, Soekarno pernah menulis di Suluh
Indonesia yang menyebutkan bahwa nasionalisme adalah nasionalisme yang
membuat manusia menjadi perkakasnya Tuhan dan membuat manusia hidup dalam roh (Yudi
Latif, 2011: 68). Pembahasan sila-sila Pancasila sebagai sistem filsafat dapat
ditelusuri dalam sejarah masyarakat Indonesia sebagai berikut. (Lihat Negara
Paripurna, Yudi Latif).
a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Sejak zaman purbakala hingga pintu gerbang kemerdekaan negara
Indonesia, masyarakat Nusantara telah melewati ribuan tahun pengaruh
agama-agama lokal, yaitu sekitar 14 abad pengaruh Hindu dan Buddha, 7 abad
pengaruh Islam, dan 4 abad pengaruh Kristen. Tuhan telah menyejarah dalam ruang
publik Nusantara. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih berlangsungnya sistem
penyembahan dari berbagai kepercayaan dalam agama-agama yang hidup di
Indonesia. Pada semua sistem religi-politik tradisional di muka bumi, termasuk
di Indonesia, agama memiliki peranan sentral dalam pendefinisian institusi-institusi
sosial (Yudi-Latif, 2011: 57--59).
b. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat Indonesia dilahirkan dari
perpaduan pengalaman bangsa Indonesia dalam menyejarah. Bangsa Indonesia sejak
dahulu dikenal sebagai bangsa maritim telah menjelajah keberbagai penjuru
Nusantara, bahkan dunia. Hasil pengembaraan itu membentuk karakter bangsa
Indonesia yang kemudian oleh Soekarno disebut dengan
istilah Internasionalisme atau Perikemanusiaan. Kemanjuran konsepsi internasionalisme
yang berwawasan kemanusiaan yang adil dan beradab menemukan ruang pembuktiannya
segera setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Berdasarkan rekam jejak perjalanan
bangsa Indonesia, tampak jelas bahwa sila kemanusiaan yang adil dan beradab
memiliki akar yang kuat dalam historisitas kebangsaan Indonesia. Kemerdekan
Indonesia menghadirkan suatu bangsa yang memiliki wawasan global dengan
kearifan lokal, memiliki komitmen pada penertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, 158 perdamaian, [15]dan
keadilan sosial serta pada pemuliaan hak-hak asasi manusia dalam suasana
kekeluargaan kebangsan Indonesia (Yudi-Latif, 2011: 201).
c. Sila Persatuan Indonesia.
Kebangsaan Indonesia merefleksikan suatu kesatuan dalam keragaman
serta kebaruan dan kesilaman. Indonesia adalah bangsa majemuk paripurna yang menakjubkan
karena kemajemukan sosial, kultural, dan teritorial dapat menyatu dalam suatu
komunitas politik kebangsaan Indonesia. Indonesia adalah sebuah bangsa besar
yang mewadahi warisan peradaban Nusantara dan kerajaan-kerajaan bahari terbesar
di muka bumi. Jika di tanah dan air yang kurang lebih sama, nenek moyang bangsa
Indonesia pernah menorehkan tinta keemasannya, maka tidak ada alasan bagi manusia
baru Indonesia untuk tidak dapat mengukir kegemilangan (Yudi-Latif, 2011:377).
d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan. Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat memang merupakan fenomena baru di
Indonesia, yang muncul sebagai ikutan formasi negara republik Indonesia
merdeka. Sejarah menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan pra-Indonesia adalah
kerajaan feodal yang dikuasai oleh raja-raja autokrat. Meskipun demikian,
nilai-nilai demokrasi dalam taraf
tertentu telah berkembang dalam budaya Nusantara, dan dipraktikkan
setidaknya dalam unit politik kecil, seperti desa di Jawa, nagari di Sumatera Barat,
banjar di Bali, dan lain sebagainya. Tan Malaka mengatakan bahwapaham
kedaulatan rakyat sebenarnya telah tumbuh di alam kebudayaan Minangkabau,
kekuasaan raja dibatasi oleh ketundukannya pada keadilan dan kepatutan.
Kemudian, Hatta menambahkan ada dua anasir tradisi demokrasidi Nusantara,
yaitu; hak untuk mengadakan protes terhadap peraturan raja yang tidak adil dan
hak untuk menyingkir dari kekuasaan raja yang tidak
disenangi (Yudi-Latif, 2011: 387--388).
e. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Masyarakat adil dan makmur adalah impian kebahagian yang telah
berkobar ratusan tahun lamanya dalam dada keyakinan bangsa Indonesia. Impiankebahagian
itu terpahat dalam ungkapan “Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja”. Demi impian
masyarakat yang adil dan makmur itu, para pejuang bangsa telah mengorbankan dirinya
untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia
dahulunya adalah bangsa yang hidup dalam keadilan dan kemakmuran, keadaan ini
kemudian dirampas oleh kolonialisme (Yudi-Latif, 2011: 493--494).[16]
C.
KESIMPULAN
Pancasila sebagai sistem filsafat sudah
dikenal sejak para pendiri negara membicarakan masalah dasar filosofis negara (Philosofische
Grondslag) dan pandangan hidup bangsa (weltanschauung). Meskipun
kedua istilah tersebut mengandung muatan filsofis, tetapi Pancasila sebagai
sistem filsafat yang mengandung pengertian lebih akademis memerlukan perenungan
lebih mendalam. Filsafat Pancasila merupakan istilah yang mengemuka dalam dunia
akademis. Ada dua pendekatan yang berkembang dalam pengertian filsafat
Pancasila, yaitu Pancasila sebagai genetivus objectivus dan Pancasila sebagai
genetivus subjectivus. Kedua pendekatan tersebut saling melengkapi karena
yang pertama meletakkan Pancasila sebagai aliran atau objek yang dikaji oleh
aliran-aliran filsafat lainnya, sedangkan yang kedua meletakkanPancasila
sebagai subjek yang mengkaji aliran-aliran filsafat lainnya.
Pentingnya Pancasila sebagai sistem filsafat ialah agar
dapat diberikan pertang gungjawaban rasional dan mendasar mengenai sila-sila
dalam Pancasila sebagai prinsip-prinsip politik; agar dapat dijabarkan lebih
lanjut sehingga menjadi operasional dalam penyelenggaraan negara; agar dapat membuka
dialog dengan berbagai perspektif baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
dan agar dapat menjadi kerangka evaluasi terhadap segala kegiatan yang
bersangkut paut dengan kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Kaelan.
2010. Pendidikan Pancasila.
Yogyakarta: Paradigma offset. Hal 56-74
Kaelan.
2016. Pendidikan Pancasila.
Yogyakarta: Paradigma Offset.hal 49-51
Paristiyanti Nurwardani.
2016. pendidikan Pancasila, Jakarta
hal 157-158
[1] Kaelan. 2010. Pendidikan
Pancasila. Yogyakarta: Paradigma offset. Hal 57
[2] Kaelan. 2016. Pendidikan
Pancasila. Yogyakarta: Paradigma Offset. Hal 49
[3] Ibid, hal. 51
[4] Ibid. Hal 57
[5] Kaelan. 2010. Halaman 58
[6] Ibid hal. 59
[7] Ibid hal 61
[8] Ibid. hal. 62
[9] Ibid hal. 63
[10] Ibid hal 67
[11] Ibid hal. 70
[12] Ibid hal. 72
[13] Ibid hal 72
[14] Ibid halaman 73
[15] Paristiyanti Nurwardani, pendidikan
Pancasila, Jakarta hal 157
[16] Ibid hal. 158
No comments:
Post a Comment