1

loading...

Sunday, January 5, 2020

MAKALAH PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT


MAKALAH PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

    A.    PENDAHULUAN
Pancasila adalah dasar dari falsafah Negara Indonesia, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, setiap warga Negara Indonesia wajib untuk mempelajari, menghayati, mendalami dan menerapkan nilai-nilai pancasila dalam setiap bidang kehidupan.
Dalam kehidupan bangsa Indonesia, diakui bahwa nilai-nilai pancasila adalah falsafah hidup atau pandangan yang berkembang dalam sosial-budaya Indonesia. Nilai pancasila dianggap nilai dasar dan puncak atau sari dari budaya bangsa. Oleh karena itu, nilai ini diyakini sebagai jiwa dan kepribadian bangsa. Dengan mendasarnya nilai ini dalam menjiwai dan memberikan indentitas, maka pengakuan atas kedudukan pancasila sebagai falsafah adalah wajar.
Pancasila sebagai ajaran falsafah, pancasila mencerminkan nilai-nilaidan pandangan mendasar dan hakiki rakyat Indonesia dalam hubungannya dengan sumber kesemestaan, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas fundamental dalam kesemestaan, dijadikan pula asas fundamental kenegaraan. Asas fundamental dalam kesemestaan itu mencerminkan identitas atau kepribadian bangsa Indonesia yang religious.
Pancasila sebagai system filsafat adalah merupakan kenyataan pancasila sebagai kenyataan yang obyektif, yaitu bahwa kenyataan itu ada pada pancasila sendiri terlepas dari sesuatu yang lain atau terlepas dari pengetahuan orang. Kenyataan obyekrif yang ada dan terletak pada pancasila, sehingga pancasila sebagai suatu system filsafat bersifat khas dan berbeda dalam system-sistem filsafat yang lain. Hal ini secara ilmiah disebut sebagai filsafat secara obyektif. Dan untuk mendapatkan makna yang lebih mendalam dan mendasar, kita perlu mengkaji nilai-nilai pancasila dari kajian filsafat secara menyeluruh

    B.     PEMBAHASAN

1.      Pengertian Filsafat
            Secara etimologis istilah filsafat berasal dari bahasa yunani “philein”yang artinya cinta dan “sophos” yang artinya hikmah atau kebijaksanaan (Nasution 1973). Jadi secara harfiah istilah filsafat mengandung makna cinta kebijaksanaan. Dan nampaknya hal ini sesuai dengan sejarah timbulnya ilmu pengetahuan, yang sebelumnya dibawah naungan filsafat. Namun demikian jilau kita membahas pengertian dilsafat dalam hubungannya dengan lingkup bahasannya maka mencakup banyak bidang Bahasa antara lain tentang manusia, alam, pengetahuan, etika, logika, dan lain sebagainya. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka muncul pula filsafat politik, social, hukum, Bahasa, ilmu pengetahuan, agama, dan bidang-bidang ilmu lainnya.[1]
            Filsafat memiliki bidang pembahasan yang sangat luas yaitu segala sesuatu baik yang bersifat kongkrit maupun yang bersifat abstrak, maka untuk mengetahui lingkup pengertian filsafat terlebih dulu perlu memahami pobjek material dan formal ilmu filsafat.[2]
Objek Material Filsafat  yaitu objek pembahasan filsafat yang meliputi seluruh sesuatu bail yang bersifat material seperti alam, benda, manusia, binatang, dan lain sebagainya. Maupun yang bersifat abstrak misalnya nilai, ide-ide, ideology, moral, pandangan hidup dan lain sebagainya.
Objek Formal Filsafat, yaitu cara memandang seorang peneliti trhadap objek material tersebut.
            Keseluruhan arti filsafat yang meliputi berbagai masalah tersebut dapat dikelompokkan menajdi dua macam yaitu:
Pertama: filsafat sebagai produk yang mencakup pengertian
      1.      Filsafat sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep, pemikiran-pemikiran dari pada filsuf pada zaman dahulu yang lazimnya merupakan suatu aliran atau sistem filsafat tertentu misalnya rasionalisme, materialism, pragmatism, dan lain sebagainya
     2.      Filsafat sebagai suatu jenis problema yang dihadapi oleh manusia sebagai hsil dari aktivitas berfilsafat. Jadi manusia mencari sesuatu kebenaran yang timbul dari persoalam yang bersumber pada akal manusi.
Kedua:  filsafat sebagai suatu proses yang dalam hal ini folsafat diartikan dalam bentuk suatu aktivitas berfilsafat, dalam proses pemechan suatu permasalahan dengan menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang sesuai dengan objeknya.  Dalam pengertian ini filsafat merupakan suatu sistem pengetahuan yang bersifat dinamis. Filsafat dalam pengertian itu tidak lagi hanya merupakan suatu kumulan dogma yang hanya diyakini dan ditekuni dan dipahami sebgai suatu nilai tertentu tetati lebih merupakan sutu aktivitas berfilsafat, suatu proses yang dinamis dengan menggunakan suatu metode tersendiri.[3]
2.      Cabang-cabang filsafat
            Sebagaimana ilmu lainnya filsafat memiliki cabang cabang yang berkembang sesuai dengan persoalan filsafat yang dikemukakannya. Filsafat itu timbul karena adanya persoalan  yang dihadapi manusia, kemudian diupayakan pemecahannya oleh para filsuf secara sistematis dan rasional. Maka muncullah cabang cabang filsafat tersebut dan berkembang sesuai dengan pemikiran dan problema yang dihadapi oleh maunisa.
            Cabang cabang filsafat yang tradisional terdiri atas empat yaitu logika, metafisika, epistemology dan etika (lihat Titus, 1984:17), namun demikian berangsur angsur berkembang sejalan dengan persoalan yang dihadapi oleh\ manusia. Maka untuk mempermudah pemahaman kita perlu diutarakan cabang cabang filsfat yang pokok.
      1.      Metafisika
Yang membahasa tentang hal hal yang bereksistensi dibalik fisis yang meliputi bidang bidang ontology, kosmologi dan antropologi
      2.      Epistemology
Yang berkaitan dengan persoalan hakikat pengetahuan.
     3.      Metodologi
Yang berkaitan dengan persoalan filsafat berpikir, yaitu rumus rumus dan dalil dalil berpikir yang benar
     4.      Etika
Yang berkaitan dengan moralitas, tingkah laku manusia
      5.      Estetika
Yang berkaitan dengan persoalan hakikat keindahan[4]

3.      Susunan Kesatuan Sila-Sila Pancasila Yang Bersifat Organis

Maksudnya bahwa sila-sila Pancasila pada hakikatnya merupakan dasar filsafat negara Indonesia yang terdiri atas lima sila yang masingmasing merupakan suatu asas peradaban. Namun demikian sila-sila Pancasila itu merupakan suatu kesatuan dan keutuhan atau merupakan unsur yang mutlak dari Pancasila. Sehingga dengan demikian sila-sila Pancasila itu merupakan suatu kesatuan yang majemuk tunggal Dengan konsekuensi setiap sila Pancasila ia tidak dapat berdiri sendirisendiri yang terlepas dari sila-sila lainnya, serta diantara sila-sila tersebut tidak boleh terjadi pertentangan.[5]
Kesatuan dari sila-sila Pancasila yang bersifat organis tersebut pada hakikatnya secara filosofis bersumber pada hakikat dasar ontologis manusia sebagai pendukung dari inti, isi dari sila-sila Pancasila yaitu hakikatnya manusia adalah monopluralis , yang memiliki unsurunsur:
• Susunan kodrat yaitu jasmani dan rohani;
• Sifat kodrat yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial;
• Kedudukan kodrat yaitu sebagai pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan, yang kesemua unsur tersebut bersifat organis dan harmonis, serta mempunyai fungsi masing-masing namun saling berhubungan. Dan oleh karena sila-sila Pancasila tersebut merupakan pejelmaan dari hakikat manusia yang MONOPLURALIS yang merupakan kesatuan organis, maka sila-sila Pancasil juga merupakan kesatuan yang bersifat oraganis pula.

4.      Susunan Pancasila yang Bersifat Hierarkhis dan Berbentuk Piramidal
Maksudnya bahwa susunan sila-sila Pancasila tersebut menggambarkan hubungan yang hierarkhis dalam urut-urutan yang luas (kwantitas) dan juga dalam hal kwalitasnya (isinya). Maka jika dilihat dari intinya, urut-urutan dari lima sila tersebut menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam luasnya dan isi sifatnya, yang merupakan pengkhususan dari sila-sila dimukanya. Sehingga dengan demikian maka kelima sila Pancasila tersebut, mempunyai hubungan yang mengikat antara yang satu dengan yang lainnya, dan merupakan kesatuan yang bulat. Susunan Pancasila yang bersifat khierarkhis dan piramidal ini, maka berarti bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi basis dari sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, sila Persatuan Indonesia, sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Serta sila Keadilan Ssosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dan sebaliknya berarti bahwa Ketuhanan yang Mahas Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan, yang berparsatuan, yang berkerakyatan dan berkeadilan soaial. Sehingga di dalam setiap sila terkandung sila-sila lainnya.
Menurut Natonagoro (1975 : 50) bahwa negara berdasarkan Pancasila, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan sifat dan hakikat negara, haruslah sesuai dengan hakikat dari landasan Pancasila itu sendiri.[6] Hal tersebut berarti
sila pertama Ketuhanan, berarti sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan Tuhan.
Sila ke dua Kemanusiaan, berarti sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan hakikat manusia,
sila ke tiga Persatuan, berarti sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan hakekat satu,
sila keempat Kerakyatan berarti sifatsifat dan keadaan negara harus sesuai dengan hakikat rakyat, dan
 sila ke lima Keadilan, berarti sifat-sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan hakikat adil. Kesesuaian yang dimaksud adalah kesesuaian antara hakikat nilai-nilai dari sila-sila Pancasila dengan kondisi negara.

5.       Rumusan Hubungan Kesatuan Sila-Sila Pancasila yang Saling Mengisi dan Saling Mengkualifikasi.
Kesatuan sila-sila Pancasila yang “Majemuk Tunggal”, “Hierarkhis” “Piramidal”, memiliki sifat yang saling mengisi dan saling mengkualifikasi. Maksudnya bahwa dalam setiap sila Pancasila terkandung nilai dari keempat sila lainnya. Atau dalam setiap sila senantiasa dikualifikasi oleh keempat sila lainnya. Hal tersebut dapat djelaskan sebagai berikut :[7]
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, berarti dia harus ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Parsatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab; berarti dia ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Parsatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan/ perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Sila Persatuan Indonesia; adalah ber-Ketuhanan YME, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan dan Berkeadilan sosial bagi seleuruh rakyat Indonesia.
4. Sila Kerakyatan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan; adalah ber-Ketuhanan YME, Berkemanusiaan yang adil dan beradab, Berparsatuan Indonesia dan Berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; adlah ber- Ketuhanan YME, berkemanusiaan yang adil dan beradab, Berparsatuan Indonesia, dan Berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan/perwakilan. (Notonagoro, 1975: 43-44).

6.      Kesatuan Sila-Sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem Filsafat
Kesatuan dari sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya bersifat formal logis saja, namun dia juga meliputi kesatuan ontologis, dasar epistemologis, dan dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila tersebut.Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal, hal tersebeut memnggambarkan bahwa hubungan hirarkhi sila-sila Pancasila dalam urut-urutan yang luas (kuantitas). Dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila itu dalam arti formal dan logis. Selain kesatuan sila-sila Pancasila itu hirarkhis dalam hal kuantitas juga dalam isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta hakikat silasila Pancasila.[8]
            Kesatuan yang demikian meliputi kesatuan dalam hal dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari silasila Pancasila. (Natonogoro, 1984: 61, dan 1975: 52-57). Dengan demikian secara filosofis pancasila itu sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki “dasar ontologis, dasar epistemologis, dan dasar aksiologis sendiri”, yang berbeda dengan sistem filsafat lainnya, seperti falsafat materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealism dan faham-faham filsafat lainnya yang ada di atas dunia.
a. Dasar Antropologis Sila-sila Pancasila
Pancasila yang terdiri atas lima sila setiap silanya bukanlah merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, tapi merupakan satu kesatuan dasar ontologis. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, dan oleh karenanya hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis. Karena subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila adalah manusia, hal tersbut dapat dijelaskan sebagai berikut : “Bahwa yang berketuhanan Yang Maha Esa adalah manusia, demikian pula yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berparsatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan juga manusia, serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah semuanya manusia(Notonagoro, 1975:23)
Demikian pula bila dilihat dari segi filsafat negara bahwa Pancasila adalah dasar filsafat negara. Maka karena pendukung pokok negara adalah rakyat, pada hal unsur rakyat itu adalah manusia, maka tepatlahbila dikatakan bahwa hakikat dasar antropologis dari sila-sila Pancasilaadalah manusia itu sendiri. Berikutnya bahwa manusia sebagai pendukung pokok-pokok silasila Pancasila, secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yang terdiri atas susunan koderat raga dan jiwa jasmani dan rohani. Sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Mesa. Oleh karena kedudukan koderat manusia sebagai makhluk pribadi dan sebagai makhluk Tuhan inilah maka secara hirarkhis sila pertama Ktuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila Pancasila lainnya. (Natonagoro, 1975: 53).[9]

b. Dasar Epistemologis Sila-Sila Pancasila
Sebagai suatu sistem filsafat Pancasila pada hakikatnya juga merupakan sistem pengetahuan. Sehingga Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dia menjadi pedoman dan dasar bagi bangsa Indonesia, baik dalam memandang ralitas alam semesta, manusia, bangsa, dan negara tentang makna hidup, maupun dalam menyelesaikan masalah dalam hidup dan kehidupan. Pada hakikatnya dasar Epistemologi Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Sebagai ideologi Pancasila bersumber pada nilai-nilai dasar dari pancasila itu sendiri. Oleh karena itu maka dasar epistemologi Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan konsep dasar tentang hakikat manusia. Maka kalau manusia merupakan basis ontologi dari Pancasila, maka sebagai implikasinya terhadap bangunan epistemologi, adalah bangunan epistemologi yang
ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia (Pranarka, 1996: 32).[10]
Ada tiga persoalan mendasar yang berhubungan epistemologi: Pertama tentang sumber pengetahuan manusia. Kedua tentang teori kebenaran mansuia. Dan Ketiga tentang watak dari pengetahuan manusia (Titus, 1984: 20).
Sementara persoalan epistemologi dalam hubungannya dengan Pancasila adalah sebagai berikut: Bahwa Pancasila sebagai suatu objek pengetahuan pada hakikatnya menjadi “sumber pengetahuan Pancasila” dan “susunan pengetahuan Pancila”. Tentang sumber pengetahuan Pancasila dia merupakaan nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri, dia bukan bersumber dari bangsa lain. Dia bukanlah hasil perenungan/pemikiran dari beberapa orang semata, tapi dia merupakan hasil rumusan olehwakil-wakil bangsa Indonesia dalam mendirikan negara Indonesia. Sehingga bangsa Indonesia menjadi kausa materialis dari Pancasila.
 Kemudian karena sumber pengetahuan Pancasila itu adalah bangsa Indonesia sendiri yang memiliki nilai-nilai adat istiadat serta kebudayaan dan nilai-nilai religius, maka diantara bangsa Indonesia
sebagai pendukung sila-sila Pancasila dengan Pancasila sendirisebagai suatu sistem pengetahuan memiliki kesesuaian yang bersifat korespondensi.
Selanjutnya tentang susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan, karena Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya, baik dalam arti susunan dari sila-silanya, maupun dari isi arti dari sila-sila Pancasila yang bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal. Kemudian ada tiga yang berkaitaan dengan isi arti Pancasila, yaitu:
Pertama: Isi arti sila-sila Pancasila yang bersifat umum dan universal. Ini merupakan intisari atau esinsi dari Pancasila, sehingga menjadi pangkal tolak derivasi baik dalam pelaksanaan dibidang kenegaraan dan tertib hukum Indonesia, serta dalam praksis dalam berbagai bidang kehidupan sehari-hari.
Kedua: Isi arti Pancasila yang umum dan kolektif. Maksudnya isi arti Pancasila adalah merupakan pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama dalam tertib hukum Indonesia.
Ketiga: Isi arti Pancasila yang bersifat khusus dan konkrit. Maksudnya bahwa isi arti Pancasila dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan. Sehingga memiliki sifat yang khusus, konkrit dan dinamis. (Notonagoro, 1975: 16-40).
c. Dasar Aksiologis Sila-Sila Pncasila
Sila-sila dalam Pancasila sebagai suatu sistem filsafat dia memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Berkaitan dengan aksiologis (teori tentang nilai) ini dia sangat dipengaruhi oleh titik tolak dan sudut pandang dalam menentukan pengertian nilai dan hierarkhinya. Misalnya, bagi kaum materialis memandang hakikat nilai yang tertinggi adalah nilai material. Kaum Hidonis berpandangan bahwa nilai tertinggi adalah berupa kenikmatan dan kebahagiaan. Namun pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, tergantung nilai macam apa saja yang ada serta bagaimana hubungan niali tersebut dengan manusia. Berkaitan dengan nilai ini Max. Sscheler menggolongkan nilai(tinggi rendahnya suatu nilai) itu kepada empat golongan:[11]
- Nilai-nilai kenikmatan. Nilai ini erat kaitannya dengan indera manusia. Sehingga sesuatu itu bernilai (tinggi nilainya) mana kala ia menyenangkan, dan sesuatu itu tidak bernilai (rendah nilainya) manakala tidak menyenangkan, terutama bila dikaitkan dengan indera manusia.(Die Werireidhe des Anggenehmen und
Unangehmen). Yang menyebabkan manusia senang atau menderita.
- Nilai-nilai Kehidupan. Dalam tingkatan ini terdapat beberapa nilai yang penting bagi kehidupan manusia (Werte des vitalen Fuhlens). Musalnya nilai kesegaran jasmani, kesehatan, serta kesejahteraan umum.
- Nilai-nilai Kejiwaan: Nilai yang terdapat dalam tingkatan ini ada milai –nilai kejiwaan (geistige werte) yang sama sekali tidak tergantung kepada keadaan jasmani atau lingkungan. Misalnya nilai keindahan, kebenaran, serta pengetahuan murni yang dicapai melalui filsafat.
- Nilai-Nilai Kerokhanian: Nilai yang terdapat dalam tingkatan ini antara laain adalah modalitas nilai dari yang suci (Wer Modalitat der Hielgen und Unbeilingen). Misalnya nilai-nilai pribadi. (Driyarkara, 1978).
Sementara Notonagoro membedakan tingkatan nilai menjadi tiga macam, yaitu:
a. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia.
b. Nilai Vital: yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan suatu aktifitas atau kegiatan.
c. Nilai-nilai Kerokhanian. Yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia, yang dapat dibagi dalam empat macam tingkatan berikut,
 Petama: Nilai kebenaran, yaitu nilai yang bersumber pada akal, rasio, budi atau cipta manusia.
Kedua: Nilai keindahan atau estetis. Yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia.
Ketiga: adalah nilai kebaikan atau nilai moral. Yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak (will, wollen, karsa) manusia.
keempat: nilai religius. Yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak. Karena nilai nilai religius ini berhubungan dengan kepercayaan dan keyakinan manusia dan nilai religius ini bersumber pada wahyu yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.[12]
 Menurut Notonagoro, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila itu adalah termasuk dalam nilai kerokhanian, tetapi nilai kerokhanian yang mengakui nilai material dan nilai vital. Sehingga dengan demikian nilainilai Pancasila yang mengandung nilai kerokhanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis. Yaitu nilai material, nilai vital dan nilai kebenaran serta nilai keindahan (estetis), nilai kebaikan, nilai moral, maupun nilai kesucian yang secarakeseluruhan bersifat sistemayik;hierarkhis. Artinya sila pertamapertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai basisnya sampaidengan sila Keadilan Sosial sebagai tujuannya. (Darmodihardjo, 1978).

7. Nilai-Nilai Pancasila sebagai suatu Sistem
Nilai-Nilai yang terkandung dalam sila satu sampai dengan sila kelima adalah merupakan cita-cita, merupakan harapan dan dambaan bangsa Indonesia yang akan diwujudkan dalam kehidupannya. Sejak dahulu cita-cita tersebut telah didambakan agar terwujud dalammasyarakat dengan ungkapan masyarakat yang gemah ripah loh jinawi, tata tenteram karta raharja, dengan penuh harapan terealisasi dalam segenap tingkah laku dan perbuatan bagi setiap manusia Indonesia. Selanjutnya bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu mempunyai tingkatan baik kuantitas maupun kwalitasnya. Namun nilai-nilai tersebut merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan serta saling melengkapi, serta tidak dapat dipisahkan dari yang satu dengan yang lainnya. Sehingga nilai Pancasila itu merupakan nilai yang integral dari suatu sistem nilai yang dimiliki bangsa Indonesia. Demikian pula nilai-nilai Pancasila merupakan suatu sistem nilai, ia dapat dilacak dari sila-sila Pancasila yang merupakan suatu sistem. Sila-sila itu merupakan suatu kesatuan organik, karena antara sila yang satu dengan yang lainnya dalam Pancasila itu saling mengklafikasi saling berkaitan dan berhubungan secara erat. Nili-nilai yang terkandung dalam Pancasila termasuk nilai kerokhanian yang tertinggi, kemudian nilai-nilai tersebut mempunyai urutan yang sesuai dengan tingkatannya masing-masing, yaitu sebagai berikut:[13]
Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa adalah merupakan nilai yang tertinggi, krena nilai ke Tuhanan adalah bersifat mutlak. Baru kemudian nilai kemanusiaan.
Nilai kemanusiaan, adalah sebagai pengkhususan nilai ke Tuhanan, karena manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Nilai Ketuhanan dan Nilai Kemanusiaan bila dilihat dari tingkatannya adalah lebih tinggi dari pada nilai-nilai kenegaraan yang terkandung dalam sila ke tiga lainnya, yaitu sila Persatuan, sila Kerakyatan dan sila Keadilan, karena ketiga nilai tersebut berkaitan dengan kehidupan kenegaraan. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam pokok-pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945, bahwa “ negara adalah bedasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa berasarkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Adapun nilai-nilai kenegaraan yang terkandung dalam ke tiga sila tersebut berturut-turut memiliki tingkatan sebagai berikut:
• Nilai persatuan dipandang memiliki tingkatan yang lebih tinggi daripada nilai kerakyatan dan nilai keadilan sosial, karena persatuan adalah merupakan syarat mutlak adanya rakyat dan terwujudnya rasa keadilan.
• Sedangkan nilai kerakyatan yang didasari oleh nilai Ketuhanan, nilai Kemanusiaan dan nilai Persatuan lebih tinggi dan mendasari nilai dari keadilan sosial, karena Kerakyatan adalah sarana terwujudnya suatu Keadilan sosial,
• Sementara nilai yang terakhir adalah nilai Keadilan sosial, yang merupakan tujuan akhir dari keempat sila lainnya. Suatu hal yang perlu diperhatikan, yaitu meskipun nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila berbeda-beda, dan memiliki
timgkatan yang berbeda-beda pula, namun secara keseluruhan nilai tersebut merupakan suatu kesatuan, dan tidak saling bertentangan. Dan oleh sebab itu perlu direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari[14]


8. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat
1. Sumber Historis Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Pada 12 Agustus 1928, Soekarno pernah menulis di Suluh Indonesia yang menyebutkan bahwa nasionalisme adalah nasionalisme yang membuat manusia menjadi perkakasnya Tuhan dan membuat manusia hidup dalam roh (Yudi Latif, 2011: 68). Pembahasan sila-sila Pancasila sebagai sistem filsafat dapat ditelusuri dalam sejarah masyarakat Indonesia sebagai berikut. (Lihat Negara Paripurna, Yudi Latif).
a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Sejak zaman purbakala hingga pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, masyarakat Nusantara telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama lokal, yaitu sekitar 14 abad pengaruh Hindu dan Buddha, 7 abad pengaruh Islam, dan 4 abad pengaruh Kristen. Tuhan telah menyejarah dalam ruang publik Nusantara. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih berlangsungnya sistem penyembahan dari berbagai kepercayaan dalam agama-agama yang hidup di Indonesia. Pada semua sistem religi-politik tradisional di muka bumi, termasuk di Indonesia, agama memiliki peranan sentral dalam pendefinisian institusi-institusi sosial (Yudi-Latif, 2011: 57--59).
b. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat Indonesia dilahirkan dari perpaduan pengalaman bangsa Indonesia dalam menyejarah. Bangsa Indonesia sejak dahulu dikenal sebagai bangsa maritim telah menjelajah keberbagai penjuru Nusantara, bahkan dunia. Hasil pengembaraan itu membentuk karakter bangsa Indonesia yang kemudian oleh Soekarno disebut dengan istilah Internasionalisme atau Perikemanusiaan. Kemanjuran konsepsi internasionalisme yang berwawasan kemanusiaan yang adil dan beradab menemukan ruang pembuktiannya segera setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Berdasarkan rekam jejak perjalanan bangsa Indonesia, tampak jelas bahwa sila kemanusiaan yang adil dan beradab memiliki akar yang kuat dalam historisitas kebangsaan Indonesia. Kemerdekan Indonesia menghadirkan suatu bangsa yang memiliki wawasan global dengan kearifan lokal, memiliki komitmen pada penertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, 158 perdamaian, [15]dan keadilan sosial serta pada pemuliaan hak-hak asasi manusia dalam suasana kekeluargaan kebangsan Indonesia (Yudi-Latif, 2011: 201).
c. Sila Persatuan Indonesia.
Kebangsaan Indonesia merefleksikan suatu kesatuan dalam keragaman serta kebaruan dan kesilaman. Indonesia adalah bangsa majemuk paripurna yang menakjubkan karena kemajemukan sosial, kultural, dan teritorial dapat menyatu dalam suatu komunitas politik kebangsaan Indonesia. Indonesia adalah sebuah bangsa besar yang mewadahi warisan peradaban Nusantara dan kerajaan-kerajaan bahari terbesar di muka bumi. Jika di tanah dan air yang kurang lebih sama, nenek moyang bangsa Indonesia pernah menorehkan tinta keemasannya, maka tidak ada alasan bagi manusia baru Indonesia untuk tidak dapat mengukir kegemilangan (Yudi-Latif, 2011:377).
d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan. Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat memang merupakan fenomena baru di Indonesia, yang muncul sebagai ikutan formasi negara republik Indonesia merdeka. Sejarah menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan pra-Indonesia adalah kerajaan feodal yang dikuasai oleh raja-raja autokrat. Meskipun demikian, nilai-nilai demokrasi dalam taraf
tertentu telah berkembang dalam budaya Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya dalam unit politik kecil, seperti desa di Jawa, nagari di Sumatera Barat, banjar di Bali, dan lain sebagainya. Tan Malaka mengatakan bahwapaham kedaulatan rakyat sebenarnya telah tumbuh di alam kebudayaan Minangkabau, kekuasaan raja dibatasi oleh ketundukannya pada keadilan dan kepatutan. Kemudian, Hatta menambahkan ada dua anasir tradisi demokrasidi Nusantara, yaitu; hak untuk mengadakan protes terhadap peraturan raja yang tidak adil dan hak untuk menyingkir dari kekuasaan raja yang tidak
disenangi (Yudi-Latif, 2011: 387--388).
e. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Masyarakat adil dan makmur adalah impian kebahagian yang telah berkobar ratusan tahun lamanya dalam dada keyakinan bangsa Indonesia. Impiankebahagian itu terpahat dalam ungkapan “Gemah ripah loh jinawi, tata  tentrem kerta raharja”. Demi impian masyarakat yang adil dan makmur itu, para pejuang bangsa telah mengorbankan dirinya untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia dahulunya adalah bangsa yang hidup dalam keadilan dan kemakmuran, keadaan ini kemudian dirampas oleh kolonialisme (Yudi-Latif, 2011: 493--494).[16]

     C.    KESIMPULAN

Pancasila sebagai sistem filsafat sudah dikenal sejak para pendiri negara membicarakan masalah dasar filosofis negara (Philosofische Grondslag) dan pandangan hidup bangsa (weltanschauung). Meskipun kedua istilah tersebut mengandung muatan filsofis, tetapi Pancasila sebagai sistem filsafat yang mengandung pengertian lebih akademis memerlukan perenungan lebih mendalam. Filsafat Pancasila merupakan istilah yang mengemuka dalam dunia akademis. Ada dua pendekatan yang berkembang dalam pengertian filsafat Pancasila, yaitu Pancasila sebagai genetivus objectivus dan Pancasila sebagai genetivus subjectivus. Kedua pendekatan tersebut saling melengkapi karena yang pertama meletakkan Pancasila sebagai aliran atau objek yang dikaji oleh aliran-aliran filsafat lainnya, sedangkan yang kedua meletakkanPancasila sebagai subjek yang mengkaji aliran-aliran filsafat lainnya.
Pentingnya  Pancasila sebagai sistem filsafat ialah agar dapat diberikan pertang gungjawaban rasional dan mendasar mengenai sila-sila dalam Pancasila sebagai prinsip-prinsip politik; agar dapat dijabarkan lebih lanjut sehingga menjadi operasional dalam penyelenggaraan negara; agar dapat membuka dialog dengan berbagai perspektif baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; dan agar dapat menjadi kerangka evaluasi terhadap segala kegiatan yang bersangkut paut dengan kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma offset. Hal 56-74
Kaelan. 2016. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma Offset.hal 49-51
Paristiyanti Nurwardani. 2016. pendidikan Pancasila, Jakarta hal 157-158



[1] Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma offset. Hal 57
[2] Kaelan. 2016. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma Offset. Hal 49
[3] Ibid, hal. 51
[4] Ibid. Hal 57
[5] Kaelan. 2010. Halaman 58
[6] Ibid hal. 59
[7] Ibid hal 61
[8] Ibid. hal. 62
[9] Ibid hal. 63
[10] Ibid hal 67
[11] Ibid hal. 70
[12] Ibid hal. 72
[13] Ibid hal 72
[14] Ibid halaman 73
[15] Paristiyanti Nurwardani, pendidikan Pancasila, Jakarta hal 157
[16] Ibid hal. 158

No comments:

Post a Comment