MAKALAH AKHLAK TASAWUF “MA’RIFAT III”
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Istilah Ma’rifat
sesungguhnya tidak lah asing di telinga kita, terutama orang islam. Namun tidak
banyak memahami secara mendalam tentang makna ma’rifat itu sendiri.
Kadang-kadang orang memiliki persepsi yang keliru, sehingga ma’rifat dianggap
sebagai bagian dari ilmu klenik. Sebagian lainnya menilai ma’rifat adalah ilmu
di luar islam atau dipandang sebagai suatu institusi keislaman.
Sesungguhnya ilmu ma’rifat
itu tidak dapat di pisahkan dari islam,secara leksikal, makna ma’rifat adalah
mengetahui atau mengenal. Secara harfiah, kata ma’rifat dapat diartikan sebagai
tingkat penyerahan diri pada tuhan, yang setingkat demi setingkat hingga sampai
pada tingkat keyakinan yang kuat.
Menurut Imam AL-Ghazali
Ma’rifat adalah nampak jelas rahasia-rahasia ketuhanan dan pengetahuan mengenai
susunan urusan ketuhanan yang mencakup segala yang ada lebih lanjut AL-Ghazali
mengatakan makrifat adalah memandang kepada wajah ( rahasia) allah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Al fana yang terpuji dan tercela?
2.
Makrifat menurut Imam AL-Ghazali ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Al Fana’ yang terpuji dan Tercela
Konsep
fana’ pada umumnya berkembang dalam pemikiran islam sebagai konsekuiensi logis
kondisi kaum sufi (abad ke 3 dan abad–abad setelahnya) terutama pada tokoh-tokoh
seperti Dzunnun Al Mishri (wafat 245 H), Imam Junaid (wafat 297 H), dan Al
Hallaj.
Dalam
catatan sejarah sufi, diceritakan bahwa suatu ketika Juhair Ad-Dharir dan
Zararah putra seorang qadhi di Basrah. Mengerjakan shalat di belakang imam.
Ketika imam membaca ayat “Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah
waktu (datangnya) hari yang sulit. (Qs. Al Muddatsttsir (74): 8-9) Zararah dan
Juhair Adh-Dharir menggal dunia.
Penting
untuk dicermati, bahwa bentuk fana’ semacam ini bukan bukti kesempurnaan iman
dan cinta kepada Allah, juga bukan kekuatan sebuah keyakinan, Jika demikian,
maka keimanan, cinta, dan keyakinan manusia yang paling sempurna adalah
orang-orang yang paling sering berbicara dan menyarankan kearah al fana’; dan
kitapun akan mengetahui melalui tradisi dan prilaku diri serta rekan-rekannya.[1]
Masing-
masing ulama membicarakan sesuai dengan kejadian dan pengalaman spritual yang
mereka rasakan. Hal itu sangat bersifat pribadi. Abu Ali ad-Daqaq ra. Berkata,”
tanda-tanda ma’rifat kepada Tuhan adalah memperoleh haibah. Yang dimaksud Haibah adalah keramat
dan wibawa dihadapan sesama manusia. Haibah itu datangnya dari Tuhan.[2]
Menurut
Ibnu Taimiyah, al fana yang berkembnag dikalangan kaum sufi terbagi dalam 3
bentuk yaitu:
Pertama,
pelemburan kehendak dan pengabdian diri
kepada selain Allah, dimana kehendaknya menurut batas-batas kehendak tuhan.
Bentuk fana’ seperti ini adalah tingkatan para rasul, para auliya’, kaum shalih
yang mengikuti jejak Rasulullah SAW, mendekatkan diri kepada Allah.
Kedua,
peleburan kesaksian selain Allah, artinya pudarnya kesaksian seseorang terhadap sesuatu selain Allah, yang
kadang diakibatkan oleh keterhanyutan hati dalam kontinyuitas dzikir dan ibadah, dimana ketika itu
yang dirasakan hanyalah Allah.
Ketiga,
peleburan wujud selain Allah,fana’ yang dapat mengantarkan pada situasi al
hulul dan al ittihad. Tidak melihat wujud selain Allah, dan tidak ada wujud
yang hakiki kecuali wujud Allah.[3]
Tipe
fana’ yang paling sempurna adalah musnahnya kehendak seorang hamba tatkala
melihat kehendak Allah, padahal kedua istilah tersebut saling mengisi satu sama
lain. Inilah sifat al fana’ yang terpuji.
Pelemburan
kesaksian kepada selain Allah merupakan kondisi ketidak sempurnaan menurut
tokoh-tokoh besar arif billah. Tidak boleh sedikitpun dalam hati manusia baik
dirinya maupun orang lain terkandung unsur-unsur syirik kepada Allah.
Suatu
konsep yang mendukung peleburan kesaksian aktivitas tuhan hingga kebaikan itu
di pandang sama ( tidak tercela dan tidak terpuji ), menurut tokoh-tokoh besar
kaum sufi konsep ini absurd dan salah.
Imam
Junaid dan ulama sufi yang sederajat dengan beliau memperingatkan tentang
penting nya di kotomi antara perintah dan larangan dan sesuatu yang dicintai
dan di benci tuhan.hati seseorang yang tidak menyaksikan selain ciptaan tuhan
yang universal,kehendak tuhan yang general,serta rububiyyah tuhan yang mencakup
seluruh wujud, maka ia tidak membedakan antara musuh dan wali allah,serta
perintah dan larangan allah.[4]
B.
Makrifat Menurut Imam Ghazali
Makrifat adalah ujung perjalanan
dari ilmu pengetahuan tentang syariat dengan kesediaannya menempuh jalan
(thariqat) dalam mencapai hakikat, itulah yang disebut dengan makrifat. Jadi,
makrifat adalah pengetahuan, perasaaan, pengalaman, dan ibadat dalam dunia tasawuf
yang dimaksud dengan makrifat adalah pengetahuan mengenai tuhan melalui hati
dan jalan pencapai sistematik.[5]
Dalam perspektif tasawuf, makrifat
tentang ungkapan yang menunjukan pengetahuan tentang Allah SWT. Dan segala
sesuatu yang terkait tentang-nya. Secara niscaya, ungkapan ini dipahami dalam
bentuk mengetahui karena Allah, dan bukan orang yang mengetahui allah SWT.
Dimaksudkan dengan mengetahui karena Allah swt. Adalah bentuk mengetahui pada
tingkat tertinggi dimana subyek objek pengetahuan itu sendiri adalah Allah swt.[6]
Dalam kitab Risalatul Qusyairiyah
dijumpai keterangan,”Menurut sebagian Ulama, ma’rifat kepada Allah adalah
orang-orang yang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifatnya. Kemudian
ia menemukan kebenaran tentang Allah dan tentang ajaranya. Lalu
diimplementasikan dalam kehidupannya sebagai amal perbuatan. Karena itu orang
yang telah berma’rifat, ia akan membersihkan dirinya dari akhlak yang rendah
dan dosa-dosa, kemudian lama berdiri mengetuk pintu ‘tuhan’.[7]
Ahmad bin Atha’ berkata, “Ma’rifat
itu ada tiga rukun: takut kepada Allah, malu kepada Allah dan senang kepadanya.
Ma’rifat itu jika telah menguasai hati seseorang, maka ia akan
mendapatkan kebenaran. Hatinya terkalahkan dengan dengan hawa nafsu karena
terus menerus mendapatkan cahaya ma’rifat itu sendiri. Sehingga sampai-sampai
ia tidak bisa melupakan Tuhannya sedikit pun.
Metode pemikiran Imam Ghazali
berbeda denga corak pemikiran kaum sufi yang dibahas makrifat diatas.
Sebelumnya Al Ghazali memperdalam bidang-bidang disiplin ilmu tasawuf, beliau
telah menyusup kedalam sisi-sisi ilmu yang beragam.
Dibidang ilmu kalam anda akan
menemukan berbagai macam karya tulis yang berorientasi pembelaan terhadap
madzhab Asy’ari, seperti kitab Faishal At-Tafarruqah, Iljaam Al Awaam, Al makshad
, Al asnaa, dan sebagainya.
Ketika berbicara tentang konsep
epistimologis dalam pemikiran Al Ghazali, maka anda sebaiknya benar-benar tahu
bahwa konsep tersebut bercabang dan terbagi dalam tingkatan-tingkatan. Kadang
beliau berbicara tentang teori epistimologi dan mekanisme ‘persepsi indra’
dengan menggunakan logika filsuf dan teologian, dan kadang cendrung mengambil
sebagian pendapat Aristoteles tentang jiwa dan definisi jiwa serta dalam
mekanisme persepsi indra.
Pada hakikatnya, diskursus
pengetahuan hati atau makrifat sufistik dalam pemikiran Al Ghazali tidak
terlepas dari pengaruh konsep filosofis yang terkandung dalam sebagian pendapat
ajaran neo-platinisme. Tetapi kedua tingkat tersebut berbeda dengan pemikiran
Al Ghazali seputar disiplin ilmu epistemologi yang dengan mudah ditangkap yaitu pada satu sisi ia bersikap sebagai
seorang filsuf dan disisi lain beliau bersikap sebagai seorang sufi.[8]
Penting sekali untuk dicermati,
bahwa Imam Al Ghazali tidak berbicara tentang makrifat (epistimologi) menurut
pandangan kaum sufi seperti layaknya seorang sufi yaitu dengan sebuah
eksperimen dan kesaksian, tetapi hal; itu dilakukan setelah mengkaji makrifat
menurut kapasitasnya sebagai seorang filsuf serta berdasar pada ajaran para
filsuf.
Pertama kali beliau akan berbicara
dengan menggunakan bahasa dan ajaran para filsuf, sebagai salah satu bagian
dari mereka. Tatkala tidak menemukan tujuan yang dicari yaitu keyakinan dan
ketentraman hati, maka beliau mulai menyusup kedalam kajian-kajian tasawuf.
Melakukan ekspremen dan interaksi sebagai seorang ahl;i ibadah. Hal ini
berjalan seiring dengan kehidupan dan perkembangan pemikiran beliau.
Al Ghazali mengatakan,makrifat
adalah Nampak jelas rahasia-rahasia ketuhanan dan pengetahuan mengenai susunan
urusan ketuhanan yang mencakup segala yang ada.
Seterusnya al Ghazali menjelaskan
bahwa orang yang mempunyai makrifat tentang tuhan, yaitu arif, tidak akan
mengatakan ya allah atau ya rabb. Karena memanggil tuhan dengan kata-kata
serupa ini menyatakan bahwa tuhan ada dibelakang tabir. Orang yang duduk
berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya itu.[9]
Tetapi bagi al Ghazali ma’rifat
urutannya terlebih dahulu daripada mahabbah, karena mahabbah timbul; dari
ma’rifat. Namun mahabbah yang dimaksud al Ghazali berl;ainan mahabbah yang
diucapkan oleh Rabi’ah al;-Adawiyah, yaitu mahabbah dalam bentuk cinta
seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, al Ghazali lebih lanjut
mengatakan bahwa ma’rifat dan mahabbah itulah setinggi-tinggi tingkatan yang
dapat dicapai seorang sufi. Dan pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat lebih
tinggi mutunya dari pengetahuan yang diperoleh dengan akal.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al fana yang menjadi sebuah
statement bersama dikalangan kaum sufi adalah produk alamiah perkembangan
madzhab mereka seputar konsep cinta dan makrifat, dimana keduanya tidak dapat
dipisahkan. Setiap orang mengetahui pasti akan mencintai.
Menurut imam Al Ghazali makrifat
adalah Nampak jelas rahasia-rahasia ketuhanan dan pengetahuan yang mengenai
susunan urusan ketuhanan yang mencakup segala yang ada.
B.
Saran
Tentunya
penyusun menyadari bahwa apa yang ada dalam makalah ini masih sangatlah jauh
dari kata sempurna, oleh sebab itu penyusun berharap kepada para pembaca dan
penyimak makalah ini untuk bersedia memberikan kritik ataupun saran yang
sifatnya konstruktif untuk kemudian bisa lebih memperbaiki lagi dalam penysunan
makalah serupa yang akan datang.
DAFTAR
ISI
Nata Abddin, Akhlak Tasawuf, Cetakan IV,Jakarta :
RajaGrafindo Persada,2002.
Amir, Akhlak Tasawuf, Cetakan I, Bandung : Refika
Aditama,2015
Nasution Ahmad Bangun,Siregar Rayani Hanum, Akhlak Tasawuf,Edisi
2,Cet,2,Jakarta : RajaGrafindo Persada,2015.
Abdullah bin Umar, Misteri Ajaran Ma’rifat, Cetakan pertama,
Mitrapress,2007.
Al Galind Muhammad As-Sayyid,Tasawuf dalam pandangan Al Quran
dan Al Sunnah, Cetakan Pertama, Jakarta : Cendekia Sentra Muslim,2003.
[1]
Muhammad As-Sayyid Al Ghalin,Tasawuf
dalam pandanga al Quran dan As Sunnah,cetakan pertama, Jakarta,Cendekia
Sentra Muslim,2003,hal. 150-153
[2]
Syeikh Abdullah bin Umar al-Haddad,misteri ajaran ma’rifat,cetakan
pertama,Mitrapress,2007,hal. 12-13
[3]
Ahmad Bangun Nasution,dan Rayani hanum siregar,Akhlak Tasawuf,cetakan
I,II,Jakarta,Rajagrafindo Persada,2015,hlm 77.
[4] Amir, akhlak tasawuf meretas jalan menuju
akhlak mulia,cetakan pertama,bandung,Refika Aditama,2015.Hal.58-59.
[5]
Ahmad Bangun Nasution,dan Rayani hanum siregar,Akhlak Tasawuf,cetakan
I,II,Jakarta,Rajagrafindo Persada,2015,hlm 79.
[6]
Amril,Akhlak Tasawuf meretas jalan menuju akhlak mulia,cetakan pertama,Bandung,
Refika Aditama,2015.hal.58.
[7]
Syeikh Abdullah,misteri ajaran ma’rifat,cetakan pertama,Mitrapress,2007,hal,11.
[8]
Muhammad As-Sayyid Al Ghazali,Tasawuf dalam pandangan Al quran dan
As-sunnah,cetakan pertama,jakarta,cendekia sentra muslim,2003.hal.155-157.
[9]
Abuddin Nata,akhlak tasawuf,cetakan IV,Jakarta,Rajagrapindo Persada,2002,hal
226-227.
No comments:
Post a Comment