1

loading...

Friday, November 2, 2018

MAKALAH AKHLAK TASAWUF “MA’RIFAT III”

MAKALAH AKHLAK TASAWUF  “MA’RIFAT III”

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Istilah Ma’rifat sesungguhnya tidak lah asing di telinga kita, terutama orang islam. Namun tidak banyak memahami secara mendalam tentang makna ma’rifat itu sendiri. Kadang-kadang orang memiliki persepsi yang keliru, sehingga ma’rifat dianggap sebagai bagian dari ilmu klenik. Sebagian lainnya menilai ma’rifat adalah ilmu di luar islam atau dipandang sebagai suatu institusi keislaman.
Sesungguhnya ilmu ma’rifat itu tidak dapat di pisahkan dari islam,secara leksikal, makna ma’rifat adalah mengetahui atau mengenal. Secara harfiah, kata ma’rifat dapat diartikan sebagai tingkat penyerahan diri pada tuhan, yang setingkat demi setingkat hingga sampai pada tingkat keyakinan yang kuat.
Menurut Imam AL-Ghazali Ma’rifat adalah nampak jelas rahasia-rahasia ketuhanan dan pengetahuan mengenai susunan urusan ketuhanan yang mencakup segala yang ada lebih lanjut AL-Ghazali mengatakan makrifat adalah memandang kepada wajah ( rahasia) allah.
B. Rumusan Masalah
1.      Al fana yang terpuji dan tercela?
2.      Makrifat menurut Imam AL-Ghazali ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Al Fana’ yang terpuji dan Tercela
Konsep fana’ pada umumnya berkembang dalam pemikiran islam sebagai konsekuiensi logis kondisi kaum sufi (abad ke 3 dan abad–abad setelahnya) terutama pada tokoh-tokoh seperti Dzunnun Al Mishri (wafat 245 H), Imam Junaid (wafat 297 H), dan Al Hallaj.
Dalam catatan sejarah sufi, diceritakan bahwa suatu ketika Juhair Ad-Dharir dan Zararah putra seorang qadhi di Basrah. Mengerjakan shalat di belakang imam. Ketika imam membaca ayat “Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit. (Qs. Al Muddatsttsir (74): 8-9) Zararah dan Juhair Adh-Dharir menggal dunia.
Penting untuk dicermati, bahwa bentuk fana’ semacam ini bukan bukti kesempurnaan iman dan cinta kepada Allah, juga bukan kekuatan sebuah keyakinan, Jika demikian, maka keimanan, cinta, dan keyakinan manusia yang paling sempurna adalah orang-orang yang paling sering berbicara dan menyarankan kearah al fana’; dan kitapun akan mengetahui melalui tradisi dan prilaku diri serta rekan-rekannya.[1]
Masing- masing ulama membicarakan sesuai dengan kejadian dan pengalaman spritual yang mereka rasakan. Hal itu sangat bersifat pribadi. Abu Ali ad-Daqaq ra. Berkata,” tanda-tanda ma’rifat kepada Tuhan adalah memperoleh  haibah. Yang dimaksud Haibah adalah keramat dan wibawa dihadapan sesama manusia. Haibah itu datangnya dari Tuhan.[2]
Menurut Ibnu Taimiyah, al fana yang berkembnag dikalangan kaum sufi terbagi dalam 3 bentuk yaitu:
Pertama, pelemburan kehendak  dan pengabdian diri kepada selain Allah, dimana kehendaknya menurut batas-batas kehendak tuhan. Bentuk fana’ seperti ini adalah tingkatan para rasul, para auliya’, kaum shalih yang mengikuti jejak Rasulullah SAW, mendekatkan diri kepada Allah.
Kedua, peleburan kesaksian selain Allah, artinya pudarnya kesaksian  seseorang terhadap sesuatu selain Allah, yang kadang diakibatkan oleh keterhanyutan hati dalam kontinyuitas  dzikir dan ibadah, dimana ketika itu yang  dirasakan hanyalah Allah.
Ketiga, peleburan wujud selain Allah,fana’ yang dapat mengantarkan pada situasi al hulul dan al ittihad. Tidak melihat wujud selain Allah, dan tidak ada wujud yang hakiki kecuali wujud Allah.[3]
Tipe fana’ yang paling sempurna adalah musnahnya kehendak seorang hamba tatkala melihat kehendak Allah, padahal kedua istilah tersebut saling mengisi satu sama lain. Inilah sifat al fana’ yang terpuji.
Pelemburan kesaksian kepada selain Allah merupakan kondisi ketidak sempurnaan menurut tokoh-tokoh besar arif billah. Tidak boleh sedikitpun dalam hati manusia baik dirinya maupun orang lain terkandung unsur-unsur syirik kepada Allah.
Suatu konsep yang mendukung peleburan kesaksian aktivitas tuhan hingga kebaikan itu di pandang sama ( tidak tercela dan tidak terpuji ), menurut tokoh-tokoh besar kaum sufi konsep ini absurd dan salah.
Imam Junaid dan ulama sufi yang sederajat dengan beliau memperingatkan tentang penting nya di kotomi antara perintah dan larangan dan sesuatu yang dicintai dan di benci tuhan.hati seseorang yang tidak menyaksikan selain ciptaan tuhan yang universal,kehendak tuhan yang general,serta rububiyyah tuhan yang mencakup seluruh wujud, maka ia tidak membedakan antara musuh dan wali allah,serta perintah dan larangan allah.[4]
B.     Makrifat Menurut Imam Ghazali
Makrifat adalah ujung perjalanan dari ilmu pengetahuan tentang syariat dengan kesediaannya menempuh jalan (thariqat) dalam mencapai hakikat, itulah yang disebut dengan makrifat. Jadi, makrifat adalah pengetahuan, perasaaan, pengalaman, dan ibadat dalam dunia tasawuf yang dimaksud dengan makrifat adalah pengetahuan mengenai tuhan melalui hati dan jalan pencapai sistematik.[5]
Dalam perspektif tasawuf, makrifat tentang ungkapan yang menunjukan pengetahuan tentang Allah SWT. Dan segala sesuatu yang terkait tentang-nya. Secara niscaya, ungkapan ini dipahami dalam bentuk mengetahui karena Allah, dan bukan orang yang mengetahui allah SWT. Dimaksudkan dengan mengetahui karena Allah swt. Adalah bentuk mengetahui pada tingkat tertinggi dimana subyek objek pengetahuan itu sendiri adalah Allah swt.[6]
Dalam kitab Risalatul Qusyairiyah dijumpai keterangan,”Menurut sebagian Ulama, ma’rifat kepada Allah adalah orang-orang yang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifatnya. Kemudian ia menemukan kebenaran tentang Allah dan tentang ajaranya. Lalu diimplementasikan dalam kehidupannya sebagai amal perbuatan. Karena itu orang yang telah berma’rifat, ia akan membersihkan dirinya dari akhlak yang rendah dan dosa-dosa, kemudian lama berdiri mengetuk pintu ‘tuhan’.[7]
Ahmad bin Atha’ berkata, “Ma’rifat itu ada tiga rukun: takut kepada Allah, malu kepada Allah dan senang kepadanya.
Ma’rifat itu jika telah menguasai hati seseorang, maka ia akan mendapatkan kebenaran. Hatinya terkalahkan dengan dengan hawa nafsu karena terus menerus mendapatkan cahaya ma’rifat itu sendiri. Sehingga sampai-sampai ia tidak bisa melupakan Tuhannya sedikit pun.
Metode pemikiran Imam Ghazali berbeda denga corak pemikiran kaum sufi yang dibahas makrifat diatas. Sebelumnya Al Ghazali memperdalam bidang-bidang disiplin ilmu tasawuf, beliau telah menyusup kedalam sisi-sisi ilmu yang beragam.
Dibidang ilmu kalam anda akan menemukan berbagai macam karya tulis yang berorientasi pembelaan terhadap madzhab Asy’ari, seperti kitab Faishal At-Tafarruqah, Iljaam Al Awaam, Al makshad , Al asnaa, dan sebagainya.
Ketika berbicara tentang konsep epistimologis dalam pemikiran Al Ghazali, maka anda sebaiknya benar-benar tahu bahwa konsep tersebut bercabang dan terbagi dalam tingkatan-tingkatan. Kadang beliau berbicara tentang teori epistimologi dan mekanisme ‘persepsi indra’ dengan menggunakan logika filsuf dan teologian, dan kadang cendrung mengambil sebagian pendapat Aristoteles tentang jiwa dan definisi jiwa serta dalam mekanisme persepsi indra.
Pada hakikatnya, diskursus pengetahuan hati atau makrifat sufistik dalam pemikiran Al Ghazali tidak terlepas dari pengaruh konsep filosofis yang terkandung dalam sebagian pendapat ajaran neo-platinisme. Tetapi kedua tingkat tersebut berbeda dengan pemikiran Al Ghazali seputar disiplin ilmu epistemologi yang dengan mudah ditangkap  yaitu pada satu sisi ia bersikap sebagai seorang filsuf dan disisi lain beliau bersikap sebagai seorang sufi.[8]
Penting sekali untuk dicermati, bahwa Imam Al Ghazali tidak berbicara tentang makrifat (epistimologi) menurut pandangan kaum sufi seperti layaknya seorang sufi yaitu dengan sebuah eksperimen dan kesaksian, tetapi hal; itu dilakukan setelah mengkaji makrifat menurut kapasitasnya sebagai seorang filsuf serta berdasar pada ajaran para filsuf.
Pertama kali beliau akan berbicara dengan menggunakan bahasa dan ajaran para filsuf, sebagai salah satu bagian dari mereka. Tatkala tidak menemukan tujuan yang dicari yaitu keyakinan dan ketentraman hati, maka beliau mulai menyusup kedalam kajian-kajian tasawuf. Melakukan ekspremen dan interaksi sebagai seorang ahl;i ibadah. Hal ini berjalan seiring dengan kehidupan dan perkembangan pemikiran beliau.
Al Ghazali mengatakan,makrifat adalah Nampak jelas rahasia-rahasia ketuhanan dan pengetahuan mengenai susunan urusan ketuhanan yang mencakup segala yang ada.
Seterusnya al Ghazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai makrifat tentang tuhan, yaitu arif, tidak akan mengatakan ya allah atau ya rabb. Karena memanggil tuhan dengan kata-kata serupa ini menyatakan bahwa tuhan ada dibelakang tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya itu.[9]
Tetapi bagi al Ghazali ma’rifat urutannya terlebih dahulu daripada mahabbah, karena mahabbah timbul; dari ma’rifat. Namun mahabbah yang dimaksud al Ghazali berl;ainan mahabbah yang diucapkan oleh Rabi’ah al;-Adawiyah, yaitu mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, al Ghazali lebih lanjut mengatakan bahwa ma’rifat dan mahabbah itulah setinggi-tinggi tingkatan yang dapat dicapai seorang sufi. Dan pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang diperoleh dengan akal.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Al fana yang menjadi sebuah statement bersama dikalangan kaum sufi adalah produk alamiah perkembangan madzhab mereka seputar konsep cinta dan makrifat, dimana keduanya tidak dapat dipisahkan. Setiap orang mengetahui pasti akan mencintai.
Menurut imam Al Ghazali makrifat adalah Nampak jelas rahasia-rahasia ketuhanan dan pengetahuan yang mengenai susunan urusan ketuhanan yang mencakup segala yang ada.
B.     Saran
Tentunya penyusun menyadari bahwa apa yang ada dalam makalah ini masih sangatlah jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu penyusun berharap kepada para pembaca dan penyimak makalah ini untuk bersedia memberikan kritik ataupun saran yang sifatnya konstruktif untuk kemudian bisa lebih memperbaiki lagi dalam penysunan makalah serupa yang akan datang.

DAFTAR ISI
Nata Abddin, Akhlak Tasawuf, Cetakan IV,Jakarta : RajaGrafindo Persada,2002.
Amir, Akhlak Tasawuf, Cetakan I, Bandung : Refika Aditama,2015
Nasution Ahmad Bangun,Siregar Rayani Hanum, Akhlak Tasawuf,Edisi 2,Cet,2,Jakarta : RajaGrafindo Persada,2015.
Abdullah bin Umar, Misteri Ajaran Ma’rifat, Cetakan pertama, Mitrapress,2007.
Al Galind Muhammad As-Sayyid,Tasawuf dalam pandangan Al Quran dan Al Sunnah, Cetakan Pertama, Jakarta : Cendekia Sentra Muslim,2003.



[1] Muhammad  As-Sayyid Al Ghalin,Tasawuf dalam pandanga al Quran dan As Sunnah,cetakan pertama, Jakarta,Cendekia Sentra Muslim,2003,hal. 150-153
[2] Syeikh Abdullah bin Umar al-Haddad,misteri ajaran ma’rifat,cetakan pertama,Mitrapress,2007,hal. 12-13
[3] Ahmad Bangun Nasution,dan Rayani hanum siregar,Akhlak Tasawuf,cetakan I,II,Jakarta,Rajagrafindo Persada,2015,hlm 77.
[4]  Amir, akhlak tasawuf meretas jalan menuju akhlak mulia,cetakan pertama,bandung,Refika Aditama,2015.Hal.58-59.
[5] Ahmad Bangun Nasution,dan Rayani hanum siregar,Akhlak Tasawuf,cetakan I,II,Jakarta,Rajagrafindo Persada,2015,hlm 79.
[6] Amril,Akhlak Tasawuf meretas jalan menuju akhlak mulia,cetakan pertama,Bandung, Refika Aditama,2015.hal.58.
[7] Syeikh Abdullah,misteri ajaran ma’rifat,cetakan pertama,Mitrapress,2007,hal,11.
[8] Muhammad As-Sayyid Al Ghazali,Tasawuf dalam pandangan Al quran dan As-sunnah,cetakan pertama,jakarta,cendekia sentra muslim,2003.hal.155-157.
[9] Abuddin Nata,akhlak tasawuf,cetakan IV,Jakarta,Rajagrapindo Persada,2002,hal 226-227.

No comments:

Post a Comment