1

loading...

Thursday, November 1, 2018

MAKALAH CIVIC EDUCATION PERKOSAAN

MAKALAH CIVIC EDUCATION

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar belakang
Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering di koran atau majalah diberitakan terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya. Tindak pidana perkosaan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat.
Masalah perlindungan terhadap korban perkosaan selalu menjadi permasalahan yang menarik untuk dicermati, karena masalah perlindungan terhadap korban perkosaan tidak hanya berkaitan dengan pemberian perlindungannya saja, akan tetapi berkaitan dengan hambatan yang dihadapi. Tidak mudah untuk memberikan perlindungan terhadap korban perkosaan karenaada beberapa faktor yang jadi penghambat.
Faktor korban berperan penting untuk dapat mengatasi atau menyelesaikan kasus perkosaan ini, hal ini memerlukan keberanian dari korban untuk melaporkan kejadian yang menimpanya kepada polisi, karena pada umumnya korban mengalami ancaman akan dilakukan perkosaan lagi dari pelaku dan hal ini membuat korban takut dan trauma. Diharapkan dari pengaduan ini, maka kasusnya dapat terbuka dan dapat dilakukan proses pemeriksaan sehingga korban akan memperoleh keadilan atas apa yang menimpa dirinya.
Tindak pidana perkosaan merupakan masalah yang sangat serius. Adanya keengganan korban untuk melaporkan karena tidak di dukung oleh keluarga dan masih melekatnya budaya malu di dalam masyarakat untuk mendiskusikan persoalan perkosaan secara terbuka. Hanya sedikit korban dan keluarganya yang kemudian melaporkan kasusnya kepada pihak berwajib. Selain itu media massa juga hanya mengungkapkan sebagian kecil dari kasus-kasus yang dilaporkan pada polisi.
Tindak pidana perkosaan adalah tindak pidana konvensional yang saat ini semakin sering terjadi namun selalu sulit untuk di adili karena salah satunya adanya keenganan korban untuk melaporkannya. Hingga saat ini masing terjadi pro dan kontra atas konsepsi dan pengertian tindak pidana perkosaan serta cara penanggulangannya. Akan tetapi tindak pidana perkosaan baik secara yuridis dan sosiologis merupakan tindakan yang sangat dicela dan sangat merugikan pihak korban.
Telah banyak terjadi di masyarakat kasus-kasus perkosaan yang dapat menggambarkan beberapa problematika yang dihadapi oleh korban yang mengalami tindak pidana perkosaan yang disebabkan karena adanya kelemahan-kelemahan dalam perumusan undang-undang, baik mengenai unsur-unsur maupun sanksi dan proses pemeriksaan serta pembuktiannya.
 Dalam kaitannya dengan tindak pidana perkosaan, kelemahan KUHP terletak pada sempitnya ruang lingkup pengertian tindak pidana perkosaan yang mengecualikan beberapa hal, diantaranya tidak mengenal perkosaan yang terjadi dalam rumah tangga, mengesampingkan perkosaan yang tidak dilakukan tanpa penetrasi penis kedalam vagina, mengesampingkan perkosaan yang dilakukan tanpa paksaan fisik tetapi karena alasan perbedaan posisi tawar antara pelaku dengan korban.
Berdasarkan hal tersebut, perlu dikaji dan di analisis melalui metode inventarisasi produk peraturan perundang-undangan untuk melihat sejauh mana tindak pidana perkosaan tersebut dirumuskan dalam berbagai perundang-undangan yang ada baik dalam KUHP maupun undang-undang pidana di luar KUHP, sebagai kerangka untuk menyusun suatu perumusan  yang lebih sesuai dengan rasa keadilan masyarakat berkaitan dengan tindak pidana perkosaan sebagaimana yang dirumuskan konsep Rancangan KUHP yang baru.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Perkosaan
Perkosa             : gagah; paksa; kekerasan; perkasa.
Memperkosa     : 1) menundukkan dan sebagainya dengan kekerasan:
                            2) melanggar (menyerang dsb) dengan kekerasan.
Perkosaan          : 1) perbuatan memperkosa; penggagahan; paksaan;
                            2) pelanggaran dengan kekerasan.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto mendefinisikan perkosaan sebagai berikut:
“Perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar”.
Wirdjono Prodjodikoro mengungkapkan bahwa perkosaan adalah:                            
“Seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu”.
R. Sugandhi, mendefinisikan perkosaan adalah sebagaii berikut:
“Seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan istrinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air mani”.
Menurut Steven Box perkosaan merupakan sebuah fakta dari hubungan seksual, yaitu penis penetrasi ke dalam vagina tanpa persetujuan dari perempuan.

B.     Jenis-Jenis Perkosaan
Perkosaan dapat digolongkan sebagai berikut :
  1. Forcible rape = pasal 285 KUHP
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
  1. Statutory rape : perkosaan terhadap anak perempuan di bawah umur (<14 tahun) orang gila, imbisil / lemah akal mental (unable person)
  2. Exploitation Rape : Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi perempuan yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya istri yang diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa oleh majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan atau mengadukan kasusnya ini kepada pihak yang berwajib.
  3. Victim Precipitated Rape Yaitu perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.
  4. Sadistic rape : perkosaan yang disertai agresi / serangan beerapa kekejaman tindakan-tindakan merusak.
  5. Anger Rape Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas yang menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan rasa geram dan marah yang tertahan. Tubuh korban disini seakanakan merupakan obyek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas frustasi-frustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.
  6. Domination Rape Yaitu suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan  seksual.
  7. Seductive Rape Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh persenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tidak mempunyai perasaan bersalah yang menyangkut seks
  8. Sadistic Rape Perkosaan sadistis, artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.
C.    Perlindungan Korban pemerkosaan
Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kepentingan baik untuk kepentingan dirinya sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain, dan manusia menginginkan kepentingannya tidak terganggu oleh pihak manapun. Mertokusuma mengatakan bahwa sejak manusia itu menyadari bahwa kepentingan-kepentingannya selalu terancam atau terganggu oleh bahaya atau serangan, baik dari alam maupun dari sesamanya dan memerlukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya.
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat kita simpulkan bahwa dinamika di dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari sering diwarnai konflik antar individu dengan lainnya, bahkan konflik yang terjadi itu seringkali tidak dapat diselesaikan oleh para pihak yang terkait. Konflik itu dapat merugikan kepentingan-kepentingan baik kepentingannya sendiri maupun kepentingan pihak lain. Orang yang telah dirugikan karena kepentingannya terganggu tersebut menginginkan adanya suatu bentuk perlindungan tertentu untuk dapat menuntut pemenuhan kepentingannya yang telah terganggu atau dirugikan tersebut melalui aparatur penegak hukum untuk memberikan bantuan penyelesaian imparsial (secara tidak memihak).
Pengertian Perlindungan menurut pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tantang perlindungan saksi dan korban adalah: “Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini”.
Adapun pengertian mengenai korban dicantumkan dalam pasal 1 angka 2 yaitu: “Seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.
Berdasarkan kedua pengertian yang diamanatkan oleh Undang-undang tersebut di atas maka dapat pemakalah berpendapat bahwa seseorang korban dari tindak pidana perkosaan seharusnya dapat dilindungi hak-haknya dalam proses peradilan pidana. Bahkan bukan hanya perlindungan fisik dan psikis, tetapi diberikan hak kompensasi dan restitusi. Sebagaimana dikatakan Lili yang pemakalah ambil dari website Kompas: “Korban perkosaan seharusnya mendapatkan perlindungan dan restitusi, selain pemberian perlindungan perlindungan hukum, fisik dan perlindungan psikis, korban juga berhak mengajukan upaya restitusi, agar pelaku dibebankan untuk memberi ganti kerugian terhadap korban dan keluarga korban”.
Berdasarkan hal di atas, maka dalam KUHAP seharusnya mengakomodir hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan korban tindak pidana perkosaan, baik berupa perlindungan fisik, psikis, kompensasi dan restitusi. Hal ini dimaksudkan agar dapat menanggulangi tindak pidana pemerkosaan.
D.    Tindak Pidana Pemerkosaan                                                   
Pemerkosaan merupakan salah satu bentuk kejahatan kekerasan seksual terhadap perempuan dimana korban mengalami penderitaan yang dilematis. Bahkan secara fisik dimungkinkan korban telah kehilangan kehormatannya atau kemungkinan menderita kehamilan. Secara psikis atau emosional korban pemerkosaan mengalami trauma dan menderita seumur hidupnya sehingga tidak sedikit dari korban tindak pidana perkosaan ini kehilangan harapan akan masa depannya.
Meningkatnya intensitas hubungan hukum dalam pergaulan bermasyarakat, berimplikasi juga pada pemaknaan atas sesuatu perbuatan mengalami penafsiran secara meluas, demikian juga dengan pemerkosaan, tidak hanya digunakan pada bentuk perbuatan atau tindakan pemaksaan dalam hubungan seks atau secara fisik yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan.
1.      Unsur-unsur tindak pidana perkosaan
Dalam ketentuan Pasal 285 diatas terdapat unsur-unsur untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana perkosaan, unsurunsur yang dimaksud adalah sebagai berikut :
  1. Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan
  2. Memaksa seorang wanita
  3. Bersetubuh di luar perkawinan dengan dia (pelaku)
a) Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya sampai orang itu jadi pingsan atau tidak berdaya.
b) Memaksa seorang wanita, artinya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan iastrinya bersetubuh dengan dia.
c) Bersetubuh di luar perkawinan, artinya peraduan antara kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kelamin laki-laki harus masuk ke anggota kelamin perempuan, sehingga mengeluarkan mani dengan wanita yang bukan istrinya.
Sementara tindak pidana perkosaan menurut RUU KUHP diatur dalam Bab XVI Tentang Tindak Pidana Kesusilaan Bagian Kelima Tentang Perkosaan dan Perbuatan Cabul Paragraf 1, yang berbunyi:
“Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 tahun:
1)      Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan,      bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;
2)      Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut;
3)      Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai;
4)      Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah;
5)      Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 14 (empat belas) tahun, dengan persetujuannya; atau
6)      Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya”.

2.      Ciri-ciri korban perkosaan
Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Stephen Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat 4 (empat) tipe / ciri-ciri korban,
  1. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi korban. Untuk tipe ini, kesalahan ada pada pelaku
  2. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini, korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban.
  3. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban. Anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin, golongan minotitas dan sebagainya merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban. korban dalam hal ini tidak dapat disalahkan tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.
  4. Korban karena ia sendiri merupakan pelaku. nilah yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. Pelacuran, perjudian, zina, merupakan beberapa kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa korban. pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga sebagai pelaku.
Pengertian dan Jenis Korban Perkosaan
Menurut Arif Gosita, korban perkosaan adalah seorang wanita, yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan dipaksa bersetubuh dengan orang lain di luar perkawinan.
Dari definisi di atas dapat ditarik beberapa pengertian sebagai Berikut :           
  1. Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur (obyek) sedangkan ada juga laki-laki yang diperkosa oleh wanita.
  2.  Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku.
  3. Persetubuhan di luar perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu.
Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakatnuntuk lebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban hingga kemudian muncullah berbagai jenis korban, yaitu
  1. Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan.:
  2. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban.
  3. Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan
  4. Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban.
  5. False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri.
Menurut Arif Gosita, jenis-jenis korban perkosaan adalah sebagai berikut:
  1. Korban murni terdiri atas
a)      Korban perkosaan yang belum pernah berhubungan dengan pihak pelaku sebelum perkosaan;
b)      Korban perkosaan yang pernah berhubungan dengan pihak pelaku sebelum perkosaan
  1. Korban ganda ( double / multiple victimization)                                                        Adalah korban perkosaan yang selain mengalami penderitaan selama diperkosa, juga mengalami berbagai penderitaan mental, fisik, dan sosial, misalnya: mengalami ancaman-ancaman yang mengganggu jiwanya, mendapat pelayanan yang tidak baik selama pemeriksaan Pengadilan, tidak mendapat ganti kerugian, mengeluarkan uang pengobatan, dikucilkan dari masyarakat karena sudah cacat khusus, dan lain-lain.
2.      Korban semu (pura-pura diperkosa)
Adalah korban yang sebenarnya sekaligus juga pelaku. Ia berlagak diperkosa dengan tujuan mendapat sesuatu dari pihak pelaku.
Ø  Ada kemungkinan ia berbuat demikian karena kehendaknya sendiri;
Ø  Ada kemungkinan ia berbuat demikian karena disuruh, dipaksa untuk berbuat demikian demi kepentingan yang menyuruh. Dalam pengertian tertentu, pelaku menjadi korban tindakan jahat lain.

Ciri Pelaku Perkosaan
    1. Mempunyai hubungan buruk dengan perempuan
    2. Takut terhadap perempuan
    3. Sadis, frustasi terhadap perkawinannya
    4. The overenthusiastic lover, perempuan sebagai pemuas hasrat
    5. Pembenaran diri:
  • Dia tidak menolak saya
  • Dia mengundang saya kerumahnya
Faktor Penyebab Perkosaan
    1. Pelampiasan kemarahan – unjuk kekuasaan
    2. Naluri lelaki: laki-laki mempunyai dorongan seksual yang tinggi, dan jika lelaki menunjukan agresivitas seksualnya pada umumnya tidak ada sanksi sosial bagi pelakunya
    3. Pelakunya mempunyai kelainan seksual-harus dihukum dan ditangani secara klinis. Penyimpangan seksual tidak termasuk dalam dasar penghapus pidana (dasar pemaaf) yang dialur dalam Pasal. 44 KUHP
    4. mispersepsi pelaku atas korban, mengalami pengalaman buruk khususnya dalam hubungan personal (cinta), terasing dalam pergaulan sosial, rendah diri, ada ketidakseimbangan emosional
5.      Dendam pada korban, atau seseorang
    1. Pengaruh lingkungan, film / gambar-gambar porno
    2. Situasi dan kondisi lingkungan maupun pelakunya yang memungkinkan terjadi perkosaan
E.     Dampak Pemerkosaan Bagi Korban
a.       Dampak fisik
b.      Nafsu makan menurun drastis
c.       Sakit asma
d.      Sakit kepala
e.       Sulit tidur
f.       Sakit didaerah perut / kemaluan
g.      Bengkak disekujur tubuh / tubuh yang terluka
h.       Sulit buang air besar / kecil
i.        Mungkin akan mandul
j.        Tertular PMS, HIV-AIDS
k.      Infeksi pada alat reproduksi

1)      Dampak Mental / Emosional
·         Stres berat- ketakutan, depresi, phobia
·          Merasa : hina, bersalah, malu, menyalahkan diri sendiri, tidak berdaya
·          Curiga pada orang lain
·         Takut hamil
·         Goncangan jiwa yang berat
·         Dorongan untuk bunuh dirI

2)      Dampak Pada Kehidupan Pribadi dan Sosial
·         Ditinggalkan teman dekat
·         Hubungan dengan suami / pasangan memburuk atau pecah cerai
·         Tidak lagi bergairah untuk bercinta
·         Takut atau tidak bisa jatuh cinta
·          Sulit membina hubungan dengan pria lain
·         Menghindari setiap pria
·         Sulit untuk percaya orang lain dan sungguh-sungguh mencintai : pernah dan merasa dikhianati
F.     Penderitaan dan Kerugian yang Dialami Korban Perkosaan
    1. Penderitaan fisik dan psikis
Penderitaan fisik : di dalam UU No 23 tahun 2004 pasal 6,  kekerasan fisik sebagaimana dimaksud pasal 5 huruf a adalah perrbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, atau luka berat

Penderitaan Psikis : di dalam UU No 23 tahun 2004 pasal 7 kekerasan psikis sebagaimana dimaksut pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa Perlindungan Terhadap Korban Perkosaan
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat seseorang.
Kerugian : materil dan immaterial
Materil : biaya-biaya pengobatan, penghasilan yang hilang akibat peristiwa  kejahatan yang dialami dsb.
Memiliki aspek baik hukum pidana dan hukum perdata
Perlindungan korban berupa penggantian kerugian materiil dapat dituntut langsung kepada si pelaku kejahatan. Akan tetapi terhadap penggantian kerugian immateriil , di beberapa Negara (apabila pelaku orang yang tidak mampu) dibebankan kepada negara.
Adapun tujuan dari perlindungan korban adalah sebagai berkut:
  1. Memberikan rasa aman kepada korban, khususnya pada saat memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana;
  2. Memberikan dorongan dan motivasi kepada korban agar tidak takut dalam menjalani proses peradilan pidana;
  3. Memulihkan rasa percaya diri korban dalam hidup bermasyarakat;
  4. Memenuhi rasa keadilan, bukan hanya kepada korban dan keluarga korban, tapi juga kepada masyarakat;
  5. Memastikan perempuan bebas dari segala bentuk kekerasan;
  6. Menempatkan kekerasan berbasis jender sebagai bentuk kejahatan yang serius dan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia;
  7. Mewujudkan sikap yang tidak mentolerir kekerasan berbasis jender;
  8. Penegakan hukum yang adil terhadap pelaku kekerasan terhadap perempuan (perkosaan).
  9.  
3.      Hukum Pembaruan Perkosaan
Berbicara mengenai pembaruan hukum pidana (penal reform) sebagai bagian kebijakan hukum pidana (penal policy) di Indonesia tidak lepas dari membicarakan UUD 1945 sebagai suatu dokumen hukum yang berada di puncak hirarki perundang-undangan nasional terutama alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 sebagai amanat dari tujuan Negara Indonesia, oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana seharusnya dijadikan sebagai pembangunan hukum nasional Indonesia, sebagaimana dikatakan Prof. Dr. Barda Nawawi ada empat komponen utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan hukum nasional yaitu komponen norma hukum dan perundang-undangan, aparatur penegak hukum, kesadaran hukum masyarakat, dan pendidikan hukum khususnya pendidikan tinggi hukum.
Berdasarkan pemikiran Barda Nawawi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa aparatur penegak hukum merupakan salah satu komponen pembaharuan hukum pidana sekaligus sebagai petugas hukum dalam sistem peradilan pidana. Sebagaimana kita ketahui, komponen sistem peradilan pidana yang lazim diakui baik dalam pengetahuan mengenai kebijakan pidana (criminal policy) maupun dalam lingkup praktik penegakan hukum terdiri dari atas unsur kepolisisn, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan, ada juga pendapat legislator merupakan komponen sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana dilihat sebagai salah satu pendukung atau instrumen dari suatu kebijakan krimanal, maka unsur yang terkandung di dalamnya termasuk juga pembuat undang-undang.
Peran pembuat undang-undang justru sangat menentukan dalam politik kriminal (crimal politic) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus menjadi tujuan dari penegakan hukum.
Menurut pakar hukum Muladi dan Barda, sistem peradilan pidana hakekatnya merupakan suatu proses penegakan hukum. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat kita ketahui bahwa peran dan fungsi aparatur penegak hukum sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab merupakan sesuatu hal yang penting dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Upaya pengembangan dalam melakukan pembangunan hukum nasional itu penting, namun usaha mempersiapkan penegak hukum profesional yang mempunyai dedikasi dan integritas dalam menjalankan tugas profesinya sebagai petugas hukum merupakan faktor utama dalam penegakan hukum.
Sebagaimana dikatakan Prof. Soetjipto Rahardjo, hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya, artinya hukum itu tidak mampu mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam peraturan-peraturan hukum, seperti janji untuk memberikan hak kepada seseorang, memberikan perlindungan kepada seseorang, mengenakan pidana terhadap seorang yang memenuhi persyaratan tertentu dan sebagainya.
Berdasarkan pemaparan Prof Tjip di atas dapat kita ketahui bahwa penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas nyata, dan eksistensi hukum diakui apabila nilai-nilai moral yang terkandung dalam hukum tersebut mampu diimplementasikan oleh aparatur penegak hukum. Berbicara masalah proses penegakan hukum, maka secara otomatis kita akan membicarakan faktor manusia dalam hubungannya dengan proses penegakan hukum itu sendiri, dalam arti dapat dikatakan bahwa proses penegakan hukum itu bukan semata-mata membicarakan hukum yang didasarkan pada apa yang tertera secara hitam-putih berupa suatu peraturan hukum, namun hukum yang bias ditegakkan di dalam masyarakat.
Analisis Perlindungan Korban Tindak Pidana Perkosaan dalam Hukum Acara Pidana
Sebagaimana telah penulis paparkan sebelumnya bahwa pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan hokum pidana (penal policy). Hakikat pembaharuan hukum pidana menurut Barda Nawawi yaitu mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hokum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.
Pembaruan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan (policy), karena merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy) serta dalam kebijakan itu sendiri terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana dapat dilihat dari dua sudut pendekatan yakni kebijakan dan nilai.
a)  Pendekatan kebijakan ada tiga klasifikasi yaitu:
·         Sebagai bagian dari kebijakan sosial yakni untuk mengatasi masalah-masalah sosial.
·         Sebagai bagian dari kebijakan kriminal yakni upaya perlindungan masyarakat.
·         Sebagai bagian dari kebijakan hukum yakni, memperbaiki substansi hukum.
b)      Pendekatan nilai yakni, pembaharuan hukum pidana hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penelitian kembali (reorientasi dan reevaluasi), nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normative dan substantive hokum pidana yang dicita-citakan.
Pembaharuan hukum pidana sebagai manifestasi untuk menanggulangi tindak kejahatan harus berorientasi tidak hanya kuantitas perundang-undangannya (legal reform) melainkan berorientasi pada kualitas atau nilai-nilai extra legal masuk ke dalamnya (law reform), dengan kata lain, usaha mengurangi meningkatnya tindak pidana baik secara kuantitas maupun secara kualitas yang selama ini fokus perhatiannya hanya tertuju pada upaya-upaya bersifat teknis. Disamping itu, di dalam penegakan hukum pidana adanya pandangan bahwa, korban hanya berperan sebagai instrument pendukung dalam mengungkap kebenaran materiil yakni sebagai saksi belaka.
Konsep baru tentang tindak pidana harus dengan adanya kesadaran atau keinginan untuk merancang bangun ruang hukum pidana ke dalam konsep monodualistik yakni perhatiannya tidak hanya kepada pelaku, namun kepada masyarakat.
Pembaharuan hukum pidana (penal reform) sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy) itu tidak hanya fokus pada tersangka melainkan kepada korban dan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, dengan adanya undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, khususnya apa yang tercantum pada pasal 5 angka 1 mengenai perlindungan hak-hak saksi dan korban terutama dalam hal adanya perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.mendapatkan informasi berupa perkembangan kasus yang dialaminya dalam proses persidangan hingga putusan hakim dari pengadilan, mengetahui terpidana dibebaskan, dan memperoleh kompensasi, restitusi, dan jaminan atau santunan untuk kesejahteraan sosial.
Hal di atas didasari paradigma dasar bahwa korban tindak pidana perkosaan adalah pihak yang paling dirugikan, oleh karena Negara menjamin adanya perlindungan atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta hak rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat, sebagaimana diamanatkan UUD 1945 BAB XA Mengenai Hak Asasi Manusia, terutama pasal 28 G ayat (1). Oleh karena itu negara berkewajiban memberikan kompensasi dan restitusi, serta jaminan atau santunan untuk kesejahteraan sosial kepada korban tindak pidana perkosaan.
G.    Ganti Kerugian Bagi Korban Perkosaan
   Dasar hukumnya :
  1. Pasal 1365 KUHAP
  2. Pasal 98 KUHAP
  3. UU Nomor 23 tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 telah mengatur pidana denda bagi pelaku
Ganti kerugian bagi korban perkosaan berupa
  1. Restitusi, ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku
  2. Kompensasi, ganti kerugian yang diberikan Negara karena pelaku tak mapu. Dimungkinkan sebagai upaya pemberian pelayanan pada para korban kejahatan dalam rangka mengembangkan kesejahteraan dan keadilan
  3. Bantuan : pengobatan, pemulihan mental ( psikiater, psikolog, sukarelawan), korban harus diberitahukan tentang kondisi kesehatan. Aparat penegak hukum harus senantiasa siap siaga membantu juga memberikan perhatian yang istimewa terhadap tiap korban.
         Dalam rumusan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak menggunakan istilah perkosaan tetapi menggunakan istilah kekerasan seksual. Istilah kekerasan seksual jauh lebih luas dari istilah perkosaan, karena di dalam kekerasan seksual dapat dimasukan berbagai bentuk perbuatan lainnya yang berkaitan dengan seksualitas seseorang seperti perbuatan cabul, pelecehan seksual dan lain-lain.
 Sedangkan istilah yang digunakan dalam KUHP adalah kejahatan terhadap kesusilaan, tidak menggunakan istilah kejahatan seksual (sexual violence) yang diartikan sebagai perbuatan pidana berkaitan dengan seksualitas yang dapat dilakukan terhadap laki-laki ataupun perempuan. Penggunaan istilah kesusilaan menyebabkan masyarakat terutama aparat hukum sering terjebak dalam menempatkan pasal-pasal kesusilaan semata-mata sebagai persoalan pelanggaran terhadap nilai-nilai budaya, norma agama, atau sopan santun yang berkaitan dengan nafsu perkelaminan (birahi), bukan kejahatan terhadap tubuh dan jiwa seseorang
                        Adapun pasal-pasal yang mengatur tindak pidana perkosaan sebagaimana yang tercantum dalam KUHP, adalah sebagai berikut :
a.       Pasal 285 KUHP
                        Rumusan tentang tindak pidana perkosaan yang di atur di dalam Pasal 285 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
                        Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya, bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.

                        Unsur-unsur dari Pasal 285 ini adalah :
                        1.   Perbuatannya : memaksa bersetubuh
                        2.   Caranya : dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
                        3.   Objek : perempuan bukan istrinya.
                       
                        Adami Chazawi (2005 : 63), Pengertian perbuatan  memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang tersebut yang bertentangan dengan kehendak hatinya agar dirinya menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri. Menerima kehendaknya ini setidaknya mengakibatkan dua hal yaitu orang yang dipaksa akan menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirinya atau orang yang dipaksa tersebut akan berbuat yang sama sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang memaksa.
                        Menurut R. Seosilo (1994 : 209), dalam Pasal 285, memaksa disini bertujuan agar perempuan yang menjadi korban bersedia menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirinya yaitu bersedia disetubuhi.
                        Sejalan dengan R. Soesilo, M.H Tirtamidjaja (Ledeng Marpaung, 2004 :53), mengemukakan pengertian bersetubuh berarti persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan, yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan, tidak perlu bahwa telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan.
                        Adami Chazawi (2005 : 64), Cara-cara memaksa yang dirumuskan dalam pasal 285 KUHP dibatasi dengan dua cara yaitu kekerasan (geweld) dan ancaman kekerasan (bedreiging met geweld). Dua cara memaksa itu tidak diterangkan lebih jauh dalam KUHP. Hanya mengenai kekerasan, ada pasal 89 KUHP yang merumuskan perluasan arti kekerasan.
                        Menurut R. Soesilo (1994 : 209), melakukan kekerasan adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya.
                        Lebih lanjut R. Soesilo (1994 : 65), Berdasarkan fungsinya, maka kekerasan dalam pengertian Pasal 285 KUHP dapatlah di definisikan sebagai suatu cara/upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik. Dalam keadaan tidak berdaya itulah, orang yang menerima kekerasan terpaksa menerima segala sesuatu yang akan diperbuat terhadap dirinya (walaupun bertentangan dengan kehendaknya), atau melakukan perbuatan sesuai atau sama dengan kehendak orang yang menggunakan kekerasan yang bertentangan dengan kehendaknya sendiri.

     b.   Pasal 285 KUHP
                        Rumusan tentang tindak pidana perkosaan yang di atur di dalam Pasal 286 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
                        Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.

                        Menurut Adami Chazawi (2005 : 67), perempuan yang menjadi korban dalam pasal ini adalah seorang perempuan yang bukan istrinya secara objektif berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Didalam Pasal 286 KUHP ini terdapat unsur subjektif yaitu diketahuinya perempuan tersebut sedang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
                        R. Soesilo (1994 : 210), menjelaskan bahwa pingsan artinya ”tidak ingin atau tidak sadar akan dirinya” umpamanya dengan memberi minum racun kecubung atau lain-lain obat sehingga orangnya tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kedua kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan suntikan sehingga orang itu lumpuh. Orang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya.
                        Sejalan dengan hal tersebut, Adami Chazawi (2005 : 68) menyatakan bahwa keadaan pingsan dan tidak berdaya memiliki perbedaan makna walaupun orang pingsan pada dasarnya juga tidak berdaya. Perbedaan makna tersebut ialah, bahwa pada keadaan pingsan orang itu berada dalam keadaan tidak sadarkan diri, dalam keadaan ini dia tidak mengetahui apa yang telah diperbuat orang lain in case disetubuhi terhadap dirinya. Seseorang yang sedang dalam keadaan tidur, atau disuntik dengan obat tidur, maka kekadaan tidur itu dapat disebut dengan keadaan pingsan.
                        Dalam keadaan tidak berdaya, orang itu mengerti dan sadar tentang apa yang telah diperbuat oleh orang lain terhadap dirinya. Misalnya perempuan itu ditodong dengan pisau, atau tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan tenaga seorang laki-laki yang memperkosanya, atau dirinya dalam keadaan sakit sehingga tidak berdaya. Unsur dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya adalah unsur objektif yang didasari atau diketahui oleh si pembuat. Kondisi pingsan atau tidak berdaya itu bukanlah akibat dari perbuatan si pelaku melainkan suatu kondisi yang sudah terjadi. Si pelaku hanya disyaratkan untuk secara subjektif mengetahui bahwa perempuan tersebut sedang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (Adami Chazawi, 2005 : 68-69).

         c.   Pasal 287 KUHP
                        Rumusan tentang tindak pidana perkosaan yang di atur di dalam Pasal 287 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
               (1)  Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa unsur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.
               (2) Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umur perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu yang disebut pada pasal 291 dan 294.

               Menurut Adami Chazawi (2005 : 71), Berbeda dengan Pasal 285 KUHP dan Pasal 286 KUHP yang mensyaratkan tidak adanya persetujuan dari perempuan korban, melalui tindakan pemaksaan berupa kekerasan atau ancaman kekerasan, maka pada pasal 287 KUHP, persetubuhan yang dilakukan adalah dengan persetujuan dari si perempuan korban. Dengan kata lain hubungan tersebut dilakukan dengan suka sama suka. Letak pidananya adalah pada umur perempuan korban yang belum cukup 15 tahun atau belum masanya untuk dikawin.
               Jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, maka pada Pasal 1 butir 1 dinyatakan bahwa “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Namun sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 001/PUU-VIII/2010 tentang batasan umur anak menjadi batasan umur anak yaitu yang berusia 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun.

d.   Pasal 288 KUHP
               Rumusan tentang tindak pidana perkosaan yang di atur di dalam Pasal 288 KUHP secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
               (1)     Barang siapa bersetubuh dengan istrinya yang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa perempuan itu belum masanya buat dikawinkan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun, kalau perbuatan itu berakibat badan perempuan itu luka.
               (2)     Kalau perbuatan itu menyebabkan perempuan mendapat luka berat, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.
               (3).    Jika perbuatan itu menyebabkan perempuan itu mendapat luka berat, dijatuhkan penjara selama-lamanya delapan tahun.
                                 R. Soesilo (1994 : 212), Pada dasarnya KUHP tidak mengancam pidana kepada pelaku yang menyetubuhi perempuan yang belum berumur 15 tahun jika perempuan itu adalah istrinya, kecuali dari perbuatan persetubuhan tersebut menimbulkan akibat luka-luka, luka berat atau kematian. Yang dilarang dalam pasal ini bukanlah bersetubuh dengan istrinya yang belum masanya buat dikawinkan, melainkan bersetubuh yang mengakibatkan istrinya yang belum masanya untuk kawin tersebut mengalami luka-luka secara fisik, luka berat ataupun meninggal dunia.
5.      Pengaturan Ganti Rugi untuk Korban                               
Masyarakat pendamba keadilan pada 18 Juli tahun 2006 menyambut dengan bergembira dengan diundangkannya Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, selanjutnya ditulis UU PSK. Lahirnya UU PSK diharapkan akan menjadi payung hukum bagi perlindungan saksi dan korban yang selama ini dirasakan kurang dilindungi dalam hukum acara di Indonesia.
Bahwa konteks kehadiran UU PSK adalah dalam kerangka untuk melengkapi pranata prosedural dalam proses peradilan pidana, Mengingat, dalam pemeriksaan terhadap perkara pidana untuk mengungkap kebenaran dan memberi keadilan berkait erat dengan kekuatan alat bukti. Sehubungan dengan kuat lemahnya suatu pembuktian dalam pemeriksaan perkara pidana, maka saksi maupun korban memiliki kedudukan yang sangat signifikan dalam upaya pengungkapan kebenaran materiil. Pada posisi itulah, saksi atau korban melekat potensi ancaman.
Bahwa hukum acara pidana yang saat ini berlaku tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi saksi atau korban yang terkait dengan suatu perkara pidana, Dalam penjelasan umum UUPSK dikatakan bahwa KUHAP Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka dan terdakwa terhadap kemungkinan adanya pelanggaran terhadap hak-hak mereka. Maka, berdasarkan asas kesamaan didepan hukum (equality before law) dalam penjelasan umum itu saksi dan korban dalam proses peradilan pidana harus diberikan jaminan perlindungan hukum. Dalam UUPSK terdapat tiga hal pokok yang patut diberikan perhatian khusus, yakni: Pertama, pendalaman mengenai cakupan atas hak-hak serta bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan kepada saksi dan korban. Termasuk didalamnya adalah prinsip-prinsip pelaksanaan pemberian perlindungan saksi dan korban maupun mekanisme kompensasi dan restitusi bagi korban. Kedua, mengenai aspek-aspek kelembagaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Hal ini menyangkut kewenangan dan cakupan tugas dari LPSK serta bagaimana hubungan fungsional LPSK dengan lembaga penegak hukum lainnya. Ketiga, ketentuan mengenai pemberian perlindungan dan bantuan. Hal ini menyangkut aspek mekannisme prosedural bekerjanya LPSK. Pemberian bantuan dalam UU PSK merupakan bagian dari salah satu bentuk perlindungan yang akan diberikan oleh LPSK. Untuk itulah, oleh UU PSK konsep pemberian bantuan dibatasi sedemikian rupa. Misalnya dalam pasal 6, yang dimaksud bantuan oleh UU PSK hanya mencakup bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko – sosial. Bantuan tersebut juga hanya diperuntukkan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Dua ketentuan bantuan tersebut, tentunya telah membatasi konsep umum pemberian bantuan bagi korban yang prinsipnya tidak diskriminatif. Sementara itu dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan, khusus mengenai bantuan, disebutkan bahwa para korban harus menerima bantuan material, medis, psikologis dan sosial yang didapatkan melalui sarana pemerintah maupun saranasarana lainnya. Korban tanpa diskriminasi harus mendapatkan kemudahan dan akses informasi yang cukup terhadap pelayanan kesehatan dan sosial dan 8 bantuan lainnya. Selain itu pemerintah harus memberikan pelatihan bagi aparat penegak hukumnya (polisi, jaksa, hakim) untuk menjadikan mereka peka terhadap kebutuhan para korban sekaligus untuk memastikan pemberian bantuan yang benar dan segera.
Keterbatasan konsep mengenai korban yang berhak mendapatkan layanan pemberian bantuan dan tidak memadainya konsep pemberian bantuan dalam UU PSK dikhawatirkan akan menyulut kerancuan implementasi pemberian bantuan oleh LPSK dimasa mendatang. Dari sini, telah diidentifikasi keterbatasan UU PSK dalam menjabarkan prinsip-prinsip deklarasi tersebut. Namun dari titik itulah tantangan LPSK kedepan untuk memberikan perlindungan dan pelayanan bagi saksi dan atau korban dapat mulai dipetakan sedari dini. Bagaimana menjawab tantangan keterbatasan dalam undang-undang itu dengan kerja-kerja. Hak-hak dasar korban yang harus dipenuhi adalah right to know (hak untuk mengetahui), hak ini dapat dikaitkan dengan hak untuk mendaptkan informasi perkembangan kasus, proses hukumnya danterdakwa. Right to justice (hak untuk mendapatkan keadilan), proses hukum yang berjalan harusbertujuan untuk mengungkapkan kebenaran dan keadilan. Right to reparation (hak untuk mendapatkanpemulihan), hak ini harus dimiliki korban untuk memulihkan kondisi fisik dan psikis.
Dalam UU PSK, terdapat dua pasal yang secara khusus memerintahkan pemerintah untuk menyusun peraturan pemerintah mengenai ketentuan pemberian kompensasi dan restitusi dan ketentuan mengenai kelayakan pemberian bantuan menyangkut penentuan jangka waktu, dan besaran biaya. Kajian ini dimaksudkan untuk melihat kenyataan adanya kelemahan-kelemahan yang ada pada UU PSK, dihadapkan dengan adanya kebutuhan perangkat peraturan perundang-undangan untuk mengorganisasikan kerja-kerja konkrit LPSK kedepan.
       Pembahasan difokuskan mengenai pemberian bantuan serta tata cara pemberian bantuan sebagaimana yang diatur dalam UU PSK. Kajian ini akan mengurai mengenai permasalahan-permasalahan yang terdapat pada UU PSK berkaitan dengan pemberian bantuan. Lingkup kajian akan mencakup dimensidimensi konsep pemberian bantuan, bagaiamana implikasi dari konsep terhadap tata cara pemberian bantuan yang terdapat dalam UU PSK. Dari pembahasan dua hal tersebut akan dipetakan mengenai langkah-langkah penting yang diharapkan akan dilakukan LPSK dalam rangka menjalankan fungsi dan tugasnya. Pada bagian awal, kajian ini melakukan observasi singkat bagaimana UU PSK mengatur pemberian bantuan. Dalam bagian ini diuraikan kelemahan-kelemahan elemneter yang berkaitan dengan konsep pemberian bantuan dalam UU PSK. Aspek lainnya adalah bagaimana UU PSK menempatkan LPSK sebagai lembaga yang menjalankan mandat undang-undang untuk memberikan perlindungan saksi dan korban.
H.    Contoh Pemerkosaan yang Terjadi Pada Yuyun di Rejang Lebong
Kasus pemerkosaan hingga tewas yang menimpa pelajar SMP bernama Yuyun di Bengkulu mengundang keprihatinan mendalam. Bagaimana tidak, selain korban masih bocah, kejahatan tragis tersebut dilakukan secara beramai-ramai oleh 14 orang. Kian memprihatinkan karena sebagian besar pelaku adalah remaja. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ikut prihatin atas terjadinya kasus tersebut. Komnas HAM pun meminta pemerintah memberi perhatian serius pada kasus memilukan tersebut sehingga kasus serupa tidak terulang di kemudian hari. ”Ini sebuah tragedi kemanusiaan yang luar biasa yang dilakukan secara brutal dan serius, yang dilakukan sebagian besar oleh pemuda akibat miras,” kata Komisioner Komnas HAM Siane Indriani di Jakarta kemarin. Menurutnya, kasus ini jangan hanya dipandang sebagai tindakan kriminal biasa, tapi harus diusut serius sampai akar permasalahannya. Dia pun mendesak pelaku dihukum seberat-beratnya. ”Kita harus bersama-sama mencari akar permasalahannya dan tidak boleh terjadi lagi. Ini kasus yang sangat serius. Kita seperti kembali ke zaman barbar,” urai Siane.Pemerintah merespons serius kasus yang menimpa Yuyun. Kasus tersebut juga semakin memantapkan rencana memperberat hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual, termasuk memberlakukan hukum kebiri.
Penegasan ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise Yohana, dan Mensos Khofifah Indar Parawansa. Puan Maharani mengakui tingkat kejahatan seksual, khususnya terhadap anak, sudah berkategori darurat yang butuh penanganan serius dengan payung hukum atau regulasi yang memadai. Saat ini pemerintah sudah menyiapkan peraturan pengganti undang-undang (perppu) sebagai payung hukum untuk menjerat para pelaku kejahatan seksual sebagai penopang aturan perundang-undangan yang sudah ada.
Di dalam perppu tersebut dipertimbangkan adanya hukuman kebiri bagi para pelaku kejahatan seksual. Dengan demikian ada efek jera dan bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan tindak pidana kejahatan seksual, khususnya terhadap anak. ”Yang pasti memang ini sudah dalam proses secepatnya dan kemudian tentu saja akan segera ditindaklanjuti. Hanya memang perlu ada sinkronisasi masalah regulasi dan mekanisme berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Jadi sedang diproses,” kata Puan dikompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin.
Yohana Yembise menerangkan, agar kasus kekerasan kepada anak tidak berulang, UU Perlindungan Anak harus direvisi. Dia menceritakan, dulu kasus Angelina sudah menjadi pembelajaran. Pihaknya sudah menargetkan ada penurunan angka kekerasan pada perempuan. Pihaknya pun sudah berusaha memberantas perdagangan anak.Namun karena kasus Yuyun ini, lanjut dia, pemerintah dipaksa untuk melihat kembali bagaimana sistem perlindungan anak yang benar. Mengenai hukuman kebiri, kementerian telah mendorong agar sanksi kebiri direalisasi walaupun banyak pro dan kontra atas sanksi tersebut.  Dalam pandangannya, sanksi terhadap pelaku pemerkosaan yang hanya maksimal penjara 18 tahun di UU Perlindungan Anak masih kurangdanperluadasanksitambahan. ”Jadi sedang diselesaikan oleh kementerian. Minggu ini ada rapat eselon satu tentang hukum kebiri,” paparnya. Khofifah Indar Parawansa sepakat adanya hukuman maksimal bagi pelaku pemerkosaan demi menjerakan mereka, termasuk dengan dikebiri. Dalam pandangannya, kasus tersebut sudah akut. Selain hukuman pidana, Ketua Umum PP Muslimat NU ini juga menekankan sanksi sosial. ”Sanksi sosial dengan memublikasi pelaku bisa dipakai sebagai hukuman tambahan, termasuk kebiri,” katanya melalui pesan pendek kemarin.
Di saat yang sama, Khofifah berharap aspek preventif baik melalui sekolah maupun kepedulian masyarakat juga harus ditingkatkan. Khofifah juga meminta peran Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk menguatkan kontrol dari pemakaian teknologi informasi agar sifatnya lebih konstruktif. Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ledia Hanifa mendesak penegak hukum untuk mengenakan pasal berlapis dan tuntutan pidana maksimal terhadap 14 pelaku pemerkosaan dan pembunuhan siswi SMP 14 tahun di Reja Lebong, Bengkulu, pada April silam. Pasal berlapis itu adalah pasal pemerkosaan, kekerasan terhadap anak, kekerasan terhadap perempuan, pembunuhan hingga mabuk di area umum.
”Karenanya kita bisa berharap kepada penegak hukum agar mereka diberi tuntutan pidana mati atau pidana seumur hidup bagi pelaku dewasa atau yang berusia di atas 18 tahun dan pidana maksimal bagi pelaku di bawah 18 tahun,” tandas Ledia dalam siaran pers yang diterima KORAN SINDO . Menurut Ledia, sudah diketahui bahwa sebelum melakukan tindakan pemerkosaan tersebut, para pelaku kejahatan sempat menonton video porno dan mengonsumsi minuman keras (miras) berupa 14 liter tuak. Atas dasar itu, dirinya meminta pemerintah tidak hanya memandang dari sisi kekerasan, pemerkosaan, dan pembunuhan semata, tapi juga adanya persoalan pornografi dan miras secara lebih komprehensif. Pemerkosaan disertai pembunuhan terhadap Yuyun, 14, terjadi pada 2 April lalu. Peristiwa tragis terjadi ketika korban tengah dalam perjalanan dari sekolah menuju rumahnya di Desa Kasie Kasubun.
Saat itu pelajar SMP tersebut dicegat para pelaku yang berjumlah 14 orang dan kemudian diperkosa secara bergiliran di areal perkebunan yang berjarak 500 meter dari rumahnya. Tragisnya, korban diperkosa 14 pelaku secara berulangulang dalam kondisi tangan dan kaki terikat di kebun karet hingga tewas. Jenazah korban ini kemudian ditinggalkan begitu saja dengan ditutupi dedaunan. Mayat korban ini ditemukan pada 4 April 2016 oleh polisi bersama keluarga korban dibantu masyarakat. Ironisnya, beberapa pelaku juga ikut mencari korban. Sebelum melakukan perbuatan sadis itu, para pelaku menenggak miras dan sering nonton film porno.
Aparat Polsek Padang Ulak Tanding (PUT) sudah meringkus 12 tersangka dan masih memburu dua pelaku lagi. Kapolsek Padang Ulak Tanding AKP Eka Chandra mengaku telah mengantongi identitas dan keberadaan kedua pelaku. ‘’Sedang kita buru, identitas pelaku dan posisi pelaku telah kita kantongi,’’ katanya. Dia meyakini keduanya segera diringkus.
Dituntut 10 Tahun Penjara.  7 dari 12 tersangka pelaku pemerkosaan dan pembunuhan dituntut majelis hakim Pengadilan Negeri Curup 10 tahun penjara. Persidangan dengan agenda tuntutan ini berlangsung dalam penjagaan petugas dari Polres Rejanglebong mengingat kasusnya menarik perhatian masyarakat dan kelompok perlindungan perempuan di Rejang lebong dan Bengkulu.
Kepala Kejari Curup Eko Hening Wardhono seusai persidangan mengatakan ketujuh tersangka ini dituntut atas pelanggaran Pasal 80 ayat 3 dan Pasal 81 ayat 1 jo Pasal 76d UU Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak. ”Agenda persidangan kali ini ialah tuntutan di mana para tersangka pelakunya ada tujuh orang dengan status anak di bawah umur,” katanya. Ketujuh tersangka ini berstatus anak-anak berdasarkan keterangan orang tua tersangka dan dibuktikan dengan akta kelahiran dari tiap tersangka pelaku. Tujuh tersangka berstatus anak-anak, yaitu D alias J (17), A (17), FS (17), S (17), DI (17), EG (16), S (16). Mereka tercatat sebagai kakak kelas korban di SMPN 5 Padang Ulak Tanding. Adapun 5 tersangka lain adalah Tomi Wijaya alias Tobi, 19, Suket, 19, Bobi, 20, Faisal alias Pis, 19, dan Zainal, 23.
Para pelaku ini semuanya berasal dari Dusun V Desa Kasie Kasubun. Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Yogo Tri Hendiarto mengatakan, tindakan kejahatan yang melibatkan anak harus dikaji dengan sangat bijak.
Karena di satu sisi anak adalah pelaku, tapi di sisi lain mereka juga korban sehingga bagaimanapun hak mereka sebagai anak-anak harus tetap diperhatikan. ”Mereka dianggap korban karena belum sadar apa yang menjadi risiko atas perbuatannya dan bagaimanapun mereka membutuhkan perlindungan,”kataYogo.
Menurut dia, masyarakat juga turut menyumbang mengapa kejahatan seperti ini bisa terjadi. Maksudnya, karena pengawasan di masyarakat lemah, anak dengan mudahnya bisa memperoleh minuman keras, bahkan narkotika, yang dampaknya bisa menimbulkan perbuatan agresif. ”Anak-anak harus diawasi. Ketika peran orang tua hilang, mereka mencari ke teman sebaya,” katanya.

BAB III
PENUTUP
 KESIMPULAN
Prospek perlindungan korban tindak pidana pemerkosaan dalam proses peradilan pidana (KUHAP) di Indonesia yang akan datang seharusnya memasukkan ketentuan pidana ganti kerugian baik kompensasi, restitusi, maupun santunan untuk kesejahteraan sosial ke dalam ketentuan pidana tambahan agar hakim dapat memutuskannya bersamaan dengan pidana pokok, maupun secara mandiri jika terpidana hanya diancam dengan pidana denda secara tunggal. Dengan demikian, dalam pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana tidak hanya berorientasi pada pembaharuan dari sudut pendekatan kebijakan (legal reform), melainkan juga sudut nilai (law reform). Perlu adanya sosialisasi yang intensif kepada korban tindak pidana perkosaan akan hak-haknya. Jangan memandang korban tindak pidana perkosaan hanya sebagai saksi.
SARAN
  1. Dalam menangani korban perkosaan Masyarakat seharusnya juga ikut mendukung para perempuan korban kekerasan (perkosaan) untuk mendapatkan perlindungan hukum, sehingga bangsa Indonesia menjadi negara yang berhasil mensejahterakan masyarakat yang dilandasi oleh rasa kemanusiaan.
  2. Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dalam memberi pelayanan dan perlindungan kepada perempuan korban perkosaan seharusnya dilandasi oleh rasa kemanusiaan, dan dalam menangani kasus perkosaan tidak hanya menggunakan landasan KUHP saja melainkan juga menggunakan Undang-Undang di luar KUHP (tidak menggunakan sangkaan pasal tunggal).
  3. Kita sebagai mahasiswa hukum tidak hanya mengejar gelar sarjana saja, tapi kita harus ikut andil menangani penanggulangan tindak pidana kejahatan perkosaan, sehingga berkurangnya tindak kejahatan perkosaan tersebut. Dan wanita Indonesia harus membudayakan untuk menutup aurat sehingga tidak terjadi kejahatan perkosaan, karena kejahatan perkosaan terjadi karena perempuan yang memancing laki-laki untuk melakukan perkosaan dengan memakai pakaian yang mengoda dan feminism.
DAFTAR PUSTAKA          
  • Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti,  2005.
  • Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen, & Pelaksaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta: Widya Pandjadjaran, 2009.
·         Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-Antara Norma dan Realita, Jakarta, PT. RadjaGrafindo Persada, 2007 Harkristuti Harkrisnowo, Hukum Pidana
·         W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, PN Balai Pustaka, 1984
·         Adami Chazawi, 2005, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Raja Grafindo Persada, Jakarta
·         Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
·         R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politea, 1994.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A.    Latar Belakang............................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................... 3
A.    Pengertian Pemerkosaan................................................................................ 3
B.     Jenis-jenis Pemerkosaan................................................................................. 4
C.     Perlindungan Korban Pemerkosaan............................................................... 5
D.    Tindak Pidana Pemerkosaan........................................................................6
E. Dampak Pemerkosaan Bagi Korban............................................................10
F.  Penderitaan dan Kerugian yang dialami Korban Pemerkosaan...................11
G.    Ganti Kerugian Bagi Korban Pemerkosaan................................................16
H.    Contoh Pemerkosaan yang Terjadi Pada Yuyun di Rejang Lebong..........23
BAB III PENUTUP................................................................................................. 27
A.    Kesimpulan.................................................................................................... 27
B.     Saran.............................................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 28








No comments:

Post a Comment