1

loading...

Tuesday, November 20, 2018

MAKALAH STUDI ISLAM KEHIDUPAN DAN GENEOLOGI INTELEKTUAL ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR)


MAKALAH STUDI ISLAM

KEHIDUPAN DAN GENEOLOGI INTELEKTUAL ABDURRAHMAN WAHID
(GUS DUR)


BAB II
PEMBAHASAN
A.KEHIDUPAN GUS DUR
           K.H. Abdurrahman Wahid adalah anak pertama dari pasangan K.H. Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. Lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam (Agustus) 1940. Ada juga yang mengatakan ia lahir pada tanggal 4 Agustus, akan tetapi data menguatkan bahwa  Gus Dur lahir pada 4 Sya‟ban, sama dengan 7 September 1940.[1]
           Dalam tulisan Barton [2]K.H. Abdurrahman Wahid adalah anak pertama dari pasangan K.H. Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. Sebagaimana kebanyakan dalam tradisi muslim abangan di Jawa, yang sesuai dengan kebiasaan Arab sendiri, ia adalah Abdurrahman putra Wahid, sebagaimana ayahnya sendiri Wahid putra Hasyim. Namun demikian, sebagaimana kebiasaan orang jawa, nama tersebut akhirnya mengalami perkembangan dan berbeda dengan nama resminya.
             Kehadiran Gus Dur ini sangat membahagiakan kedua orang tuanya, karena ia adalah anak laki-laki dan anak pertama. Ia dipenuhi oleh optimisme seorang ayah. Ini bisa terlihat dari pemberian nama Abdurrahman Ad-Dakhil, terutama kata Ad-Dakhil jelas merujuk dari nama pahlawan dari Dinasti 33 Umayyah, yang secara harfiah berarti “Sang Penakluk”. Di dalam sejarah peradaban Islam, tokoh Ad-Dakhil adalah tokoh yang membawa Islam ke Spanyol dan mendirikan peradaban yang berlangsung di sana selama berabad-abad (Barton, 2003: 33).
              Gus Dur adalah anak yang tumbuh dan tidak bisa ditekan. Dengan kata lain, masa kecilnya nakal. Kenakalan ini mengakibatkan ia diikat dengan tambang ke tiang bendera di halaman depan sebagai hukuman bagi leluconnya yang terlalu jauh atau sikapnya yang kurang sopan.
        Bukti kenakalan lainnya adalah ketika ia belum berusia genap dua belas tahun, ia telah dua kali mengalami patah lengan akibat kegemarannya memanjat pohon apa saja. Pertama-tama lengannya patah karena dahan yang diinjaknya patah. Kemudian, ia hampir kehilangan tangannya. Ketika itu, ia mengambil makanan dari dapur dan kemudian memakannya di atas dahan sebuah pohon besar. Keenakan di atas pohon, ia tertidur dan kemudian menggelinding jatuh. Dalam ingatan Gus Dur, kala itu ia mengalami patah tulang serius sehingga tulang lengannya menonjol keluar. Oleh dokter ia dikhawatirkan akan kehilangan tangan-tangannya saat itu. Untungnya dokter yang menangani bergerak cepat sehingga tulang yang patah itu bisa disambung. (Barton, 2003: 38).
Sejak kecil, Gus Dur gemar membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi     ayahnya.
Abdurrahman Wahid yang sering dipanggil Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Desember 1940.[3] Ayahnya, K.H Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)–organisasi Islam terbesar di Indonesia–dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, yaitu K.H. Bisri Syamsuri.[4] K.H. Bisri Syamsuri merupakan tokoh NU yang menjadi Rais Aam Pengurus Besar (PB) NU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua orang utama NU dan tokoh bangsa.
Ketika menapak usia yang masih tergolong anak-anak, Gus Dur sering dijuluki Abdurrahman al-Dakhil. Gus Dur tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya. Ia tidak memilih tinggal bersama ayahnya, tetapi ikut bersama kakeknya.[5] Pada saat serumah dengan kakeknya itulah, Gus Dur mulai mengenal politik dari orang-orang yang tiap hari hilir mudik di rumah kakeknya.
Tahun 1950, Gus Dur dan saudara-saudaranya pindah ke Jakarta. Saat itu ayahnya, K.H. Wahid Hasyim dilantik menjadi Menteri Agama Republik Indonesia sehingga mereka harus bermukim di Jakarta. Karena kedudukan sang ayah ini pula, untuk kesekian kalinya Gus Dur cilik akrab dengan dunia politik yang didengar dari rekan-rekan ayahnya yang sering mangkal di rumah mereka. Lagi pula, Gus Dur sendiri adalah seorang bocah yang tergolong sangat peka mengamati dunia sekelilingnya. Tidak heran, menurut pengakuan ibunya, Ny. Wahid Hasyim, “sejak usia lima tahun, dia sudah lancar membaca. Gurunya, waktu itu, adalah ayahnya sendiri.”[6]
Selain membaca buku, kegemaran Gus Dur lainnya adalah main bola, catur, musik dan nonton film. Pada usia belasan tahun, segala jenis majalah, buku dan surat kabar dibacanya. Mulai dari filsafat, sejarah, agama, cerita silat hingga fiksi sastra, tidak sedikitpun ia lewatkan. Sementara perkenalannya dengan musik dimulai lewat pertemuannya dengan seorang pria Jerman bernama Iskandar (Willem Buhl).
Pada usia dua belas tahun, ia telah menjadi yatim. Pada bulan April 1953,[7]11 Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di pegunungan antar Cimahi dan Bandung, mobilnya kecelakaan. Gus Dur dapat diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.
 Masa remaja Gus Dur sebagian besar sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di tempat-tempat inilah ia mulai mengembangkan ilmunya. Ia banyak membaca buku seperti Das Kapital Karl Max, filsafat Plato, Thalles, dan novel William Bochner. Masa berikutnya, Gus Dur melanjutkan nyantrinya di Pesantren Tegalrejo, Magelang. Setelah menghabiskan waktunya selama dua tahun di Pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustad dan menjadi ketua keamanan.
Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir melanjutkan studi ke Universitas al-Azhar. Terdapat kondisi yang menguntungkan ketika ia berada di Mesir. Di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasionalis yang dinamis, Kairo pada waktu itu mengalami masa keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup.
Pada tahun 1966, Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak, ia masuk Departement of Religion di Universitas Baghdad sampai tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di sana ia mendapat rangsangan intelektual yang tidak ia dapatkan di Mesir. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada.
Kegiatannya di luar kampus adalah mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani, pendiri tarekat Qadiriyah. Ia juga mendalami ajaran Junaid al-Baghdadi, pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya.
Selanjutnya, Gus Dur melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya, ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup di rantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian keislaman secara mendalam. Namun pada akhirnya, ia pulang ke Indonesia setelah terilhami informasi yang menarik seputar perkembangan pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir tahun 1971.
Adapun perjalanan karir Gus Dur dimulai dari sebagai sekretaris di Pesantern Tebu Ireng. Selanjutnya, ia terlibat dalam kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin, dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren. Pada tahun 1979, Gus Dur hijrah ke Jakarta dan merintis Pesantren Ciganjur. Pada awal 1980, ia dipercaya sebagai Wakil Katib Syuriah PBNU, dan Gus Dur semakin serius menulis dalam bidang budaya, politik, maupun pemikiran Islam. Pada tahun 1983, ia menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI). Pada tahun 1984, Gus Dur terpilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-‘aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki Ketua Umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Posisi tersebut dikukuhkan pada muktamar ke-28 di Pesantren Krapyak Yogyakarta (1989) dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Beliau pernah menjadi orang nomor satu di Indonesia, yaitu sebagai presiden Republik Indonesia.




BAB 1
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG GUS DURG( atau nama kecilnya Abdurrahman ad-Dakhil,)
 lahir di Jombang pada 4 Sya‟ban atau 7 September 1940 di Denanyar dekat kota Jombang, Jawa Timur, di rumah pesantren milik kakeknya dari pihak ibunya, K.H. Bisri Syansuri.
1.Dari garis ayah,
ia adalah cucu Hadratusy Syekh K.H. Hasyim Asy‟ari, sedangkan dari garis ibu, ia adalah cucu K.H.Bisri Syansuri.Dengan demikian, nasabnya baik dari garis bapak maupun ibu adalah keturunan para ulama besar dan sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
        Sejak kecil Gus Dur dididik dan dibesarkan dalam tradisi pesantren yang
        kental di bawah naungan keluarga ulama. Menurut pengakuan ibunya, sejak usia 5 tahun ia sudah lancar membaca.3 Pada tahun 1955, ia melanjutkan sekolah ke SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Gowangan, Yogyakarta. Untuk menambah pengetahuan agama, ia belajar 3 kali dalam seminggu di Pesantren Krapyak yang letaknya sedikit di luar kota Yogyakarta. Di sini ia belajar bahasa Arab kepada K.H. Ali Ma‟sum, seorang kiai yang dikenal egaliter. Di pesantren ini kegemaran Gus Dur terhadap buku semakin meningkat. Karena kemampuan pemahaman bahasa Inggris yang dimiliki cukup baik, maka ketika Rosidi Volume 10, No. 2, Desember 2016 447 usia 15 tahun ia sudah banyak bersentuhan dengan pemikiran sosialisme Karl Marx, filsafat Plato, Talles, novel-novel William Bochner, dan buku-buku lain yang dipinjam dari perpustakaan dan guru-guru yang ada di SMEP Yogyakarta. Sebenarnya di SMEP pada tahun pertama ia bukan termasuk siswa yang cemerlang, bahkan ia terpaksa mengulang kelas karena gagal dalam ujian. Kegagalan ini bukan karena kebodohan, tetapi karena seringnya ia menonton pertandingan sepak bola, sehingga ia tidak punya banyak waktu untuk mengerjakan tugas sekolah.4 Karena pelajaran yang diterima di kelas dianggap kurang menantang, maka ia merasa bosan dan lebih banyak membaca buku-buku di luar pelajaran. Ia juga masih dalam suasana duka karena kehilangan ayah tercinta. Setelah tamat dari SMEP pada pertengahan tahun 1957 ia melanjutkan belajar di Pesantren Tegalrejo Magelang di bawah asuhan K.H. Khudhori yang merupakan tokoh NU di daerahnya. Di Tegalrejo ini pula Gus Dur banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku Barat. Pada tahun 1959, Gus Dur pulang ke kampung halaman, Jombang, untuk belajar secara lebih serius di Pesantren Tambak Beras di bawah bimbingan K.H. Wahab Hasbullah. Selama belajar di pesantren ini, ia dipercaya untuk ikut mengajar dan menjadi kepala sekolahnya. Selama nyantri di Tambak Beras ia juga masih rajin bersilaturahmi ke Krapyak, ke kediaman K.H. Ali Ma‟sum. Pada masa inilah, antara akhir tahun 1950-an hingga 1963, Gus Dur mendalami studi tentang Islam dan sastra klasik. Ia dikenal sebagai santri cemerlang. Studi ini tergantung dengan daya ingatan yang memang telah dimiliki oleh Gus Dur, walaupun ia juga dikenal sebagai sosok yang malas dan kurang disiplin dalam studi formalnya.
             Pada tahun 1960, Gus Dur mendapat kesempatan belajar ke
           Universitas al-Azhar Mesir melalui beasiswa dari Departemen Agama. Ketika itu usia Gus Dur 23 tahun. Pada tahun 1960-an Mesir adalah kota tempat menuntut ilmu bagi para pelajar Muslim Indonesia. Universitas al-Azhar adalah universitas tertua di dunia yang sudah berusia ribuan tahun. Universitas ini berabad-abad lebih Inklusivutas Pemikiran Keagamaan Abdurrahman Wahid tua daripada Oxford, Cambridge, Sorbonne, dan universitas-universitas tua lainnya di Eropa. Al-Azhar adalah juga pusat dari sejumlah ide yang sangat modern dari dunia Islam. Di bawah pimpinan Muhammad Abduh, salah seorang perintis modernisasi Islam, ide-ide pembaruannya diperkenalkan di Indonesia oleh mereka yang belajar di Universitas al-Azhar. Setelah berdiam selama satu tahun di Mesir, Gus Dur mendapat pekerjaan tetap di Kedutaan Besar Republik Indonesia. Sebagai pemimpin mahasiswa yang cemerlang dan kemampuan bahasa yang baik, maka ia dibutuhkan kedutaan besar. Ia pun bekerja setiap hari, dan dari pekerjaannya ia bisa menambah pendapatan dari beasiswa yang diterimanya untuk membeli buku, menonton film, dan keperluan lainnya. Melalui pekerjaannya ini Gus Dur mendapat kesempatan untuk bergaul dengan banyak kalangan serta banyak mendapat berita-berita terbaru dari Indonesia.
    Namun, setelah 7 tahun di Mesir ia merasa tidak betah, karena menurutnya ilmu yang dipelajari sama dengan apa yang didapat di pesantren di Indonesia. Akhirnya ia pindah ke Bagdad, kota seribu satu malam, untuk melanjutkan studi pada Fakultas Sastra. Di Universitas Bagdad inilah ia bisa mengembangkan pemikiran intelektualnya. Ia bisa membaca banyak karya peneliti besar seperti Emile Durkheim dan para peneliti Barat lainnya. Di universitas ini pula ia diminta untuk menulis asal usul Islam di Indonesia.5 Selama dua tahun di Bagdad, Gus Dur memfokuskan diri pada riset mengenai sejarah Indonesia. Dosen-dosennya memberikan izin untuk menulis mengenai Islam di Indonesia. Ia kemudian banyak membaca literatur tentang Islam dan Indonesia yang ternyata banyak ditemukan di perpustakaan di Bagdad, baik yang ditulis para Orientalis maupun oleh orang Indonesia sendiri. Dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada, Gus Dur berhasil menyelesaikan penelitiannya dengan baik.
 Selama di Bagdad Gus Dur banyak tertarik pada pemikiran-pemikiran kritis, baik dari ilmuwan Muslim maupun non-Muslim. Ia sangat mengagumi Paul Tillich, seorang teolog Kristen yang masyhur, renungan filsafat Muhammad Abduh, dan pemikiran Hassan Hanafi, pemikir Islam yang dianggap kekiri-kirian. Di antara pemikir tersebut, yang paling dihormati adalah Mohamed Arkoun, yang mencoba melihat Islam secara utuh. Di samping itu, dalam bidang tasawuf, Gus Dur juga sangat mengagumi al-Gazali, melalui karya monumentalnya Ihya‟ „Ulum ad-Din. Setamat studi di Bagdad, ia pun pindah ke Eropa. Mula-mula ia tinggal di Belanda untuk mendapatkan kesempatan belajar di pascasarjana di bidang perbandingan agama. Akan tetapi, setelah keliling di Universitas Leiden dan universitas lainnya, ternyata hasil belajar di Bagdad tidak mendapat pengakuan di Eropa, dan mensyaratkan ia harus mengambil strata sarjana lagi. Karena kecewa, akhirnya pada pertengahan 1971 Gus Dur kembali ke tanah air. Sepulang dari Eropa pada pertengahan tahun 1971, Gus Dur kembali ke pesantren. Ia kemudian diminta oleh yayasan keluarga untuk menjadi Dekan pada Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy‟ari Jombang hingga tahun 1974. Tahun 1976 ia banyak diminta untuk menjadi tenaga konsultan di beberapa departemen dan instansi, antara lain Departemen Koperasi, Departemen Agama, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM), baik di dalam maupun di luar negeri. Pada tahun 1983 ia pernah menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Pada tahun 1984 ia terpilih menjadi Ketua Umum PBNU. Dua tahun kemudian, yakni pada tahun 1986, ia dipercaya menjadi Ketua Festival Film Indonesia (FFI) dan anggota Dewan Pers Nasional. Pada Muktamar NU Ke-19 di Krapyak, Yogyakarta, ia kembali terpilih menjadi Ketua Umum PBNU untuk yang kedua kalinya. Kemudian pada Muktamar NU Ke-20 di Cipasung, Tasikmalaya pada tahun 1995, ia terpilih untuk yang ketiga kalinya sebagai Ketua Umum PBNU setelah mengalahkan Abu Hasan yang didukung oleh pemerintahan Soeharto. Inklusivutas Pemikiran Keagamaan Abdurrahman Wahid 450 Copyright @ 2016, KALAM, p-ISSN: 0853-9510, e-ISSN: 2540-7759
Gus Dur juga sering menjadi narasumber dalam seminar, baik di tingkat nasional maupun internasional. Sebagai tokoh LSM, ia sering tampil sebagai juru bicara LSM Indonesia di forum internasional semacam Acford di Bangkok. Ia juga pernah menghadiri komisi dialog dengan NOVIB tentang hak-hak asasi manusia. Sebagai pemikir nasional dan internasional, ia sering mendapat penghargaan bergengsi, seperti dinobatkan media massa sebagai “Tokoh 1999” newsmaker sehingga menjadi tokoh 1999. Dan, pada Maret 1999, ia diprediksikan sebagai kingmaker untuk Indonesia masa depan oleh sebuah majalah Singapura. Pada 13 Agustus 1993, Gus Dur bersama 4 warga Asia lainnya (Noburu Imamuru dari Jepang, Bano Coyaji dari India, Vo-Tong Xuan dari Vietnam, dan Brienvinido Lumberra dari Filipina) menerima hadiah Ramon Magsaysay di Manila, Filipina. Penghargaan itu diberikan berdasarkan keterlibatannya yang besar dalam upaya menumbuhkan toleransi agama di Indonesia. Pada 9 November 1994, Konferensi Sedunia Tentang Agama dan Kemanusian (World Conference on Relegion and Peace) yang bertempat di Rivadel Garda, Italia utara memutus-kan mengangkat Gus Dur sebagai salah satu presidennya.6 Rabu, 30 Desember 2009 Gus Dur wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo Jakarta setelah dirawat beberapa hari karena sakit dan dimakam-kan di komplek Pesantren Tebuireng Jombang, Tawa Timur. Gus Dur wafat dalam usia 69 tahun, dengan meninggalkan satu orang istri, Sinta Nuriyah, dan 4 orang putri, Alissa Qotrunada Munawaroh (Lissa), Zanuba Arifah Khafsoh (Yenny), Anita Hayyatunnufus (Nita), dan Inayah Wulandari .
Kepulangan Gus Dur menyisakan duka yang mendalam bagi bangsa Indonesia, karena kehilangan tokoh agama, pejuang demokrasi, pemimpin politik, pembela kaum minoritas, pengusung hak asasi, pahlawan pluralisme, penganjur perdamaian, dan penentang kekerasan. Semua karyanya dijalaninya dengan sepenuh hati sebagai panggilan hidup, sekaligus sebagai perwujudan keyakinan dan nuraninya. Dalam memperjuangkan prinsip hidup, Gus Dur tidak pernah ragu-ragu, tegas, tanpa kehilangan rasa humor yang tertinggi. Ia dikenal sebagai sosok yang humoris Rosidi Volume 10, No. 2, Desember 2016 451
dengan ucapanya yang sangat terkenal “gitu aja kok repot”. Kini bangsa Indonesia kehilangan sosok pemersatu dan pembela kaum minoritas. Selamat jalan, Gus Dur, damai bersama-Nya, semoga anak bangsa mau belajar dengan ketokohanmu.




2. Geneologi Intelektual Gus Dur
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, Ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an di Ponpes. Tebu Ireng, Jombang. Dalam usia lima tahun Ia telah lancar membaca al-Qur’an.
ia dikirim ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah di SMP. Di kota ini Ia berdiam di rumah seorang teman ayahnya Kiai Junaidi, seorang anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah. Dan untuk melengkapi pendidikannya, Ia juga pergi ke pesantren al Munawwir di Krapyak yang terletak di luar kota Yogyakarta tiga kali seminggu.[8]
           Di toko-toko buku di Yogyakarta yang menyediakan bukubuku untuk mahasiswa-mahasiswa UGM, Gus Dur dapat menemukan judul-judul buku menarik. Sebagai seorang remaja, ia mulai mencoba memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, dua orang pemikir penting bagi sarjana-sarjana mengenai Islam zaman pertengahan. Pada saat yang sama ia bergulat memahami Das Kapital karya Marx dan What is To be Done karya Lenin, kedua buku yang mudah diperoleh di negeri ini ketika Partai Komunis Indonesia membuat kemajuan besar. Ia juga banyak tertarik pada ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism dan dalam Little Red Book-Mao.[9]
   tahun 1957-1959 Gus Dur melanjutkan
belajarnya di Pesantren Tegalrejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren
ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok Kyai yang humanis, shaleh dan
   guru yang dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus
          Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual
      mistik. Di bawah bimbingan Kyai ini pula, Gus Dur mulai
      mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa.
Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus
Dur pindah kembali ke Jombang, di Pesantren Tambak Beras di bawah
bimbingan KH. Wahab Chasbullah




B.RUMUSAN MASALAH
   a.bagaimana kehidupan abdurrahman wahid?
         b.bagaimana perjalanan kehidupan abdurrahman wahid?
         c.siapa saja orang-orang tempat ambdurrahman wahid belajar?
 
C.TUJUAN
   a.untuk mengetahui geologi kehidupan abdurrahman wahid!
   b.mengetahui perjalanan abdyrrahman wahid!
   c.mempelajari kehidupan abdurrahman wahid!


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dilihat dari corak gagasan dan pemikirannya, tampak bahwa Gus Dur dapat dikategorikan sebagai pemikir multi warna. Karena dalam pemikirannya terdapat gagasan-gagasan yang unik yang dibangun atas dasar pandangan keagamaan, kemodernan dan kerasionalannya yang membawanya menjadi orang yang mempunyai pemikir ultradisional, rasional, liberal dan sekaligus kultural dan aktual.
Gagasan dan pemikirannya dalam bidang pendidikan secara signifikan berkisar pada modernisasi pesantren, mulai dari visi, misi, tujuan, kurikulum, menejemen dan kepemimpinan yang ada di pesantren harus diperbaiki sesuai dengan perkembangan zaman era globalisasi.
B. SARAN
Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nyalah pemakalah dapat menyelesaikan pembuatan makalah PPMDI, meskipun di dalamnya banyak kekurangan dan kesalahan baik segi penulisan, pengetikan, redaksionalnya, karena kami percaya bahwa kebenaran itu hanyalah milik Allah, oleh karena itu kritik dan saran sangat kami perlukan dari pembaca. Kurang lebihnya kami ucapkan terimakasih.


  
                                                         


DAFTAR PUSTAKA

1. Martin van Bruinessen , Triditionalist Muslim Movement in a  Modern-izing Worl. The Nahdatul Ulama and Indonesia’ s New Order.
2. Aziz Ahmad , Islamic Modernism in India and pakistan, 1857-1964, London, 1967.
3. Mona Abaza, Islamic Education, perception and Exchanges: Indonesian student in Cairo (paris: cahier d’Archipel, 23 1994).
4. Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942, Singapore: Oxford UniversityPress, 1973.
5. M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fiqh dalam politik (Jakarta: Gramedia, 1994).
6. Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World, London & New York: Kegan Paul International, 1990, 13.
Fazlur Rahman, “Islam: Past  Inffluence and present Challenge” dalam Islam: Challenges
7. and opportunities (Edinburg Press, 1979).



KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya..
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.



DAFTAR ISI

COVER…………………………………………………………………….……i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG…………………………………………………...…1
B.RUMUSAN MASALAH……………………………………………………6
C.TUJUAN……………………………………………………………………..6
BAB II
PEMBAHASAN
Kehidupaan Gus Dur……………………………………………………..…….7
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN………………………………………………………………11
B. SARAN………………………………………………………………………..11
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………....12













iii



[1]  (Rifai, 2013: 27)
[2]  (Barton, 2003: 22)
[3]Dedy Jamaluddin Malik dan Idy Suhendy Ibrahim, Zaman Baru Pemikiran Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik,
[4]Lihat Clifford Geertz, The Religion of Java (Glence: Free Press, 1960).
[5]Kompas, (3 Desember 1989).
[6]Editor, (22 Desember 1990), h. 8.
[7]Dalam karya Malik dan Suhendy, Zaman Baru Pemikiran Islam, h. 80, disebut pada tahun 1955, bukan tahun 1953.

[8] Greg Barton, Biografi Gus Dur, terj. (Yogyakarta: LKiS, 2008), cet. VIII, hlm. 25
[9] Ibid, hlm. 56.

No comments:

Post a Comment