MAKALAH STUDI ISLAM
KEHIDUPAN DAN GENEOLOGI INTELEKTUAL ABDURRAHMAN WAHID
(GUS DUR)
BAB II
PEMBAHASAN
A.KEHIDUPAN
GUS DUR
K.H. Abdurrahman
Wahid adalah anak pertama dari pasangan K.H. Wahid Hasyim dan Nyai Solichah.
Lahir pada
hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam (Agustus) 1940. Ada juga yang
mengatakan ia lahir pada tanggal 4 Agustus, akan tetapi data menguatkan
bahwa Gus Dur lahir pada 4 Sya‟ban, sama dengan
7 September 1940.[1]
Dalam tulisan Barton [2]K.H. Abdurrahman Wahid
adalah anak pertama dari pasangan K.H. Wahid Hasyim dan Nyai Solichah.
Sebagaimana kebanyakan dalam tradisi muslim abangan di Jawa, yang sesuai dengan
kebiasaan Arab sendiri, ia adalah Abdurrahman putra Wahid, sebagaimana ayahnya
sendiri Wahid putra Hasyim. Namun demikian, sebagaimana kebiasaan orang jawa,
nama tersebut akhirnya mengalami perkembangan dan berbeda dengan nama resminya.
Kehadiran Gus Dur ini sangat
membahagiakan kedua orang tuanya, karena ia adalah anak laki-laki dan anak
pertama. Ia dipenuhi oleh optimisme seorang ayah. Ini bisa terlihat dari
pemberian nama Abdurrahman Ad-Dakhil, terutama kata Ad-Dakhil jelas merujuk
dari nama pahlawan dari Dinasti 33 Umayyah, yang secara harfiah berarti “Sang
Penakluk”. Di dalam sejarah peradaban Islam, tokoh Ad-Dakhil adalah tokoh yang
membawa Islam ke Spanyol dan mendirikan peradaban yang berlangsung di sana
selama berabad-abad (Barton, 2003: 33).
Gus Dur adalah anak yang tumbuh
dan tidak bisa ditekan. Dengan kata lain, masa kecilnya nakal. Kenakalan ini
mengakibatkan ia diikat dengan tambang ke tiang bendera di halaman depan
sebagai hukuman bagi leluconnya yang terlalu jauh atau sikapnya yang kurang
sopan.
Bukti
kenakalan lainnya adalah ketika ia belum berusia genap dua belas tahun, ia
telah dua kali mengalami patah lengan akibat kegemarannya memanjat pohon apa
saja. Pertama-tama lengannya patah karena dahan yang diinjaknya patah.
Kemudian, ia hampir kehilangan tangannya. Ketika itu, ia mengambil makanan dari
dapur dan kemudian memakannya di atas dahan sebuah pohon
besar. Keenakan di atas pohon, ia tertidur dan kemudian menggelinding jatuh.
Dalam ingatan Gus Dur, kala itu ia mengalami patah tulang serius sehingga
tulang lengannya menonjol keluar. Oleh dokter ia dikhawatirkan akan kehilangan
tangan-tangannya saat itu. Untungnya dokter yang menangani bergerak cepat
sehingga tulang yang patah itu bisa disambung. (Barton, 2003: 38).
Sejak kecil, Gus Dur gemar membaca dan
rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi
ayahnya.
Abdurrahman Wahid yang sering dipanggil Gus Dur
adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar, Jombang,
Jawa Timur pada tanggal 4 Desember 1940.[3]
Ayahnya, K.H Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Jam’iyah
Nahdlatul Ulama (NU)–organisasi Islam terbesar di Indonesia–dan pendiri
Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri
Pesantren Denanyar Jombang, yaitu K.H. Bisri Syamsuri.[4]
K.H. Bisri Syamsuri merupakan tokoh NU yang menjadi Rais Aam Pengurus
Besar (PB) NU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur
merupakan cucu dari dua orang utama NU dan tokoh bangsa.
Ketika menapak usia yang
masih tergolong anak-anak, Gus Dur sering dijuluki Abdurrahman al-Dakhil. Gus
Dur tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya. Ia tidak memilih tinggal
bersama ayahnya, tetapi ikut bersama kakeknya.[5]
Pada saat serumah dengan kakeknya itulah, Gus Dur mulai mengenal politik dari
orang-orang yang tiap hari hilir mudik di rumah kakeknya.
Tahun 1950, Gus Dur dan
saudara-saudaranya pindah ke Jakarta. Saat itu ayahnya, K.H. Wahid Hasyim
dilantik menjadi Menteri Agama Republik Indonesia sehingga mereka harus
bermukim di Jakarta. Karena kedudukan sang ayah ini pula, untuk kesekian
kalinya Gus Dur cilik akrab dengan dunia politik yang didengar dari
rekan-rekan ayahnya yang sering mangkal di rumah mereka. Lagi pula, Gus Dur
sendiri adalah seorang bocah yang tergolong sangat peka mengamati dunia
sekelilingnya. Tidak heran, menurut pengakuan ibunya, Ny. Wahid Hasyim, “sejak
usia lima tahun, dia sudah lancar membaca. Gurunya, waktu itu, adalah ayahnya
sendiri.”[6]
Selain membaca buku,
kegemaran Gus Dur lainnya adalah main bola, catur, musik dan nonton film. Pada
usia belasan tahun, segala jenis majalah, buku dan surat kabar dibacanya. Mulai
dari filsafat, sejarah, agama, cerita silat hingga fiksi sastra, tidak
sedikitpun ia lewatkan. Sementara perkenalannya dengan musik dimulai lewat
pertemuannya dengan seorang pria Jerman bernama Iskandar (Willem Buhl).
Pada usia dua belas
tahun, ia telah menjadi yatim. Pada bulan April 1953,[7]11
Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk
meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di pegunungan antar Cimahi dan
Bandung, mobilnya kecelakaan. Gus Dur dapat diselamatkan, akan tetapi ayahnya
meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.
Masa remaja Gus Dur
sebagian besar sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di
tempat-tempat inilah ia mulai mengembangkan ilmunya. Ia banyak membaca buku
seperti Das Kapital Karl Max, filsafat Plato, Thalles, dan novel William
Bochner. Masa berikutnya, Gus Dur melanjutkan nyantrinya di Pesantren
Tegalrejo, Magelang. Setelah menghabiskan waktunya selama dua tahun di Pesantren
Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang dan tinggal di Pesantren Tambak
Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik
pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustad dan menjadi ketua
keamanan.
Pada usia 22 tahun, Gus
Dur berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian
diteruskan ke Mesir melanjutkan studi ke Universitas al-Azhar. Terdapat kondisi
yang menguntungkan ketika ia berada di Mesir. Di bawah pemerintahan Presiden
Gamal Abdul Nasr, seorang nasionalis yang dinamis, Kairo pada waktu itu
mengalami masa keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat
mendapat perlindungan yang cukup.
Pada tahun 1966, Gus Dur
pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup
maju. Di Irak, ia masuk Departement of Religion di Universitas Baghdad sampai
tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda
dengan di Mesir. Di sana ia mendapat rangsangan intelektual yang tidak ia
dapatkan di Mesir. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca
hampir semua buku yang ada.
Kegiatannya di luar
kampus adalah mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syaikh
Abd al-Qadir al-Jailani, pendiri tarekat Qadiriyah. Ia juga mendalami ajaran
Junaid al-Baghdadi, pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di
sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya.
Selanjutnya, Gus Dur
melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke
universitas lainnya. Pada akhirnya, ia menetap di Belanda selama enam bulan dan
mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di
Eropa. Untuk biaya hidup di rantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan
untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke
McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian keislaman secara mendalam.
Namun pada akhirnya, ia pulang ke Indonesia setelah terilhami informasi yang
menarik seputar perkembangan pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur
berakhir tahun 1971.
Adapun perjalanan karir
Gus Dur dimulai dari sebagai sekretaris di Pesantern Tebu Ireng. Selanjutnya,
ia terlibat dalam kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang pertama di
LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin, dan Adi Sasono dalam proyek
pengembangan pesantren. Pada tahun 1979, Gus Dur hijrah ke Jakarta dan merintis
Pesantren Ciganjur. Pada awal 1980, ia dipercaya sebagai Wakil Katib Syuriah
PBNU, dan Gus Dur semakin serius menulis dalam bidang budaya, politik, maupun pemikiran
Islam. Pada tahun 1983, ia menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia
(FFI). Pada tahun 1984, Gus Dur terpilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl
hall wa al-‘aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki
Ketua Umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Posisi tersebut dikukuhkan
pada muktamar ke-28 di Pesantren Krapyak Yogyakarta (1989) dan muktamar di
Cipasung Jawa Barat (1994). Beliau pernah menjadi orang nomor satu di
Indonesia, yaitu sebagai presiden Republik Indonesia.
BAB 1
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG GUS DURG( atau nama kecilnya Abdurrahman ad-Dakhil,)
lahir di Jombang pada 4 Sya‟ban atau 7
September 1940 di Denanyar dekat kota Jombang, Jawa Timur, di rumah pesantren
milik kakeknya dari pihak ibunya, K.H. Bisri Syansuri.
1.Dari garis ayah,
ia adalah cucu Hadratusy
Syekh K.H. Hasyim Asy‟ari, sedangkan dari garis ibu, ia adalah cucu K.H.Bisri
Syansuri.Dengan demikian, nasabnya baik dari garis bapak maupun ibu adalah
keturunan para ulama besar dan sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
Sejak kecil Gus Dur dididik dan
dibesarkan dalam tradisi pesantren yang
kental di bawah naungan
keluarga ulama. Menurut pengakuan ibunya, sejak usia 5 tahun ia sudah lancar
membaca.3 Pada tahun 1955, ia melanjutkan sekolah ke SMEP (Sekolah Menengah
Ekonomi Pertama) di Gowangan, Yogyakarta. Untuk menambah pengetahuan agama, ia
belajar 3 kali dalam seminggu di Pesantren Krapyak yang letaknya sedikit di
luar kota Yogyakarta. Di sini ia belajar bahasa Arab kepada K.H. Ali Ma‟sum,
seorang kiai yang dikenal egaliter. Di pesantren ini kegemaran Gus Dur terhadap
buku semakin meningkat. Karena kemampuan pemahaman bahasa Inggris yang dimiliki
cukup baik, maka ketika Rosidi Volume 10, No. 2, Desember 2016 447 usia 15
tahun ia sudah banyak bersentuhan dengan pemikiran sosialisme Karl Marx,
filsafat Plato, Talles, novel-novel William Bochner, dan buku-buku lain yang
dipinjam dari perpustakaan dan guru-guru yang ada di SMEP Yogyakarta.
Sebenarnya di SMEP pada tahun pertama ia bukan termasuk siswa yang cemerlang,
bahkan ia terpaksa mengulang kelas karena gagal dalam ujian. Kegagalan ini
bukan karena kebodohan, tetapi karena seringnya ia menonton pertandingan sepak
bola, sehingga ia tidak punya banyak waktu untuk mengerjakan tugas sekolah.4
Karena pelajaran yang diterima di kelas dianggap kurang menantang, maka ia
merasa bosan dan lebih banyak membaca buku-buku di luar pelajaran. Ia juga
masih dalam suasana duka karena kehilangan ayah tercinta. Setelah tamat dari
SMEP pada pertengahan tahun 1957 ia melanjutkan belajar di Pesantren Tegalrejo
Magelang di bawah asuhan K.H. Khudhori yang merupakan tokoh NU di daerahnya. Di
Tegalrejo ini pula Gus Dur banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku
Barat. Pada tahun 1959, Gus Dur pulang ke kampung halaman, Jombang, untuk
belajar secara lebih serius di Pesantren Tambak Beras di bawah bimbingan K.H.
Wahab Hasbullah. Selama belajar di pesantren ini, ia dipercaya untuk ikut
mengajar dan menjadi kepala sekolahnya. Selama nyantri di Tambak Beras
ia juga masih rajin bersilaturahmi ke Krapyak, ke kediaman K.H. Ali Ma‟sum.
Pada masa inilah, antara akhir tahun 1950-an hingga 1963, Gus Dur mendalami
studi tentang Islam dan sastra klasik. Ia dikenal sebagai santri cemerlang.
Studi ini tergantung dengan daya ingatan yang memang telah dimiliki oleh Gus
Dur, walaupun ia juga dikenal sebagai sosok yang malas dan kurang disiplin
dalam studi formalnya.
Pada tahun 1960, Gus Dur
mendapat kesempatan belajar ke
Universitas al-Azhar
Mesir melalui beasiswa dari Departemen Agama. Ketika itu usia Gus Dur 23 tahun.
Pada tahun 1960-an Mesir adalah kota tempat menuntut ilmu bagi para pelajar
Muslim Indonesia. Universitas al-Azhar adalah universitas tertua di dunia yang
sudah berusia ribuan tahun. Universitas ini berabad-abad lebih Inklusivutas
Pemikiran Keagamaan Abdurrahman Wahid tua daripada Oxford,
Cambridge, Sorbonne, dan universitas-universitas tua lainnya di Eropa. Al-Azhar
adalah juga pusat dari sejumlah ide yang sangat modern dari dunia Islam. Di
bawah pimpinan Muhammad Abduh, salah seorang perintis modernisasi Islam,
ide-ide pembaruannya diperkenalkan di Indonesia oleh mereka yang belajar di
Universitas al-Azhar. Setelah berdiam selama satu tahun di Mesir, Gus Dur
mendapat pekerjaan tetap di Kedutaan Besar Republik Indonesia. Sebagai pemimpin
mahasiswa yang cemerlang dan kemampuan bahasa yang baik, maka ia dibutuhkan
kedutaan besar. Ia pun bekerja setiap hari, dan dari pekerjaannya ia bisa
menambah pendapatan dari beasiswa yang diterimanya untuk membeli buku, menonton
film, dan keperluan lainnya. Melalui pekerjaannya ini Gus Dur mendapat
kesempatan untuk bergaul dengan banyak kalangan serta banyak mendapat
berita-berita terbaru dari Indonesia.
Namun, setelah 7 tahun
di Mesir ia merasa tidak betah, karena menurutnya ilmu yang dipelajari sama
dengan apa yang didapat di pesantren di Indonesia. Akhirnya ia pindah ke
Bagdad, kota seribu satu malam, untuk melanjutkan studi pada Fakultas Sastra.
Di Universitas Bagdad inilah ia bisa mengembangkan pemikiran intelektualnya. Ia
bisa membaca banyak karya peneliti besar seperti Emile Durkheim dan para
peneliti Barat lainnya. Di universitas ini pula ia diminta untuk menulis asal
usul Islam di Indonesia.5 Selama dua tahun di Bagdad, Gus Dur memfokuskan diri
pada riset mengenai sejarah Indonesia. Dosen-dosennya memberikan izin untuk
menulis mengenai Islam di Indonesia. Ia kemudian banyak membaca literatur
tentang Islam dan Indonesia yang ternyata banyak ditemukan di perpustakaan di
Bagdad, baik yang ditulis para Orientalis maupun oleh orang Indonesia sendiri.
Dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada, Gus Dur berhasil menyelesaikan
penelitiannya dengan baik.
Selama di
Bagdad Gus Dur banyak tertarik pada pemikiran-pemikiran kritis, baik dari
ilmuwan Muslim maupun non-Muslim. Ia sangat mengagumi Paul Tillich, seorang
teolog Kristen yang masyhur, renungan filsafat Muhammad Abduh, dan pemikiran
Hassan Hanafi, pemikir Islam yang dianggap kekiri-kirian. Di antara pemikir
tersebut, yang paling dihormati adalah Mohamed Arkoun, yang mencoba melihat
Islam secara utuh. Di samping itu, dalam bidang tasawuf, Gus Dur juga sangat
mengagumi al-Gazali, melalui karya monumentalnya Ihya‟ „Ulum ad-Din.
Setamat studi di Bagdad, ia pun pindah ke Eropa. Mula-mula ia tinggal di
Belanda untuk mendapatkan kesempatan belajar di pascasarjana di bidang
perbandingan agama. Akan tetapi, setelah keliling di Universitas Leiden dan
universitas lainnya, ternyata hasil belajar di Bagdad tidak mendapat pengakuan
di Eropa, dan mensyaratkan ia harus mengambil strata sarjana lagi. Karena
kecewa, akhirnya pada pertengahan 1971 Gus Dur kembali ke tanah air. Sepulang
dari Eropa pada pertengahan tahun 1971, Gus Dur kembali ke pesantren. Ia
kemudian diminta oleh yayasan keluarga untuk menjadi Dekan pada Fakultas
Ushuluddin Universitas Hasyim Asy‟ari Jombang hingga tahun 1974. Tahun 1976 ia
banyak diminta untuk menjadi tenaga konsultan di beberapa departemen dan
instansi, antara lain Departemen Koperasi, Departemen Agama, Lembaga
Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), dan beberapa
lembaga swadaya masyarakat (LSM), baik di dalam maupun di luar negeri. Pada
tahun 1983 ia pernah menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Pada tahun 1984 ia
terpilih menjadi Ketua Umum PBNU. Dua tahun kemudian, yakni pada tahun 1986, ia
dipercaya menjadi Ketua Festival Film Indonesia (FFI) dan anggota Dewan Pers
Nasional. Pada Muktamar NU Ke-19 di Krapyak, Yogyakarta, ia kembali terpilih
menjadi Ketua Umum PBNU untuk yang kedua kalinya. Kemudian pada Muktamar NU
Ke-20 di Cipasung, Tasikmalaya pada tahun 1995, ia terpilih untuk yang ketiga
kalinya sebagai Ketua Umum PBNU setelah mengalahkan Abu Hasan yang didukung
oleh pemerintahan Soeharto. Inklusivutas Pemikiran Keagamaan Abdurrahman Wahid
450 Copyright @ 2016, KALAM, p-ISSN: 0853-9510, e-ISSN: 2540-7759
Gus Dur juga sering menjadi narasumber dalam
seminar, baik di tingkat nasional maupun internasional. Sebagai tokoh LSM, ia
sering tampil sebagai juru bicara LSM Indonesia di forum internasional semacam
Acford di Bangkok. Ia juga pernah menghadiri komisi dialog dengan NOVIB tentang
hak-hak asasi manusia. Sebagai pemikir nasional dan internasional, ia sering mendapat
penghargaan bergengsi, seperti dinobatkan media massa sebagai “Tokoh 1999” newsmaker
sehingga menjadi tokoh 1999. Dan, pada Maret 1999, ia diprediksikan sebagai
kingmaker untuk Indonesia masa depan oleh sebuah majalah Singapura. Pada
13 Agustus 1993, Gus Dur bersama 4 warga Asia lainnya (Noburu Imamuru dari
Jepang, Bano Coyaji dari India, Vo-Tong Xuan dari Vietnam, dan Brienvinido
Lumberra dari Filipina) menerima hadiah Ramon Magsaysay di Manila, Filipina.
Penghargaan itu diberikan berdasarkan keterlibatannya yang besar dalam upaya
menumbuhkan toleransi agama di Indonesia. Pada 9 November 1994, Konferensi
Sedunia Tentang Agama dan Kemanusian (World Conference on Relegion and Peace)
yang bertempat di Rivadel Garda, Italia utara memutus-kan mengangkat Gus Dur
sebagai salah satu presidennya.6 Rabu, 30 Desember 2009 Gus Dur wafat di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusomo Jakarta setelah dirawat beberapa hari karena sakit dan
dimakam-kan di komplek Pesantren Tebuireng Jombang, Tawa Timur. Gus Dur wafat
dalam usia 69 tahun, dengan meninggalkan satu orang istri, Sinta Nuriyah, dan 4
orang putri, Alissa Qotrunada Munawaroh (Lissa), Zanuba Arifah Khafsoh (Yenny),
Anita Hayyatunnufus (Nita), dan Inayah Wulandari .
Kepulangan Gus Dur menyisakan duka yang mendalam
bagi bangsa Indonesia, karena kehilangan tokoh agama, pejuang demokrasi,
pemimpin politik, pembela kaum minoritas, pengusung hak asasi, pahlawan
pluralisme, penganjur perdamaian, dan penentang kekerasan. Semua karyanya
dijalaninya dengan sepenuh hati sebagai panggilan hidup, sekaligus sebagai
perwujudan keyakinan dan nuraninya. Dalam memperjuangkan prinsip hidup, Gus Dur
tidak pernah ragu-ragu, tegas, tanpa kehilangan rasa humor yang tertinggi. Ia
dikenal sebagai sosok yang humoris Rosidi Volume 10, No. 2, Desember 2016 451
dengan ucapanya yang sangat terkenal “gitu aja kok
repot”. Kini bangsa Indonesia kehilangan sosok pemersatu dan pembela kaum
minoritas. Selamat jalan, Gus Dur, damai bersama-Nya, semoga anak bangsa mau
belajar dengan ketokohanmu.
2. Geneologi Intelektual Gus Dur
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada
sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, Ia diajari
mengaji dan membaca al-Qur’an di Ponpes. Tebu Ireng, Jombang. Dalam usia lima
tahun Ia telah lancar membaca al-Qur’an.
ia dikirim ke Yogyakarta
untuk melanjutkan sekolah di SMP. Di kota ini Ia berdiam di rumah seorang teman
ayahnya Kiai Junaidi, seorang anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah. Dan untuk
melengkapi pendidikannya, Ia juga pergi ke pesantren al Munawwir di Krapyak
yang terletak di luar kota Yogyakarta tiga kali seminggu.[8]
Di toko-toko buku di
Yogyakarta yang menyediakan bukubuku untuk mahasiswa-mahasiswa UGM, Gus Dur
dapat menemukan judul-judul buku menarik. Sebagai seorang remaja, ia mulai
mencoba memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, dua orang pemikir
penting bagi sarjana-sarjana mengenai Islam zaman pertengahan. Pada saat yang
sama ia bergulat memahami Das Kapital karya Marx dan What is To be
Done karya Lenin, kedua buku yang mudah diperoleh di negeri ini ketika
Partai Komunis Indonesia membuat kemajuan besar. Ia juga banyak tertarik pada
ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile
Communism dan dalam Little Red Book-Mao.[9]
tahun 1957-1959 Gus Dur melanjutkan
belajarnya di Pesantren Tegalrejo Magelang Jawa
Tengah. Pesantren
ini diasuh oleh K.H.
Chudhari, sosok Kyai yang humanis, shaleh dan
guru yang dicintai. Kyai
Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus
Dur dengan ritus-ritus
sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual
mistik. Di bawah
bimbingan Kyai ini pula, Gus Dur mulai
mengadakan ziarah ke
kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa.
Setelah menghabiskan dua
tahun di pesantren Tegalrejo, Gus
Dur pindah kembali ke
Jombang, di Pesantren Tambak Beras di bawah
bimbingan KH. Wahab
Chasbullah
B.RUMUSAN MASALAH
a.bagaimana kehidupan abdurrahman wahid?
b.bagaimana perjalanan kehidupan abdurrahman wahid?
c.siapa
saja orang-orang tempat ambdurrahman wahid belajar?
C.TUJUAN
a.untuk
mengetahui geologi kehidupan abdurrahman wahid!
b.mengetahui perjalanan abdyrrahman wahid!
c.mempelajari kehidupan abdurrahman wahid!
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dilihat dari corak gagasan dan pemikirannya, tampak bahwa Gus
Dur dapat dikategorikan sebagai pemikir multi warna. Karena dalam pemikirannya
terdapat gagasan-gagasan yang unik yang dibangun atas dasar pandangan
keagamaan, kemodernan dan kerasionalannya yang membawanya menjadi orang yang
mempunyai pemikir ultradisional, rasional, liberal dan sekaligus kultural dan
aktual.
Gagasan dan pemikirannya dalam bidang pendidikan secara
signifikan berkisar pada modernisasi pesantren, mulai dari visi, misi, tujuan,
kurikulum, menejemen dan kepemimpinan yang ada di pesantren harus diperbaiki
sesuai dengan perkembangan zaman era globalisasi.
B.
SARAN
Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT
karena dengan rahmat dan karunia-Nyalah pemakalah dapat menyelesaikan pembuatan
makalah PPMDI, meskipun di dalamnya banyak kekurangan dan kesalahan baik segi
penulisan, pengetikan, redaksionalnya, karena kami percaya bahwa kebenaran itu
hanyalah milik Allah, oleh karena itu kritik dan saran sangat kami perlukan
dari pembaca. Kurang lebihnya kami ucapkan terimakasih.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Martin van Bruinessen , Triditionalist
Muslim Movement in a Modern-izing Worl.
The Nahdatul Ulama and Indonesia’ s New Order.
2. Aziz Ahmad , Islamic Modernism in India
and pakistan, 1857-1964, London, 1967.
3. Mona Abaza, Islamic Education, perception
and Exchanges: Indonesian student in Cairo (paris: cahier d’Archipel, 23 1994).
4. Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement
in Indonesia, 1900-1942, Singapore: Oxford UniversityPress, 1973.
5. M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di
Indonesia, Pendekatan Fiqh dalam politik (Jakarta: Gramedia, 1994).
6. Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in
the Modern World, London & New York: Kegan Paul International, 1990,
13.
Fazlur Rahman, “Islam: Past Inffluence and present Challenge” dalam
Islam: Challenges
7. and opportunities (Edinburg Press, 1979).
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan
Yang Maha Esa, karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan
pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya..
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
DAFTAR
ISI
COVER…………………………………………………………………….……i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG…………………………………………………...…1
B.RUMUSAN MASALAH……………………………………………………6
C.TUJUAN……………………………………………………………………..6
BAB II
PEMBAHASAN
Kehidupaan Gus Dur……………………………………………………..…….7
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN………………………………………………………………11
B. SARAN………………………………………………………………………..11
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………....12
iii
[3]Dedy Jamaluddin Malik dan Idy Suhendy Ibrahim, Zaman Baru Pemikiran
Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik,
[7]Dalam karya Malik dan Suhendy, Zaman Baru Pemikiran
Islam, h. 80, disebut pada tahun 1955, bukan tahun 1953.
No comments:
Post a Comment