1

loading...

Saturday, November 3, 2018

MAKALAH USHUL FIQH : FATWA DAN MUFTI SERTA LEMBAGA-LEMBAGA FATWA DI INDONESIA

MAKALAH USHUL FIQH : FATWA DAN MUFTI SERTA LEMBAGA-LEMBAGA FATWA DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Syariat Islam sebagai hukum mempunyai dua implikasi dalam kehidupan ummat manusia. Pertama adalah sebagai hukum negara melalui praktek peradilan atau quasi peradilan. Kedua adalah sebagai ketentuan halal-haram yang tercermin dalam lima kaedah hukum Islam (wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah) yang berbentuk ifta’ atau fatwauntuk pedoman masyarakat umum. Segi pertama syariat Islam sudah mendapat tempat secara terbatas dalam kewenangan Peradilan Agama/Mahkamah Syariyah di Indonesia sampai ke tingkat banding di Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syariyah Propinsi, dan tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Sementara itu segi kedua menyangkut kewenangan fatwa belum mendapat tempat yang semestinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Fatwa?
2.      Apa saja syarat-syarat seorang Mufti?
3.      Bagaimana kedudukan Fatwa dalam hukum Islam di Indonesia?
4.       Lembaga Fatwa apa saja yang ada di Indonesia?

C.    Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui dan memahami pengertian Fatwa.
2.      Mengetahui syarat-syarat seorang Mufti.
3.      Mengetahui dan memahami kedudukan Fatwa dalam hukum islam di Indonesia.
4.       Mengetahui Lembaga-lembaga Fatwa yang ada di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Fatwa dan Mufti
Fatwa berasal dari bahasa Arabفتوى  yang artinya nasihat, petuah, jawaban ataupendapat. Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorangmufti atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.[1]
Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta, suatu istilah yang merujuk pada profesi pemberi nasihat. Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan yang meminta fatwa disebut mustafti. Peminta fatwa bisa perseorangan, lembaga ataupun siapa saja yang membutuhkannya. 
Hukum berfatwa adalah fardu kifayah, kalau ada orang lain yang bisa memberi fatwa selain dirinya. Adapun kalau tidak ada orang lain yang bisa memberi fatwa dan masalah yang difatwakan itu cukup mendesak maka ia pun secara fardu ‘ain wajib memberi fatwa atas pristiwa itu.

B.     Syarat-Syarat Mufti
Syarat-syarat yang harus di miliki oleh seorang mufti antara lain adalah:
1.      Fatwanya harus didasarkan kepada kitab-kitab induk yang mutabar agar fatwa yang diberikan itu dapat diterima oleh penerima fatwa.
2.      Apabila ia berfatwa berdasrkan qoul seseorang alim, maka ia dapat menunjukan dasar sumber pengambilan fatwanya itu, dengan demikian ia terhindar dari berbuat salah dan bohong.
3.      Seorang mufti harus mengerti atau mengetahui berbagai macam pendapat ulama agar tidak terjadi kesalah fahaman antara ia dan penerima fatwanya.
4.      Seorang mufti haruslah seorang alim yang memiliki kejujuran. [2]

C.    Kedudukan Fatwa
Keperluan terhadap fatwa sudah terasa sejak awal perkembangan Islam. Dengan meningkatnya jumlah pemeluk Islam, maka setiap persoalan yang muncul memerlukan jawaban. Untuk menjawab persoalan tersebut diperlukan bantuan dari orang-orang yang kompeten di bidang tersebut. Dalam masalah agama, yang berkompeten untuk itu adalah para mufti atau para mujtahid.
Pada mulanya praktik fatwa yang diberikan secara lepas dan belum ada upaya untuk membukukan isi fatwa ulama-ulama tersebut. Fatwa pertama kali dikumpulkan dan sebuh kitab pada abad ke-12 M. Mazhab Hanafi memiliki sejumlah kitab fatwa sepertiaz-Zakhirat al-Burhaniyah, kumpulan  fatwa Burhanuddin bin Maza (wafat 570 H/1174). Inilah kitab kumpulan fatwa pertama.
Mazhab Maliki memiliki kitab kumpulan fatwa  bertajuk al-Mi'yar al-Magrib yang berisi fatwa-fatwa al-Wasyarisi (wafat 914 H/1508 M). Mazhab Hanbali juga memiliki sejumlah kitab fatwa, yang paling terkenal adalah Majmu al-Fatawa.
Di Indonesia juga ada sejumlah  buku kumpulan fatwa, seperti Tanya Jawab Agama dan Kata Berjawab yang diterbitkan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, selain itu ada juga Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, serta Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama.  
Berkaitan dengan kedudukan fatwa dalam kehidupan umat Islam, fatwa ini juga menegaskan bahwa fatwa memang tidak mengikat secara hukum, akan tetapi, ia bersifat mengikat secara agama, sehingga tidak ada peluang bagi seorang muslim untuk menentangnya bila fatwa itu didasarkan kepada dalil-dalil yang jelas dan benar.[3]

D.    Lembaga-lembaga Fatwa di Indonesia
1.      Majelis Tarjih Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah organisasi social keagamaan yang memiliki misi utama pembaharuan atau tajdid terhadap pemahaman agama.Pembaharuan dalam muhammadiyah meliputi dua segi jika dilihat dari sasarannya yaitu pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada kemurniannya dengan sasaran soal-soal prinsip perjuangan yang bersifat tetap dan pembaharuan dalam arti modernisasi dengan sasaran mengenai masalah metode, system, tektik, setrategi, taktik perjuangan dan lain-lain.
Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-17/1928 di Yogyakarta dibentuk susunan pengurus Majelis Tarjih Pusat sebagai ketuanya KH.Mas Mansur dan sekertaris KH.Aslan Z, dibuat anggaran dasar yang menetapkan tugas dari majelis tarjih adalah mengamati perjalanan Muhammadiyah yang berhubungan dengan hukum-hukum agama, menerima dan mentarjih hukum masalah khilafiyah yang diragukan hukumnya, penyelidikan dan pembahasan yang berdasarkan Al-Quran dan Hadis. Majelis Tarjih berfungsi untuk mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu.
Manhaj al-istinbath adalah majelis tarjih dan pengembangan pemikiran islam Muhammadiyah yang merumuskan secara dinamis aspek metodologis, yang dilakun terakhir pada tahun 2000 di Jakarta dengan prinsip yaitu mengbah istilah al- sunnah al-sohihah menjadi al-sunnah maqbullah sebagai sumber hukum sesudah al-Quran, posisi ijtihad adalah metode bukan sumber hukum, ijtihad meliputi metode bayani, ta’lili, dan ishtilahi, manhaj menentukan empat pendekatan untuk kepentingan menetapkan hukum, dan lain-lain.
Dalam majlis tarjih, manhaj pengembangan pemikiran islam dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip yang menjadi orientasi utamayaitu: prinsip al-muro’ah (konservasi), prinsip al-tahdidsi (inovasi), dan prinsip al-ibtikari (kreasi). Dalam pengambilan keputusan MTPPI terhadap persoalan-persoalanyang memerlukan perpestik oleh majlis ini dinahas dengan cara berupaya mencari dalil yang relevan, menerapkan manhaj al istinbath lalu menarik natijah hukumnya, hasil keputusan kemudian diajukan kepemimpinan muhammadiyah sesuai tingkatannya yang mempunyai otoritas untuk mentanfidzkan atau tidak sesuai pertimbangan yang dimiliki, namun semua yang telah ditanfidzkan masih tetap untuk diadkan tinjauan ulang.
2.      Lajnah Bahsul Masail NU
NU sebagai jam’iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima’iyah serta menjadikan paham sunah wal jama’ah sebagai basis teologi dan menganut salah satu dari mazhab.Metode istinbath hukum lajnah bahsul masail dikalangan NU tidak diartikan dengan mengambil hukum secara langsung (al-qur’an dan sunah), namun diartikan sesuai dengan sikap dasar bermazhab terutama mazhab Syafi’I menempati posisi yang dominan. Metode pengambilan keputusan hukum dirumuskan pada munas Bandar lampung pada tahun 1992 dengan susunan metodologisnya yaitu: kasus yang jawabannya ditemukan satu qoul (pendapat), maka qou itu yang diambil, kasus yang hukumnya ada dua pendapat maka dilakukan taqrir jama’i dalam memilih salah satunya, namun jika tidak ditemukan pendapat sama sekali dipakai ilhaq al-masail bin nadhariha secara jam’i oleh ahlinya, dan jika masalah yang dikemukakan jawabannya dalam ibarat kitab dan tidak bisa dilakukan ilhaq maka dilakukan istinbath jam’i.
3.      Majelis Fatwa Indonesia
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk:
a.       Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah SWT.
b.      Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.
c.       Menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah).
d.      Meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.[4]
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan kini KH. M. Sahal Mahfudz. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya.Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.
Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri.Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan.Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat Islam.Terdapat lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:
a.       Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya).
b.      Sebagai pemberi fatwa (mufti).
c.       Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah).
d.      Sebagai penegak amar ma'ruf nahi munkar.
e.       Gerakan Ishlah wa Al-tajdid.[5]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Titik tolak dari pemikiran tentang fatwa keagamaan pada dasarnya untuk memberikan arah yang konkret tentang prinsip-prinsip hukum syariat yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Namun inti dan sasarannya adalah agar umat islam mampu menciptakan pola pikir yang sistematis dalam mengkaji ajaran islam secara utuh dan murni. Sehingga tercipta suatu pola pikir dan hasil ijtihad para ahli/ulama untuk menemukan dalil-dalilyang konkret dalam mengambil keputusan hukum-hukum syariat islam.
Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri.Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan.
Sehingga fatwa menjadi sangat urgen dalam menghadapi permasalahan tersebut diatas. Dengan adanya lembaga fatwa resmi tentunya penjelasan hukum yang masih gelobal menjadi mudah difahami dan juga menjawab permasalahan-permasalahan baru yang kian hari kian kompleks.

B.     Kritik dan Saran
Penulis menyadari masih banyak terdapat kesahalahan dan kekurangan dalam penyusunan dan penulisan makalah ini, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran yang bersifat membangun dari dosen pembimbing dan teman-teman guna perbaikan makalah ini kedepannya, penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Fatah, Rohadi, Analisis Fatwa Keagamaan, Bumi Aksara:Jakarta. 2006.
Amirudin, Zen, Ushul Fiqih, Teras ; Yogyakarta. 2009.
Mubarak, Jaih, Ijtihad Kemanusiaan, Pustaka Bani Quraisy:Bandung, 2005
Taufik Hidayat,Racmat dkk.,Almanak Alam Islami, , Pustaka Jaya: Jakarta. 2000.
Kangasyad. 2009. Metode Ijtihad Ormas Islam Indoensia. Diakses melalui http://kangasyad.blogspot.com/2009/12/metode-ijtihad-ormas-islam-indonesia-nu.html. Pada tanggal 5 Oktober 2017 Pukul 15,35WIB.
                                            



[1] Racmat Taufik Hidayat dkk.,Almanak Alam Islami, , Pustaka Jaya: Jakarta. 2000. hal.
[2] Zen Amirudin, Ushul Fiqih, Teras ; Yogyakarta. 2009. Hal. 213
[3] Jaih Mubarak, Ijtihad Kemanusiaan, Pustaka Bani Quraisy:Bandung, 2005
[4] Kangasyad. 2009. Metode Ijtihad Ormas Islam Indoensia. Diakses melalui http://kangasyad.blogspot.com/2009/12/metode-ijtihad-ormas-islam-indonesia-nu.html. Pada tanggal 5 Oktober 2017 Pukul 15,35WIB.
[5] Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan, Bumi Aksara:Jakarta. 2006 hal.140

No comments:

Post a Comment