MAKALAH PERAN
WALI SONGO DALAM PENYEBARAN ISLAM DI PULAU JAWA
SEJARAH
ISLAM INDONESIA
A.
Pengertian Walisongo
Ada
beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan,
menandakan jumlah wali yang sembilan orang, atau sanga dalam bahasa Jawa. Wali
berasal dari bahasa Arab suatu bentuk singkatan dari waliyullah yang artinya
wali Allah; sahabat Allah; orang yang mencintai dan dicintai Allah (Dadan
Wildan, 2012:199, Rachmat Abdullah, 2016:64 & Ricklefs, 2008:8). Wali juga
bermakna orang shaleh (suci); penyebar agama; kepala pemerintahan dan
sebagainya (Depdiknas, 2005:1267).
Kata wali berasal dari bahasa Arab
wala atau waliya yang berarti qoroba, yaitu dekat dengan; menguasai, mengurus,
memerintah, menolong, dan lain-lain (Sholeh So’an 2002:50). Dalam al-Qur’an
istilah tersebut (wali) dipakai dengan pengertian kekasih (baca: Q.S.
al-Jumu’ah [62] : 6), pelindung (baca: Q.S. al-Baqarah [2] : 107), penolong
(baca: Q.S. at-Taubah [9] : 71), pemimpin (baca: Q.S. al-Maidah [5] : 57),
teman setia (baca: Q.S. Fushshilat [41] : 34). (Risalah, No. 11 Februari
2010:28-29).
Bertalian dengan istilah wali,
terdapat beberapa pendapat, diantaranya sebagai berikut:
·
Muhammad
Jamaluddin al-Qasimi berkata “Kata wali menurut makna asalnya ialah kebalikan
dari musuh, dengan demikian maka artinya: orang yang mencintai Allah dengan
ketaatan penyembahan serta pengabdian kepada-Nya. Kecuali itu juga mempunyai
makna sebagai penderita, artinya: orang-orang dicintai oleh Allah dengan
memperoleh kemuliaan dari-Nya”.
·
Syaikh Yusuf bin
Ismail al-Nabhani berkata “Maka arti kata wali ialah orang yang secara
terus-menerus taat batinnya kepada Allah tanpa diselingi perbuatan dosa”.
Dalam kapasitas tersebut mereka
disebut pula dengan sunan, kependekan dari suhun, susuhunan atau sinuhun,
dengan disertai atau tidak disertai sebutan kanjeng sebagai kependekan dari
kata kang jumeneng, pangeran, atau sebutan lain yang biasa diterapkan bagi para
raja atau penguasa pemerintah daerah di jawa. Yang berarti “menghormati”,
disini bentuk pasifnya yang berarti “dihormati”. Sebagian lagi berpendapat
bahwa songo berasal dari kata sangha dari istilah agama Budha yang berarti
perkumpulan atau jamaah para Bhiksu Budha (Dadan Wildan, 2012:199 &
Ricklefs, 2008:18).
B.
Nama-Nama
Walisongo
1.
Sunan Gresik
Sunan Gresik adalah Maulana Malik
Ibrahim. Nama lain yang sering dipakai oleh beliau ialah “Maulana Maghribi atau
Maulana Ibrahim”. Menurut Au Su’ud disebut demikian karena kemungkinan dia
berasal dari negeri Magribi (Maroko), yaitu tempat matahari terbenam. Namun
tidak ada bukti lain tentang kebenaran kemungkinan tersebut. Masalah waktu
kelahiran Maulana Malik Ibrahim tidak ada kesepakan di kalangan para ahli
sejarah. Akan tetapi ia diperkirakan lahir sekitar pertengahan abad ke-14
(1350). Ulama dari negeri Arab bin Sayid Zainul Aliem bin Sayid Zainul Abidin
bin Sayidina Husain bin Ali.
Bahkan pada waktu datangnya ke
Indonesia, khususnya ke pulau jawa, tidak ada berita secara pasti, namun
setelah tiba di pulau Jawa beliau menetap di sebuah desa Leran yang terletak di
luar kota Gresik, dan di desa Leran inilah beliau menjalankan dakwah Islam
dimana rakyat setempat banyak tertarik dengan agama baru ini, lalu memeluknya
menjadi pengikut Islam. Dalam beberapa literatur, kedatangan Maulana Malik
Ibrahim ke tanah Jawa dicatat sebagai permulaan masuknya Islam. Karena itu, ia
dianggap sebagai orang yang mula-mula memasukkan Islam ke Jawa dan sebagai
pendiri pondok pesantren pertama di Indonesia, sehingga disebut bapak pesantren
Jawa.
Pada saat itu, Maulana Malik Ibrahim
menghadap raja Majapahit dan menceritakan maksudnya mau berdakwah Islam
sekalipun mengajak raja Majapahit untuk memeluk Islam. Waktu meninggalkan
istana Majapahit, maka oleh raja Majapahit diberi sebidang tanah di Desa Gapura,
Gresik, sebagai tempat mengembangkan Islam. Tanah yang dihadiahkan raja
Majapahit itu dikenal dengan sebutan “Tanah Perdikan”, [yang mana] di atas
tanah tersebut didirikan sebuah masjid untuk tempat beribadah dan tempat
mengajarkan Islam. Urut tradisi/babad Jawa, maka Maulana Malik Ibrahim adalah
seorang ulama dari tanah Arab, keturunan Zainal Abidin, cicit Nabi Muhammad,
demikian tulis Prof. Dr. Husein Djayadiningrat. Menurut Prof. Dr. Hamka, bahwa
“nampaknya Maulana Malik Ibrahim datang dari Kasyan, Persia, bangsa Arab dari
keturunan Rasulullah, yang datang ke Jawa sebagai penyebar agama Islam”, dan
menurut Minhajul Afkar diduga Maulana Malik Ibrahim berasal dari Gujarat. Ia
berdasarkan tulisannya pada:
1)
Tulisan Tome’
Pires yaitu: At the time in which pagan were living on the coast of Java, many
persians, Arans and gujjarad traders used to come these pleaces.
2)
Tulisan J.P.
Moquette yang menyetakan bahwa batu nisan dari makam Maulana Malik Ibrahim
berasal dari Cambay, Gujarat, yang mirip sekali dengan batu nisan makan Umar
bin Ahmad al-Kazarani yang terdapat di Cambay, Gujarat.
Maulana Malik Ibrahim tidak pernah
menentang agama dan keyakinan penduduk asli dengan tajam. Adat istiadat mereka
pun tidak ditentang secara terbuka. Thomas Stamford Raffles menyemukakan
pandangan Maulana Malik Ibrahim mengenai ketuhanan. Dikemukakan bahwa yang
penting tentang Tuhan Allah adalah keberadaannya. Dalam menyebarkan ajaran
Islam, Maulana Malik Ibrahim dihadapkan pada keadaan masyarakat Jawa yang pada
umunya adalah pemeluk agama Hindu dan Budha dan berada dalam kekuasaan kerajaan
Majapahit. Masyarakat pada waktu itu menganut struktur sosial yang berkasta,
yaitu kasta Sudra, kasta Waisya, kasta Ksatria, dan Kasta Brahmana. Masyarakat
yang demikianlah yang menjadi sasaran dakwah para saudagar muslim dan Maulana
Malik Ibrahim, karena menurut mereka bahwa umat manusia adalah sama kedudukan
dan derajatnya di hadapan Allah Swt., yang membedakan antara yang satu dengan
yang lainnya hanyalah ketakwaan seseorang. Sebagaimana Firman Allah dan Sabda
Rasul-Nya yang berbunyi:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal”. Q.S. al-Hujurat : 13.
“Tidak
ada perbedaan (yang membedakan) antara orang Arab atas orang selainnya kecuali
ketakwaannya”.
Meskipun catatan dalam sejarah
belum diketahui kelahiran dan tibanya ke Indonesia, yang jelas Maulana Malik
Ibrahim (Sunan Gresik) berjasa sekali dalam penyebaran agama Islam di Jawa,
khususnya di Gresik. Beliau menyebarkan Islam selama 20 tahun dan wafat di
Gresik pada tanggal 12 Rabiul Awal 822 H/8 April 1419 M dan dimakamkan di
Perkuburan gapura Wetan, Gresik. (Dadan Wildan, 2012:201, Abu Su’ud, 2003:12
dan Sholeh So’an, 2002:52-54).
2.
Sunan Ampel
Sunan Ampel nama aslinya pada waktu
muda adalah “Ahmad Rahmatullah” atau yang biasa disebut juga Raden Rahmat,
putera Maulana Malik Ibrahim dari isterinya yang bernama “Dewi Candra-Wulan”,
putri kedua Baginda Kiyan. Dalam literatur lain telah dijelaskan pula bahwa
isteri beliau bernama “Dewi Candrawulan, puteri pertama Ratu Campa yang telah
menganut agama Islam”. Masalah kelahiran beliau samapi kini belum tercatat oleh
sejarah. Dadan Wildan menyebutkan bahwa Sunan Ampel putra dari Ibrahim
Asmorokandi seorang ulama terkenal dari Arab yang menyebarkan agama Islam di
Campa (kebanyakan ahli sejarah menganggap bahwa Champa ada di Indo China dekat
Kamboja) yang menikah dengan puteri Campa, Dewi Candrawulan, saudari puteri
Darawati, permaisuri angka Wijaya, Raja Majapahit. Raffles beranggapan bahwa
Champa ada di Aceh, tepatnya di daerah bernama Jeumpa.
Sunan Ampel adalah penerus cita-cita
serta perjuangan ayahnya, Maulana Malik Ibrahim, dan terkenal sebagai perencana
pertama kerajaan Islam di Jawa. Ia mendapat didikan agama Islam dari ayahnya,
Maulana Malik Ibrahim. Akan tetapi dalam referensi lain dikatakan bahwa ia
telah mendapatkan didikan ilmu agama dari ayahnya bernama Ibrahim Asmarakandi
atau orang Jawa menyebutnya Ibrahim Asmoro. Kedua nama menurut penulis kurang
begitu jelas, apakah itu nama yang sama untuk satu orang yang disebut Sunan
Gresik, ataukah nama dua orang yang berbeda akibat dari ketidakjelasan sumber
sejarah yang ada sampai saat ini. Tetapi yang jelas, bahwa Sunan Ampel semasa
kecilnya mendapat didikan ilmu agama Islam dari ayahnya tercinta.
Menginjak usia dewasa dan “dianggap
cukup ilmunya”, ia dikirim ayahnya ke Jawa untuk menyiarkan Islam dan
mengunjungi bibinya, yaitu putri Darawati, yaitu isteri Raja Majapahit
Angkawijaya. Raden Rahmat waktu tiba di Jawa (Kerajaan Majapahit) baru berumur
20 tahun. Setelah beberapa lama, ia mendengar berita bahwa negeri Champa
diserbu oleh Raja Koci sehingga ia berhasrat pulang. Hanya saja Prabu Brawijaya
menasehatinya dan meminta agar kemenakan permaisurinya menetap saja di tanah
Jawa.
Sunan Ampel menikah dengan Nyai
Ageng Manila yang berasal dari Tuban, puteri Ki Gede Manila seorang Adipati
yang bergelar Tumenggung Walatikta. Dari pernikahannya Sunan Ampel memperoleh
empat orang putra, yaitu Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan
Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), dan seorang putri yang kemudian menjadi
istri Sunan Kalijaga.
Sunan Ampel memulai aktivitasnya
dengan mendirikan pondok pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya, sehingga ia
dikenal sebagai pembina pondok pesantren pertama di Jawa Timur. Di pesantren
inilah Sunan Ampel mendidik para pemuda Islam untuk menjadi tenaga da’i yang
akan disebar ke seluruh Jawa. Kepada santrinya Sunan Ampel memberikan
pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah
yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh
madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman
keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotika, dan tidak berzina)
Di antara pemuda yang dididik itu
tercatat antara lain Raden Paku, yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Giri
dan menyebarkan Islam di Giri, Raden Patah yang kemudian menjadi sultan pertama
kesultanan Islam di Bintoro, Demak, Raden Makdum Ibrahim (putra Sunan Ampel
sendiri) yang kemudian dikenal Sunan Bonang, Syarifuddin yang kemudian dikenal
dengan Sunan Drajat, Maulana Ishak yang pernah diutus ke daerah Blambangan
untuk mengislamkan rakyat di sana, dan banyak lagi mubaligh yang mempunyai
andil besar dalam Islamisasi Pulau Jawa. Disamping itu Raden Rahmat juga
mengirim Syaikh Khalifah Husen ke Madura.
Sunan Ampel berselisih paham dengan
Sunan Kudus mengenai gagasan Sunan Kalijaga untuk menerima ajaran pra-Islam,
seperti selamatan atau sesaji, dengan sentuhan Islam. Sementara Sunan Kudus
menerima gagasan Sunan Kalijaga, Sunan Ampel menolaknya, karena khawatir
melakukan bid’ah, yang menyesatkan umat.
Raden Rahmat menyebarakan Islam di
sepanjang Jawa dengan damai dan akhirnya Islam berkembang di Pulau Jawa atas
kerjasama antara penguasa lokal dengan ulama. Kerajasama itu akhirnya
melahirkan Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa dengan Raden
Patah (putera Prabu Brawijaya V, raja Majapahit) sebagai sultan pertamanya yang
tak lain adalah murid dari Raden Rahmat sendiri yang bergelar Senopati Jimbun
Ngabdurrahman. Sunan Ampel dimakamkan di Tuban Jawa Timur. (Sholeh So’an,
2002:54-55; Dadan Wildan, 2012:201; Badri Yatim, 2004:211; Abu Su’ud, 2003:126;
Helmiati, 2011:57; dan Jaih Mubarok, 2004:226-227).
Sebagian masyarakat Jawa suka membuat
Sega Abang (nasi dari beras merah), panggang ikan Badar dan dibumbui dengan
garam. Sajen Mumule untuk para leluhur yaitu Sunan Ampel. (Wahyana, 2010:48).
3.
Sunan Bonang
Maulana Makdum Ibrahim adalah Sunan
Bonang pada masa remajanya. Sebutan Makdum mengingatkan pada sejarah Melayu
yang para rajanya dikenal dengan gelaran yang sama. Gelaran itu bermakna
penolong yang harus dihormati.
Ia adalah anak dari Sunan Ampel dari
isterinya puteri Tuban yang bernama Nyai Ageng Manila binti Arya Teja. Dalam
literatur lain diterangkan bahwa Sunan Bonang adalah Raden Rahmat dari
perkawinannya dengan Dewi Candrawati dan merupakan saudara sepupu Sunan
Kalijaga. Dari sepasang seorang laki-laki dan seorang perempuan itulah Sunan
Bonang mempunyai dua saudara, yaitu “Nyi Gede Maloka dan Nyi Gedeng Pancuran”,
dan juga seorang lagi bernama Syarifuddin Hasyim (Sunan Drajat) dari
perkawinannya dengan wanita lain. Sunan Bonang dilahirkan di Ampel Denta,
Surabaya, pada tahun 1465 Masehi dan meninggal dunia di Tuban pada tahun 1525
Masehi (1001 H). Sunan Bonan mendapat gelar Nyokrokusumo.
Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa Sunan Bonang adalah murid dari ayahnya sendiri. Setelah
mencari ilmu agama dari sang ayah, ia juga sempt menimba ilmu agama dari
Maulana Ishak di Pasai, Aceh, dan akhirnya kembali ke Tuban Jawa Timur.
Sunan Bonang dan para wali lainnya
dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan
masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang serta musik gamelan. Menurut
penuturan K.H. Abdul Ghafur yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Sunan
Drajat, bahwa sebelum kedatangan para wali, Tuban dan sekitarnya adalah pusat
kesenian wayang, ketoprak, gending, dan sebagainya yang senantiasa diwarnai
dengan pesta mabuk-mabukkan, perjudian, perzinahan, dan seterusnya.
Mengetahui kondisi yang sedemikian
rupa, Sunan Bonang yang pusat wilayah dakwahnya dekat sekali dengan saudaranya,
Sunan Drajat, berusaha menanamkan rasa keimanan pada jiwa masyarakat dengan
menyisipkan kalimat syahadatain pada setiap bait syair lagu gamelan yang
dianggap penuh dengan kemusyrikan dan berbau tahayul. Gamelan yang mengiringi
syair dikenal dengan istilah sekaten, yang berasal dari bahasa syahadatain.
Disamping mengganti syair gamelan, Sunan Bonang juga menciptakan lagu yang
dikenal dengan tembang Durma (istilah yang sampai saat ini hampir sudah
merakyat di kalangan masyarakat Jawa Timur, khususnya Jawa Timur bagian barat
adalah gending), sejenis macapat yang melukiskan suasana tegang, bengis, dan
penuh amarah. Sunan Bonag juga berusaha mengganti nama-nama hari naas (sial)
menurut kepercayaan Hindu, dan nama-nama dewa Hindu digantikan dengan nama-nama
malaikat serta nabi-nabi, dengan maksud untuk lebih memperkenalkan nama-nama
Islam di kalangan umat
Sunan Bonang disamping dikenal
sebagai seorang ulama yang menciptakan gending, dia juga sangat dikelanal
sebagai penerbit primbon, yaitu catatan pendidikan yang telah disampaikan
kepada muridnya, Raden Patah, putra raja Majapahit Prabu Brawijaya V. Primbon
tersebut dinamakan “Suluk Sunan Bonang atau Primbon Sunan Bonang”.
Sunan Bonang adalah wali sufi yang
dikenal sangat produktif dalam dunia penulisan. Diantara suluk-suluknya ialah,
Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wujil, Suluk
Wasiyat, Gita Suluk Latri, dan lain-lain. Dia juga menulis risalah tasawuf
dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya. Salah satu versi dri
risalah tasawufnya itu telah ditransliterasikan dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris oleh Drewes dengan judul The Admonitions of She Bari (Pitutur
Syaikh Bari). Dari sini terlihat betapa para wali berusaha untuk melakukan
pribumisasi terhadap ajaran agama Islam.
Kembali kepada pembahasan Sunan
Bonang, beliaulah satu-satunya wali dari sembilan wali yang sampai sekarang
diketahui ajaran dan keasliannya dapat dipegang. Bahkan ajarannya yang
termaktub dalam Primbon Sunan Bonang masih tersimpan di Universitas Leiden,
Negeri Belanda. Ajaran Sunan Bonang ini mengambarkan bagaimana corak ajaran
Islam dari Walisongo secara umum yang tersebar di pulau Jawa. Alasan mengapa
“ajaran Sunan Bonag mewakili semua ajaran Walisongo”, ialah:
1) Sunan
Bonang adalah putera dari Sunan Ampel, yang sekaligus menjadi murid dari Sunan
Ampel.
2) Sunan
Bonag diberi gelar Prabu Hanyakrawati yang dijuluki “selubung ngelmu lan agama”
adalah merupakan “mufti” dalam soal agama Islam.
3) Sunan
Bonang seperguruan dengan Sunan Gunung Jati dan Sunan Giri, yaitu sama-sama
berguru kepada Maulana Ishak pada saat menetap di negeri Pasai, Aceh untuk
memperdalam ilmu agama.
4) Sunan
Bonang adalah juga guru dari Sunang Kalijaga pada waktu pertama kali menuntut
ilmu agama Islam.
Selain Sunan Ampel, putranya, Sunan
Bonang juga turut menjadi penyokong penyebaran Islam di Kesultanan Demak. Ia
terlibat pembangunan masjid Agung Demak, bersama dengan wali-wali lainnya.
Menurut cerita tradisional yang terekam dalam sejumlah naskah, masjid Demak
menjadi pusat kegiatan keagamaan, pendidikan, sosial kemasyarakatan. Disinilah
para wali sering berjumpa dan melakukan musyawarah, termasuk Sunan Bonang.
Sunan Bonang meninggal tahun 1525 dan dimakamkan di Tuban. (Sholeh So’an,
2002:54-55; Dadan Wildan, 2012:201; Abu Su’ud, 2003:127-128; dan Helmiati,
2011:57-59).
Sebagian masyarakat Jawa suka
membuat nasi gurih, bubur manggul yang ditaburi katul. Sajen Mumule untuk para
leluhur yaitu Sunan Bonang. (Wahyana, 2010:48).
4.
Sunan Giri
Sunan Giri dilahirkan di Blambangan
pada pertengahan abad ke-15 serta wafat di Bukit Giri, Gresik, pada awal abad
ke-16. Sunan Giri nama aslinya adalah Raden Paku, nama pemberian Sunan Ampel
karena permintaan ayahnya, Maulana Ishak. Beliau mempunyai beberapa sebutan
yang antara lain: “Joko Samudro, nama yang diberikan ibunya, Nyai Gede
Pinatih”, “Prabu Satmata atau Sunan Sasmata pemberian Sunan Kalijaga, dan
Sultan Abdul Faqih karena beliau sangat yakin dan mendalami ilmu fiqih”.
Maulana Ishak diberi tugas oleh
Sunan Ampel untuk menyebarkan ajaran Islam di Blambangan. Beliau memperdalam
ilmu agam Islam di Pasai dan tidak kembali lagi ke Jawa, sehingga Raden Paku
diangkat sebagai anak oleh seorang wanita bernama Nyai Gede Maloka, yang dalam
Babad Tanah Jawa disebut Nyai Ageng atau Nyai Ageng Tandes.
Banyak perdebatan mengenai ibu kandung
dan ibu asuh Sunan Giri. Muhammad Syamsu As sebagaimana di kutip oleh Sholeh
So’an menyebutkan bahwa ibu kandung Sunan Giri adalah Dewi Sekardadu puteri
Prabu Menak Sembayu. Karena telah mengetahui akan kesaktian Maulana Ishak
(menantunya sendiri isteri dari Dewi Serdadu), sang Prabu menyuruh orang untuk
membunuh Maulana Ishak, dan akhirnya beliau pergi dengan meninggalkan Dewi
Serdadu untuk merawat anaknya jika sudah lahir.
Dengan penuh kekhawatiran, maka
dihanyutkanlah bayi itu (setelah kelahirannya) ke laut dengan dimasukkan ke
dalam peti. Dengan ijin Allah, si bayi tersebut dapat selamat karena ditemukan
oleh Nyai Gede Pinatih yang sedang berlabuh. Artinya, bahwa nama ibu kandung
Sunan Giri adalah Dewi Serdadu dan Nyai Pinatih adalah ibu asuhnya.
Sedangkan menurut Widji Saksono,
menyebutkan bahwa isteri Maulana Ishak adalah Retna Sabodi Rara yang melahirkan
Sunan Giri tanpa ditunggui suaminya karena telah diusir sang Prabu yang merasa
tersinggung oleh ucapan Maulana Ishaq dalam mengislamkan sang Prabu. Sang ibu
meninggal dunia setelah melahirkan Sunan Giri. Pada saat melahirkannya,
timbullah malapetaka di kerajaan Blambangan yang dengan demikian sang Prabu
beranggapan bahwa malapetaka itu terjadi akibat kelahiran sang bayi, dan
akhirnya sang bayi dibuanglah ke laut. Akan tetapi dengan ijin Allah si bayi
ditemukan oleh Nyai Gede Pinatih yang sedang berlayar yang akhirnya diasuhnya
sampai besar. Artinya, Nyai Gede Pinatih adalah ibu asuh, bukan ibu kandung
Sunan Giri. Akan tetapi nama ibu berbeda dengan yang dituturkan Muhammad Syamsu
As; sementara dalam Ensiklopedi Islam jilid V dijelaskan bahwa Nyai Pinatih
adalah ibu kandung dari Sunan Giri, sedang ibu asuh (angkat)-nya adalah Nyai
Gede Maloka. Menurut Abu Su’ud nama lain dari Nyai Maloka adalah Nyai Ageng
Tandes.
Ricklefs berpendapat dengan mengutip
Sejarah Banten seorang suci berkebangsaan asing yang bernama Molana Usalam
datang ke Balambangan di Ujung Timur Jawa, suatu daerah yang belum menganut
agama Islam sampai akhir abad XVIII. Penguasa Balambangan mempunyai seorang
puteri yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi puteri itu
ternyata sembuh ketika Molana Uslam memberikan buah pinang untuk dikunyah.
Puteri itu kemudian dinikahkan dengan Molana Usalam. Namun, ketika Molana Usalam
meninta penguasa Balambangan untuk memeluk Islam, penguasa itu pun menolaknya.
Oleh karena itu, Molana Usalam pergi meninggalkan Balambangan dan isterinya
yang sedang hamil. Ketika puteri itu melahirkan bayi laki-laki, bayi itu
dimasukkan ke dalam sebuah peti dan dibuang ke laut, seperti cerita Musa. Peti
itu akhirnya terdampar di Gresik, tempat bayi itu kemudian tumbuh menjadi
seorang muslim dan belakangan menjadi sunan.
Beliau adalah anak didik Sunan
Ampel. Di samping beliau belajar agama dari Sunan Ampel, Sunan Giri juga sempat
“belajar di Pasai bersama-sama Sunan Bonang, yang pada saat itu di sana
berkembang ilmu ketuhanan, keimanan, dan tasawuf”. Menurut berita yang
menjalar, bahwa Sunan Giri dalam menimba ilmu di Pasai sudah sampai pada tingkat
ilmu laduni, sehingga gurunya memberi gelar kepadanya ‘Ain al-Yaqin.
Sunan Giri memulai aktivitas
dakwahnya di daerah Giri dan sekitarnya dengan mendirikan pesantren. Santrinya
banyak berasal dari golongan masyrakat ekonomi lemah yang berasal dari Surabaya,
Madura, Kangean, Bawean, Lokbok, Makasar, Ternate, dan Tidore, bahkan sampai ke
Haruku di kepulauan Maluku maupun Nusa Tenggara. Lewat merekalah Sunan Giri
menyebarkan agama Islam di luar pulau Jawa, asal muridnya datang. Dengan
memiliki murid yang tidak hanya berasal dari Jawa, berarti dakwah para wali
tidak terbatas pada wilayah Jawa, tempat mereka memusatkan dakwahnya.
Sunan Giri juga pencipta karya seni
yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, Lir-ilir, dan Cublak
Suweng, Gendi Gerit, Jor, Gula Ganti dan lain-lain disebut sebagai kreasi
beliau. Demikian pula Gending Asmarandana dan Pucung Lagi bernuansa Jawa namun
syarat dengan ajaran Islam. Permainan-permainan itu dimaksudkan sebagai
simbolisasi pemahaman akan nilai-nilai ketuhanan dan keislaman.
Upaya simbolisasi itu juga
dituangkan ke dalam tembang-tembang dolanan seperti Padhang-padhang bulan
maupun lir-lir.sebetulnya masih terjadi perbedaan paham tentang siapa
sebetulnya pencipta karya-karya monumental itu, Sunan Giri ataukah Sunan
Kalijaga. Yang beranggapan bahwa Sunan Kalijaga pencipta karya-karya itu,
karena Sunan Kalijaga merupakan Sunan yang berasal dari pribumi Jawa. Sedangkan
yang beranggapan sebaliknya, karena Sunan Giri dianggap sebagai pendidik yang
“ajur-ajer” dengan kebudayaan setempat.
Ketika wafat jenazah Sunan Giri
dimakamkan di atas sebuah bukit di Gresik. (Sholeh So’an, 2002:57&78; Dadan
Wildan, 2012:201; Ricklefs, 2008:19; Abu Su’ud,
2003:128-129 dan Helmiati, 2011:59-60).
Sebagian masyarakat Jawa suka membuat
nasi ketan, daun kapas untuk lembaran dan daun terong Ngor. Sajen Mumule untuk
para leluhur yaitu Sunan Giri. (Wahyana, 2010:50).
5.
Sunan Drajat
Nama kecil Sunan Drajat adalah Raden
Qosim Syarifuddin Hasyim. Ia dilahirkan di Ampel Denta, Surabaya sekitar tahun
1470 Masehi dan wafat di Sedayu (sekarang Desa Drajat Kecamatan Paciran
Kabupaten Lamongan).
Menurut salahsatu sumber, bahwa
Sunan Drajat adalah anak dari Sunan Ampel dari perkawinannya dengan seorang
wanita lain, bukan dengan Dyah Siti Manila binti Arya Teja. Artinya Sunan
Drajat adalah saudara Sunan Bonang lain ibu, bukan saudara sekandung.
Sunan Drajat termasuk kelompok wali
yang mendirikan Kesultanan Demak, dan yang selanjutnya yang menjadi kelompok
penasehat Sultan. Sunan Drajat adalah seorang Waliyullah yang bersifat sosial.
Di dalam berdakwah ia tidak segan-segan memperhatikan dan membantu rakyat yang
sengsara, anak yatim-piatu, membantu orang sakit, dan membantu orang yang fakir
miskin. Dengan demikian, Sunan Drajat adalah seorang wali yang senantiasa
mementingkan kesejahteraan rakyat umum dalam rangka mencapai tujuan yang
diharapkan, yaitu terjalinnya ukhuwah Islamiyyah yang sangat kuat dalam kebaikan dan mencegah yang mungkar demi
tegaknya agama Allah. Selain itu, Sunan Drajat menciptakan gending pangkur.
Yang dilakukan itu sebetulnya merupakan pengamalan ajaran agama yang
sebenar-benarnya.
Menurut penuturan masyarakat Drajat,
bahwa sekarang di desa tersebut telah berdiri beberapa pesantren yang terletak
tidak jauh dari makam Sunan Drajat, dipimpin oleh seorang Kyai yang cukup
terkenal di wilayahnya. K.H. Abdul Ghafur. Beliau masih mempunyai hubungan
keluarga dengan Sunan Drajat yang kini mewarisi keahlian mengobati segala macam
penyakit, dapat menyadarkan anak nakal, dan bahkan dapat membantu mengabulkan
permintaan seseorang yang layak dibantu. (Sholeh So’an, 2002:58; Abu Su’ud,
2003:129 dan Dadan Wildan, 2012:201).
6.
Sunan Kalijaga
Nama asli Sunan Kalijaga adalah
Raden Mas Syahid atau Joko Said, dan terkadang disebut juga Syaikh Malaya (Melaya).
Beliau dilahirkan pada akhir abad ke-14 dan wafat di Kadilangu, Demak, pada
pertengahan abad ke-15 Masehi. Sunan Kalijaga adalah satu-satunya wali yang
berasal dari orang Jawa.
Menurut sejarahnya, beliau adalah
anak Raden Sahur Tumenggung Walatikta Melayakusuma, Adipati Tuban yang berasal
dari seberang, keturunan seorang ulama negeri Atas Angin yang setelah ke Jawa
diangkat menjadi Adipati Tuban oleh Sri Prabu Brawijaya, sehingga ia berganti
nama menjadi Tumenggung Walatikta. Ibunya bernama Dewi Nawang Rum.
Semasa mudanya, Sunan Kalijaga
adalah seorang brandal terkenal di daerah Tuban yang sering dijuluki dengan
Lokajaya. Setelah kalah berjudi, Said menjadi perampok jalanan di pesisir
utara. Pada suatu ketika, ia membegal Sunan Bonang untuk merampas barang
bawaannya. Menurut cerita, Sunan Bonang menghadapi keadaan yang demikian itu
tidak sedikitpun menampakkan kemarahan, tetapi justru senyum gembira sambil
menasehatinya dengan penuh lemah lembut. Meskipun Sunan Bonang sudah
menampakkan sikap yang lemah lembut kepada Lokajaya, ia tetap saja tidak peduli
dengan tutur kata Sunan Bonang yang akhirnya dengan ijin Allah beliau mengubah
buah laren menjadi kemilau-kemilau speperti emas. Peristiwa itu menjadikan
Lokajaya sadar dan bertobat, sehingga akhirnya Sunan Bonang mengangkatnya
menjadi murid.
Dari perkawinan dengan Dewi Saroh,
anak perempuan Maulana Ishak, Sunan Kalijaga memperoleh tiga orang putra,
masing-masing adalah Raden said (Sunan Muria), Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah.
Kembali kepada pembahasan Sunan
Kalijaga, beliau mempunyai kehalian yang mirip dengan gurunya, yaitu ahli dalam
seni suara. Beliau berjasa menciptakan wayang dan gamelan yang dijadikan sebagi
saran berdakwah. Tidak heran jika sebelumnya sempat terjadi perdebatan antara
Sunan Ampel dengan Sunan Kalijaga dalam menetapkan metode dakwah. Berkat usaha
beliau dan gurunya, Jawa Timur bagian Barat (Tuban) dan Jawa Tengah bagian
Timur menjadi pusat kesenian yang sampai sekarang masih tetap dikenal
masyarakat Jawa. Artinya, kesenian yang ada pada masa Hindu-Budha oleh kedua
wali tersebut penuh diwarnai dengan nilai-nilai keislaman sehingga kandungan
kesenian menjadi berubah arah.
Dalam menjalankan tugasnya, Sunan
Kalijaga sering diikuti oleh para bangsawan dan cendikiawan. Mereka sangat tertarik
pada penampilan Sunan Kalijaga yang persuasif dan akomodatif, serta tidak
melenyapkan praktek keyakinan penduduk sebelumnya. Adat setempat kebanyakan
ditampung dan diberi sentuhan Islam. Disamping itu, Sunan Kalijaga dikenal
sebagai tokoh yang sangat toleran, kritis, dan amat memperhatikan masa depan.
Beliau juga dikenal sebagai
pujangga. Kualitas pujangganya dapat kita saksikan dalam kreativitas sastra dan
bidang seni lainnya. Wayang kulit dan berbagai kreasi pokok cerita wayang telah
dihasilkan sepanjang hidupnya, termasuk kedalamnya karya tembang dolanan dan
bentuk permainan atau dolanan kanak-kanak, yang telah menjadi kekayaan budaya
Jawa. Sunan Kalijaga menciptakan baju takwa, tembang dangdanggula, seni ukir
motif dedaunan, bedug, gong sekaten, wayang kulit, dan lagu ilir-ilir.
Dalam sejarah pendirian masjid
Demak, yang konon kabarnya didirikan oleh para wali, beliau adalah sunan yang
paling akhir menyumbanh tiang penyangga masjid yang dikumpulkan dari
batang-batang kayu kecil dan dengan ijin Allah dirubah menjadi sebuah tiang
besar, sehingga berdirilah masjid Demak. Tiang yang diperbantukan oleh Sunan
Kalijaga dalam pendirian masjid itu dalam istilah Jawa dikenal dengan “Soko
Tatal”.
Menurut kepercayaan yang berkembang
pada masyarakat peziarah masjid Demak, bahwa tiang yang dibuat oleh Sunan
Kalijaga mempunyai kesaktian yang sangat hebat. Tiang masjid itu dapat
menyembuhkan orang sakit dan lain sebagainnya dengan cara megupasnya sedikit
untuk dimasukkan ke dalam air, lalu diminumnya. Hanya Allah Yang Maha Tahu akan
kebenaran semua itu.
Di samping beliau berjasa
menyumbangkan tiang untuk pendirian masjid dan diangkat menjadi penasehat
Kesultanan Demak Bintoro, beliau adalah wali paling muda dari kesembilan wali
yang ada. Ia sangat cerdik dan pandai, bahkan terkenal sangat arif dan
bijaksana dalam menghadapi berbagai persoalan, sehingga tidak heran jika dia
menjadi pertimbangan akhir para wali dalam memutuskan suatu masalah, seperti
menghakimi Syaikh Siti Jenar dan muridnya, Sunan Panggung, yang dimiliki dan
menyebarkan ajaran tasawuf atau ajaran penyatuan diri dengan Tuhan.
Sunan Kalijaga memperoleh umur
panjang, sehingga mengalami tiga masa pemerintahan yaitu masa Majapahit, Masa
Demak, dan Masa Pajang. Setelah wafat jenazahnya dimakamkan di desa Kadilangu,
Demak. (Sholeh So’an, 2002: 58-60; Abu Su’ud, 2003:129-130; Dadan Wildan,
2012:201, dan Ricklefs, 2008:18).
Sebagian masyarakat Jawa suka
membuat nasi kuning dengan daun katu, katul, senting, ranti, pace sambal plelek
dan dilengkapi dengan dendeng baker serta gereh (ikan asin) ikan balur baker.
Sajen Mumule untuk para leluhur yaitu Sunan Kalijaga. (Wahyana, 2010:48).
7.
Sunan Kudus
Nama asli dari Sunan Kudus adalah
Ja’far Shadiq bi Raden Usman Haji. Semasa kecilnya ia sering dipanggil dengan
Raden Undung. Terkadang juga dipanggil dengan sebutan Raden Amir Haji. Ia
dilahirkan pada abad ke-15 dan wafat di Kudus pada tahun 1550.
Menurut silsilahnya, Sunan Kudus
masih mempunyai hubungan dengan Nabi Muhammad Saw. Silsilah lengkapnya: Ja’far
Shadiq bi Raden Usman Haji (bergelar Sunan Ngudung dari Jipangpanolan, yang
terletak di sebelah utara kota Blora)
bin Raja Pendeta bin Ibrahim as-Samarkandi bin Maulana Muhammad
Jumadalkubra bin Zaini al-Husaein bin Ali r.a. Sunan Kudus menyiarkan agama
Islam di daerah Kudus dan sekitarnya, dan dia memiliki keahlian khusus dalam
bidang ilmu agama, terutama dalam ilmu fikih, ushul fikih, hadits, tafsir,
serta logika. Karena itulah diantara Walisongo hanya ia yang mendapat julukan
sebagai wali al-ilmi (orang yang luas ilmunya), dan karena keluasan ilmunya ia
didatangi oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah di Nusantara.
Disamping menjadi juru dakwah, Sunan
Kudus juga menjadi panglima perang Kesultanan Demak Bintoro yang tangguh, dan
dipercaya untuk mengendalikan pemerintahan di daerah Kudus, sehingga ia menjadi
pemimpin pemerintahan sekaligus pemimpin agama di daerah tersebut.
Ada cerita yang mengatakan bahwa
Sunan Kudus pernah belajar di Baitul Makdis, Palestina, dan pernah berjasa
memberantas penyakit yang menelan banyak korban di Palestina. Atas jasanya itu,
oleh pemerintah Palestina ia diberi ijazah waliyah (daerah kekuasaan)di
Palestina, namun Sunan Kudus mengharapkan hadiah tersebut dipindahkan ke pulau
Jawa dan oleh amir (penguasa setempat) permintaan itu dikabulkan. Sekembalinya
ke Jawa, ia mendirikan masjid di Loran tahun 1549; masjid itu diberi nama
Masjid al-Aqsa atau al-Manar (Masjid Menara Kudus) dan daerah sekitarnya
diganti namanya dengan Kudus, diambil dari nama sebuah kota di palestina, al-Quds.
Sunan Kudus menciptakan gending Maskumambang dan Mijil. (Sholeh So’an, 2002:60;
Abu Su’ud, 2003:130 dan Dadan Wildan, 2012:201).
Sebagian masyarakat Jawa suka
membuat nasi Bayu, pecel ikan sungai, dan dilambari denga daun pace. Sajen
Mumule untuk para leluhur yaitu Sunan Kudus. (Wahyana, 2010:48).
8.
Sunan Muria
Sunan Muria adalah anak Sunan
Kalijaga. Semasa kecilnya bernama Raden Prawoto, dan nama aslinya adalah Raden
Umar Said bin Raden Syahid atau Raden Said. Beliau dilahirkan pada abad ke-15
dan wafat di Gunung Muria, (18 km di sebelah utara desa Kudus, Jepara Jawa
Tengah sekarang) pada abad ke-16. Dalam perkawinannya dengan Dewi Sujinah,
puteri Sunan Ngudung, Sunan Muria memperoleh seorang putra yang bernama
Pangeran Santri, yang juga dijuluki sebagai Sunan Ngadilangu.
Berbicara tentang Sunan Muria pada
dasarnya tidak dapat lepas dari eksistensi aliran tasawuf di Indonesia, karena
beliau adalah seorang sufi (ahli tasawuf), yang dalam menyebarkan ajaran Islam
memilih desa-desa terpencil sebagai tempat sasaran dakwahnya.
Jika menengok sebentar tentang
kehidupan desa terpencil, masyarakat tergolong masyarakat yang sangat seerhana,
untuk dikatakan termasuk masyarakat yang sangat miskin. Dengan demikian tempat
terpencil, yang mana merupakan tempat sentral kepercayan non-Islami,
menunjukkan bahwa beliau adalah orang yang sangat sederhana. Kesederhanaan
hidup tercermin hampir pada setiap diri sufi yang seluruh waktunya lebih banyak
diluangkan untuk berdzikir kepada Allah dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya.
Sasaran dakwah Sunan Muria pada
umumnya kaum pedagang, para nelayan, petani tambak, dan masyarakat biasa. Dalam
rangka berdakwah melalui budaya, ia juga menciptakan tembang dakwah Sinom dan
Kinanti. Karena beliau adalah seorang sufi yang mempunyai kemiripan perilaku
dengan masyarakat setempat yang cenderung berbau mistik, kedatangannya untuk
menyebarkan agama Islam sudah tentu tidak banyak menghadapi rintangan yang
berarti sehingga tidak heran banyak kalangan masyarakat biasa yang saling
berdatangan mengikuti acara-acara yang diadakan olehnya.
Jenazah Sunan Muria dimakamkan di
puncak Gunung Muria, di pusat kegiatannya sebagai penyiar agama (Sholeh So’an:
2002:60-61; Abu Su’ud, 2003:130-131 dan Dadan Wildan, 2012:201).
9.
Sunan Gunung
Jati
Berbicara Sunan Gunung Jati pada
dasarnya berbicara tentang proses pengislaman di wilayah Jawa Barat, yang titik
tolaknya dalah Wilayah Cirebon. Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah, cucu
dari raja Padjadjaran, Prabu Siliwangi. Dari perkawinan Prabu Siliwangi dengan
Nyai Subang Larang, lahirlah dua putra dan satu putri, masing-masing bernama
Raden Walangsungsang, dan Nyai Lara Santang. Ketika ibunya meninggal dunia,
Raden Walangsungsang dan Nyai Lara Santang pergi meninggalkan kraton untuk
menuntut ilmu kepada Syaikh Datu Sufi (Syaikh Nurul Jati) di Gunung Ngamparan
Jati. Setlah tiga tahun belajar, mereka diperintahkan grunya untuk menunaikan
ibadah haji ke Mekkah. Dan disanalah Nyai Lara Santang bertemu dengan seorang
bangsawan Arab yang bernama Maulana Sultan Mahmud (Syarif Adbullah). Dari
pernikahan sepasang suami-isteri itulah lahir seorang bayi yng dikenal dengan
Sunan Gunung Jati di Mekkah pada akhir tahun 1448 Masehi dan meninggal di
Gunung Jati, Cirebon pada tahun 1570 dan ada juga yang mengatakan 1568.
Setelah Sunan Gunung Jati mencapai
umur dewasa, ia memilih pergi ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam, yang saat
itu pamannya, Raden Walangsungsang, sudah bergelar Pangeran Cakrabuana. Tidak
lama setelah pamannya meninggal, Sunan Ginung Jati menggantikan kedudukannya
dan berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah Kesultanan, dan tidak
lama kemudian Cirebon resmi menjadi kerajaan Islam yang bebas dari kekuasan
Padjadjaran.
Sebutan sunan Gunung Jati ini cukup
panjang, yaitu sebagai Muhammad Nurruddin Syaikh Sayyid Kamil Bulqiyyah Syaikh
Madzhurullah Syarif Hidayatullah Makhdum Jati. Sedangkan dalam babad-babad nama
lengkap Sunan Gunung Jati itu lebih panjang lagi yaitu Syaikh Nuruddin Ibrahim
Ibnu Israil, Syarif Hidayatullah, Said Kamil Maulana Syaikh Makhdum
Rahmatullah.
Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan
agama Islam, tidak hanya di wilayah Cirebon saja tetapi juga di Majalengka,
Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Di wilayah Banten, beliau
meletakkan dasar bagi pengembangan Islam dan perdagangan orang-orang Islam di
sana pada tahun 1525 M atau 1526 M. Ketika Sunan Gunung Jati kembali ke
Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, dan
darinya melahirkan raja-raja Banten. Sebagai sentral Islamisasi, di Cirebon
terjadi proses Islamisasi kebudayaan setempat dan terjadi juga pewarnaan Islam
oleh budaya setempat.
Bertalian dengan nama seorang
penyiar agama Islam di Sunda, banyak orang yang sering menyamakan dua orang
nama pada seseorang, sebut saja antara Sunan Gunung Jati dan Fatahillah atau
Falatehan. Menurut Ahmad Mansur Suryanegara yang bersumber dari Edi S.
Ekadjati, bahwa Sunan Gunung Jati itu bukan Fatahillah tetapi dua orang yang
berbeda. Hal ini dijelaskan lebih lanjut bahwa Fatahillah wafat pada 1570 M,
sedang Sunan Gunung Jati wafat pada 1568. Adanya perbedaan waktu meninggal
memberikan penjelasan kepada kita bahwa Sunan Gunung Jati itu bukan Fatahillah,
begitu juga sebaliknya. Menganggapi pernyataan tersebut, dalam referensi lain
lebih lanjut dijelaskan bahwa Fatahillah adalah panglima perang Kerajaan Demak
yang membantu Sunan Gunung Jati menyerang Sunda Kelapa pada tahun 1527 M. Ia
adalah menantu Sunan Gunung Jati, bukan Sunan Gunung Jati itu sendiri.
Menurut Abu Su’ud Syarif
Hidayatullah wafat tahun 1570 M sedangkan menurut Raffles, Sunan Gunung Jati
meninggal tahun 1428 M ketika usianya telah lanjut. Jenazahnya dimakamkan di
Gunung Jati Cirebon, sehingga beliau dijuluki sebagai Sunan Gunung Jati. Beliau
meninggalkan tiga orang putra yang merupakan hasil perkawinannya dengan seorang
putri dari Demak. Beliau juga mempunyai seorang putra dan seorang putri dari hasil perkawinannya
dengan seorang selir. Putra tertuanya, Husen, kemudian menggantikannya sebagai
sultan di Cirebon dan membawahi propinsi yang terhampar di antara Sungai
Citarum dengan Tugu dan juga wilayah yang terbentang di sebelah selatan
perbukitan Kendang, yang meliputi seluruh daerah-daerah di Priang’en dan
tanah-tanah yang terhampar di sebelah timur Sungai Citarum.
Dari sang raja inilah diturunkan
putra-putranya yang kemudian diangkat menjadi sultan-sultan di Cirebon. Hingga
saat ini, mengenai putra keduanya yang bernama Bapadin, disebutkan bahwa ia
meninggalkan kerajaan Bantam yang terbentang luas ke arah barat, dari Sungai
Tang’ran hingga ke arah tenggara dan meliputi semua daerah kepulauan yang
terletak di Selat Sunda. Dari putra keduanya tersebut, kemudian diturnkan
raja-raja yang sekarang memerintah Bantam. Putra ketiganya yang bernama
Chenampui, meninggal ketika masih muda dan dikuburkan di daerah Mandu di
Cirebon.
Untuk putra kandungnya, Kali Jantan,
Sunan Gunung Jati menyerahkan wilayah yang terbentang anatara Sungai Citarum
dan Sungai Tang’ran, yang sebelumnya menjadi bagian dari Cirebon dan Bantam.
Sang raja ini dianugerahi gelar raja di Jokarta atau Jakarta, dan setelah itu
ia menempatkan ibukotanya di dekat kampung yang namanya sama dengan gelarnya,
dimana dia dan para keturunannya kemudian melanjutkan kekuasaanya di daerah
tersebut hingga akhirnya mereka dibuang oleh orang-orang Belanda pada tahun
1619 M, di atas reruntuhan ibukota tersebut, orang-orang belanda kemudian
mendirikan kota Batavia modern yang menjadi ibukota dari wilayah-wilayah
pendudukan Belanda di Hindia Timur (Sholeh So’an, 2002:61-62; Abu Su’ud,
2003:132-133 dan Thomas Stamford Raffles, 2008:491-492).
C.
Peran Walisongo
dalam Menyebarkan Agama Islam di Pulau Jawa
Ada hal yang menarik dari pembagian
tugas menyebarkan Islam di pulau Jawa yang mana tidak merata. Untuk wilayah
Jawa Barat dan Banten Islam hanya disebarkan oleh satu Wali, sedangkan untuk
wilayah Jawa Tengah Islam disebarkan oleh tiga orang Wali, dan untuk wilayah
Jawa Timur Islam disebarkan oleh lima Wali. Hal ini bukan tanpa alasan, menurut
hemat penulis faktor tersebut disesuaikan dengan daerah dakwah dan objek dakwah
wilayah tersebut. Dalam arti sederhana, Jawa Barat dan Banten masyarakat dan
kebudayaannya mirip dengan ajaran Islam sehingga penduduk wilayah ini akan
sangat mudah untuk menerima Islam sebagai agama mereka sehingga Wali yang diterjunkan
ke daerah ini cukup hanya satu saja.
Pada era Walisongo, dunia dakwah di
tanah Jawa telah sampai pada tahapan institusional syariah Islam dalam bentuk
negara. Untuk sampai pada fase dakwah ini sudah tentu membutuhkan waktu yang
panjang dan tidak secara serta merta dimulai atau final pada masa Walisongo
tersebut. Proses Islamisasi Jawa telah melewati kurun masa yang panjang jauh
sebelumnya. Boleh dikatakan bahwa Walisongo merupakan salahsatu dari mata
rantai estafeta dakwah yang berjalan.
Namun, harus diakui bahwa dunia
dakwah memang telah mencapai keberhasilan besar pada masa itu. Hampir
dipastikan tidak ada daerah strategis di pulau Jawa yang tidak disentuh Islam.
Padahal tantangan dakwah pada masa itu tidak dapat dikatakan mudah. Islam
tumbuh dalam wilayah kerajaan Hindu Majapahit yang dianggap berpengaruh di
Nusantara.
Tetapi, para da’i muslim
berinteraksi dengan masyarakat bawah dan sekaligus membina kalangan elit
politik dalam tubuh kerajaan Majapahit melalui dakwah Islam. Sebagai hasilnya,
banyak diantara bangsawan muslim yang kemudian memeluk Islam. Pada umumnya,
para mualaf tersebut atas alasan toleransi kemudian berpindah tempat mencari
komunitas muslim lainnya di sekitar daerah pesisir yang telah dipimpin oleh
para bupati muslim pula.
Namun, tidak sedikit pula umat Islam
yang tetap mengabdi dalam kerajaan Majapahit. Misalnya, Prof. DR. Abu Bakar
Aceh menyebutkan, bahwa dalam rekruitmen pegawai pelabuhan atau syahbandar,
misalnya, Majapahit hanya menerima pegawai dari kalangan muslim. Hal ini
dilakukan untuk menjawab kebutuhan akan pegawai yang mampu menguasai bahasa
asing, terutama bahasa Arab, agar dapat memberikan pelayanan yang maksimal
terhadap para saudagar mancanegara yang kebanyakan menganut bahasa Arab. Dari
sisi ini terlihat jelas betapa harmonisnya hubungan antara Islam dan Majapahit.
Walaupun demikian posisi Majapahit
pada era Prabu Kertabumi Brawijaya V tersebut sedang mengalami kerapuhan secara
politik dan diiringi melemahnya wibawa pemerintahan. Salahsatu penyebabnya
adalah perang Paregreg yang telah menguras sumber daya dan imbas turunannya
masih terasa sehingga mungkin akan memantik konflik pada masa selanjutnya.
Akibat paling terasa adalah melemahnya sendi-sendi perekonomian dan wibawa
politik yang memudar. Dalam kondisi carut marut perpolitikan Majapahit
tersebut, Walisongo memposisikan diri untuk tetap melanjutkan stategi dakwah
kepada mayarakat. Namun, pergeseran politik selanjutnya membuat Walisongo harus
mengubah arah strategi dakwah.
Rapuhnya pondasi politik dan ekonomi
Majapahit telah memancing pihak eksternal keraton untuk melakukan kudeta. Dyah
Ranawijaya atau Girindrawardhana, adipati Keling, pada 1478 melakukan
penyerangan terhadap Majapahit yang saat itu berada dalam tampuk pemerintahan
Brawijaya V. Maka terjadilah peralihan kekuasaan. Giridrawardhana menggantikan
posisi raja sebelumnya dengan menggunakan gelar Prabu Giridrawardhana Brawijaya
VI. Kekuasaan Brawijaya VI tidak berlangsung lama. Pada giliran selanjutnya
Girindrawardhana VI, terbunuh oleh patihnya sendiri yang bernama Patih Udara.
Patih Udara lantas menggantikannya sebagai raja Majapahit dengan gelar Prabu
Udara Brawijaya VII. Jelasnya, sampai tahun 1518 saat kesultanan Demak telah
berdiri, Majapahit masih eksis sebagai sebuah kerajaan di Jawa, meskipun telah
mengalami kerapuhan struktural dan surutnya wibawa politik. (Tiar Anwar
Bachtiar, dkk hal. 94-96).
D.
Aksi Dakwah
Walisongo
Kesuksesan dakwah era Walisongo
banyak ditentukan oleh kekompakan gerakan dan kesadaran masing-masing individu
untuk mengambil peran serta dalam kerangka dakwah dan jamaah. Perencanaan yang
matang, pengorganisasian yang tepat, dan penguasaan medan turut memberi andil
bagi keberhasilan terhadap Islamisasi Jawa. Berikut ini beberapa wujud
partisipasi dakwah di era Walisongo.
1)
Aspek Kaderisasi
1)
Pendirian Pondok
Pesantren
Pondok pesantren merupakan
pengembangan lembaga yang mirip dengan mandala milik umat Hindhu. Perancang
perencana institusi pendidikan Islam berupa pesantren di Jawa ini adalah Syaikh
Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik). Konsep pesantren kemudian diikuti dan
dikembangkan oleh para wali lainnya. Dalam pesantren juga dikembangkan ilmu
olah kanuragan yang berguna untuk mempetangguh mental dan fisik para santri
sehingga siap untuk menghadapi medan dakwah dan sekaligus untuk menyiapkan
prajurit negara yang memiliki wawasan keagamaan yang mumpuni. Harapannya,
Kesultanan Demak akan memiliki personil militer yang religius.
Namun demikian, konsep dan
pengembangan pesantren sendiri terlihat banyak dipengaruhi oleh sistem Madrasah
Nizhamiyah di Baghdad yang saat itu sangat dikenal di seluruh dunia, terutama
dalam hal pengajaran ilmu-ilmu dasar keagamaan. Hal yang diadaptasi dari
mandala oleh pesantren-pesantren zaman Islam hanya dalam hal penambahan
pelatihan olah kanuragan. Sisanya, sistem pengajaran pesantren sebagian besar
mengadopsi sistem yang dikembangkan di Madrasah Nizhamiyah Baghdad.
2)
Tugas Belajar
Guna memperkaya wawasan keagamaan para
santrinya, tidak jarang para wali mengutus santri tersebut untuk memperdalam
sebuah ilmu dengan berguru kepada wali yang lain. Bahkan tidak jarang pula
mengirim mereka untuk belajar ke mancanegara. Misalnya, Raden Paku (Sunan Giri)
dimasukan ke madrasah Sunan Ampel oleh ibu angkatnya Nyi Gede Maloka. Setelah
cukup menuntut ilmu, Raden Paku dan seorang rekannya Maulana Makdum Ibrahim
(putra Sunan Ampel sendiri) diperintahkan oleh Sunan Ampel untuk berangkat haji
dan sekaligus menimba ilmu dri ahli-ahli agama di Mekah. Perlu diketahui bahwa
pada masa itu perjalanan ke Mekah dilakukan dengan kapal laut dan membutuhkan
waktu sekitar enam bulan. Maka jamaah haji biasanya akan merasa rugi jika hanya
berada di Mekah selama kurun waktu pelaksaan ibadah haji saja. Umumnya mereka
tinggal di Mekah sekian masa guna memperdalam keilmuan agama.
3)
Pendidikan Dini
Para
wali juga telah menyiapkan pendidikan kader sejak anak usia dini dengan
membentuk kejiwaan dan keyakinan mereka. Pembinaan yang tepat sejak belia akan
mampu mengarahkan kecenderungan pemikiran dan tindakan mereka saat dewasa.
Dunia anak-anak adalah dunia bermain yang harusnya diwarnai dengan kegembiraan.
Maka diciptakanlah sejumlah permainan edukatif dan lagu-lagu dolanan
(permainan) yang tidak saja mendidik namun juga dijiwai dengan semangat dan
nilai keluhuran. Salahsatu contoh yang bisa ditampilkan, misalnya, sebuah lagu
dolanan gubahan Sunan Giri sebagai berikut: “Padang bulan, ayo gage dolanan,
dolanane ana ing latar, ngalap padang ngilar-ngilar, nundung begog hangetikar”.
(Terang bulan, ayo lekas bermain, permainan bertempat di halaman, memanfaatkan
terangnya sinar bulan, guna mengusir gelap yang lari terbirit-birit). Lagu
tersebut memiliki makna simbolis bahwa Islam bukan saja merupakan penerangan
hidup, namun juga menjadi cahaya yang akan mengusir kegelapan hati dan
kebodohan.
2)
Bidang Budaya
Rakyat Majapahit adalah masyarakat
yang menggandrungi kesenian. Kenyataan ini memunculkan peluang bagi para wali
untuk menggarapnya.
a.
Seni Suara
Para wali menciptakan sejumlah
kerangka tembang, diantaranya adalah 11 tembang yang dikenal dengan sebutan tembang
macapat. Tembang macapat sendiri adalah simbol keteraturan yang hanya dapat
diperoleh dengan pendisiplinan diri. Setiap orang dapat menciptakan lagu namun
harus berpatokan pada guru lagu (dhong dhing), guru wilangan, dan guru gatra.
Guru lagu adalah jatuhan suara vokal pada setiapa akhir larik lagu (gatra).
Guru wilangan disefinisikan sebagai jumlah suku kata (wanda) pada setiap larik
lagu. Sedangkan guru gatra adalah jumlah larik lagu dalam setiap bait (pada
atau pupuh). Keteraturan tersebut harus diikiti. Jika salah satu saja aturan
tersebut ditinggalkan maka sebuah gubahan lagu tidak bisa disebut sebagai
tembang macapat.
Sedangkan tembang macapat menurut
tradisi antara lain: Dangdanggula diciptakan oleh Sunan Kalijaga sebagai hasil
pengabungan melodi Arab dan Jawa, Pocung dan Asmarandana oleh Sunan Giri, Durma
oleh Sunan Bonang, Maskumambang dan Mijil oleh Sunan Kudus, Sinom dan Kinanthi
oleh Sunan Muria, dan Pangkur oleh Sunan Drajat.
b.
Penciptaan
Wayang
Wayang pada dasarnya adalah gabungan
antara seni cerita dan seni suara yang melibatkan unsur kreatifitas pertunjukan
lainnya. Bentuk wayang pengembangan dari wayang era Majapahit yang umumnya
berupa wayang beber dan di gambar dalam rupa manusia. Wujud wayang ciptaan
Walisongo telah distilisasi sehingga tidak lagi berwujud layaknya manusia
sewajarnya. Segi cerita pedhalangan pun telah dirombak substansinya. Terjadi
demitologisasi dan desakralisasi terhadap sejumlah ajaran yang pernah hidup
pada masa sebelum Islam di tanah Jawa. Dewa tidak lagi menjadi sesembahan.
Mereka juga bisa benar dan pada
kesempatan yang lain tidak luput dari dosa kesalahan. Kahyangan bisa diobrak-abrik
oleh para raksasa dan para dewa bisa kalah perang melawan serbuan ini. Bahkan
dalam sejumlah cerita yang berkembang para dewa sampai harus mencari bantuan
kepada satria bumi untuk memulihkan kembali harmoni kehidupan dunia kahyangan.
Kisah-kisah demikian menunjukkan kejeniusan salah seorang wali yaitu Sunan
Kalijaga untuk mengarahkan keyakinan masyarakat bahwa dewa bukanlah apa-apa,
hanya Hyang Tunggal, yaitu Allah Rabb yang Maha Kuasa.
Selain itu dalam sejumlah lakon wayang
menunjukkan, bahwa Sunan Kalijaga memiliki pandangan futuristik yang akurat.
Misalnya, dalam kisah “Ambangun Candi Saptaarga” diceritakan bahwa Pandawa
bermaksud membangun makan (candi) untuk menghormati kakek mereka Begawan
Abiyasa. Sejumlah pihak nampaknya berusaha menghalangi proses pembangunan yang
telah dirancang. Tersebutlah seorang putri yang bernama Mustakaweni yang
kemudian memanfaatkan situasi kekosongan kerajaan Amarta yang ditinggalkan oleh
para Pandawa karena konsentrasi pada pembangunan di Saptaarga. Mustakaweni ini
terprovokasi untuk mencuri Jimat Kalimusada milik Pandawa.
Muncul pula Dewa Srani yang kemudian
merusak (angslup) ke dalam tubuh Mustakaweni demi melaksanakan niat jahatnya.
Dengan angslupnya, Dewa Srani ini, Mustakaweni kemudian mampu menyamarkan
dirinya menjadi salahsatu satriya putra Amarta. Niatan Mustakaweni akhirnya
terbongkar. Terjadi pertarungan seru dimana Pandawa hampir saja mengalami
kekalahan. Sampai akhirnya muncullah seorang putra Pandawa yang baru saja turun
dari pertapaan yang mampu mengatasi keadaan. Atas nasehat Kresna, putra Pandawa
itu mampu mengalahkan Mustakaweni dan menghancurkan konspirasinya bersama Dewa
Srani dengan menggunakan panah telanjang.
Cerita di atas adalah sebuah
simbolisasi bahwa keyakinan Islam yang diwakili oleh pusaka Kalimusada (kalimat
syahadat) pada masa yang akan datang akan dimusuhi oleh ajaran Nashrani. Ajaran
tersebut akan membonceng (angslup) melalui penjajah asing. Cara mengalahkannya
adalah dengan menelanjangi ajaran mereka. Sebab di
sanalah kelemahan sebenarnya dari doktrin ajarannya. Awalnya kata “Kalimusada”
dalam sejumlah karya kuno era Hindu merupakan kitab milik Pandawa yang bisa
berubah menjadi tumbak yang menyala-nyala. Namun, pada masa Islam, Kalimasada
diubah pengertiannya menjadi kalimat syahadah.
Cerita demikian memberikan pesan agar
kaum muslimin hendaknya senantiasa waspada. Agaknya Sunan Kalijaga mengubah
lakon tersebut pasca Demak terlibat konflik dengan sejumlah bangsa asing Barat,
seperti Portugis di Malaka. Perlu diketahui Sunan Kalijaga termasuk wali yang
panjang umur. Selain itu pada masa selanjutnya, juga muncul cerita-cerita
wayang yang menunjukkan adanya pengaruh Islam misalnya lakon “Semar Munggah
Kaji” (Semar Naik Haji).
c.
Tata Kota
Kota Praja atau bangunan keraton atau
Kadipaten di tanah Jawa selalu tidak pernah meninggalkan empat hal yaitu,
istana, alun-alun, beringin kembar, dan Masjid Agung. Alun-alun berasal dari
kata al-laun yang berarti warna. Jadi alun-alun adalah tempat berkumpulnya
berbagai warna atau ragam yang menunjukkan beratunya antara penguasa dan rakyat
jelata. Alun-alun memiliki empat sisi yang dimaksudkan bahwa kemanunggalan
tersebut harus melalui syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Sedangkan
beringin kembar (waringin kembar, Jawa) berasal dari kata wara’iin yang artinya
kehidupan harus senantiasa diwarnai dengan kehati-hatian.
Jumlah pohon yang dua buah itu
dimaksudkan bahwa kehati-hatian yang dimaksud harus didasarkan pada al-Qur’an
dan as-Sunnah. Maka kemudian disediakan Masjid Agung sebagai tempat peribadatan
guna menggawangi semua keperluan tersebut. Sedangkan istana berada di tempat
yang dekat dengan masjid, alun-alun, dan beringin kembar. Hal ini dimaksudkan
bahwa pemimpin hendaknya mengawasi pelaksanaan syariat Islam dalam masyarakat.
Letak istana biasanya membelakangi gunung dan menghadap ke laut. Maksudnya
pemimpin hendaknya menghidari diri dari sifat kesombongan dan sebaliknya harus
bersikap pemurah, sabar, serta pemaaf sebagaimana luasnya lautan.
Menurut sejarawan E. Mold, Sunan
Kalijaga sendiri adalah ahli arsitektur yang pintar memilih bahan bangunan yang
awet. Beliau juga ahli dalam teknis, salahsatu buktinya terdapat pada kontruksi
tiang tatal yang ada di masjid Demak. Tiang tatal ciptaan Sunan Kalijaga ini
terbuat dari potonga-potongan kayu yang disusun sedemikian rupa dengan
menggunakan keahlian teknik tingkat tinggi sehingga masih dapat bertahan sampai
sekarang.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Rachmad. 2016. Walisongo: Gelora Dakwah
dan Jihad di Tanah Jawa (1404-1482).
Sukoharjo: al-Wafi Publishing. Cet. III.
Bachtiar,
Tiar Anwar, dkk. tt. Sejarah Nasional
Indonesia I. Jakarta: Andalusia Islamic
Education & Management Services.
Hassan,
A. 1995. Mengenal Nabi Muhammad SAW.
Bandung: CV. Diponegoro. Cet. I.
Helmiatai.
2011. Sejarah Islam Asia Tenggara.
Riau: Zanafa Publishing. Cet. I.
Mubarok,
Jaih. 2004. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Bani Quraisy. Cet. II.
Raffles, Thomas
Stamford. 2008. The History of Java.
Penerjemah: Yogyakarta: PT. Buku Kita. Cet. I.
No comments:
Post a Comment