CERPEN KESUKSESAN HASIL KERJA KERAS
Kesuksesan Hasil Kerja Keras
Aku,
bocah kecil dengan segudang kekurangan. Mampukah aku meraih kesuksesan?
Aku yang sejak lahir diselimuti
dengan kekurangan. Cobaan demi cobaan selalu datang menghampiriku. Semua itu terasa
amat pahit jika aku nikmati. Apalagi ketika aku diberi sebuah kertas putih,
bersih dan bungkus amatlah rapi. Kertas itu sekejap merubah harapan ibuku.
“
Anak ibu, sangatlah bodoh, sehingga kami harus mengeluarkannya dari sekolah.
Kami harap ibu dapat membimbingnya sendiri di rumah”, Kutipan surat.
Dengan
spontan kalimat itu merubah raut wajah ibuku. Matanya tak mampu berkedip, muka
yang memerah, hati yang sangat kecewa. Mulutnyapun sungkan untuk mengucapkan
kalimat apapun padaku. Namun, dengan tekad yang kuat kembali ibuku menguatkan
hatinya. Perlahan terucap kata dalam hatinya, yang sayup-sayup menguatkan
dirinya.
“
Anakku bukanlah orang yang bodoh, aku sendiriyang akan mendidiknya dan aku akan
berusaha sekuat tenaga merubahnya, demi masa depannya”, lirihnya dengan api
yang membakar tubuhnya.
Hinaan
yang aku dapatkan akan ku coba ukir menjadi lukisan yang indah. Bagaimana
mungkin, aku yang sejak kecil terhambat menikmati pendidikan. Ahh, itu semua
bukan salah ibuku. Namun aku yang tak mampu memahami pekajaran seperti
teman-teman seusiaku. Ibuku, dia adalah seorang pahlawan tanpa tanda jasa.
Setiap hari ia tak pernah bosan menghidangkan kata-kata indah yang penuh dengan
makna pembelajaran. Yang kemudian ia suapkan kepada teman-teman seusiaku.
“
Ahh, mustahil bagiku untuk sukses. Untuk
menimba ilmu dipendidikan formal saja sudah bagaikan pungguk merindukan bulan.
Siapalah aku? Bocah kecil yang dikelusrkan dari sekolah, modalku hanya sebatas
dorongan ibuku yang selalu berusaha mengajarkanku untuk sebuah masa depan”,
bisikku dalam hati.
Cara
demi cara ku lakukan dengan segala kekurangan ku, dengan mandian cemooh dari
berbagai kalangan dan nasihat ibuku. Aku mencoba menggali potensiku. Rasa ingin
tahu yang tinggi yang aku miliki sejak kecil, menjadi senjata bagiku untuk
berperang melawan kesengsaraan. Walaupun aku memiliki otak yang jauh
keterbelakangan dibandingkan dengan teman-teman seusiaku. Sejak kecil aku
memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, mungkin bisa dikatakan rasa itu aku
tancap jauh dilangit. Bahkan hewanpun ku bedah. Kubuka satu persatu organ dalam
tubuhnya “bukan ingin menyiksa” itu adalah caraku untuk mendalami rasa ingin
tahuku akan sesuatu.
Beriring
dengan perkrmbangan usiaku, ide baru mendatangiku. Aku buka ruang kosong tua
milik ayahku. Udara panas seperti menggigit tubuhku dengan gigi besinya, bau
pekat tak sedap seperti baju yang sudah lama tak disunakan. Itulah laboratorium
sementaraku. Disana aku hanya mampu menciptakan sebuah telegraf kecil yang sama
sekali bentuknya tidak menarik, hanya saja mampu untuk berfungsi.
Dalam
melakukan percobaan tidak mungkin cukup dengan air liurku saja. Untuk
memperoleh biaya keperluan, koranpun ku jajarkan diatas kereta api. Dengan
suara merdu, ku tawarkan koran kepada penikmat kereta api setiap harinya. Agar
waktu senggangku tidak terbuang bagaikan kotoran yang tak bermakna. Aku pun
menemui ketua staf kereta api.
“
Pak, aku ingin sekali bisa memanfaatkan gerbong kosong dikereta ini”, ucapku
dengan keraguan.
“ Hmm...
tidak masalah jika kamu bisa menggunakannya dengan sebaik-baiknya. Namun jika
terjadi sesuatu karena ulahmu. Kau harus siap bertanggung jawab”, jawabnya.
Di
gerbong tersebut eksperimen kembaliku mulai. Namun, ketika perang saudara
terjadi sebuah anugrah indah muncul dihadapanku. Topik berita koran tentang
keadaan saat itu menjadi perhatian bagi orang-orang masa itu. Peristiwa ini
merubah porsi gerbong tersebut menjadi tempatku untuk mencetak koran. Melihat
peluang ini aku beli alat cetak tua, dan ku coba mencetak koran sendiri. Koran ini
merupakan koran pertama yang dicetak diatas kereta dan laku terjual.
Kembali
ujian besar datang menghampiriku. Aku kehilangan pendengaran. Menyiyir terasa
gurih bagi mereka. Mereka yang tak pernah tahu pedasnya kritikan karena mereka
sendiri tak pernah berkarya. Akan tetapi hal ini tidak ku anggap cacat bagi
diriku. Ini adalah sebuah keuntungan besar bagiku dimana aku berhenti untuk
mendengarkan luapan mulut yang tak berbobot dan aku memiliki banyak waktu untuk
berfikir akan sebuah imajinasi baru.
Saat
sekarang ini aku ingin sekali bisa merubah pola kehidupan masyarakat. Aku pikir
cahaya sangat penting bagi kehidupan masyarakat saat ini. Kembali otakku
diselimuti dengan rasa ingin tahuku tentang cara membuat bola lampu pijar. Aku
harap aku bisa menciptakan lampu pijar yang bisa menyaingi lampu kaleng dari
minyak maupun gas. Lampu pijar menjadi bagian utama dalam otakku. Dengan segala
upaya aku berusaha memecahkan rasa ingin tahuku terhadap sumber cahaya.
Setiap
hari dan waktuku habis dengan kegiatan eksperimen itu. Aku berusaha memecahkan
rasa ingin tahuku terhadap hal itu. Hingga aku menemukan sebuah lampu pijar
pertama. Namun, aku pikir lampu ini masih banyak sekali kekurangannya. Karena
ketahanannya untuk menyala hanya beberapa jam dan juga biaya produksinya masih
menggunung. Untuk sebuah kesempurnaan kembali eksperimen dilanjutkan. Tidak
hanya sekali, dua kali saja penyempurnaan lampu pijar dilakukan. Bahkan
mencapai ribuan kali. Dalam keadaan ini desitan orang tentang proses ku dalam
pembuatan lampu pijar mulai muncul. Mereka mengkritikku dan menyebutkan aku
telah gagal.
“
Aku tidak pernah gagal, aku hanya memerlukan seribu cara agar aku bisa lebih
berhasil”, tanggapku.
Namun,
semua tidak sia-sia penyempurnaan yang aku lakukan mampu membuatkan bangga, karena
aku bisa menciptakan lampu yang sempurna. Lampu yang bisa membuat orang-orang
bisa menikmati cahaya dalam kegelapan malam.
Cerpen Ini Terinspirasi dari : Thomas Alfa Edison
No comments:
Post a Comment