1

loading...

Thursday, November 15, 2018

CERPEN KESUKSESAN HASIL KERJA KERAS


CERPEN KESUKSESAN HASIL KERJA KERAS 

Kesuksesan Hasil Kerja Keras
            Aku, bocah kecil dengan segudang kekurangan. Mampukah aku meraih kesuksesan?
Aku yang sejak lahir diselimuti dengan kekurangan. Cobaan demi cobaan selalu datang menghampiriku. Semua itu terasa amat pahit jika aku nikmati. Apalagi ketika aku diberi sebuah kertas putih, bersih dan bungkus amatlah rapi. Kertas itu sekejap merubah harapan ibuku.
            “ Anak ibu, sangatlah bodoh, sehingga kami harus mengeluarkannya dari sekolah. Kami harap ibu dapat membimbingnya sendiri di rumah”, Kutipan surat.
            Dengan spontan kalimat itu merubah raut wajah ibuku. Matanya tak mampu berkedip, muka yang memerah, hati yang sangat kecewa. Mulutnyapun sungkan untuk mengucapkan kalimat apapun padaku. Namun, dengan tekad yang kuat kembali ibuku menguatkan hatinya. Perlahan terucap kata dalam hatinya, yang sayup-sayup menguatkan dirinya.
            “ Anakku bukanlah orang yang bodoh, aku sendiriyang akan mendidiknya dan aku akan berusaha sekuat tenaga merubahnya, demi masa depannya”, lirihnya dengan api yang membakar tubuhnya.
            Hinaan yang aku dapatkan akan ku coba ukir menjadi lukisan yang indah. Bagaimana mungkin, aku yang sejak kecil terhambat menikmati pendidikan. Ahh, itu semua bukan salah ibuku. Namun aku yang tak mampu memahami pekajaran seperti teman-teman seusiaku. Ibuku, dia adalah seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Setiap hari ia tak pernah bosan menghidangkan kata-kata indah yang penuh dengan makna pembelajaran. Yang kemudian ia suapkan kepada teman-teman seusiaku.
            “ Ahh, mustahil  bagiku untuk sukses. Untuk menimba ilmu dipendidikan formal saja sudah bagaikan pungguk merindukan bulan. Siapalah aku? Bocah kecil yang dikelusrkan dari sekolah, modalku hanya sebatas dorongan ibuku yang selalu berusaha mengajarkanku untuk sebuah masa depan”, bisikku dalam hati.
            Cara demi cara ku lakukan dengan segala kekurangan ku, dengan mandian cemooh dari berbagai kalangan dan nasihat ibuku. Aku mencoba menggali potensiku. Rasa ingin tahu yang tinggi yang aku miliki sejak kecil, menjadi senjata bagiku untuk berperang melawan kesengsaraan. Walaupun aku memiliki otak yang jauh keterbelakangan dibandingkan dengan teman-teman seusiaku. Sejak kecil aku memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, mungkin bisa dikatakan rasa itu aku tancap jauh dilangit. Bahkan hewanpun ku bedah. Kubuka satu persatu organ dalam tubuhnya “bukan ingin menyiksa” itu adalah caraku untuk mendalami rasa ingin tahuku akan sesuatu.
            Beriring dengan perkrmbangan usiaku, ide baru mendatangiku. Aku buka ruang kosong tua milik ayahku. Udara panas seperti menggigit tubuhku dengan gigi besinya, bau pekat tak sedap seperti baju yang sudah lama tak disunakan. Itulah laboratorium sementaraku. Disana aku hanya mampu menciptakan sebuah telegraf kecil yang sama sekali bentuknya tidak menarik, hanya saja mampu untuk berfungsi.
            Dalam melakukan percobaan tidak mungkin cukup dengan air liurku saja. Untuk memperoleh biaya keperluan, koranpun ku jajarkan diatas kereta api. Dengan suara merdu, ku tawarkan koran kepada penikmat kereta api setiap harinya. Agar waktu senggangku tidak terbuang bagaikan kotoran yang tak bermakna. Aku pun menemui ketua staf kereta api.
            “ Pak, aku ingin sekali bisa memanfaatkan gerbong kosong dikereta ini”, ucapku dengan keraguan.
“ Hmm... tidak masalah jika kamu bisa menggunakannya dengan sebaik-baiknya. Namun jika terjadi sesuatu karena ulahmu. Kau harus siap bertanggung jawab”,  jawabnya.
Di gerbong tersebut eksperimen kembaliku mulai. Namun, ketika perang saudara terjadi sebuah anugrah indah muncul dihadapanku. Topik berita koran tentang keadaan saat itu menjadi perhatian bagi orang-orang masa itu. Peristiwa ini merubah porsi gerbong tersebut menjadi tempatku untuk mencetak koran. Melihat peluang ini aku beli alat cetak tua, dan ku coba mencetak koran sendiri. Koran ini merupakan koran pertama yang dicetak diatas kereta dan laku terjual.
Kembali ujian besar datang menghampiriku. Aku kehilangan pendengaran. Menyiyir terasa gurih bagi mereka. Mereka yang tak pernah tahu pedasnya kritikan karena mereka sendiri tak pernah berkarya. Akan tetapi hal ini tidak ku anggap cacat bagi diriku. Ini adalah sebuah keuntungan besar bagiku dimana aku berhenti untuk mendengarkan luapan mulut yang tak berbobot dan aku memiliki banyak waktu untuk berfikir akan sebuah imajinasi baru.
Saat sekarang ini aku ingin sekali bisa merubah pola kehidupan masyarakat. Aku pikir cahaya sangat penting bagi kehidupan masyarakat saat ini. Kembali otakku diselimuti dengan rasa ingin tahuku tentang cara membuat bola lampu pijar. Aku harap aku bisa menciptakan lampu pijar yang bisa menyaingi lampu kaleng dari minyak maupun gas. Lampu pijar menjadi bagian utama dalam otakku. Dengan segala upaya aku berusaha memecahkan rasa ingin tahuku terhadap sumber cahaya.
Setiap hari dan waktuku habis dengan kegiatan eksperimen itu. Aku berusaha memecahkan rasa ingin tahuku terhadap hal itu. Hingga aku menemukan sebuah lampu pijar pertama. Namun, aku pikir lampu ini masih banyak sekali kekurangannya. Karena ketahanannya untuk menyala hanya beberapa jam dan juga biaya produksinya masih menggunung. Untuk sebuah kesempurnaan kembali eksperimen dilanjutkan. Tidak hanya sekali, dua kali saja penyempurnaan lampu pijar dilakukan. Bahkan mencapai ribuan kali. Dalam keadaan ini desitan orang tentang proses ku dalam pembuatan lampu pijar mulai muncul. Mereka mengkritikku dan menyebutkan aku telah gagal.
“ Aku tidak pernah gagal, aku hanya memerlukan seribu cara agar aku bisa lebih berhasil”, tanggapku.
Namun, semua tidak sia-sia penyempurnaan yang aku lakukan mampu membuatkan bangga, karena aku bisa menciptakan lampu yang sempurna. Lampu yang bisa membuat orang-orang bisa menikmati cahaya dalam kegelapan malam.
Cerpen Ini Terinspirasi dari : Thomas Alfa Edison




           


No comments:

Post a Comment