1

loading...
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH FIQIH KONTEMPORER. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH FIQIH KONTEMPORER. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 November 2019

MAKALAH FIQIH KONTEMPORER“BPJS”


MAKALAH FIQIH KONTEMPORER“BPJS”



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan adalah sebagai bagian dari pembangunan nasional, dalam pembangunan kesehatan tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal.  Kenyataan yang terjadi sampai saat ini derajat kesehatan masyarakat masih rendah khususnya masyarakat miskin, hal ini dapat digambarkan bahwa angka kematian ibu dan angka kematian bayi bagi masyarakat miskin tiga kali lebih tinggi dari masyarakat tidak miskin. Salah satu penyebabnya adalah karena mahalnya biaya kesehatan sehingga akses ke pelayanan kesehatan pada umumnya masih rendah.
Untuk memenuhi dan mewujudkan hak bagi setiap warga negara dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan kewajiban pemerintah penyediaan fasilitas kesehatan sebagai amanat UUD 1945 serta  kesehatan adalah merupakan kesehatan merupakan Public Good maka dibutuhkan intervensi dari Pemerintah.
Pada tahun 2014 ini, tepatnya tanggal 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan telah beroperasi. BPJS Kesehatan merupakan program pemerintah Indonesia dalam rangka memberikan pelayanan dan jaminan kesehatan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Mulai 1 Januari 2014, pemerintah memberikan pelayanan kepada 140 juta peserta, antara lain untuk 86,4 juta jiwa kepesertaan Jamkesmas, 11 juta jiwa untuk Jamkesda, 16 juta peserta Askes, 7 juta peserta Jamsostek, dan 1,2 juta peserta unsur TNI dan Polri.[3
Hingga sekarang, BPJS Kesehatan sendiri sudah beroperasi hampir tiga bulan lamanya. Implementasi BPJS Kesehatan ini masih memiliki banyak kendala yang ditemukan di lapangan.Tentunya masalah pelayanan kesehtan harus terus ditingkatkan, dan hal ini perlu komitmen BPJS kesehatan untuk memperbaiki diri. Bila regulasi dan komitmen pelayanan tidak ditingkatkan maka BPJS Kesehatan akan terus menuai kritik dan akhirnya semangat baik yang ada di UU SJSN (UU 40/2004) dan UU BPJS (UU 24/2011) akan menjadi lenyap dan meninggalkan sejarah kegagalan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu BPJS Kesehatan?
2. Siapa saja peserta BPJS Kesehatan?
3. Apa saja Pelayanan BPJS Kesehatan?
4. Apa saja hukum BPJS?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui BPJS Kesehatan
2. Untuk mengetahui peserta BPJS Kesehatan
3. Untuk mengetahui Pelayanan BPJS Kesehatan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Program BPJS Kesehatan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.Tujuan diberlakukannya program Jaminan Kesehatan Nasional ini adalah untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. Manfaat jaminan kesehatan yang bisa diperoleh dari sistem ini adalah bersifat pelayanan perseorangan yang mencakup dari pada pelayanan preventif, kuratif dan rehabilitative. Termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan. Dimana bagi para peserta akan memperoleh pelayanan kesehatan dengan mengikuti prosedur pelayanan.

B. Peserta Program BPJS Kesehatan
Peserta BPJS kesehatan adalah seluruh warga negara indonesia, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran, meliputi :
1. Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI) :
Terdiri dari fakir miskin dan orang tidak mampu, dengan penetapan peserta sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Bukan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (Non PBI),
terdiri dari:
1) Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya: Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, Pegawai Pemerintah, non Pegawai Negeri, Pegawai Swasta, dan termasuk WNA yang bekerja di Indonesia paling singkat 6(enam) bulan.
2) Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri dan termasuk WNA yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.
3) Bukan pekerja dan anggota keluarganya Investor, Pemberi Kerja, Penerima Pensiun (Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun, Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun, Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun, Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun yang mendapat hak pensiun, penerima pensiun lain, dan janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun lain yang mendapat hak pensiun) veteran, perintis kemerdekaan, janda, duda, atau anak yatim piatu dari veteran atau perintis kemerdekaan, dan bukan pekerja yang tidak termasuk diatas yang mampu membayar iuran

3. Hak Dan Kewajiban Peserta
1) Hak Peserta
a) Mendapatkan kartu peserta sebagai bukti sah untuk memperoleh pelayanan kesehatan;
b) Memperoleh manfaat dan informasi tentang hak dan kewajiban serta prosedur pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
c) Mendapatkan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
d) Menyampaikan keluhan/pengaduan, kritik dan saran secara lisan atau tertulis ke Kantor BPJS Kesehatan.
2) Kewajiban Peserta
a) Mendaftarkan dirinya sebagai peserta serta membayar iuran yang besarannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b) Melaporkan perubahan data peserta, baik karena pernikahan,
c) perceraian, kematian, kelahiran, pindah alamat atau pindah fasilitas kesehatan tingkat I.
d) Menjaga Kartu Peserta agar tidak rusak, hilang atau dimanfaatkan oleh orang yang tidak berhak.
e) Mentaati semua ketentuan dan tata cara pelayanan kesehatan.

4. Pendaftaran Menjadi Peserta
Proses pendaftaran menjadi peserta BPJS Kesehatan dapat dilakukan secara kolektif maupun perorangan, dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Pekerja Penerima Upah
a) Pendaftaran secara kolektif :
(1) Pendaftaran secara berkelompok kolektif disampaikan dalam bentuk format data yang disepakati.
(2) Mengisi dan menyerahkan Formulir Daftar Isian Peserta serta melampirkan Pas foto berwarna terbaru ukuran 3 cm x 4 cm masing-masing 1 (satu) lembar.
b) Pendaftaran secara perorangan untuk: Pemberi kerja penyelenggara Negara, terdiri dari : Penjabat Negara, PNS, PNS BUMN/BUMD, Anggota TNI dan POLRI, Pejabat Negara non PNS (Presiden, mentri, gubernur/wakil gubenur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, DPR, DPD, DPRD) pegawai pemerintah non pegawai negeri, Pegawai Swasta/Badan Usaha/Badan Lainnya. Mengisi Formulir Daftar Isian Peserta(FDIP) dilampiri dengan pas foto berwarna terbaru masing-masing 1 (satu) lembar ukuran 3 cm x 4 cm (kecuali bagi anak usia balita), serta menunjukkan/ memperlihatkan dokumen sebagai berikut:
(1) Asli/foto copy : petikan SK Penetapan sebagai Pejabat Negara yang dilegalisasi, SK PNS terakhir, SK PNS yang dipekerjakan pada BUMN/BUMD, pengangkatan sebagai pejabat Negara, SK Pengangkatan dari kementerian/ lembaga, Perjanjian Kerja/SK pengangkatan sebagai pegawai.
(2) Asli/foto copy Daftar Gaji yang dilegalisasi olehpimpinan unit kerja;
(3) Asli/foto copy KP4 yang dilegalisasi.
(4) Asli/foto copy Kartu Keluarga dan KTP (diutamakan KTP elektronik); Foto copy surat nikah; Foto copy akte kelahiran anak/surat keterangan lahir/SK Pengadilan Negeri untuk anak angkat.
(5) Surat Keterangan dari sekolah/perguruan tinggi (bagi anak berusia lebih dari 21 tahun sampai dengan usia ke 25 tahun).
(6) Bagi WNA menunjukkan Kartu Ijin Tinggal Sementara/ Tetap (KITAS/KITAP).
2) Pekerja Bukan Penerima Upah
a) Pendaftaran secara kolektif :
(1) Mengisi dan menyerahkan Formulir Daftar Isian Peserta serta melampirkan Pas foto berwarna terbaru ukuran 3 cm x 4 cm masing-masing 1 (satu) lembar.
(2) Pendaftaran secara berkelompok kolektif disampaikan dalam bentuk format data yang disepakati.
b) Pendaftaran secara perorangan meliputin :Pekerja diluar Hubungan Kerja atau Pekerja Mandiri, Kelompok Paguyuban/ Koperasi/Asosiasi, Mengisi Formulir Daftar Isian Peserta (FDIP) serta melampirkan pas foto terbaru masing-masing 1 (satu) lembar ukuran 3 cm x 4 cm (kecuali bagi anak usia balita), serta menunjukkan/memperlihatkan dokumen sebagai berikut :
(1) Asli/foto copy Kartu Keluarga dan KTP (diutamakan KTP elektronik) Foto copy surat nikah, Foto copy akte kelahiran anak/surat keterangan lahir yang menjadi tanggungan.
(2) Bagi WNA menunjukan Kartu Ijin Tinggal Sementara/ Tetap (KITAS/KITAP).
3) Bukan Pekerja
a) Pendaftaran secara kolektif, Jumlah anggota kelompok minimal 2 (dua) anggota :
(1) Mengisi dan menyerahkan Formulir Daftar Isian Peserta serta melampirkan Pas foto berwarna terbaru ukuran 3 cm x 4 cm masing-masing 1 (satu) lembar.
(2) Pendaftaran secara berkelompok kolektif disampaikan dalam bentuk format data yang disepakati.
b) Pendaftaran secara perorangan meliputi: Investor; Pemberi Kerja Mengisi, Penerima Pensiun, pekerja informal melampirkan Pas foto terbaru ukuran 3 cm x 4 cm sejumlah1 (satu) lembar, dengan menunjukan/memperlihatkan:
(1) Asli/foto copy Kartu Keluarga/KTP, surat tanda bukti penerima pensiun atau KARIP, piagam petikan SK pengesahan gelar kehormatan, surat tanda bukti penerima pensiun atau Kartu tanda peserta ASABRI, SKEP Perintis Kemerdekaan, surat keputusan janda/duda/anak yatim/anak piatu dan anak yatim piatu dari penerima pensiun, SKEP  perintis kemerdekaan.
(2) Fotocopy surat nikah, akte kelahiran, anak/keterangan lahir, surat keputusan pengadilan negeri untuk anak angkat.
(3) Surat keterangan sekolah/perguruan tinggi (bagi anak berusia lebih dari 21 tahun sampai 25 tahun).
(4) Bagi WNA menunjukkan Kartu Ijin Tinggal Sementara/ Tetap (KITAS/KITAP).(1)
C. Sistem Iuran
1. Peserta Iuran
1) Bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan iuran dibayar oleh Pemerintah.
2) Iuran bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja pada Lembaga Pemerintahan terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, dan pegawai pemerintah non pegawai negeri sebesar 5% (lima persen) dari Gaji atau Upah perbulan dengan ketentuan: 3% (tiga persen) dibayar oleh pemberi kerja dan 2% (dua persen) dibayar oleh peserta.
3) Iuran bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja di BUMN, BUMD dan Swasta sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan: 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja dan 0,5% (nol koma lima persen) dibayar oleh Peserta.
4) Iuran untuk keluarga tambahan Pekerja Penerima Upah yang terdiri dari anak ke 4 dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua, besaran iuran sebesar sebesar 1% (satu persen) dari dari gaji atau upah per orang per bulan, dibayar oleh pekerja penerima upah.
5) Iuran bagi kerabat lain dari pekerja penerima upah (seperti saudara kandung/ipar, asisten rumah tangga, dll); peserta pekerja bukan penerima upah serta iuran peserta bukan pekerja adalah sebesar:
Tabel 3.0
Iuran BPJS perbulan sesuai Ruang
Ruang kelas Perawatan Besar  iuran peserta
Kelas I Rp.25.500,- per orang
Kelas II Rp.42.500, -per orang
Kelas III Rp.59.500, -per orang
6) Iuran Jaminan Kesehatan bagi Veteran, Perintis Kemerdekaan, dan janda, duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan, iurannya ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari 45% (empat puluh lima persen) gaji pokok Pegawai Negeri Sipil golongan ruang III/a dengan masa kerja 14 (empat belas) tahun perbulan, dibayar oleh Pemerintah.
7) Pembayaran iuran paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan.
2. Denda Keterlambatan Pembayaran Iuran
1) Keterlambatan pembayaran Iuran untuk Pekerja Penerima Upah dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan, yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh Pemberi Kerja.
2) Keterlambatan pembayaran Iuran untuk Peserta Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja dikenakan denda keterlambatan sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 6 (enam) bulan yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak.
3. Penghentian Pelayanan Kesehatan
1) Bagi Pekerja Penerima Upah, jika terjadi keterlambatan pembayaran iuran lebih dari 3 (tiga) bulan, maka pelayanan kesehatan dihentikan sementara.
2) Bagi Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja, jika terjadi keterlambatan pembayaran Iuran lebih dari 6 (enam) bulan, maka pelayanan kesehatan dihentikan sementara
D. Pelayanan Kesehatan Peserta BPJS Kesehatan
1. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama
Pelayanan kesehatan tingkat pertama, meliputi pelayanan kesehatan non spesialistik yang mencakup:
1) Administrasi pelayanan;
2) Pelayanan promotif dan preventif;
3) Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
4) Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif;
5) Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;
6) Transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis;
7) Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pratama; dan
8) Rawat Inap Tingkat Pertama sesuai dengan indikasi medis.

2. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan
Meliputi pelayanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap, yang mencakup:
1) Administrasi pelayanan;
2) Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan subspesialis;
3) Tindakan medis spesialistik, baik bedah maupun non bedah sesuai dengan indikasi medis;
4) Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;
5) Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis;
6) Rehabilitasi medis;
7) Pelayanan darah;
8) Pelayanan kedokteran forensik klinik;
9) Pelayanan jenazah pada pasien yang meninggal setelah dirawat inap di fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan bpjs kesehatan, berupa pemulasaran jenazah tidak termasuk peti mati dan mobil jenazah;
10) Perawatan inap non intensif; dan
11) Perawatan inap di ruang intensif.

3. Ambulan.
Ambulan hanya diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan satu ke fasilitas kesehatan lainnya, dengan tujuan menyelamatkan nyawa pasien.

4. Pelayanan Persalinan Dan Penjaminan Bayi Baru Lahir
1) Pelayanan Persalinan
a) Persalinan merupakan benefit bagi peserta BPJS Kesehatan tanpa pembatasan jumlah kehamilan/persalinan yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dan tidak dibatasi oleh status kepesertaan (peserta/ anak/tertanggung lain).
b) Penjaminan persalinan mengikuti sistem rujukan berjenjang yang berlaku
c) Pelayanan persalinan ditagihkan oleh fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan. Klaim perorangan untuk kasus persalinan baik yang dilakukan di fasilitas kesehatan yang bekerja sama maupun yang tidak bekerja sama tidak diperbolehkan.
2) Kepesertaan Bayi Baru Lahir
a) Bayi peserta PBI Bayi baru lahir dari Peserta PBI secara otomatis dijamin oleh BPJS Kesehatan. Bayi tersebut dicatat dan dilaporkan kepada BPJS Kesehatan oleh fasilitas kesehatan untuk kepentingan rekonsiliasi data PBI.
b) Bayi peserta jamkesmas non Kuota
Berdasarkan Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor: JP/Menkes/590/XI/2013 tentang Jaminan Kesehatan Masyarakat tanggal 28 November 2013 point E nomor 2 bahwa: “Bila masih terdapat masyarakat miskin dan tidak mampu di luar peserta Jaminan Kesehatan Nasional yang berjumlah 86,4 juta jiwa maka menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2013 Tentang Penyusunan APBD Tahun 2014)”,maka: Bayi yang lahir dari peserta Jamkesmas non kuota menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, Peserta non kuota Jamkesmas, terhitung mulai tanggal 1 Januari 2014 tidak dilayani dalam penyelenggaraan program BPJS Kesehatan, kecuali didaftarkan sebagai peserta BPJS Kesehatan.
c) Peserta BPJS Kesehatan PekerjaUpah anak ke-1 sd ke-3 Bayi, anak ke-1 (satu) sampai dengan anak ke-3 (tiga) dari peserta Pekerja Penerima Upah secara otomatis dijamin oleh BPJS Kesehatan.
d) Bayi baru lahir dari: Peserta pekerja bukan penerima upah; peserta bukan pekerja; dan anak ke-4 (empat) atau lebih dari peserta penerima upah. Dijamin oleh BPJS Kesehatan jika pengurusan kepesertaan dan penerbitan SEP dilakukan dalam waktu 7 (tujuh) hari kalender sejak kelahirannya atau sebelum pulang apabila bayi dirawat kurang dari 7 (tujuh) hari. Dalam pengurusan kepesertaan bayi dilakukan pada hari ke-8 atau seterusnya, maka biaya pelayanan kesehatan tersebut tidak dijamin BPJS Kesehatan.
5. Pelayanan Gawat Darurat
1) Fasilitas Kesehatan: Fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan baik yang bekerjasama maupun tidak bekerjasama dengan BPJS kesehatan.
2) Cakupan Pelayanan
a) Pelayanan gawat darurat yang dapat dijamin adalah sesuai dengan kriteria gawat darurat yang berlaku.
b) Kriteria gawat darurat terlampir.
c) Cakupan pelayanan gawat darurat sesuai dengan pelayanan rawat jalan dan rawat inap di fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun tingkat lanjutan.
3) Prosedur Pelayanan
a) Dalam keadaan gawat darurat, maka:
(1) Peserta dapat dilayani di fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun fasilitas kesehatan tingkat lanjutan yang bekerjasama maupun yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
(2) Pelayanan harus segera diberikan tanpa diperlukan surat rujukan.
(3) Peserta yang mendapat pelayanan di Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan harus segera dirujuk ke Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan setelah keadaan gawat daruratnya teratasi dan pasien dalam kondisi dapat dipindahkan.
(4) Pengecekan validitas peserta maupun diagnosa penyakit yang termasuk dalam kriteria gawat darurat menjadi tanggung jawab fasilitas kesehatan.
(5) Fasilitas kesehatan tidak diperkenankan menarik biaya pelayanan kesehatan kepada peserta Pada kasus kegawat daruratan medis tidak diperlukan surat rujukan.
b) Prosedur Pelayanan Gawat Darurat di Fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
(1) Pada keadaan gawat darurat (emergency), seluruh fasilitas kesehatan baik yang bekerjasama maupun yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, wajib memberikan pelayanan kegawatdaruratan sesuai indikasi medis.
(2) Pelayanan kegawatdaruratan di fasilitas kesehatan tingkat pertama dapat diberikan pada fasilitas kesehatan tempat peserta terdaftar maupun bukan tempat peserta terdaftar.
(3) Pelayanan kegawatdaruratan di fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun lanjutan mengikuti prosedur pelayanan yang berlaku.
c) Prosedur pelayanan gawat darurat di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan rujukan yang tidak bekerjasama dengan BPJS kesehatan.
(1) Fasilitas kesehatan memastikan eligibilitas peserta dengan mencocokkan data peserta dengan master file kepesertaan BPJS Kesehatan pada kondisi real time. Hal ini dapat dilakukan dengan cara: Fasilitas kesehatan mengakses master file kepesertaan melalui website BPJS Kesehatan www.bpjs-kesehatan.go.id, sms gateway dan media elektronik lainnya.
(2) Penanganan kondisi kegawatdaruratan difasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama ditanggung sebagai pelayanan rawat jalan kecuali kondisi tertentu yang mengharuskan pasien dirawat inap.

E. Koordinasi Manfaat
1. Koordinasi Manfaat atau Coordination of Benefit (COB) adalah suatu proses dimana dua atau lebih penanggung (payer) yang menanggung orang yang sama untuk benefit asuransi kesehatan yang sama, membatasi total benefit dalam jumlah tertentu yang tidak melebihi jumlah pelayanan kesehatan yang dibiayakan.
2. Peserta Koordinasi Manfaat/COB adalah Peserta BPJS Kesehatan yang mempunyai program jaminan kesehatan lain yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
3. Prinsip Koordinasi Manfaat :
BPJS Kesehatan sebagai penjamin pertama BPJS Kesehatan menjamin Peserta sesuai haknya sebagai Peserta BPJS Kesehatan, selebihnya ditanggung oleh asuransi tambahan atau badan penjamin lain.
1) Koordinasi manfaat diberlakukan bila Peserta mengambil kelas perawatan lebih tinggi dari haknya sebagai Peserta BPJS Kesehatan, kecuali pelayanan di Rumah sakit yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, diatur tersendiri antara BPJS Kesehatan dengan asuransi tambahan atau badan penjamin lainnya.
2) BPJS Kesehatan menanggung biaya sesuai hak kelas peserta, penjamin lain menanggung selisih biaya akibat kenaikan kelas peserta
3) Koordinasi manfaat dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan yang belum kerja sama dengan BPJS Kesehatan.
4) Pelayanan kesehatan dapat diberikan di fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS kesehatan dan asuransi tambahan atau badan penjamin lain.
5) Fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan asuransi tambahan atau badan penjamin lain tetapi tidak bekerja sama dengan BPJS kesehatan koordinasi manfaat yang ditanggung oleh BPJS kesehatan hanya pelayanan yang sesuai dengan ketentuan BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan sebagai penjamin kedua BPJS kesehatan hanya menjamin selisih biaya dari tarif sesuai hak sebagai peserta BPJS Kesehatan dan nilai yang ditanggung oleh program jaminan kecelakaan lalu lintas.

Dasar Hukum yang melandasi adanya BPJS
      1.      Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Kesehatan;
      2.      Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
      3.      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan;
         4.      Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.
         5.      Undang – Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
        6.      Undang – Undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit[3]
Hak dan Kewajiban Peserta BPJS Kesehatan
Hak Peserta
     1.      Mendapatkan kartu peserta sebagai bukti sah untuk memperoleh pelayanan kesehatan;
   2.      Memperoleh manfaat dan informasi tentang hak dan kewajiban serta prosedur pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
   3.      Mendapatkan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan; dan
     4.      Menyampaikan keluhan/pengaduan, kritik dan saran secara lisan atau tertulis ke Kantor  BPJS Kesehatan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pelayanan BPJS Kesehatan meliputi:
a. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama
b. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan
c. Ambulan.
d. Pelayanan Persalinan Dan Penjaminan Bayi Baru Lahir
e. Pelayanan Gawat Darurat

B. Saran
Program BPJS Kesehatan dinilai sangat penting dan banyak manfaatnya karena kelebihannya yaitu sistem gotong royong. Untuk itu sangat dianjurkan untuk mengikutinya. 
DAFTAR PUSTAKA

Tim Visi Yustisia. 2014. Buku Panduan Layanan Bagi Peserta BPJS Kesehatan. Jakarta
Tim Visi Yustisia. 2014. Panduan Memperoleh Jaminan Kesehatan Dari BPJS. Jakarta



Rabu, 24 Oktober 2018

MAKALAH FIQIH KONTEMPORER

MAKALAH FIQIH KONTEMPORER


BAB I

PENDAHULUAN



Berbisnis merupakan aktivitas yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri pun telah menyatakan bahwa 9 dari 10 pintu rezeki adalah melalui pintu berdagang (al-hadits). Artinya, melalui jalan perdagangan inilah, pintu-pintu rezeki akan dapat dibuka sehingga karunia Allah terpancar daripadanya. Jual beli merupakan sesuatu yang diperbolehkan (QS 2 : 275), dengan catatan selama dilakukan dengan benar sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
Dalil di atas dimaksudkan untuk transaksi offline. Sekarang bagaimana dengan transaksi online di akhirzaman ini? Kalau kita bicara tentang bisnis online, banyak sekali macam dan jenisnya. Namun demikian secara garis besar bisa di artikan sebagai jual beli barang dan jasa melalui media elektronik, khususnya melalui internet atau secara online.
Salah satu contoh adalah penjualan produk secara online melalui internet seperti yang dilakukan Amazon.com, Clickbank.com, Kutubuku.com, Kompas Cyber Media, dll. Dalam bisnis ini, dukungan dan pelayanan terhadap konsumen menggunakan website, e-mail sebagai alat bantu, mengirimkan kontrak melalui mail dan sebagainya.
Mungkin ada definisi lain untuk bisnis online, ada istilah e-commerce. Tetapi yang pasti, setiap kali orang berbicara tentang e-commerce, mereka memahaminya sebagai bisnis yang berhubungan dengan internet, Dan dewasa ini, kita tak dapat mengelak bahwa fenomena jual beli online telah tumbuh dan menjamur ditengah-tengah kehidupan kita sehari-hari. Mulai dari penjualan pakaian jadi, sepatu, tas, buku, dll. Lantas bagaimanakah hukum jual beli online dalam perspektif Islam? Dan bagaimanakah jual beli online yang diperbolehkan  (halal) dalam perspektif Islam? Jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut akan kami ulas satu persatu dalam makalah ini sehingga nantinya memunculkan suatu kesimpulan yang tepat dan dapat diterima oleh para pembaca dengan bahasa yang mudah dipahami. Sehingga pengetahuan pembaca akan hukum jual beli online dalam perspektif Islam lebih jelas.

B.  Rumusan Masalah

1.        Bagaimana hukum jual beli secara online menurut syariat agama Islam?
2.        Langkah-langkah apa saja yang dapat kita lakukan agar jual beli secara online dikatakan halal dan sah menurut syariat agama Islam?

C.  Tujuan

1.        Memberikan informasi kepada pembaca agar mengetahui hukum jual beli secara online   menurut syariat agama Islam.
2.        Memperoleh pengetahuan tentang bagaimana jual beli  secara online yang diperbolehkan dalam perspektif Islam.
3.        Menambah keimanan dan keilmuan kita mengenai syariat-syariat agama Islam, khususnya dalam bidang jual beli.




BAB II

PEMBAHASAN



Jual beli menurut bahasa artinya menukar sesuatu dengan sesuatu, sedang menurut syara’ artinya menukar harta dengan harta menurut cara-cara tertentu (‘aqad).[1] Jual beli secara lughawi adalah saling menukar. Jual beli dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-bay’. Secara terminology jual beli adalah suatu transaksi yang dilakukan oleh pihak penjual dengan pihak pembeli terhadap sesuatu barang dengan harga yang disepakatinya. [2]Menurut syari’at islam jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.
Jual-beli atau bay’u adalah suatu kegiatan tukar-menukar barang dengan barang yang lain dengan cara tertentu baik dilakukan dengan menggunakan akad maupun tidak menggunakan akad. Intinya, antara penjual dan pembeli telah mengetahui masing-masing bahwa transaksi jual-beli telah berlangsung dengan sempurna.


Landasan Syara’: Jual beli di syariatkan berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Yakni:

1.      Berdasarkan Al-Qur’an diantaranya:

                                                                                      وَحَرَّمَ وَحَرَّمَ الْبَيْعَ اللَّهُ وَأَحَلَّ
Artinya: “ Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Al- Baqarah : 275)
قِيَامًا لَكُمْ اللَّهُ جَعَلَ الَّتِي أَمْوَالَكُمُ السُّفَهَاءَتُؤْتُوا وَلا
Artinya: “ dan janganlah kamu berikan hartamu itu kepada orang yang bodoh dan harta itu dijadikan Allah untukmu sebagai pokok penghidupan”. (An-Nisa:5).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (An-Nisa: 29).
2.      Berdasarkan Sunnah
Rasulullah Saw. Bersabda: 
      “dari Rifa’ah bin Rafi’ ra.: bahwasannya Nabi Saw. Ditanya: pencarian apakah yangpaling baik? Beliau menjawab: “Ialah orang yang bekerja dengan tangannya dan tiap-tiap jual beli yang bersih”. (H.R Al-Bazzar dan disahkan Hakim). Rasulullah Saw, bersabda:
“sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka sama suka (saling meridhoi) (HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Majah).
3.      Bardasarkan Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau harta milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.


Dalam menetapkan rukun jual-beli, diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat. Menurut Ulama Hanafiyah, rukun jual-beli adalah ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara rida, baik dengan ucapan maupun perbuatan. [3]Adapun rukun jual-beli menurut Jumhur Ulama ada empat, yaitu:
1.      Bai’ (penjual)
2.      Mustari (pembeli)
3.      Shighat (ijab dan qabul)
4.      Ma’qud ‘alaih (benda atau barang).


Transaksi jual-beli baru dinyatakan terjadi apabila terpenuhi tiga syarat jual-beli, yaitu:
1.      Adanya dua pihak yang melakukan transaksi jual-beli
2.      Adanya sesuatu atau barang yang dipindahtangankan dari penjual kepada pembeli
3.      Adanya kalimat yang menyatakan terjadinya transaksi jual-beli (sighat ijab qabul).
Syarat yang harus dipenuhi oleh penjual dan pembeli adalah:
1.      Agar tidak terjadi penipuan, maka keduanya harus berakal sehat dan dapat membedakan     (memilih).
2.      Dengan kehendaknya sendiri, keduanya saling merelakan, bukan karena terpaksa.
3.      Dewasa atau baligh.
Syarat benda dan uang yang diperjual belikan sebagai berikut:
1.      Bersih atau suci barangnya
Tidak syah menjual barang yang najis seperti anjing, babi, khomar dan lain-lain yang najis.
2.      Ada manfaatnya: jual beli yang ada manfaatnya sah, sedangkan yang tidak ada manfaatnya tidak sah, seperti jual beli lalat, nyamuk, dan sebagainya.
3.      Dapat dikuasai: tidak sah menjual barang yang sedang lari, misalnya jual beli kuda yang sedang lari yang belum diketahui kapan dapat ditangkap lagi, atau barang yang sudah hilang atau barang yang sulit mendapatkannya.
4.      Milik sendiri: tidak sah menjual barang orang lain dengan tidak seizinnya, atau barang yang hanya baru akan dimilikinya atau baru akan menjadi miliknya.
5.      Mestilah diketahui kadar barang atau benda dan harga itu, begitu juga jenis dan sifatnya. Jual beli benda yang disebutkan sifatnya saja dalam janji (tanggungan), maka hukumnya boleh.







[4]Secara asalnya, jua-beli itu merupakan hal yang hukumnya mubah atau dibolehkan. Sebagaimana ungkapan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah : dasarnya hukum jual-beli itu seluruhnya adalah mubah, yaitu apabila dengan keridhaan dari kedua-belah pihak. Kecuali apabila jual-beli itu dilarang oleh Rasulullah SAW. Atau yang maknanya termasuk yang dilarang beliau.
Sedangkan macam-macam jual beli adalah  sebagai berikut. Menurut para jumhur ulama jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi, di lihat dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam yaitu :
1.   Jual beli yang sah,adalah jual beli yang telah memenuhi ketentuan  syara’, baik rukun maupun syaratnya, syarat jual beli antara lain  :
a.    Barangnya suci
b.    Bermanfaat
c.    Milik penjual (dikuasainya )
d.   Bisa diserahkan
e.    Diketahui keadaannya
2.   Jual beli yang batal, adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual beli menjadi rusak (fasid). Dengan kata lain, menurut jumhur ulama, rusak dan batal memiliki arti yang sama. Adapun ulama hanafiyah membagi hukum dan sifat jual beli menjadi sah, batal, dan rusak. 
3.    Jual beli yang di larang dalam Islam
Jual beli yang dilarang dalam islam sangatlah banyak  menurut jumhur ulama. Berkenaan dengan jual beli yang di larang dalam Islam, Wahbah Al-Juhalili meringkasnya sebagai berikut :


a.         Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad )
Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan sahih apabila dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dan dapat memilih, dan mampu ber-tasharruf secara bebas dan baik. Mereka yang di pandang tidak sah jual belinya adalah berikut ini :
1)      Jual beli orang gila
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli orang gila tidak sah. Begitu pula sejenisnya, seperti orang mabuk, sakalor, dan lain-lain.
2)      Jual beli anak kecil
Menurut ulama fiqih jual beli anak kecil di pandang tidak sah, kecuali dalam perkara – perkara yang ringan atau sepele. Menurut ulama Syafi’iyah, jual beli anak mimayyiz yang belum baligh, tidak sah sebab tidak ada ahliyah.
Adapun menurut ulama Malikiyyah, Hanafiyyah, dan Hanabilah, jual beli anak-anak kecil dianggap sah jika diizinkan walinya. Mereka antara lain beralasan, salah satu cara untuk melatih kedewasaan adalah dengan cara  memberikan keleluasaan untuk jual beli, juga pengamalan atas firman Allah, yang artinya:
    
“dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapat mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. (Q.S. An-Nisa’ :6)
3)      Jual beli orang buta
Jual beli orang buta di kategorikan sahih munurut jumhur ulama jika barang yang dibelinya diberi sifat ( diterangkan sifat-sifatnya ). Menurut Safi’iyah, jual beli orang buta tidak sah sebab ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan yang baik.
4)      Jual beli terpaksa
Menurut ulama Safi’iyah dan Hanabilah, jual beli ini tidak sah , sebab tidak ada keridaan ketika akad.
5)      Jual beli fudhul
Adalah jual beli milik orang tanpa seizinnya. Munurut Hanafiyah dan Malikiyah, jual beli di tangguhkan sampai ada izin pemilik. Menurut Safi’iyah dan Hanabilah, jual beli fudhul tidak sah.
6)      Jual beli orang yang terhalang
Maksudnya adalah terhalang karena kebodohan, bangkrut ataupun sakit.

b.      Terlarang Sebab Ma’qud Alaih ( barang jualan )

Secara umum, ma’qud alaih adalah harta yang di jadikan alat pertukaran olah orang yang akad, yang biasa di sebut mabi’ (barang jualan) dan harga.
1)      Jual-beli benda yang tidak ada atau di khawatirkan tidak ada
2)      Jual-beli barang yang tidak dapat di serahkan
3)      Jual-beli gharar atau disebut juga dengan jual beli yang tidak jelas (majhul)
4)      Jual-beli barang yang najis dan yang terkena najis.
5)      Jual-beli barang yang tidak ada ditempat akad (ghaib), tidak dapat dilihat.

c.       Terlarang sebab syara’

1)      Jual-beli riba
2)      Jual-beli barang yang najis
Barang yang diperjual belikan harus suci dan bermanfaat untuk manusia. Tidak boleh (haram) berjual beli barang yang najis atau tidak bermanfaat seperti: arak, bangkai, babi, anjing, berhala, dan lain-lain.
Nabi saw. Bersabda ;
اِنّ ا للهَ تعالى حَرَّم بَيْعَ اْلخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيْرِ وَالأَصْنَامِ . (رواه الشيغان
Artinya : “ Nabi bersabda : Allah ta’ala melarang jual beli arak, bangkai, babi, anjing, dan berhala.”(bukhari dan muslim)
3)      Jual-beli dengan uang dari barang yang diharamkan
4)      Jual-beli barang dari hasil pencegatan barang
5)      Jual-beli waktu ibadah sholat jum’at, berdasarkan Q.S. Al Jumu’ah ayat 9, yaitu:
Artinya :
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
6)      Jual-beli anggur untuk dijadikan khamar
7)      Jual-beli induk tanpa anaknya yang masih kecil
8)      Jual-beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain
9)      Jual-beli memakai syarat.


Transaksi secara online merupakan transakasi pesanan dalam model bisnis era global yang non face, dengan hanya melakukan transfer data lewat maya (data intercange) via internet, yang mana kedua belah pihak, antara originator dan adresse (penjual dan pembeli), atau menembus batas system pemasaran dan bisnis-Online dengan menggunakan Sentral shop, Sentral Shop merupakan sebuah Rancangan Web Ecommerce smart dan sekaligus sebagai Bussiness Intelligent yang sangat stabil untuk diguakan dalam memulai, menjalankan, mengembangkan, dan mengontrol Bisnis.[5]
Perkembangan teknologi inilah yang bisa memudahkan transaksi jarak jauh, dimana manusia bisa dapat berinteraksi secara singkat walaupun tanpa face to face, akan tetapi didalam bisnis adalah yang terpenting memberikan informasi dan mencari keuntungan.
Adapun mengenai definisi mengenai E-Commerce secara umumnya adalah dengan merujuk pada semua bentuk transaksikomersial, yang menyangkut organisasi dan transmisi data yang digeneralisasikan dalam bentuk teks, suara, dan gambar secara lengkap. Sedangkan pihak-pihak yang terlibat sebagaiman yang telah diungkapkan dalam akad salam diatas, mungkin tidak beda jauh, hanya saja persyaratan tempat yang berbeda.
Jual beli secara online ini sejenis dengan jual beli salam (pesanan). Kata salam ataupun salaf memiliki makna satu, yaitu “pesanan”. Adapun secara terminologi ialah menjual suatu barang yang telah ditetapkan dengan sifat dalam suatu tanggungan.
Akad salam itu pada hakikatnya adalah jual-beli dengan hutang. Tapi bedanya, yang dihutang bukan uang pembayarannya, melainkan barangnya. Sedangkan uang pembayarannya justru diserahkan tunai. Jadi akad salam ini kebalikan dari kredit.  Kalau jual-beli kredit, barangnya diserahkan terlebih dahulu dan uang pembayarannya jadi hutang. Sedangkan akad salam, uangnya diserahkan terlebih dahulu sedangkan barangnya belum diserahkan dan menjadi hutang.
Akad salam di tetapkan kebolehannya di dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’. Dalil Al-Qur’an yang memperbolehkan akad salam terdapat dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 282 :
الأصلفيالمعاملةالإباحةحتىيدلالدليللعلىتحرمه
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.
Adapun dalil As-Sunnah, dalil dengan salam ini di sebutkan dalam hadist riwayat Ibnu Abbas RA. berkata bahwa ketika Nabi SAW baru tiba di Madinah, orang-orang madinah biasa meminjamkan buah kurma satu tahun dan dua tahun. Maka Nabi SAW bersabda : “Siapa yang meminjamkan buah kurma maka harus meminjamkan dengan timbangan yang tertentu dan sampai pada masa yang tertentu”.  (HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan dalil ijma’, Ibnu Al-Munzir menyebutkan bahwa semua orang yang kami kenal sebagai ahli ilmu telah bersepakat bahwa akad salam itu merupakan akad yang dibolehkan.
Dalam transaksi salam ini diperlukan syarat-syarat ijab qabul, Pernyataan dalam ijab qabul ini bisa disampaikan secara lisan, tulisan (surat menyurat, isyarat yang dapat memberi pengertian yang jelas), hingga perbuatan atau kebiasaan dalam melakukan ijab qabul. Adapun syarat-syaratnya adalah:
a)      Dilakukan dalam satu tempo.
b)      Antara ijab dan qabul sejalan.
c)      Menggunakan kata assalam atau assalaf.
d)     Tidak ada khiyar syarat (hak bagi pemesan untuk menerima pesanan atau tidak).


Sebagaimana keterangan dan penjelasan mengenai dasar hokum hingga persyaratan transaksi salam dalam hukum islam, kalau dilihat secara sepintas mungkin mengarah pada ketidak dibolehkannya transaksi secara online (E-commerce), disebabkan ketidak jelasan tempat dan tidak hadirnya kedua pihak yang terlibat dalam tempat.
Tetapi kalau kita mencoba menelaah kembali dengan mencoba mengkolaborasikan antara ungkapan al-Qur’an, hadits dan ijmma’, dengan sebuah landasan :
“Pada awalnya semua Muamalah diperbolehkan sehingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya”.
Dengan melihat keterangan diatas, maka hal tersebut bisa dijadikan sebagai pemula dan pembuka cenel keterlibatan hukum Islam terhadap permasalahan kontemporer. Karena dalam Al-Qur’an permasalahan transaksi online masih bersifat global, selanjutnya hanya mengarahkan kepada peluncuran teks hadits yang dikolaborasikan dalam permasalahan sekarang dengan menarik sebuah pengkiyasan.
[6]Sebagaimana ungkapan Abdullah bin Mas’ud : Bahwa apa yang telah dipandang baik oleh muslim maka baiklah dihadapan Allah, akan tetapi sebaliknya. Dan yang paling penting adalah kejujuran, keadilan, dan kejelasan dengan memberikan data secara lengkap, dan tidak ada niatan untuk menipu atau merugikan orang lain, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 282 diatas.
Langkah-langkah yang dapat kita tempuh agar jual beli secara online ini di perbolehkan, halal, dan sah menurut syari’at Islam diantaranya :

1.    Produk yang di jual maupun yang di beli Halal
Kewajiban menjaga hukum halal-haram dalam objek perniagaan tetap berlaku, termasuk dalam perniagaan secara online, mengingat Islam mengharamkan hasil perniagaan barang atau layanan jasa yang haram, sebagaimana ditegaskan dalam hadis: “Sesungguhnya bila Allah telah mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, pasti Ia mengharamkan pula hasil penjualannya.” (HR Ahmad, dan lainnya).
Boleh jadi ketika berniaga secara online, rasa sungkan atau segan kepada orang lain sirna atau berkurang. Namun kita pasti menyadari bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tetap mencatat halal atau haram perniagaan kita.
2.    Kejelasan status
Di antara poin penting yang harus kita perhatikan dalam setiap perniagaan adalah kejelasan status. Apakah sebagai pemilik, atau paling kurang sebagai perwakilan dari pemilik barang, sehingga berwenang menjual barang. Ataukah kita hanya menawaran jasa pengadaan barang, dan atas jasa ini kita mensyaratkan imbalan tertentu. Ataukah sekedar seorang pedagang yang tidak memiliki barang namun bisa mendatangkan barang yang kita tawarkan.
3.    Kesesuaian harga dengan kualitas barang
Dalam jual beli online, kerap kali kita jumpai banyak pembeli merasa kecewa setelah melihat pakaian yang telah dibeli secara online. Entah itu kualitas barangnya, ataukah ukuran yang ternyata tidak pas dengan yang dikehendaki. Sebelum hal ini terjadi kembali pada kita, patutnya kita mempertimbangkan apakah harga yang ditawarkan telah sesuai dengan kualitas barang yang akan dibeli. Sebaiknya juga kita meminta foto real dari keadaan barang yang akan dijual.
4.    Kejujuran dalam jual beli online
Berniaga secara online, walaupun memiliki banyak keunggulan dan kemudahan, namun bukan berarti tanpa masalah. Berbagai masalah dapat saja muncul pada perniagaan secara online. Terutama masalah yang berkaitan dengan tingkat amanah kedua belah pihak.
Bisa jadi ada orang yang melakukan pembelian atau pemesanan. Namun setelah barang kita kirim kepadanya, ia tidak melakukan pembayaran atau tidak melunasi sisa pembayarannya. Bila kita sebagai pembeli, bisa jadi setelah kita melakukan pembayaran, atau paling kurang mengirim uang muka, ternyata penjual berkhianat, dan tidak mengirimkan barang. Bisa jadi barang yang dikirim ternyata tidak sesuai dengan apa yang ia gambarkan di situsnya atau tidak sesuai dengan yang kita inginkan. kita bisa bayangkan betapa susah dan repotnya bila mengalami kejadian seperti itu. Karena itu, walaupun kejujuran ditekankan dalam setiap perniagaan, pada perniagan secara online tentu lebih ditekankan lagi.



BAB III

PENUTUP


A.  Kesimpulan

Bisnis online sama seperti bisnis offline. Ada yang halal ada yang haram, ada yang legal ada yang ilegal. Hukum dasar bisnis online sama seperti akad jual beli dan akad as-salam, ini diperbolehkan dalam Islam. Adapun keharaman bisnis online karena beberapa sebab :
1.    Sistemnya haram, seperti money gambling. Judi itu haram baik di darat maupun di udara (online).
2.    Barang/jasa yang menjadi objek transaksi adalah barang yang diharamkan, seperti narkoba, video porno, online sex, pelanggaran hak cipta, situs-situs yang bisa membawa pengunjung ke dalam perzinaan.
3.    Karena melanggar perjanjian (TOS) atau mengandung unsur penipuan.
4.    Tidak membawa kemanfaatan tapi justru mengakibatkan kemudharatan.
Sebagaima telah disebutkan diatas, hukum asal mu’amalah adalah al-ibaahah (boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya. Namun demikian, bukan berarti tidak ada rambu-rambu yang mengaturnya.
Transaksi online diperbolehkan menurut Islam selama tidak mengandung unsur-unsur yang dapat merusaknya seperti riba, kezhaliman, penipuan, kecurangan dan yang sejenisnya serta memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat didalam jual belinya.
Hal yang perlu juga diperhatikan oleh konsumen dalam bertransaksi adalah memastikan bahwa barang/jasa yang akan dibelinya sesuai dengan yang disifatkan oleh si penjual sehingga tidak menimbulkan perselisihan di kemudian hari.

B.  Saran

Ketika kita terjun ke bisnis online, banyak sekali godaan dan tantangan bagaimana kita harus berbisnis sesuai dengan koridor Islam. Maka dari itu kita harus lebih berhati-hati. Jangan karena ingin mendapat uang yang banyak lalu menghalalkan segala macam cara. Selama kita berbisnis online sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan bermanfaat bagi orang lain, insya Allah uang yang didapat akan berkah.


DAFTAR PUSTAKA

Asnawi, Haris Faulidi, Transaksi Bisnis E-Commerce Perspektif Islam, Yogyakarta : Laskar Press, 2008

Azzuracie, Hukum Jual Beli Online, http://azzuracie.wordpress.com/2013/04/25/hukum-jual-beli-online/ , di akses tanggal 09 Mei 2014

Daud, Ali Mahmud, Hukum Islam Di Indonesia : Pengantar Hukum Islam dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Grafindo, 1993

Muhammad ibn Qosim Al-Ghazy, Alih Bahasa Sunarto Achmad, Terjemah Fathul Qorib, Surabaya : Al-Hidayah, 1991.

Syafei Rachmat, Fiqih Muamalah, Bandung : Pustaka Setia, 2000

Rumah Makalah, Transaksi Jual Beli Secara Online (Akad Salam Secara e-Commerce) http://rumahmakalah.wordpress.com/2008/11/08/transaksi-jual-beli-secara-online-akad-salam-secara-e-commerce/ , di akses 10 Mei 2014.




















[1] Syafei Rachmat, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia, 2000) hal 56.

[2] Daud, Ali Mahmud, Hukum Islam Di Indonesia : Pengantar Hukum Islam dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Grafindo, 1993) hal 89.

[3] Muhammad ibn Qosim Al-Ghazy, Alih Bahasa Sunarto Achmad, Terjemah Fathul Qorib, (Surabaya : Al-Hidayah, 1991) hal 47.

[4] Asnawi, Haris Faulidi, Transaksi Bisnis E-Commerce Perspektif Islam, (Yogyakarta: Laskar Press, 2008) hal 82.

[5] Rumah Makalah, Transaksi Jual Beli Secara Online (Akad Salam Secara e-Commerce) http://rumahmakalah.wordpress.com/2008/11/08/transaksi-jual-beli-secara-online-akad-salam-secara-e-commerce/ , diakses 08 Desember 2017 pukul 21:19 wib.

[6] Azzuracie, Hukum Jual Beli Online, http://azzuracie.wordpress.com/2013/04/25/hukum-jual-beli-online/ , diakses tanggal 08 Desember 2017 pukul 19:12 wib.