1

loading...
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH FIQIH IBADAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH FIQIH IBADAH. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Mei 2019

MAKALAH FIQIH IBADAH " PENGERTIAN NIAT DAN HUKUM NIAT"


MAKALAH PENGERTIAN NIAT DAN HUKUM NIAT

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Niat adalah salah satu unsur terpenting dalam setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Bahkan dalam setiap perbuatan yang baik dan benar (ibadah) menghadirkan niat hukumnya fardhu bagi setiap pelaksananya. Banyak hadis yang mencantumkan seberapa penting arti menghadirkan niat dalam setiap perbuatan. Niat juga mengan dung makna keikhlasan terhadap apa yang akan kita kerjakan.
Umar bin al-Khatthab yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat dan sesungguhnya masing-masing orang mendapatkan apa yang dia niatkan.” Jadi pada intinya setiap niat yang baik pasti menghasilkan perbuatan yang baik pula dan sebaliknya, setiap niat yang buruk akan menghasilkan perbuatan yang buruk pula.
Tetapi pada salah satu ibadah fardhu, yaitu salat. Masalah menghadirkan niat menjadi suatu objek pertentangan di antara beberapa mahzab. Hal yang menjadi titik pusat permasalahan bukanlah harus atau tidaknya niat itu dihadirkan. Karena memang niat itu harus dihadirkan pada setiap perbuata. Tapi masalahnya terletak pada cara menghadirkan niat dalam salat. Apakah cukup dalam hati saja? Atau harus diucapkan? Dan masih banyak masalah lainnya.
B.  Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian niat?
2. Apakah Hukum dari Niat?
3. Sebutkan macam-macam Niat?
4. Jelaskan kedudukan Niat?

BAB  II
PEMBAHASAN
        A.    Definisi Niat
An Niat (niat) secara bahasa artinya adalah al qashdu (maksud) dan al iraadah (keinginan) atau dengan kata lain qashdul quluub wa iraadatuhu (maksud dan keinginan hati).Sedangkan definisi niat secara istilah adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di,beliau berkata,“Niat adalah maksud dalam beramal untuk mendekatkan diri.
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ
Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya,maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya.Barang Siapa yang hijrahnya disebabkan karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.”(HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari,no.1 dan Muslim,no.1907]

Aspek niat itu ada 3 hal :
1.                   Diyakini dalam hati.
2.                   Diucapkan dengan lisan (tidak perlu keras sehingga dapat mengganggu orang lain atau bahkan menjadi riya.
3.                   Dilakukan dengan amal perbuatan.
Dengan definisi niat yang seperti ini diharapkan orang Islam atau Muslim itu tidak hanya 'bicara saja' karena dengan berniat berati bersatu padunya antara hati,ucapan dan perbuatan.Niat baiknya seorang muslim itu tentu saja akan keluar dari hati yang khusyu dan tawadhu, ucapan yang baik dan santun, serta tindakan yang dipikirkan masak-masak dan tidak tergesa-gesa serta cermat.Karena dikatakan dalam suatu hadits Muhammad apabila yang diucapkan lain dengan yang diperbuat termasuk ciri-ciri orang yang munafik,Imam an-Nawawi berkata:[1]
“Niat adalah fardhu, shalat tidak sah tanpanya”
Niat itu berarti bermaksud dan berkehendak.Letak niat adalah di dalam hati.Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
وَالنِّيَّةُ مَحَلُّهَا الْقَلْبُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ ؛ فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ بِاتِّفَاقِهِمْ
“Niat itu letaknya di dalam  hati berdasarkan kesepakatan ulama.Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya,maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.”(Majmu’ah Al-Fatawa,18:262)

Ibnul Mundzir,Syaikh Abu Hamid al-Isfirayini,Qadhi Abu ath-Thayyib, dan Muhammad bin Yahya dan lain-lainnya menukil ijma’ulama bahwa “salat tidak sah tanpa niat.”
Jadi para ulama telah berijma’ bahwa shalat tanpa niat tidak sah, ijma’ini berdasar kepada hadis yang disampaikan oleh Umar ibnul Khaththab radliallahu anhu berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda :
“Amalan-amalan itu hanyalah tergantung dengan niatnya. Dan setiap orang hanyalah mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan.Maka siapa yang amalan hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia peroleh atau karena wanita yang ingin ia nikahi maka hijrahnya itu kepada apa yang dia tujukan/niatkan”.
     B.     Hukum Niat
Dalam kitabnya, Risâlah fî Tahqîq Qawâid al-Niyyah, alSa’îdân menguraikan hukum niat sebagai berikut:
Sudah ada ketetapan bagi kami, para ulama’,bahwa niat adalah salah satu syarat sah segala yang diperintahkan, seperti tahârah, salat lima waktu, puasa Ramadlan,zakat, haji,dan lain-lain.Ibadah-ibadah ini tidak sah kecuali disertai niat; niat adalah syarat dalam pengamalan ibadah-ibadah tersebut; memang,salah satu ciri khas syarat ialah harus terpenuhi sebelum suatu tindakan pelaksanaan perintah dilakukan.
Penjelasan ini memposisikan niat sebagai syarat sah.Artinya,tanpa niat, pengamalan perintah ajaran agama tidak sah.Ada kaidah fiqhiyyah menyebutkan, segala tindakan yang tanpanya tindakan wajib tak bisa sempurna, maka tindakan tersebut menjadi wajib. Analoginya, jika disuruh mengambil topi di atas genteng, otomatis mencari galah atau tangga masuk dalam perintah itu, karena tanpa dua alat bantu itu, perintah tidak mungkin atau paling tidak,sulit dilaksanakan.Kiranya dalam konteks itulah, hadir sabda Rasulullah Saw yang menyatakah bahwa:
“Niat seorang mukmin lebih baik dari pada amalnya;dan niat orang jahat lebih buruk dari pada perbuatannya”.
Sabda rasulllah  di atas hadir dalam konteks prioritas niat. Artinya, niat baik saja sudah dinilai lebih baik, apalagi jika dilaksanakan. Sebaliknya, niat jahat pun sudah lebih buruk, apalagi jika dilakukan. Dari segi fungsi, al-Qarâfî yang menyatakan niat itu wajib dilakukan karena alasan fungsional.
Hikmah mengapa niat itu diwajibkan ialah untuk membedakan mana tindakan ibadah dan mana yang bukan,atau membedakan tingkat prioritas ibadah,sunah atau wajibkah. Pertama, niat itu berfungsi membedakan tindakan yang untuk Allah dari amaliyah yang tidak untukNya.Contohnya seperti mandi Bisa saja,dengan mandi yang Alasannya, karena niat itu tulus dan suci, sementara perbuatan banyak infeksi virus riya’, ‘ujub, dan sejenisnya.orang berniat segar-segaran saja,atau bersih-bersih badan saja;tapi itu bisa bernilai ibadah jika mandi diniatkan sebagai amaliah yang diperintahkan.Kalau diniatkan,mandi bersih itu untuk Allah; kalau tidak, maka tak ada nilai ibadah. Puasa juga begitu;bisa saja orang puasa kerena tak ada makanan atau diet.Kalau ada niat, jelas ituada nilai ibadah.
Uraian ini memperlihatkan bahwa dari sudut pandang yuridis, hukum melakukan niat bisa mubâh jika tindakan yang dilakukan bukan hal ibadah, dan bisa berhukum wajib jika tindakan yang dilakukan termasuk kategori ibadah, seperti telah dijelaskan;namun dari sisi kualitas output, amal baik yang diniatkan akan lebih optimal dari pada yang tidak diniatkan. Maka lazim didengar ungkapan “Tidak berhasil itu karena kamu nggak niat dalam melakukannya!”.
       C.     Macam-Macam Niat.
Niat dibagi mejadi 2 yaitu :
1.      Niyatu Al-‘amal
Yang dimaksud niyatu al-’amal adalah hendaknya ketika melakukan suatu amal, seseorang menentukan niatnya terlebih dulu untuk membedakan antara satu jenis perbuatan dengan perbuatan yang lain.Misalnya mandi,harus dipertegas di dalam hatinya apakah niatnya untuk mandi biasa ataukah mandi besar. Dengan niat semacam ini akan terbedakan antara perbuatan ibadat dan non-ibadat/adat. Demikian juga, akan terbedakan antara jenis ibadah yang satu dengan jenis ibadah lainnya. Misalnya, ketika mengerjakan shalat [2 raka'at] harus dibedakan di dalam hati antara shalat wajib dengan yang sunnah.Inilah makna niat yang sering disebut dalam kitab-kitab fikih.
2.Niyat Al-ma’mul Lahu
Niyat al-ma’mul lahu maksudnya adalah hendaknya ketika beramal tidak memiliki tujuan lain kecuali dalam rangka mencari keridhaan Allah, mengharap pahala, dan terdorong oleh kekhawatiran akan hukuman-Nya.Dengan kata lain,amal itu harus ikhlas. Inilah maksud kata niat yang sering disebut dalam kitab aqidah atau penyucian jiwa yang ditulis oleh banyak ulama salaf dan disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Di dalam al-Qur’an,niat semacam ini diungkapkan dengan kata-kata iradah (menghendaki) atau ibtigha’(mencari).(Diringkas dari keterangan Syaikh as-Sa’di dalam Bahjat al-Qulub al-Abrar,sebagaimana tercantum dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal.36-37 dengan sedikit penambahan dari Jami’ al-’Ulum oleh Ibnu Rajab hal.16-17).
      D.    Kedudukan Niat
Segala perbuatan yang kita lakukan setiap harinya tidak jauh hubungannya dengan niat. Perbuatan yang kita lakukan akan bernilai ibadah jika kita melakukan perbuatan itu dengan di niati ibadah kepada allah, begitu jiga sebaliknya perbuatan kita tidak akan bernilai apapun jika kita tidak menyertakan niat di dalam perbuatan kita. Sebagamana sabda nabi yang Artinya :
‘Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Yahya dari Muhammad Bin Ibrahim At Taimi dari 'Alqamah Bin Waqqash dia berkata; aku mendengar Umar berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda:"Perbuatan itu hanya tergantung pada niat,dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan, barangsiapa Hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya akan menuju kepada Allah dan RasulullahNya,dan barangsiapa Hijrahnya untuk mendapatkan keduniaan atau untuk seorang wanita yang akan dinikahinya,maka Hijrahnya akan mendapatkan apa yang dia niatkan.”
Dari keterangan di atas jelas bahwa niat mempunyai posisi yang sangat penting dalam segala perbuatan yang kita lakukan sehari-hari.Segala perbuatan kita akan mempunyai bobot yang sangat tinggi jika kita barengi dengan niat yang baik, begitu juga sebaliknya jika kita beribadah yang kelihatanya bernilai tinggi di hadapan allah itu akan turun bobotnya jika ibadah tersebut terdapat niat yang salah.Bila kita di niatkan karena allah maka akan mendapat pahala,dan jika diniatkan hanya karena dunia akan mendapatkan dunia yang di inginkan dan tidak mendaoat pahala allah.
Adapun hikmah disyariatkannya niat adalah:
1.      Untuk membedakan perbuatan Ibadah dan perbuatan yang bukan ibadah (Misalnya: Duduk di Masjid.Ada orang yang duduk dimasjid hanya sekedar duduk - duduk saja, tetapi ada pula orang yang duduk dimasjid dengan maksud ber ibadah disertai niat itikaf)
2.      Untuk membedakan Antara satu perbuatan ibadah dan perbuatan ibadah lainnya (Niat Sholat Wajib berbeda dengan Niat Sholat Sunat).
3.      Untuk membedakan Antara perbuatan yang ditujukan kepada Allah S.W.T. dan yang ditujukan kepada selain Allah S.W.T. dan Untuk membedakan Antara perbuatan yang dilakukan atas dasar kesadaran sendiri dan adanya paksaan pihak lain. [2]

BAB  III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Niat itu termasuk bagian dari iman karena niat termasuk amalan hati. Wajib bagi seorang muslim mengetahui hukum suatu amalan sebelum ia melakukan amalan tersebut, apakah amalan itu disyariatkan atau tidak, apakah hukumnya wajib atau sunnah.Karena di dalam hadits ditunjukkan bahwasanya amalan itu bisa tertolak apabila luput darinya niatan yang disyariatkan.Disyaratkannya niat dalam amalan-amalan ketaatan dan harus dita`yin (ditentukan) yakni bila seseorang ingin shalat maka ia harus menentukan dalam niatnya shalat apa yang akan ia kerjakan apakah shalat sunnah atau shalat wajib,dhuhur, atau ashar,dst.Bila ingin puasa maka ia harus menentukan apakah puasanya itu puasa sunnah, puasa qadha atau yang lainnya.
Amal tergantung dari niat,tentang sah tidaknya,sempurna atau kurangnya,taat atau maksiat.Seseorang mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan namun perlu diingat niat yang baik tidaklah merubah perkara mungkar (kejelekan) itu menjadi ma’ruf (kebaikan),dan tidak menjadikan yang bid`ah menjadi sunnah.
B.  Saran dan Kritik                                                                               
Demikian dari makalah kami,kemudian kami mengharap kritik dan sara yang bersifat membangun guna tercapainya makalah yang lebih baik lagi.Selanjutnya kami memohon maaf apabila dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekeliruan. 

DAFTAR PUSTAKA
Abdulah,salim salim bahammam,fiqih ibadah:Jakarta pt.zam zam.2011.

Mohmammad,rifai,fiqih islam:semarang pt.toha putra.2009.



[1] Abdulah salim salim bahammam,fiqih ibadah:Jakarta pt.zam zam.2011.h 123-127.
[2] Abdulah salim salim bahammam,fiqih ibadah:Jakarta pt.zam zam.2011.h 127-129.
3 mohmammad rifai,fiqih islam:semarang pt.toha putra.2009.h.11-15.


Jumat, 23 November 2018

MAKALAH FIQIH IBADAH


FIQH IBADAH “Mahasiswa PAI wajib mempelajari fiqh”

BAB I
PENDAHULUAN

   A.    Latar Belakang
fiqih ialah perbuatan mukallaf menurut apa yang telah ditetapkan syara’ tentang ketentuan hukumnya. Karena itu dalam ilmu fiqih yang dibicarakan tentang perbuatan-perbuatan yang menyangkut hubungannya dengan Tuhannya yang dinamakan ibadah dalam berbagai aspeknya, hubungan manusia sesamanya baik dalam hubungan keluarga, hubungan dengan orang lain dalam bidang kebendaan dan sebagainya. Dari hubungan-hubungan tersebut menumbuhkan beberapa pendapat para ulama’ fiqih. menurut para ulama’ fiqih pada umumnya  
     B.     Rumusan Masalah
Apakah yang dimaksud dengan fiqh bagi muslim?
Apakah yang dimaksud dengan fiqh ilmu?
Apakah yang dimaksud dengan fiqh hukum?
Apakah yang dimaksud dengan fiqh wawasan?
     C.    Tujuan
Mengetahui tentang pengertian,jenis dan fungsi fiqh.

BAB II
PEMBAHASAN

1. FIQH BAGI SEORANG MUSLIM
a.      Pengertian Fiqh        
Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua Arti:
1.      Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
2.      Hukum-hukum syari’at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).
b.      Fiqh Dalam Islam Mencakup Seluruh Perbuatan Manusia
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.Penjelasannya sebagai berikut:Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma’ (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:
  1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.
  2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As sakhsiyah.
  3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Mu’amalah.
  4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Siasah Syar’iah.
  5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al ‘Ukubat.
  6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As Siyar.
  7. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak.
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.
3.      FIQH ILMU
fiqih secara bahasa al Fahm (pemahaman) atau pengetahuan tentangsesuatu
Fiqih secara istilah adalah mengetahui hukum-hukum syara’  yang berhubungan dengan amalan praktis, yang diperoleh dari dalil-dalil syara’ yang terperinci.

a.      Keutamaan Ilmu Fiqih
1.      Tafaquh fid-dien (memperdalam pemahaman agama) Adalah Perintah Dan Hukumnya Wajib.
2.      Paham terhadapat ilmu fiqih adalah nikmat yang agung dan tanda bertambahnya kebaikan.
3.      Fiqih bersumber dari al Quran & Sunnah adalah penjaga dari penyimpangan/kesesatan.
4.       Ahlu  fiqih dan orang yang mempelajarinya adalah orang yang memiliki derajat yang tinggi
Orang yang paham ilmu syari’at adalah orang yang dekat kepada taufiq dan hidayah Allah   
Tidak Paham Syariah dan khsususnya fiqih  akan menimbulkan Perpecahan dan menghilangkan kekuatan
Kehancuran umat dan datangnya kiamat Ditandai Dari Hilangnya Ilmu Syariah

4.      FIQH HUKUM
Yang dimaksud dengan fiqh hukum adalah cara-cara atau syarat-syarat yang terdapat di dalam hukum islam
Yang dimaksud dengan hukum islam didalam pembahasan ini adalah 7 macam hukum, yaitu
1.       Wajib, yaitu sesuatu yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan mendapat dosa.
2.       Sunah, yaitu sesuatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila di tinggalkan tidak mendapat dosa.
3.        Mubah, yaitu sesuatu perkara yang apabila dikerjakan atau ditinggalkan tidak mendapat pahala dan apabila di tinggalkan tidak mendapat dosa.
4.       Haram, yaitu sesuatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat dosa dan apabila ditinggalkan mendapat pahala.
5.       Makruh, yaitu sesuatu perkara yang apabila ditinggalkan mendapat pahala, dan apabila dikerjakan tidak mendapat dosa.
6.        Sah, yaitu suatu perkara yang digantungkan kepadanya nufudz dan i’tidad.
7.        Batal, yaitu suatu perkara yang tidak digantungkan kepadanya nufudz dan i’tidad.
5.  FIQIH WAWASAN
Pokok bahasan dalam ilmu fiqih ialah perbuatan mukallaf menurut apa yang telah ditetapkan syara’ tentang ketentuan hukumnya. Karena itu dalam ilmu fiqih yang dibicarakan tentang perbuatan-perbuatan yang menyangkut hubungannya dengan Tuhannya yang dinamakan ibadah dalam berbagai aspeknya, hubungan manusia sesamanya baik dalam hubungan keluarga, hubungan dengan orang lain dalam bidang kebendaan dan sebagainya. Dari hubungan-hubungan tersebut menumbuhkan beberapa pendapat para ulama’ fiqih. menurut para ulama’ fiqih pada umumnya, pokok pembahasan ilmu fiqih terdiri dari empat pembahasan yang sering disebut dengan Rubu’, yaitu:
a.      Pengertian fiqih  dalam islam  
Fiqih Islam dalam bahasa Arab disebut dengan al-Fiqh al-Islamiy.
Istilah diatas memakai bentuk na’at-man’ut (shifat-maushuf). Dalam hal ini, kata al-islamiy mensifati kata al-fiqh.
Secara etimologis, al-fiqh bermakna pemahaman yang mendalam.
Secara terminologis, Fiqih Islam ialah suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum islam yang bersifat praktis dari dalil-dalilnya yang terperinci.
b.      Pentingnya Mempelajari Fiqih Islam
Allah telah menetapkan hukum dari segala sesuatu dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Para ahli ushul fiqih kemudian menggali pokok-pokok pemahaman dari teks-teks yang ada pada keduanya. Dengan memanfaatkan jerih payah para ahli ushul fiqih tersebut, para ahli fiqih kemudian menjelaskan hukum dari segala sesuatu. Penjelasan-penjelasan tersebut tertuang dalam Fiqih Islam. Jadi dengan mempelajari Fiqih Islam, kita akan mengetahui hukum dari segala sesuatu, sehingga kita bisa menjalani kehidupan sesuai dengan hukum-hukum tersebut. Dengan menjalani kehidupan sesuai dengan hukum-hukum Allah tersebut, kita akan selamat dan bahagia di dunia dan di akhirat.

c.       Keutamaan Mempelajari Fiqih Islam
Dengan mempelajari Fiqih Islam, kita akan menjadi orang yang berilmu karena mengetahui hukum-hukum agama. Kalau kita telah menjadi orang yang berilmu, maka kita akan memiliki banyak kelebihan dan keutamaan diatas orang-orang yang tidak berilmu.
d.      Ketentuan-ketentuan Umum dalam Mempelajari Fiqih Islam :
  • Dilarang membahas hal-hal yang belum terjadi sampai benar-benar terjadi.
  • Hendaknya menjauhkan diri dari terlalu banyak bertanya dan berbelit-belit.
  • Hendaknya menjauhkan diri dari perbedaan dan perpecahan dalam agama.Hendaknya mengembalikan masalah-masalah yang diperselisihkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Tokoh ilmuwan dan Gerakan Islam Dr. Yusuf al-Qardhawiy menyebutkan enam jenis ilmu yang perlu dipelajari dan dikuasai oleh setiap individu Muslim khususnya para pendakwah iaitu, ilmu syariah, ilmu sejarah, ilmu bahasa, ilmu sosial, ilmu sains dan teknologi serta ilmu yang berkaitan informasi atau malah realiti.
Selain dari itu dalam suasana alat baru masa kini, yang turut membawa pelbagai cabaran dan kerenah yang perlu dihadapi oleh semua generasi manusia. Dalam hal ini organisasi dan juga para pendakwah yang terlibat dengan usaha-usaha dakwah tidak dapat mengelak diri dari berdepan dengan cabaran yang muncul di abad ini. Sehubungan dengan itu, para pendakwah, organisasi dakwah memerlukan persiapan dari segi mental, fizikal dan juga spritual.
Selain dari itu para pendakwah perlu meningkatkan lagi aspek keintelektualan dengan menguasai enam jenis fikah yang pernah disebut oleh Dr. Yusuff al-Qardhawiy dalam beberapa buah bukunya. Penguasaan ilmu fikah yang dimaksudkan di sini bukanlah ilmu fikah sebagaimana kita maklum, iaitu melibatkan ilmu ibadah, muamalat, jenayah, akhlak dan lain-lainnya, tetapi ilmu fikah di sini bermaksud penguasaan terhadap al-Quran dan ilmu Islam iaitu memahami sesuatu perkara secara mendalam dan tidak terbatas kepada ilmu fikah dalam bentuk memberi hukum dari nas yang berbagai-bagai dalam menghadapi sesuatu isu yang tidak didapati nas terhadapnya.
Enam jenis fiqih yang dimaksudkan ialah Fiqh al-Ikhtilaf (Fikah perbezaan), Fiqh al-Muwazanat (Fikah keseimbangan), Fiqh al-Nusus (Fikah nas-nas syarak), Fiqh al-Awlawiyat (Fikah keutamaan), Fiqh al-Waqi’ (Fikah realiti atau semasa) dan Fiqh al-Taghir (Fikah perubahan). Dengan mengetahui keenam-enam jenis fikah ini, pendakwah akan dapat mengetahui aspek yang perlu didahulukan dan aspek mana yang perlu dikemudiankan serta mana aspek yang bersifat dasar dan mana aspek dakwah bersifat ranting. Ini penting bagi mengelakkan berlakunya penumpuan tenaga kepada perkara yang kurang penting sedangkan perkara yang lebih besar diketepikan begitu sahaja.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sebagai mahasiswa pai kita wajib mempelajari fiqh,kita wajib mengetahui jenis-jenis fiqh,manfat dari adanya fiqh dengan begitu nantynya kita dapat menerapkan atau mngajarkan ilmu fiqh itu di dalam khidupan bermasyarakat
SARAN
Dengan kita mempelajari fiqh maka kita akan mengetahui tentang hukum-hukum yang ada di dalam islam,dan nantinya kususnya kita sebagai mahasiswa pai dapat menerapkan ilmu yang kita pelajari di dalam kehidupan d masyarakat.