1

loading...
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH PEMBAHARUAN ISLAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH PEMBAHARUAN ISLAM. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 24 November 2018

MAKALAH PEMBAHARUAN ISLAM


MAKALAH PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM AFGHANISTAN


PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI AFGHANISTAN

      A.    Pendahuluan
Salah satu fenomena yang muncul di dunia Islam pada abad 20 adalah upaya pembaruan hukum keluarga yang dilakukan oleh negaranegara yang berpenduduk mayoritas muslim. Hal ini idlakukan sebagai respon terhadap dinamikayang terjadi di tengah masyarakat. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi tujuan dilakukannya pembaruan hukum keluarga di dunia Islam, yaitu sebagai upaya unifikasi hukum, mengangkat status perempuan, dan merespon perkembangan dan tuntutan zaman karena konsep fiqh tradisional dianggap kurang mampu memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada.[1]
Pembaruan hukum keluarga yang dilakukan oleh berbagai negara muslim, secara garis besar mencakup tiga aspek, yaitu perkawinan, perceraian dan warisan. Dalam masalah perkawinan, salah satu bentuk pembaruan yang dilakukan adalah pencatatan perkawinan. Hal ini dianggap penting karena ditujukan sebagai upaya untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, melindungi kesucian perkawinan dan secara khusus ditujukan untuk melindungi perempuan dalam kehidupan rumah tangga.

     B.     Pembahasan
1.      Sekilas tentang Afghanistan
Republik Afghanistan mengikuti mazhab Hanafi, Konstitusi Pertama Afghanistan berlaku pada tahun 1923 dan yang kedua pada tahun 1931, keduanya mengakui atas supremasi hukum Islam dalam pemerintahan Negara. Sebagian besar dari hukum ini diambil dari legislasi paralel yang disebarluaskan di Imperium Ottoman, Mesir, dan Sudan. Pada 1930-an sekelompok pakar hukum Afghan mempublikasikan sebuah hukum yang tidak resmi yang diberi judul Tamassuk al-Qada (Judicial Compendium) dan didasarkan prinsip-prinsip hukum Hanafi yang sudah diseleksi. Fatawa-i Alamgiri India[2] yang dijadikan sandaran sebagai sebuah otoritas di Afghanistan, dan Hukum Sipil Turki 1876 (Majallab) digunakan di negara ini sebagai sumber material mereka.
Selanjutnya pada tahun 50-an pada abad ini beberapa pengundangan telah disetujui dan berlaku, termasuk Tijaratnamah 1954 (commersial code), Hukum Administrasi Keadilan 1956 dan Hukum Secara Sipil 1958.[3]

2.      Syariah di Bawah Konstitusi
Konstitusi 1964 mendeklarasikan Islam sebagai "Agama suci negara Afghanistan" dan mazhab Hanafi sebagai mazhab dalam pelaksanaan ibadah. Hal ini menggambarkan bahwa raja (diharuskan memegang mazhab Hanafi) sebagai "pelindung dari prinsip-prinsip dasar agama suci Islam". Satu bagian dari Parlemen (syura) di didalam Konstitusinya menyatakan bahwa tidak akan memberlakukan hukum manapun "yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dari agama suci Islam dan bahwa Jurisprudensi Hanafi yang merupakan bagian dari Syari'at Islam" akan menjadi hukum dari segala hal yang ditentukan dalam Konstitusi atau pemberlakuan legislasi.
Pada tahun 1973 ketika negara menjadi Republik, Keputusan Republik pada tahun ini tidak mengubah status konstitusional Islam dan hukumnya.[4]
3.      Hukum Perkawinan 1971
Pada tahun 1350 H/1971 M sebuah Hukum Perkawinan Qanun-i Izdiwajdiberlakukan di Afghanisan. Pembentukan ini didasarkan pada Hukum Keluarga Mesir tahun 1929 dan memiliki ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan Hukum Petkawinan Muslim yang berlaku pada tahun 1939 di seluruh India, dan dengan pemberlakuun secara menyeluruh hukum Maliki mengenai hak wanita untuk mengajukan cerai di pengadilan. Ketentuan-ketentuan ringkas dari hukum inimengamandemen praktek-praktek yang berlaku secara lokal yang berkenaan dengan perkawinan dan perceraian.
Di antara keputusan-keputusan Legislasi awal yang disebarluaskan oleh Majelis Revolusi adalah sebagai berikut :
(a)      Keputusan tentang Pelarangan Riba tertanggal 12 Juni 1978, dan
(b)      Keputusan Hak-hak Wanita tertanggal 17 Oktober 1978.
Keputusan tentang Hak-hak Wanita tahun 1978 mengamandemen ketentuan-ketentuan tertentu dari Hukum Perkawinan tahun 1971 dm menjamin hak-hak hukum yang lebih baik bagi wanita Muslim. Ketentuan-ketentuan ini menrrut laporan diambil dari hukum-hukum yang diberlakukan di beberapa negara Arab dan Iran.

4.      Reformasi Hukum Keluarga
a.       Mahar
Dalam hukum Hanafi, jumlah mahar minimum.ditetapkan sekitar satu dinar (atau 10 dirham). Hukum Sipil 1977 di antaranya berisi tentang ketentuan-ketentuan rinci mengenai mahar. Ketentuan-ketentuan dalam hukum ini didasarkan pada hukum Hanafi, termasuk pembicaraan masalah mahar yang berlebihan dan mahar yang tidak diterima. Hukum ini menentukan bagi isteri untuk menerima mahar tertentu (mahr al-Musamma) dan jika tidak ada mahar yang ditentukan dalam kontrak perkawinan, atau hal ini secara khusus dihalangi, maka sang isteri berhak mendapatkan mahar mitsil[5] Mahar adakalanya dibayar segera  dan ada kalanya ditunda (Mu’ajjal), yang dibayar kemudian. Jika kontrak perkawinan bersifat diam-diam tentang jurnlah mahar atau metode pembayarannya, ditentukan sesuai dengan adat kebiasaan yang sudah populer.[6]

b.      Perkawinan Anak
Nizamnama 1927 dan Hukum Sipil 1977 menghapus perkawinan anak, hukum-hukum mengenai perkawinan tahun 1960 dan 1971 mengadopsi perundang-undangan untuk membatasi praktik perkawinan anak
Hukum Sipil 1977 menetapkan bahwa "kompetensi untuk menikah adalah ketika sudah mencapai urnur 18 untuk laki laki dan 17 untuk wanita"[7] Wanita yang belum mencapai umur ini hanya dapat dinikahkan oleh ayahnya atau oleh qadi, perkawinan tidak diperkenankan bagi gadis di bawah umur 17 tahun bagaimanapun keadaannya.[8] Wanita dewasa dan berkompeten dimungkinkan menikah tanpa ijin wali.[9]
Perlakuan Undang-undang mengenai perkawinan anak tampak bahwa pakar hukum Afganistan mengikuti dua tujuan dalam masalah ini yaitu pembatasan dan pelanggaran secara tidak langsung. Undang-undang juga menentukan pembatasan-pembatasan terhadap praktik-pratik perkawinan anak saat menguatkan legalitas perkawinan anak, atau mencoba menghapus praktek perkawinan anak dengan mengundangkan hukum mengenai ketentuan usia perkawinan. Ketika Nizamnama 1921 Hukum Sipil 1977 menghapus perkawinan anak, hukum-hkum mengenai perkawinan tahun 1960 dan 1971 mengadopsi perundang-udangan untuk membatasi praktik perkawinan anak.
Tidak ada ketentuan jumlah umur layak nikah dalam Syariah. Merupakan prinsip umum kedewasaan untuk menikah ditenggarai dengan adanya masa puberitas secara fisik. Hukum sipil 1977 menetpakan bahwa “konfensasi” untuk menikah adalah ketik sudah mencapai umur 18 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk wanita. Wanita yang belum mencapai umur ini hanya dapat dinikahkan oleh ayahnya atau oleh Qhadi, perkawinan tidak diperkenankan bagi gadis dibawah umur 17 tahun bagaimana pun keadaanya. Wanita dewasa dan berkompeten dimungkinkan menikah tanpa izin wali. Sebagai konsekuensi dari legislasi ini, perkawinan anak secara efektif dapat terhapus dan kekuasaan wali memaksa wanita hanya berlaku dengan memperhatikan kondisi gadi-gadi antara umur 15 dan 16 tahun, walupun begitu hal ini pun masih bergantung kepada izin dari pengadilan.
Pada tahun 1978 Majelis Revolusuiner menerbitkan sebuah keputusan nomor 7 mengenai perkawinan anak. Di bawah keputusan ini, ketentuan perkawinan gadis di bawah umur 16 tahun dan pemuda di bawah 18 tahun adalah terlarang, dan pelanggaran dapat dikenakan hukuman penjara antara 6 bulan sampai 3 tahun.
Perlakuan Undang-undang mengenai perkawinan anak tampak bahwa pakar hukum Afganistan mengikuti dua tujuan dalam masalah ini yaitu pembatasan dan pelanggaran secara tidak langsung. Undang-undang juga menentukan pembatasan-pembatasan terhadap praktik-praktik perkawinan anak saat menguatkan legalitas perkawinan anak, atau mencoba menghapus praktek perkawinan anak dengan mengundangkan hukum mengenai ketentuan usia perkawinan. Ketika Nizamnama 1921 Hukum Sipil 1977 menghapus perkawinan anak, hukum-hukum mengenai perkawinan tahun 1960 dan 1971 mengadopsi perundang-udangan untuk membatasi praktik perkawinan anak.
Tidak ada ketentuan jumlah umur layak nikah dalam Syariah. Merupakan prinsip umum kedewasaan untuk menikah ditenggarai dengan adanya masa pubertas secara fisik. Hukum sipil 1977 menetpakan bahwa “konfensasi” untuk menikah adalah ketika sudah mencapai umur 18 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk wanita. Wanita yang belum mencapai umur ini hanya dapat dinikahkan oleh ayahnya atau oleh Qhadi, perkawinan tidak diperkenankan bagi gadis dibawah umur 17 tahun bagaimana pun keadaannya. Wanita dewasa dan berkompeten dimungkinkan menikah tanpa izin wali. Sebagai konsekuensi dari legislasi ini, perkawinan anak secara efektif dapat terhapus dan kekuasaan wali memaksa wanita hanya berlaku dengan memperhatikan kondisi gadis-gadis antara umur 15 dan 16 tahun, walaupun begitu hal ini pun masih bergantung kepada izin dari pengadilan.
Pada tahun 1978 Majelis Revolusioner menerbitkan sebuah keputusan nomor 7 mengenai perkawinan anak. Di bawah keputusan ini, ketentuan perkawinan gadis di bawah umur 16 tahun dan pemuda di bawah 18 tahun adalah terlarang, dan pelanggaran dapat dikenakan hukuman penjara antara 6 bulan sampai 3 tahun.[10]

c.       Poligami
Menurut UU Tahun 1971 dan Hukum Sipil 1977, poligami hanya dizinkan apabila bertujuan menghindari bahaya yang lebih besar (dharar). Pertimbangan kemampuan finansial suami dan karakter pribadinya menjadi sarat minimal bagi, ijin pengadilan. Di samping itu, ada alasan hukum untuk poligami.

d.      Perceraian
Sampai awal berlakunya Hukum Sipil 1977, perceraian di Afghanistan dikendalikan oleh hukum Hanafi.
Reformasi hukum keluarga di negara Timur Tengah di samping menaikkan hak-hak wania untuk mendapatkan dispensasi dari pengadilan, juga memasukkan pengawasan dari pengadilan terhadap penggunaan yang tepat dari hak talak suami. Sayang, Hukum Sipil Afghan tidak mengambil langkah-langkah yang signifikan tersebut.

e.       Pencatatan Perkawinan
Reformasi hukum keluarga, khususnya perkawinan di Afghanistan baru dimulai pada tahun 1971 yaitu dengan ditetapkannya Qanun-i Idzwaj sebagai hukum yang mengatur masalah perkawinan. Proses pembentukan hukum ini tidak terlepas dari pengaruh hukum keluarga di Mesir tahun 1929. Selain itu, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam hukum perkawinan ini juga memiliki kesesuaian dengan hukum perkawinan muslim yang berlaku pada tahun 1939 di India. Sejalan dengan itu, hukum Maliki mengenai hak wanita untuk mengajukan cerai juga diberlakukan secara menyeluruh. Namun, beberapa ketentuan dari hukum ini kemudian diamandemen oleh Keputusan tentang Hak-hak Wanita Tahun 1978.[11]
Salah satu materi reformasi hukum perkawinan yang dilakukan di Afghanistan adalah kewajiban pencatatan perkawinan. Walaupun materi ini merupakan salah satu ketentuan khusus dari hukum keluarga yang berlaku di Afghanistan, namun tidak terlihat adanya aturan ataupun penjelasan secara detail mengenai prosedur dan akibat hukum dari pencatatan suatu perkawinan. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapannya hanya sebagai syarat administratif saja yang ditujukan untuk melindungi hak-hak perempuan.[12]

         C.    Penutup
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan dan fungsi bologis, melahirkan keturunan, kebutuhan akan kasih sayang, persaudaraan, memelihara anak-anak tersebut menjadi anggota masyarakat yang sempurna.
Tujuan pembaharuan hukum keluarga berbeda antara satu Negara dengan Negara lain, yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Pertama, Negara yang bertujuan untuk unifikasi hukum keluarga. Kedua, untuk pengangkatan status perempuan dan ketiga, adalah untuk merespon perkembangan dan tuntutan zaman karena konsep fiqih tradisional dianggap kurang mampu menjawabnya.
Di Negara Muslim atau mayoritas Muslim pembaharuan hukum Islam terus berkembang, hal itu disebabkan begitu kompleksnya problem yang muncul. Sementara Al-Quran dan hadist juga pendapat Imam Mazhab tidak secara eksplisit menjelaskannya, termasuk masalah batasan usia perkawinan.

DAFTAR PUSTAKA

Atho, Mudzhar dan Khairuddin Nasution (ed.), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Studi Perbandingan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, (Jakarta : Ciputat Press, 2003).
Johannes den Heijer (editor), Islam, Negara, dan Hukum, (Jakarta: INIS, 1993).
Mughniyyah, Muhammad Jawad, al Ahwal al Syakhsiyyah, (Beirut : Dar al 'Ilmi lil Malayain, tt).
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987).

Sabtu, 17 Maret 2012

MAKALAH PEMBAHARUAN ISLAM

Makalah Pembaharuan Islam

PEMBAHARUAN ISLAM KONTEMPORER 

 A. PENDAHULUAN
           Memasuki abad ke 20 di Indonesia, perjuangan menegakkan agama Islam sehingga kemuliaan Islam sebagai idealitas dan kejayaan umat Islam sebagai realita (‘Izzul Islam wal Muslimin) dapat direalisasikan secara konkrit telah dimulai dengan menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya. Umat Islam mulai saat ini menyadari bahwa cita–cita yang demikian besar lagi berat seperti di atas hanya akan dapat diperjuangkan lebih efektif dan efisien manakala menggunakan alat perjuangan yang namanya "Organisasi". Maka bermunculanlah berbagai Gerakan Pembaharuan dalam Islam, baik yang bergerak dalam bidang politik kenegaraan, seperti Partai Politik Islam, Syarikat Islam, Partai Islam Indonesia, Partai Islam Masyumi, Partai Muslimin Indonesia maupun yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan seperti Al-Irsyad, Persatuan Islam (Persis), Muhammadiyah dan NU. Dalam perkembangan islam di Indonesia pada periode-periode berikutnya sudah banyak sekali tokoh-tokoh pembaharuan dalam islam. Pada kesempatan ini penulis hanya mengemukakan beberapa tokoh berdasarkan decade-dekade pemikiran mereka. Pada setiap decade ada pola pemikiran yang berkesinambungan antara para pemikir islam di Indonesia itu, dan proses modernisasi ilmu pengetahuan islam tetap berkembang. Sesungguhnya dua pola perjuang seperti diatas telah dirintis oleh Gerakan Salafiyah yang ditokohi oleh Jamaluddin Al-Afghany, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Gerakan Salafiyah termasuk mata rantai kedua setelah gerakan wahabi. Keduanya berusaha mengadakan pembaharuan cara berpikir dan berjuang demi tegaknya kembali kejayaan Islam serta kemuliaan umat Islam dengan jalan kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan semurni-murninya dan membersihkan berbagai macam penyakit yang dapat mengaburkan islam seperti syirik, taqlid, tahayul, bid’ah dan khurafat dalam segala dan manifestasinya serta mendorong semangat untuk berijtihad. 1. Islam di Indonesia Pada sidang MPRS, antara tahun 1966-1967, umat Islam mengajukan tuntutan agar presiden orang Islam dan negara berdasar Islam muncul kembali dan bisa dipastikan akhimya ditolak. Melihat gelagat politik Orde Baru yang tidak beres, akhimya Para tokoh Islam menggunakan dakwah sebagai alat perjuangan dengan mengangkat slogan "Mengulamakan sarjana dan menyarjanakan ulama". M. Natsir pada tanggal 9 Mei 1967 mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Pada tanggal 15 Februari 1968 Presiden Soeharto, memberitahukan bahwa tidak seorang pun bekas Masyumi diizinkan untuk memimpin dan mengambil peranan dalam Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Dan, Pemilu 1968 ditunda sampai dengan tanggal 1971 disebabkan karena beberapa faktor: 1. Usaha pemerintah untuk memperoleh jaminan agar persoalan dasar negara tidak diubah dan tidak menjadi program partai serta tidak muncul dalam kampanye. 2. Usaha pemerintah untuk membuat keseimbangan antara anggota DPR dari luar Jawa dengan Jawa. 3. Usaha pemerintah untuk mengangkat 100 orang dari 460 DPR oleh pemerintah dan 307 anggota MPR dari 920 anggota, termassuk 100 orang yang mewakili golongan fungsional: tentara, politisasi, intelektual. Pada Januari 1973 pemerintah Orde Baru melakukan restrukturisasi sistem kepartaian. Kecuali terhadap Golkar, pemerintah melakukan tekanan terhadap sembilan partai politik yang ada. Dalam plot politik ini, empat partai Islam digabung menjadi satu, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
           Lima lainnya, yang terdiri dari nasionalis dan partai-partai Kristen digabung menjadi satu partai, yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Fusi yang artificial ini segera melahirkan konflik internal, terutama di tubuh PPP, yang akhimya mempengaruhi penampilan politiknya di masa-masa berikutnya. Agenda politik rezim Orde Baru mencakup depolitisasi Islam. Proyek ini didasarkan pada anggapan bahwa Islam yang kuat secara politik akan menjadi hambatan bagi modemisasi. Ada beberapa orang di kalangan elit pemerintah yang kecewa dengan kualitas dan kemampuan para pemimpin Islam tradisional. Lepas dari masalah phobia Islam tertentu di antara kebanyakan anggota kelompok yang berkuasa, yang secara kebetulan terdiri dari para intelektual sekuler (elit militer, sosialis, dan Kristen), pandangan demikian mengandung logika politiknya sendiri, yakni bahwa dengan mendepolitisasi Islam, mereka akan mempertahankan kekuasaan dan melindungi kepentingan-kepentingan mereka. Dengan mempertimbangan asumsi tersebut, orang dapat melihat dimensi politik tertentu dari idiologi modemisasi atau pembangunan yang dijalankan oleh rezim. Penerapan idiologi ini merupakan keputusan strategis yang sekurang-kurangnya mempunyai dua implikasi politik. Pertama, rezim Orde Baru akan mempunyai suatu basis idiologis yang kuat yang menyentuh kebutuhan pokok rakyat, sehingga rakyat akan memberikan dukungan dan partisipasi dalam politik, atau seperti yang ditulis Alfian bahwa pembangunan menjadi salah satu simbol legitimasi politik. Kedua, dukungan politik dan partisipasi rakyat pada gilirannya akan mempertahankan kontinuitas proses pembangunan dan kekuasaan rezim. Interaksi dinamis antara partisipasi politik dan pelembagaan politik kemudian dharapkan terjadi melalui rekayasa politik, termasuk depolitisasi Islam bisa diimplementasikan. Setelah pemerintah Orde Baru berhasil memaksakan partai-partai Islam berfusi menjadi PPP, terlihat dari dokumen partai itu masih berjuang bagi kepentingan umat Islam dengan tanda gambar Ka'bah. Pada tahun 1977 pemerintah, melalui Menteri Dalam Negeri Amir Mahmud dan Sekjen Departemen Agama, Bahrun Rangkuti, sangat keberatan terhadap penggunaan tanda gambar Ka'bah dalam pemilu tahun 1977. Tampilnya PPP sebagai partai Islam dianggap pemerintah sebagai ancaman. PPP dituduh mendapat bantuan dari Libya dan dihubung-hubungkan dengan komando jihad. Akhimya, diciptakan isu SARA dengan membuat tragedi Tanjung Priok tanggal 12 September 1984. Klimaksnya, rezim Orde Baru pada tahun 1985 memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh parpol dan ormas. Inilah potion buruk bemama Orde Baru dengan konsep Dwifungsi ABRI-nya.

 2. Pembaharuan Islam Kontemporer di Indonesia
      Di era modern ini sebagai dampak kemajuan dan perkembangan telah membawa perubahan tatanan sosial kemasyarakatan dikalangan umat, berbagai permasalahan bermunculan, dimana semuanya menuntut adanya pemecahan yang jitu. Keadan inilah nampaknya yang mengilhami para Pemikir Islam untuk melakukan Tajdid dalam rangka memperhatikan kebutuhan masyarakat karena itu, tidak heran bila diberbagai belahan dunia bermunculan para pembaharu. Seiring dengan itu, Indonesiapun tidak ketinggalan. Dengan munculnya dua orang tokoh Munawir Sjadzali dan Abdurrahman Wahid beserta ide pembaharuannya, telah menempatkan mereka sebagai pembaharu di mata rakyat Indonesia.

  1. Tokoh-tokoh dekade 60-an a. Harun Nasution Harun nasution dilahirkan di Pematang Siantar, Sumatra Utara 23 September 1919. Tingkat SD (HIS) sudah itu melanjutkan studi islam ke tingkat menengah (MIK) karena desakan orang tuanya akhirnya beliau belajar di Saudi Arabia, setelah itu ia pindah ke Kairo. Ide-ide pembaharuannya:  Tidak adanya pertentangan akal dengan iman, menurut beliau iman akan diperdalam apabila akal dipergunakan sepenuhnya, beliau juga mengungkapkan sebuah harapan dan keyakinan yang kiranya tidak berlaku bagi umat islam saja akan tetapi semua agama akan menemukan kembali vitalitas dan kemampuannya untuk menghadapi tantangan zaman, apabila agama itu memberikan tempat terhormat pada pikiran.  Pengetahuan-pengetahuan tentang keagamaan tidak semata-mata berdasarkan wahyu. Ide Harun Nasution ini sangat bertentangan dengan pemikiran yang dominan pada saat itu, pendapat ini mendobrak tradisi pemikiran yang menekankan cohevisien. Tidak mengharamkan adanya pertentangan pemikiran-pemikiran yang bersifat individual. b. Mukti Ali Ide-ide mukti Ali:  Modernisasi Merupakan paham yang bertujuan untuk memurnikan islam dengan cara mengajak umat islam untuk kembali kepada al-Qur’an dan sunnah dan mendorong kebebesan berfikir sepanjang tidak bertentangan dengan teks al-qur’an dan hadits yang saheh.  Keharusan untuk berijtihad khususnya masalah-masalah muamalah (kemasyarakatan) dan menolak sifat junud (kebekuan) dalam berfikir dan sifat taklid (mengikuti) sesuatu tanpa pengetahuan. 
  2.  Tokoh-tokoh dekade 80-an a. Munawir Sjadzali Munawir Sjadzali, dilahirkan di Karanganom, Klaten Jawa Tengah pada tanggal 7 November 1925. "Dalam usia yang masih muda 5 tahun Munawir Sjadzali sejak kecil sudah mulai memasuki jenjang pendidikan di Madrasah Ibtidiyah yang didirikan Ayahnya. Setelah itu melanjutkan kependidikan Pesantren Mambaul Ulum Solo. Putra pertama dari delapan bersaudara ini dilahirkan dari pasangan Abu Aswad Hasan Sjadzali dan Ibunya Tas'iyah. Setelah tamat di Mambaul Ulum Solo, Munawir memulai karimya sebagai guru di Madrasah Ibtidaiyah di Unggaran Semarang. Pada tahun 1953 Munawir melanjutkan studinya di Inggris dan belajar ilmu politik di Universitas College Of South 'Jest of England exerter. Pada tahun 1955 Munawir Sjadzali diterima melanjutkan studinya di Fakultas Pascasarjana Universitas Geogetowa dengan Perolehan gelar Master of Arst (MA) dengan sambil bekerja di Atase Penerangan Amerika. Selanjutnya setelah meraih gelar MA, beliau ditugaskan sebagai Dubes RI di Kuwait yang merangkap untuk Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain tahun 1975. Kemudian pada tahun 1980 Munawir dipanggil kembali ketanah air dengan jabatan Dirjen Politik Deplu. Sedangkan gelar Doktomya didapatkan dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam kosentrasi Ilmu Agama Islam. Karir tertinggi Munawir adalah sebagai Menteri Agama RI selama dua peridoe (1983-1993) dalam kabinet Pembangunan IV dan V. Ide – Ide Pembaharuannya:
  •  a. Islam dan Negara Dikalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan Negara. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata – mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, Sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bemegara. Aliran kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti hanya rasul – rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dengan mengepalai suatu negara. Aliran ketiga , menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama serba lengakap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Dari ketiga aliran di atas, Munawir termasuk pada aliran yang ketiga. Menurutnya dalam Islam hanya ada tata nilai politik dan tidak ada sistem politik. Ini didasari oleh pandangannya terhadap kandungan ayat Al-Qur'an yang berbicara mengenai kedudukan manusia di Bumi, musyawarah (konsultasi), ketaatan pada pemimpin, persamaan dan hubungan antara umat dari berbagai agama, serta cara ia memahami pola kehidupan kaum muslimin dimasa Nabi maupun masa sesudahnya (Khulafa ar-Rasyidin). 
  •  b. Penyempurnaan SKB Tiga Menteri 1975 Pertama kali yang mendapat perhatian Munawir adalah sistem pendidikan madrasah. Selama ini madrasah masih dianggap sebagai lembaga pendidikan kelas dua dibandingkan dengan sekolah umum, fasilitas yang minimal, lokasi yang kebanyakan dipedesaan dan kurikulum yang tidak seimbang antara pendidikan agama dan umum menyebabkan lembaga ini tidak hanya menghasilkan bibit unggul bagi IAIN. SKB Tiga Menteri antara lain menetapkan bahwa madrasah harus bermuatan 70% pengetahuan umum dan 30% pengetahuan umum dengan harapan agar madrasah sederajat denaan pengetahuan umum, terutama dari kurikulum. 
 Maksudnya memang baik, tetapi akibat yang tampaknya kurang diperhitungkan adalah tamatan Aliyah menjadi lebih siap masuk perguruan tinggi umum daripada masuk perguruan tinggi agama, mereka jelas bukan merupakan bibit unggul untuk IAIN. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut Munawir merasa perlu untuk menyempumakan SKB Tiga Menteri. Bentuk penyempumaan itu adalah mengadakan pilot project Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dengan muatan kurikulum 70% pengetahuan Agama 30% pengetahuan umum. Dengan struktur kurikulum demikian, konsekuensinya tamatan MAPK diarahkan masuk ke IAIN. Dengan proyek ini harapan untuk mengembangkan ilmu-ilmu ke Islaman yang sejalan dengan tantangan modemitas melalui IAIN akan dengan cepat terwujud. Usulan penyempurnaan Tiga Menteri ini langsung disetujui oleh Presiden Suharto, bahkan Presiden memberikan saran agar proyek serupa juga diterapkan untuk tingkat Tsanawiyah. b. Abdurrahman Wahid Abdurrahman Wahid, dengan panggilan Gus Dur dilahirkan di Tebuireng, Jombang. Jawa Timur 1940. Ayahnya Wahid Hasyim pernah menjabat Menteri Agama RI, ia putra Asyari seorang ulama besar Mazhab Syaf'i yang mendirikan Pesantren Tebuireng tahun 1899 dan mendirikan NU tahun 1926. Sedangkan ibunya bernama Sholihah, putri Bisri Syamsuri. Pemimpin Pesantren Tambak Beras, Jombang dan juga salah seorang pendiri NU. Meskipun berlatar belakang pesantren, Gus Dur menerima pendidikan di sekolah rakyat Jakarta tahun 1947-1953 dan melanjutkan ke sekolah menengah umum di Yogyakarta tamat tahun 1956. Pada tahun 1963 dia pergi melanjutkan studynya ke departemen kajian lanjut Bahasa Arab dan Islam Universitas al¬Azhar Cairo dan sempat belajar di Fakultas Sastra di Universitas Baghdad Irak. Sekembalinya ke Indonesia Gus Dur menjadi dosen dan kemudian menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asyari Jombang dari tahun 1972-1979. Gus Dur memasuki jajaran Nasional NU pada tahun 1970 dengan jabatan awal sebagai sekretaris Muda Syari'ah. Dan baru tahun 1984 Hasil Muktamar NU dia terpilih ketua umum dan Tanfiziyah untuk periode 1984 — 1989 dan terpilih lagi pada periode 1989 — 1994. Karir tertingginya pada tanggal 20 Oktober 1999, Gus Dur dinobatkan menjadi Presiden Indonesia yang ke-4. Ide-Ide Pembaharuannya.

  1. Pesantrenisasi Menurut Gus Dur sesungguhnya pondok pesantren memiliki tradisi keagamaan yang khas, yang disebut sub kultura1. Jadi Gus Dur meng,gunakapkan bahwa pondok pesantren tersebut muncul dari tradisi keaeamaan yang timbul dari kemajuan masyarakat yang berurat, berakar dari hati sanubari masyarakat. Gus Dur menyatakan bahwa sistem yang dipakai dipondok pesantren adalah sangat unik, karena memakai sistem kepemimpinan para modern. Relasi sosial kemasyarakatan antara kyai dengan santri dibangun atas landasan kepercayaan, ketaatan santri kepada kiai lebih dikarenakan mengharapkan berkah dari kiai. Dan Kiai yang paling sepuh adalah kiai pemegang otoritas penuh dalam kepemimpinan pesantren. Namun sesuai dengan perkembangan zaman, pesantren mengikuti arus kemoderenan, dimana sudah mulai dipejari pengetahuan umum seperti pelajaran bahasa melayu, matematika, ilmu bumi dan lain-lain. Sehingga otonorni yang diberikan pondok pesantren cukup fleksibel dalam rangka konsep pendidikan yang baru. 
  2.  Islam Modern/Islamisasi Berbicara mengenai modernisasi Islam dalam lingkungan NU, tampaknya kurang mendapat tempat, ini terlihat dari tujuan pendirian NU yakni menghambat modemisasi yang digulirkan Paham Wahabiyah. Namun ketika NU dalam kepemimpinan Gus Dur banyak menimbulkan dinamika dan kejutan keberadaan sosial keagamaan yang sebelumnya masih asing bahkan dianggap tabu dikalangan NU bahkan mengegerkan umat Islam Indonesia pada umumnya seperti Konsep Mempribumikan Islam. Dengan enteng dia mengusulkan agar Assalamu'alaikum diganti dengan "selamat pagi" atau "apa kabar" ide Gus Dur untuk menambah "Rukun Tetangga" pada rukun Islam atau rukun iman. Gebrakan Gus Dur terhadap NU dinilai sangat merobah pandangan masyarakat NU terhadap dunia luar. Dalam menangani umat, Gus Dur menggunakan metode mengakhlakan masyarakat bukan memikirkan masyarakat. Dengan demikian masyarakat Indonesia dapat menjadi masyarakat yang berpikiran modem dan kritis. c. Tokoh-tokoh masa Reformasi 
  •  a. Yusril Ihza Mahendra Dilahirkan di pulau Bangka Belitung, 5 Februari 1956 pendidikan SD-SMA di Belitung. Kemudian melanjutkan studi di UI Jurusan Tata Negara, kemudian melanjutkan kuliah kembali di Pangkal Pinang Malaysia pada tahun 1993. dan sering aktif di organisasi-organisasi kepemudaan. Adapun ide-ide beliau:  Pandangan beliau tentang Ijtihad Ijtihad senantiasa dapat dirubah atau diperbaharui, hal ini dapat dilakukan jika faktor-faktor yang melatarbelakangi ijtihad itu telah berubah, hal inilah yang membuat kita agar selalu bersikap terbuka dalam menafsirkan doktrin. Ini dilakukan baik dengan cara akal atau dengan peradaban lain maupun dengan cara mengadaptasikannya dengan perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi.  Pandangan beliau tentang partai Partai sangat berpengaruh dalam kekuasaan pemerintahkan baik secara langsung maupun tidak langsung, partai turut memainkan peranan didalam atau mendukung kemerdekaan dan dalam kehidupan bermasyarakat juga partai sangat terlibat dan dibutuhkan terutama partai-partai islam sebagai wadah bagi umat islam menyalurkan aspirasinya. 
  •  b. Din Syamsudin Lahir di Sumbawa Besar 31 Agustus 1958 Pendidikan di Gontor 1975, kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1982. Gelar Doktor di Amerika Serikat tahun 1991 dan aktif di berbagai organisasi. Ide pemikiran beliau:  Dalam pembentukan masyarakat madani, kemandirian merupakan unsur yang sangat menentukan bagi sebuah bangsa dan masyarakat yang ada di dalamnya. Menurut beliau untuk mencapai hal itu tidak cukup dengan melakukan pendekatan-pendekatan normatif. Yang penting adalah bagaimana membentuk kemandirian itu sehingga mampu melahirkan kecenderungan psikologis yang positif seperti kreatifitas dinamika, prakarsa dan inovasi yang merupakan ciro dominant dari kemandirian itu.  Dalam mengupayakan sikap mandiri ini agar teraktualisasi maka perlu dibangun system kepribadian yang sadar bahwa kita adalah makhluk Allah dan perlu adanya ketika sifat-sifat tuhan pada diri manusia itu seperti mandiri, kreatif, percaya diri dan lain-lain. KESIMPULAN Islam di Indonesia sebenarnya di bawa oleh para pedagang-pedagang dan menyebar luas hingga tahun ke tahun dan sangat berpengaruh di dalam dunia perpolitikan di Indonesia., penyebaran agama tanpa adanya paksaan ini, mengakibatkan agama Islam di terima sebagian besar masyarakat di Indonesia. Dalam periode selanjutnya pemerintah dalam menentukan kebijaksanaannya pun harus benar-benar memikirkan dampaknya bagi masyarakat, pada mulanya masyarakat hanya menerima agama islam itu hanya tauhid saja, tapi dengan berkembangnya pemikiran para ulama secara berangsur-angsur umat muslim di Indonesia mulai memikirkan makna dari setiap ibadah yang dilakukannya.
 DAFTAR PUSTAKA 
  •  KH. Firdaus. Dosa-Dosa Politik. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 2000) 
  •  M. Din Syamsudin. Islam dan Politik Era Orde Baru. (Jakarta, Bulan Bintang, 2003) 
  •  Bahtiar Effendi, dkk. Menteri-Menteri Agama, Munawir Sjadzali Pencarian Ketegasan Ideologis. (Jakarta :Depag RI,1998) 
  •  Munawir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam di Lembah Kemiskinan. 70 Tahun Prof. 
  • Dr. Munawir Sjadzali, MA. (Jakarta : IPHI dan Paramadina, 1995). Munawir Sadjali. Islam dan Tata Negara. (Jakarta: UII press, 1993) John L. Esposito. Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern, Jilid I. (Bandung: Mizan, 2000) 
  •  Sukanto. Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren. (Jakarta: LP3ES, 1999) 
  •  Marzuki, Pesantren Masa Depan. (Bandung: Pustaka Hidayah. 1999) Abdul Sani. Lintasan sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam. (Jakarta: Raja Grafindo. 1998). 
  •  M. Din Syamsudin. Etika dan Agama dalam membangun masyarakat madani. Jakarta. Logos. 2000 Prof. 
  • Dr. Harun Nasution. Islam Rasional gagasan dam pemikiran. Jakarta. LSAF. 1989 
  •  A. Mukti Ali. Beberapa persoalan agama dewasa ini. Jakarta. Rajawali. 1988 
  •  Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra. Modernisasi dan Fundamentalisme dalam politik Islam.