1

loading...
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH EKONOMI ISLAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH EKONOMI ISLAM. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 Mei 2019

MAKALAH EKONOMI ISLAM "BUNGAN BANK"


MAKALAH EKONOMI ISLAM

 " BUNGA BANK"


BAB I
PENDAHULUAN
     A.    Latar Belakang
Esensi dasar pelarangan riba dalam Islam adalah menghindari adanya ketidakadilan dan kezaliman dalam segala praktik ekonomi. Sementara riba (bunga) pada hakekatnya adalah pemaksaan suatu tambahan atas debitur yang melarat, yang seharusnya ditolong bukan dieksploitasi dan memaksa hasil usaha agar selalu positif. Hal ini bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang sangat peduli dengan kelompok-kelompok sosio-ekonomi yang lebih rendah agar kelompok ini tidak dieksploitasi oleh orang-orang kaya (pemilik dana). Sebab ajaran ekonomi Islam mengemban misi humanisme, tatanan sosial dan menolak adanya ketidakadilan dan kezaliman yang mata rantainya berefek pada kemiskinan.  
Kontroversi bunga bank konvensional masih mewarnai wacana yang hidup dimasyarakat. Dikarenakan bunga yang diberikan oleh bank konvensional merupakan sesuatu yang diharamkan dan Majelis Ulama Indonesia sudah jelas mengeluarkan fatwa tentang bunga bank pada tahun 2003 lalu. Namun,wacana ini masih saja membumi ditelinga kita, dikarenakan beragam argumentasi yang dikemukakan untuk menghalalkan bunga bank, Bunga tidak sama dengan riba. walaupun al-quran dan dan hadits sudah sangat jelas bahwa bunga itu riba. Dan riba hukumnya adalah haram.
Untuk itu dalam hal ini pemakalah akan menjelaskan beberapa ayat serta tafsirnya mengenai Riba dan Bunga Bank, dengan demikian diharapkan agar sekiranya membantu memberi penjelasan mengenai hal tersebut.
     B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu riba dan bunga bank?
2.      Bagaimana tafsir ayat mengenai riba dan bunga bank?
BAB II
PEMBAHASAN
      A.    Pengertian Riba dan Bunga Bank
Pengertian riba secara etimologi berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata riba yarbu rawban yang berarti az-ziyadah (tambahan) atau al-fadl (kelebihan). Sebagaimana pula yang disampaikan didalam Al-Qur’an yaitu pertumbuhan, peningkatan, bertambah, meningkat, menjadi besar, dan besar selain itu juga digunakan dalam pengertian bukti kecil. Pengertian riba secara umum meningkat baik menyangkut kualitas maupun kuantitasnya.
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fikih Sunnah mengatakan bahwa yang dimaksud riba adalah tambahan atas modal baik penambahan itu sedikit atau banyak. Demikian juga, menurut Ibn Hajar ‘Askalani, riba adalah kelebihan baik dalam bentuk barang maupun uang. Sedangkan menurut Mahmud Al-Hasan Taunki, riba adalah kelebihan atau pertambahan dan jika dalam suatu kontrak penukaran barang lebih dari satu barang yang diminta sebagai penukaran barang yang sama.[1]
Dalam kaitannya dengan pengertian al-batil, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an menjelaskan pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya transaksi pengganti atau penyeimbangan yang dibenarkan syari’ah.
Selain itu bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diartikan oleh bank yang berdasarkan prinsip yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Bunga bagi bank dapat diartikan sebagai harta yang harus di bayar oleh nasabah (yang memiliki simpanan) dan harga yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah) yang memperoleh pinjaman.[2]
     B.     Tafsir Ayat Tentang Riba dan Bunga Bank
1.      Q.S. Ali-Imran/3 : 130
a.       Teks dan Terjemahan Ayat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِح
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah pada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”[3]
b.      Tafsir Al-Mufradat
Adh‘afan Mudha’afah : dua kali lipat. Lipatan satu adalah satu sebab, bila ditambahkan padanya maka menjadi dua. Bila engkau melipatkan sesuatu, berarti engkau memberikan padanya satu kali, baik sekali atau lebih banyak lagi. Dan pengertian berlipat ganda ini modalnya saja, seperti yang lazim terjadi sekarang. Yaitu seseorang meminjam seratus rupiah dan harus mengembalikan tiga ratus rupiah.
Wa’t-Taqu’l-Laha : jadikanlah taqwa itu sebagai tameng bagi diri kamu dari siksa-Nya.[4]
c.       Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa terdapat orang-orang yang berjual beli dengan kredit (dengan bayaran berjangka waktu). Apabila telah tiba waktu pembayaran dan tidak mampu membayar, bertambahlah bunganya, dan ditambahkan pula waktu pembayarannya. Maka turunlah ayat tersebut di atas sebagai larangan atas perbuatan itu.(Diriwayatkan oleh al Faryabi yang bersumber dari mujahid).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa di jaman Jahiliyah, Tsaqif berhutang kepada Bani Nadzir. Ketika telah tiba waktu membayar, Tsaqif berkata “Kami bayar bunganya dan kami undur waktu pembayarannya”. Maka turunlah ayat tersebut sebagai larangan atas perbuatan itu. (Diriwayatkan oleh al Faryabi yang bersumber dari ‘’Atha).[5]
d.      Kandungan Ayat
Ayat di atas dimulai dengan panggilan kepada orang-orang yang beriman, disusul dengan larangan memakan riba. Dimulainya demikian, memberi isyarat bahwa bukanlah sifat dan kelakuan orang yang beriman memakan yakni mencari dan menggunakan uang yang diperolehnya dari praktek riba.
Riba atau kelebihan yang dilarang oleh ayat diatas, adalah yang sifatnya adh’afanmudha’afah. Kata adh’afan adalah bentuk jama’ dari dhi’f yang berarti “serupa”, sehingga yang satu menjadi dua. Dhi’fain adalah berlipat ganda. Memang demikian itulah kebiasaan orang Jahiliyah. Jika seseorang tidak mampu membayar utangnya, ia ditawari atau menawarkan penangguhan pembayaran, dan sebagai imbalan penangguhan itu, ia pada saatnya ketika membayar hutangnya membayar dengan berlipat ganda.[6]
Secara global, macam-macam riba ada dua yaitu :
a.       Riba Nasi’ah, yaitu memberikan sejumlah barang yang akan dibayar dalam jangka waktu tertentu dengan syarat membayar tambahan (bunga), sebagai ganti waktu pemakaian hutang tersebut. Ini adalah riba yang terkenal pada masa Jahiliyah. Jadi, manakala masa pembayaran ditangguhkan, maka bertambah jumlah hutangnya.[7]
b.      Riba Fadhal, misalnya seseorang yang menjual sebuah perhiasan emas berbentuk gelang dengan harga yang melebihi timbangannya. Dan sebagai barternya, adalah uang dinar (uang emas). Atau seseorang menjual satu kilo kurma yang baik dengan jelek. Sekalipun kedua belah pihak saling merelakan lantaran kedua belah pihak saling membutuhkan satu sama lain.[8]
2. Q.S. Al-Baqarah ayat 275
الَّذيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَوالاَيَقُومُوْنَ اِلاَّ كَماَ يَقُومُوْالَّذِ يْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَنُ مِنَ المَسِّ ذَلِكَ  بِاَ نَّهُمْ قاَلُوْااِنَّمَاَالبَيْعُ مِسْلُ الرِّبَواوَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّباَ فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةُ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ {275}
Artinya: “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lan-taran (tekanan) penyakit gila. Yang demikan itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
a.       Makna dan Tafsiran Ayat
Tatkala Allah menyebutkan tentang kondisi orang-orang yang bersedekah dan apa yang mereka dapatkan disisi Allah dari segala kebaikan dan digugurkannya kesalahan dan dosa-dosa mereka. Lalu Allah menyebutkan tentang orang-orang yang zhalim para pemakan riba dan memiliki muamalah yang licik, dan Allah mengabarkan bahwa mereka akan diberi balasan menurut perbuatan mereka. Untuk itu, sebagaimana mereka saat masih di dunia dalam mencari penghidupan yang keji seperti orang-orang gila, mereka disiksa di alam barzakh dan pada Hari Kiamat, bahwa mereka tidak akan bangkit dari kubur mereka hingga Hari Kebangkitan dan hari berkumpulnya makhluk, “melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila”.
Maksudnya, dari kegilaan dan kerasukan. Itu adalah siksaan, penghinaan dan dipamerkannya segala dosanya, sebagai balasan untuk mereka atas segala bentuk riba mereka dan kelanca-ngan mereka dengan berkata,”sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”. Mereka menyatukan -dengan kelancangan mereka- antara apa yang dihalalkan oleh Allah dengan apa yang diharamkan olehNya hingga mereka membolehkan riba dengan hal itu. Allah ta’ala kemudian menawarkan kepada orang-orang yang melakukan praktek riba dan selain mereka untuk bertaubat dalam firmanNya, Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya” sebuah penjelasan yang disertai dengan janji dan ancaman, (فَانتَهَى) ”lalu terus berhenti (dari mengambil riba)”, dari apa yang mereka lakukan dari praktek riba, (فَلَهُ مَا سَلَفَ“maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)” dari perkara yang ia berani terhadapnya, lalu ia bertaubat darinya, (وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ“dan urusannya (terserah) kepada Allah”pada masa yang akan datang jika dia masih terus dalam taubatnya.
Allah tidak akan melalaikan pahala orang-orang yang berbuat kebajikan.“Orang yang mengulangi (mengambil riba)” setelah penjelasan Allah dan peringatanNya serta ancamanNya terhadap orang yang memakan riba, (فَأُوْلئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ“maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. Dalam ayat ini ada isyarat bahwa riba itu berkonsekuensi masuk neraka dan kekal di dalamnya. Hal itu karena kejelekannya, selama tidak ada yang menghalangi kekekalannya yaitu keimanan. Ini di antara sejumlah hukum-hukum yang tergantung kepada terpenuhinya dan terbebasnya dari penghalang.
Ibnu Abbas hanya mengharamkan riba jahiliah. Tetapi menurut keterangan, dia telah rujuk dari fatwanya dan kembali meminta taubat kepada Allah dan mengharamkan riba fadhal itu. Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Lebih lanjut keterangan tentang riba itu diterangkan dengan panjang lebar dalam kitab-kitab Fikih.

2.      Q.S. Al-Baqarah Ayat 278-279
a.       Teks dan Terjemahan Ayat
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ {278} فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ 
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang  beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka kamu berhak atas pokok hartamu; kamu tidak berbuat zalim (merugikan dan tidak (pula) dizalimi (dirugikan)”.
b.      Makna dan Tafsiran ayat
Kemudian Allah menghadapkan firmanNya kepada kaum mukminin dan memerintahkan kepada mereka agar bertakwa kepadaNya dan agar mereka meninggalkan sisa-sisa muamalah dengan riba yang mereka kerjakan sebelumnya, dan bahwa bila mereka tidak melakukan hal itu, maka sesungguhnya mereka itu telah memerangi Allah dan RasulNya. Inilah bukti yang paling jelas yang diakibatkan oleh kebusukan riba, di mana Allah menjadikan orang yang suka berpraktek riba menjadi orang yang memerangi Allah dan RasulNya.
Kemudian Allah berfirman, (وَإِن تُبْتُمْ) “Dan jika kamu bertaubat”. Maksudnya, dari muamalah ribawiyah, (فَلَكُمْ رُءُ وسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُون) “maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya” manusia lain dengan mengambil riba, (وَلاَ تُظْلَمُونَ) “dan tidak (pula) dianiaya” dengan tindakan kalian mengurangi pokok harta kalian. Maka siapa pun yang bertaubat dari riba walaupun muamalah yang telah berlalu adalah miliknya, maka perkaranya akan diperhatikan (Allah). Namun apabila muamalahnya masih berjalan, wajiblah ia hanya mengambil pokok hartanya saja. Dan bila ia mengambilnya lebih dari itu maka ia telah berani melakukan riba. Ayat ini merupakan penjelasan akan hikmah (diharamkannya riba) dan bahwa riba itu meliputi kezhaliman bagi orang-orang yang membutuhkan dengan mengambil tambahan dan melipat ganda-kan riba atas mereka, padahal dia wajib menangguhkan mereka.
BAB III
PENUTUP

         A.    Kesimpulan
Riba secara etimologi berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata riba yarbu rawban yang berarti az-ziyadah (tambahan) atau al-fadl (kelebihan). Sebagaimana pula yang disampaikan didalam Al-Qur’an yaitu pertumbuhan, peningkatan, bertambah, meningkat, menjadi besar, dan besar selain itu juga digunakan dalam pengertian bukti kecil. Pengertian riba secara umum meningkat baik menyangkut kualitas maupun kuantitasnya.
bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diartikan oleh bank yang berdasarkan prinsip yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Bunga bagi bank dapat diartikan sebagai harta yang harus di bayar oleh nasabah (yang memiliki simpanan) dan harga yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah) yang memperoleh pinjaman.
B.     Kritik dan Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan. Sebagai manusia, kami pun tak luput dari kesalahan dan tentunya masih sangat jauh dari kesempurnaan. Tapi, semoga saja yang kita pelajari ini bermanfaat, dengan harapan bisa menambah pengetahuan dan keilmuan bagi kita semua. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk menjadi koreksi kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mustafa Al-Maragi, 1998, Terjemahan Tafsir Al-Maragi vol. IV, Semarang : Penerbit
Toha Putra.
Hamka, 1983, Tafsir Al-Azhar vol. IV, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1983.
Heri Sudarsono, 2004, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah,  Yogyakarta : Ekonisia.
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
M. Quraish Shihab, 2000, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an vol II,
Ciputat : Penerbit Lentera Hati, 2000.
Qamarudin Shaleh A. Dahlan, 1992,  Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya
Ayat Al-Qur’an, Bandung : CV Diponegoro.



[1] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah,  (Yogyakarta : Ekonisia, 2004), h.10.
[2] Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), h.133.
[3] Hamka, Tafsir Al-Azhar vol. IV, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1983), h.110.
[4] Mustafa Al-Maragi, Terjemahan Tafsir Al-Maragi vol. IV, (Semarang : Penerbit Toha Putra, 1998), h.105.
[5] Qamarudin Shaleh A. Dahlan,  Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat Al-Qur’an, (Bandung : CV Diponegoro, 1992), h.110.
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an vol II, (Ciputat : Penerbit Lentera Hati, 2000), h.203.
[7] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Semarang : Penerbit Toha Putra, 1998), h.109.
[8] Ibid.

Kamis, 22 November 2018

MAKALAH EKONOMI ISLAM Murabahah


MAKALAH EKONOMI ISLAM 

Murabahah

A.  Pendahuluan

Islam adalah agama yang maha sempurna, oleh karenanya tidak ada satu aspek pun dalam persoalan manusia yang luput dari kajian dan perhatian Islam. Allah swt telah merumuskan  dan menyempurnakan  segala  bentuk aturannya  untuk  dijadikan sebagai  panduan  bagi  segenap  umat  Islam. Begitupun  dalam  urusan  muamalah, walaupun  Islam  tidak  mempunyai  peraturan  secara  rinci  tentang  sistem  Ekonomi Islam,  namun  Islam mempunyai  fondasi,  aturan dasar  atau  pengarahan  yang pokok dan beberapa cabang penting dalam Ekonomi Islam, yang seyogyanya menjadi  acuan dasar bagi umat islam dalam menjalankan kegiatan muamalahnya. Seperti  halnya  dalam  menyikapi  kredit  yang  marak  terjadi  di  perbankan kovensional,  maka  sebenarnya  Islam  telah  jauh-jauh  hari  memiliki  sistem  yang berkenaan dengan  itu, ini merupakan  hasil  interpretasi yang dilakukanan  oleh  para ulama  terdahulu. Mereka  telah  membahas  tentang  jenis-jenis  transaksi  yang  dapat diaplikasikan pada perbankan syariah dan lembaga keuangan islam lainnya. Diantara jenis  transaksi  tersebut  adalah  bai  al-Murabahah. Jenis  transaksi  ini  merupakan transaksi  yang  simpel  dan  mudah  untuk  dilaksanakan. 
Maka  tidak  aneh  jikalau pembiayaan al-Murabahah ini merupakan salah satu produk yang paling “populer” dan diminati  oleh para  nasabah  perbankan  syariah  dan  Institusi  Islam  lainnya. Sebagai contohnya,  dari  total  Rp.  112,844  milyar  pembiayaan  yang  dilakukan  oleh  bank syariah dan unit usaha syariah,  porsi pembiayaan Murabahah mencapai 64,54 persen dari  total  dana  yang  di  keluarkan,  di  bandingkan  dengan  akad  mudharabah  yang hanya mencapai 10,48 persen. Namun demikian, jikalau kita sedikit memperhatikan pada tatanan praktek dan implementasi  yang  ada,  tidak  sedikit  dalam  pelaksanan  konsep  Murabahah  sesuai dengan apa  yang  dirumuskan oleh para pakar  dan  praktisi muamalah, lebih jauhnya ada  yang  bertentangan  dengan  pokok  ajaran  islam,  yaitu  al-Quran  dan  as-Sunnah. Oleh  karena  itu,  beberapa  tahun  kebelakang  ada  istilah  yang  muncul  yaitu mensyariahkan  bank  syariah
B.  Pembahasan
1.                Pengertian Murabahah
Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahan. Murabahah merupakan suatu bagian dari bentuk jual beli yang bersifat amanah dan menurut ulama’ definisi Murabahah (secara fiqih) adalah akad jual beli atas barang tertentu. Dalam transaksi penjualan tersebut, penjual menyebutkan dengan .jelas barang yang akan dibeli termasuk harga pembelian barang dan keuntungan yang akan diambil.
Sesuai dengan sifat bisnis (tijaroh), transaksi murabahah memiliki beberapa manfaat, demikian juga risiko yang harus diantisipasi. Murabahah memberi banyak manfaat kepada lembaga keuangan  syari’ah, salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual terhadap anggota. Selain itu sistem murabahah juga sangat sederhana, hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di lembaga keuangan syari’ah.[1]
Diantara kemungkinan risiko yang harus diantisipasi antara lain:
1.      Default atau kelalaian, anggota sengaja tidak membayar angsuran.
2.      Fluktuasi harga komparatif, ini terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya untuk anggota. Sehingga bank tidak mengubah harga jual beli tersebut. 
3.      Penolakan anggota, barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh anggota karena berbagai sebab, bisa jadi karena rusak dalam perjalanan sehingga anggota tidak mau menerimanya, karena itu sebaiknya dilindungi dengan asuransi.
4.      Dijual, karena murabahah bersifat jual beli dengan utang maka ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik anggota. Anggota bebas melakukan apapun terhadap asset miliknya tersebut untuk menjualnya. Jika terjadi demikian,risiko untuk default akan besar.
        Dari berbagai pemaparan di atas maka yang dimaksud dengan pembiayaan murabahah adalah pembiayaan yang diberikan kepada anggota dalam  rangka pemenuhan kebutuhan produksi, atas transaksi ini BMT memperoleh sejumlah keuntungan (mark up) yang telah disepakati antara pihak BMT dan calon anggota. 
2.            Landasan Hukum
Landasan hukum akad murabahah ini adalah:
1.    Al-Quran
 Ayat-ayat Al-Quran yang secara umum membolehkan jual beli, diantaranya adalah firman Allah :
 “..dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah:275).
Ayat ini menunjukkan bolehnya melakukan transaksi jual beli dan murabahah  merupakan salah satu bentuk dari jual beli.
2.      Dan firman Allah:
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisaa:29).
3.      As-Sunnah
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam: “Pendapatan yang paling afdhal (utama) adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli yang mabrur”. (HR. Ahmad Al Bazzar Ath Thabrani).
Hadits dari riwayat Ibnu Majah, dari Syuaib :
”Tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran secara tangguh, muqaradhah (nama lain dari mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk dijual” (HR. Ibnu Majah).
4.      Al-Ijma
Transaksi ini sudah dipraktekkan di berbagai kurun dan tempat tanpa ada yang mengingkarinya, ini berarti para ulama menyetujuinya (Ash-Shawy, 1990., hal. 200).
a). kaidah Fiqh, yang menyatakan:
 “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
b). Fatwa Dewan Syariah Nasonal Majelis Ulama Indonesia No.04/DSN-MUI/IV/2000,tentang MURABAHAH.
3. Rukun Bai’ Al-Murabahah
Rukun Murabahah dalam perbankan adalah sama dengan fiqih dan hanya dianalogikan dalam praktek perbankannya, seperti:
a.     Penjual (ba’i) dianalogikan sebagai BMT.
b.    Pembeli (musytari) dianalogikan sebagai anggota.
c.     Barang yang akan diperjualbelikan (mabi’ ) yaitu jenis pembiayaan.
d.    Harga (Tsaman) dianalogikan sebagai pricing atau plafond pembiyaan.
e.    Ijab dan qobul dianalogikan sebagai akad perjanjian yaitu pernyatan persetujuan yang dituangkan dalam akad.
4.  Syarat Bai’ al-Murabahah 
a.    penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah/anggota.
b.    Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan
c.    Kontrak harus bebas dari riba
d.    Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian
e.    Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
5.  Aplikasi Murabahah dalam Lembaga Keuangan Syariah
Dalam konsep di perbankan syariah maupun di Lembaga Keuangan Syariah (BMT), jual beli murabahah dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
1)        Murabahah tanpa pesanan
Murabahah tanpa pesanan adalah jenis jual beli murabahah yangdilakukan dengan tidak melihat adanya nasabah yang memesan(mengajukan pembiayaan) atau tidak, sehingga penyediaan barangMurabahah merupakanbagian terpenting dari jual beli dan prinsip akad ini dilakukan oleh bank atau BMTsendiri dan dilakukan tidak terkait denganjual beli murabahah sendiri.Dengan kata lain, dalam murabahah tanpa pesanan, bank syariahatau BMT menyediakan barang atau persediaan barang yang akan di perjual belikan dilakukan tanpa memperhatikan ada nasabah yang membeli atau tidak.
Proses pengadaan barang dilakukansebelum transaksi / akad jual beli murabahah dilakukan. Pengadaanbarang yang dilakukan bank syariah atau BMT ini dapat dilakukan denganbeberapa cara antara lain :
a.    Membeli barang jadi kepada produsen (prinsip murabahah).
b.    Memesan kepada pembuat barang / produsen dengan pembayarandilakukan secara keseluruhan setelah akad (Prinsip salam).
c.    Memesan kepada pembuat barang / produsen dengan pembayaran yangdilakukan di depan, selama dalam masa pembuatan, atau setelahpenyerahan barang (prinsip isthisna).
d.   Merupakan barang-barang dari persediaan mudharabah atau musyarakah.[2] 
          2)      Murabahah Berdasarkan Pesanan
yang dimaksud dengan murabahah berdasarkan pesanan adalah jual beli murabahah yang dilakukan setelah ada pesanan dari pemesan atau nasabah yang mengajukan pembiayaan murabahah.Jadi dalam murabahah berdasarkan pesanan, bank syariah atau BMT melakukan pengadaan barang dan melakukan transaksi jual beli setelah ada nasabah yang memesan untuk dibelikan barang atau assetsesuai dengan apa yang diinginkan nasabah tersebut.  
       3)      Penerapan dan Skema Murabahah
Murabahah sebagaimana yang diterapkan dalam perbankan syariah,pada prinsipnya didasarkan pada 2 (dua) elemen pokok, yaitu harga beli sertabiaya yang terkait dan kesepakatan atas mark-up. Ciri dasar kontrakpembiayaan murabahah adalah sebagai berikut:
a.       Pembeli harus memiliki pengetahuan tentang biaya-biaya terkait dan hargapokok barang dan batas mark-up harus ditetapkan dalam bentuk persentasedari total harga plus biaya-biayanya.
b.      Apa yang dijual adalah barang atau komoditas dan dibayar dengan uang.
c.       Apa yang diperjual-belikan harus ada dan dimiliki oleh penjual atauwakilnya dan harus mampu menyerahkan barang itu kepada pembeli.
d.      Pembayarannya ditangguhkan.
Bank-bank syariah umumnya mengadopsi Murabahah untuk memberikan pembiayaan jangka pendek kepada para nasabah guna pembelianbarang meskipun mungkin nasabah tidak memiliki uang untuk membayar.Kemudian Dalam prakteknya di perbankan Islam, sebagian besar kontrakmurabahah yang dilakukan adalah dengan menggunakan sistemMurabahah Kepada Pemesan Pembelian (KPP).Hal ini dinamakan demikian karena pihakbank syariah semata-mata mengadakan barang atau asset untuk memenuhi kebutuhan nasabah yang memesannya.
Terdapat juga pengembangan dari aplikasi pembiayaan murabahahdalam bank syariah atau BMT, yaitu dalam hal pengadaan barang. Dalam halini bank atau BMT menggunakan media akad wakalah untuk memberikankuasa kepada nasabah untuk membeli barang atas nama bank kepada supplier atau pabrik.
apabila pihak bank mewakilkan kepada nasabah untukmembeli barang dari pihak ketiga (supplier), maka kedua pihak harusmenandatangani kesepakatan agency (agency contract), dimana pihak bankmemberi otoritas kepada nasabah untuk menjadi agennya untuk membelikomoditas dari pihak ketiga atas nama bank, dengan kata lain nasabah menjadiwakil bank untuk membeli barang.
Kepemilikan barang hanya sebatas sebagai agen dari pihak bank.Selanjutnya nasabah memberikan informasi kepada pihak bank bahwa Ia telahmembeli barang, kemudian pihak bank menawarkan barang tersebut kepadanasabah dan terbentuklah kontrak jual beli. Sehingga barang pun beralih kepemilikan menjadi milik nasabah dengan segala resikonya.[3]
6.  Implementasi Pembiayaan Murabahah Pada Lembaga Keuangan Syari’ah
Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) atau Balai Usaha Mandiri Terpadu, adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan system ekonomi yang sallam: keselamatan (berintikan keadilan), kedamaian, dan kesejahteraan. BMT sesuai namanya terdiri atas dua fungsi utama yaitu melakukan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro kecil antara lain dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi. Dan menerima titipan zakat, infak, dan sedekah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai peraturan dan amanahnya.
Baitul Mal Wat Tamwil merupakan lembaga ekonomi atau lembaga keuangan syariah nonperbankan yang sifatnya informal. Disebut informal karena lembaga keuangan ini didirikan oleh kelompok Swadaya Masyarakat yang berbeda dengan lembaga keuangan perbankan dan lembaga keuangan formal lainnya. Penggunaan badan hukum kelompok swadaya masyarakat dan koperasi untuk BMT tidak termasuk kepada lembaga keuangan formal yang dijelaskan pada UU No.10 tahun 1998 tentang Perbankan, yang dapat dioperasikan untuk menghimpun dana dan menyalurkan dana masyarakat.
Di BMT pada umumnya ada berbagai macam produk yang ditawarkan, baik itu berupa funding (penghimpunan dana) dan juga lending (penyalur dana). Produk yang ditawarkan oleh lembaga BMT diantaranya adalah Murabahah, Mudharabah, Bai’ Bi’tsaman Ajil, Musyarakah, dan Qardul Hasan, sampai saat ini semua jenis produk pembiayaan digunakan oleh pihak BMT, namun yang sering digunakan atau diminati oleh masyarakat yaitu pembiayaan dengan akad Murabahah, dirasa cukup aman dan mudah untuk prosesnya guna kebutuhan masyarakat.
Murabahah yaitu pembiayaan yang pembayarannya dilakukan oleh anggota setelah jatuh tempo dengan harga dasar barang yang dibeli yang kemudian ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama. Adapun kelebihan dari kontrak murabahah adalah dengan pembayaran tangguh (ditunda) adalah pertama, pembeli atau si nasabah mengetahui semua biaya yang semestinya serta mengetahui harga pokok utama barang tersebut dan keuntungan. Kedua, penjualan hendaknya dimiliki penjual dan ia harus mampu mengirimkannya kepada pembeli. Dan yang terakhir melakukan pembayaran ditunda tersebut. Hal ini bisa menjadi persoalan kenapa pembiayaan murabahah lebih banyak peminatnya atau lebih diunggulkan. Sah-sah saja jika bank syariah lebih memperbanyak pembiayaan murabahah, karena sistem yang cepat dan relative mudah serta tidak beresiko dibanding dengan produk pembiayaan yang lain.
Menurut UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan dalam pasal 1 nomor (12): “Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara pihak Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil” dan nomor 13: “Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Dalam kaitannya dengan pembiayaan pada perbankan syariah atau istilah teknisnya disebut sebagai aktiva produktif. Menurut ketentuan Bank Indonesia aktiva produktif adalah penanaman dana Bank Syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, qardh, surat berharga syari’ah, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontijensi pada rekening administrative serta Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia. (Peraturan Bank Indonesia No. 5/7/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003).
Jika dilihat pada Bank umum, pembiayaan disebut loan, sementara di Bank Syari’ah disebutfinancing. Sedangkan balas jasa yang diberikan atau diterima pada Bank umum berupa bunga (interest loan atau deposit) dalam persentase pasti. Sementara pada Perbankan Syariah, dengan memberi dan menerima balas jasa berdasarkan perjanjian (akad) bagi hasil, margin dan jasa.
Secara umum tujuan pembiayaan dibedakan menjadi dua kelompok yaitu: tujuan pembiayaan untuk tingkat makro dan tingkat mikro. Secara makkro dijelaskan bahwa pembiayaan bertujuan untuk peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan produktivitas, membuka lapangan kerja baru, serta terjadinya distribusi pendapatan. Adapun secara mikro, pembiayaan bertujuan untuk upaya memaksimalkan laba, upaya meminimalkan risiko, pendayagunaan sumber ekonomi, serta penyaluran kelebihan dana.
Bai’ al-Murabahah yaitu jual beli barang pada harga semula dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam istilah teknis perbankan syariah murabahah ini diartikan sebagai suatu perjanjian yang disepakati antara Bank Syariah dengan nasabah, dimana Bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank = (harga beli bank + margin keuntungan) pada waktu yang ditetapkan.
Sebagaimana fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI), karakteristik pembiayaan murabahah berbeda dengan kredit yang terjadi pada perbankan konvensional. Diantaranya harga jual kredit kepada konsumen pada perbankan konvensional memakai tingkat bunga yang tergantung situasi pasar, sedangkan pada pembiayaan murabahah, margin/tingkat keuntungan murabahah (bila sudah terjadi ijab kabul) bersifat tetap, sehingga harga jual tidak bioleh berubah. Jadi, sejak awal perjanjian sampai dengan masa pelunasan, bank syariah tidak diperbolehkan mengubah harga yang telah diperjanjikan/diakadkan. Pada perbankan syariah diwajibkan adanya suatu barang yang diperjualbelikan. Barang yang diperjualbelikan tersebut berupa harta yang jelas harganya, seperti mobil atau motor. Sedangkan akad kredit perbankan konvensional terhadap konsumen berupa akad pinjam meminjam yang dalam hal ini belum tentu ada barangnya.
Syarat Bai’ Murabahah diantaranya adalah Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah, kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan, kontrak harus bebas riba, penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian, penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang. Jual beli secara murabahah hanya untuk barang atau produk yang telah dikuasai atau dimiliki oleh penjual. Bila produk tersebut belum dikuasai oleh penjual, sistem yang digunakan adalah murabahah kepada pemesanan. Pembiayaan dengan prinsip murabahah memiliki manfaat diantaranya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dan harga jual kepada nasabah, bentuk pembiayaannya sederhana sehingga memudahkan administrasi di bank syariah.
Dalam pelaksanaan permohonan pemberian pembiayaan secara umum didasarkan pada 5C (Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition). Yang pertama yaitu karakter, penilaian terhadap karakter atau kepribadian calon debitur dengan tujuan untuk memperkirakan kemungkinan bahwa nasabah pengguna dana atau anggota pengguna BMT yang mengajukan pembiayaan dapat memenuhi kewajiban. Yang kedua adalah capacity, Pengertian capacity berkaitan erat dengan kemampuan debitur mengelola pinjaman yang diberikan oleh Bank. Berarti jika debitur tidak memiliki kemampuan baik dalam memenuhi kewajibannya, maka pihak BMT yang akan dirugikan. Yang ketiga adalah capital, capitalberhubungan erat dengan soal keuangan dan permodalan si peminjam. Penilaian terhadap kemampuan modal yang dimiliki oleh calon debitur yang diukur dengan posisi usahanya dengan keseluruhan melalui risiko finansialnya dan penekanan pada momposisi modalnya. Yang keempat adalah collateral, Collateral  menyangkut jaminan yang merupakan pengamanan terakhir dari kredit yang diberikan. Collateral dalam BMT lebih ditekankan pada faktor kepercayaan, kedekatan hubungan dengan pengusaha dan kegiatan usahanya, saling mengenal karena usahanya tidak luas melalui tanggung renteng dan atau bersama tokoh setempat yang diiringi pengkajian bersama. Dan yang terakhir, Condition yaitu Kegiatan yang sangat komplek karena keharusan menilai sesuatu kondisi eksternal dengan keterbatasan data yang tersedia. Berdasarkan teori 5C, sebagian besar lembaga keuangan syariah telah memberikan pembiayaan murabahah kepada anggota sesuai dengan teori yaitu memberikan pembiayaan untuk modal usaha nasabah juga sudah ditetapkan bagi hasil yang ditanggung nasabah sebesar 2% atas risiko yang ada dari berjalannya usaha tersebut.
Dalam mengajukan permohonan pembiayaan, sebagian besar biasanya lembaga melakukan survey terlebih dahulu terhadap calon anggota dan itu pasti dilakukan oleh pihak lembaga, apalagi jika terdapat calon anggota yang kenal dekat dengan pihak lembaga, maka hal ini akan memudahkan lembaga untuk mengidentifikasi serta melihat karakter calon anggota tersebut. Adapun alasan jika lembaga tidak melakukan survey ke calon anggota yang mengajukan pembiayaan biasanya dikarenakan keterbatasan tenaga kerja  untuk melakukan survei. Sebenarnya untuk menganalisis pembiayaan tidak semua prinsip digunakan, yang penting jika melakukan analisis bisa menyelamatkan pembiayaan yang diberikan kepada anggota. Namun, juga harus berusaha meminimalkan resiko yang timbul akibat pembiayaan tersebut.

C.      Penutup
     I.     Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa; Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Dalil yang menjadi landasanmurabahah adalah QS. An-Nissa’: 29, Al-Baqarah: 275 dan beberapa hadits Rasulullah Saw. Dalam perbankan syariah, murabahah mendominasi pendapatan bank dari produk-produk yang ada di semua bank Islam. Dan di negara Indonesia sendiri dikenal dengan jual beli Murabahah atau Murabahah Kepada  Pemesanan  Pembelian  (KPP);   Murabah memberi banyak manfaat kepada bank syariah. Salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah


DAFTAR PUSTAKA
Andri Soemitra, 2016. Bank dan lembaga keuangan syariah. Jakarta: kencana
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press.



[1] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek  (Cet. I: Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 101.
[2] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank syariah,h. 102.
[3] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek  (Cet. I: Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 105.