1

loading...
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH ULUMUL HADITS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH ULUMUL HADITS. Tampilkan semua postingan

Rabu, 12 Juni 2019

MAKALAH ULUMUL HADITS ( Hadits Maudhu )

MAKALAH ULUMUL HADITS

( Hadits Maudhu )

BAB II
PEMBAHASAN
     A.    Pengertian Hadits Maudhu
Apabila ditinjau dari secara bahasa hadits maudhu merupakan bentuk isim maf’ul dari wadho’a – wadho’u. memiliki beberapa makna antara lain ‘menggugurkan’ misalnya hakim menggugurkan hukuman dari seseorang, juga bermakna ‘meninggalkan’ misalnya ungkapan unta yang ditinggalkan di tempat pengembalaanya. Pengertian hadits maudhu menurut istilah para muhaditsin adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi muhammad SAW, baik perbuatan,perkataan maupun taqrir-nya secara rekaan atau dusta semata-mata.  
Pengertian Hadits Maudhu’             Hadits palsu dalam bahasa ‘Arab dikenal dengan istilah Hadits  Maudhu’. Secara etimologi al-Maudhu’ (الموضوع) merupakan bentuk isim maf’ul dari kataيضع  -  وضع. Kata tersebut memiliki makna menggugurkan, meletakkan, meninggalkan, dan mengada-ada. Jadi secara bahasa Hadits Maudhu’ dapat disimpulkan yaitu hadits  yang diada-adakan atau dibuat-buat. Menurut terminologi Hadits Maudhu’ terdapat beberapa pengertian, diantaranya menurut Imam Nawawi definisi Hadits Maudhu’ adalah: هُوَ الْمُخْتَلَقُ الْمَصْنُوْعُ وَشَرُّ الضَّعِيْفِ، وَيَحْرُمُ رِوَايَتُهُ مَعَ الْعِلْمِ بِهِ فِيْ أَيِّ مَعْنًى كَانَ إِلاَّ مُبَيَّناً. “Dia (Hadits Maudhu’) adalah hadits yang yang direkayasa, dibuat-buat, dan hadits dhoi’f yang paling buruk. Meriwayatkannya adalah haram ketika mengetahui kepalsuannya untuk keperluan apapun kecuali disertai dengan penjelasan.”[2] Ada juga yang berpendapat bahwa Hadits Maudhu’ adalah : مانُسب الى الرّسول صلى الله عليه وسلّم اختلا قًا وكذبًا ممّا لم يقلْه أو يفعله أو يقرّه “Sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam secara mengada-ada dan dusta yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun taqrirkan.”
 Sedangkan menurut sebagian ‘Ulama hadits, pengertian Hadits Maudhu’ adalahأً ”Hadits yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dinishbatkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam secara palsu dan dusta, baik hal itu sengaja maupun tidak.” Berdasarkan dari beberapa pengertian Hadits Maudhu’ menurut para ’ulama yang telah disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa Hadits Maudhu’ adalah Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW secara dibuat-buat dan dusta, baik itu disengaja maupun tidak sengaja, padahal beliau tidak mengatakan, tidak memperbuatnya dan tidak mentaqrirkan-nya.
B. Sejarah Munculnya Hadits Maudhu
            Masuknya secara masal penganut agama lain kedalam islam, yang merupakan darikeberhasilan dakwah islamiyah keseluruh pelosok dunia, secara tidak langsung menjadi faktor munculnya hadits-hadits palsu. Kita tidak bisa menafikan bahwa masuknya merekakeislam,disamping ada yang benar-benar ikhlas, ada juga segolongan mereka yang mennganutagama islam hanya karena terpaksa tnduk pada kekuasaan islam pada waktu itu. Golomngan inikita kenal dengan kaum Munafik .  
Golongan tersebut senantiasa menyimpan dendam dan dengki terhadap islah dan senantiasamenunggu peluang yang tepat untuk merusak dan menimbulkan keraguan dalam hati-hati orang-orang islam. Maka datanglah waktu yang ditunggu-tunggu oleh mereka, yaitu pada masa pemerintahan Utsman bin Affan.
Golongan inilah yang mulai menaburkan benih benih fitnah yang pertama. salah seorang tokoh yang berperan dalam upaya menghancurkan Islam pada masa Utsman bin Affan adalah Abdullah bin Saba‟, seorang yahudi yang menyatakan telah memeluk islam.Dengan bertopengkan pembelaan kepada saydina Ali dan Ahli Bait, ia menabur fitnah untuk fitnah kepada orang ramai. Ia menyatakan bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah dari padaUtsman, bahkan lebih berhak daripada Abu Bakar dan Umar.
 Halitu karena, menurut Abdullah bin Saba‟, sesuai dengan wasiat dari Nabi Saw. Lalu, untuk mendukung propoganda tersebut, ia membuat suatu haditds maudhu‟ yang artinya “ setiap Nabi ada penerima wasiatnya dan penerima mwasiatku dalahali”. Namun penyebaran hadits Maudhu‟ pada masa ini belum begitu meluas karena masihbanyak sahabat utama yang masih hidup dan mengetahui dengan penuh yakin akan suatukepalsuan suatu hadits. Setelah zaman shahabat berlalu, penelitian terhadap hadits-hadits Nabi SAW, mulai melemah. Ini menyebabkan bayaknya periwayatan dan penyebaran hadits secaratidak langsung telah menyebabkan terjadunya pendustaan terhadap Rasulullah dan sebagianshahabat. Ditambah lagi dengan adanya konflik politik antara umat Islam yang semakin hebat,telah membuka peluang kepada golongan tertentu yang memcoba bersengkongkol dengan penguasa untuk memalsukan hadits.

C. Macam-macam Hadits Maudhu’                                                                        
 1. Perkataan itu berasal dari pemalsu yang disandarkan pada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam.
2. Perkataan itu berasal dari ahli hikmah, orang zuhud atau Isra’iliyyat dan pemalsu yang menjadikannya hadits.
3. Perkataan yang tidak diinginkan rawinya , melainkan dia hanya keliru.
C.   Sebab Kemunculan Hadits  Maudhu’
Munculnya pemalsuan hadits berawal dari terjadinya fitnah di dalam tubuh Islam. Dimulai dengan terbunuhnya Amirul Mukminin ‘Umar bin Khaththab, kemudian Utsman bin ‘Affan, dilanjutkan dengan pertentangan yang semakin memuncak antara kelompok  ta’ashub ‘Ali bin Abi Thalib di Madinah dan Mu’awiyah di Damaskus sehingga terjadi perselisihan yang tidak bisa terelakan lagi. Namun lebih ironis lagi bahwa sebagian kaum muslimin yang berselisih ini ingin menguatkan kelompok dan golongan mereka masing-masing dengan Al-Qur’an dan al-Hadits. Dikarenakan mereka tidak menemukan teks yang tegas yang mengukuhkan pendapatnya masing-masing, karena banyaknya pakar Al-Qur’an dan al- hadits pada saat itu, akhirnya sebagian diantara mereka membuat hadits-hadits yang disandarkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam untuk mendukung golongan masing-masing. Inilah awal sejara timbulnya hadits palsu dikalangan umat islam.
Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadits tidak hanya lakukan oleh orang-orang Islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non-Islam.
Ada beberapa motif yang mendorong mereka membuat hadits palsu yaitu sebagai berikut: 1.  Pertentangan politik Pertentangan politik ini terjadi karena adanya perpecahan antara golongan yang satu dengan golongan yang lainnya, dan mereka saling membela golongan yang mereka ikuti serta mencela golongan yang lainnya. Seperti yang terjadi pada polemik pertentangan kelompok ta’ashub ‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah sehingga terbentuk golongan syi’ah, khawariz, dll. yang berujung pada pembuatan hadits palsu sebagai upaya untuk memperkuat golongannya masing-masing.
2. Usaha kaum Zindiq Kaum Zindiq adalah golongan yang membenci Islam, baik sebagai agama ataupun sebagai dasar pemerintahan. Mereka merasa tidak mungkin dapat melampiaskan kebencian melalui konfrontasi dan pemalsuan Al-Qur’an, sehingga menggunakan cara yang paling tepat dan memungkinkan, yaitu melakukan pemalsuan hadits, dengan tujuan menghancurkan agama islam dari dalam. Salah satu diantara mereka adalah Muhammad bin Sa’id al-Syami, yang dihukum mati dan disalib karena kezindiqannya. Ia meriwayatkan hadits dari Humaid dari Anas secara marfu’ : أناخاتمُ النبيّين لا نبيّ بعديْ إلاّ أن يشاءالله "Aku adalah nabi terakhir, tidak ada lagi nabi sesudahku, kecuali yang Allah kehendaki.”
3. Sikap Ta’ashub terhadap bangsa, suku, bahasa, negeri, dan pimpinan Salah satu tujuan pembuatan hadits palsu adalah adanya sifat ego dan fanatik buta serta ingin menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok, dan sebagainya. Itu disebabkan karena kebencian, bahkan balas dendam semata. Sebagai contoh, menurut keterangan al-Khalily, salah seorang penghafal hadits, bahwa kaum Rafidhah telah membuat hadits palsu mengenai keutamaan ‘Ali bin Abi Thalib dan ahlu al-Bait sejumlah 300.000 hadits.
4.  Mempengaruhi kaum awam dengan kisah dan nasihat Kelompok yang melakukan pemalsuan hadits ini bertujuan untuk memperoleh simpati dari pendengarnya sehingga mereka kagum melihat kemampuannya. Jadi pada intinya mereka membuat hadits yang disampaikan kepada yang lainnya terlalu berlebih-lebihan dengan tujuan ingin mendapat sanjungan.
5.  Perbedaan pendapat dalam masalah ‘Aqidah dan ilmu Fiqih Munculnya hadits-hadits palsu dalam masalah ini berasal dari perselisihan pendapat dalam hal ‘aqidah dan ilmu fiqih para pengikut madzhab. Mereka melakukan pemalsuan hadits karena didorong sifat fanatik dan ingin menguatkan madzhabnya masing-masing. Misalnya hadits palsu yang isinya tentang keutamaan Khalifah ‘Ali bin Abi Thaalib: عليّ خيرالبشرمَن شكّ فيه كفر "’Ali merupakan sebaik-baik manusia, barangsiapa yang meragukannya maka ia telah kafir.”
 6. Membangkitkan gairah beribadah, tanpa mengerti apa yang dilakukan Sebagian orang sholih,  ahli zuhud dan para ulama akan tetapi kurang didukung dengan ilmu yang mapan, ketika melihat banyak orang yang malas dalam beribadah, mereka pun membuat hadits palsu dengan asumsi bahwa usahanya itu merupakan upaya mendekatkan diri kepada Allah subhaanahuwata’ala dan menjunjung tinggi agama-Nya melalui amalan yang mereka ciptakan, padahal hal ini jelas menunjukan akan kebodohan mereka. Karena  Allah subhaanahuwata’ala dan Rasul-Nya tidak butuh kepada orang lain untuk menyempurnakan dan memperbagus syari’at-Nya.
7.  Pendapat yang membolehkan seseorang untuk membuat hadits demi kebaikan mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: IN;">          Sebagian kaum muslimin ada yang membolehkan berdusta atas nama Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam untuk memberikan semangat kepada umat dalam beribadah, padahal para ’ulama telah sepakat atas haramnya berdusta atas nama Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam, apapun sebab dan alasannya.
 D.     Ciri-ciri Hadits Maudhu’
Para ulama ahli hadits telah menetapkan beberapa kriteria untuk bisa membedakan antara hadits shohih, hasan dan dho’if. Mereka pun menetapkan beberapa kaidah dan ciri-ciri agar bisa mengetahui kepalsuan sebuah hadits. Berikut adalah beberapa ciri-ciri Hadits Maudhu’ yang diambil dari berbagai sumber. Secara garis besar ciri-ciri Hadits Maudhu’ dibagi menjadi dua, yaitu:
1)   Dari segi Sanad (Para Perawi Hadits) Sanad adalah rangkaian perawi hadits yang menghubungkan antara pencatat hadits sampai kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam. Terdapat banyak hal untuk bisa mengetahui kepalsuan sebuah hadits dari sisi sanadnya ini, diantaranya adalah:
a.  Salah satu perawinya adalah seorang pendusta dan hadits itu hanya diriwayatkan oleh dia, serta tidak ada satu pun perawi yang tsiqoh (terpercaya) yang juga meriwayatkannya, sehingga riwayatnya dihukumi palsu.
b.  Pengakuan dari pemalsu hadits, seperti pengakuan Abu ‘Ishmah Nuh bin Abi Maryam, bahwa ia telah memalsukan hadits-hadits tentang keutamaan al-Qur`an juga pengakuan Abdul Karim bin Abi Auja’ yang mengaku telah memalsukan empat ribu hadits.
c.  Fakta-fakta yang disamakan dengan pengakuan pemalsuan hadits, misalnya seorang perawi meriwayatkan dari seorang syekh, padahal ia tidak pernah bertemu dengannya atau ia lahir setelah syekh tersebut meninggal, atau ia tidak pernah masuk ke tempat tinggal syekh. Hal ini dapat diketahui dari sejarah-sejarah hidup mereka dalam kitab-kitab yang khusus membahasnya.
d. Dorongan emosi pribadi perawi yang mencurigakan serta ta’ashub terhadap suatu golongan. Contohnya seorang syi’ah yang fanatik, kemudian ia meriwayatkan sebuah hadits yang mencela para sahabat atau mengagungkan ahlul bait.
 2)  Dari segi Matan (Isi Hadits) Matan adalah isi sebuah hadits. Diantara hal yang paling penting untuk bisa mengetahui kepalsuan sebuah hadits dari sisi ini adalah:
a.  Tata bahasa dan struktur kalimatnya jelek, sedangkan Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam adalah seorang yang sangat fasih dalam mengungkapkan kata-kata, karena beliau adalah seseorang yang dianugerahi oleh Allah subhaanahuwata’ala Jawami’ul Kalim (kata pendek yang mengandung arti luas).
b.  Isinya rusak karena bertentangan dengan hukum-hukum akal yang pasti, kaidah-kaidah akhlak yang umum, atau bertentangan dengan fakta yang dapat diindera manusia. Contohnya adalah sebuah hadits : إنّ سفينة نوحٍ طافتْ بالبيتِ سبعًا وصلّتْ خلف المقامِ ركعتينِ “Bahwasannya kapal nabi Nuh thawaf keliling Ka’bah tujuh kali lalu shalat dua raka’at di belakang maqam Ibrahim.”
c. Bertentangan dengan nash al-Qur`an, as-Sunnah, atau Ijma’ yang pasti dan hadits tersebut tidak mungkin dibawa pada makna yang benar. Contoh Hadits Maudhu’’ yang maknanya bertentangan dengan al-Qur’an, ialah hadits: وَلَدُ الزِّنَا لايَدْخُلُ اْلجَنِّةَ اِلَى سَبْعَةِ اَبْنَاءٍ “Anak zina itu,tidak dapat masuk surga, sampai tujuh keturunan.”[12] Makna hadits ini bertentangan dengan kandungan ayat al-Qur’an : وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”[13] Kandungan ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang lain, sampai seorang anak sekalian tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.
d. Bertentangan dengan fakta sejarah pada jaman Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam. Seperti hadis yang mengatakan bahwa Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam menggugurkan kewajiban membayar jizyah atas orang yahudi Khoibar yang ditulis oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan disaksikan oleh Sa’ad bin Mu’adz. Padahal telah ma’ruf dalam sejarah bahwa jizyah itu belum disyaria’tkan saat peristiwa perang Khoibar yang terjadi pada tahun ke-7 hijriyah, karena jizyah baru disyari’atkan saat perang Tabuk pada tahun ke-9 hijriyah. Juga Sa’ad bin Mu’adz meninggal dunia ketika perang Khondaq, dua tahun sebelum peristiwa Khoibar. Sedangkan Mu’awiyah baru masuk Islam pada waktu Fathu Makkah pada tahun ke-8 hijriyah.

DAFTAR  PUSTAKA
Drs. M.Solahudi, M.Ag dan Agus Suryadi , Lc.M.Ag (2011). Bandung :  Ulumul Hadits Bandung : Pustaka Setia.
Aglayanah, al- makki (1995), metode pengajaran hadits : pada hadits abad pertama. Jakarta : granda nadia.

Rabu, 29 Mei 2019

MAKALAH ULUMUL HADITS "Kitab Hadits Imam An-Nasa’i dan Biografi Penyusunnya"


MAKALAH ULUMUL HADITS
Kitab Hadits Imam An-Nasa’i dan Biografi Penyusunnya


BAB I
PENDAHULUAN
            Hadits adalah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya. Hadis menjadi sumber hukum yang dedua setelah al-quran. Hadis diterima oleh sahabat dari nabi baik secara langsung maupun tidak langsung. Sahabat atau orang yang meriwayatkan hadis disebut juga rawi. Oleh karena itu kita harus mengetahui kehidupan par perawinya dengan baik dengan mengetahui kehidupan para perawinya kita akan mengetahui hadis itu shahih atau tidak.
            Ilmu yang membahas tentang  perawi hadis ini mulai dari kekurangan hingga kelebihannya apakah hadis itu sahih atau tidak, disebut juga ilmu rijalul hadis. Pada pembahassan kali ini pemakalah akan mencoba membahas perawi tentang An-Nasa’i. Bagaimana silsilahnya, penyebaran intelektualnya, guru dan muridnya. Untuk lebih jelasnya pemakalah akan membahas pada BAB berikutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Biografi Imam an-Nasa’i
            Nama Imam an-Nasa`i adalah Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr. Kuniyah Imam an-Nasa`i: Abu Abdirrahman
Nasab Imam an-Nasa`i: An Nasa`i dan An Nasawi, yaitu nisbah kepada negeri asal Imam an-Nasa`i, tempat Imam an-Nasa`i di lahirkan. Satu kota bagian dari Khurasan. Beliau diahirkan pada tahun 215 hijriah.

Sifat-sifat Imam an-Nasa’i

            An-Nasa`i merupakan seorang lelaki yang ganteng, berwajah bersih dan segar, wajahnya seakan-akan lampu yang menyala. Beliau adalah sosok yang karismatik dan tenang, berpenampilan yang sangat menarik.

            Kondisi itu karena beberapa faktor, diantaranya; dia sangat memperhatikan keseimbangan dirinya dari segi makanan, pakaian, dan kesenangan, minum sari buah yang halal dan banyak makan ayam.

Aktifitas Imam an-Nasa’i dalam menimba ilmu

            Imam Nasa`i memulai menuntut ilmu lebih dini, karena Imam an-Nasa`i mengadakan perjalanan ke Qutaibah bin Sa’id pada tahun 230 hijriah, pada saat itu Imam an-Nasa`i berumur 15 tahun. Beliau tinggal di samping Qutaibah di negerinya Baghlan selama setahun dua bulan, sehingga Imam an-Nasa`i dapat menimba ilmu darinya begitu banyak dan dapat meriwayatkan hadits-haditsnya.

            Imam Nasa`i mempunyai hafalan dan kepahaman yang jarang dimiliki oleh orang-orang pada zamannya, sebagaimana Imam an-Nasa`i memiliki kejelian[1] dan keteliatian yang sangat mendalam. Imam an-Nasa`i dapat meriwayatkan hadits-hadits dari ulama-ulama besar, berjumpa dengan para imam huffazh dan yang lainnya, sehingga Imam an-Nasa`i dapat menghafal banyak hadits, mengumpulkannya dan menuliskannya, sampai akhirnya Imam an-Nasa`i memperoleh derajat yang tinggi dalam disiplin ilmu ini.

            Beliau telah menulis hadits-hadits dla’if, sebagaimana Imam an-Nasa`ipun telah menulis hadits-hadits shahih, padahal pekerjaan ini hanya di lakukan oleh ulama pengkritik hadits, tetapi imam Nasa`i mampu untuk melakukan pekerjaan ini, bahkan Imam an-Nasa`i memiliki kekuatan kritik yang detail dan akurat, sebagaimana yang digambarkan oleh al Hafizh Abu Thalib Ahmad bin Sazhr; ‘ siapa yang dapat bersabar sebagaimana kesabaran An Nasa`i? dia memiliki hadits Ibnu Lahi’ah dengan terperinci – yaitu dari Qutaibah dari Ibnu Lahi’ah-, maka dia tidak meriwayatkan hadits darinya.’ Maksudnya karena kondisi Ibnu Lahi’ah yang dha’if.

            Dengan ini menunjukkan, bahwa tendensi Imam an-Nasa`i bukan hanya memperbanyak riwayat hadits semata, akan tetapi Imam an-Nasa`i berkeinginan untuk memberikan nasehat dan menseterilkan syarea’at (dari bid’ah dan hal-hal yang diada-adakan).
Imam Nasa`i selalu berhati-hati dalam mendengar hadits dan selalu selektif dalam meriwayatkannya. Maka ketika Imam an-Nasa`i mendengar dari Al Harits bin Miskin, dan banyak meriwayatkan darinya, akan tetapi Imam an-Nasa`i tidak mengatakan; ‘telah menceritakan kepada kami,’ atau ‘telah mengabarkan kepada kami,’ secara serampangan, akan tetapi dia selalu berkata; ‘dengan cara membacakan kepadanya dan aku mendengar.’ 

            Para ulama menyebutkan, bahwa faktor imam Nasa`i melakukan hal tersebut karena terdapat kerenggangan antara imam Nasa`i dengan Al Harits, dan tidak memungkinkan baginya untuk menghadiri majlis Al Harits, kecuali Imam an-Nasa`i mendengar dari belakang pintu atau lokasi yang memungkinkan baginya untuk mendengar bacaan qari` dan Imam an-Nasa`i tidak dapat melihatnya.

            Para ulama memandang bahwa kitab hadits Imam an-Nasa`i “Sunan an-Nasa`i” sebagai kitab kelima dari Kutubussittah setelah Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud dan Jami’ at-Tirmidzi.

Rihlah Imam an-Nasa’i

            Imam Nasa`i mempunyai lawatan ilmiah cukup luas, Imam an-Nasa`i berkeliling ke negeri-negeri Islam, baik di timur maupun di barat, sehingga Imam an-Nasa`i dapat mendengar dari banyak orang yang mendengar hadits dari para hafizh dan syaikh.

            Di antara negeri yang Imam an-Nasa`i kunjungi adalah sebagai berikut; Khurasan, Iraq; Baghdad, Kufah dan Bashrah, Al Jazirah; yaitu Haran, Maushil dan sekitarnya, Syam, Perbatasan; yaitu perbatasan wilayah negeri islam dengan kekuasaan Ramawi, Hijaz, Mesir.

Guru-guru Imam an-Nasa’i

            Kemampuan intelektual Imam Nasa’i menjadi matang dan berisi dalam masa lawatan ilmiahnya. Namun demikian, awal proses pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena di daerah inilah, Imam an-Nasa`i mengalami proses pembentukan intelektual, sementara masa lawatan ilmiahnya dinilai sebagai proses pematangan dan perluasan pengetahuan.[2]
Di antara guru-guru Imam an-Nasa`i, yang teradapat didalam kitab sunannya adalah sebagai berikut;
- Qutaibah bin Sa’id
- Ishaq bin Ibrahim
- Hisyam bin ‘Ammar
- Suwaid bin Nashr
- Ahmad bin ‘Abdah Adl Dabbi
- Abu Thahir bin as Sarh
- Yusuf bin ‘Isa Az Zuhri
- Ishaq bin Rahawaih
- Al Harits bin Miskin
- Ali bin Kasyram
- Imam Abu Dawud
- Imam Abu Isa at Tirmidzi, dan yang lainnya.

Murid-murid Imam an-Nasa`i

            Murid-murid yang mendengarkan majlis Imam an-Nasa`i dan pelajaran hadits Imam an-Nasa`i adalah;
- Abu al Qasim al Thabarani
- Ahmad bin Muhammad bin Isma’il An Nahhas an Nahwi
- Hamzah bin Muhammad Al Kinani
- Muhammad bin Ahmad bin Al Haddad asy Syafi’i
- Al Hasan bin Rasyiq
- Muhmmad bin Abdullah bin Hayuyah An Naisaburi
- Abu Ja’far al Thahawi
- Al Hasan bin al Khadir Al Asyuti
- Muhammad bin Muawiyah bin al Ahmar al Andalusi
- Abu Basyar ad Dulabi
- Abu Bakr Ahmad bin Muhammad as Sunni, dan yang lainnya.

Kesaksian para ulama terhadap Imam an-Nasa’i

            Dari kalangan ulama seperiode Imam an-Nasa`i dan murid-muridnya banyak yang memberikan pujian dan sanjungan kepada Imam an-Nasa`i, di antara mereka yang memberikan pujian kepada Imam an-Nasa`i adalah;

Abu ‘Ali An Naisaburi menuturkan; ‘Imam an-Nasa`i adalah tergolong dari kalangan imam kaum muslimin.’ Sekali waktu dia menuturkan; Imam an-Nasa`i adalah imam dalam bidang hadits dengan tidak ada pertentangan.’

Abu Bakr Al Haddad Asy Syafi’I menuturkan; ‘aku ridla dia sebagai hujjah antara aku dengan Allah Ta’ala.’

Manshur bin Isma’il dan At Thahawi menuturkan; ‘Imam an-Nasa`i adalah salah seorang imam kaum muslimin.’

Abu Sa’id bin yunus menuturkan; ‘ Imam an-Nasa`i adalah seorang imam dalam bidang hadits, tsiqah, tsabat dan hafizh.’

Al Qasim Al Muththarriz menuturkan; ‘Imam an-Nasa`i adalah seorang imam, atau berhak mendapat gelar imam.’

Ad Daruquthni menuturkan; ‘Abu Abdirrahman lebih di dahulukan dari semua orang yang di sebutkan dalam disiplin ilmu ini pada masanya.’[3]

Al Khalili menuturkan; ‘Imam an-Nasa`i adalah seorang hafizh yang kapabel, di ridlai oleh para hafidzh, para ulama sepakat atas kekuatan hafalannya, ketekunannya, dan perkataannya bisa dijadikan sebagai sandaran dalam masalah jarhu wa ta’dil.’
Ibnu Nuqthah menuturkan; ‘Imam an-Nasa`i adalah seorang imam dalam disiplin ilmu ini.’
Al Mizzi menuturkan; ‘Imam an-Nasa`i adalah seorang imam yang menonjol, dari kalangan para hafizh, dan para tokoh yang terkenal.’

Hasil karya Imam an-Nasa`i

            Imam Nasa`i mempunyai beberapa hasil karya, di antaranya adalah;
- As Sunan Ash Shughra
- As Sunan Al Kubra
- Al Kuna
- Khasha`isu ‘Ali
- ‘Amalu Al Yaum wa Al Lailah
- At Tafsir
- Adl Dlu’afa wa al Matrukin
- Tasmiyatu Fuqaha`i Al Amshar
- Tasmiyatu man lam yarwi ‘anhu ghaira rajulin wahid
- Dzikru man haddatsa ‘anhu Ibnu Abi Arubah
- Musnad ‘Ali bin Abi Thalib
- Musnad Hadits Malik
- Asma`u ar ruwah wa at tamyiz bainahum
- Al Ikhwah
- Al Ighrab
- Musnad Manshur bin Zadzan
- Al Jarhu wa ta’dil
Wafatnya Imam an-Nasa’i

            Setahun menjelang wafatnya, Imam an-Nasa`i pindah dari Mesir ke Damsyik. Dan tampaknya tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggal Imam an-Nasa`i. Al-Daruqutni mengatakan, Imam an-Nasa`i di Makkah dan dikebumikan di antara Shafa dan Marwah. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-’Uqbi al-Mishri.

            Sementara ulama yang lain, seperti Imam al-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam al-Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja’far al-Thahawi (murid al-Nasa’i) dan Abu Bakar al-Naqatah.
Menurut pandangan terakhir ini, Imam al-Nasa’i meninggal pada tahun 303 H dan dikebumikan di Bait al-Maqdis, Palestina. Semoga jerih payahnya dalam mengemban wasiat Rasullullah SAW guna menyebarluaskan hadis mendapatkan balasan yang setimpal di sisi Allah. Amin.[4]

PENUTUP
A.    Kesimmpulan
            Imam an-Nasa’i yang memiliki nama lengkap Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib bin Ali bin Bahar bin Sinan bin Dinar an-Nasa’i adalah seorang ulama hadis terkenal
            Dilahirkan di satu desa yang bernama Nasa’ di daerah Khurasan pada tahun 215 H. Imam al-Nasa’i meninggal pada tahun 303 H. Ia adalah periwayat hadis yang terkenal.
B.     Kritik dan Saran
            Dalam penulisan makalah ini banyak sekali terdapat kesalahan dan kekurangannya, maka dari itu pemakah minta kritik dan sarannya untuk perbaikan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

1.      Farid Ahmad, 60 Biografi ulama Salaf. Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2006
2.      .Arifin Bey, AL-Muhdhor Ali yunus,Terjemah Sunan AN-Nasa’iy.CV.ASY Syifa:Semarang.1992
3.      Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Pustaka al-Kautsar,2008
5.      Abdul Qadir Ahmad Atha, Adabun Nabi, Pustaka Azzam. Jakarta, 2002.



[1] Syaik Ahmad Farid, 60 Biografi ulama Salaf. Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2006. Hal 577-578
Bey Arifin,yunus Ali Mahdhor,Terjemah Sunan AN-Nasa’iy.CV.ASY Syifa:Semarang.1992

[2] Syaik Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Pustaka al-Kautsar,2008. Hal 353
[4] Abdul Qadir Ahmad Atha, Adabun Nabi, Pustaka Azzam. Jakarta, 2002. Hal 10.


Rabu, 31 Oktober 2018

MAKALAH ULUMUL HADITS "BIOGRAFI SINGKAT BEBERAPA ULAMA HADITS"


BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR  BELAKANG
Islam di Indonesia merupakan mayoritas terbesar ummat Muslim di dunia. Walapun masyarakat indonesia mayoritas islam, tetapi sebagian dari mereka tidak begitu mengenal apa itu islam, kewajiban-kewasjiban dalam islam, larangan- larangan dalam islam, antara yang halal dan haram, antara yang hak dan yang batil, siapa sahabat- sahabat Rasulullah SAW. Apalagi kalau tentang kisah Rasullulah SAW dan para sahabatnya. Masyarakat Indonesia sekarang lebih menyukai dan mengidolakan drama dan artis artis yang sering muncul di televisidari pada para sahabat Ralullah SAW. Merka lebih suka menghafal lagu lagu dari pada Al- Qur’an dan hadits. Mereka lebih suka datang ke konser dari pada ke pengajian.Merka lebih mengenal nama nama artis dari pada sahabat sahabat Rasulullah dan para pejuang islam lainya. Islam merupakan agama  yang di bawa dan diajarkan oleh Baginda Rasulullah Muhammad SAW sebagai nabi akhir zaman denga kitab sucinya Al- Qur;an.. Setelah wafat ajaran- ajaran Rasullulah tidak hanya berhenti di situ, tetapi masih tetap di jalankan oleh para sahabat-sahabatnya, kemudian para sahabat Rasulullah SAW mengajarkannya ke pada murid– muridnya dan para muridnya mengajarkan kepada muridnya lagi yang sekarang lebih di kenal dengan kata Ulama dan ajaran-ajaran Rasullah SAW itu sekarang lebih di kenal dengan nama hadits.  
Hadits (ejaan KBBI: hadis, bahasa Arab: الحديث  dengarkan (bantuan·info), transliterasi: Al-Hadîts), adalah perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad yang dijadikan landasan syariat Islam. Berita tersebut didapat dari para sahabat pada saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada sahabat lain yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada murid-muridnya dan diteruskan kepada murid-murid berikutnya lagi hingga sampai kepada pembuku hadits.  Murid- murid sahabat nabi itu sekarang lebih di kenal dengan sebutan Ulama. Hadits dijadikan sumber hukum Islam selain al-Qur'an, dalam hal ini kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur'an. Hadits di riwayatkan oleh seorang ulama. 
Ulama (Arab:العلماء Ulamāʾ, tunggal عالِم ʿĀlim) adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Makna sebenarnya dalam bahasa Arab adalah ilmuwan atau peneliti, kemudian arti ulama tersebut berubah ketika diserap kedalam Bahasa Indonesia, yang maknanya adalah sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam.
Pengertian ulama secara harfiyah adalah “orang-orang yang memiliki ilmu”. Dari pengertian secara harfiyah dapat disimpulkan bahwa ulama adalah:
  1. Orang Muslim yang menguasai ilmu agama Islam
  2. Muslim yang memahami syariat Islam secara menyeluruh (kaaffah) sebagaimana terangkum dalam Al-Quran dan ''as-Sunnah''
  3. Menjadi teladan umat Islam dalam memahami serta mengamalkannya.
Para Ulama Hadits sangat berperan penting dalam islam, karena tanpa merka kita mungkin tidak akan tau bagaimana sunah-sunah nabi. Maka dari itu kita wajib untuk mengenal mereka, para penerus ajaran Rasulullah SAW.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.       Bagaimana biografi imam Turmudzi ?
2.      Bagaimana biografi imam Abu Dawud?
3.      Bagaimana biografi imam Nasa’i?
4.      Bagaimana biografi imam Ibnu Majah?

C.     TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui biografi imam Turmudzi.
2.      Untuk mengetahui biografi imam Abu Dawud.
3.      Untuk mengetahui biografi imam Nasa’i.
4.      Untuk mengetahui biografi imam Ibnu Majah.
                                                                                                         
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Imam Turmudzi
Nama lengkapnya adalah Imam Al- Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin Ad—Dahhak As-Sulami At- Tirmidzi. Ia adalah salah seorang ahli hadis kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang mansyur. Ia lahir pada 209 H di kota Tirmiz. [1]
Kakek Abu ‘Isa At Tirmidzi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmidzi dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya yang bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecil, Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits.

Tirmidzi memulai jihadnya dengan belajar agama sejak beliau masih muda. Beliau mengambil ilmu dari para syekh yang ada di negara beliau. Kemudian beliau memulai melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu ke berbagai negara yang ada di muka bumi ini. Yang mana perjalanan beliau itu hanya ditujukan untuk menimba ilmu agama. Beberapa daerah yang pernah beliau datangi pada saat itu adalah Khurasan, Madinah, Mekkah, Bashrah, Kufah,Wasith,Baghdad,ArRay.
          Beliau memulai rihlah pada tahun 234 hijriah. Imam At Tirmidzi keluar dari negrinya menuju ke Khurasan, Iraq dan Haramain dalam rangka menuntut ilmu. Di sana beliau mendengar ilmu dari kalangan ulama yang beliau temui, sehingga dapat mengumpulkan hadits dan memahaminya. Akan tetapi sangat di sayangkan beliau tidak masuk ke daerah Syam dan Mesir, sehingga hadits-hadits yang beliau riwayatkan dari ulama kalangan Syam dan Mesir harus melalui perantara, kalau sekiranya beliau mengadakan perjalanan ke Syam dan Mesir, niscaya beliau akan mendengar langsung dari ulama-ulama tersebut, seperti Hisyam bin ‘Ammar dan semisalnya. Setelah pengembaraannya, imam At Tirmidzi kembali ke negrinya, kemudian beliau masuk Bukhara dan Naisapur, dan beliau tinggal di Bukhara beberapa saat.
Abu ‘Isa At-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadits, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti.[2]
a)        Guru Imam Turmudzi diantaranya:
Begitu pula apa yang telah dilakukan oleh Imam Ahli Hadis ini. Berbagai negara telah beliau singgahi, sehingga beliau telah banyak menimba ilmu dari para gurunya. Di antara para guru beliau adalah:
·         Ishaq bin Rahawaih, yang merupakan guru pertama bagi Imam Tirmidzi.
·         Imam Bukhari. Imamnya para ahli hadis ini adalah termasuk salah satu imam besar yang mana Imam Tirmidzi mengambil ilmu darinya. Beliau adalah guru yang paling berpengaruh bagi Imam Tirmidzi. Dari beliaulah Imam Tirmidzi mengambil ilmu ‘ilalul hadits.
·         Imam Muslim. Beliau dan Imam Bukhari adalah dua imam ahli hadis  terkenal yang ada di muka bumi ini. Kitab hadis karya mereka berdua adalah kitab yang paling benar setelah Alquran.
·         Imam Abu Dawud.
·         Qutaibah bin Sa’id
·         ‘Ali bin sa’id bin Masruq al Kindi
·         ‘Amru bin ‘Ali al Fallas

b)        Murid Imam Turmudzi, diantaranya:
·                     Abu Bakar Ahmad bin Isma’il as Samarqand
·                     Abu Hamid al Marwazi
·                     Ar Rabi’ bin Hayyan al Bahiliy
·                     Abu Ja’far Muhammad bin Ahmad An Nasafi
·                     Abu Ja’far Muhammad bin sufyan bin An Nadlr An Nasafi al Amin
·                     Muhammad bin Muhammad bin Yahya Al Harawi al Qirab
·                     Muhammad bin Mahmud bin ‘Ambar An Nasafi
c)      Karya- karya Imam Turmudzi, diantaranya:
·                     Al-Jami’ (Sunan at-Tirmidzi). Kitab yang satu ini adalah kitab beliau yang   paling monumental dan paling bermanfaat. Di dalam kitab ini ia mengklasifikasikan hadis menjadi shahih, hasan, dan dha’if. Setelah selesai menulis kitab ini beliau perlihatkannya kepada para ulama Hijaz, Irak, dan Khurasan.Mereka bersenang hari dan bangga melihatnya. Beliau berkata: “ Aku tulis buku ini dan telah aku sodorkan kepada para ulama Hijaz, Irak, dan Khurasan dan mereka menyenanginya. Barang siapa dirumahnaya terdapat kitab  Sunan ini, maka seakan-akan di rumahnya ada seorang Nabi yang berbicara”. Buku inilah sumber pertama hadits hasan. Kualitas haditsnya terbagi menjadi empat macam; yaitu sebagian dipastikan kesahihanya, sebagian laih shahih atas syarat Abu Dawud dan An-Nasa’i, sebagian lain dijelaskan ;Illatnya, dan sebagian lagi beliau terangkan: Aku tidak keluarkan suatu hadits dalam kitabku ini keculai yang diamalkan oleh sebagian Fuqaha.[3]
·                     Syamail an-Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kitab ini termasuk kitab yang paling bagus yang membahas tentang sifat-sifat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
·                     Kitab Al ‘Ilal
·                     Kitab Asy Syama’il an Nabawiyyah.
     Adapun karangan beliau yang tidak sampai kepada kita adalah;
·        Kitab At-Tarikh.
·        Kitab Az Zuhd.
·        Kitab Al Asma’ wa al kuna
d)       Keutamaan Imam Turmudzi dan pujian ulama terhadap beliau
Beliau adalah seorang ulama yang memiliki banyak keutamaan sehingga para ulama banyak memberikan pujian kepada beliau. Di antara keutamaan beliau dan pujian ulama kepadanya adalah sebagai berikut:
·       Kitab beliau yang berjudul “Al-Jami’” menunjukkan akan luasnya pengetahuan beliau dalam ilmu hadis, kefaqihan beliau dalam permasalahan fikih, dan juga luasnya wawasan beliau terhadap permasalahan khilafiyah di kalangan para ulama fikih.
·       Abu Ahmad al-Hakim berkata bahwa beliau pernah mendengar ‘Umar bin ‘Allak berkata, “Tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan posisi Imam Bukhari sepeninggal beliau kecuali Abu ‘Isa (Imam Tirmidzi) dalam masalah ilmu, kuatnya hafalan, sifat zuhud dan wara’-nya. Beliau menangis hingga matanya mengalami kebutaan, dan hal tersebut terus berlangsung beberapa tahun hingga beliau wafat.”
·       Imam Abu Isma’il ‘Abdullah bin Muhammad al-Anshoriy memberikan sebuah rekomendasi yang luar biasa terhadap beliau, di mana beliau pernah mengatakan bahwa Kitab ‘Al-Jami’ milik Imam Tirmidzi lebih besar manfaatnya daripada kitab hadis yang dimiliki Imam Bukhari dan Imam Muslim. Karena kedua kitab tersebut hanya bisa dimanfaatkan oleh orang yang alim yang tinggi ilmunya, sedangkan kitab Al-Jami’ milik beliau bisa dimanfaatkan oleh setiap orang yang membacanya. Akan tetapi hal ini semata-mata hanyalah pendapat seorang ulama’ yang mungkin beliau memandangnya dari sudut tertentu.
·       Abu Sa’d al-Idris mengatakan bahwa beliau adalah seorang imam hadis yang dijadikan teladan dalam masalah hafalan.
·       Imam adz-Dzahabi mengatakan dalam kitabnya Siyar A’lam an-Nubala’, “Di dalam kitab tersebut (Al-Jami’), terdapat banyak sekali ilmu yang bermanfaat, faedah yang melimpah, dan juga terdapat pokok-pokok permasalahan dalam Islam. Seandainya saja kitab tersebut tidak dinodai dengan adanya hadis-hadis yang lemah, yang di antaranya adalah hadis palsu dalam permasalahan keutamaan-keutamaan amalan saleh.”
e)        Wafatnya Imam Turmudzi
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya At-Tirmidzi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H (8 Oktober 892) dalam usia 70 tahun.[4]

f)          Pelajaran yang dapat di ambil dari Imam turmudzi
·         Jihad itu tidak hanya identik dengan pedang, akan tetapi jihad itu bisa dilakukan dengan ilmu, yaitu berjihad memerangi kebodohan. Seperti apa yang dilakukan oleh para ulama.
·         Lahirkan penerus generasi pembela Islam dan bangsa ini dengan mendidik anak-anak kita untuk semangat menuntut ilmu agama sejak kecil.
·         Hargailah, hormatilah, dan doakanlah kebaikan untuk para ulama kita yang telah berjuang dalam mendapatkan ilmu agama dan memberikannya untuk kaum muslimin dalam rangka membela agama ini dan meneruskan perjuangan-perjuangan para nabi dalam menyebarkan ilmu agama.
·         Mempelajari suatu ilmu terutama ilmu agama membutuhkan adanya seorang guru yang bisa memahamkan penuntut ilmu tersebut. Karena apabila hanya mencukupkan diri dengan membaca buku maka hal itu dapat menyebabkan orang yang melakukannya terjatuh dalam kesalahan karena salahnya pemahaman mereka ketika mengkaji ilmu itu secara autodidak.
·         Belajar agama adalah suatu hal yang sangat penting bagi kita dan sangat menentukan masa depan kita di kampung yang kekal nanti. Maka dari itu, kita harus mempelajarinya dari seseorang yang benar-benar berilmu. Sehingga kita tidak boleh sembarangan mengambil ilmu agama dari seseorang. Patokannya adalah ketakwaannya dan kapasitas ilmu agamanya, bukan kemahirannya dalam menyampaikan dan melawak.
·         Jadilah orang yang bermanfaat untuk manusia, dengan menyebarkan ilmu yang bermanfaat untuk mereka melalui lisan dan tulisan.
·        Berhati-hatilah dengan aliran-aliran menyimpang yang selalu gencar memberikan syubhat dan doktrinnya kepada masyarakat awam. Oleh karena itu, Mari kita bentengi diri kita dari pengaruh-pengaruh tersebut dengan pemahaman akidah yang benar dan lurus. Tidak ada cara lain kecuali dengan terus membekali diri kita dengan ilmu agama yang benar, yang bersumber dari Alquran dan sunah yang dipahami oleh para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum ajma’in.
B.   Imam Abu Dawud
Imam Abu Dawud (817 / 202 H ) adalah salah seorang perawi hadits, yang mengumpulkan sekitar 50.000 hadits lalu memilih dan menuliskan 4.800 di antaranya dalam kitab Sunan Abu Dawud. Nama lengkap Abu Dawud adalah Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syihab ibn Amar bin ’Amran Al-Azdi As-Sijistani. Untuk mengumpulkan hadits, dia bepergian ke Arab Saudi, Irak, Khurasan, Mesir, Suriah, Nishapur, Marv, dan tempat-tempat lain, menjadikannya salah seorang ulama yang paling luas perjalanannya.
Bapak dia yaitu Al Asy'ats bin Ishaq adalah seorang perawi hadits yang meriwayatkan hadits dari Hamad bin Zaid, dan demikian juga saudaranya Muhammad bin Al Asy`ats termasuk seorang yang menekuni dan menuntut hadits dan ilmu-ilmunya juga merupakan teman perjalanan dia dalam menuntut hadits dari para ulama ahli hadits. Abu Dawud sudah berkecimpung dalam bidang hadits sejak berusia belasan tahun. Hal ini diketahui mengingat pada tahun 221 H, dia sudah berada di Baghdad, dan di sana dia menemui kematian Imam Muslim, sebagaimana yang dia katakan: "Aku menyaksikan jenazahnya dan mensholatkannya".
Abu Dawud menghabiskan waktunya di Tursus kurang lebih 20  tahun. Beliau seorang hafizh, lautan ilmu, terpercaya , dan memiliki keilmuan yang tinggi terutama dalam bidang hadits. Para ulama sangat menhormati kemampuan, kejujuran, dan ketakwaan beliau tang luar biasa. Abu Dawud tdak hanya sebagai seorang perawi, penghimpun, dan penyusun hadits, tetapi sebagai seorang ahli hukum yang handal dan kritikus hadis yang baik.[5]
 Ketika menelisik biografi imam Abu Daud, akan muncul paradigma bahwasanya beliau semenjak kecil memiliki keahlian untuk menimba ilmu yang bermanfaat. Semua itu ditunjang dengan adanya keutamaan yang telah di anugerahkan Allah kepadanya berupa kecerdasan, kepandaian dan kejeniusan, disamping itu juga adanya masyarakat sekelilingnya yang mempunyai andil besar dalam menimba ilmu. Dia semenjak kecil memfokuskan diri untuk belajar ilmu hadits, maka kesempatan itu dia gunakan untuk mendengarkan hadits di negrinya Sijistan dan sekitarnya. Kemudian dia memulai rihlah ilmiahnya ketika menginjak umur delapan belas tahun. Dia merupakan sosok ulama yang sering berkeliling mencari hadits ke berbagai belahan negri Islam, banyak mendengar hadits dari berbagai ulama, maka tak heran jika dia dapat menulis dan menghafal hadits dengan jumlah besar yaitu setengah juta atau bahkan lebih dari itu. Hal  ini merupakan modal besar bagi berbagai karya tulis beliau yang tersebar setelah itu keberbagai pelosok negri islam, dan menjadi sandaran dalam perkembangan keilmuan baik hadits maupun disiplin ilmu lainnya.
Setelah dia masuk kota Baghdad, dia diminta oleh Amir Abu Ahmad Al Muwaffaq untuk tinggal dan menetap di Bashroh,dan dia menerimanya,akan tetapi hal itu tidak membuat dia berhenti dalam mencari hadits.
a)      Guru- guru Abu Dawud
· adh-Dhariri
·  Abu Walid ath-Thayalisi
·  Abu Zakariya
b)       Murid- murid Abu Dawud
· Abu Ubaid Al Ajury
· Abu Thoyib Ahmad bin Ibrohim Al Baghdady (Perawi sunan Abi  dan Daud dari dia).
· Abu `Amr Ahmad bin Ali Al Bashry (perawi kitab sunan dari dia).
c)      Karya karya Imam Abu Dawud
Imam Abu Dawud banyak memiliki karya, antara lain:
·         Kitab As-Sunnan (Sunan Abu Dawud).
·         Kitab Al-Marasil.
·         Kitab Al-Qadar.
·         An-Nasikh wal-Mansukh.
·         Fada’il al-A’mal.
·         Kitab Az-Zuhd.
·         Dala’il an-Nubuwah.
·         Ibtida’ al-Wahyu.
·         Ahbar al-Khawarij.
d)     Keistimewaan Imam Abu Dawud
                                   Beliau dianugerahi dengan kecerdasan yg luar biasa. Imam Abu Dawud dapat menghapal seluruh isi sebuah kitab hanya dengan satu kali membacanya. Beliau terkenal ahli dalam mengkritik hadits dan membedakan antara matan/redaksi hadits dari yg lemah dan cacat. Hanya empat orang yg pantas diakui namanya dlm hal mengkritik hadits. Mereka adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud dan Imam Nasa'i. Imam Abu Dawud hidup dimasa dunia islam memiliki para ulama yg istimewa. Beliau banyak mengomentari hadits, beliau dijuluki sebagai Imamul Muhaditsin (Imamnya para ahli hadits.
Pada masa hidupnya, Abu Dawud telah mengumpulkan kurang lebih sekitar 50.000 hadits. Puluhan ribu hadits ini kemudian diseleksi dan menulisnya kembali sehingga menjadi 4.800 shahih, di antara hadits-hadits tersebut terkumpul pada kitab hadits, Sunan Abu Dawud.
                                    Disamping keahliannya dalam bidang hadits beliau juga seorang ahli fiqih. Beliau memiliki pemahaman yg mendalam dalam bidang fiqih dan ijtihad. Beliau seorang yg sangat taat, shaleh dan zuhud. Beliau menghabiskan seluruh hidupnya untuk beribadah dan berdzikir pada Allah. Beliau selalu mennjauhi pejabat, teman-teman Sultan dan orang-orang istana. Di kabarkan bahwa Imam Abu Dawud biasa memakai pakaian yg sebelah lengannya berukuran besar dan sebelah lainnya berukuran normal. Ketika ditanyakan kepada beliau tentang hal tersebut, beliau mejawab : " (alasannya adalah) Untuk menyimpan catatan-catatan hadits, menurutku tidak perlu membesarkan lengan baju yg sebelah lagi karena hal itu adalah pemborosan.". Tidak diketahui dengan pasti dimana asalnya beliau belajar.
                                   Sebagian ulama mengatakan bahwa beliau adalah ahli fiqih mazhab hambali, sebagian yg lain mengatakan beliau ahli fiqih mazhab syafi'. Namun dalam sumber lain penulis menemukan guru-guru dimana Imam Abu Dawud belajar yaitu Diantara guru-gurunya adalah Imam Ahmad, Al-Qanabiy, Sulaiman bin Harb, Abu Amr adh-Dhariri, Abu Walid ath-Thayalisi, Abu Zakariya Yahya bin Ma'in, Abu Khaitsamah, Zuhair bin Harb, ad-Darimi, Abu Ustman Sa'id bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah dan ulama lainnya.
                                   Para ulama sepakat menetapkan bahwa beliau seorang hafiz yang sempurna, pemilik ilmu yang melimpah, muhaddits yang terpercaya, wara’ dan memiliki pemahaman yang tajam, baik dalam bidang ilmu hadits maupun lainnya. Al- Khathtabi berpendapat, bahwa tidak ada susunan kitab agama yang setara dengan kitab Sunan Abi Dawud. Para ulama menerimanyadan dia menjadi hakim Fuqaha yang belainan mahzab.[6]
e)      Akhlak dan sifat-sifatnya yang terpuji
·         Salah satu lengan bajunya lebar namun yang satunya lebih kecil dan sempit. Seseorang yang melihatnya bertanya tentang keganjilan ini, ia menjawab: “Lengan baju yang lebar ini digunakan untuk membawa kitab-kitab, sedang yang satunya lagi tidak diperlukan. Jadi, kalau dibuat lebar, ianya adalah Abu Dawud adalah salah seorang ulama yang mengamalkan ilmunya dan mencapai darjat tinggi dalam ibadah, kesucian diri, wara’ dan kesalehannya. Ia adalah seorang individu utama yang patut diteladani perilaku, ketenangan jiwa dan keperibadiannya. Sifat-sifat Abu Dawud ini telah diungkapkan oleh sebahagian ulama yang menyatakan:
·         “Abu Dawud menyerupai Ahmad bin Hanbal dalam perilakunya, ketenangan jiwa dan kebagusan pandangannya serta keperibadiannya. Ahmad dalam sifat-sifat ini menyerupai Waki’, Waki menyerupai Sufyan as-Sauri, Sufyan menyerupai Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha’i, Ibrahim menyerupai ‘Alqamah dan ia menyerupai Ibn Mas’ud. Sedangkan Ibn Mas’ud sendiri menyerupai Nabi s.a.w dalam sifat-sifat tersebut.”
·         Sifat dan keperibadian yang mulia seperti ini menunjukkan atas kesempurnaan agama, tingkah laku dan akhlak.
·         Abu Dawud mempunyai pandangan dan falsafah sendiri dalam cara berpakaian berlebih-lebihan.
f)         Wafatnya
Setelah mengalami kehidupan penuh berkat yang diisi dengan kegiatan ilmiah, menghimpun dan menyebarluaskan hadith, Abu Dawud meninggal dunia di Basrah yang dijadikannya sebagai tempat tinggal atas permintaan Amir sebagaimana telah diceritakan. Ia wafat pada 16 Syawwal 275 H/889M. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepadanya.
C.   Imam Nasa’i
Nama lengkap Imam Nasa’i adalah Abu Abdurahman Ahmad ibn Syu’aib bin Ali ibn Abi Bakar ibn Sinan An-Nasa’i. Ia terkenal dengan nama An- Nasa’i karena dinisbatkan dengan kota Nasa’i salah satu kota di Khurasan. Ia   dilahirkan pada tahun 215 Hijriah demikian menurut Adz Dzahabi.7 Beliau lahir dan membesar di Nasa’, sebuah kota di Khurasan yang banyak melahirkan ulama-ulama dan tokoh-tokoh besar. Di madrasah negeri kelahirannya itulah ia menghafal Al-Qur’an dan dari guru-guru negerinya ia menerima pelajaran ilmu-ilmu agama yang pokok. Setelah meningkat remaja, ia suka mengembara untuk mendapatkan hadith.
 Ia berwajah tampan. Warna kulitnya kemerah-merahan dan ia senang mengenakan pakaian bergaris buatan Yaman. Beliau adalah seorang yang banyak melakukan ibadah, baik di waktu malam atau siang hari, dan selalu beribadah haji dan berjihad. Beliau sering ikut berperang bersama-sama dengan gabenor Mesir. Mereka mengakui kesatriaan dan keberaniannya, serta sikap konsistensinya yang berpegang teguh pada sunnah dalam menangani masalah penebusan kaum Muslimin yang tertangkap lawan. Dengan demikian ia dikenal senantiasa “menjauhkan diri” dengan majlis Pemerintah, padahal ia tidak jarang ikut bertempur bersamanya. Maka, hendaklah para ulama sentiasa menyebar luaskan ilmu dan pengetahuan. Namun bila ada panggilan untuk berjihad, hendaklah mereka segera memenuhi panggilan itu. Selain itu, Nasa’i telah mengikuti jejak Nabi Dawud, sehari puasa dan sehari tidak.[7]
Belum pun berusia 15 tahun, beliau mengembara ke Hijaz, Iraq, Syam, Mesir dan Jazirah. Beliau belajar hadith dengan ulama-ulama negeri tersebut sehingga menjadi seorang yang sangat terkemuka dalam bidang hadith dan mempunyai sanad yang ‘Ali (sedikit sanadnya) dan dalam bidang kekuatan periwayatan hadith.
Nasa’i merasa amat sesuai tinggal di Mesir dan kemudiannya beliau menetap di negeri itu, di jalan Qanadil. Beliau tinggal di situ sehingga setahun sebelum kematiannya. Kemudian ia berpindah ke Damsyik. Di tempatnya yang baru ini ia mengalami suatu peristiwa tragis yang menyebabkan ia menjadi syahid. Alkisah, sebahagian penduduk Damsyik meminta pendapat belaiu tentang keutamaan Mu’awiyyah r.a. Mereka seakan-akan meminta kepada Nasa’i agar menulis sebuah buku tentang keutamaan Mu’awiyyah, sebagaimana dia telah menulis mengenai keutamaan Ali r.a.
Oleh kerana itu beliau menjawab kepada penanya tersebut dengan “Tidakkah Engkau merasa puas dengan adanya kesamaan darjat (antara Mu’awiyyah dengan Ali), sehingga Engkau merasa perlu untuk mengutamakannya?” Mendapat jawaban seperti ini mereka naik pitam, lalu memukulnya sehinggakan buah kemaluannya pun dipukul, memijak-mijaknya dan kemudian menyeretnya keluar dari masjid, sehingga ia nyaris mati.
a)      Guru-guru Imam Nasa’i
·         Qutaibah bin Sa`id
·         Ishaq bin Ibrahim
·         Ishaq bin Rahawaih
·          al-Harits bin Miskin
·          Ali bin Kasyram
·         Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud)
·         serta Imam Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun al-Jami`/Sunan al-Tirmidzi).
b)      Murid- muridnya
·         Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu`jam)
·          Abu Ja`far al-Thahawi
·          al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti
c)      Karya- karyanya
·         al-Sunan al-Kubra
·          al-Sunan al-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab al-Sunan al-Kubra)
·          al-Khashais
·          Fadhail al-Shahabah, dan al-Manasik.

d)     Keistimewaan Imam Nasa’i
Imam Nasa`i mempunyai hafalan dan kepahaman yang jarang dimiliki oleh orang-orang pada zamannya, sebagaimana Imam an-Nasa`i memiliki kejelian dan ketelitian yang sangat mendalam. Imam an-Nasa`i dapat meriwayatkan hadits-hadits dari ulama-ulama besar, berjumpa dengan para imam huffazh dan yang lainnya, sehingga Imam an-Nasa`i dapat menghafal banyak hadits, mengumpulkannya dan menuliskannya, sampai akhirnya Imam an-Nasa`i memperoleh derajat yang tinggi dalam disiplin ilmu ini.[8]
 Ia bukan sahaja pakar dan hafal hadith, mengetahui para perawi dan kelemahan-kelemahan hadith yang diriwayatkan, tetapi ia juga ahli fiqh yang berwawasan tinggi. Imam Daraqutni pernah berkata mengenai Nasa’i bahawa ia adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling pakar dalam bidang fiqh pada masanya dan paling mengetahui tentang hadith dan perawi-perawi. Ibnul Asirr al-Jazairi menerangkan dalam mukaddimah Jami’ul Usul-nya, bahawa Nasa’i bermazhab Syafi’i dan ia mempunyai kitab Manasik yang ditulis berdasarkan mazhab Syafi’i, rahimahullah.[9]
e)      Wafatnya
Setahun menjelang kemangkatannya, dia pindah dari Mesir ke Damsyik. Dan tampaknya tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggal dia. Al-Daruqutni mengatakan, dia di Makkah dan dikebumikan di antara Shafa dan Marwah. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-`Uqbi al-Mishri.
Sementara ulama yang lain, seperti Imam al-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam al-Nasa`i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja`far al-Thahawi (murid al-Nasa`i) dan Abu Bakar al-Naqatah. Menurut pandangan terakhir ini, Imam al-Nasa`i meninggal pada tahun 303 H/915M dan dikebumikan di Bait al-Maqdis, Palestina. Inna lillah wa Inna Ilai Rajiun. Semoga jerih payahnya dalam mengemban wasiat Rasullullah guna menyebarluaskan hadis mendapatkan balasan yang setimpal di sisi Allah.[10]
D.   Imam Ibnu Majah
Nama lengkap Ibnu Majah adalah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Al Qazwini, lahir di Qazwini salah satu kota di Iran pada tahun 207 H/ 824 M.[11]
Informasi kehidupan Ibnu Majah ketika masih kecil sampai proses dewasa tidak diketemukan dalam berbagai literatur. Data yang tercatat hanya berkisar tentang ketekunan Ibnu Majah dalam berburu hadits di berbagai negeri. Ibnu Majah dikenal pada masanya sebagai orang yang mencintai ilmu pengetahuan terutama dalam bidang ilmu hadits,sehingga tak salah jika para ulama baik itu semasa atau sesudahnya mengakui kedalaman ilmunya.[12]
Ia berkembang dan meningkat dewasa sebagai orang yang cinta mempelajari ilmu dan pengetahuan, teristimewa mengenai hadits dan periwayatannnya. Untuk mencapai usahanya dalam mencari dan mengumpulkan hadits, ia telah melakukan lawatan dan berkeliling di beberapa negeri. Ia melawat ke Irak, Hijaz,Syam,Mesir,Kufah,Basrah dan negara-negara serta kota-kota lainnya, untuk menemui dan berguru hadits kepada ulama-ulama hadits. Juga ia belajar kepada murid-murid Malik dan al-Lais, rahimahullah, sehingga ia menjadi salah seorang imam terkemuka pada masanya di dalam bidang ilmu nabawi.
Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Hisyam bin ‘Ammar, Muhammad bin Ramh, Ahmad bin al-Azhar, Bisyr bin Adan dan ulama-ulama besar lain.Sedangkan hadits-haditsnya  oleh  Muhammad bin ‘Isa al-Abhari, Abul Hasan al-Qattan, Sulaiman bin Yazid al-Qazwini, Ibnu Sibawaih, Ishak bin Muhammad dan ulama-ulama lainnya.
a)      Karya- karyanya, antara lain:
1.. Kitab As-Sunan, yang merupakan salah satu Kutubus Sittah (Enam Kitab
Hadits yang Pokok).                                                 
2.. Kitab Tafsir Al-Qur’an, sebuah kitab tafsir yang besar manfatnya seperti
diterangkan Ibnu Katsir.
3.. Kitab Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibnu Majah.
b)      Wafatnya
Imam Ibnu Majah wafat pada tanggal 22 Ramadhan 273 H. Jenazahnya  dishalatkan oleh saudaranya, Abu Bakar. Sedangkan pemakamannya dilakukan oleh kedua saudaranya, Abu Bakar dan Abdullah serta putranya, Abdullah.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ø  Abu ‘Isa At-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadits, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawu.
Ø   Imam Turmudzi adalah seorang ulama yang memiliki banyak keutamaan sehingga para ulama banyak memberikan pujian kepada beliau.
Ø  Imam Abu Dawud dianugerahi dengan kecerdasan yg luar biasa. Imam Abu Dawud dapat menghapal seluruh isi sebuah kitab hanya dengan satu kali membacanya. Beliau terkenal ahli dalam mengkritik hadits dan membedakan antara matan/redaksi hadits dari yg lemah dan cacat.
Ø  Imam Nasa`i mempunyai hafalan dan kepahaman yang jarang dimiliki oleh    orang-orang pada zamannya, sebagaimana Imam an-Nasa`i memiliki kejelian dan keteliatian yang sangat mendalam. Imam an-Nasa`i dapat meriwayatkan hadits-hadits dari ulama-ulama besar, berjumpa dengan para imam huffazh dan yang lainnya, sehingga Imam an-Nasa`i dapat menghafal banyak hadits, mengumpulkannya dan menuliskannya, sampai akhirnya Imam an-Nasa`i memperoleh derajat yang tinggi dalam disiplin ilmu ini.
Ø  Imam Ibnu Majah  berkembang dan meningkat dewasa sebagai orang yang cinta mempelajari ilmu dan pengetahuan, teristimewa mengenai hadits dan periwayatannnyaUntuk mencapai usahanya dalam mencari dan mengumpulkan hadits, ia telah melakukan lawatan dan berkeliling di beberapa negeri. Ia melawat ke Irak, Hijaz, Syam, Mesir, Kufah,
Basrah dan negara-negara serta kota-kota lainnya, untuk menemui dan berguru hadits kepada ulama-ulama hadits. Juga ia belajar kepada murid-murid Malik dan al-Lais, rahimahullah, sehingga ia menjadi salah seorang imam terkemuka pada masanya di dalam bidang ilmu nabawi yang mulia ini.


B.     Saran
Ø  Contoh dan tirulah sikap para ulama. Mereka tidak pernah bosan untuk belajar. Mereka rela pergi dari satu daerah ke daerah lainya hanya untuk menuntut ilmu  serta jangalah pelit dalam membagi ilmu karena jika ilmu itu kita simpan sendiri, ilmu itu tidak akan mendatangkan manfaat.

DAFTAR PUSTAKA
Khon, Abdul Majid. 2008. Ulumu Hadis. Jakarta: Amzah
Sholahudin Agus dan Agus Suyadi. 2009. Ulumul hadis. Bandung: Pustaka Setia
Syuhbah, Muhammad Abu. “ Sejarah Hidup Imam Hadis- Imam Nasa’i”. Diambil pada pada tanggal 13          September 2017 dari http://www.darulkautsar.net/darulkautsar-net/hadis-online/muqaddimah/sejarah-hidup-imam-hadis-imam-nasai.html

Hakiki , Kiki Muhamad. Sunan Ibnu Majah. Diambil pada pada tanggal 11 Desember 2017 dari http://mhakicky.blogspot.co.id/2011/01/sunan-ibnu-majah_06.html




[1] Agus Sholahudin dan Agus Suyadi, Ulumul hadis, Pustaka Setia, Bandung, 2009, hlm. 243.
[2] Agus Sholahudin dan Agus  Suyadi, Ulumul hadis,Pustaka Setia, Bandung, 2009, hlm. 244.
[3] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2009, hlm. 262-263
[4] Agus Sholahudin dan Agus Suyadi, Ulumul hadis, Pustaka Setia, Bandung, 2009, hlm. 243.
[5] Abdul Majid Khon, UlumulHadis, Amzah, Jakarta, 2009, hlm. 261.
[6] Abdul Majid Khon, UlumulHadis, Amzah, Jakarta, 2009, hlm. 262.
[7] Muhammad Abu Syuhbah, “ Sejarah Hidup Imam Hadis- Imam Nasa’i”, diakses dari http://www.darulkautsar.net/darulkautsar-net/hadis-online/muqaddimah/sejarah-hidup-imam-hadis-imam-nasai.html, pada tanggal 13 September 2017 pukul 19. 49.
[8] Farhan Abdillah, Biografi Imam Hadith Biografi Imam-Nasai, diakses dari https://ittihadulmuslimeen.blogspot.co.id/2016/08/biografi-imam-hadith-biografi-imam-nasai.html, pada tanggal 11 Desember 2017 pukul 21.31.
[9] Muhammad Abu Syuhbah, “ Sejarah Hidup Imam Hadis- Imam Nasa’i”, diakses dari http://www.darulkautsar.net/darulkautsar-net/hadis-online/muqaddimah/sejarah-hidup-imam-hadis-imam-nasai.html, pada tanggal 13 September 2017 pukul 19. 49.
[10] Agus Sholahudin dan Suyadi, Ulumul hadis, Pustaka Setia, Bandung, 2009, hlm. 239.
[11] Abdul Majid Khon, UlumulHadis, Amzah, Jakarta, 2009, hlm. 264.
[12] Kiki Muhamad Hakiki, Sunan Ibnu Majah, diakses dari http://mhakicky.blogspot.co.id/2011/01/sunan-ibnu-majah_06.html, pada tanggal 11 Desember 2017 pukul 21.47.