KAMPANYE ISLAMI
Pada musim-musim kampanye, Perhatian masyarakat sering tertuju aksi-aksi
kebolehan dan acrobat partai politik. Aneka macam orasi berseliwan dari satu
panggung ke panggung yang lain, begitu seterusnya, semua sama, ingin dipercaya
sebagai pengemban amanat perjuangan rakyat.
Partai politik mengenalkan berbagai atribut dan mereka benar-benar
antusias turut serta merasakan pesta demokrasi yang terjadi lima tahun sekali.
Kampanye, sejak awal tak lain merupakan sebuah sarana pendidikan politik
bagi masyarakat sipil, karena pada saat partai-partai politik akan
mempromosikan visi dan misi dan program-program partai secara transparan kepada
khalayak umum.
Partai yang berhasil meyakini masyarakat melalui kampanye, maka dengan
mudah akan mendapat dukungan dari rakyat, tujuan pokok partai politik itu
sendiri sering mengabaikan janji-janji pada saat dia kampanye, seperti yang
kita lihat seringkali para politisi memprovokasi dan bahkan membodohi
masyarakat kurang mengerti tentang dunia politik.
Dalam sebuah haditsnya beliau bersabda “barang siapa menafsirkan
al-Qur’an tanpa adanya pengetahuan, maka persiaplah tempatnya dineraka”. Tujuan
ayat tersebut ialah untuk mempermudahkan, memperkuat dalil (argumentasi) yang
tidak akan pernah dilakukan jika tidak karena kepentingan tertentu, sekalipun
tujuan yang akan dianggap atau digapai dapat dibenarkan. Dengan terlaksana
perjalanan kampanye dalam suatu partai menurut islam, agar memperindah retorika
pembicaraan untuk membuat pendengar, terpesona dan memberikan dari informasi
misi dan visi yang dibawa ke depan para politisi dari partai tersebut dimana
suara rakyat itu sebagai penyalur inspirasinya. Dimana pada setiap pelaksanaan
pemilu para aktor politik semestinya menerbitkan
atau menitikberatkan kampanye pada aspek pendewasaan dan pemberdayaan politik
rakyat.
Ada tiga metode yang Allah tawarkan kepada nabi-Nya untuk dilaksanakan
ketika pengembangan dakwahnya
1. Metode Hikmah
Dimana seorang nabi dianjurkan menggunakan pendekatan
nalar atau retorika ilmiah dikala berhadapan dengan komunitas tertentu yang
bisa menemukan hakikat kebenaran melalui kaidah-kaidah keilmuwan yang miliki
itu.
2. Metode Mau’idzah Hasanah
Nabi mengajak orang-orang kafir saat itu melalui
penyampaian pelajaran-pelajaran atau pesan-pesan yang baik.
3. Metode teknik Mujadalah (dialogis)
Dalam hal ini tidak sekedar dakwah secara menolong,
tetapi melakukan dialog, debat dengan para audien dengan cara yang bijaksana.
Dari ketiga metode tersebut tidak lepas dari dakwah, jika dihubungan
dengan masa kita sekarang, dimana sekarang sedang marak-maraknya para jurkam
atau orator berburu simpati masyarakat diatas panggung tentu ada
pelajaran-pelajaran tersendiri yang bisa dipetik.
A. Politik kepemimpinan dalam Islami
- Model pemimpin
Masalah pemimpin dalam Islam merupakan salah satu
masalah yang gampang-gampang sulit, gampang karena pada hakikatnya setiap orang
menurut ajaran Islam adalah pemimpin. Pemimpin secara luas dalam artian
pemimpin umat dalam birokrasi lebih sulit.
Pemimpin dalam konteks ini biasanya terdiri dari
pemimpin informal dan pemimpin formal, para pemimpin informal yakni pemimpin
yang tidak memerlukan surat pengangkatan. Sebaliknya pemimpin formal yakni pemimpin
yang diangkat dan dikukuhkan.
Pemimpin informal menjadi pemimpin karena didaulat
oleh masyarakat atas dasar adanya kelebihan-kelebihan tertentu dari orang yang
menjadi idola mereka antara lain:
1. Memiliki gerak dan wibawa yang besar
2. Teguh pendirian
3. Mampu memberikan petunjuk kepada umat dan mampu memberikan
teladan yang baik
4. Berakhlak mulia dan terpuji
5. Hidup sederhana
Seorang pemimpin formal itu terbuka untuk menerima
kritik dan nasehat dari pihak lain. Hal
ini karena filsafat kepemimpinan dalam Islam harus mau dikritik dan diberi
peringatan dapat menjalankan kepemimpinannya secara bertanggung jawab dan
efektif.
- Pemimpin yang baik
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau mendengar kritik,
memperhatikan kritik bukan mencari siapa pengkritik.
Ali bin Abi Thalib dalam salah satu wejangan kepada
pejabat yang diangkat untuk memimpin umat selalu memberikan apa yang diucapkan
(kritik) orang kepadanya bukan mencari data siapa yang melontarkan kritik.
Ajaran Islam sepanjang tuntunan al-qur’an melarang
politik-politik yang menyangkut pribadi seseorang, tetapi tidak melarang kritik
terhadap orang yang dzalim atau
pemberitaan terhadap orang-orang yang kena zalim sebagaimana ditegaskan oleh
Allah dalam firmannya: Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (seperti) memakai
mencela atau menerangkan keburukan orang lain yang diucapkan dengan terus
terang kecuali oleh orang yang teraniaya kena dzalim.
- Sikap Adil
Adil secara bahasa adalah bersikap sama rata dan sama
tengah dan tidak berpihak kepada yang satu dan meremehkan pihak yang lain.
Pengertian adil yang dikembangkan kemudian merupakan merupakan arti “meletakkan
sesuatu pada tempatnya” secara umum yang sering dipersoalkan supaya sikap adil
itu dalam tindakan dan perbuatan. Tetapi Allah swt memberikan perintahnya dalam
al-Qur’an kalau adil itu dalam perkataan, keadilan yang diperintahkan Allah swt
melalui ayat 152 surat al-an’am mempunyai sifat umum serta sifat khusus.
“Sesungguhnya allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan”.
Keadilan itu diharapkan dari seorang hakim, saksi dan
lain-lain juga Allah mengharapkan agar keadilan itu diberlakukan pula terhadap
keluarga sendiri, sikap adil itu harus dijalankan, keadilan dalam Islam memang
merupakan hal yang fundamental karena Allah menciptakan alam ini pun atas dasar
adil. Cambuk bagi orang untuk berbuat adil pula dalam tindakan perbuatannya
secara konsisten.
Dalam hubungan dengan pengaturan dan penataan
masyarakat adil itu sangat didambakan oleh golongan lemah kemakmuran tanpa
penerapan keadilan maka kemakmuran yang ada
itupun lenyap.
Dari ketiga metode jurkam hendaknya menyampaikan pesan
kampanye politik sesuai dengan Islam karena facta dilapangan menunjukkan bahwa
masyarakat awam sangat mudah diprovokasi dan jelas hal itu tidak dibenarkan
karena merugikan orang lain. Kampanye adalah efektivitas penyampaian politik
sebagai kampanye alternatif.
B. Awal munculnya partai-partai
Periode utsman telah berlalu dan ditelah dibaiat
menjadi khalifah oleh massa yang dipelopori
oleh revolusioner yang telah melakukan gerakan-gerakan yang seperti
disebutkan.
Pada periode kedua teori ini berkembang minoritas
yaitu mereka yang ditemukan suatu bentuk kebenaran sehingga mereka absen dari
pembaitan, menjauhi massa, tidak ikut serta dalam fitnah sehingga mereka
berpendapat bahwa keadaan semestinya terang dulu sebelum mulai memikirkan
persoalan khalifah. Munculnya partai-partai dikarenakan perbedaan teori pada
pemikiran seseorang. Dan setiap masyarakat mempunyai pengalaman dari
masalah-masalah sebelumnya. Ada pemahaman baru kita dalam memilih yang hendak
kita inginkan dalam arti sebelum pemilihan umum. Pelaksanaan pemilu sangatlah
penting sebagai upaya untuk memperbaiki sebuah tata pemerintahan ditengah
ambruk nasib rakyat Indonesia terutama yang berkenaan dengan siapa yang akan
menjadi presiden ini. Penting diapresiasikan. Lantaran krisis kepemimpinan
diduga sebagai pangkal utama munculnya krisis lain sebagai sector kehidupan
masyarakat. Sikap apatis masyarakat sebagian masyarakat tidak dapat dibendung
lagi sebagai ungkapan protes yang berangkat dari hati nurani yang sangat dalam.
Selaku wakil rakyat seharusnya mereka gigih
memperjuangkan kepentingan dan aspirasi rakyat sebagai konstituantenya. Akan
tetapi, yang terjadi malah kontra produktif, menguras uang Negara demi
kepentingan pribadi dan kelompok menjadi rutinitas yang dipertontonkan diatas
kepedihan rakyat yang selalu mendambakan kesejahteraan dan keadilan. Merasakan
pengalaman pemilu seperti mungkin masih dalam konteks kewajaran. Jika
masyarakat merasa kecewa dan kekecewaan itu berdampak lebih jauh lagi yaitu
sikap memboikot diri untuk tidak ikut.
Dalam pandangan islami berpartisipasi dalam pemilu
dapat digolongkan sebagai sebentuk kesaksian (syahadah) alasannya secara
formal mencoblos adalah hak setiap warga Negara untuk mewakili aspirasinya.
Dalam hal ini standar reputasi tidaklah ditentukan
oleh kedekatan seseorang terhadap sosok figur tertentu, sebagaimana reputasi
juga tidak bisa diukur dari faktor genetik (keturunan) tetapi yang dinilai
adalah faktor genetik kehadiran mereka secara nyata ditengah masyarakat. Dalam
rangka memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka.
Menilai suatu partai politik, moralitas juga harus
dijadikan barometer utama. Artinya sejauh mana keterlibatan tersebut selama
didalam mengawal hak-hak masyarakat pendukungnya.
Apalagi hanya faktor lembaga mana yang membidani
kelahiran sebuah partai sama sekali tidak dapat dijadikan patokan untuk
mengatakan baik dan buruk suatu partai. Dan kita harus optimis bahwa pemilu
adalah ajang kampanye dari suatu partai untuk menentukan hitam putihnya suatu
nasib bangsa dan Negara kedepan, oleh karenanya partisipasi dalam pesta
demokrasi tanpa sikap panatisme berlebihan adalah syarat utama untuk membangun
masa depan yang lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr. H. Abu
Yasid, ll. M. Fiqih Today. Erlangga. Jakarta. 13740.
Dr. M. Dhiauddin
Rais, Teori politik Islam. Gema Insani. Jakarta. 2001.
Drs. H. Basri
Iba Asghany. Sosial Politik Budaya. PT. Rineka Cipta. Jakarta. 1994
No comments:
Post a Comment