Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga
kami mampu menyelesaikan Makalah ini. Dalam proses penyusunan tugas ini kami
menemui beberapa hambatan, namun berkat dukungan materil dari berbagai pihak,
akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan cukup baik. Oleh karena itu,
melalui kesempatan ini kami menyampaikan terimakasih kepada semua pihak terkait
yang telah membantu terselesaikannya tugas ini.
Penulis menyadari bahwa tugas ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
membangun dari semua pihak terutama dari dosen pengampuh sangat kami harapkan
demi perbaikan pada tugas selanjutnya. Harapan kami semoga tugas ini bermanfaat
khususnya bagi kami dan bagi pembaca lain pada umumnya.
Bengkulu, Juni 2018
Penyusun,
Conten
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Zakat, yang secara harfiah berarti
tambah (al-ziyadah), berkembang, tumbuh (an-nuwuw), bersih (al-tazkiyah) dan
suci (al-thaharah), ialah nama atau sebutan bagi sebagian harta tertentu yang
dikeluarkan untuk orang-orang tertentu, menurut aturan dan dengan ukuran-ukuran
yang tertentu pula.
Zakat
disyari’atkan pada tahun kedua atau tahun ketiga Hijriah. Dalam hal ini
terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Ada yang menyatakan
pensyari’atan zakat lebih dahulu dari pada puasa; dan ada pula yang menyatakan
sebaliknya, yakni pensyari’atan puasa lebih dahulu dari pada pensyari’atan
zakat. Karenanya mudah dimengerti jika posisi zakat terkadang diletakkan
sebagai rukun Islam ketiga, tetapi pada kesempatan yang lain sering pula
dinyatakan sebagai rukun Islam keempat.
Lepas
dari perbedaan pendapat yang ada, yang pasti zakat merupakan rukun Islam yang
tidak boleh diabaikan. Bila kita simak dengan seksama ayat-ayat suci al-Qur’an
terdapat 82 ayat tentang zakat yang langsung dikaitkan dengan perintah shalat.
Sehingga dalam rukun Islam, zakat menempati posisi penting ketiga setelah
syahadat dan shalat.
Cukup
banyak ayat al-Qur'an dan matan Hadits yang memerintahkan kaum muslimin supaya
mengeluarkan zakat, dan tidak sedikit pula ayat dan Hadits Nabi Muhammad SAW
yang mengancam orang-orang yang mengingkari kewajiban zakat.
Dalam
makalah ini akan dibahas ayat-ayat hukum tentang zakat, terutama ayat yang
bertalian dengan perintah berzakat dan orang-orang yang berhak menerima zakat,
yaitu Surat al-Taubat ayat 60 dan 103, Surat al-An’am ayat 141
BAB II
PEMBAHASAN
“ TAFSIR AYAT TENTANG ZAKAT “
A. Surat
al-Taubat [9]: 60
* $yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pkön=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏBÌ»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpÒÌsù ÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ
1.
Terjemah Ayat
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS.
al-Taubat [9]: 60)
2.
Tafsir Mufradat
a.
الصدقات: zakat wajibah berlaku dalam bentuk uang
tunai dan binatang ternak, maupun tanam-tanaman dan perdagangan/perniagaan.
Hanya saja, seperti akan diuraikan nanti dalam penjelasan ayat, terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai apa yang dimaksud dengan sedekah
pada ayat ini, apakah sedekah wajib atau termasuk di dalamnya sedekah
tathawwu’.
b.
الفقرآء: jamak dari فقير yaitu orang yang berpenghasilan tidak tetap lagi kecil (tidak
mencukupi) penghasilannya.
c.
المساكين: jamak dari مسكين, yang berasal dari kata سكن - يسكن artinya: hilang kegiatannya, karena
menggantungkan kehidupannya kepada manusia. Miskin yaitu orang yang memiliki
penghasilan tetap, tetapi penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan hidupnya.
d.
العاملين: orang atau panitia/badan yang mengurusi penerimaan dan
penyaluran zakat/sedekah, terutama yang diangkat oleh ulil amri (pemerintah)
e.
المؤلفة قلوبهم: orang-orang yang diharapkan hatinya condong (melirik) kepada
Islam atau berketetapan dalam agama Islam yang dianutnya.
f.
الرقاب: pemerdekaan budak. Kata الرقاب adalah bentuk jamak dari kata raqabah yang
pada mulanya berarti “leher”. Makna ini berkembang sehingga bermakna “hamba
sahaya” karena tidak jarang hamba sahaya berasal dari tawanan perang yang saat
ditawan, tangan mereka dibelenggu dengan mengikatnya ke leher.
g.
الغارمين: orang yang berhutang (debitur) yang tidak mampu membayar
hutangnya.
h.
سبيل الله: jalan/sarana yang mengantarkan penggunanya menuju ridha Allah
dan pahala dari-Nya; dan yang dimaksud dengannya adalah setiap orangyang
melakukan aktivitas (kegiatan) yang masuk ke dalam kategori mentaati Allah
seperti untuk membiayai peperangan, haji dan lain sebagainya.
i.
إبن السبيل: musafir yang kekurangan/kehabisan bekal di perjalanan yang
relatif cukup jauh, yang mengalami kesulitan meskipun di kampung halamannya dia
tergolong orang yang berada.
j.
فرضة من الله: Yakni Allah telah menetapkan ketentuan yang demikian itu
sebagai suatu kewajiban yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun.
3.
Sabab an-Nuzul Ayat
Banyak riwayat tentang sebab turunnya ayat ini, yang menceritakan
kisah–kisah tertentu mengenai orang-orang tertentu yang mencela keadilan
Rasulullah SAW dalam pendistribusian zakat ini.
Salah satunya adalah: Imam Bukhari dan an-Nasa’i meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ra. ia berkata, “ketika Nabi melakukan pembagian zakat, tiba-tiba datanglah Dzul Huwaishir at-Tamimi kepada beliau lalu berkata, ‘Yang adillah wahai Rasululah!’ Kemudian beliau bersabda, ‘Celakalah kamu! Siapakah yang berbuat adil kalau aku tidak berbuat adil?’ Kemudian Umar ibn Khattab berkata, ‘Izinkanlah aku untuk memenggal kepalanya!’ Rasulullah bersabda, ‘Biarkanlah dia! Sesungguhnya dia mempunyai kawan-kawan yang salah seorang dari kamu meremehkan shalatnya bersama shalat mereka, dan puasanya bersama puasa mereka. Mereka lepas dari agama sebagaimana anak panah lepas dari busur…’ Maka, mengenai mereka turunlah ayat, ‘Di antara mereka ada yang mencelamu tentang (pemberian) zakat.”
Salah satunya adalah: Imam Bukhari dan an-Nasa’i meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ra. ia berkata, “ketika Nabi melakukan pembagian zakat, tiba-tiba datanglah Dzul Huwaishir at-Tamimi kepada beliau lalu berkata, ‘Yang adillah wahai Rasululah!’ Kemudian beliau bersabda, ‘Celakalah kamu! Siapakah yang berbuat adil kalau aku tidak berbuat adil?’ Kemudian Umar ibn Khattab berkata, ‘Izinkanlah aku untuk memenggal kepalanya!’ Rasulullah bersabda, ‘Biarkanlah dia! Sesungguhnya dia mempunyai kawan-kawan yang salah seorang dari kamu meremehkan shalatnya bersama shalat mereka, dan puasanya bersama puasa mereka. Mereka lepas dari agama sebagaimana anak panah lepas dari busur…’ Maka, mengenai mereka turunlah ayat, ‘Di antara mereka ada yang mencelamu tentang (pemberian) zakat.”
4.
Munasabah Dengan Ayat Sebelumnya
Setelah Allah SWT menyebutkan celaan orang-orang munafik tentang
pembagian zakat dalam ayat 58-59 al-Taubah, Dia mengiringinya dengan keterangan
mengenai kebenaran pembagian zakat yang dilakukan oleh Rasululah SAW, karena
dalam pembagian zakat kepada golongan yang disyari’atkan, beliau tidak melampaui
batas, yaitu asas keadilan. Yang demikian itu adalah bahwa Allah SWT
mensyari’atkan pembagian zakat itu kepada golongan-golongan tersebut, Dia tidak
mewakilkan pembagian tersebut kepada seorang pun selain kepada Rasulullah SAW,
dan beliau tidak mengambil sedikit pun dari zakat itu untuk dirinya sendiri.
Maka dalam hal apakah celaan tersebut ditimpakan kepada orang yang melakukan
pembagian zakat, yakni Rasulullah SAW?
Jadi ayat di atas merupakan bantahan terhadap ucapan para pencela itu, merupakan pemutus ketamakan mereka, dan menerangkan bahwa mereka jauh dari hak menerima pembagian zakat, dan merupakan pemberitahuan tentang orang-orang yang apabila mereka diberi bagian zakat adalah merupakan bagian keadilan, dan apabila mereka tidak diberi bagian merupakan kezaliman.
Jadi ayat di atas merupakan bantahan terhadap ucapan para pencela itu, merupakan pemutus ketamakan mereka, dan menerangkan bahwa mereka jauh dari hak menerima pembagian zakat, dan merupakan pemberitahuan tentang orang-orang yang apabila mereka diberi bagian zakat adalah merupakan bagian keadilan, dan apabila mereka tidak diberi bagian merupakan kezaliman.
5.
Penjelasan Pokok Kandungan Ayat
Kata ” انما” –adat hashr- pada ayat di atas menunjukkan bahwasanya sedekah
itu (pembagiannya) terbatas hanya kepada delapan kelompok penerima zakat
(mustahiq); tidak boleh untuk dibagikan kepada selain mereka. Hanya saja, di
masa-masa Islam, kata sedekah itu bisa mencakup zakat wajib dan sedekah sunnah
sekaligus. Karenanya, mudah dimengerti jika di kalangan para ulama terdapat
perselisihan pendapat dalam menafsirkan kata الصدقات pada ayat di atas. Bahwa yang dimaksud di
dalamnya adalah “al-zakat al-wajibah”, itu telah menjadi konsensus (ijma’)
mereka. Namun di balik itu mereka berlainan persepsi ketika dihadapkan pada
pertanyaan: adakah dalam ayat tersebut termasuk juga sedekah mandubah (sunah)?
Sebagian mereka memasukkan sedekah sunnah ke dalam ayat tersebut;
sementara sebagian yang lain tidak memasukkannya. Orang yang memasukkan sedekah
mandubah ked lam makna ayat tersebut, melihat bahwa lafal الصدقات di sini
bersifat umum, tidak dibatasi hanya dalam sedekah wajib, yaitu zakat.
Karenanya, memasukkan sedekah sunnah ke dalamnya merupakan suatu hal yang
sangat wajar. Bahkan, demikian ujar mereka lebih lanjut, pengertian yang
langsung diperoleh dari ayat ini menunjuk kepada sedekah-sedekah
mandubah.
Adapun mereka yang berpendirian bahwa yang dimaksud dengan الصدقات di
sini adalah zakat-zakat wajibah, mereka mendalilkan argumentasinya pada
alasan-alasan berikut:
1)
Alif-Lam/
al ( ال
) yang terdapat pada kata الصدقات itu adalah “al li al-‘ahl al-dzikri”, yang maksudnya adalah
sedekah-sedekah wajib (al-shadaqat al-wajibah) yang telah Allah tunjukkan pada
ayat yang sebelumnya, yakni ayat “وَمِنْهُمْ مَن
يَلْمِزُكَ فِيْ الصَّدَقَاتِ “
(al-Taubat: 58)
2)
Sedekah-sedekah
yang mandubah, pentasarrufan (penyalurannya) boleh-boleh saja diberikan kepada
selain delapan ashnaf di atas, menurut kesepakatan kaum muslimin, seperti
membangun masjid, pengurusan jenazah, pemberian beasiswa dan lain-lain
kepentingan umum.
3)
Allah
SWT menjadikan atau menempatkan ‘amilin (panitia zakat) sebagai salah satu
kelompok yang berhak mendapatkan bagian zakat wajibah, sesuatu yang tidak
pernah dikenal keberadaannya dalam rangkaian pembagian sedekah-sedekah
mandubah.
4)
Allah
SWT menetapkan الصدقات di sini dengan menggunakan redaksi “lam al-tamlik” bagi
kelompok delapan yang berhak menerimanya; dan karenanya perlu diingat, bahwa
sedekah-sedekah yang kepemilikannya diberikan kepada mereka itu hanyalah
zakat-zakat wajibah.
Berbarengan
dengan itu para ulama juga berlainan pendirian dalam menjawab pertanyaan apakah
pembagian zakat itu harus diratakan kesemua delapan kelompok di atas, atau
boleh diberikan kepada kelompok-kelompok tertentu saja dari delapan ashnaf
penerima zakat di atas?. Menurut sebagian mereka –di antaranya al-Syafi’i- penyerahan
zakat harus diberikan kepada semua kelompok yang ada, tidak boleh hanya
diberikan kepada sebagian kelompok saja. Tetapi menurut pendapat kedua, di
antaranya dipegang oleh Abu Hanifah, Malik dan lain-lain, boleh-boleh saja
pembagian itu diprioritaskan kepada kelompok-kelompok tertentu yang lebih
membutuhkan, sesuai dengan kebijakan ulil amri yang berhak menilai kelompok
mana saja yang lebih berhak.
Ayat ini merupakan dasar pokok menyangkut menyangkut kelompok-kelompok yang berhak mendapat zakat. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami masing-masing kelompok. Secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut:
Ayat ini merupakan dasar pokok menyangkut menyangkut kelompok-kelompok yang berhak mendapat zakat. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami masing-masing kelompok. Secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut:
Dua kelompok
pertama dan kedua adalah fuqara’ dan masakin. Ulama bahasa demikian juga fiqh
berbeda pendapat tentang makna fakir dan miskin. Ada sembilan pendapat yang
dikemukakan oleh al-Qurthubi di dalam tafsirnya. Salah satu di antaranya ialah:
fakir adalah yang butuh dari kaum muslimin dan miskin adalah orang yang butuh
dari Ahl al-Kitab (Yahudi dan Nasrani). Betapapun ditemukan aneka pendapat,
namun yang jelas, fakir dan miskin keduanya membutuhkan bantuan karena
penghasilan mereka tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.
Para ulama –
berdasar sekian banyak teks keagamaan – menetapkan sekian syarat bagi fakir dan
miskin yang berhak menerima zakat. Salah satu di antaranya ialah ketidakmampuan
mencari nafkah. Tentu saja ketidakmampuan tersebut mencakup sekian banyak
penyebab, baik karena tidak ada lapangan kerja, maupun kualifikasi atau
kemempuan yang dimilikinyatidak memadai untuk menghasilkan kecukupannya bersama
siapa yang berada dalam tanggungannya.
Kelompok
ketiga, adalah al-‘Amilun, mereka adalah orang-orang yang oleh pihak yang
berwenang diberi kepercayaan untuk menangani pemungutan dan penyaluran zakat,
termasuk di dalamnya para karyawan yang dipekerjakan untuk itu, dalam istilah
sekarang semisal BAZIS (Badan Amil Zakat, Infak dan Shadakah) dan lain
sebagainya. Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa jumlah pemberian yang boleh
diterima mereka, sebagian menyatakan seperdelapan, ada juga yang menyerahkan
pada kelayakan menurut penilaian pihak yang berwenang. Karenanya, ada sebagian
ulama yang mengambil pemahaman dari firman Allah SWT ”wa al-‘amilina ‘alayha”
ini sebagai suatu kewajiban bagi ulil amri untuk membentuk badan atau lembaga
yang khusus menangani ihwal zakat dan shadakah.
Kelompok
keempat, adalah al-mu’allafah qulubuhum, yaitu suatu kaum kafir yang terdapat
di awal permulaan Islam. Terdapat perbedaan pendapat dalam menafsirkan
al-mu’allafah qulubuhum. Sebagian mengatakan, mereka adalah orang-orang kafir
yang oleh Nabi dibujuk hatinya supaya menganut agama Islam; mereka tidak mau
masuk ke dalam Islam kecuali dengan mendapatkan pemberian harta. Pendapat lain
menyebutkan, mereka adalah orang-orang yang secara lahiriah-formal mengaku diri
min al-muslimin, tetapi dalam prakteknya, keislaman mereka belum baik. Ada pula
yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang
telah memeluk agama Islam; di samping ada pula yang menafsirkan al-mu’allafah
qulubuhum dengan pemuka-pemuka kaum musyrikin yang diperlunak hatinya oleh Nabi
dengan pemberian.
Kelompok
kelima. ialah untuk memerdekakan budak. Hanya saja, di zaman sekarang ini
secara formal sistem perbudakan ini sudah tidak ada lagi, dan karenanya maka
tidak penting dibahas panjang lebar di sini.
Kelompok keenam, al-gharimin. Secara lughawi, kata al-gharam berarti ketetapan atau keharusan (al-luzum). Adapun yang punya hutang itu dinamai al-gharim ialah karena dia dibebani kewajiban untuk membayar hutangnya. Lahiriah ayat ini mengisyaratkan bahwa orang yang punya hutang, boleh diberi zakat secara mutlak, apakah dia memiliki kesanggupan untuk membayar hutangnya atau tidak, dan apakah hutang itu dilakukan untuk kepentingan dirinya atau orang lain, serta apakah hutang itu digunakan untuk kemaksiatan atau tidak. Akan tetapi para ulama Hanafiah mengkhususkan kata al-gharim untuk sebutan bagi orang-orang yang tidak memiliki harta minimal saru nishab di luar hutang yang dimilikinya. Alasannya, kata mereka, sabda Rasulullah SAW yang menyatakan, “ و اردها في فقرآئكم “ yang pada intinya menunjukkan bahwa sedekah tidak boleh diberikan kepada siapa pun kecuali kepada orang-orang fakir.
Kelompok keenam, al-gharimin. Secara lughawi, kata al-gharam berarti ketetapan atau keharusan (al-luzum). Adapun yang punya hutang itu dinamai al-gharim ialah karena dia dibebani kewajiban untuk membayar hutangnya. Lahiriah ayat ini mengisyaratkan bahwa orang yang punya hutang, boleh diberi zakat secara mutlak, apakah dia memiliki kesanggupan untuk membayar hutangnya atau tidak, dan apakah hutang itu dilakukan untuk kepentingan dirinya atau orang lain, serta apakah hutang itu digunakan untuk kemaksiatan atau tidak. Akan tetapi para ulama Hanafiah mengkhususkan kata al-gharim untuk sebutan bagi orang-orang yang tidak memiliki harta minimal saru nishab di luar hutang yang dimilikinya. Alasannya, kata mereka, sabda Rasulullah SAW yang menyatakan, “ و اردها في فقرآئكم “ yang pada intinya menunjukkan bahwa sedekah tidak boleh diberikan kepada siapa pun kecuali kepada orang-orang fakir.
Kelompok
ketujuh, sabil Allah. Abu Hanifah, Malik dan al-Syafi’i berkata bahwa bagian
sabil Allah yang tersebut dalam ayat di atas, diberikan kepada tentara atau
para pejuang yang tidak mendapatkan pembayaran (honorarium) dari departemen
yang bersangkutan. Sedangkan menurut Ahmad bin Hanbal, menurut riwayat yang
paling shahih, saham sabil Allah boleh diberikan kepada orang-orang yang mau
haji tetapi mereka tidak mempunyai biaya.
Jumhur ulama
berpendirian bahwa ibadah haji memang dapat dikategorikan ke dalam sabil Allah,
tetapi ayat di atas lebih tepat diartikan ke dalam peperangan seperti yang
telah dikemukakan.
Sebagian kalangan ulama Hanafiah menafsirkan kata sabil Allah dengan menuntut ilmu. Bahkan lebih dari itu bisa juga ditafsirkan dengan segenap kegiatan yang mengandung nilai positif seperti untuk mengkafani mayat, membangun jembatan, ta’mir masjid dan lain sebagainya. Alasannya, kata mereka karena firman Allah “Wa fi sabil Allah”, bersifat umum, mencakup semuanya.
Sebagian kalangan ulama Hanafiah menafsirkan kata sabil Allah dengan menuntut ilmu. Bahkan lebih dari itu bisa juga ditafsirkan dengan segenap kegiatan yang mengandung nilai positif seperti untuk mengkafani mayat, membangun jembatan, ta’mir masjid dan lain sebagainya. Alasannya, kata mereka karena firman Allah “Wa fi sabil Allah”, bersifat umum, mencakup semuanya.
Kelompok
kedelapan, Ibn al-sabil. Yang dimaksud dengan firman Allah Ibn al-sabil ialah
musafir, yaitu orang yang meninggalkan kampung halaman dan menuju tempat yang
relatif jauh, tapi kemudian ia mengalami kekurangan biaya hidup di perjalanan
tersebut. Orang yang seperti ini, berhak menerima pemberian zakat meskipun di
kampung halamannya sendiri tergolong orang berada.
Berkenaan
dengan soal ini, al-Sayis mengemukakan bahwa ibn al-sabil yang layak diberi
sedekah ialah orang yang melakukan perjalanannya bukan untuk kemaksiatan, dan
dia tidak akan sampai ke tempat tujuan tanpa bantuan dari sedekah itu. Demikian
kelompok-kelompok orang-orang yang butuh lagi perlu mendapat uluran tangan dari
mereka yang mampu.
õè{
ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ª!$#ur ììÏJy íOÎ=tæ ÇÊÉÌÈ
1.
Terjemah Ayat
“Ambillah zakat
dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS. al-Taubat [9]: 103)
2.
Tafsir Mufradat
a.
من : kata min dalam firman Allah SWT خذ من أموالهم صدقة
berarti بعض
(sebagian).
b.
تطهرهم: artinya dengan sedekah itu kamu
membersihkan mereka (dari daki-daki keterbelakangan yang melumuri mereka dan
dari sifat cinta harta yang menyebabkan keterbelakangan).
c.
تزكيهم: artinya dengan sedekah itu kamu mensucikan mereka (dari
seluruh perangai tercela yang ditimbulkan oleh harta).
d.
وصل عليهم: artinya berbelas kasih-lah kepada mereka dan mintalah rahmat
dari Allah untuk mereka.
e.
إن صلاتك سكن لهم: artinya sesungguhnya doamu itu membuat
jiwa mereka menjadi tenteram, hati mereka menjadi tenang, dan mereka percaya
bahwa Allah SWT menerima taubat mereka.
3.
Munasabah Dengan Ayat Sebelumnya
Mereka yang
mengakui dosanya sewajarnya dibersihkan dari noda, dan karena sebab utama
ketidakikutan mereka ke medan juang adalah ingin bersenang-senang dengan harta
yang mereka miliki, atau disebabkan karena hartalah yang menghalangi mereka
berangkat, maka ayat ini memberi tuntunan tentang cara membersihkan diri, dan
untuk itu Allah SWT memerintahkan Nabi SAW mengambil harta mereka untuk
disedekahkan kepada yang berhak. Demikian lebih kurang Thahir Ibnu ‘Asyur
sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab dalam tafsirnya menghubungkan ayat
ini dengan ayat sebelumnya.
Dapat juga
dikatakan, bahwa ayat yang lalu berbicara tentang sekelompok orang yang imannya
masih lemah, yang mencampurbaurkan amal baik dan buruk dalam kegiatannya.
Mereka diharapkan dapat diampuni Allah. salah satu cara pengampunan-Nya adalah
melalui sedekah dan pembayaran zakat.
4.
Penjelasan Pokok Kandungan Ayat
a.
Dikatakan
orang bahwa yang diperintahkan untuk diambil dalam ayat tersebut adalah zakat,
dan bahwa kata min dalam ayat tersebut berarti “sebagian”. Mereka –para
sahabat- hendak menyedekahkan seluruh harta mereka, maka Allah memerintahkan
Rasulullah SAW untuk mengambil sebagian dari harta mereka (sebagai pertanda)
bagi taubat mereka, karena zakat itu tidak diterima dari sebagian orang-orang
munafik. Dengan demikian ayat tersebut berkaitan dengan ayat sebelumnya.
b.
Pendapat
lain menyatakan bahwa yang diperintahkan untuk diambil dalam ayat ini bukanlah
sedekah yang difardhukan itu (zakat). Akan tetapi setelah mereka bertaubat,
mereka hendak memberikan seluruh harta mereka sebagai kafarat bagi dosa yang telah
mereka kerjakan. Maka Allah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengambil
sebagian dari harta mereka, yaitu sepertiga. Pendapat ini diriwayatkan dari
al-Hasan, dan pendapat inilah yang terpilih di kalangan para ulama.
c.
Ulama
mengemukakan dalil sunatnya mendoakan orang yang bersedekah dengan firman Allah
SWT: وصل عليهم (dan berdo’alah untuk mereka). Asy-Syafi’i berkata: “sunat bagi
seorang imam mendoakan orang yang bersedekah apabila ia memungut sedekah,
seraya berkata:
أجرك
الله فيما أعطيت وجعله طهورا وبرك لك فيما أبقيت
“Semoga Allah memberi pahala kepadamu dari apa yang kamu berikan, semoga Dia menjadikannya sebagai penyuci (dosa-dosamu), dan semoga Dia melimpahkan berkah kepadamu pada harta yang masih kusimpan.”
“Semoga Allah memberi pahala kepadamu dari apa yang kamu berikan, semoga Dia menjadikannya sebagai penyuci (dosa-dosamu), dan semoga Dia melimpahkan berkah kepadamu pada harta yang masih kusimpan.”
d.
Ayat
tersebut menunjukkan kebolehan membaca shalawat kepada selain para Nabi secara
bebas.
e.
Mengenai
rahasia do’a Nabi SAW merupakan ketenteraman bagi mereka adalah bahwa jiwa
beliau adalah jiwa yang kuat, bercahaya, jernih dan luhur. Maka apabila beliau
mendoakan mereka dan memohonkan kebaikan bagi mereka, meresaplah pengaruh
kekuatan beliau yang bersifat kejiwaan ke dalam jiwa mereka, sehingga lantaran
pengaruh ini bercahayalah jiwa mereka dan jernihlah hati mereka.
*
uqèdur üÏ%©!$# r't±Sr& ;M»¨Yy_ ;M»x©rá÷è¨B uöxîur ;M»x©râ÷êtB @÷¨Z9$#ur tíö¨9$#ur $¸ÿÎ=tFøèC ¼ã&é#à2é& cqçG÷¨9$#ur c$¨B9$#ur $\kÈ:»t±tFãB uöxîur 7mÎ7»t±tFãB 4 (#qè=à2 `ÏB ÿ¾ÍnÌyJrO !#sÎ) tyJøOr& (#qè?#uäur ¼çm¤)ym uQöqt ¾ÍnÏ$|Áym ( wur (#þqèùÎô£è@ 4 ¼çm¯RÎ) w =Ïtä úüÏùÎô£ßJø9$# ÇÊÍÊÈ
1.
Terjemah Ayat
“Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang
tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya,
zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya).
makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan
tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir
miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang yang berlebih-lebihan. (QS. al-An’am [6]: 141)
2.
Tafsir Mufradat
a.
معروشات : berarti disangga oleh tiang-tiang yang kamu buat.
b.
وغير معرشات: berarti dibiarkan begitu saja di
permukaan tanah, tidak disangga oleh tiang.
c.
والنخل: maksudnya: dan Dia menjadikan pohon kurma
yang berbuah sebagai buah-buahan dan makanan.
d.
والزرع : maksudnya: dan menjadikan tanam-tanaman yang menghasilkan
bermacam-macam bahan makanan.
e.
مختلفا أكله : maksudnya: buah dan bijinya
bermacam-macam warna, rasa, ukuran dan baunya.
f.
كلوا من ثمره إذا أثمر : maksudnya: makanlah masing-masing dari
buah-buahan yang disebutkan itu apabila didapat.
g.
وأتوا حقه يوم حصاده : artinya: tunaikanlah haknya pada hari
memetik hasilnya.
3.
Munasabah Dengan Ayat Sebelumnya
Pada ayat yang lalu Allah telah menerangkan bagaimana kaum
musyrikin Mekah dan pemimpin-pemimpin mereka telah mengada-adakan
ketetapan-ketetapan dan peraturan-peraturan yang hanya berdasarkan kemauan dan
keinginan mereka saja bahkan mereka mendakwakan bahwa peraturan-peraturan itu
adalah dari Allah SWT. Hal ini dibantah oleh Allah dengan menegaskan bahwa
peraturan-peraturan itu hanya dibikin oleh setan-setan dari pemimpin mereka
saja, bahwa merekalah bersama sekutu-sekutu mereka yang membikin dan mentaati
peraturan-peraturan itu. Mereka telah tersesat dari jalan yang lurus, dan akan
mendapatkan siksaan yang setimpal dengan dosa-dosa mereka.
Maka pada ayat-ayat ini Allah menjelaskan lagi nikmat dan
kurnia-Nya yang diberikan-Nya kepada hamba-Nya. Seharusnya kurnia yang demikian
besar disambut oleh hamba-Nya dengan bersyukur dan mentaati perintah-Nya,
tetapi kaum musyrikin Mekah menyambutnya dengan mengharamkan dan menghalalkan
nikmat itu dan mengada-adakan dusta terhadap Allah dengan mendakwakan bahwa
peraturan itu adalah dari Allah datangnya.
4.
Penjelasan Pokok Kandungan Ayat
Ayat ini menunjukkan adanya hak orang lain pada harta yang dimiliki
seseorang. Hak itu merupakan kewajiban bagi pemilik harta. Sementara ulama
berpendapat bahwa penggalan ayat di atas menunjukkan kewajiban menunaikan
zakat. Pendapat ini disanggah oleh ulama lain dengan alasan bahwa ayat, bahkan surat
ini turun di Mekah sebelum Nabi SAW berhijrah ke Madinah, sedang zakat baru
diwajibkan setelah Nabi SAW berhijrah ke Madinah.
Kata حصاد (hashad/memetik) dijadian sebagai waktu penunaian kewajiban
atau tuntunan memberi kepada orang lain, karena biasanya memetik hasil tanaman,
bertujuan untuk menghimpun dan menyisihkannya untuk masa datang atau untuk
menjualnya. Alhasil, pemetikan bukan bertujuan memenuhi kepentingan mendesak
untuk dimakan oleh pemilik dan keluarganya pada hari-hari terjadinya pemetikan
itu. Penyisihan tersebut adalah indikator adanya kelebihan pemilik, dan dari
sini lahir kewajiban atau anjuran menyisihkan sebagian untuk orang lain. Di
sisi lain, panen tersebut merupakan bukti konkret adanya kelebihan begi
pemilik.
Dahulu mayoritas ulama membagi jenis-jenis tertentu dari tumbuhan
dan buah-buahan yang wajib dizakati. Imam Malik berpendapat bahwa yang wajib
dizakati hanya yang dapat disimpan dan yang merupakan bahan makanan pokok. Imam
Syafi’i dalam hal ini berpendapat serupa dan menambah satu syarat, yaitu
kering, karena itu buah zaitun –menurutnya- tidak wajib dizakati begitu juga
sayur mayur.
Pendapat tersebut tidak lagi relevan dewasa ini, karena sekian banyak jenis tumbuhan yang tidak dikenal oleh masyarakat Nabi SAW ketika turunnya al-Qur’an, atau tidak produktif ketika itu, tetapi kini sudah merupakan komoditi yang sangat potensial serta menghasilkan keuntungan yang tidak sedikit. Jika yang demikian itu tidak dizakati, maka akan kabur bahkan sirna unsur keadilan yang didambakan ajaran Islam. Dalam hal ini, jika kita berkata bahwa ayat di atas merupakan perintah berzakat, maka itu berarti bahwa paling tidak, jenis tumbuh-tumbuhan yang disebutnya termasuk yang wajib dizakati. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah, bahkan menurut beliau segala hasil bumi apa pun jenisnya harus dizakati, setelah memenuhi syarat-syaratnya.
Pendapat tersebut tidak lagi relevan dewasa ini, karena sekian banyak jenis tumbuhan yang tidak dikenal oleh masyarakat Nabi SAW ketika turunnya al-Qur’an, atau tidak produktif ketika itu, tetapi kini sudah merupakan komoditi yang sangat potensial serta menghasilkan keuntungan yang tidak sedikit. Jika yang demikian itu tidak dizakati, maka akan kabur bahkan sirna unsur keadilan yang didambakan ajaran Islam. Dalam hal ini, jika kita berkata bahwa ayat di atas merupakan perintah berzakat, maka itu berarti bahwa paling tidak, jenis tumbuh-tumbuhan yang disebutnya termasuk yang wajib dizakati. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah, bahkan menurut beliau segala hasil bumi apa pun jenisnya harus dizakati, setelah memenuhi syarat-syaratnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Kata
“sedekah” itu bisa mencakup zakat wajib dan sedekah sunnah sekaligus.
Karenanya, mudah dimengerti jika di kalangan para ulama terdapat perselisihan
pendapat dalam menafsirkan kata الصدقات pada ayat 60 surat al-taubat di atas.
Bahwa yang dimaksud di dalamnya adalah “al-zakat al-wajibah”, itu telah menjadi
konsensus (ijma’) mereka.
2.
Sedekah
itu (pembagiannya) terbatas hanya kepada delapan kelompok penerima zakat
(mustahiq); tidak boleh untuk dibagikan kepada selain mereka.
3.
Yang
berhak menerima zakat itu ialah: 1. Orang fakir, 2. Orang miskin, 3. Amil
(Pengurus) zakat, 4. Muallaf, 5. Memerdekakan budak, 6. Orang berhutang, 7.
Pada jalan Allah (sabilillah), 8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan
maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
4.
Para
ulama mengatakan bahwa yang diperintahkan untuk diambil dalam ayat 103 surat
al-taubah tersebut adalah zakat, dan bahwa kata min dalam ayat tersebut berarti
“sebagian”.
5.
Dalam
surat al-An’am Ayat 141 ini menunjukkan adanya hak orang lain pada harta yang dimiliki
seseorang. Sementara ulama berpendapat bahwa penggalan ayat di atas menunjukkan
kewajiban menunaikan zakat. Pendapat ini disanggah oleh ulama lain dengan
alasan bahwa ayat, bahkan surat ini turun di Mekah sebelum Nabi SAW berhijrah
ke Madinah, sedang zakat baru diwajibkan setelah Nabi SAW berhijrah ke Madinah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jashshash, Al-Imam Abi Bakr Ahmad Al-Razi. 1993. Ahkam
al-Qur’an (juz 1). Beirut: Dar al-Fikr
Departemen Agama RI. 1991. Al-Qur’an dan Tafsirnya.
Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa
Ibnu ‘Arabi, Abu Bakr Muhammad ibn Abdullah. 1984. Ahkam
al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah
Quthb, Sayyid. 2003. Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an: Di Bawah Naungan
Al-Qur’an (jilid. 10), terj. As’ad Yasin, dkk. Jakarta: Gema Insani Press
Rachim, Drs. H. Abdur, dan Drs. Fathony. 1987. Syari’at Islam:
Tafsir Ayat-Ayat Ibadah. Jakarta: Rajawali
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an (jilid 5). Jakarta: Lentera Hati
Suma, Dr. H. Muhammad Amin, M.A., S.H. 1997. Tafsir Ahkam I.
Jakarta: Logos
No comments:
Post a Comment