Al-Bukhari, Paling Unggul di Tengah Kritik
Al-Jami' al-Shahih atau yang dikenal dengan Kitab Shahih al-Bukhari adalah kitab hadis yang menduduki peringkat pertama di antara al-Kutub al-Sittah (enam kitab hadis yang menjadi referensi). Sebab, hadis-hadis dalam kitab Bukhari terbukti secara ilmiah memiliki tingkat validitas yang tinggi.
Walaupun
demikian, beberapa golongan mengkritik, menghujat dan menolak hadis
Bukhari, sebagian atau seluruhnya. Alasan penolakan mereka
bermacam-macam. Ada yang menolak ketidaksempurnaan hadis tersebut, tidak
yakin dengan hukum-hukumnya, ada yang skeptis dengan memandang dari
sifat kemanusiaan al-Bukhari, yaitu manusia biasa, yang bisa salah dan
lalai.
Para ulama’ sepakat menempatkannya pada posisi istimewa. Imam Ibnu Shalah dalam Musthalahul Hadisnya memuji Shahih Bukhari dengan julukan “Kitab paling shahih setelah Al-Qur'an”. Diakui sebagai kitab hadis paling valid. Dan metodologi Imam Bukhari dalam menyeleksi hadis sangat ketat.
Jenius
Imam al-Bukhari dilahirkan pada 13 Syawal 194 Hijrah di Bukhara, di bahagian timur negeri Uzbekistan. Nama lengkapnya Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah.
Perhatiannya
kepada ilmu hadis yang sulit dan rumit itu sudah tumbuh sejak usia 10
tahun, hingga dalam usia 16 tahun beliau sudah hafal dan menguasai
buku-buku seperti al-Mubarak dan al-Waki.
Bukhari diakui terlahir sebagai sosok yang memiliki daya hapal tinggi. Imam al-Dzahabi dalam Siyar a’lam Nubala’ mencatat bahwa Imam al-Bukhari menghafal
seratus ribu hadis shahih, hafal dua ratus ribu hadis yang tidak
shahih. Setiap hadis yang beliau hafal, disertai hafalan sanad
(rangkaian perawi-perawi)-nya. Beliau mampu menghafal hanya dalam waktu
satu kali dengar.
Imam
Bukhari meninggal dunia pada tahun (256) Hijrah, pada malam Sabtu,
malam Hari Raya Idul Fitri. Ketika itu beliau berusia 62 tahun.
Kokoh Dikritik
Di tengah kepakarannya dalam bidang hadis, al-Bukhari tak luput dari para pengkritik. Robert Morey, sarjana teologia, yang pernah menulis buku menghujat Islam Islamic Invasion,
termasuk di antara pengkritiknya. Ia menyerang hadis secara
keseluruhan. Hadis dianggap sebagai buku karangan biasa Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mendistorsi makna hadis-hadis yang dibenturkan sehingga tampak hasil inspirasi subjektif Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa sallam yang diwarnai sifat-sifat tidak baik, seperti perbudakan, jihad, dan kehidupan pribadi Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa sallam terutama dengan istri-istri beliau.
Ignaz
Golziher, orientalis asal Hungaria, salah satu sarjana Barat yang
menggugat keabsahan hadis-hadis Imam Bukhari. Menurutnya, metode
penelitian hadis yang dilakukan Imam Bukhari dan ulama’ salaf lemah.
Alasannya, Imam Bukhari lebih banyak menggunakan metode Kritik Sanad, dan kurang menggunakan metode Kritik Matan. Ia menawarkan metode Kritik Matan saja.
Ada lagi kelompok yang mempermasalahkan hadis yang berbunyi "Tidak ada seorangpun yang akan tetap hidup di atas bumi setelah seratus tahun ini". Hadis ini dinilai maudhu'
karena bertentangan dengan al-Qur'an dan kenyataan. Hadis ini
menurutnya memberi informasi bahwa hari Kiamat akan terjadi satu abad
setelah masa kenabian, dan menebak perkara yang gaib tidak bisa
dibenarkan.
Ternyata
sang pengkritik kurang teliti. Maksud sebenarnya hadis itu adalah
informasi tentang usia para sahabat waktu itu, yang tidak akan hidup
lebih dari seratus tahun lagi. Bukan menginformasikan tentang usia
dunia, sebagaimana yang mereka pahami. Dalam kitab-kitab karangan ulama'
salaf pun belum pernah ditemukan keterangan yang menjelaskan adanya
hadis dhaif di kitab al-Bukhari. Mereka yang mengkritik hadis al-Bukhari ini adalah datang belakangan serta menyalahi Ijma' ulama salaf.
Golongan Syi'ah, termasuk kelompok pengkiritik. Mereka banyak
mendiskualifikasi hadis Bukhari, karena tidak diriwayatkan oleh Ahlul
Bait. Syi'ah menerapkan standar ganda dalam menerima hadis. Mereka
menerima hadis-hadis yang tidak bertentangan dengan ajaran mereka dan
hanya menerima hadis riwayat Ahlul Bait.
Bahkan
pengertian hadis menurut Syi'ah berbeda dengan hadis menurut Ahlus
Sunnah. Hadis, menurut Syi'ah adalah segala ucapan para Imam yang dua
belas. Akibat metode yang mereka terapkan, maka sangat sedikit hadis
Bukhari yang mereka terima. Metodologi yang digunakan Syi'ah ini tidak
dikenal oleh para Ulama' dan tidak teruji validitasnya.
Sementara
kalangan liberal mengkritik dengan alasan bahwa al-Bukhari adalah
seorang manusia biasa yang dimungkinkan untuk melakukan kesalahan. Yang
perlu ditanyakan dalam masalah ini adalah sudah terbuktikah – secara
ilmiah – al-Bukhari melakukan kesalahan sehingga beliau memasukkan hadis
dhaif dalam kitabnya? Tuduhan ini hingga kini belum terbukti
dan diakui pakar hadis. Serangan ini seperti hujatan Robert Morey yang
hanya berlandaskan asumsi dan tafsir kebencian bukan bukti.
Adalah
benar, Imam al-Bukhari adalah manusia biasa, tetapi kepakarannya,
ketelitian dan keunggulan metodologinya telah meyakinkan para kritikus
hadis dan ulama ahli hadis bahwa kitab al-Jami' al-Shahih tidak diragukan lagi keshahihannya. Al-Bukhari
sangat ketat dan hati-hati ketika menulis hadis. Beliau menulis kitab
dalam waktu 16 tahun. Selama itu, setiap hendak menulis satu hadis
beliau selalu mandi, berwudhu dan shalat sunnah dua rakaat.
Adapun
kemungkinan al-Bukhari melakukan kesalahan adalah perkara yang bisa
saja terjadi dan wajar. Akan tetapi, hingga kini mulai dari para
pendahulu ahli hadis sampai para kritikus hadis kontemporer, belum
seorangpun dari mereka yang mampu mengungkapkan kesalahan al-Bukhari dengan disertai bukti-bukti ilmiah.
Metode Terbaik
Metodologi
al-Bukhari diakui oleh para ulama’ memiliki metode yang terbaik.
Seorang perawi secara ketat diriset secara langsung, kepribadiannya. Ia
tidak puas jika hanya melalui perantara atau khabar dari orang tertentu.
Hal itu dapat dilakukan baik dengan cara melihat langsung maupun
menyimak dan hidup pada masa mereka. Sifat, tindak-tanduk serta budi
pekerti seorang perawi dinilai apakah sudah menjalan ajaran Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam.
Metode
riwayat ini adalah metode ilmiah untuk mencapai suatu kebenaran, dan ia
adalah satu-satunya cara untuk menghubungkan dengan kenyataan-kenyataan
yang tidak bisa kita ketahui secara langsung. Bahkan riwayat adalah
cara yang terpenting untuk penyebaran ilmu di kalangan masyarakat.
Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam sering
menganjurkan kepada para sahabat yang hadir di hadapan beliau agar
tidak segan-segan untuk menyampaikan apa yang mereka dengar dari beliau
kepada orang yang tidak hadir ketika Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, secara jujur, tanpa ditambah dan dikurangi. Oleh karena itu,
para sahabat yang tidak hadir pada waktu itu percaya dan berpegang pada
apa yang diceritakan oleh sahabat lainnya yang hadir. Metode inilah yang
terus dijaga terus oleh para ulama' ahli hadis termasuk al-Bukhari.
Mereka
tidak akan mengambil riwayat kecuali dari orang yang dia kenal; bahwa
dia tidak pernah bohong serta kuat hafalannya. Andaikata mereka belum
mengenal perawinya, mereka tidak akan menerima hadis yang
diriwayatkannya.
Oleh
sebab itu, dalam penentuan keshahihan hadis, al-Bukhari dikenal lebih
ketat dibanding ulama' hadis lainnya. Menurut al-Bukhari syarat
keshahihan sebuah hadis adalah; pertama, perawi harus 'adil, dhabit, tsiqah dan tidak mudallis (berbohong). Yang dimaksud 'adil adalah sang perawi berakidah benar, melaksanakan apa yang diperintah syari'at dan menjauhi semua larangan, bersikap wara', bertakwa kepada Allah dan berakhlaq mulia. Sedang dhabit adalah
mempunyai kesempurnaan berpikir, tidak pelupa dan cerdas serta tangkas.
Hafalannya kuat dan mudah mengerti apa yang diterima.
Kedua, sanadnya muttashil (bersambung) tidak mursal, dan munqathi'. Ketiga, matan hadis tidak janggal dan tidak cacat. Nah dalam menilai muttashil
dan tidaknya inilah yang membedakan dengan ulama yang lain. Menurut
Al-Bukhari, yang dimaksud hadis itu bersambung adalah bila seorang
perawi tidak saja hidup sezaman tetapi harus bertemu langsung.
Selain itu dalam tingkatan perawi (tabaqat al-ruwwat),
al-Bukhari selalu mengambil tingkatan pertama atau tingkatan tertinggi.
Sehingga perawi-perawi yang dhaif tidak dikenal dalam hadis Bukhari.
Hal ini kemudian diteliti oleh para ulama' dan terbukti keshahihannya
bahkan diakui bahwa metodenya adalah paling unggul dibanding dengan
metode ulama hadis lainnya.
Imam Nawawi dalam "Syarah Shahih Muslim" menegaskan bahwa, mayoritas ulama telah Ijma' (sepakat) bahwa hadis- hadis dalam al-Jami' al-Saghir semuanya adalah shahih, tidak ada yang dhaif atau maudhu'.
Imam
al-Bukhari pernah ditanya oleh Muhamad bin Abu Hatim Al Warraaq,
“Apakah engkau hafal sanad dan matan setiap hadits yang engkau masukkan
ke dalam kitab yang engkau susun (maksudnya: kitab Shahih Bukhari)?” Beliau menjawab, ”Semua hadits yang saya masukkan ke dalam kitab yang saya susun itu sedikitpun tidak ada yang samar bagi saya”.
Allah
telah menganugerahkan kepada Imam al-Bukhari berupa reputasi di bidang
hadis telah mencapai puncaknya. Tidak mengherankan jika para ulama dan
para imam yang hidup sezaman dengannya memberikan pujian (rekomendasi)
terhadap beliau. Bukan karena mereka fanatik, tapi mengakui kepakarannya
yang tak tertandingi. []
No comments:
Post a Comment