PERKEMBANGAN
HUKUM PADA MASA PEMERINTAHAN ABU BAKAR AS SIDDIQ DAN UMAR BIN KHATAB
Pada masa pemerintahan Abu Bakar As Siddiq dan Umar
Bin Khatab keadaan social masyarakat sudah mulai membaik dari pemerintahan yang
ada pada masa Rasulullah SAW.
Hal pokok kami membahas mengenai perkembangan hukun
pada masa pemerintahan Abu Bakar As Siddiq dan Umar Bin Khatab merupakan suatu
jalan unauk kita semua dapat memahami bagaimana kedudukan hukum pada saat
mereka memimpin suatu Negara. Dan dapat menjelaskan keadaan social politik dan hukum-hukum
yang ada pada saat mereka menjadi khalifah.
Dengan demikian hukum pada pemerintahan Abu Bakar dan
Umar merupakan tolak ukur kita untuk menjadikan bagaimana system pemerintahan
yang baik, sehingga dapat dijadikan modal atau contoh-contoh oleh generasi
berikutnya, terutama generasi ahli hukum Islam dizaman sekarang, tentang
bagaimana cara mereka menemukan dan menerpkan hukum islam pada masa
pemerintahan Abu Bakar dengan Umar.
Berdasarkan pnejelasan diatas, jelaslah kalau pada
materi ini kami akan mengangkat suatu permasalahan dari perkembangan hukum yang
ada pada masa sahabat pasal ini, yaitu Abu Bakar dan Umar dalam pengembangan hukum
pada saat mereka dan dapat menjelaskan kedudukan hukum yang sama dengan keadaan
politik social pada saat itu.
B. Gambaran Politik, Social Masyarakat Pada Masa Abu Bakar As
Siddiq Dan Umar Bin Khatab
1. Pada Masa Abu Bakar As Siddiq
Abu Bakar As-Siddiq (573-22 Jumadilakhir 13/23
Agustus 634). Khalifah pertama dari Khulafa’ ar-Rasyiddin, sahabat
Nabi SAW yang terdekat, dan termasuk di antara orang-orang yang pertama masuk
islam (as-sabiqun al-awwalun). Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Abi
Kuhafah at-Tamami. Pada masa kecilanya Abu Bakar bernama Abdul Ka’bah. Nama ini
diberikan kepadanya sebagai realisasi nazar ibunya sewaktu mengandungnya.
Kemudian nama itu ditukar oleh Nabi SAW menjadi Abdullah. Gelar Abu Bakar
diberikan Rasulullah SAW karena ia seorang yang paling cepat masuk islam,
sedang gelar as-Siddiq yang berarti ‘amat membenarkan’ adalah gelar yang
diberikan kepadanya karena ia amat segera membenarkan Rasulullah SAW dalam
berbagai macam peristiwa terutama Isra Mikraj.[1]
Setelah Rasulullah wafat tahun 632, Abu Bakar terpilih
sebagai khalifah pertama pengganti Rasulullah SAW dalam memimpin Negara dan
umat islam. Waktu itu, daerah kekuasaan islam hampir mencakup seluruh
semenanjung Arabia yang terdiri atas berbagai suku arab. Ada dua factor utama
yang mendasari terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah, yaitu:
1) Menurut pendapat umum yang ada pada zaman itu, seorang khalifah
(pemimpin) haruslah berasal dari suku Kuraisy; pendapat ini didasarkan pada
hadis yan berbunyi al-a’immah min Quraisy (kepemimpinan itu ditangan
orang Kuraisy).
2) Sahabat sependapat tentang ketokohan probadi Abu Bakar sebagai
khalifah karena ia adalah laki-laki dewasa pertama yang memeluk islam, ia
satu-satunya sahabat yang menemani nabi SAW pada saat hijrah dari Mekkah ke
Madinnah dan ketika bersenbunyi di Gua Sur, ia yang ditunujuk Rasulullah SAW
untuk mengimami salat pada saat beliau sedang uzur, dan ia keturunan bangsawan,
cerdas, dan berakhlak mulia.
Sebagai khalifah, Abu Bakar mengalami dua kali
dibaiat. Pertama di Saqifah Bani Sa’idah yang dikenal dengan ba’iah khassah dan
kedua di mesjid Nabi (masjid nabawi) di Madinnah yang dikenal dengan ba’iah
ammah. [2]
Masa awal pemerintahan Abu Bakar diwarnai dengan
berbagai kekacauan dan pemberontakan, saperti munculnya orang-orang murtad,
aktifnya orang-orang yang mengaku nabi, pemberontakan dari beberapa khalifah Arab
dan banyaknya orang-orang yang ingkar membayar zakat. Munculnya orang-orang
muratad disebabkan oleh keyakinan mereka terhadap ajaran islam belum begitu
mantap, dan wafatnya Rasulullah SAW menggoyahkan keimanan mereka. Tentang
orang-orang yang mengaku mereka nabi sebenarnya telah ada sejak masa Rasulullah
SAW, tetapi kewibawaan Rasulullah menggetarkan hati mereka untuk melancarkan
aktivitasnya. Mereka mengira bahwa Abu Bakar adalah pemimpin yang lemah
sehingga mereka berani membuat kekacauan. Pemberontakan kabilah disebabkan oleh
anggapan mereka bahwa perjanjian perdamaian yang dibuat nabi SAW bersifat
pribadi dan berakhir dengan wafatnya Nabi SAW sehingga mereka tidak perlu lagi
taat dan tunduk kepada penguasa Islam yang baru. Orang-orang yang ingkar
membayar zakat hanyalah karena kelemahan iman mereka. Terhadap semua golongan
yang membangkang dan memberotak itu Abu BAkar mengambil tindakan tegas.[3]
Meskipun fase permulaan dari kekhalifahan Abu Bakar
penuh dengan kekacauan, ia tetap bersikeras melanjutkan rencana Rasulullah SAW
untuk mengirim pasukan ke daerah Suriah dibawah pimpinan Usamah Bin Zaid. Pada mulanya, keinginan Abu
Bakar ditentang oleh sahabat dengan alas an suasana negeri dalam sangat
memprihatinkan akibat kerusuhan yang timbul. Akan tetapi, setelah ia meyakinkan
mereka bahwa itu adalah rencana Rasulullah SAW, akhirnya pengiriman pasukan
itupun disetujui.
Langkah politik yang ditempuh Abu Bakar itu ternyata
sangat strategis dan membawa dampak yang sangat positif. Pengiriman pasukan
pada saat Negara dalam keadaan kacau menimbulkan iternprestasi dipihak lawan
bahwa kekuatan islam cukup tangguh sehingga pemberotak menjadi gentar. Di
samping itu, langkah ini juga merupakan taktik untuk mengalihkan perhatian umat
islam dari perselisihan intern. Pasukan Usamah berhasil menunaikan tugasnya
dengan membawa harta rampasan perang yang berlimpah.[4]
2. Pada Masa Umar Bin Khatab
Umar Bin Khatab adalah seorang sahabat terdekat Nabi
Muhammad SAW dan khalifah al-Khulafa ar-Raqsydun. Ayahnya bernama Khatab bin
Nufail al-Mahzumi al-Quraisyi dari suku Adi, dan ibunya Hantamah binti Hasyim.
Suku Adi masih termasuk rumpun Quraisy dan terpandang di kalangan Arab.
Masuk islamnya Umar segera diikuti oleh putra
sulungnya, Abdullah, dan Isterinya, Zainab binti Ma’zun. Selain itu, keislaman
Umar membuka jalan bagi tokoh-tokoh Arab lainnya masuk Islam. Sejak saat itu,
berbondong-bondonglah orang masuk Islam sehingga dalam waktu singkat pengikut
islam bertambah dengan pesatnya.
Umar telah membawa cahaya terang dalam permulaan
perjuangan Islam. Dakwah Islam, yang semula dijalankan secara rahasia dan
sembunyi-sembunyi, kini disiarkan secara terang-terangan. Umar menjadi pembela
dan pelindung kaum Islam dari segala gangguan. Ibnu Asir mengungkapkan bahwa
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Islamnya Umar adalah suatu kemenangan, hijrahnya
adalah suatu pertolongan, dan pemerintahannya adalah rahmat. Semula, umat Islam
tidak berani mengerjakan salat dengan terang-terangan, takut dianiaya oleh
kafir Kuraisy, tetapi setelah itu mereka beribadah dengan leluasa tanpa merasa
tertekan.” Umar telah menunjukan kesetiaan dan pengabdiannya tanpa pamrih demi
kejayaan Islam, seolah-olah ia hendak menebus segala kesalahan dan dosa yang diperbuatnya
pada masa jahiliah.[5]
Sebagai khalifah, Umar dikenal sangat adil dalam
menjalankan pemerintahannya. Ia tidak membedakan antara tuan dan budak, kaya
dan miskin, dan penguasa dan rakyat jelata.
Meskipun telah menjadi khalifah, Umar tetap dekat
dengan rakyatnya. Diceritakan bahwa
setiap malam ia berkeliling mengamati keadaan sekitar. Ia takut kalau-kalau ada
diantara mereka yang mengalami kesulitan seperti sakit, kelaparan. Bila
diketemukan, ia tidak segan-segan memberikan bantuan langsung, bahkan sering
dijumpai Umar mengangkat sendiri bahan makanan untuk orang-orang yang
memerlukannya.
Umar juga sangat takut mengambil harta kaum muslimin
tanpa alas an yang kuat. Ia beerpakaian sangat sederhana, bahkan tidak pantas
untuk dipakai oleh seorang pembesar seperti dia. Umar meneladani perilaku
Rasulullah SAW dalam seluruh aspek kehidupannya. Prinsip hidupnya sederhana
juga diterapkan Umar dilingkungan keluarganya. Istri dan anak-anaknya dilarang
menerima pemberian dalam bentuk apapun dari para pembesar maupun rakyatnya.[6]
Dibidang pemerintahan, langkah pertama yang dilakukan Umar
sebagai khalifah adalah penerus kebijksanaan yang telah ditempuh Abu Bakar
dalam perluasan wilayah Islam ke luar semenanjung Arabia. Pada masa terjadinya
ekspansi kekuasaan Islam secara besar-besaran sehingga periode ini lebih
dikenal dengan nama periode Futuhat al-Islamiyyah (perluasan wilayah
islam). Berturut-berturut pasukan Islam menduduki Suriah, Irak, Mesir,
Palestina, dan Persia.[7]
Di bidang administrasi pemerintahan, Umar berjasa membentuk
majelis permusyawaratan. Anggota dewan, dan memisahkan lembaga pengadilan. Ia
juga membagi wilayah Islam ke dalam 8 provinsi yang membawahi distrik dan subdistrik.
Kedelapan propinsi itu adalah Mekkah, Madinnah, Suriah, Jazirah, Kufah, Basra,
Mesir, dan Palestina. Untuk masing-masing distrik itu, diabgkat pegawai khusus
selaku gebernur. Gaji mereka ditertibkan. Selain itu, administrasi perpajakan
juga dibenahi.
Untuk kepentingan pertahanan, keamanan, dan ketertiban
dalam masyarakat, didirikanlah lemabaga kepolisian, korps militer dengan
tentara terdaftar. Mereka digaji besarnya berbeda-beda sesuai dengan tugasnya.
Dia juga mendirikan pos-pos militer ditempat strategis.
Umar melakukan pembenahan peradilan Islam. Dialah yang
mula-mula meletakan prinsip-prinsip peradilan dengan menyusun sebuah risalah
yang kemudian dikirimkan kepada Abu Musa al-Asy’ari. Risalah itu disebut Dustur
Umar atau Risalah al-Qada.
C. Perkembangan hukum pada masa Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin
khatab.
1. Sumber Hukum
a. Al-Quran
Setiap kali ayat-ayat Al Quran turun maka Rasulullah
menyampaikannya kepada sebagian kaum muslimin dan beliau menyuruh para penulis
wahyu untuk menuliskannya. Di antara mereka ada yang mencakup diri dengan
menghafal apa yang diperolehnya dan ada juga yang menulisnya. Rasul menentukan
ayat-ayat dan surat-suratnya. Beliau wafat dan Al Quran belum terkumpul dalam
satu mushaf namun Al Quran telah terpelihara di dada para penghafal Al Quran
(huffazh), di lembaran-lembaran para penulis wahyu dan lembaran-lembaran lain
yang ada di tangan para penulisnya. Jumlah orang yang hafal Al Quran pada masa
Nabi adalah banyak dan sebagian dari mereka ada yang hafal Al Quran seluruhnya.[8]
Pada awal masa Abu Bakar r.a. terjadilah peristiwa
yang memberi perhatian terhadap wajibnya mengumpulkan seluruh Al Quran dalam
satu mushhaf, demikian itu pada peperangan Yamamah ada sejumlah besar pengahafal
Al Quran yang gugur syahid, sehingga dengan demikian, Abu Bakar mengkhawatirkan
terhadap Al Quran.
Menyalinnya dari satu tempat ke tempat yang lain
menjadi terkumpul. Dan hal itu menduduki kertas-kertas yang terdapat dalam
rumah Rasulullah SAW, yang didalamnya terdapat Al Quran yang berserakan maka
seorang mengumpulkan dan mengikatnya dengan benang sehingga sedikit pun tidak
hilang.
Zaid bib Tsabit termasuk penghafal Al Quran dan
penulis wahyu. Dalam pada itu ia tidak mencukupkan dengan hafalannya dan
tulisannya, namun ia minta tolong terhadap hafalan para huffazh, lembaran para
penulis dan tulisan yang terdapat dirumah Rasulullah SAW. Ia menyempurnakan
pengumpulan dihadapan orang banyak dari Muhajirin dan Anshar dan dengan kerja
Abu Bakar dan Umar r.a., maka Allah SWT menyempurnakan apa yang terkandung dalam
firmannya.[9]
اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهُ
لَحَافِظُوْنَ
Sesungguhnya kamilah yang
menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya kami pula yang menjaganya
Umar bin Khatab berkehendak untuk menulis
sunnah-sunnah. Dalam hal itu ia bermusyawarah dengan para sahabat Rasulullah
maka pada umumnya mereka menyetujui penulisan itu. Ia diam selama satu bulan seraya
istikharah kepada Allah telah menetapkan hatinya maka ia berkata :
“Sesungguhnya ssaya selalu ingat keapdamu untuk menulis sunnah-sunnah seperti
apayang telah kamu ketahui. Kemudian saya ingat ketika orang-orang ahli kitab
yang sebelummu telah menuliskan kitabullah. Dan sesungguhnya saya, demi Allah
saya tidak mencampurkan kitabullah dengan sesuatupun”. Maka ia meninggalkan
penulisan sunnah-sunnah itu.
Hadist-hadist menunjukan bahwa para imam dan
pemimpin-pemimpin kaum muslimin pada periode itu selalu berusaha menyedikitkan
riwayat karena takut tersiarnya kedustaan dan kekeliruan atas Rasulullah SAW.
Oleh Karena itu mereka mentahkikkan apa yang diriwayatkan kepada mereka. Abu
Bakar dan Umar hanyalah menerima hadist-hadist yang disaksikan oleh dua orang
yang mendengarkan dari Rasulullah SAW sehingga Abu Bakar minta orang yang
menguatkan terhadap Al Mughiran bin Syu’ban dalam periwayatannya, dan Umar
minta orang yang menguatkan Al Mughgirah, Abu Musa dan Ubay. Mereka tidak
bimbang kepercayaannya terhadap mereka karena tingginya kedudukan dan derajat
mereka. Dan Ali menyumpah atas orang-orang yang meriwayatkan kepada mereka dari
Rasulullah SAW dan mereka tidak menyelisihinya.
Pekerjaan mereka ini mengajak untuk menyedikitkan
periwayatan As Sunnah pada periode ini, dan cermat atas hadist-hadist yang
tetap (shahih) riwayatnya dengan persaksian dua orang saksi ketika ada
peristiwa yang mengajak untuk menyebutkan Al Hadits.
Ijtihad adalah mengerahkan kesungguhan dalam
mengeluarkan hukum syara’ dari apa yang dianggap syari’ah sebagai dalil yaitu
kitabullah dan sunnah Nabi-Nya, ini ada dua macam yakni: [10]
1. mengambil hukum dari zhahi-zhahir nash apabila hukum itu
diperoleh dari nash-nash itu.
2. mengambil hukum dari ma’qul nash karena nash itu mengandung
‘illat yang mnerangkannya, atau ‘illat itu dapat diketahui dan tempat kejadian
yang didalamnya mengandung ‘illat, sedan gnash itu tidak memuat hukum itu. Inilah
yang dikenal dengan kiyas.
Pengeluaran hukum (istimbat) pada masa itu terbatas
pada fatwa-fatwa yang ditawafkan oleh orang yang ditanya tentang suatu
peristiwa. Mereka tidak meluaskan dalam menetapkan masalah-masalah dan
menjwabnya, bahkan mereka tidak menyenangi hal itu dan mereka tidak menampakan
pendapat tentang suatu sebelum sesuatu itu terjadi. Jika sesuatu itu terjadi
maka mereka ijtihad untuk mengiatimbatkan hukumnya. Oleh karena itu fatwa-fatwa
yang dinukil dari sahabat-sahabat besar adalah sedikit. Dalam berfatwa mereka
selalu berpegang atas:
1. Al Quran, karena dialah asas dan tiang agama. Mereka selalu
memahaminya dengan jelas dan terang karena Al Quran diturunkan dengan lidah
(bahasa) mereka serta keistimewaan mereka mengetahui sebab-sebab turunnya dan
ketika itu belum seorangpu selain Arab telah masuk kalangan mereka.
2. Sunnah Rasulullah SAW, dan mereka telah sepakat untuk
mengikutinya kapan saja mereka mendapatkannya dan percaya kepada orang-orang
yang benar periwayatannya.
Dan telah sampai pada sahabat keputusan-keputusan yang
mereka tidak melihat nash dari Al Quran atau As Sunnah. Ketika itu mereka
berlindung kepada qiyas dan mereka menganggapnya suatu pendapat. Demikianlah
yang dilakukan oleh Abu Bakar r.a jika tidak ia mendapatkan nash dalam Al Quran
dan (tidak mendapatkan= pent) sunnah dikalangan manusia. Sesungguhnya Abu Bakar
itu mengumpulkan manusia dan bermusyawarah dengan mereka. Apabila pendapat
mereka sepakat atas suatu maka ia memutuskan dengannya. Demikian yang dilakukan
oleh Umar.
Dua syaikh (Abu Bakar - Umar) apabila bermusyawarah
dengan suatu jama’ah tentang suatu hukum, dan mereka menyarankan denga suatu
pendapat (ra’yu) yang dikemukakan oleh manusia dan bagi seorangpun tidak baik
untuk menyelisihnya. Mengeluarkan pendapat dengan ini namanya ijma’. Jumlah
mujtahid dari kalangan sahabat pada waktu itu terbatas dengan kemungkinan untuk
mengadakan musyawarahdan peninjauan terhadap hasil pendapat mereka sehingga
mudah terwujudnya ijma’.[11]
Dengan demikian, masa itu ada tiga sumber hukum yaitu:
1. Al Quran sebagai pegangan (landasan).
2. As Sunnah.
3. Qiyas atau ra’yu (pendapat) sabagai cabang Al Quran dan As
Sunnah.
2. Perkembangan Hukum Pada Masa Abu Bakar As Siddiq
Abu Bakar as Siddiq, beliau merupakan ahli hukum yang
tinggi mutunya. Ia memerintah dari tahun 632 samapai 634 M. sebelum masuk
Islam, dia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani. Iktu aktif
mengembangkan dan menyiarkan Islam. Atas usaha dan seruannya banyak orang-orang
terkemuka memeluk agama Islam yang kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan
Islam yang ternama. Dan karena hubungannya yang sangat dekat dengan Nabi SAW,
beliau mempunyai pengertian yang dalam tentang jiwa Islam lebih dari yang lain.
Karena itu pula pemilihannya sebagai khalifah pertam sangat tepat sekali.
(Hazairin, 1955).[12]
Banyak tindakannya yang dicatat dalam ssejarah Islam,
namun yang pernting dalam tulisan adalah:
1. Pidato pelantikannya yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
“Aku telah kalian pilih sabagai khalifah, kepala Negara, tetapi aku bukanlah
yang terbaik diantara sekalian. Kareitu jika aku melakukan sesuatu yang benar
ikuti dan bantulah aku, tetapi jika aku melakukan hal yang salah , perbaikilah
sebab, menurut pendapatku menyatakan yang benar adalah amanat, membohongi
rakyat adalah pengkhianatan.” Selanjutnya beliau berkata, “Ikutilah perintahku
selama aku mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya, kalian berhak untuk tidak
patuh kepadaku dan aku pun tidak akan menuntut kepatuhan kalian.”
Kata-kata Abu Bakar ini sangat penting artinya dipandang dari sudut hukum
ketatanegaraan dan pemikiran politik Islam, sebab kata-katanya itu dapat
dijadikan dasar menentukan hubungan antara rakyat dan penguasa, antara
pemerintah dan warga Negara.
2. Cara yang dilakukan Abu Bakar dalam memecahkan persoalan hukum
yang timbul di kalangan masyarakat. Mula-mula pemecahan masalah itu dicarinya
dalama wahyu Tuhan. Kalau tidak terdapat di sana, dicarinya didalam Sunnah
Nabi. Kalau dalam Sunnah Rasulullah ini pemecahannya tak diperoleh, Abu Bakar
bertanya kepada para sahabat Nabi yang dikumpulkan dalam satu majelis . mereka
yang duduka dalam majelis itu melakukan ijtihad bersama (jama’i) atau
ijtihad kolektif. Timbullah keputusan atau consensus bersama yang
disebut ijimak mengenai masalah tertentu. Dalam masa pemerintahan Abu
Bakar inilah sering dicapai apa yang disebut dalam kepustakaan sebagai ijimak
sahabat.[13]
3. Atas anjuran Umar, dibentuk panitia khusus yang bertugas
mengumpulkan ayat-ayat Quran yang telah ditulis zaman nabi pada bahan-bahan
darurat seperti pelepah-pelepah kurma,
tulang-tulang unta, dansebagainnya dan mengimpunnya kedalam satu naskah.
Panitia ini dipimpin oleh Zaid bin Tsabit salah seorang pencatat wahyu dan
sekretaris Nabi Muhammad ketika beliau masih hidup. Sebelum diserahkannya
kepada Abu Bakar, himpunan naskah itu diuji dahulu ketepatannya dengan hafalan
para penghafal Al Quran yang selalu ada dari masa ke masa. Setelah Abu Bakar
meninggal dunia, naskah itu disimpan oleh Umar bin Khatab dan sesuadah Khalifah
II ini meninggal dunia pula, naskah ini disimpan dan dipelihara oleh Hafsah janda
Nabi Muhammad (Hazairin,1955).[14]
Penerapan hukum yang dilakukan oleh Abu Bakar langsung
dirasakan orang-orang muslim pada masa itu diantaranya hukum membayar zakat
disini dalam pengalaman zakat orang-orang musllim meyakini tentang Al Quran
yang mengenai zakat yang berbunyi “Apabila zakat dari sebagaian harta mereka
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mencuci mereka dan berdoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka.”
Dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala Negara dan
pimpinian umat Islam, Abu Bakar senantiasa meneladani perilaku Rasulullah SAW.
Prinsip musyawarah dalam pengambilan keputusan, seperti yang dijalankan oleh
Nabi SAW, selalu praktekannya. Ia sangat memperhatikan keadaan rakyatnya dan
tidak segan-segan membantu mereka yang kesulitan. Terhadap sesame sahabat,
perhatiannya juga sangat besar. Sahabat yang telah menduduki suatu jabatan pada
masa Nabi SAW tetap dibiarkan tetap pada jabatannya, sedangkan sahabat yang
lain yang belum mendapatkan jabatan dalam pemerintahan dan keterampilanyang ia
miliki.
Untuk meningkatkan kesejahteraan umum, Abu Bakar
membentuk lemabaga Bait al-Mail , semacam kas Negara atau lembaga
keuangan. Pengelolaannya diserahkan kapada Abu Ubaidah, sahabat nabi yang
digelari amin al-ummah (kepercayaan umat).selain itu didirikan pula
lembaga pengadilan yang ketuanya dipercayakan kepada Umar bin Khatab.
Kebjiksanaan lain yang ditempuh Abu Bakar adalah membagai sama rata hasil
rampasan peran (ganimah). Dalam hal ini, ia berbeda pendapat dengan Umar
bin Khatab yang menginkan pembagian dilakukan jasa tiap-tiao sahabat. Alas an
yang dikemukakan Abu Bakar adalah semua perjuangan yang dilakukan atas nama
Islam akan mendapat pahala dari Allah SWT di akhirat. Karena itu, biarkanlah
didunia mereka mendapat bagian yang sama.[15]
3. Hukum Pada Masa Pemerintahan Umar Bin Khatab
Setelah Abu Bakar meninggal dunia, Umar menggantikan
kedudukannya sebagai khlaifah II. Pemerintahan Umar bin Khatab ini
berlangsung dari tahun 634 samapi 644 M. sebagai sahabat nabi, (1) Umar turut
aktif menyiarkan agama Islam. Ia melanjutkan uasaha Abu Bakar meluaskan daerah
Islam sampai ke Palestina, Sirya, Irak, dan Persia di sebelah utara serta Mesir
di barat daya. (2) Ia menetapkan tahun Islam yang terkenal dengan Hijriyah
berdasarkan peredaran bulan (Qamariyah). Dibandingkan dengan tahun
masehi (Maladiyah) yang didasarkan dengan peredaran matahari atau syamsiah,
tahun Hijriyah lebih pendek. Perbedaannya setiap tahun adalah 11 hari,
sekian jam, sekian menit (Hazairin, 1955). Oleh karena itu, tiap tahun
permulaan puasa, misalnya, bergeser 11 hari lebih dahulu dari tahun sebelumnya.
Penetapan tahun Hijriyah ini dilakukan Umar pada tahun 638 M dengan bantuan
para ahli hisab (hitung) pada waktu itu. Dimulai sejak Nabi Muhammad
hijrah ke Madinnah. (3) Selain itu penetapan Umar yang diikuti oleh umat Islam
diseluruh dunia sampai sekarang (dan juga ada di masa yang akan datang) adalah
membiasakan salat at-tarawih, yaitu salat sunnat malam yang dilakukan
setelah salat Isa, selam bulan Ramadan. Di samping itu, yang perlu dicatat
mengenai Khalifah Umar ini adalah sikap tolerannya terhadap pemeluk agama lain.
Ini terbukti ketika beliau hendak mendirikan masjid (yang sekarang terkenal
dengan masjid Umar) di Jerussalem (Palestina) disuatu tempat dari sana menurut
keyakinan beliau Nabi Muhammad dahulu mi’raj ke langit. Karena di dekat
tempat itu telah berdiri tempat ibadah orang Kristen dan Yahudi, sebelum
mendirikan masjid itu, Khalifah Umar terlebih dahulu memberitahukan maksudnya
dan meminta izin kepada pemimpin agama golongan Kristen dab Yahudi di tempat
itu, padahal sebagai penguasa atas seluruh daerah baru tersebut, ia tidak wajib
melakukan itu (Hazairin,1955). Namun, ia melakukan hal tersebut karena sikapnya
yang toleran terhadap pemeluk agama lain.[16]
Karena usianya yang relative masih muda dibandingkan
dengan Abu Bakar, Umar lama memegang pemerintahan. Sifatnya keras dan
sebagaimana biasanya, orang yang mempunyai sifat keras selalu berusaha adil
melaksanakan hukum. Terkenal keberaniannya dalam menafsirkan ayat-ayat Al Quran
berdasarkan keadaan-keadan yang nyata pada waktu tertentu. Ia mengikuti cara
Abu Bakar dalam menemukan hukum. Namun demikian, Khalifah Umar terkenal
keberanian dan kebujaksanaannya dalam menerapkan ketentuan hukum yang terdapat
dalam Al Quran untuk mengatasi sesuatu masalah yang timbul dalam masyarakat
berdasarkan kemaslahatan atau kepentingan umum.[17]
Sepintas lalu keputusan-keputusan (dalam kepustakaan
terkenal denga ijtihad) Umar seakan akan bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan AlQuran, namun kalau dikaji sifat hakikatnya tersebut dalam
kerangka tujuan hukum Islam keseluruhannya, Ijtihad yang dilakukan oleh Umar
bin Khatab itu tidak bertentangan dengan maksud ayat-ayat hukum tersebut.
a. Konfirmasi Al Quran Atas Pemikiran Umar
Setidaknya ada 14 masalah terkait dengan Umar yang
mendapat konfirmasi dari Al Quran, yang sempat dikutip oleh Ruwa’I dari
pernyataan Jalaluddin al Suyuti dalam bukunya al Itqaan Quran. [18]
Beberapa diantara 14 masalah itu adalah:
1. Usulan Umar agar Maqam Ibrahim dijadikan tempat bersembahyang,
yang kemudian turun ayat “wattakhodzu min maqoomi ibrohima mushola”
2. Usulan Umar kepada Nabi agar Muslimah berhijab ketika berhadapan
dengan orang laki-laki, kemudian turun ayat “Wa idza saaltumuhunna mataan
fasaaltumuhunna min waro’I hijaab.”
3. Permohonan penjelasan dari Umar agar tawanan perang badar
dibunuh dan tidak diambil tebusannya. Perihal hal ini Allah memberikan
legimentasi atas usulannya, sebagaimana tertuang dalam surat al Baqarah ayat
97.
4. Permohonan penjelasan dari Umar atas keharaman arak yang
kemudian dijawab oleh Allah dalam surat al Maidah ayat 90.
Dari beberapa contoh diatas, dapatlah disimpulkan
bahwa Umar terbukti mendapat kehoramatan sebagai sahabat Nabi yang sering
mendapat kofirnasi dari Al Quran. Bagi Umar, seperti kita ketahui, keberadaan
Al Quran sebagai wahyu Allah adalah penentu akhir bagi setiap keputusan yang
diambilnya. Umar tidak segan segan mendiskusikan tindakan Rasulullah sejauh ini
tidak sesuai dengan pertimbangan logikanya, kalau hal itu dilakukan Rasulullah
bukan berdasarkan wahyu.
Dari pemikiran ini, maka tidaklah berlebihan, kalau
Nabi Muhammad memberi rekomendasi atas Umar sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah: Inna allaha ja’ala al haqqa ‘ala lisani Umar wa qalbihi, “Bahwa
sesungguhanya Allah telah menempatkan kebenaran melalui lidah dan hati Umar”.
b. Beberapa Produk Ijtihad Umar
1. Hak Pencuri
Diriwayatkan oleh Imam Malik, “Sesungguhnya Ubidillah
bin Amir bin al HAdrami dating membawa seorang budak kepada Umar bin Khathab
dan berkata, “Potonglah tangan budakku ini karena ia telah mencuri!” Umar
bertanya, “Apakah yang dicurinya?” Ubaid menjawab, “ Dia telah mencuri cermin
isteriku seharga 60 dirham.” Kemudian Umar berkata: “Pergilah! Tidak ada potong
tangan baginya. Budakmu mengambil hartamu.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari al Qosim bin
Abdir Rohman, “Sesunguhnya seorang laki-laki mencuri dari Baitul Maal. Kemudian
Saad bin Abi Waqqosh melaporkan kepada Umar. Umar menyatakan kepada Saad agar
tidak memotong tangannya karena bagi pencuri itu ada bagian dari hara Baitul
Maal itu.”
2. Hak Orang Yang Meminum Khamr
Diriwayatkan Abdur Rozaq, “Sesungguhnya Umar mendera
dengan 40 kali. Ketika dia tidak melihat hal itu dapat mencegahnya dia
menambahkan dengan 80 kali. Umar kemudian berkomentar, “Inilah hukuman yang
paling ringan!”
3. Kasus Muallaf
Umar mengabaikan pembagian zakat kepada muallaf
qulubuhum.
4. Kasus Rampasan Perang
Umar tidak memberikan harta rampasan perang kepada
prajurit yang berperang.
Tidak diragukan lagi integritas Umar sebagai salah
satu seorang intelektual muslim, karena Nabi sendiri telah mengakui akan hal
itu. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Al Asir, “Lau kana ba’di nabiyun
lakana Umar al Khotob.” Hanya saja kalau apa yang menjadi pokok pikiran
Umar sebagaimana yang dipaparkan diatas, diperdebatkan kembali, bukan berarti
sebuah pengingkaran atas kemampuan intelektualnya.
a. Tidak ada ijtihad tanpa mencurahkan kemampuan. Dalam arti
ada usaha mencurahkan segenap usaha dan kemampuan dalam mengikuti dalil-dalil
dan meneliti dalil dzann.
b. Tidak ada ijtihad dalam masalah yang qot’i. hal
ini untuk menghindarkan seseorang agar jangan sampai terjebak oleh arus orang
yang berusaha mengubah nash yang telah pada nash yang belum
jelas. Mengubah hukum qot’I menjadi dzanni.
c. Tidak boleh menjadikan dzanni menjadi qot’i.
kita harus tetap menjaga urutan tingkay hukum sebagaimana yang ada.
d. Menghubungkan fiqh dan hadis. Perlu mengkonsentrasikan
perhatian untuk melihat dan menganalisa illat hukum, kaidah syariah dan
tujuannya.
e. Waspada agar tidak tergelincir oleh tekanan realita. Bahwa
sebuah ijtihad tidak ditujukan sebagai legimentasi atas realita yang ada.
f. Mengantisipasi pembaharuan yang bermanfaat
g. Tidak mengabaikan semangat zaman dan kebutuhannya
h. Transformasi menuju ijtihad kolektif.[19]
Dari penjelasan diatas maka akan dibahas lagi beberapa
ulasan tentang ijtihad Umar.[20]
1. Hukuman Atas Pencuri
Imam Malik dan Syafi’I memandang bahwa apa yang
dilakukan oleh Umar adalah sebuah tahsis atas ayat Al Quran yang masih muthlaq
yang terdapat dalam lafadz sariq dan sariqah yaitu hukum
potong tangan dikecualikan atas orang-orang yang memiliki unsur hal atas harta
yang dicuri sehingga oaring yang mrncuri di Baitul Maal dan Tuannya tidak
dihukum potong tangan. Hal ini juga difatwakan oleh Nabi bahwa orang yang
memiliki bagian atas harta yang dicuri dia tidak dipotong tangannya.
Dari sini maka tidak cukup alasan sebenarnya bagi Masdar F. Mas’ud bahwa Umar
berijtihad untuk mengubah hukum potong tangan menjadi hukum yang lain. Apalagi
untuk menyatakan bahwa hukum potong tangan hanyalah sebuah dugaan atas
efektivitas kemampuan membuat jera seorang pencuri. Terlebih ayat yang paling
mendasari hukum adalah ayat yang sorih bersifat nash dan qot’i.
2. Hukuman Atas Pemabuk
Adapun perilaku Umar yang memberikan hak hukuman yang
bagi pemabuk yang melebihi dari sunnah Rasul, Ruwa’i menyatakan bahwa hal itu
boleh saja dilakukan apabila dimaksudkan sebagai takzir, hal ini terkait dengan dhohir atsar yang menyatakan kalau hukuman itu tidak
mencegahnya baru kemudian ditambahkan hukuman. Dengan begitu penambahan hukuman
hanya bersifat takzir. Hal ini mengingat bahwa apa yang menjadi perilaku
Nabi, adalah hujjah yang tidak
boleh ditinggalkan dan ijma’ atas hal-hal yang menyimpangi hukuman yang
tidak sah. Meskipun demikian Syafi’i langsung menyepakati hukum dera 80 kali.
Hal ini berbeda dengan mazhabnya.
3. Kasus Muallaf
Mengenai muallaf, Rasyid Ridla membagi muallaf menjadi
enam macam, empat macam dari kalangan muslimin dan dua macam dari kalangan non
muslim. Yang berasal dari golongan Islam adalah:
1) Pemuka muslim nyang mempunyai pengaruh di tengah kaumnya yang
masih kafir.
2) Pemimpin yang masih lemah.
3) Orang Islam yang berada di perbatasan yang diharapkan mampu
membentengi dan mempertahankan umat islam dari serangan musuh.
4) Orang Islam yang pengaruhnya diperlukan untuk memungut zakat.
Adapun yng dari golongan non muslim adalah:
1) Orang yang diharapkan akan beriman dengan adanya bagian muallaf
yang diberikan kepada mereka.
2) Orang yang dikhawatirkan tindakan kejahatannya terhadap orang
Islam.
Dari paparan di atas, apa yang dilakukan oleh Umar
atas permohonan Uyainah bin Hashn da Al Aqra’ bin Habis, itu belum menunjukan
usaha ijtihad Umar atas hkum yang dinilai tidak cocok dengan perkembangan zaman.
Hal ini mengingat kedua orang ini dimasukan kedalam golongan orang-orang yang
dikhawatirkan kejahatannya terhadap orang-orang Islam. Sementara penolakan Umar
dilakukan pada zaman Khalifah Abu Bakar dimana ada kemungkinan kedua orang ini
sudah masuk Islam.
4. Kasus Rampasan Perang
Al Bukhori dan muslim meriwayatkan bahwa rasulullah
menyatakan bahwa ayariat tentang ghomnimah ini dikarenakan perhatian
Allah atas kelemahan yang ada pada kita. Sehingga apa yang dilakukan Umar
adalah mengambil mafhum mukholafah dari hadist nabi di atas, sebagai muqqoyyad
atas ayat Al Anfal 41 yang masih Mutoq.
Dari pembahasan di atas kiranya dapat kita gambarkan
disini, bahwa apa yang diijtihadi oleh Umar bin Khatab sama sekali belum keluar
dari bingkai etika berijtihad atau keluar dari nash Al Quran dan Al Hadis
apalagi kemudian dianggap melakukan usaha mengintreprestasi ulang atas
dalil-dalil qoth’i yang termaktub dalam Al Quran maupun Sunnah Nabi
untuk kemudian dijadikan dalil dzonni.
D. Penutup
Pada pemerintahan Abu Bakar dan Umar perkembangan hukum
yang ada sudah mulai maju dibandingkan denganpemerintahan Rasul. Hal ini
terjadi bukan berarti nabi dalam pemerintahannya tidak baik, tetapi keadan
masyarakat pada saat pemerintahan nabi adalah mayoritas penduduk Jahilliah atau
masih pada zaman kebodohan. Pada saat pemerintahannya nabi memulai dakwahnya
dari kalangan keluarganya dan para sahabat inipun dakwahnya juga dilakukan
secara diam-diam. Setelah nabi wafat , langsung digantikan oleh khalifah Abu
Bakar as Siddiq. Pada masa pemerintahan Abu Bakar perluasan wilayah dakwahnya
sudah mulai maju dan hukumnya pun sudah mulai ditegakan, meskipun masih banyak hambatan
yang dihadapi, disaat perluasan dan perjuangan beliau dalam usaha untuk
menegakan syiar islam sudah mulai berkembang, berhenti disaat beliau wafat. Dan
langsung digantikan oleh Umar bin Khatab dalam penegakan hukum dan perluasan
wilayah Islam. Pada masa pemerintahan Umar bin Khatab perkembangan hukum Islam
dan perluasan wilayah Islam sangat pesat, hal ini di dorong dari pemerintahan
beliau yang gigih dan tangguh, dan dalam memerintah Umar sangat bijaksana.
Hukum-hukum yang ada pada masa pemerintahan Abu Bakar
dan Umar, sudah banyak misalnya zakat, shalat, hukum peradilan dan masih banyak
hukum-hukum yang lain. Adapun sumber hukum pada masa pemerintahan mereka adalah
dari Al Quran, As Sunnah, dan ijtihad. Contoh dari ijtihad Umar diantara hal orang yang minum khamr,
kasus muallaf, kasus rampasan perang, dan lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
1. http://wikipedia.www.id.
Hukum islam
2. Bak Hudhari. Terjemah Tarikkh Al-Tasyri’ Al-Islam. (Sejarah
Pembinaan Hukum Islam). Darul Ikhyah: 1980. Indonesia.
3. Daud Ali, Muhammad. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam), 1996. Grapindo Persada: Jakarta.
4. Isiklopedia Islam, Jilid 7, PT. Ich Tiar Baru Van Hoeven,
Jakarta : 1994
5. Insiklopedia Islam, Jilid 1, PT. Ich Tiar Baru Van Hoeven,
Jakarta : 1994
6. Insiklopedia Islam, Jilid 8, PT, Ich Tiar Baru Van Hoeven,
Jakarta : 2005 edisi Baru
7. Mahmud A-Abbas, Kejeniusan Umar Bin Khatab, Pustaka azzam,
Jakarta : 2002
8. Ar-Ruhaily, Ruway’I, Fiqih Umar, Jilid 2 Pustaka Al-Kautsar,
Jakarta Timur: 1994
9. Mahmud, A. Abbas, Kejeniusan Abu Bakar Ash Siddiq, Pustaka
Azzam, Jakarta Selatan : 2001
[1] Insiklopedi Islam, 1
th Tian baru van Hove. 1994. h. 124
[2] Kejeniusan Abu Bakar
As-Sidiq, Abbas Mahmud al-Qaaf. H. 147.
[3] Insiklopedi Islam.
1994. h. 38 jilid 1
[4] Hukum Islam,
(pengantar ilmu hokum dan tata hukum Islam di Indonesia), Muh. Daud Ali. Raja
Grafindo Persada. Jakarta 1996. h. 170
[5] Insiklopedi Islam.
Pilar baru. Van Hove. 1994. h. 125
[6] http://wikypedia.www.id.hukumIslam
[7]
http://wikypedia.www.id.hukumIslam
[8] Terjemah, tarikh
At-tasyrik al islamu sejarah pembinaan hukum Islam, Hudari Bik, Darul ihya.
Indoenesia. Alih bahasa Pers. N. Zuhri. 1980. h. 246
[9] Terjemah, tarikh
At-tasyrik al islamu sejarah pembinaan hukum Islam, Hudari Bik, Darul ihya.
Indoenesia. Alih bahasa Pers. N. Zuhri. 1980. h. 248
[10] Terjemah, tarikh
At-tasyrik al islamu sejarah pembinaan hokum islam, Hudari Bik, Darul ihya.
Indoenesia. Alih bahasa Pers. N. Zuhri. 1980. h. 255
[11] Terjemah, tarikh
At-tasyrik al islamu sejarah pembinaan hokum islam, Hudari Bik, Darul ihya.
Indoenesia. Alih bahasa Pers. N. Zuhri. 1980. h. 257
[12] Hukum Islam
(pengantar ilmu hukum dan tata hukum di Indonesia), M. Daud Ali Raja Grafindo
Persada. Jakarta. 1996. h. 171-172
[13] Hukum Islam
(pengantar ilmu hukum dan tata hukum di Indonesia), M. Daud Ali Raja Grafindo
Persada. Jakarta. 1996. h. 1
[14] http://wikipedya.www.id.hukumislam
[15] Insiklopedi Islam.
Pilar baru. Van Hove. 1994. h. 137
[16] Hukum Islam
(pengantar ilmu hukum dan tata hukum di Indonesia), M. Daud Ali Raja Grafindo
Persada. Jakarta. 1996. h. 174
[17] Hukum Islam
(pengantar ilmu hukum dan tata hukum di Indonesia), M. Daud Ali Raja Grafindo
Persada. Jakarta. 1996. h. 75
[18] Fiqih Umar. Ruwa’I
ar-ruhaily, jilid 2 1994. h. 277
[19] http://wikipedya.www.id.hukumislam
[20] Fiqih Umar. Ruwa’I
ar-ruhaily, jilid 2 1994. h. 237-240
No comments:
Post a Comment