MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pendidikan agama yang diberikan secara formal disekolah khususnya yang diselenggarakan
oleh lembaga keagamaan seperti Pesantren, Gereja, Yayasan Islam, dan lain
sebagainya, oleh masyarakat dinilai gagal, karena menurut penilaian masyarakat
tujuannya tidak tercapai. Agama ternyata tidak membantu dalam upaya
menanggulangi konflik sosial, padahal agama dibanggakan dan diandalkan
sebagai: Pertama, kekuatan spiritual masyarakat bangsa yang dianggap mampu
untuk menjadikan masyarakat sebagai manusia yang adil, beradab, berakhlak, baik
dan terpuji. Kedua,
sebagai potensi dasar untuk membentuk tradisi berpikir,
bersikap dewasa, terbuka, dan toleran. Ketiga, menjawab
basic need masyarakat dari generasi ke generasi untuk bisa hidup berdampingan
secara dinamis dan rukun dalam agama, etnik, dan budaya.
Dalam membuktikan bahwa penilaian tersebut
benar, perlu ditelusuri secara histori perkembangan pendidikan formal dan pendidikan
agama serta kelemahan-kelemahan atau kesalahan-kesalahan yang terjadi
sehingga tidak berhasil.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana Sejarah Perguruan Agama di Indonesia?
2.
Bagaimana Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional?
3.
Bagaimana Implementasi Nilai-nilai Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional?
4.
Bagaimana Pendidikan Formal di Indonesia dan Peran Pendidikan Agama?
5.
Bagaimana Cara Mencari Suatu Model Pendidikan Agama Yang Relevan Dalam Masyarakat Majemuk?
C.
TUJUAN PENULISAN
1.
Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Dasar-Dasar Pendidikan.
2.
Untuk
Mengetahui Sejarah Perguruan Agama di Indonesia.
3.
Untuk
Mengetahui Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional.
4.
Untuk
Mengetahui Implementasi Nilai-nilai Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional.
5.
Untuk
Mengetahui Pendidikan Formal di Indonesia dan Peran Pendidikan Agama.
6.
Untuk Mengetahui
Cara Mencari Suatu Model Pendidikan Agama Yang Relevan Dalam Masyarakat Majemuk.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH PERGURUAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA
Secara kultural, pendidikan pada umumnya berada dalam lingkup peran, fungsi dan tujuan yang tidak bereda.
Semuanya dalam upaya untuk menegakkan martabat manusia melalui transmisi yang dimilikinya. Dunia pendidikan Islam dengan pendidikan pada umumnya, kadang-kadang memang mempunyai persamaan
dan kadang-kadang juga memiliki perbedaan. Persamaan akan timbul
karena sama-sama berangkat dari dua arah pendidikan yakni dari
diri manusia yang memang fitrahnya untuk melakukan proses pendidikan,
kemudian daribudaya yakni masyarakat yang memang menginginkan usaha warisan nilai,
maka semua memerlukan pendidikan.[1]
Pendidikan nasional menggalakan potensi individu secara menyeluruh dan
terpadu untuk mewujudkan insan yang seimbang dan harmonis dari segi
intelektual, rohani dan iman, berdasarkan kepada kepercayaan dan kepatuhan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ada penekanan dalam bidang rohani maupun jasmani manusia
dalam sistem pendidikan nasional merupakan ciri-ciri pendidikan Islam.
Karena itu kurikulum pendidikan keagamaan merupakan bagian
yang dimuat dalam kurikulum pendidikanmaupun yang melekat pada setiap
pelajaran sebagai bagian dari pendidikan nilai.
Perguruan
agama Islam merupakan cikal bakal lahirnya pendidikan nasional. Dalam sejarahnya, sebelum kolonial
Belanda memperkenalkan sistem pendidikan Baratnya yang modern, pesantren
merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal di Indonesia. Karena
itulah pesantren merupakan Bapak pendidikan (termasuk Islam) di
Indonesia.[2]
Perkembangan Agama Islam Abad XIX
dan Kelahiran Lembaga-lembaga Islam di Bidang Pendidikan Pada masa ini cukup
banyak perubahan bagi umat Islam di Indonesia, antara lain disebabkan
sudah banyaknya orang yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Sekembalinya dari Mekkah mereka
membawa paham atau pikiran-pikiran baru yang berbau pembaruan. Dampaknya dalam dunia pendidikan Islam yang sangat dirasakan antara
lain:
1.
Perubahan sistem pengajaran dari perorangan atau sorogan menjadi sistem klasikal.
2.
Pemberian
pengetahuan umum disamping pengetahuan agama dan bahas Arab. Diantara para
ulama yang berjasa dalam upaya pengembangan pendidikan Islam terutama di
pesantren tradisional dan hanya mengajarkan ilmu agama di Madrasah ialah:
a.
Syekh Abdullah Ahmad
Pendiri Madrasah
Adabiyah di Padang, Sumatra Barat pada tahun 1909. Madrasah ini merupakan
madrasah pertama di Indonesia.
b.
Syekh M.
Thaib Umar
Pendiri Madrasah School
di Batusangkar pada tahun 1910. Sebagaimana layaknya sistem sekolah,
murid-murid tidak lagi duduk secara berhalaqah, melainkan duduk berjajar,
menggunakan meja, kursi dan papan tulis. Dengan kata lain madrasah
School telah memperkenalkan sistem belajar modern.
c.
Rahmah el Yunusiyah
Mendirikan Madrasah Diniyah putri di
Padang Panjang pada tanggal 1 November 1923. Perguruan agama ini
khusus mendidik putra-putri dalam ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan
umum.
d.
K.H. A. Wahab Hasbullah dan K.H. Mas Mansur
Mendirikan Madrasah Taswirul Afkar pada tahun 1914.
Madrasah ini juga disampingmemberikan pengetahuan agama juga memberikan
pengetahuan umum.
e.
K.H. Hasyim Asyari
Mendirikan Madrasah
Salafiyah di Tebuireng, Jombang Jawa Timur pada tahun 1916.
f.
K.H. Ahmad Dahlan
Lewat organisasi
Muhammadiyah yang ia dirikan pada 18 Nopember 1912, ia
mendirikan berbagai lembaga pendidikan dengan menggunakan sistem modern,
dengan memadukan pengetahuan agama dengan pengetahuan umum yang diajarkan
dilembaga-lembaga pendidikannya.
1.
Proses Penyatuan Sistem Penyelenggaraan dan Lahirnya Madrasah Negeri
Upaya-upaya perbaikan dan
peningkatan madrasah selalu dilakukan dalam berbagai aspek. Usaha untuk
itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana
yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP
KNIP) tanggal 27 Desember 1945, yang menyebutkan bahwa: madrasah
dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan
dan kecerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakat dalam masyarakat
Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata berupa
tuntunan dan bantuan material dari pemerintah.[3]
2.
Lahirnya SKB 3 Menteri, SKB 2 Menteri, dan Penetapan Kurikulum 1984
Upaya untuk meningkatkan kualitas
dan penyelenggaraan madrasah senantiasa dilakukan setelah adanya usaha
penegerian terhadap madrasah swasta, maka terbit lagi Surat Keputusan Bersama
(SKB) 3 Menteri Tahun 1975 antara Menteri
Agama, Menteri Pendidikan dan Menteri Kebudayaan, dan Menteri Dalam
Negeri tentang PeningkatanMutu Pendidikan pada Madrasah.
3.
Madrasah Aliyah Program Khusus
Kelahiran madrasah Aliyah Program
Khusus (MAPK) yang didasari dengan keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1987
dilatar belakangi oleh kebutuhan akan tenaga ahli dibidang agama Islam sesuai
dengan tuntutan pembangunan nasional. Maka, dengan itu perlu dilakukan usaha
peningkatan mutu pendidikan pada madrasah Aliyah.
4.
Perintisan Wajib Belajar 9 Tahun di Madrasah
Dengan
lahirnya UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang diikuti
dengan beberapa Peraturan Pemerintahan sebagai kerangka
acuan penyelenggaraan, terutama PP Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan
Dasar, maka jenjang pendidikan dasar yang merupakan program wajib belajar
adalah 9 tahun, meliputi Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun dan Madrasah Tsanawiyah 3
tahun. Wajib belajar itu sendiri secara resmi dicanangkan oleh Presiden Soeharto
pada tanggal 2 Mei 1994.
5.
Kelahiran Kurikulum 1994
Usaha untuk
mengembangkan dan meningkatkan mutu madrasah ternyata tidak pernah berhenti,
seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan majunya ilmu pengetahuan
dan teknologi, madrasah pun tidak mau ketinggalan. Dengan pemberlakuan UU Nomor 2 tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dengan segala Peraturan Pemerintahan sebagai pedoman
pelaksanaanya, maka kurikkulum berbagai jenjang dan jenis pendidikan yang
sedang berlaku perlu disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan tersebut.
B.
PENDIDIKAN AGAMA DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Secara
historis diketahui bahwa sejak pemerintahan Kolonial Belanda
memperkenalkan sistem pendidikannya yang bersifat sekuler, keadaan pendidikan
di Indonesia berjalan secara dualistis. Pendidikan kolonial yang
tidak memperhatikan nilai-nilai agama dengan pola Baratnya berjalan
sendiri, sementara pendidikan Islam yangdiwakili pesantren dengan tidak
memperhatikan pengetahuan umum juga berjalan sendiri.
Fungsi Pendidikan Agama Dalam Sistem Pendidikan Nasional
Secara eksplisit fungsi pendidikan agama
yang telah dituangkan dalam penjelasanPasal 39 ayat (2) UU Nomor
2 Tahun 1989, yang menyebutkan pendidikan agama merupakan usaha
untuk memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan
agama yang dianut peserta didiknya yang bersangkutan, dengan memperhatikan
tuntutan yang menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antarumat
beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan basional.[4]
C.
IMPLEMENTASI NILAI-NILAI AGAMA DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Pendidikan
keagamaan merupakan bagian terpadu yang dimuat dalam kurikulum pendidikan
maupun melekat pada setiap mata pelajaran sebagai bagian dari pendidikan nilai.
Oleh karena itu nilai-nilai agama akan selalu memberikan corak kepada
pendidikan agama.Pada palaksanaannya, pendidikan keagamaan dalam sistem
pendidikan nasional, baik yang berada pada jalur sekolah maupun pendidikan
luar sekolah, paling tidak tampil dalam beberapa bentuk atau kategori yang
secara substansial memiliki perbedaan, baik dalam sifatnya maupun dalam
implikasi pelaksanaannya sebagai barikut:
1.
Keberadaan Mata Pelajaran Agama
Didalam UU
Nomor 2 tahun 1989 dikemukakan bahwa pendidikan keagamaan merupakan pendidikan
yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan
yangmenuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang
bersangkutan, dan diselenggarakan pada semua jenjang pendidikan.
Pendidikan keagamaan merupakan salah satu bahan kajian dalam
kurikulum semua jenis dan jenjang pendidikan di Indonesia.
2.
Lembaga Penyelenggara Pendidikan Keagamaan
Dalam sistem
pendidikan nasional, pesantren yang mempunyai akar kuat dalam masyarakat Islam
Indonesia merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah. Di pesantren
secara intensif agama dipelajari, didalami, dan dikaji.
3.
Melekatnya Nilai-nilai Agama pada Setiap Mata Pelajaran
Hal ini pada
dasarnya lebih subtil, namun mempunyai peranan yang sangat pentingdalam upaya
mengembangkan nilai-nilai keagamaan pada anak didik. Sebagai contohdalam hal ini adalah
pendidikan MIPA. Melalui pendidikan ini siswa mempelajari substansi ke-MIPA-an
yang terdiri atas dalil-dalil, teori-teori, generalisasi-generalisasi,
prinsip-prinsip, dan konsep-konsep MIPA.
4.
Penanaman Nilai-nilai Agama di Keluarga
Keluarga merupakan bagian dari
pendidikan luar sekolah sebagai wahana pendidikan agama yang paling
ampuh. Keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama bagi seseorang,
dengan orang tua sebagai kuncinya. Dalam hal ini Al-Quran mengungkapkan tentang
peranan orang tua untuk mendidik anak-anaknya, seperti yang dinyatakan dalam
Surat Al-Tahrim ayat 6, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا ....
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka......
D.
PENDIDIKAN FORMAL DI INDONESIA DAN PERAN PENDIDIKAN AGAMA
Pendidikan
formal di Indonesia sudah dimulai sebelum pemerintahan kolonial, tepatnya
sejak VOC. Tetapi menurut Ki Hajar Dewantara, sekolah tersebut juga
diselenggarakan karena kepentingan kompeni, yaitu untuk mengadakan tenaga
kerja ketimbang kepentingan rakyat. Sekalipun pemerintah beralih ke VOC kepada
pemerintahan kolonial Hindia Belanda, dan telah diterapkan politik etis,
serta diselenggarakan sekolah pemerintahan, namun tujuannya masih tetap
mendidik calon pegawai negeri dan pembantu di perusahaan Belanda.
Ki hajar Dewantara menggambarkan
bahwa disatu pihak, pribumi yang bersekolah ini tidak diberi kesempatan
dan tidak dibekali dengan kemampuan yang memadai untukmenjadi sama dengan orang
Belanda. Sementara
dipihak lain mereka mencabut akarnya ditengah masyarakat pribumi. Lulusan HIS
yang adalah bumi putera hanya boleh menjadi tenaga kerja kelas dua,
yang gajinya tidak akan pernah sama dengan orang Belanda.
Dalam membandingkan sekolah yang
diselenggarakan pemerintah Belanda dengan yang diselenggarakan oleh gereja, Ki
Hajar Dewantara menilai sekolah yang dikelola gereja lebih baik karena
pendidikan yang disajikan berorientasi pada budaya pribumi, sedangkan sekkolah
pemerintah berorientasi Barat.[5]
Sekolah gereja menggunakan bahasa
Melayu, sehingga sekolah-sekolah itu bukan saja menghasilkan pribumi yang
cerdas tetapi sekaligus yang tidak tercabut dari akar budayanya. Sekolah-sekolah gereja atau
zending (Badan Pekabaran Injil) memang memainkan peranan penting dalam
pengembangan budaya dan rasa persatuan bangsa Indonesia. Ki Hajar mencatat
bahwa sebelum tahun 1862 (politik etis), hanya zending Kristen yang memandang
pendidikan sebagai tugas kebudayaan, yang memang sesuai sekali dengan
pemikiran evangelisasi (Injil). Sekolah-sekolah
gereja juga kesehatan diselenggarakan terbuka untuk siapa saja,tanpa
mengharuskan mereka menjadi Kristen. Lembaga-lembaga itu lebih merupakan
lembaga pelayanan daripada lembaga peng-Kristen-an. Dasar dari gereja adalah
jiwa atau semangat yang ada pada Injil sendiri, yakni memanusiakan manusia
melalui transformasi kehidupan seutuhnya. Dengan semangat itulah seorang
penginjil yang sekaligus guru, Nicolaas Graafland mengelola sekolah guru
yang terkenal dizaman Belanda, yaitu sekolah guru Tanah wangko. Sesuai dan
berdasarkan Injil, pendidikannya mengubah kehidupan menjadi lebih baik serta
sejahtera lahir batin. Menurutnya peradaban, proses kulturasi dan agama harus
terpadu secara harmonis dalam pendidikan lewat sekolah-sekolah. Pendidikan
Graafland dipuji oleh Ki Hajar karena menekankan kebudayaan, teristimewa
kebudayaan nasional.[6]
Pendidikan sebagai salah satu
usaha memberikan segala nilai-nilai kebatinan, yang ada dalam hidup rakyat
yang berbudayaan, kepada generasi penerus lewat pewarisan budaya, tidak hanya
berupa pemeliharaan, akan tetapi juga dengan maksud memajukan, serta mengembangkan
kebudayaan, menuju kearah keluhuran hidup kemanusiaan. Untuk itu
pengajaran umum hendaknya dapat mempersatukan dan memperkuat kebudayaan
bangsa, menumbuhkan semangat kebangsaan yang sehat, kuat, dan pelajarannya
bersumber pada agama, adat istiadat, kesusilaan, kesenian, sejarah, dan nilai
yangmengandung nilai adab pada umumnya. Pengajaran yang bersumber pada agama
(Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lain-lain). Menurut Ki Hajar hendaknya
digunakan untuk mengisi adab kesusilaan (etik dan moral), dengan harapan
nantinya anak-anak dapat terbangun rasa penghargaan, cinta, dan keinsyafan
terhadap semua agama, terutama agamanya sendiri. Pendidikan agama menjadi pelajaran
wajib disemua jenjang pendidikan sebagai bagian integral pendidikan
nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur,
berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, inovatif,
dan sebagainya. Pendidikan nasional juga diharapkan menumbuhkan sikap
patriotik, dan rasa cinta tanah air, meningkatkan rasa solidaritas, serta menumbuhkan
semangat yang berorientasi masa depan. Dengan kata lain, pendidikan
diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa,
mewujudkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berkualitas, mandiri sehingga mampu membangun dirinyadan bertanggung jawab
atas pembangunan bangsa. Oleh karena itu
munculnya pertikaian dan kerusuhan yang bersumber pada perbedaan suku, ras
dan agama Indonesia yang menelan beribu korban jiwa dapat dilihat sebagai
akibat gagalnya pendidikan agama yang diselenggarakan disekolah-sekolah
dan diluar sekolah.
E.
MENCARI SUATU MODEL PENDIDIKAN AGAMA YANG RELEVAN DALAM MASYARAKAT MAJEMUK
Pertanyaan
yang paling mendasar adalah : Apakah dasar dan tujuan pendidikan, khususnya
pendidikan agama?. Tujuan pendidikan bermakna kultural, seperti kata Ki Hajar,
dikembangkan oleh pewarisnya sehingga warisan itu berguna bagi
kehidupannya. Begitu pula halnya dengan pendidikan agama, harus memampukan
seseorang bukan hanya mengenal agamanya tetapi mampu pula bertumbuh dalam
imannya dan memberlakukan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, demi
kehidupan yang sejahtera lahirbatin bagi semua.Sasaran akhir dari pendidikan
agama haruslah seorang pribadi yang memiliki integrasi diri, mampu menggunakan
imannya dalam menjawab tantangan hidup dan mampu memanusiakan sesamanya dengan
berbagai kehidupan yang sejahtera yang dikaruniakanAllah kepada manusia.
Dengan
kata lain, pendidikan dimaksudkan untuk memampukan manusia mengambil
bagian secara aktif, kreatif dan kritis dalam pembangunan masa depan bersama
yang lebih baik daripada masa lalu. Menurut seorang ahli pendidikan agama
Kristen, Ronald Goldman, walaupun pendidikan agama menghasilkan keuntungan
sosial, moral, budaya dan usaha pekabaran Injil suatu gereja, namun jangan
hal itu menjadi pendorong bagi penyelenggaraan pendidikan agama. Kebutuhan
naradidik haruslah menjadi titik awal dan tujuan akhir dari pendidikan
agama, dan motivasinya haruslah demikebutuhan manusia akan hidup
yang sejahtera.
Bila tujuan akhir pendidikan adalah
perubahan perilaku dan sikap serta kualitasseseorang, maka pengajaran harus
berlangsung sedemikian rupa sehingga tidak sekedar memberi informasi atau
pengetahuan melainkan harus menyentuh hati, sehinggaakan mendorong untuk
mengambil keputusan untuk berubah.
Dalam bahasa pendidikan dikatakan
bahwa tujuan pendidikan atau pengajaran baru berhasil jika mengena dimensi
atau ranah kognitif (intelektual), afektif (perilaku) dan psikomotorik
(keterampilan). Jika perubahan tidak terjadi maka
pendidikan dinyatakan gagal. Dan nampaknya pendidikan formal di Indonesia
lebih menekankan ranah kognitif atau kemampuan intelektual naradidik,
ketimbang pribadi seutuhnya. Memang paling sulit adalah menilai segi afektif,
namun tidak berarti itu boleh diabaikan.Kehadiran mata pelajaran agama justru
mengaburkan arti beragama dan arti iman sesungguhnya. Kelulusan dimata
pelajaran itu sendiri tidak menjamin keberimanan seseorang, tidak menjamin
moral seorang baik, malah bisa menjadikan seseorang bersikap munafik atau memiliki
norma ganda. Bahaya lain dari pendidikan agama di sekolah adalah terbentuknya
pengkotakan siswa dalam suatu sekolah menurut agamanya, ganti
menumbuhkan rasa solidaritas dan persatuan.
Dampak
yang muncul selanjutnya adalah fanatisme terhadap agama masing-masing
dan merendahkan agama lain, dan kecurigaan serta prasangka terhadap yang berbeda. Sedang dampak
lainnya adalah semangat Bhineka Tunggal Ika, kesatuan dalam kemajemukan,
diganti dengan siapa kuat dia menang, siapa besar dia menentukan. Padahal dalam
demokrasi, satu suara lemah dari yang paling kecil sekalipun harus memperoleh
kesempatan untuk didengar dan dipertimbangkan oleh semua.Tempat belajar
demokrasi yang pertama seharusnya adalah kelas pelajaran agama, yang
mengajarkan untuk menerima dan mengasah sesama manusia sebagai bukti menghargai
karya Allah tertinggi. Dalam kelas melalui pelajaran agama pula orang belajar
mengenai hak dan tanggungjawab manusia terhadap Tuhan dan sesama makhluk karena
saling ketergantungan manusia. Manusia belajar tentang kuasa untuk melayani dan
bukan untuk mengeksploitasi atau memanipulasi untuk kepentingan sendiri.
Untuk
mencapai maksud itu maka metode yang digunakan oleh guru juga
harus mempumembangun kepribadian yang demokratis, menumbuhkan jati
diri yang berkualitas serta integrasi tinggi. Harus diakui bahwa
pendidikan di Indonesia penuh dengan politik para penguasa dengan tujuan agar
sesuai dengan penguasa bukan demi pengembangan generasi muda.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Perguruan
agama Islam merupakan cikal bakal lahirnya pendidikan nasional.
Dalamsejarahnya, sebelum kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan
Baratnya yang modern, pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan
formal di Indonesia. Pendidikan formal di Indonesia sudah dimulai
sebelum pemerintahan colonial, tepatnya sejak VOC.Sistem pendidikan di
Indonesia dibawa oleh kolonial Belanda semasa menjajah Indonesia. Pendidikan
keagamaan merupakan bagian terpadu yang dimuat dalam
kurikulum pendidikan maupun melekat pada setiap mata pelajaran sebagai
bagian dari pendidikan nilai. Sasaran akhir dari pendidikan agama haruslah
seorang pribadi yang memiliki integrasi diri, mampu menggunakan
imannya dalam menjawab tantangan hidupdan mampu memanusiakan sesamanya
dengan berbagai kehidupan yang sejahtera yang dikaruniakan Allah kepada
manusia. Dengan kata lain, pendidikan dimaksudkan untuk memampukan manusia
mengambil bagian secara aktif, kreatif dan kritis dalam pembangunan masa depan
bersama yang lebih baik daripada masa lalu.
B.
KRITIK DAN SARAN
Penulis harap dengan adanya makalah
ini, para pembaca khususnya penulis dapat memahami semua pembahasan yang telah
diuraikan diatas. Penulis pun mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca guna sempurnanya pembuatan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. 2010. Al-Qur’an
dan Terjemahannya. Bandung : CV Diponegoro
Hasbullah. 2009. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan.
Jakarta: Rajawali Pers.
Th.
Sumartana, dkk. 2001. Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga penulis dapat
menyalesaikan tugas ini. Shalawat serta salam semoga Allah tetap mencurah
limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW serta keluarganya dan para
sahabatnya.
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas dalam mengikuti perkuliahan Dasar-Dasar
Pendidikan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan tugas ini. Dengan segala Rahmat
dan Karunia-Nya akhirnya penyusun bisa menyelesaikan makalah ini dengan
berusaha semaksimal mungkin, akan tetapi penulis menyadari makalah yang ini
jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun, agar penulis bisa lebih baik dalam membuat tugas
mandiri selanjutnya. Semoga makalah ini bisa memberi manfaat khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi pembaca.
Bengkulu, November 2017
Penulis
|
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
KATA
PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR
ISI.................................................................................................. iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH.................................................. 1
B. PERUMUSAN MASALAH.............................................................. 2
C. TUJUAN PENULISAN..................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN
A. SEJARAH PERGURUAN AGAMA ISLAM DI INDOENSIA..... 3
B. PENDIDIKAN AGAMA DALAM SISTEM PENDIDIKAN
NASIONAL........................................................................................ 6
C. IMPLEMENTASI NILAI-NILAI AGAMA DALAM SISTEM
PENDIDIKAN NASIONAL............................................................. 7
D. PENDIDIKAN FORMAL DI INDONESIA DAN PERAN
PENDIDIKAN AGAMA................................................................... 8
E. MENCARI SUATU MODEL PENDIDIKAN AGAMA YANG
RELEVAN DALAM MASYARAKAT MAJEMUK....................... 10
BAB
III PENUTUP
A. KESIMPULAN.................................................................................. 13
B. KRITIK DAN SARAN...................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA
|
No comments:
Post a Comment