PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Islam didefinisikan sebagai wahyu yang diturunkan
kepada nabi Muhammad saw. sebagai pedoman untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
Jadi, inti Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad. Kita tahu bahwa
wahyu itu terdiri dari wahyu yang berbentuk al-Qur’an, serta wahyu yang
berbentuk hadis, sunnah nabi Muhammad saw.[1][1]
Wahyu sebagai sumber asli seluruh pengetahuan memberi
kekuatan besar terhadap bangunan pengetahuan bila mampu mentransformasikan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya. Wahyu juga memberi sumbangan intelektual yang
tidak terjangkau oleh kekuatan rasional dan empiris, sehingga wahyu dapat
dijadikan sebuah rujukan pencarian suatu ilmu pengetahuan. Di samping itu,
wahyu memiliki sambungan vertikal, yakni dengan Allah SWT yang menguasai
seluruh alam raya ini.[2][2]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa maksud Islam sebagai agama wahyu?
2.
Bagaimana ciri-ciri Islam sebagai agama wahyu?
3.
Apa pengertian wahyu?
4.
Bagaimana epistemologi wahyu?
5.
Apa saja bentuk-bentuk wahyu?
6.
Bagaimanakah posisi akal terhadap wahyu?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Islam Sebagai Agama Wahyu
Ada Agama dari segi sumbernya bisa dikelompokkan
menjadi agama budaya dan agama samawi. Agama budaya adalah agama yang bersumber
dari akal atau pemikiran manusia. Sedangkan agama samawi sering disebut juga
sebagai agama langit, agama prophetis, yaitu agama yang berasal dari wahyu
Allah kepada rasul-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia.
pendapat yang mengatakan bahwa yang termasuk dalam
kelompok agama wahyu ini adalah agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Namun dalam
kenyataan yang sebenarnya Islam adalah satu-satunya agama samawi. Dalam
bentuknya yang asli (ketika masing-masing diturunkan kepada nabi Musa a.s. dan
nabi Isa a.s.) keduanya (agama Yahudi dan Nasrani) merupakan agama samawi,
dalam pandangan al-Qur’an keduannya ini adalah Islam. Karena nabi Musa dan Isa
adalah seorang muslim yang diperintahkan Allah untuk menyampaikan agama Allah
(Islam) kepada umat-Nya.[3][3]
Islam sebagai agama wahyu, dapat dilihat melalui wahyu
Allah dalam beberapa ayat-ayat al-Qur’an yang artinya:
“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Islam-lah wahai
dikau Ibrahim,” Ibrahim menjawab: “Aku telah ber-Islam kepada Tuhan semesta
alam.” (QS.
Al-Baqarah: 131).
“Nabi Nuh berkata: “Dan aku diperintahkan (oleh Allah)
untuk menjadi seorang dari golongan muslimin.” (QS. Yunus: 72).
“Nabi Musa berkata kepada kaumnya: “Ya kaumku, bila
kalian beriman kepada Allah, bertawakal dirilah kepada-Nya jika benar-benar
kalian muslimin.” (QS. Yunus:
84).
“Dia (Allah) telah menamai kamu semua sebagai
orang-orang muslim dari dahulu.” (QS. Al-Hajj: 78).[4][4]
Demikian tadi beberapa penjelasan dalam al-Qur’an mengenai Islam sebagai
agama wahyu. Dapat disimpulkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama samawi
(wahyu) yang bersumber dari Allah, dzat yang paling benar dan mengetahui
kebenaran. Islam sebagai agama wahyu telah diturunkan oleh Allah kepada
umat-Nya melalui nabi dan rasul-Nya, dari sejak nabi Adam sampai nabi terakhir
kita, yaitu nabi Muhammad saw.
B.
Ciri-ciri Islam Sebagai Agama Wahyu
Islam sebagai agama wahyu memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1.
Berkembang secara revolusi, diwahyukan Tuhan.
Jika agama-agama lain namanya ada setelah pembawa
ajarannya telah tiada, maka nama Islam sudah ada sejak awal kelahirannya. Allah
swt. sendiri yang memberikan nama untuk agama Islam ini, seperti dalam QS. Ali
Imran ayat 19 yang artinya:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai)
disisi Allah hanyalah Islam.”
Ini merupakan salah satu keistimewaan dan sekaligus
tanda bahwa Islam adalah satu-satunya agama wahyu yang diridhai Allah untuk
umat-Nya. Mengenai Islam berkembang secara revolusioner, dapat dilihat dari
segi pembawa ajaran Islam (Nabi dan Rasul). Islam merupakan agama semua Nabi
dan Rasul beserta pengikut-pengikut mereka. Hal ini telah dijelaskan dalam
firman-firman Allah, sebagai berikut:
a.
Islam sebagai agama Nabi Ibrahim dan anak cucunya:
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami
berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau (Muslim) dan jadikanlah di antara
anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau (Muslim). (QS. Al-Baqarah: 128).
b.
Islam sebagai agama Nabi Musa dan pengikutnya:
“Berkata Musa: Hai kaumku, jika kamu
beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar
Muslim.” (QS. Yunus:
84).
c.
Islam adalah agama Nabi-nabi Bani Israil:
“Sesunguhnya Kami telah menurunkan
Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang
dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh Nabi-nabi yang
menyerah diri kepada Allah (Muslim),” (QS. Al-Maidah: 44).
d.
Islam adalah agama Nabi Muhammad saw.:
“Katakanlah wahai Muhammad:
sesungguhnya sembahyangku dan ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah
Tuhan seru sekalian alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan dengan yang demikian saja
aku diperintahkan dan aku adalah orang yang pertama kali berislam.” (QS. Al-An’am: 162-163)
2.
Disampaikan melalui utusan Tuhan.
Telah jelas bahwa agama Islam itu adalah agama wahyu
samawi yang disampaikan kepada umat manusia dari Allah swt. melalui para Nabi
dan Rasul sepanjang sejarah Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad saw.
3.
Ajaran ketuhanannya Monoteisme Mutlak (tauhid).
Islam mengajarkan kepada para pengikutnya bahwa tidak
ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, hal ini tertuang dalam lafadz
syahadat yang merupakan salah satu rukun Islam.
4.
Memiliki kitab suci (berupa wahyu) yang bersih dari
dari campur tangan manusia.
Kitab suci umat Islam adalah al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw. seperti yang telah dijelaskan Allah dalam firman-Nya QS. An-Najm ayat 3-4
: “Dan Tiadalah
yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” Ini menjadi
bukti bahwa kitab suci (al-Qur’an) diturunkan bersih dari campur tangan
manusia, termasuk nabi yang menerimanya sendiri. Jadi wahyu (kitab suci) ini
benar-benar murni bersumber dari Allah swt.
5.
Ajaran prinsipnya tetap (ajaran tauhid dari waktu ke
waktu).
Segala macam bentuk ajaran dalam Islam merupakan
bentuk konsekuensi tauhid. Seperti masalah ibadah, yang merupakan realisasi
dari ketauhidan seseorang. Orang yang menyatakan bahwa Tuhan yang menciptakan
dan memelihara alam semesta adalah Allah, konsekuensinya ia harus beibadah
hanya kepada Allah. [5][5]
C.
Pengertian Wahyu
Kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahyu, yang artinya suara, api dan
kecepatan. Al-Wahyu diartikan juga dengan bisikan, isyarat, tulisan dan kitab.
Dalam wacana keislaman, al-wahyu lebih dimaknai sebagai pemberitaan, risalah
dan ajaran Allah yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya. Dalam kata
wahyu terkandung arti penyampaian sabda atau firman Allah kepada orang-orang yang
menjadi pilihanNya untuk diteruskan kepada umat manusia sebagai pegangan dan
panduan hidupnya.[6][6]
Istilah wahyu dalam al-Qur’an muncul sebanyak 78 kali,
yang masing-masing memiliki makna dan pengertian yang beragam. Dari segi
maknanya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.
Wahyu dalam arti firman Allah yang disampaikan kepada
Nabi dan RasulNya, yang berupa risalah atau kitab suci. Misalnya pada QS.
An-Nisa’ ayat 163.
2.
Wahyu dalam arti firman (pemberitahuan) Allah kepada
Nabi dan RasulNya untuk mengantisipasi kondisi dan tantangan tugasnya. Seperti
dalam QS. Al-A’raf ayat 117.
3.
Wahyu dalam arti instink atau naluri atau potensi
dasar yang diberikan Allah kepada makhlukNya. Contohnya pada QS. An-Nahl ayat
68.
4.
Wahyu dalam arti pemberian ilmu dan hikmah. Misalnya
dalam firman Allah QS, Al-Isra’ ayat 39.
5.
Wahyu dalam arti ilham atau petunjuk Allah kepada
manusia dalam bentuk intuisi atau inspirasi dan bisikan hati. Hal ini terdapat
dalam QS. Al-Qashash ayat 7.[7][7]
D.
Epistimologi Wahyu
1.
Sumber Wahyu
Wahyu, baik berupa Qur’an maupun hadits bersumber dari
Allah swt. yang disampaikan kepada orang-orang pilihan-Nya (nabi/rasul). Adapun
cara Allah dalam menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad adalah sebagai berikut:
a.
Malaikat memasukkan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad.
b.
Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad saw.
berupa seorang laki-laki.
c.
Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad saw.
dalam rupanya yang asli.
2.
Karakteristik Wahyu
Wahyu yang berupa al-Qur’an maupun hadits, memiliki
karakteristik yang asli. Pengetahuan mengenai berbagai karakteristik ini
dianggap sangat penting dalam kaitannya dengan pemahaman ajaran ajaran yang
terkandung di dalamnya. Berikut ini adalah beberapa karakteristik wahyu :
a.
Wahyu, baik berupa al-Qur’an maupun hadits, bersumber
dari Tuhan. Pribadi nabi SAW menyampaikan wahyu ini, memainkan peran yang
sangat penting dalam menyampaikan makna wahyu tersebut. Seperti firman Allah
dalam Q.S An-Najm ayat 3-4 yang artinya : “Dan Tiadalah yang diucapkannya
itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
b.
Wahyu, baik berupa Al-qur’an maupun hadits, merupakan
perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan
waktu, baik perintah itu diungkapkan dalam bentuk umum maupun khusus.
c.
Wahyu itu berupa nash-nash yang berbahasa arab dengan
gaya ungkap bahasa yang berlaku. Orang arab memiliki gramatika khas dalam
bahasa mereka, baik dari segi indikasi lafal terhadap maknanya, dari segi
pemakaian makna yang tidak terkandung pada lafalnya maupun dari segi kekayaan
sastranya. Wahyu ini menggunakan bahasa arab dengan kaidahnya yang paling
tinggi, sehingga Alqur’an mencapai tingkat yang tidak dapat dijangkau manusia.
d.
Apa yang dibawa oleh wahyu itu tidak ada yang
bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip prinsip akal.
e.
Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak
terpisah pisah. Diantara tanda kesatuannya adalah penafsiran satu bagian dengan
bagian yang lainnya saling berhubungan.
f.
Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan
manusia, baik berupa perintah maupun larangan. Keduanya berkaitan dengan ujaran
yang sifatnya langsung terkait dengan jenis perbuatan tersebut.
g.
Sesungguhnya wahyu, yang berupa Alqur’an dan hadits,
turun secara berangsur angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang. Turunnya
sesuai dengan keperluan dan kasus yang terjadi pada zaman dan tempat dimana ia
diturunkan.[9][9]
3.
Nilai Kebenaran Wahyu
Nilai kebenaran wahyu bersifat mutlak dan mengikat,
juga universal dan lestari. Karena wahyu bersumber dari Allah swt. dzat yang
Maha Besar, mengatasi segala kebenaran yang ada. Allah berfirman dalam QS.
Al-Baqarah ayat 1-2 yang artinya: “Alif
Lam Mim. Al-kitab itu (al-Qur’an) tidak ada keraguan di dalamnya. Dialah
petunjuk bagi orang-orang Muttaqin”. Serta dalam QS. Al-Baqarah ayat 147
yang artinya: “Kebenaran itu dari
Tuhanmu, maka janganlah kalian meragukannya”. Kebenaran wahyu berbeda
dengan kebenaran akal yang bersifat relatif.[10][10]
E.
Wahyu Kauniyyah dan Qur’aniyyah
Wahyu yang diturunkan oleh Allah swt. berbentuk wahyu qur’aniyyah
(qauliyyah) dan wahyu kauniyyah. Ayat Qur`aniyah adalah ayat Allah yang tersurat, sedang ayat kauniyyah adalah ayat Allah yang
tersirat.
Ayat Qur`aniyah merupakan wahyu Allah yang tersurat di dalam
Al-Qur`an dan merupakan bagian dari susunan Mush-haf Al-Qur`an. Adapun
yang dimaksud dengan ayat kauniyyah adalah hukum alam ciptaan
Allah yang berlaku pada alam raya. Di antara ayat Qur`aniyah dengan ayat kauniyyah terdapat munâsabah, korelasi dan keserasian. Keduanya, jika dikaji secara mendalam akan melahirkan dua disiplin ilmu, ilmu-ilmu al-Qur`an dan ilmu-ilmu kealaman, serta melahirkan dua jenis
kepakaran, yaitu ulama dan ilmuwan.[11][11]
F.
Posisi Akal Terhadap Wahyu
Di samping wahyu, ada pula akal, yang merupakan salah
satu hidayah yang diberikan Allah kepada makhlukNya. Akal dan wahyu seringkali
dikontraskan sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan tentang kebenaran. Akal
merupakan kunci untuk mendapatkan pengetahuan, baik pengetahuan yang bersumber
dari fenomena penciptaan (al-ayat
kauniyah) maupun yang bersumber dari fenomena wahyu (al-ayat qawliyah).[12][12]
1.
Pengertian Akal
Akal berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu’. Dari segi bahasa kata ‘aql berarti “ikatan, batasan, atau menahan”, di samping arti
sebagai daya berpikir. Menurut Asy-Syafi’i dan Abi ‘Abdillah, dari Mujahid
bahwa akal adalah alat untuk membedakan baik-buruk, benar-salah (al-‘aql alat at-tamyiz). Juga dapat
diambil pendapat bahwa akal adalah sesuatu yang dengannya diketahui yang benar
(al-haq) dari yang salah (al-batil).[13][13]
2.
Akal dan Wahyu Kauniyyah serta Qur’aniyyah
Dari definisi tentang akal di atas, jelas bahwa dalam akal masih terdapat
dualitas-dualitas konseptual. Maka dalam hal ini wahyu (al-Qur’an) berperan
memberikan tuntunan tentang penggunaan akal.
Di samping berfikir dengan akalnya, manusia harus pula mendengarkan (yasma’u)
wahyu yang diajarkan oleh para nabi dan rasul. Dengan demikian akal (aql) dan naql harus diperlakukan sebagai dua kekuatan yang saling mengisi
dalam memahami kebenaran.[14][14]
a.
Akal dalam memahami ayat-ayat kauniyyah
Ayat-ayat kauniyyah adalah objek kajian akal. Akal
berguna untuk merenungkan ayat-ayat kauniyyah yang terpampang dalam galaksi,
benda-benda mati, tumbuhan, hewan, serta manusia. Seperti dalam firman Allah,
yang artinya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya, Dia
memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan
Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu
sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akanya.” (QS. Ar-Rum:24)
Dan firman
Allah,
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan
untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintahNya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi kaum yang memahaminya.” (QS. An-Nahl:12)
Serta masih banyak lagi ayat-ayat kauniyyah lainnya. Dengan demikian akal
telah melingkupi semua sisi, termasuk mengenai ayat-ayat kauniyyah. Maka, orang
yang tidak menggunakan akalnya pada semua sisi ini termasuk orang-orang yang
tidak mendapatkan petunjuk serta berada dalam kesesatan.[15][15]
b.
Akal dalam memahami ayat-ayat qur’aniyyah
Objek kajian akal bukan hanya ayat-ayat kauniyyah
saja, termasuk pula ayat-ayat yang diturunkan dalam bentuk wahyu. Seperti dalam
firman Allah:
“Katakanlah, ‘Aku tidak mengatakan
kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui
yang gaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat.
Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. ‘Katakanlah, ‘Apakah
sama orang yang buta dengan orang yang melihat?’ Maka apakah kamu tidak
memikirkannya.” (QS.
Al-An’am:50)
Ini adalah dorongan untuk berpikir, terutama tentang
wahyu, kenabian, dan kebenaran Nabi Muhammad saw.[16][16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Islam adalah satu-satunya agama samawi (wahyu) yang
bersumber dari Allah, dzat yang paling benar dan mengetahui kebenaran. Islam
sebagai agama wahyu telah diturunkan oleh Allah kepada umat-Nya melalui nabi
dan rasul-Nya, dari sejak nabi Adam sampai nabi terakhir kita, yaitu nabi
Muhammad saw. Ciri-ciri Islam sebagai agama wahyu dapat dilihat sebagai
berikut: Berkembang secara revolusi, diwahyukan Tuhan, disampaikan melalui
utusan Tuhan, ajaran ketuhanannya Monoteisme Mutlak (tauhid), memiliki kitab
suci (berupa wahyu) yang bersih dari dari campur tangan manusia, serta ajaran
prinsipnya tetap (ajaran tauhid dari waktu ke waktu).
Wahyu dapat dimaknai sebagai pemberitaan, risalah dan
ajaran Allah yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya. Wahyu memiliki
beberapa karakteristik diantaranya: wahyu bersumber dari Tuhan, merupakan
sebuah perintah untuk seluruh umat manusia, wahyu diturunkan dengan menggunakan
bahasa Arab, wahyu tidak bertentangan dengan akal, dan yang lainnya. Nilai
kebanaran wahyu tidak diragukan lagi, karena ia bersumber dari Allah, dzat yang
Maha Benar.
Wahyu yang diturunkan kepada manusia dapat berupa
ayat-ayat kauniyyah maupun qur’aniyah. Ayat kauniyyah yaitu ayat yang
dijelaskan secara tersirat, sedangkan ayat qur’aniyah adalah ayat yang
dijelaskan secara tersurat.
Hubungan antara wahyu dengan akal pikiran, akal
merupakan kunci untuk mendapatkan pengetahuan, baik pengetahuan yang bersumber
dari fenomena penciptaan (al-ayat
kauniyah) maupun yang bersumber dari fenomena wahyu (al-ayat qawliyah). Di samping berfikir dengan akalnya, manusia
harus pula mendengarkan (yasma’u) wahyu yang diajarkan oleh para
nabi dan rasul. Dengan demikian akal (aql)
dan naql harus diperlakukan sebagai
dua kekuatan yang saling mengisi dalam memahami kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Hakim,
Atang dan Jaih Mubarok. 2012. Metodologi
Studi Islam, Cet. 14.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Al-Najjar, Abd.
Majid. 1997. Pemahaman Islam: Antara
Rakyu dan Wahyu, Cet.
1. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Hady, M.
Syamsul. 2007. Islam Spiritual:
Cetak-Biru Keserasian Eksistensi.
Malang: UIN - Malang Press.
Ismail, Asep
Usman. 2014. “Ayat”, (online). (http://lazuardibirru-duniaislam.
blogspot.com/2014/01/ayat.html, diakses tanggal 21 Oktober 2014).
Mudzhar, Atho.
2004. Pendekatan Studi Islam dalam Teori
dan Praktek, Cet. 4.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salimi, Ibnu.
Dkk. 1997. Serial Al-Islam dan
Kemuhammadiyahan Studi Islam 3,
Cet. 1. Surakarta: Lembaga Studi Islam UMS.
Supadie, Didiek
Ahmad. Dkk. 2011. Pengantar Studi Islam,
Cet.1. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Qardhawi, Yusuf. 1998. Al-Qur’an
Berbicara Tentang Akal dan Ilmu
Pengetahuan, Cet. 5. Jakarta: Gema Insani Press.
Qomar, Mujamil.
2007. Epistemologi Pendidikan Islam dari
Metode Rasional
Hingga Metode
Kritik, Cet. 3. Jakarta: Erlangga.
[1][1] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Cet. 4,
(Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 19.
[2][2] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik,
Cet. 3, (Jakarta; Erlangga, 2007), hlm. 105.
[3][3] Didiek Ahmad Supadie, dkk, Pengantar Studi Islam, Cet.1, (Jakarta;
PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 44.
[6][6] Ibnu Salimi, dkk, Serial Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Studi Islam 3, Cet. 1,
(Surakarta; Lembaga Studi Islam UMS, 1997), hlm. 14.
[8][8] Atang Abd. Hakim, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Cet. 14,
(Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 75.
[9][9] Abd. Majid al-Najjar, Pemahaman Islam: Antara Rakyu dan Wahyu,
Cet. 1, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 19-23.
[13][13]
M.
Syamsul Hady, Islam Spiritual: Cetak-Biru
Keserasian Eksistensi, (Malang; UIN - Malang Press, 2007), hlm. 186-187.
[15][15]Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Cet. 5,
(Jakarta; Gema Insani Press, 1998), hlm. 27-29
No comments:
Post a Comment