1

loading...

Tuesday, October 30, 2018

MAKALAH PERADILAN ISLAM

MAKALAH PERADILAN ISLAM Peradilan Islam di Masa Khulafah Al-Rasyidin

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW status sebagai Rasulullah tidak dapat diganti oleh siapapun (khatami al-anbiya’ wa al-mursalin), tetapi kedudukan beliau yang kedua sebagai pimpinan kaum muslimin mesti segera ada gantinya. Orang itulah yang dinamakan “Khalifah” artinya yang menggantikan Nabi menjadi kepala kaum muslimin (pimpinan komunitas Islam) dalam memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan melestarikan hukum-hukum Agama Islam. Dialah yang menegakkan keadilan yang selalu berdiri diatas kebenaran.
Maka setelah Nabi Muhammad SAW wafat, pemuka-pemuka Islam segera bermusyawarah untuk mencari pengganti Rasulullah SAW. Setelah terjadi perdebatan sengit antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin, akhirnya terpilihlah sahabat Abu Bakar sebagai Khalifah, artinya pengganti Rasul SAW yang kemudian disingkat menjadi Khalifah atau Amirul Mu’minin.
Keputusan Rasulullah SAW yang tidak menunjuk penggantinya sebelum beliau wafat dan menyerahkan pada forum musyawarah para sahabat merupakan produk budaya Islam yang mengajarkan bagaimana cara mengendalikan negara dan pemerintah secara bijaksana dan demokratis (Yatim,1997:35). Sejak saat itulah Islam memasuki periode baru yang dipimpin oleh Khulafaur Rasydin, terjadi beberapa perubahan dalam corak pemerintahan dan islam semakin berkembang. Khulafaur Rasydin yang terdiri dari Abu Bakar As-shidiq, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, serta Ali bin Abi Thalib memberikan warna tersendiri pada perkembangan peradilan Islam dan akan dibahas lebih mendalam dalam makalah ini.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana peradilan Islam pada masa Abu Bakar As-Shidiq?
2.      Bagaimana peradilan Islam pada masa Umar bin Khatab?
3.      Bagaimana peradilan Islam pada masa Usman bin Affan?
4.      Bagaimana peradilan Islam pada masa Ali bin Abi Thalib?

C.    TUJUAN
1.      Untuk menjelaskan peradilan islam pada masa Abu Bakar As-Shidiq
2.      Untuk menjelaskan peradilan islam pada masa Umar bin Khatab
3.      Untuk menjelaskan peradilan islam pada masa Usman bin Affan
4.      Untuk menjelaskan peradilan islam pada masa Ali bin Abi Thalib






















BAB II
PEMBAHASAN
  
A.    Peradilan Pada masa Abu Bakar
                Abu Bakar adalah ahli hukum yang tinggi mutunya. Ia memerintah dari tahun 632 sampai 634 M. Sebelum masuk Islam, ia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani, ikut aktif mengembangkan dan menyiarkan Islam. Atas usaha dan seruannya banyak orang terkemuka memeluk agama Islam yang kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan Islam ternama. Dan karena hubungannya yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad Saw., beliau mempunyai pengertian yang dalam tentang jiwa Islam lebih dari yang lainnya. Karena itu pula pemilihannya sebagai khalifah pertama adalah tepat sekali.[1]
                 Di masa Abu Bakar tidak tampak ada suatu perubahan dalam lapangan peradilan ini, karena kesibukannya memerangi sebagian kaum muslimin yang murtad sepeninggal Rasulullah Saw., dan kaum pembangkang menunaikan zakat dan urusan-urusan politik dan pemerintahan lainnya, di samping belum meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa itu.
             Dalam masalah peradilan, Abu Bakar mengikuti jejak Nabi Muhammad Saw., yakni ia sendirilah yang memutuskan hukum di antara umat Islam di Madinah. Sedangkan para gubernurnya memutuskan hukum di antara manusia di daerah masing-masing di luar Madinah. Adapun cumber hukum pada Abu Bakar adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad setelah pengkajian dan musyawarah dengan para sahabat.s Dapat dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Abu Bakar ada tiga kekuatan, pertama, quwwat al-syari’ah (legislatif). Kedua, quwwat al-qadhaiyyah (yudikatif di dalamnya masuk peradilan) dan ketiga, quwwat al-tanfiziyyah (eksekutif).
            Khalifah Abu Bakar dalam menyelesaikan perkara selalu merujuk Al-Qur’an. Apabila didapatkan nash yang dapat dijadikan ugeran untuk menyelesaikan persoalan tersebut, maka ia memutuskannya berdasarkan pada nash tersebut. Tetapi, apabila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, sedangkan yang ada hanya petunjuk Rasulullah, maka beliau memutuskannya berdasarkan pada petunjuk Rasulullah. Namun apabila beliau tidak menemukannya, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam hadis, maka beliau berusaha menemui beberapa sahabat yang dipercaya dan diperkirakan dekat dengan Rasulullah.[2]
            Pada saat Abu Bakar RA menggantikan Rasulullah SAW, beliau tidak merubah sistem peradilan yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW. Ini dikarenakan beliau sibuk menegakkan hukum Islam dengan memerangi kemurtadan, orang-orang muslim yang enggan membayar zakat, dan lain-lain perkara yang berhubungan dengan politik dan hukum.
            Malahan, pada periode ini peradilan dikuasai oleh khalifah sendiri, dan kadang-kadang khalifah memberi kuasa kepada orang lain untuk menjadi hakim seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Perkara ini berlaku sampai pada awal kekhalifahan Umar bin al-Khattab. Jadi, pada periode ini, belum ada pemisahan antara tiga jenis kekuasaan; yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif, sebaliknya khalifah memegang kekuasaan yudikatif.
             Doktor ‘Athiyyah Mushthofâ Musyrafah menukil dari Syaikh Muhammad Bakhît al-Muthî’î di dalam kitabnya yang berjudul; Hakîkat al-`Islâmi wa `Ushûl al-Hukm:
“… وفي خلافة أبي بكر تولى عمر بن الخطاب القضاء فكان أول قاض في الإسلام للخليفة
(… dan pada kekhalifahan Abu Bakar, beliau (Abu Bakar) menganggkat Umar bin al-Khatthâb sebagai hakim, maka adanya Umar adalah awal-awalnya hakim di dalam Islam bagi khalifah)
                Menurut Doktor ‘Athiyyah, pendapat al-Muthî’î ini tidak dapat dibenarkan. Ini dikarenakan Umar adalah khalifah yang paling awal menentukan para hakim yang dikhususkan untuk menjadi hakim bagi pertikaian yang terjadi di antara manusia. Sedangkan Abu Bakar RA hanya mewakilkannya kepada Umar bin al-Khattab kadang-kadang untuk melihat kasus-kasus agar dicarikan inti pertikaiannya. Hanya saja, kekuasaan yudisial ini tidak dimiliki Umar secara khusus, Umar juga tidak disebut hakim pada zaman Khalifah Abu Bakar RA. Umar juga tidak hanya bertugas sebagai hakim kadang-kadang, malahan Umar mendapatkan tugas menjadi imam dan lainnya.
Langkah-langkah Abu Bakar dalam Istinbath Hukum, sebagai berikut[3] :
  1. Mencari ketentuan hukum dalam Al-Qur’an. Apabila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Al-Qur’an.
  2. Apabila tidak menemukannya dalam A1-Qu’ran, ia mencari ketentuan hukum dalam Sunnah; bila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Sunnah.
  3. Apabila tidak menemukannya dalam Sunnah, ia bertanya kepada sahabat lain apakah Rasulullah Saw. Telah memutuskan persoalan yang sama pada zamannya. Jika ada yang tahu, ia menyelesaikan persoalan tersebut berdasarkan keterangan dari yang menjawab setelah memenuhi beberapa syarat.
  4. Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia mengumpulkan para pembesar sahabat dan bermusyawarah untuk meyelesaikan persoalan yang dihadapi. Jika ada kesepakatan di antara mereka, ia menjadikan kesepakatan itu sebagai keputusan.”

B.     Peradilan Pada masa Umar bin Khattab
               Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, keadaan daerah kekuasaan Islam semakin luas dan pemerintahan menghadapi berbagai masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya, disebabkan terjadinya pertemuan beberapa kebudayaan, sehingga Umar perlu untuk memisahkan kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif (Kekuasaan Peradilan dan Pemerintahan).
            Satu hal yang perlu dicatat terlebih dahulu tentang kebijakan-kebijakan Umar dalam melanjutkan usaha pendahuluannya adalah[4]:
1.      Umar turut aktif menyiarkan agama islam.
2.      Menetapkan tahun Islam yang terkenal dengan tahun Hijriah berdasarkan peredaran bulan (qamariyah), dibandingkan dengan tahun Masehi (miladiyah) yang didasarkan pada peredaran matahari.
3.      Sikap tolerannya terhadap pemeluk agama lain.
               Para hakim pada masa Umar merujuk kepada Al-Qur’an. Jika tidak mendapati hukum dalam Al-Qur’an mereka mencarinya dalam Sunnah. Tapi jika mereka tidak mendapatkan sesuatu di dalamnya, mereka bertanya kepada fuqaha mujtahidin, apakah di antara mereka terdapat orang yang mengerti sesuatu dalam Sunnah mengenai perkara yang dihadapi. Jika didapatkan, mereka berpedoman dengan apa yang dikatakan orang yang mengetahuinya tersebut setelah dilakukan upaya penguatan. Jika tidak didapatkan, mereka berijtihad secara kolektif jika topik permasalahan terdapat hubungan dengan prinsip-prinsip dasarjamaah, dan berijtihad secara individu dalam masalah-masalah sektoral yang khusus dengan individu.
               Di antara hakim di masa Umar adalah Abu Maryam Iyas bin Shabih al-Hanafi, yang diangkat sebagai hakim di Bashrah, kemudian dipecat berdasarkan laporan masyarakat tentang kelemahannya. Pemecatan itu disebabkan bahwa Umar mendengar ketika Abu Maryam sedang menyelesaikan perselisihan dua orang tentang uang satu dinar, maka Abu Maryam mendamaikan keduanya dengan menyerahkan dinar dari uangnya sendiri. Maka Umar menulis Surat kepadanya, “sesungguhnya saya tidak menugaskan kamu untuk memutuskan hukum di antara manusia dengan uang kamu. Tapi saya menugaskan kamu agar kamu memutuskan di antara mereka dengan kebenaran”.

C.    Peradilan Pada masa Usman bin Affan
              Pemerintahan Usman bin Affan berlangsung dari tahun 644-656 M. Ketika dipilih, Usman telah berusia 70 tahun. Di masa pemerintahannya perluasan daerah Islam diteruskan ke Barat sampai ke Maroko, ke Timur menuju India, dan ke Utara bergerak menuju Konstantinopel.
              Usman bin Affan adalah orang pertama yang mengkhususkan kantor untuk peradilan, sedangkan peradilan dalam masa dua khalifah sebelumnya dilaksanakan di masjid. Usman selalu bermusyawarah dengan Ali dan yang lain sebelum mengeluarkan hukum. Usman pernah menawarkan jabatan peradilan kepada Abdullah bin Umar, namun ditolak meskipun Usman mendesak, dan Abdullah bin Umar berkata kepadanya: “apakah kamu tidak mendengar Rasulullah Saw, bersabda: “barangsiapa yang mohon perlindungan kepada Allah, maka lindungilah dia”, dan soya berlindung kepada Allah jika saya menjabat dalam peradilan“.
              Peradilan pada masa Usman sama seperti peradilan di masa dua sahabat sesudahnya. Usman mengutus petugas-petugas sebagai pengambil pajak dan penjaga batas-batas wilayah untuk menyeru amar ma’ruf nahi munkar, dan terhadap masyarakat yang bukan Muslim (ahli dzimmah) berlaku kasih sayang dan lemah lembut serta berlaku adil terhadap mereka. Utsman memberikan hukuman cambuk terhadap orang yang biasa minum arak, dan mengancam setiap orang yang berbuat bid’ah dikeluarkan dari kota Madinah, dengan lemikian keadaan masyarakat selalu dalam kebenaran. Usman bin Affan tidak mengangkat hakim di Madinah hingga dia meninggal dunia.

D.    Peradilan Pada masa Ali bin Abi Thalib
                Ali bin Abi Thalib memerintah dari tahun 656-662 M. Sejak kecil ia dididik dan diasuh oleh Nabi Muhammad Saw. Ali sering kali ditunjuk oleh Nabi menggantikan beliau menyelesaikan masalah-masalah penting. Semasa pemerintahannya Ali tidak banyak dapat berbuat untuk mengembangkan hukum Islam, karena keadaan negara tidak stabil. Di sana sini timbul bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam.
                Nabi Muhammad Saw. telah bersaksi bahwa peradilan sebagaimana yang diputuskan Ali, atau umatku yang terbaik peradilannya adalah Ali, atau yang terbaik peradilannya di antara kamu adalah Ali. Para sahabat juga bersaksi, di antaranya Abdullah bin Mas’ud dan Abu Hurairah, bahwa Ali adalah penduduk Madinah yang terbaik hukumnya. Umar juga berkata tentang dia: “yang terbaik hukumnya di antara kami adalah Ali”. Bahkan Umar berlindung kepada Allah SWT. dari kesulitan yang terjadi jika tidak terdapat Abu al-Hasan, di mana dia mengatakan, `Jikalau bukan Ali, niscaya Umar akan binasa”.
                Ali menetapkan hukum di antara manusia selama di Madinah. Ketika keluar ke Bashrah dia mengangkat Abdullah bin Abbas sebagai gantinya di Madinah, dan mengangkat Abu Aswad al-Du’ali dalam masalah pemerintahan di Bashrah dan sekaligus dalam peradilan. Namun kemudian, dia dipecat setelah beberapa waktu karena banyaknya dia berbicara. Sebab bicaranya melebihi pembicaraan dua pihak yang berseteru (penggugat dan tergugat). Ali mengangkat al-Nakha’i sebagai Gubernur di Ustur. Ali berpesan agar al-Nakha’i bertakwa kepada Allah Swt., agar hatinya diliputi rasa kasih sayang dan kecintaan kepada rakyat, dan agar bermusyawarah dan memilih penasihat-penasihat. Ali juga menjelaskan tentang siasat pemerintahan. la berkata (memesan) tentang khusus urusan qadhi:
di antara rakyatmu yang engkau pandang mampu yang tidak disibukkan oleh urusan-urusan lain dan anjurkanlah ;gar mereka bersabar dalam usaha mengungkapkan tabir yang menyelimuti rahasia perkara yang sebenarnya”.
                Pada periode ini, para Qadli mulai mempunyai juru tulis (Panitera),” Sekretaris ” yang mencatat dan menghimpun hukum-hukum produk Qadlanya.
Ø  Instansi-Instansi Peradilan dan tugas-tugasnya pada periode pertama
Kekuasaan lembaga peradilan pada periode pertama dibagi menjadi tiga bagian ;
  • Jawatan pengadilan yang dikendalikan oleh kepalanya yang dinamakan “Qadli’’, para Qadli menyelesaikan perkara-perkara yang bersangkutan dengan hutang piutang atau hukum-hukum perdata.
  • Jawatan pengadilanyang dikendalikan oleh kepalanya yang dinamakan “Muhtasib”, para Muhtaasib menyelesaikan urusan urusan yang berpautan dengan umum dan urusan-urusan pidana atau jinayah, uqubat, dsb.
  • Jawatan pengadilan yang dikendalikan oleh kepala negara atau seseorang yang diserahi tugasnya kepadanya, yang dinamakan Qadli (wali) madhalim, wali madhalim menyelesaikan persengketaan yang tak dapat diselesaikan oleh jawatan perrama dan kedua.
Dewan madhalim inii dipimpin oleh kepala negara sendiri, atau wali (kepala daerah), atau oleh seseorang yang ditunjuk untuk itu. Dan biasanya sidang-sidang itu dilakukan didalam masjid.
Majlis pengadilan ini dihadiri oleh :
  1. Beberapa petugas, beberapa pengawal Qadli (hakim) untuk dimintakan pertolongannya dan untuk menasehati orang-orang yang bersangkutan.
  2. Beberapa para fuqoha untuk dimintakan pendapat-pendapatnya mengenai hukum yang harus diberikan.
  3. Para pencatat (panitera) dan beberapa orang yang sesewaktu diminta menjadi saksi

Ø  Risalat Al-Qadha
                Umar bin Kattab mengangkat Abu Darda’ sebagai Qadli di kota Madinah, Syuraih di Basrah, Abu Musa al Asy’ary di Kuffah, dan Syuraih bin Qais bin Abil Ash di daerah Mesir. Para Hakim ditetapkan daerah Yurisdiksinya dan diangkat oleh Khalifah atau diwakilkan kepada para gubernur di daerah. Kepada hakim yang diangkat secara langsung, Khalifah memberikan ketentuan-ketentuan untuk dijadikan pedoman. Hal ini terjadi dari surat yang dikirim oleh Umar kepada Abu Musa al-‘Asyari, (Qadli di Kufah) yang isinya mengandung pokok-pokok penyelesaian perkara dimuka sidang, yang ternyata disambut dan diterima dikalangan Ulama’ serta menghimpun pokok-pokok hukum.
               Kadhi Kaufah yang berisi petunjuk tentang peradilan yang kemudian dikenal dengan Risalah al-Qadha dari Umar. Risalah al-Qadha ini berisi sepuluh butir pedoman para hakim dalam melaksanakan peradilan. Dengan demikian, pada masa ini lembaga peradilan telah merupakan badan khusus dibawah pengawasan penguasa. Meskipun telah terjadi pemisahan antara lembaga ” Eksekutif dan Yudikatif “, pada masa Khalifah Umar belum terdapat Panitera pengadilan dan regestrasi keputusan hakim. Akan tetapi, pada masa ini sudah dikenal praktek Yurisprudensi.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
              Ketika para khalifah dihadapkan suatu perkara kepada mereka dan disuruh memberikan fatwa hukum, maka para khalifah mencari ketentuan hukumnya dalam Kitaballah, bila tidak menemukan ketentuan hukum dalam al-Qur’an maka mereka mencarinya dalam sunnah Nabi dan Ijma’.
              Seperti Abu Bakar, umar, atau dengan menyumpah pembawa sunnah tersebut atas kebenarannya sebagaimana yang dilakukan Ali bin Abi Thalib. Pada periode ini, para Qadli belum mempunyai sekretaris atau catatan yang menghimpun hukum-hukum produk Qadlanya, karena Qadli lah yang melaksanakan sendiri segala keputusan yang dikeluarkannya, demikian juga qadli pada masa itu belum mempunyai tempat kusus (Gedung Pengadilan), sehingga mula-mula seorang qadli hanya berada di rumah, kemudian pihak-pihak yang berpekara itu datang kerumahnya, lalu diperiksa dan diputuskan disitu juga. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, masjidlah yang dijadikn tempat untuk menyelesaikan segala sengketa dimana fungsi masjid yang sebenarnya tidaklah sebatas hanya untuk melakukan sembahyang saja, tetapi merupakan pusat bagi pemecahan segala urusan sosial, seperti pengadilan, pengajaran, dan memecahkan berbagai masalah.

B.     Saran
              Demikianlah makalah singkat ini, kami menyadari banyaknya kekurangan didalam penyusunannya. Maka dari pada itu kami meminta maaf dan Kami mengharapkan kepada para pembaca, teman-teman dan Bapak Dosen Pembimbing untuk memberikan kritik dan saran agar makalah kami ini menjadi lebih baik dimasa yang akan datang. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA

Koto, Alaiddin.Sejarah Peradilan Islam. 2011. Jakarta Utara: Rajawali Pers
Mukhlas, Oyo Sunaryo. Perkembangan Peradilan Islam. 2011. Bogor : Ghalia Indonesia



[1] Prof.Dr.Alaiddin Koto,M.A.Sejarah Peradilan Islam.hlm 59
[2] Prof.Dr.H.Oyo Sunaryo Mukhlas,M.Si.Perkembangan Peradilan Islam.Hlm 54
[3] Prof.Dr.Alaiddin Koto,M.A.Ibid.hlm 61
[4] Ibid.hlm 62

No comments:

Post a Comment