MAKALAH PERADILAN ISLAM Peradilan Islam di Masa Khulafah Al-Rasyidin
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW status sebagai Rasulullah tidak dapat diganti oleh
siapapun (khatami al-anbiya’ wa al-mursalin), tetapi kedudukan beliau
yang kedua sebagai pimpinan kaum muslimin mesti segera ada gantinya. Orang itulah yang dinamakan
“Khalifah” artinya yang menggantikan Nabi menjadi kepala kaum muslimin
(pimpinan komunitas Islam) dalam memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan
melestarikan hukum-hukum Agama Islam. Dialah yang menegakkan keadilan yang
selalu berdiri diatas kebenaran.
Maka setelah Nabi Muhammad SAW
wafat, pemuka-pemuka Islam segera bermusyawarah untuk mencari pengganti
Rasulullah SAW. Setelah terjadi perdebatan sengit antara kaum Anshar dan kaum
Muhajirin, akhirnya terpilihlah sahabat Abu Bakar sebagai Khalifah, artinya
pengganti Rasul SAW yang kemudian disingkat menjadi Khalifah atau Amirul
Mu’minin.
Keputusan
Rasulullah SAW yang tidak menunjuk penggantinya sebelum beliau wafat dan
menyerahkan pada forum musyawarah para sahabat merupakan produk budaya Islam
yang mengajarkan bagaimana cara mengendalikan negara dan pemerintah secara
bijaksana dan demokratis (Yatim,1997:35). Sejak saat itulah Islam memasuki periode baru yang dipimpin
oleh Khulafaur Rasydin, terjadi beberapa perubahan dalam corak pemerintahan dan
islam semakin berkembang. Khulafaur Rasydin yang terdiri dari Abu Bakar
As-shidiq, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, serta Ali bin Abi Thalib memberikan warna tersendiri
pada perkembangan peradilan Islam dan akan dibahas lebih mendalam dalam makalah
ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
peradilan Islam pada masa Abu Bakar As-Shidiq?
2.
Bagaimana
peradilan Islam pada masa Umar bin Khatab?
3.
Bagaimana
peradilan Islam pada masa Usman bin Affan?
4.
Bagaimana
peradilan Islam pada masa Ali bin Abi Thalib?
C.
TUJUAN
1.
Untuk
menjelaskan peradilan islam pada masa Abu Bakar As-Shidiq
2.
Untuk
menjelaskan peradilan islam pada masa Umar bin Khatab
3.
Untuk
menjelaskan peradilan islam pada masa Usman bin Affan
4.
Untuk
menjelaskan peradilan islam pada masa Ali bin Abi Thalib
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peradilan Pada masa Abu Bakar
Abu Bakar adalah ahli hukum yang tinggi mutunya. Ia memerintah dari tahun 632
sampai 634 M. Sebelum masuk Islam, ia terkenal sebagai orang yang jujur dan
disegani, ikut aktif mengembangkan dan menyiarkan Islam. Atas usaha dan
seruannya banyak orang terkemuka memeluk agama Islam yang kemudian terkenal sebagai
pahlawan-pahlawan Islam ternama. Dan karena hubungannya yang sangat dekat
dengan Nabi Muhammad Saw., beliau mempunyai pengertian yang dalam tentang jiwa
Islam lebih dari yang lainnya. Karena itu pula pemilihannya sebagai khalifah
pertama adalah tepat sekali.[1]
Di masa Abu Bakar tidak tampak ada suatu perubahan dalam lapangan peradilan
ini, karena kesibukannya memerangi sebagian kaum muslimin yang murtad
sepeninggal Rasulullah Saw., dan kaum pembangkang menunaikan zakat dan
urusan-urusan politik dan pemerintahan lainnya, di samping belum meluasnya
wilayah kekuasaan Islam pada masa itu.
Dalam masalah peradilan, Abu Bakar mengikuti jejak Nabi Muhammad Saw., yakni ia
sendirilah yang memutuskan hukum di antara umat Islam di Madinah. Sedangkan
para gubernurnya memutuskan hukum di antara manusia di daerah masing-masing di
luar Madinah. Adapun cumber hukum pada Abu Bakar adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan
Ijtihad setelah pengkajian dan musyawarah dengan para sahabat.s Dapat dikatakan
bahwa pada masa pemerintahan Abu Bakar ada tiga kekuatan, pertama, quwwat
al-syari’ah (legislatif). Kedua, quwwat al-qadhaiyyah (yudikatif di dalamnya
masuk peradilan) dan ketiga, quwwat al-tanfiziyyah (eksekutif).
Khalifah Abu Bakar dalam
menyelesaikan perkara selalu merujuk Al-Qur’an. Apabila didapatkan nash yang dapat dijadikan ugeran untuk
menyelesaikan persoalan tersebut, maka ia memutuskannya berdasarkan pada nash tersebut. Tetapi, apabila tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an, sedangkan yang ada hanya petunjuk Rasulullah, maka
beliau memutuskannya berdasarkan pada petunjuk Rasulullah. Namun apabila beliau
tidak menemukannya, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam hadis, maka beliau
berusaha menemui beberapa sahabat yang dipercaya dan diperkirakan dekat dengan
Rasulullah.[2]
Pada saat Abu Bakar RA menggantikan Rasulullah SAW, beliau tidak merubah sistem
peradilan yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW. Ini dikarenakan beliau sibuk
menegakkan hukum Islam dengan memerangi kemurtadan, orang-orang muslim yang
enggan membayar zakat, dan lain-lain perkara yang berhubungan dengan politik
dan hukum.
Malahan, pada periode ini peradilan dikuasai oleh khalifah sendiri, dan
kadang-kadang khalifah memberi kuasa kepada orang lain untuk menjadi hakim seperti
yang dilakukan Rasulullah SAW. Perkara ini berlaku sampai pada awal
kekhalifahan Umar bin al-Khattab. Jadi, pada periode ini, belum ada pemisahan
antara tiga jenis kekuasaan; yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif,
sebaliknya khalifah memegang kekuasaan yudikatif.
Doktor ‘Athiyyah Mushthofâ Musyrafah menukil dari Syaikh Muhammad Bakhît
al-Muthî’î di dalam kitabnya yang berjudul; Hakîkat al-`Islâmi wa `Ushûl
al-Hukm:
“… وفي خلافة أبي بكر تولى عمر بن
الخطاب القضاء فكان أول قاض في الإسلام للخليفة”
(… dan pada kekhalifahan Abu Bakar, beliau (Abu Bakar)
menganggkat Umar bin al-Khatthâb sebagai hakim, maka adanya Umar adalah
awal-awalnya hakim di dalam Islam bagi khalifah)
Menurut Doktor ‘Athiyyah, pendapat al-Muthî’î ini tidak dapat dibenarkan. Ini
dikarenakan Umar adalah khalifah yang paling awal menentukan para hakim yang
dikhususkan untuk menjadi hakim bagi pertikaian yang terjadi di antara manusia.
Sedangkan Abu Bakar RA hanya mewakilkannya kepada Umar bin al-Khattab kadang-kadang
untuk melihat kasus-kasus agar dicarikan inti pertikaiannya. Hanya saja,
kekuasaan yudisial ini tidak dimiliki Umar secara khusus, Umar juga tidak
disebut hakim pada zaman Khalifah Abu Bakar RA. Umar juga tidak hanya bertugas
sebagai hakim kadang-kadang, malahan Umar mendapatkan tugas menjadi imam dan
lainnya.
Langkah-langkah Abu Bakar dalam Istinbath
Hukum, sebagai berikut[3]
:
- Mencari
ketentuan hukum dalam Al-Qur’an. Apabila ada, ia putuskan berdasarkan
ketetapan yang ada dalam Al-Qur’an.
- Apabila
tidak menemukannya dalam A1-Qu’ran, ia mencari ketentuan hukum dalam
Sunnah; bila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Sunnah.
- Apabila
tidak menemukannya dalam Sunnah, ia bertanya kepada sahabat lain apakah
Rasulullah Saw. Telah memutuskan persoalan yang sama pada zamannya. Jika
ada yang tahu, ia menyelesaikan persoalan tersebut berdasarkan keterangan
dari yang menjawab setelah memenuhi beberapa syarat.
- Jika
tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia mengumpulkan para
pembesar sahabat dan bermusyawarah untuk meyelesaikan persoalan yang
dihadapi. Jika ada kesepakatan di antara mereka, ia menjadikan kesepakatan
itu sebagai keputusan.”
B. Peradilan Pada masa Umar bin Khattab
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, keadaan daerah kekuasaan Islam semakin
luas dan pemerintahan menghadapi berbagai masalah politik, ekonomi, sosial dan
budaya, disebabkan terjadinya pertemuan beberapa kebudayaan, sehingga Umar
perlu untuk memisahkan kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif (Kekuasaan Peradilan
dan Pemerintahan).
Satu hal yang perlu dicatat terlebih
dahulu tentang kebijakan-kebijakan Umar dalam melanjutkan usaha pendahuluannya
adalah[4]:
1.
Umar turut
aktif menyiarkan agama islam.
2.
Menetapkan
tahun Islam yang terkenal dengan tahun Hijriah berdasarkan peredaran bulan (qamariyah), dibandingkan dengan tahun
Masehi (miladiyah) yang didasarkan pada peredaran matahari.
3.
Sikap
tolerannya terhadap pemeluk agama lain.
Para hakim pada masa Umar merujuk kepada Al-Qur’an. Jika tidak mendapati hukum
dalam Al-Qur’an mereka mencarinya dalam Sunnah. Tapi jika mereka tidak
mendapatkan sesuatu di dalamnya, mereka bertanya kepada fuqaha mujtahidin,
apakah di antara mereka terdapat orang yang mengerti sesuatu dalam Sunnah
mengenai perkara yang dihadapi. Jika didapatkan, mereka berpedoman dengan apa
yang dikatakan orang yang mengetahuinya tersebut setelah dilakukan upaya
penguatan. Jika tidak didapatkan, mereka berijtihad secara kolektif jika topik
permasalahan terdapat hubungan dengan prinsip-prinsip dasarjamaah, dan
berijtihad secara individu dalam masalah-masalah sektoral yang khusus dengan
individu.
Di antara hakim di masa Umar adalah Abu Maryam Iyas bin Shabih al-Hanafi, yang
diangkat sebagai hakim di Bashrah, kemudian dipecat berdasarkan laporan
masyarakat tentang kelemahannya. Pemecatan itu disebabkan bahwa Umar mendengar
ketika Abu Maryam sedang menyelesaikan perselisihan dua orang tentang uang satu
dinar, maka Abu Maryam mendamaikan keduanya dengan menyerahkan dinar dari uangnya
sendiri. Maka Umar menulis Surat kepadanya, “sesungguhnya saya tidak
menugaskan kamu untuk memutuskan hukum di antara manusia dengan uang kamu. Tapi
saya menugaskan kamu agar kamu memutuskan di antara mereka dengan kebenaran”.
C. Peradilan Pada masa Usman bin Affan
Pemerintahan Usman bin Affan berlangsung dari tahun 644-656 M. Ketika dipilih,
Usman telah berusia 70 tahun. Di masa pemerintahannya perluasan daerah Islam
diteruskan ke Barat sampai ke Maroko, ke Timur menuju India, dan ke Utara bergerak
menuju Konstantinopel.
Usman bin Affan adalah orang pertama yang mengkhususkan kantor untuk peradilan,
sedangkan peradilan dalam masa dua khalifah sebelumnya dilaksanakan di masjid.
Usman selalu bermusyawarah dengan Ali dan yang lain sebelum mengeluarkan hukum.
Usman pernah menawarkan jabatan peradilan kepada Abdullah bin Umar, namun
ditolak meskipun Usman mendesak, dan Abdullah bin Umar berkata kepadanya:
“apakah kamu tidak mendengar Rasulullah Saw, bersabda: “barangsiapa yang
mohon perlindungan kepada Allah, maka lindungilah dia”, dan soya berlindung
kepada Allah jika saya menjabat dalam peradilan“.
Peradilan pada masa Usman sama seperti peradilan di masa dua sahabat
sesudahnya. Usman mengutus petugas-petugas sebagai pengambil pajak dan penjaga
batas-batas wilayah untuk menyeru amar ma’ruf nahi munkar, dan terhadap
masyarakat yang bukan Muslim (ahli dzimmah) berlaku kasih sayang dan lemah
lembut serta berlaku adil terhadap mereka. Utsman memberikan hukuman cambuk
terhadap orang yang biasa minum arak, dan mengancam setiap orang yang berbuat
bid’ah dikeluarkan dari kota Madinah, dengan lemikian keadaan masyarakat selalu
dalam kebenaran. Usman bin Affan tidak mengangkat hakim di Madinah hingga dia
meninggal dunia.
D. Peradilan Pada masa Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib memerintah dari tahun 656-662 M. Sejak kecil ia dididik dan diasuh oleh Nabi
Muhammad Saw. Ali sering kali ditunjuk oleh Nabi menggantikan beliau
menyelesaikan masalah-masalah penting. Semasa pemerintahannya Ali tidak banyak
dapat berbuat untuk mengembangkan hukum Islam, karena keadaan negara tidak
stabil. Di sana sini timbul bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat
Islam.
Nabi Muhammad Saw. telah bersaksi bahwa peradilan sebagaimana yang diputuskan
Ali, atau umatku yang terbaik peradilannya adalah Ali, atau yang terbaik
peradilannya di antara kamu adalah Ali. Para sahabat juga bersaksi, di
antaranya Abdullah bin Mas’ud dan Abu Hurairah, bahwa Ali adalah penduduk Madinah
yang terbaik hukumnya. Umar juga berkata tentang dia: “yang terbaik hukumnya di
antara kami adalah Ali”. Bahkan Umar berlindung kepada Allah SWT. dari
kesulitan yang terjadi jika tidak terdapat Abu al-Hasan, di mana dia
mengatakan, `Jikalau bukan Ali, niscaya Umar akan binasa”.
Ali menetapkan hukum di antara manusia selama di Madinah. Ketika keluar ke
Bashrah dia mengangkat Abdullah bin Abbas sebagai gantinya di Madinah, dan
mengangkat Abu Aswad al-Du’ali dalam masalah pemerintahan di Bashrah dan
sekaligus dalam peradilan. Namun kemudian, dia dipecat setelah beberapa waktu
karena banyaknya dia berbicara. Sebab bicaranya melebihi pembicaraan dua pihak
yang berseteru (penggugat dan tergugat). Ali mengangkat al-Nakha’i sebagai
Gubernur di Ustur. Ali berpesan agar al-Nakha’i bertakwa kepada Allah Swt.,
agar hatinya diliputi rasa kasih sayang dan kecintaan kepada rakyat, dan agar
bermusyawarah dan memilih penasihat-penasihat. Ali juga menjelaskan tentang
siasat pemerintahan. la berkata (memesan) tentang khusus urusan qadhi:
“di antara rakyatmu yang engkau pandang mampu yang tidak
disibukkan oleh urusan-urusan lain dan anjurkanlah ;gar mereka bersabar dalam
usaha mengungkapkan tabir yang menyelimuti rahasia perkara yang sebenarnya”.
Pada periode ini, para Qadli mulai mempunyai juru tulis (Panitera),” Sekretaris
” yang mencatat dan menghimpun hukum-hukum produk Qadlanya.
Ø Instansi-Instansi
Peradilan dan tugas-tugasnya pada periode pertama
Kekuasaan lembaga peradilan pada
periode pertama dibagi menjadi tiga bagian ;
- Jawatan
pengadilan yang dikendalikan oleh kepalanya yang dinamakan “Qadli’’, para
Qadli menyelesaikan perkara-perkara yang bersangkutan dengan hutang
piutang atau hukum-hukum perdata.
- Jawatan
pengadilanyang dikendalikan oleh kepalanya yang dinamakan “Muhtasib”, para
Muhtaasib menyelesaikan urusan urusan yang berpautan dengan umum dan
urusan-urusan pidana atau jinayah, uqubat, dsb.
- Jawatan
pengadilan yang dikendalikan oleh kepala negara atau seseorang yang
diserahi tugasnya kepadanya, yang dinamakan Qadli (wali) madhalim, wali
madhalim menyelesaikan persengketaan yang tak dapat diselesaikan oleh
jawatan perrama dan kedua.
Dewan madhalim inii dipimpin oleh
kepala negara sendiri, atau wali (kepala daerah), atau oleh seseorang yang
ditunjuk untuk itu. Dan biasanya sidang-sidang itu dilakukan didalam masjid.
Majlis pengadilan ini dihadiri oleh
:
- Beberapa
petugas, beberapa pengawal Qadli (hakim) untuk dimintakan pertolongannya
dan untuk menasehati orang-orang yang bersangkutan.
- Beberapa
para fuqoha untuk dimintakan pendapat-pendapatnya mengenai hukum yang
harus diberikan.
- Para
pencatat (panitera) dan beberapa orang yang sesewaktu diminta menjadi
saksi
Ø Risalat
Al-Qadha
Umar bin Kattab mengangkat Abu Darda’ sebagai Qadli di kota Madinah, Syuraih di
Basrah, Abu Musa al Asy’ary di Kuffah, dan Syuraih bin Qais bin Abil Ash di
daerah Mesir. Para Hakim ditetapkan daerah Yurisdiksinya dan diangkat oleh
Khalifah atau diwakilkan kepada para gubernur di daerah. Kepada hakim yang
diangkat secara langsung, Khalifah memberikan ketentuan-ketentuan untuk
dijadikan pedoman. Hal ini terjadi dari surat yang dikirim oleh Umar kepada Abu
Musa al-‘Asyari, (Qadli di Kufah) yang isinya mengandung pokok-pokok
penyelesaian perkara dimuka sidang, yang ternyata disambut dan diterima
dikalangan Ulama’ serta menghimpun pokok-pokok hukum.
Kadhi Kaufah yang berisi petunjuk tentang peradilan yang kemudian dikenal
dengan Risalah al-Qadha dari Umar. Risalah al-Qadha ini berisi sepuluh butir
pedoman para hakim dalam melaksanakan peradilan. Dengan demikian, pada masa ini
lembaga peradilan telah merupakan badan khusus dibawah pengawasan penguasa.
Meskipun telah terjadi pemisahan antara lembaga ” Eksekutif dan Yudikatif “,
pada masa Khalifah Umar belum terdapat Panitera pengadilan dan regestrasi
keputusan hakim. Akan tetapi, pada masa ini sudah dikenal praktek
Yurisprudensi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ketika para khalifah dihadapkan suatu perkara kepada mereka dan disuruh
memberikan fatwa hukum, maka para khalifah mencari ketentuan hukumnya dalam
Kitaballah, bila tidak menemukan ketentuan hukum dalam al-Qur’an maka mereka
mencarinya dalam sunnah Nabi dan Ijma’.
Seperti Abu Bakar, umar, atau dengan menyumpah pembawa sunnah tersebut atas
kebenarannya sebagaimana yang dilakukan Ali bin Abi Thalib. Pada periode ini,
para Qadli belum mempunyai sekretaris atau catatan yang menghimpun hukum-hukum
produk Qadlanya, karena Qadli lah yang melaksanakan sendiri segala keputusan
yang dikeluarkannya, demikian juga qadli pada masa itu belum mempunyai tempat
kusus (Gedung Pengadilan), sehingga mula-mula seorang qadli hanya berada di
rumah, kemudian pihak-pihak yang berpekara itu datang kerumahnya, lalu
diperiksa dan diputuskan disitu juga. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya,
masjidlah yang dijadikn tempat untuk menyelesaikan segala sengketa dimana
fungsi masjid yang sebenarnya tidaklah sebatas hanya untuk melakukan sembahyang
saja, tetapi merupakan pusat bagi pemecahan segala urusan sosial, seperti
pengadilan, pengajaran, dan memecahkan berbagai masalah.
B.
Saran
Demikianlah makalah singkat ini, kami menyadari banyaknya kekurangan didalam
penyusunannya. Maka dari pada itu kami meminta maaf dan Kami mengharapkan
kepada para pembaca, teman-teman dan Bapak Dosen Pembimbing untuk memberikan
kritik dan saran agar makalah kami ini menjadi lebih baik dimasa yang akan
datang. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Koto,
Alaiddin.Sejarah Peradilan Islam.
2011. Jakarta Utara: Rajawali Pers
Mukhlas,
Oyo Sunaryo. Perkembangan Peradilan Islam.
2011. Bogor : Ghalia Indonesia
[1] Prof.Dr.Alaiddin Koto,M.A.Sejarah Peradilan Islam.hlm 59
[2] Prof.Dr.H.Oyo Sunaryo Mukhlas,M.Si.Perkembangan Peradilan Islam.Hlm 54
[3] Prof.Dr.Alaiddin Koto,M.A.Ibid.hlm 61
No comments:
Post a Comment