1

loading...

Friday, November 23, 2018

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


        FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM 

1.       Tarbiyah
            Penggunaan istilah al-Tarbiyah berasal dari kata rabb. Dari segi etimologis, tiga asal kata tarbiyah yakni, raba, rabiya, dan rabba, kata tarbiyah mencakup makna yang sangat luas yakni
(a) al-nama yang berarti bertambah, berkembang, dan tumbuh menjadi besar sedikit demi sedikit,
(b) aslahahu yang berarti memperbaiki pembelajar jika proses perkembangan menyimpang dari nilai-nilai Islam,
(c) tawalla amrahu yang berarti mengurus perkara pembelajaran, bertanggung jawab atasnya dan melatihnya,
(d) ra’ahu yang berarti memelihara dan memimpin sesuai dengan potensi yang dimiliki dan tabiyatnya
(e) al-tansyi’ah yang berarti mendidik, mengasuh, dalam arti materi (fisiknya) dan immateri (kalbu, akal, jiwa, dan perasaannya), yang kesemuannya merupakan aktivitas pendidikan.
            Menurut Syekh Ali, kata rabba memiliki arti yang banyak yakni merawat, mendidik, memimpin, mengumpulkan, menjaga, memperbaiki, mengembangkan. Daim menyimpulkan bahwa makna tarbiyah adalah merawat dan memperhatikan pertumbuhan anak, sehingga anak tersebut tumbuh dengan sempurna sebagaimana yang lainnya, yaitu sebuah kesempurnaan dalam setiap dimensi dirinya, badan (kinestetik), roh, akal, kehendak, dan lain sebagainya.
            Secara filosofis mengisyaratkan proses pendidikan Islam adalah bersumber pada pendidikan yang diberikan Islam adalah bersumber pada pendidikan yang diberikan Allah sebagai “pendidik” seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia. Dalam konteks yang luas, pengertian pendidikan Islam yang dikandung dalam term al-tarbiyah terdiri atas empat unsur pendekatan, yaitu:
1        Memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa (baligh)
2         Mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan
3        Mengarahkan seluruh fitrfah menuju kesempurnaan
4         Melaksanakan pendidikan secara bertahap.
            Dari penjelasan ini bahwa prinsip-prinsip dasar pengertian tarbiyah dalam Islam adalah:
 pertama, bahwa murabbi (pendidik) yang sebenarnya hanyalah Allah, karena Dia Pencipta fitrah, potensi kekuatan dan kelemahan, dan paling tahu tentang hakikat manusia itu sendiri, karenanya perlu dipelajari terus menerus siapa sebenarnya manusia itu sesuai dengan perintah Tuhan. 
Kedua, penumbuhan dan pengembangan secara sempurna semua dimensi manusia baik materi, seperti fisiknya, maupun immateri seperti akal, hati, kehendak, kemauan adalah tanggung jawab manusia sebagai konsekwensi menjalankan fungsinya sebagai hamba Tuhan dan sebagai fungsi khalifah. 
Ketiga,dalam proses tarbiyah seharusnya mengambil nilai dan dasarnya dari Al-Qur’an dan Sunnah dan berjalan sesuai dengan sunnatullah yang digariskan-Nya. 
Keempat,setiap aktivitas tarbiyah mengarah kepada penumbuhan, perbaikan, kepemimpinan, atau penjagaan setiap dimensi dalam diri manusia, baik aktivitas itu direkayasa atau secara nattural. 
Kelima, tarbiyah yang direkayasa mengharuskan adanya rencana yang teratur, sistematis, bertahap, berkelanjutan dan fleksibel. 
Keenam, bahwa yang menjadi subjek sekaligus objek dalam aktivitas tarbiyah adalah manusia. 
Ketujuh,bahwa kata tarbiyah tida terbatas pengetiannya sebagai sekedar transfer ilmu, budaya, tradisi, dan nilai tetapi juga pembentukan kepribadian (transformatif) yang dilakukan secara bertahap.

      2.       Ta’lim
            Istilah al-Ta’lim telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal dibanding dengan al-Tarbiyah maupun al-Ta’dib. Rasyid Ridha mengartikan al-Ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.
Jalal memberikan alasan bahwa proses taklim lebih umum dibandingkan dengan proses tarbiyah:
Pertama, ketika mengajarkan membaca Al-Qur’an kepada kaum muslimin, Rasulullah SAW tidak terbatas pada membuat mereka sekedar dapat membaca, melainkan membaca dengan perenungan yang berisikan pemahaman, pengertian, tanggung jawab, penanaman amanah sehingga terjadi pembersihan diri (tazkiyah al-nufus) dari segala kotoran, menjadikan dirinya dalam kondisi siap menerima hikmah, dan mempelajari segala sesuatu yang belum diketahuinya dan yang tidak diketahuinya serta berguna bagi dirinya
Kedua, kata taklim tidak berhenti hanya kepada pencapaian pengetahuan berdasarkan prasangka atau yang lahir dari taklid semata-mata, ataupun pengetahuan yang lahir dari dongengan hayalan dan syahwat atau cerita-cerita dusta.
Ketiga, kata taklim mencakup aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidupnya serta pedoman perilaku yang baik.
            Dengan demikian kata taklim menurut Jalal mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dan berlangsung sepanjang hayat serta tidak terbatas pada masa bayi dan kanak-kanak, tetapi juga orang dewasa. Sementara itu Abrasyi, menjelaskan kata taklim hanya merupakan bagian dari tarbiyah karena hanya menyangkut domain kognitif. Al-Attas menganggap kata taklim lebih dekat kepada pengajaran atau pengalihan ilmu dari guru kepada pembelajaran, bahkan jangkauan aspek kognitif tidak memberikan porsi pengenalan secara mendasar.

      3.       Takdib
            Atas menawarkan satu istilah lain yang menggambarkan pendidikan Islam, dalam keseluruhan esensinya yang fundamental yakni kata takdib. Istilah ini mencakup unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (taklim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Istilah takdib dapat mencakup beberapa aspek yang menjadi hakikat pendidikan yang saling berkait, seperti ‘ilm (ilmu), ‘adl (keadilan), hikmah(kebajikan), ‘aml (tindakan), haqq (kebenaran), natq (nalar) nafs (jiwa), qalb (hati),‘aql (akal), maratib dan Derajat (tatanan hirarkis),
ayah (simbol), Dan adb (adab).Dengan mengacu pada kata adb dan kaitan-kaitanya seperti di atas, definisi pendidikan bagi al-Attas adalah:
            Sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian.
Makna al-ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan.
Perbedaan dan hubungan tarbiyah, ta’dib dan ta’lim
Tarbiyah
merupkan bentuk masdar dari kata robba-yurabbi-tarbiyyatan, yang berarti pendidikan. Sedangkan menurut istilah merupakan tindakan mangasuh, mendididk dan memelihara.
Muhammad Jamaludi al- Qosimi memberikan pengertian bahwa tarbiyah merupakan proses penyampian sesuatu batas kesempurnaan yang dilakukan secara setahap demi setahap. Sedangkan Al-Asfahani mengartikan tarbiyah sebagai proses menumbuhkan sesuatu secara setahap dan dilakukan sesuai pada batas kemampuan.
Menurut pengertian di atas, tarbiyah diperuntukkan khusus bagi manusia yang mempunyai potensi rohani, sedangkan pengertian tarbiyah yang dikaitkan dengan alam raya mempunyai arti pemeliharaan dan memenuhi segala yang dibutuhkan serta menjaga sebab-sebab eksistensinya.
Ta’dib
merupakan bentuk masdar dari kata addaba-yuaddibu-ta’diban, yang berarti mengajarkan sopan santun. Sedangkan menurut istilah ta’dib diartikan sebagai proses mendidik yang di fokuskan kepada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti pelajar.
Menurut Sayed Muhammad An-Nuquib Al-Attas, kata ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud keberadaan-Nya. Definisi ini, ta’dib mencakup unsur-unsur pengetahuan (ilmu), pengajaran (ta’lim), pengasuhan (tarbiyah). Oleh sebab itu menurut Sayed An-Nuquib Al Attas, tidak perlu mengacu pada konsep pendidikan dalam Islam sebagai tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib sekaligus. Karena ta’dib adalah istilah yang paling tepat dan cermat untuk menunjukkan dalam arti Islam.
Ta’lim
Secara bahasa berarti pengajaran (masdar dari ‘alama-yu’alimu-ta’liman), secara istilah berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampian pengertian, pengetahuan dan ketrampilan. Menurut Abdul Fattah Jalal, ta’lim merupakan proses pemberian pengatahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, sehingga diri manusia itu menjadi suci atau bersih dari segala kotoran sehingga siap menerima hikmah dan mampu mempelajari hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya ( ketrampilan). Mengacu pada definisi ini, ta’lim, berarti adalah usaha terus menerus manusia sejak lahir hingga mati untuk menuju dari posisi ‘tidak tahu’ ke posisi ‘tahu’ seperti yang digambarkan dalam surat An Nahl ayat 78, “dan Allah mengeluarkan dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”.
Jawaban nomor 
     Fitrah
      1.      Pengertian Fitrah Manusia
           Secara bahasa, kata fitrah berasal dari kata fathara ( فطر  ) yang berarti “menjadikan”. Kata tersebut berasal dari akar kata al-fathr (   ( الفطر yang berarti “belahan atau pecahan”. Fitrah mengandung arti “yang mula-mula diciptakan Allah”, “keadaan yang mula-mula”, “yang asal”, atau “yang awal”.
Kata fitrah disebut dalam al-Qur’an, surat Ar-Rum ayat 30, yang artinya:
 “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”.
           Secara umum, para pemikir muslim cenderung memaknainya sebagai potensi manusia untuk beragama (tauhid). , Menurut Al-Jarkasyi mendefinisikan fitrah sebagai iman bawaan yang telah diberikan Allah sejak manusia dalam alam rahim. Menurutpandangan Islam, pada dasarnya manusia itu dilahirkan dalam keadaan suci. Kesucian manusia itu dikenal dengan istilah fitrah.Sebagaimana Sabda Rosulullah SAW:
كل مولود يولد على الفطرة فابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه
Tiap-tiap anak dilahirkan diatas fitrah maka ibu dan ayahnya lah yang mendidiknya menjadi orang yang beragama yahudi, nasrani, dan majusi” (HR, Bukhari).
Muhammad bin Asyur, seperti dikutip Quraish Shihab mendefinisikan fitrah sebagai berikut:
اَلْفِطْرَةُ هِيَ النِّظَامُ الَّذِي أَوْجَدَهُ اللهُ فِى كُلِّ مَخْلُوْقٍ، وَاْلفِطْرَةُ الَّتِيْ تَخُصُّ نَوْعَ اْلإِنْسَانِ هِيَ مَا خَلَقَهُ اجَسَدًا أَوْ عَقْلاً
Artinya:
Fitrah (makhluk) adalah bentuk lain dari sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan kemampuan akal dan jasmaninya”.
          Dalam batasan ini fitrah diartikan sebagai potensi jasmaniah dan akal yang diberikan Allah kepada manusia. Dengan potensi tersebut, manusia mampu melaksanakan “amanat” yang dibebankan oleh Allah kepadanya.
            Berdasarkan uraian di atas Penulis  dapat menyimpulkan bahwa fitrah manusiaadalah semua bentuk potensi yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada manusia semenjak proses penciptaannya di alam rahim guna kelangsungan hidupnya di atas dunia serta menjalankan tugas dan fungsinya sebagai makhluk terbaik yang diciptakan oleh Allah swt .
    2.      macam macam fitrah
a.        Potensi Fisik (Psychomotoric)
Merupakan potensi fisik manusia yang dapat diberdayakan sesuai fungsinya untuk berbagai kepentingan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup.
b.      Potensi Mental Intelektual (IQ)
Merupakan potensi yang ada pada otak manusia fungsinya : untuk merencanakan sesuatu untuk menghitung, dan menganalisis, serta memahami sesuatu tersebut.
c.        Potensi Mental Spritual Question (SP)
Merupakan potensi kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri manusia yang berhubungan dengan jiwa dan keimanan dan akhlak manusia.
d.      Potensi Sosial Emosional
Yaitu merupakan potensi yang ada pada otak manusia fungsinya mengendalikan amarah, serta bertanggung jawab terhadap sesuatu.
Menurut H.M . Arifin komponen-komponen potensi tersebut adalah:
a.       Kemampuan dasar untuk beragama islam
b.       Bakat
c.       Insting atau naluri
d.      Nafsu
e.         Hereditas atau sifat turun temurun
f.       Karakter



Hidayah
         1.      Pengertian Hidayah
            Kata Hidayah adalah dari bahasa Arab atau bahasa Al-Qur’an yang telah menjadi bahasa Indonesia. Akar katanya ialah : hadaa, yahdii, hadyan, hudan, hidyatan, hidaayatan. Khusus yang terakhir, kata hidaayatan kalau wakaf (berhenti) di baca : Hidayah, nyaris seperti ucapan bahasa Indonesia. Hidayah secara bahasa berarti petunjuk. Lawan katanya adalah : “Dholalah” yang berarti “kesesatan”. Secara istilah (terminologi), Hidayah ialah penjelasan dan petunjuk jalan yang akan menyampaikan kepada tujuan sehingga meraih kemenangan di sisi Allah. Allah berfirman yang artinya:
“Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan Pencipta mereka, dan (sebab itu) merekalah orang-orang yang sukses.”(Q.S. Al-Baqarah: 5)
2.      Macam-Macam Hidayah
            Para Ulama besar Islam telah menjelaskan dengan rinci dan mendalam perihal Hidayah/Hudan, khususnya yang diambil dari Al-Qur’an seperti yang ditulis oleh Al-Balkhi dalam bukunya “Al-Asybah wa An-Nazho-ir”, Yahya Ibnu Salam dalam bukunya “At-Tashoriif”, As-Suyuthi dalam bukunya “Al-Itqon” dan Ibnul Qoyyim Al-Jawzi dalam bukunya “Nuzhatu Al-A’yun An-Nawazhir”.
            Hidayah/Hudan Dalam Al-Qur’an tercantum sekitar 171 ayat dan terdapat pula dalam 52 Hadits. Sedangkan pengertian Hidayah / Hudan dalam Al-Qur’an dan Hadits terdapat sekitar 27 makna. Di antaranya bermakna : penjelasan, agama Islam, Iman (keyakinan), seruan, pengetahuan, perintah, lurus/cerdas, rasul /kitab, Al-Qur’an, Taurat, taufiq/ketepatan, menegakkan argumentasi, Tauhid/ mengesakan Allah, Sunnah/Jalan, perbaikan, ilham/insting, kemampuan menilai, pengajaran, karunia, mendorong, mati dalam Islam, pahala, mengingatkan, benar dan kokoh/konsisten.
Dari 27 pengertian tersebut di atas, sesungguhnya Hidayah secara umum, terbagi menjadi empat bagian utama, yaitu:
a.       Hidayah I’tiqodiyah (Petunjuk Terkait Keyakinan Hidup)
Allah berfirman, Yang artinya:
“Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka dapat petunjuk (keyakinan hidup), maka sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya, dan sekali-kali mereka tiada mempunyai penolong”. (Q.S. An-Nahl : 37)
dan Allah juga berfirman, yang artinya:
“Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Firaun yang menyembunyikan imannya berkata: “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: “Tuhan Penciptaku ialah Allah, padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhan Penciptamu. Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan (tetapi) jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu”. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk (hidayah) kepada orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta (penolak kebenaran yang datang dari-Nya)”. (Q.S. Al-Mu’min: 28)
b.      Hidayah Thoriqiyah (Petunjuk Terkait Jalan Hidup, yakni Islam yang didasari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw)
seperti firman Allah, yang artinya:
“Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syariat) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus (Islam)”. (Q.S. Al-Hajj: 67)
atau seperti firman Allah, yang artinya:
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk (Islam/ Al-Qur’an) kepada mereka dari Tuhan mereka”. (Q.S. Annajm: 23)
c.       Hidayah ‘Amaliyah (Petunjuk Terkait Aktivitas Hidup)
seperti firman Allah, yang artinya:
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Ankabut: 69)
d.      Hidayah Fithriyah(Fitrah).
            Hidayah Fithriyah ini terkait dengan kecenderungan alami yang Allah tanamkan dalam diri manusia untuk meyakini Tuhan Pencipta, mentauhidkan-Nya dan melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk diri mereka. Realisasinya tergantung atas pilihan dan keinginan mereka sendiri. Sumbernya adalah Qalb (hati nurani) dan akal fikiran yang masih bersih (fithriyah) sebagaimana yang dialami oleh Nabi Ibrahim. Allah menjelaskan dalam firmannya:
Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. (Q.S. Al-An’am: 77).
Jawaban nomor 3
      Haikat Pendidikan Islam
Pendidikan adalah suatu proses yang dilakukan secara sadar atau disengaja guna untuk menambah pengetahuan, wawasan serta pengalaman untuk menentukan tujuan hidup sehingga bisa memiliki pandangan yang luas untuk ke arah masa depan lebih baik dan dengan pendidikan itu sendiri dapat menciptakan orang-orang berkualitas.
Pendidikan Islam berarti sistem pendidikan yang memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya, dengan kata lain pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikannya yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia baik duniawi maupun ukhrawi.
Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada termal-tarbuyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari keriga istilah tersebut term yang populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam adalah term al-tarbiyah. Sedangkan term al-ta’dib dan al-ta’lim jarang sekali digunakan. Padalah kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.

     Fungsi Pendidikan Islam
Dalam buku Filsafat Pendidikan Islam yang ditulis oleh Abdul Halim, fungsi pendidikan dilihat secara operasional adalah:
  • Alat untuk memelihara, memperluas, dan menghubungan tingkat-tingkat kebudayaan,  nilai nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat nasioanal
  •  Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan perkembangan. Pada garis besarnya, upaya ini dilakukan melalui potensi ilmu pengetahuan dan skill yang dimiliki, serta melatih tenaga-tenaga manusia (peserta didik) yang produktif dalam menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi yang demikian dinamis.

Menurut pandangan pendidikan islam, fungsi pendidikan itu bukanlah sekedar mengembangkan kemampuan dan mencerdaskan otak peserta didik, tetapi juga menyelamatkan fitrahnya. Oleh karena itu fungsi pendidikan dan pengajaran Islam dalam hubungannya dengan faktor anak didik adalah untuk menjaga, menyelamatkan, dan mengembangkan fitrah ini agar tetap menjadi al-fithratus salimah dan terhindar dari al-fithratu ghairus salimah. Artinya, agar anak tetap memiliki aqidah keimanan yang tetap dibawanya sejak lahir itu, terus menerus mengokohkannya, sehinggamati dalam keadaan fitrah yang semakin mantap, tidak menjadi Yahudi, Nashrani, Majusi ataupun agama-agama dan faham-faham yang selain Islam.

      Tujuan Pendidikan Islam
 Tujuan pendidikan adalah menciptakan seseorang yang berkualitas dan berkarakter sehingga memiliki pandangan yang luas kedepan untuk mencapai suatu cita- cita yang di harapkan dan mampu beradaptasi secara cepat dan tepat di dalam berbagai lingkungan. Karena pendidikan itu sendiri memotivasi diri kita untuk lebih baik dalam segala aspek kehidupan. Karena tanpa pendidikan itu sendiri kita akan terjajah oleh adanya kemajuan saat ini, karena semakin lama semakin ketat pula persaingan dan semakin lama juga mutu pendidikan akan semakin maju.
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia. Secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran, diri manusia yang rasional, perasaan dan indra, karena itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik, aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif, dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah SWT, baik secara pribadi kontinuitas, maupun seluruh umat manusia.
Tujuan pendidikan ialah perubahan yang diharapkan pada subyek didik setelahmengalami proses pendidikan baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehdupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana individu ituhidup. Sedangkan menurut Omar Muhammad Attoumy Asy- Syaebani tujuan pendidikan islam memiliki empat ciri pokok :
1.      Sifat yang bercorak agama dan akhlak.
2.      Sifat kemenyeluruhannya yang mencakup segala aspek pribadi pelajar atausubyek didik, dan semua aspek perkambangan dalam masyrakat.
3.      Sifat keseimbangan, kejelasan, tidak adanya pertentangan antara unsur-unsur dan cara pelaksanaanya
4.      Sifat realistis dan dapat dilaksanakan, penekanan pada perubahan yangdikehendaki pada tingkah laku dan pada kehidupan, memperhitungkan perbedaan-perbedaan  perseorangan  diantara  individu, masyarakat dankebudayaan di mana-mana dan kesanggupanya untuk berubah dan berkembanng bila diperlukan
            Pendidikan Islam bertugas di samping menginternalisasikan (menanamkan dalam pribadi) nilai-nilai islami, juga mengembangkan anak didik agar mampu melakukan pengamalan nilai-nilai itu secara dinamis dan fleksibel dalam batas-batas konfigurasi idealitas wahyu Tuhan. Hal ini berarti Pendidikan Islam secara optimal harus mampu mendidik anak didik agar memiliki “kedewasaan atau kematangan” dalam beriman, bertaqwa, dan mengamalkan hasil pendidikan yang diperoleh, sehingga menjadi pemikir yang sekaligus pengamal ajaran Islam, yang dialogis terhadap perkembangan kemajuan zaman. Dengan kata lain, Pendidikan Islam harus mampu menciptakan para “mujtahid” baru dalam bidang kehidupan duniawi-ukhrawi yang berkesinambungan secara interaktif tanpa pengkotakan antara kedua bidang itu.
Menurut H.M.Arifin tujuan pendidikan islam adalah idealitas (cita-cita) yang mengandung nilai-nilai islam yang hendak dicapai dalam proses kependidikan yang berdasarkanajaran Islam secara bertahap. Prof. H. M. Arifin, M. Ed menjabarkan tujuan pendidikan yang bersasaran pada tiga dimensi hubungan manusia selaku “Khalifah” dimuka bumi yaitu sebagai berikut:
  1.  Menanamkan sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang dengan Tuhannya.
  2. Membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang dengan                       masyarakatnya.
  3. Mengembangkan kemampuannya untuk menggali, mengelola dan memanfaatkan kekayaan    alam ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan hidupnya, dan hidup sesamanya serta bagi  kepentingan ubudiahnya kepadanya, dengan dilandasi sikap hubungan yang harmonis.

Tersebut tidak akan terwujut nyata, bilamana tidak diaktualisasikan melalui ikhtiar yang bersifat kependidikan secara terarah dan tepat.
Prinsip prinsip dasar pendidikan islam
            Pandangan Islam yang bersifat filosofi terhadap alam jagat, manusia, masyarakat, pengetahuan, dan akhlak, secra jelas tercermin dalam prinsip-prinsip pendidikan Islam. Dalam pembelajaran, pendidik merupakan fasilitator. Ia harus mampu memberdayagunakan beraneka ragam sumber belajar. Dalam memimpin proses pembelajaran, pendidik perlu perlu memperhatikan prinsip-prinsip dalam pendidikan Islam dan senantiasa mempedomaninya, bahkan sejauh mungkin merealisasikannya bersama-sama dengan peserta didik. Adapun yang menjadi prinsip-prinsip pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
1.      Prinsip Integral dan Seimbang
a.       Prinsip Integral
            Pendidikan Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara sains dan agama. Keduanya harus terintegrasi secara harmonis. Dalam ajaran Islam, Allah adalah pencipta alam semesta termasuk manusia. Allah pula yang menurunkan hukum-hukum untuk mengelola dan melestarikannya. Hukum-hukum mengenai alam fisik disebut sunatullah, sedangkan pedoman hidup dan hukum-hukum untuk kehidupan manusia telah ditentukan pula dalam ajaran agama yang disebut dinullah yang mencakup akidah dan syariah.
b.      Prinsip Seimbang
            Pendidikan Islam selalu memperhatikan keseimbangan di antara berbagai aspek yang meliputi keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara ilmu dan amal, urusan hubungan dengan Allah dan sesama manusia, hak dan kewajiban.
            Keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat dalam ajaran Islam harus menjadi perhatian. Rasul diutus Allah untuk mengajar dan mendidik manusia agar mereka dapat meraih kebahagiaan kedua alam itu. implikasinya pendidikan harus senantiasa diarahkan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
            Dalam dunia pendidikan, khususunya dalam pembelajaran, pendidik harus memperhatikan keseimbangan dengan menggunakan pendekatan yang relevan. selain mentrasfer ilmu pengetahuan, pendidik perlu mengkondisikan secara bijak dan profesional agar peserta didik dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapat di dalam maupun di luar kelas.
2.      Prinsip Bagian dari Proses Rububiyah
            Al-Qur’an menggambarkan bahwa Allah adalah Al-Khaliq, dan Rabb Al-Amin (pemelihara semesta alam). Dalam proses penciptaan alam semesta termasuk manusia. Allah menampakan proses yang memperlihatkan konsistensi dan keteraturan. Hal demikian kemudian dikenal sebagai aturan-aturan yang diterpakan Allah atau disebut Sunnatullah.
            Sebagaiman Al-Kailani yang dikutip oleh Bukhari Umar dalam bukunya menjelaskan, bahwa peranan manusia dalam pendidikan secara teologis dimungkinkan karena posisinya sebagai makhluk, ciptaan Allah, yang paling sempurna dan dijadikan sebagai khalifatullah fi al-ardh.
            Sebagai khalifah, manusia juga mengemban fungsi rubbubiyah Allah terhadap alam semesta termasuk diri manusia sendiri. Dengan perimbangan tersebut dapat dikatakan bahwa karakter hakiki pendidikan Isam pada intinya terletak pada fungsi rubbubiyah Allah secara praktis dikuasakan atau diwakilkan kepada manusia. Dengakn kata lain, pendidikan Islam tidak lain adalah keseluruhan proses dan fungsi rubbubiyah Allah terhadap manusia, sejak dari proses penciptaan samspai dewasa dan sempurna.
3.      Prinsip Membentuk Manusia yang Seutuhnya
            Manusia yang menjadi objek pendidikan Islam ialah manusia yang telah tergambar dan terangkum dalam Al-Qur’an dan hadist. Potret manusia dalam pendidikan sekuler diserhakan pada orang-orang tertentu dalam msyarakat atau pada seorang individu karena kekuasaanya, yang berarti diserahkan kepada angan-angan seseorang atau sekelompok orang semata.
            Pendidikan Islam dalam hal ini merupakan usaha untuk mengubah kesempurnaan potensi yang dimiliki oleh peserta didik menjadi kesempurnaan aktual, melalui setiap tahapan hidupnya. Dengan demikian fungsi pendidikan Islam adalah menjaga keutuhan unsur-unsur individual peserta didik dan mengoptimalkan potensinya dalam garis keridhaan Allah. Prinsip ini harus direalisasikan oleh pendidik dalam proses pembelajaran. Pendidik harus mengembangkan baik kecerdasan intelektual, emosional maupun spiritual secara simultan.

4.       Prinsip Selalu Berkaitan dengan Agama
            Pendidikan Islam sejak awal merupakan salah satu usaha untuk menumbuhkan dan memantapkan kecendrungan tauhid yang telah menjadi fitrah manusia. Agama menjadi petunjuk dan penuntun ke arah itu. Oleh karena itu, pendidikan Islam selalu menyelenggrakan pendidikan agama. Namun, agama di sini lebih kepada fungsinya sebagai sumebr moral nilai.
            Sesuai dengan ajaran Islam pula, pendidikan Islam bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu sebagai materi, atau keterampilan sebagai kegiatan jasmani semata, melainkan selalu mengaitkan semuanya itu dengan kerangka praktik (‘amaliyyah) yang bermuatan nilai dan moral. Jadi, pengajaran agama dalam Islam tidak selalu dalam pengertian (ilmu agama) formal, tetapi dalam pengertian esensinya yang bisa saja berada dalam ilmu-ilmu lain yang sering dikategorikan secara tidak proporsional sebagai ilmu sekuler.

5.      Prinsip Terbuka
            Dalam Islam diakui adanya perbedaam manusia. Akan tetapi, perbedaan hakiki ditentukan oleh amal perbuatan manusia (QS, Al-Mulk : 2), atau ketakwaan (QS, Al-Hujrat : 13). oleh karena itu, pendidikan Islam pada dasarnya bersifat terbuka, demokratis, dan universal. menurut Jalaludin yang dikutip oleh Bukhari Umar menjelaskan bahwa keterbukaan pendidikan Islam ditandai dengan kelenturan untuk mengadopsi unsur-unsur positif dar luar, sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakatnya, dengan tetap menjaga dasar-dasarnya yang original (shalih), yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist.

6.      Menjaga Perbedaan Individual
            Perbedaan individual antara seorang manusia dengan orang lain dikemukakan oleh Al-Qur’an dan hadist. Sebagai contoh:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”. (QS. Ar-Rum : 22)
            Perbedaan-perbedaan yang dimiliki manusia melahirkan perbedaan tingkah laku karena setiap orang akan berbuat sesuai dengan keadaanya masing-masing. Menurut Asy-Syaibani yang dikutip oleh Prof. Dr. H. Ramayulis menjelaskan bahwa pendidikan Islam sepanjangs sejarahnya telah memlihara perbedaan individual yang dimilki oleh peserta didik.

7.      Prinsip Pendidikan Islam adalah Dinamis
            Pendidikan Islam menganut prinsip dinamis yang tidak beku dalam tujuan-tujuan, kurikulum dan metode-metodenya, tetapi berupaya untuk selalu memperbaharuhi diri dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Pendidikan Islam seyogyanya mampu memberikan respon terhadap kebutuhan-kebutuhan zaman dan tempat dan tuntutan perkembangan dan perubahan social. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan Islam yang memotivasi untuk hidup dinamis.
Menurut saya rumusan tujuan pendidikan islam yang relavan dg perkembangan kondisi saat ini adalah rumusan tujuan pendidikan islam yang  umum karena tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara yang lainnya. Tujuan ini meliputi seluruh aspek kemanusiaan, seperti: sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan dan pandangan. Tujuan umum ini berbeda pada tingkat umur, kecerdasan, situasi dan kondisi, dengan kerangka yang sama. Bentuk Insan Kamil dengan polatakwa kepada Allah swt harus dapat tergambar dalam pribadi seseorang yang sudah terdidik, walaupun dalam ukuran kecil dan mutu yang rendah.

Jawaban no 4
1.      Metode Dialog (hiwar)
            Hiwar adalah percakapan timbal-balik (silih berganti) antara dua pihak atau lebih mengenai suatu topik tertentu dan dengan sengaja diarahkan kepada suatu tujuan yang dikehendaki oleh guru. Tidak soal apakah percakapan tersebut mencapai suatu kesimpulan atau tidak. Hiwar sangat berpengaruh baik bagi pembicara maupun pendengar karena beberapa sebab. Pertama, dialog brlangsung secara dinamis karena kedua belah pihak terlibat langsung dalam suatu pembicaraan dan kedua belah pihak saling memperhatikan. Dialog Nabi Isa dengan Hawariyun, Nabi Muhammad dengan para Sahabatnya dan Socrates dengan para muridnya merupakan contoh hiwar yang berguna. Kedua,pendengar tertarik untuk mengikuti terus pembicaraan itu karena dia ingin mengetahui kesimpulannya. Itu sebabnya dialog sering didengarkan oleh mitra pendengarnya dengan penuh semangat. Ketiga, metode ini dapat membangkitkan perasaan dan menanamkan kesan dalam jiwa yang dapat membantu mengarahkan seseorang untuk menemukan sendiri kesimpulannya. Keempat, bila dialog dilakukan dengan baik, tegasnya memenuhi ahlak tuntunan Islam, maka cara berdialog, sikap orang yang terlibat, itu akan mempengaruhi peserta sehingga menimbulkan pengaruh berupa pendidikan ahlak, sikap dalam berbicara, menghargai pendapat orang lain, dan sebagainya. Ada beberapa macamhiwar, yaitu hiwar khitabi atau ta’abudi, hiwar washfi, hiwar qisasi, hiwar jadali.
            . Melalui metode hiwar jenis ini, al-Qur’an berusaha menanamkan aspek-aspek berikut :
a.       Agar tanggap terhadap persoalan yang diajukan al-Qur’an, merenungkannya, menghadirkan jawaban sekurang-kurangnya di dalam kalbu.
b.      Menghayati makna kandungan al-Qur’an.
c.       Mengarahkan tingkah laku agar sesuai dengan petunjuk al-Qur’an.
d.      Menanamkan rasa bangga pada jiwa manusia karena dipanggil Tuhan.
            Hiwar washfi (dialog deskriptif) adalah dialog antara Tuhan dengan malaikat atau dengan mahluk gaib lainnya sebagaimana tersurat dalam kisah nominasi Adam sebagai khalifah pada QS. 2:30-35. Dialog jenis ini juga terkadang memuat gambaran (deskripsi) tentang penguni sorga dan neraka sebagaimana tersurat dalam Surat as-Shafat: 20-23; 27-28; 50-57. Dialog jenis ini bertujuan menanamkan kesan pada pembaca betapa menyedihkannya nasib ahli neraka dan betapa menyenangkannya nasib ahli sorga. Sedemikian mendalam tertanamnya kesan tersebut sampai-sampai seolah-olah pembaca kisah deskriptif itu merasakannya di alam nyata.
            Hiwar qisasi (dialog naratif) adalah jenis dialog berupa cerita seperti kisah Nabi Syu’aib dengan kaumnya sebagaimana tersurat dalam Surat Hud. Sepuluh ayat pertama dalam Surat ini merupakan dialog naratif. Dialog jenis ini berdampak sangat besar terhadap kejiwaan pembaca dan pendengarnya karena:Dialog jenis ini menekankan pada pengisyaratan bahwa pendirian oran-orang kafir/zalim itu lemah dan bahwa pendirian Allah, lewat Nabi-Nya, adalah kuat. Dialog jenis ini menyajikan kisah secara berseling untuk memperkuat penanaman kesan dari kisah yang disajikan.
            Hiwar jadali (dialog argumentatif) adalah dialog untuk memantapkan hujjah sebagaimana disajikan dalam Surat al-Najm ayat 1-5.  Dialog jadali biasanya dilakukan dalam bentuk a tanya jawab. Diantara dampak psikologis dari dialog jenis ini ialah :
a.       Mendidik manusia untuk menegakan kebenaran dengan menggunakan argumen yang kuat.
b.      Mendidik manusia untuk menolak argumen lemah yang dipakai oleh pembela kebatilan.
c.       Mendidik manusia untuk berpikir jernih-kritis, berpikir dengan menggunakan akal sehat (common sense).
Hiwar nabawi  adalah dialog antara Nabi dengan (pengikutnya).
2.      Metode Kisah qurani dan nabawai
             Dalam pendidikan Islam, kisah sebagai metode pendidikan sangat penting karena beberapa alasan:
            Kisah selalu memikat karena mengundang pembaca atau pendengar untuk mengikuti alur kisah peristiwanya dan merenungkan maknanya. Makna ini selanjutnya akan memberikan kesan dalam hati pembaca atau pendengar tersebut.
            Kisah Qurani dan Nabawi dapat menyentuh hati manusia karena kisah menampilkan tokoh dalam konteksnya yang menyeluruh. Karena tokoh cerita ditampilkan dalam konteks menyeluruh, maka pembaca atau pendengar dapat ikut menghayati atau merasakan kisah itu, seakan-akan dia sendiri sebagai tokohnya. Diantara kelebihan kisah Qurani dan Nabawi ialah bahwa kisah ini bukan saja sangat mengesankan tetapi juga indah dan tidak mengotori pikiran pembaca atau pendengarnya. Sebagai contoh, kita dapat merenungkan kisah Yusuf.
            Kisah Qurani mendidik perasaan keimanan dengan cara membangkitkan beragam perasaan seperti pengharapan (raja’), ketakutan (khauf), kerelaan (rida) dan cinta (hubb) dan dengan cara melibatkan pembaca atau pendengar ke dalam kisah itu sehingga dia merasa terlibat langsung secara emosional. Diantara tujuan utama kisah Qurani ialah:
a.       untuk mengungkapkan kemantapan wahyu dan risalah. Tegasnya, untuk memantapkan perasaan dalam menerima al-Qur’an dan risalah Rasul-Nya. Kisah-kisah itu menjadi bukti kebenaran wahyu dan kebenaran risalah rasul-Nya;
b.      untuk menjelaskan secara keseluruhan bahwa al-din itu datang dari Allah;
c.       untuk menjelaskan bawa Allah akan selalu menolong dan mencintai Rasul-Nya dan juga menjelaskan bahwa kaum mukminin adalah umat yang satu dan Allah adalah Tuhan mereka.
d.      untuk memperkuat keimanan kaum mukminin dan menghibur mereka di kala ditimpa musibah;
e.       untuk mengingatkan bahwa musuh orang mukmin adalah setan; permusuhan abadi itu disajikan melalui kisah sehingga tampak lebih jelas dan hidup. Kisah Nabawi merupakan penjabaran lebih rinci dari kisah Qurani seperti mengenai pentingnya keikhlasan dalam beramal, pentingnya bersedekah dan mensyukuri nikmat Allah.
            Disamping kisah yang bersumber langsung dari al-Quran dan Hadits, cerita-cerita buatan/rekayasa – baik fiktif maupun historis – yang tidak bersumber kepada kedua sumber tersebut, sangatlah penting artinya bagi pendidikan anak selama kisah-kisah tersebut baik cara penyajian maupun kandungan cerita serta inti pesannya tidak bertentangan dengan norma-norma agama Islam. Cerita atau kisah dapat disajikan dalam beragam bentuk penyajian: roman, novel, dongeng, mitos, (cerita tentang asal-usul suatu tempat (legenda), atau cerita tentang binatang (fabel). Berikut ini disajikan beberapa ringkasan fragmen cerita yang sarat dengan muatan pendidikan Islami.
3.      Metode keteladanan (uswah)
            Murid cenderung meniru perilaku pendidiknya. Alasannya ialah bahwa secara psikologis anak didik memang senang meniru, tidak saja yang baik tetapi juga yang buruk sekalipun. Dikatakan dalam sebuah hadits riwayat ‘Aisyah bahwa akhlak Rasul adalah al-Quran. Maksudnya, perilaku Nabi merupakan interpretasi al-Quran secara nyata. Perilaku Nabi merupakan teladan tidak hanya dalam praktik ibadah, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana ditegaskan di dalam al-Qur’an (QS. 33:21). Mengenai pentingnya metode keteladanan ini, Anwar al-Judi menegaskan bahwa anak-anak lebih banyak mengambil pelajaran dengan cara meniru perilaku gurunya. Cara ini jauh lebih berpengaruh kepada anak-anak daripada melalui metode nasehat dan petuah lisan. Jadi bisa diambil konsep sebagai berikut :
a.       Metode pendidikan islam berpusat pada keteladannya. Yang member keteladanan itu guru, kepala sekolah dan aparat sekolah.
b.      Keteladanan untuk guru-guru ialah Rasullullah. Guru tidak boleh mengambil tokoh-tokoh yang diteladani selain Rasul Allah.

4.      Metode ‘ibrah
            Menurut an-Nahlawi, ‘ibrah (pelajaran) yang diperoleh lewat perenungan (i’tibar) atas fenomena alam atau peristiwa sejarah merupakan suatu kondisi psikis yang mengantarkan manusia kepada intisari dari sesuatu yang disaksikan, didengar, dan dihadapi dengan menggunakan pemahaman nalar yang menyebabkan hati mengakuinya.
            Penggunaan ‘ibrah  di dalam al-Qur’an dan Sunnah banyak sekali ragamnya tergantung pada objeknya. Al-Qur’an menekankan sekali pentingnya memikirkan (ber-i’tibar) agar dengan cara itu manusia mendapatkan banyak pelajaran (‘ibrah)
            Penyampaian pesan dalam bentuk ‘ibrah menggunakan beberapa medium, antara lain: kisah (seperti kisah para Rasul), tamsil (seperti binatang) dan fenomena alam. Sedemikian pentingnya mengambil pelajaran itu sehingga Allah berulang kali menyerukan kepada manusia untuk terus-menerus beri’tibar (perhatikan, misalnya, perintah yang tertera pada Surat al-Hasyr:2). Pengambilan ‘íbrah dari suatu kisah, tamsil atau fenomena alam hanya akan dapat dicapai oleh orang yang berpikir dengan akal sehat sebagaimana Allah tegaskan: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat ‘ibrah bagi orang-orang yang menggunakan akal sehatnya” (QS. Yusuf: 111). Lebih tegas lagi dinyatakan: “Hanya orang-orang berpikir yang akan mendapatkan pelajaran” (Ali Imran:7). Mengenai pentingnya memikirkan, mengkaji dan meneliti fenomena alam, sebagai contoh, Allah melukiskan dalam Surat yang sama yang berbunyi:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya siang dan malam terdapat banyak fenomena untuk menunjukan kebesaran Allah bagi orang-orang yang berpikir. [Diantara ciri orang berpikir] yaitu orang-orang yang senantiasa mengingat Allah baik dalam keadaan berdiri, duduk maupun sedang berbaring/tidur…” (Ali Imran: 190-191)
            Sedemikian indahnya Allah swt menyampaikan pesan ini sampai-sampai kita dapat menyimpulkan bahwa ternyata segala fenomena alam baik di langit maupun di bumi merupakan “materi pelajaran” yang disajikan oleh Mahaguru semesta alam kepada segenap penghuninya. Pengkajian terhadap fenomena alam itu dimaksudkan untuk menciptakan kesejahtraan bagi manusia sendiri, bukan untuk Allah. Dus, pengembangan sains dan teknologi merupakan tugas bagi setiap orang. Sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut, bahwa ciri orang berpikir adalah selalu mengingat Allah. Maksudnya, kurang lebih, orang seperti itu selalu ingat akan tugas yang Allah bebankan kepadanya, yaitu memikirkan fenomena alam supaya manusia dapat meraih kebahagiaan. Disamping itu, agar manusia semakin sadar akan kebesaran dan kekuasaan Allah. Mengingat betapa pentingnya menelaah fenomena alam sampai-sampai Allah menyajikan beberapa contoh fenomena alam yang harus dikaji seperti guruh (al-ra’d), gua (al-kahf), cahaya (an-nur), kabut (ad-dukhan), bukit-bukit (al-ahqaf), angin taufan (ad-dzariyat), matahari (as-syams), bulan (al-qamar), bintang (an-njam), konstelasi planet (al-buruj), waktu subuh (al-falaq), fajar (al-fajr), negeri (al-balad), luapan api (al-lahb), sampai pepohonan dan buah-buahan seperti pohon/buah Tin dan Zaitun. Bahkan Allah menyruh manusia untuk mengkaji dan menggali bahan-bahan tambang seperti besi (al-hadid).
Kisah pun, sebagaimana diutarakan di atas, sarat dengan pelajaran bila dipikirkan, direnungkan dan dikaji maknanya. Inti pesan (pelajaran) dari kisah nabi Yusuf, misalnya, adalah bahwa Allah berkuasa untuk menyelamatkan Yusuf setelah dia dilemparkan ke dalam sumur yang gelap oleh saudara-saudaranya. Kedua, Allah juga berkuasa untuk mengangkat martabat Yusuf sekalipun dia telah dijebloskan ke dalam penjara. Singkat kata, Allah berkuasa atas segala sesuatu. Pelajaran seperti ini hanya dapat diperoleh [dicapai] oleh orang yang berpikir jernih, berpikir kritis dengan akal sehatnya.
5.      Metode targhib dan tarhib
            Targhib adalah usaha pendidik untuk membangkitkan minat atau pengharapan terhadap sesuatu yang sangat didambakan seperti kesenangan, keselamatan, kemenangan, kejayaan, dll. Dalam kata lain, targhib adalah usaha pembangkitan minat dan hasrat manusia untuk memperoleh apa yang dia idamkan. Dalam terminologi pendidikan,targhib  adalah usaha membangkitkan hasrat manusia untuk mendapatkan ganjaran (reward) yang dijanjikan untuk suatu prestasi yang telah dicapai (amal saleh) yang dalam istilah agama disebut sorga. Sedangkan tarhib adalah kebalikan dari targhib. 
Tarhib adalah usaha pendidikan untuk membuat anak didik takut terhadap ancaman hukuman (punishment) yang dijanjikan untuk suatu perbuatan jahat (amal salah) yang dalam istilah agama disebut neraka. Berulang kali disebutkan di dalam al-Qur’an bahwa orang-orang beriman dan berbuat baik akan diberi ganjaran besar berupa sorga. Sedangkan bagi orang-orang kafir dijanjikan neraka. Dwi-ungkapan di dalam al-Quran ini merupakan contoh aplikasi metode targhib dan tarhib.
            Dalam pendidikan Islam, metode targhib dan tarhib memiliki keistimewaan yang jauh lebih unggul daripada metode ganjaran dan hukuman (reward and punishment) karena Targhib dan tarhib senantiasa bersandar pada petunjuk al-Qur’an dan Sunnah untuk menumbuhkan dan memperkokoh keimanan.
            Targhib dan tarhib  senantiasa dikaitkan langsung dengan janji dan ancaman dari Allah berupa surga dan neraka sehingga dapat menimbulkan rasa kedekatan kepada Tuhan dan rasa penuh pengharapan (raja’) terhadap apa yang Allah janjikan. Metode reward and punishment, di lain pihak, hanya mengandalkan ganjaran dan hukuman fisik di dunia ini saja.
            dengan tujuan pendidikan; yaitu membentuk akhlak yang mulia dalam kaitannya dengan tujuan penciptaan manusia yaitu mengabdi kepada Allah Swt. Pada pembahasan di atas, telah dijelaskan prinsip-prinsip kurikulum pendidikan Islam oleh pakar pendidikan Islam. 
            Pada pembahasan ini, akan dikemukan ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam menurut Omar Muh. Al-Toumy al-Syaibany (1979:490-512) sebagai berikut: 
1.      Mengutamakan tujuan agama dan akhlak dalam berbagai tujuannya, kandungan, metode, alat dan teknik yang bercirikan ajaran Islam. Pemberian materi kepada peserta didik baik di lingkungan sekolah ataupun keluarga berdasarkan nilai-nilai al-Quran dan as-Sunnah;
2.      Kurikulum yang mencerminkan semangat, pemikiran dan ajaran-ajaran kurikulum yang cukup luas isi dan kandungannya. Pengembangan dan bimbingan dalam segala aspek pribadi pelajar baik dari aspek intelektual, psikologis, sosial dan spiritual; 
3.      Kurikulum yang memiliki keseimbangan di antara kandungan kurikulum yang akan digunakan. Keseimbangan ini mencakup manfaat ilmu pengetahuan bagi perkembangan individual dan perkembangan sosial; 
4.      Penataan kurikulum yang menyeluruh dan seimbang (fleksibel) dalam setiap materi pelajaran yang diberikan kepada peserta didik. Seperti aktivitas pendidikan jasmani, pengetahuan teknik, keterampilan, penguasaan bahasa asing dan ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi peserta didik; 
5.      Kurikulum disusun berdasarkan kebutuhan, kemampuan, minat dan bakat peserta didik, karena setiap individu memiliki perbedaan dalam menerima mata pelajaran yang diberikan pendidik. Oleh karena itu, penyusunan kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan. 
6.      Metode Nasehat (mau’idhah)
            Mau’idhah adalah nasihat bijaksana yang dapat diterima oleh pikiran dan perasaan orang yang menerimanya. Rasyid Rida, ketika menjelaskan al-Baqarah ayat 232 berkesimpulan bahwa ma’izah adalah nasehat yang disajikan dengan cara yang dapat menyentuh kalbu. Inilah yang lazim disebut nasihat baik (mau’izah hasanah).
Mau’idhah memiliki dua-arti yaitu. 
Pertama, ia berarti nasehat, yaitu penyajian kebenaran dengan maksud mengajak orang yang dinasehati untuk mengamalkannya. Nasihat yang baik tentu saja harus bersumber dari Yang Mahabaik, yaitu Allah. Untuk itu, pemberi nasihat juga harus terlepas pula dari kepentingan-kepentigan pribadi dan duniawi. Nasihat yang dia berikan harus semata-mata bermotifkan mencari keiridaan Allah [ikhlas] sebagaimana ditegaskan di dalam as-Syu’ara ayat 109, 127, 145, 164 dan 180 bahwa pemberi nasihat atau pengajak kepada kebenaran harus selalu berpegang pada prinsip bahwa “Upahku hanya dari Tuhan semesta alam.” Nasehat Luqman al-Hakim kepada putranya merupakan contoh nasehat yang baik di mana Luqman menasehati anaknya untuk tidak mempersekutukan Allah, tidak suka berbuat jahat, menagakan shalat, menganjurkan kebajikan dan mencegah kerusakan, nasehat untuk bersabar dalam menjalani musibah, nasehat untuk tidak bersikap congkak dan sombong, serta tentang pentingnya tatakrama di dalam bertutur kata (QS. 31: 13, 16-19). Dengan menampilkan Luqman sebagai pemberi nasehat di dalam ayat ini, seakan-akan Allah memberikan pesan kepada kita (kaum pendidik) bahwa keikhlasan seorang pemberi nasehat itu harus seperti keikhlasan orang tua dalam memberikan nasehat kepada anaknya.
Kedua, mau’idhah berarti peringatan (tadzkir). Pemberi nasehat harus berulang kali mengingatkan agar nasihat itu berkesan sehingga yang dinasehati tertarik untuk mengikutinya. Dus, suatu nasihat harus disajikan secara ikhlas dan berulang-ulang. Dalam sebuah Hadits diriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah memberikan nasehat yang sangat menyentuh perasaan orang yang dinasehatinya sehingga penerima nasehat itu memandang nasehat tersebut seolah-olah sebagai wasiat.
7.      Metode Perumpamaan (amtsal)
            Sering kali Alloh memberikan pelajaran kepada manusia melalui perumpamaan-perumpamaan sebagaimana tersurat dalam al-Ankabut ayat 41 dimana Allah mengumpamakan tuhan selain Allah sebagai sarang laba-laba. Maksudnya, bahwa tuhan selain Allah itu merupakan sesembahan yang sangat rapuh (palsu). Contoh lain perumpamaan sebagai metode untuk mendidik manusia supaya jadi insan yang dermawan adalah sebagaimana termasuk dalam al-Baqarah ayat 261. Diantara keistimewaan metode perumpamaan adalah sebagai berikut:
1.      Mempermudah siswa dalam memahami konsep abstrak. Ini terjadi karena perumpamaan mengambil benda konkrit sebagai medium untuk mewakili konsep abstrak.
2.      Perumpamaan dapat merangsang kesan terhadap makna yang tersirat dalam perumpamaan tersebut. Ketika menjelaskan kata darb dalam al-Baqarah ayat 26, Muhammad Abduh berkomentar bahwa penggunaan kata darbdimaksudkan untuk mempengaruhi dan memperkuat penanaman kesan, seakan-akan si pembuat perumpamaan “menjewer” atau “menampar” telinga pembaca dengan perumpamaan itu sehingga pengaruh tamparan itu meresap ke dalam kalbunya.
3.      Mendidik manusia (khususnya pendidik) agar dalam menyajikan perumpamaan, maka perumpamaan itu harus logis dan praktis, mudah dipahami dan diamalkan. Dalam kata lain, perumpamaan harus memperjelas konsep, bukan sebaliknya..
Metode yang pendidikan paling tepat untuk mendidik akhlak pada masa kini adalah metode qisah, dimana dengan metode ini guru menceritakan tentang kisah-kisah nabi  dan sifat-sifat terpuji yang dimiliki oleh para nabi. Setelah mendengar kisah tentang nabi, seorang  anak didik tau mana sifat yg baik dan mana sifat yang buruk, sehingga tidak akan terjadi suatu parbuatan yang melenceng dari agama.
Jawaban nomor 5
Metode tujuan dan kurikulum memiliki hubungan yang terintegrasi karena metode dan tujuan mengukur dan pencapaian yang direncanakan dalam kurikulum. Tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh kurikulum dalam pendidikan Islam dan juga sama dengan tujuan pendidikan; yaitu membentuk akhlak yang mulia dalam kaitannya dengan tujuan penciptaan manusia yaitu mengabdi kepada Allah Swt. Tujuan pendidikan islam yang dicapai harus direncanakan atau di programkan dalam kurikulum
Prinsip-prinsip dasar dalam menyusun kurikulum pendidikan islam :
1.      Kurikulum pendidikan islam harus bertautan dengan agama , termasuk ajaran dan nilainya.
2.      Tujuan dan kandungan kurikulum pendidikan islam harus menyeluruh
3.      Tujuan dan kandungan kurikulum pendidikan islam harus adanya keseimbangan
4.      Kurikulum pendidikan islam harus berkaitan dengan bakat, minat,kemampuan dan kebutuhan anak didik tersebut hidup
5.      Dapat memelihara perbedaan individu diantara anak didik dalam bakat, minat, kemmpuan dan kebutuhan mereka
6.      Harus mengikuti perkembangan zaman
7.      Harus bertautan dengan pengalaman dan aktifitas anak didik dalam masyarakat

Upaya untuk meningkatkan ketertinggalan kualitas pendidikan islam pada saat ini yaitu dengan menegaskan paradigma dan karakteristik sistem pengembangkan pendidikan islam yang mana membangun paadigma tersebut dengan cara menggali kembali ajaran islam yg ada pada al quran dan hadits.

No comments:

Post a Comment