FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
1.
Tarbiyah
Penggunaan
istilah al-Tarbiyah berasal dari kata rabb. Dari
segi etimologis, tiga asal kata tarbiyah yakni, raba, rabiya, dan rabba, kata
tarbiyah mencakup makna yang sangat luas yakni
(a) al-nama yang berarti
bertambah, berkembang, dan tumbuh menjadi besar sedikit demi sedikit,
(b) aslahahu yang berarti
memperbaiki pembelajar jika proses perkembangan menyimpang dari nilai-nilai
Islam,
(c) tawalla amrahu yang berarti
mengurus perkara pembelajaran, bertanggung jawab atasnya dan melatihnya,
(d) ra’ahu yang berarti
memelihara dan memimpin sesuai dengan potensi yang dimiliki dan tabiyatnya
(e) al-tansyi’ah yang berarti
mendidik, mengasuh, dalam arti materi (fisiknya) dan immateri (kalbu, akal,
jiwa, dan perasaannya), yang kesemuannya merupakan aktivitas pendidikan.
Menurut
Syekh Ali, kata rabba memiliki arti yang banyak yakni merawat,
mendidik, memimpin, mengumpulkan, menjaga, memperbaiki, mengembangkan. Daim
menyimpulkan bahwa makna tarbiyah adalah merawat dan memperhatikan pertumbuhan
anak, sehingga anak tersebut tumbuh dengan sempurna sebagaimana yang lainnya,
yaitu sebuah kesempurnaan dalam setiap dimensi dirinya, badan (kinestetik),
roh, akal, kehendak, dan lain sebagainya.
Secara
filosofis mengisyaratkan proses pendidikan Islam adalah bersumber pada
pendidikan yang diberikan Islam adalah bersumber pada pendidikan yang diberikan
Allah sebagai “pendidik” seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia. Dalam konteks
yang luas, pengertian pendidikan Islam yang dikandung dalam term al-tarbiyah
terdiri atas empat unsur pendekatan, yaitu:
1
Memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa (baligh)
2
Mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan
3
Mengarahkan seluruh fitrfah menuju kesempurnaan
4
Melaksanakan pendidikan secara bertahap.
Dari
penjelasan ini bahwa prinsip-prinsip dasar pengertian tarbiyah dalam Islam
adalah:
pertama, bahwa murabbi (pendidik)
yang sebenarnya hanyalah Allah, karena Dia Pencipta fitrah, potensi kekuatan
dan kelemahan, dan paling tahu tentang hakikat manusia itu sendiri, karenanya
perlu dipelajari terus menerus siapa sebenarnya manusia itu sesuai dengan
perintah Tuhan.
Kedua, penumbuhan dan pengembangan
secara sempurna semua dimensi manusia baik materi, seperti fisiknya, maupun
immateri seperti akal, hati, kehendak, kemauan adalah tanggung jawab manusia
sebagai konsekwensi menjalankan fungsinya sebagai hamba Tuhan dan sebagai
fungsi khalifah.
Ketiga,dalam proses tarbiyah seharusnya
mengambil nilai dan dasarnya dari Al-Qur’an dan Sunnah dan berjalan sesuai
dengan sunnatullah yang digariskan-Nya.
Keempat,setiap aktivitas tarbiyah
mengarah kepada penumbuhan, perbaikan, kepemimpinan, atau penjagaan setiap
dimensi dalam diri manusia, baik aktivitas itu direkayasa atau secara
nattural.
Kelima, tarbiyah yang direkayasa
mengharuskan adanya rencana yang teratur, sistematis, bertahap, berkelanjutan
dan fleksibel.
Keenam, bahwa yang menjadi subjek
sekaligus objek dalam aktivitas tarbiyah adalah manusia.
Ketujuh,bahwa kata tarbiyah tida terbatas
pengetiannya sebagai sekedar transfer ilmu, budaya, tradisi, dan nilai tetapi
juga pembentukan kepribadian (transformatif) yang dilakukan secara bertahap.
2.
Ta’lim
Istilah
al-Ta’lim telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan islam.
Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal dibanding dengan
al-Tarbiyah maupun al-Ta’dib. Rasyid Ridha mengartikan al-Ta’lim sebagai proses
transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan
ketentuan tertentu.
Jalal memberikan alasan bahwa
proses taklim lebih umum dibandingkan dengan proses tarbiyah:
Pertama, ketika mengajarkan membaca
Al-Qur’an kepada kaum muslimin, Rasulullah SAW tidak terbatas pada membuat
mereka sekedar dapat membaca, melainkan membaca dengan perenungan yang
berisikan pemahaman, pengertian, tanggung jawab, penanaman amanah sehingga
terjadi pembersihan diri (tazkiyah al-nufus) dari segala kotoran, menjadikan
dirinya dalam kondisi siap menerima hikmah, dan mempelajari segala sesuatu yang
belum diketahuinya dan yang tidak diketahuinya serta berguna bagi dirinya
Kedua, kata taklim tidak berhenti hanya
kepada pencapaian pengetahuan berdasarkan prasangka atau yang lahir dari taklid
semata-mata, ataupun pengetahuan yang lahir dari dongengan hayalan dan syahwat
atau cerita-cerita dusta.
Ketiga, kata taklim mencakup aspek-aspek
pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidupnya serta
pedoman perilaku yang baik.
Dengan
demikian kata taklim menurut Jalal mencakup ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik dan berlangsung sepanjang hayat serta tidak terbatas pada masa
bayi dan kanak-kanak, tetapi juga orang dewasa. Sementara itu Abrasyi,
menjelaskan kata taklim hanya merupakan bagian dari tarbiyah karena hanya
menyangkut domain kognitif. Al-Attas menganggap kata taklim lebih dekat kepada
pengajaran atau pengalihan ilmu dari guru kepada pembelajaran, bahkan jangkauan
aspek kognitif tidak memberikan porsi pengenalan secara mendasar.
3.
Takdib
Atas
menawarkan satu istilah lain yang menggambarkan pendidikan Islam, dalam
keseluruhan esensinya yang fundamental yakni kata takdib. Istilah ini mencakup
unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (taklim) dan pengasuhan yang
baik (tarbiyah). Istilah takdib dapat mencakup beberapa aspek yang menjadi
hakikat pendidikan yang saling berkait, seperti ‘ilm (ilmu), ‘adl (keadilan), hikmah(kebajikan), ‘aml (tindakan), haqq (kebenaran), natq (nalar) nafs (jiwa), qalb (hati),‘aql (akal), maratib dan
Derajat (tatanan hirarkis),
ayah (simbol), Dan adb (adab).Dengan
mengacu pada kata adb dan kaitan-kaitanya seperti di atas,
definisi pendidikan bagi al-Attas adalah:
Sebagai
pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam
manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan
penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan
pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian.
Makna al-ta’dib berarti
pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri
manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di
dalam tatanan penciptaan.
Perbedaan dan hubungan tarbiyah,
ta’dib dan ta’lim
Tarbiyah
merupkan bentuk masdar dari kata robba-yurabbi-tarbiyyatan, yang berarti pendidikan. Sedangkan menurut istilah merupakan tindakan mangasuh, mendididk dan memelihara.
Muhammad Jamaludi al- Qosimi memberikan pengertian bahwa tarbiyah merupakan proses penyampian sesuatu batas kesempurnaan yang dilakukan secara setahap demi setahap. Sedangkan Al-Asfahani mengartikan tarbiyah sebagai proses menumbuhkan sesuatu secara setahap dan dilakukan sesuai pada batas kemampuan.
Menurut pengertian di atas, tarbiyah diperuntukkan khusus bagi manusia yang mempunyai potensi rohani, sedangkan pengertian tarbiyah yang dikaitkan dengan alam raya mempunyai arti pemeliharaan dan memenuhi segala yang dibutuhkan serta menjaga sebab-sebab eksistensinya.
merupkan bentuk masdar dari kata robba-yurabbi-tarbiyyatan, yang berarti pendidikan. Sedangkan menurut istilah merupakan tindakan mangasuh, mendididk dan memelihara.
Muhammad Jamaludi al- Qosimi memberikan pengertian bahwa tarbiyah merupakan proses penyampian sesuatu batas kesempurnaan yang dilakukan secara setahap demi setahap. Sedangkan Al-Asfahani mengartikan tarbiyah sebagai proses menumbuhkan sesuatu secara setahap dan dilakukan sesuai pada batas kemampuan.
Menurut pengertian di atas, tarbiyah diperuntukkan khusus bagi manusia yang mempunyai potensi rohani, sedangkan pengertian tarbiyah yang dikaitkan dengan alam raya mempunyai arti pemeliharaan dan memenuhi segala yang dibutuhkan serta menjaga sebab-sebab eksistensinya.
Ta’dib
merupakan bentuk masdar dari kata addaba-yuaddibu-ta’diban, yang berarti mengajarkan sopan santun. Sedangkan menurut istilah ta’dib diartikan sebagai proses mendidik yang di fokuskan kepada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti pelajar.
Menurut Sayed Muhammad An-Nuquib Al-Attas, kata ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud keberadaan-Nya. Definisi ini, ta’dib mencakup unsur-unsur pengetahuan (ilmu), pengajaran (ta’lim), pengasuhan (tarbiyah). Oleh sebab itu menurut Sayed An-Nuquib Al Attas, tidak perlu mengacu pada konsep pendidikan dalam Islam sebagai tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib sekaligus. Karena ta’dib adalah istilah yang paling tepat dan cermat untuk menunjukkan dalam arti Islam.
merupakan bentuk masdar dari kata addaba-yuaddibu-ta’diban, yang berarti mengajarkan sopan santun. Sedangkan menurut istilah ta’dib diartikan sebagai proses mendidik yang di fokuskan kepada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti pelajar.
Menurut Sayed Muhammad An-Nuquib Al-Attas, kata ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud keberadaan-Nya. Definisi ini, ta’dib mencakup unsur-unsur pengetahuan (ilmu), pengajaran (ta’lim), pengasuhan (tarbiyah). Oleh sebab itu menurut Sayed An-Nuquib Al Attas, tidak perlu mengacu pada konsep pendidikan dalam Islam sebagai tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib sekaligus. Karena ta’dib adalah istilah yang paling tepat dan cermat untuk menunjukkan dalam arti Islam.
Ta’lim
Secara bahasa berarti pengajaran (masdar dari
‘alama-yu’alimu-ta’liman), secara istilah berarti pengajaran yang bersifat
pemberian atau penyampian pengertian, pengetahuan dan ketrampilan. Menurut
Abdul Fattah Jalal, ta’lim merupakan proses pemberian pengatahuan, pemahaman,
pengertian, tanggung jawab, sehingga diri manusia itu menjadi suci atau bersih
dari segala kotoran sehingga siap menerima hikmah dan mampu mempelajari hal-hal
yang bermanfaat bagi dirinya ( ketrampilan). Mengacu
pada definisi ini, ta’lim, berarti adalah usaha terus menerus manusia sejak
lahir hingga mati untuk menuju dari posisi ‘tidak tahu’ ke posisi ‘tahu’
seperti yang digambarkan dalam surat An Nahl ayat 78, “dan Allah mengeluarkan
dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”.
Jawaban nomor
Fitrah
1. Pengertian Fitrah
Manusia
Secara bahasa, kata fitrah
berasal dari kata fathara ( فطر ) yang berarti “menjadikan”. Kata
tersebut berasal dari akar kata al-fathr ( ( الفطر yang berarti “belahan atau pecahan”. Fitrah mengandung
arti “yang mula-mula diciptakan Allah”, “keadaan yang mula-mula”, “yang asal”,
atau “yang awal”.
Kata fitrah disebut
dalam al-Qur’an, surat Ar-Rum ayat 30, yang artinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”.
Secara umum, para pemikir muslim
cenderung memaknainya sebagai potensi manusia untuk beragama (tauhid). ,
Menurut Al-Jarkasyi mendefinisikan fitrah sebagai iman bawaan yang telah
diberikan Allah sejak manusia dalam alam rahim. Menurutpandangan Islam,
pada dasarnya manusia itu dilahirkan dalam keadaan suci. Kesucian manusia itu
dikenal dengan istilah fitrah.Sebagaimana Sabda Rosulullah SAW:
كل مولود يولد على الفطرة فابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه
“Tiap-tiap anak
dilahirkan diatas fitrah maka ibu dan ayahnya lah yang mendidiknya menjadi
orang yang beragama yahudi, nasrani, dan majusi” (HR, Bukhari).
Muhammad bin Asyur, seperti
dikutip Quraish Shihab mendefinisikan fitrah sebagai berikut:
اَلْفِطْرَةُ هِيَ النِّظَامُ الَّذِي أَوْجَدَهُ اللهُ فِى كُلِّ مَخْلُوْقٍ،
وَاْلفِطْرَةُ الَّتِيْ تَخُصُّ نَوْعَ اْلإِنْسَانِ هِيَ مَا خَلَقَهُ اجَسَدًا
أَوْ عَقْلاً
Artinya:
Fitrah (makhluk)
adalah bentuk lain dari sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk.
Sedangkan fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah
pada manusia yang berkaitan dengan kemampuan akal dan jasmaninya”.
Dalam batasan ini fitrah
diartikan sebagai potensi jasmaniah dan akal yang diberikan Allah kepada
manusia. Dengan potensi tersebut, manusia mampu melaksanakan “amanat” yang
dibebankan oleh Allah kepadanya.
Berdasarkan uraian di atas
Penulis dapat menyimpulkan bahwa fitrah manusiaadalah semua
bentuk potensi yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada manusia semenjak
proses penciptaannya di alam rahim guna kelangsungan hidupnya di atas dunia
serta menjalankan tugas dan fungsinya sebagai makhluk terbaik yang diciptakan
oleh Allah swt .
2. macam macam fitrah
a.
Potensi Fisik
(Psychomotoric)
Merupakan potensi fisik manusia yang dapat diberdayakan sesuai fungsinya
untuk berbagai kepentingan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup.
b.
Potensi Mental Intelektual (IQ)
Merupakan potensi yang ada pada otak manusia fungsinya : untuk merencanakan
sesuatu untuk menghitung, dan menganalisis, serta memahami sesuatu tersebut.
c.
Potensi Mental
Spritual Question (SP)
Merupakan potensi kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri manusia
yang berhubungan dengan jiwa dan keimanan dan akhlak manusia.
d.
Potensi Sosial Emosional
Yaitu merupakan potensi yang ada pada otak manusia fungsinya mengendalikan
amarah, serta bertanggung jawab terhadap sesuatu.
Menurut H.M . Arifin
komponen-komponen potensi tersebut adalah:
a.
Kemampuan dasar untuk beragama islam
b.
Bakat
c.
Insting atau naluri
d.
Nafsu
e.
Hereditas atau sifat turun temurun
f.
Karakter
Hidayah
1. Pengertian Hidayah
Kata Hidayah adalah dari bahasa Arab
atau bahasa Al-Qur’an yang telah menjadi bahasa Indonesia. Akar katanya ialah :
hadaa, yahdii, hadyan, hudan, hidyatan, hidaayatan. Khusus yang terakhir, kata
hidaayatan kalau wakaf (berhenti) di baca : Hidayah, nyaris seperti ucapan
bahasa Indonesia. Hidayah secara bahasa berarti petunjuk. Lawan katanya adalah
: “Dholalah” yang berarti “kesesatan”. Secara istilah (terminologi), Hidayah
ialah penjelasan dan petunjuk jalan yang akan menyampaikan kepada tujuan
sehingga meraih kemenangan di sisi Allah. Allah berfirman yang artinya:
“Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk
dari Tuhan Pencipta mereka, dan (sebab itu) merekalah orang-orang yang sukses.”(Q.S. Al-Baqarah: 5)
2.
Macam-Macam Hidayah
Para Ulama besar Islam telah
menjelaskan dengan rinci dan mendalam perihal Hidayah/Hudan, khususnya yang
diambil dari Al-Qur’an seperti yang ditulis oleh Al-Balkhi dalam bukunya
“Al-Asybah wa An-Nazho-ir”, Yahya Ibnu Salam dalam bukunya “At-Tashoriif”,
As-Suyuthi dalam bukunya “Al-Itqon” dan Ibnul Qoyyim Al-Jawzi dalam bukunya
“Nuzhatu Al-A’yun An-Nawazhir”.
Hidayah/Hudan Dalam Al-Qur’an
tercantum sekitar 171 ayat dan terdapat pula dalam 52 Hadits. Sedangkan
pengertian Hidayah / Hudan dalam Al-Qur’an dan Hadits terdapat sekitar 27
makna. Di antaranya bermakna : penjelasan, agama Islam, Iman (keyakinan),
seruan, pengetahuan, perintah, lurus/cerdas, rasul /kitab, Al-Qur’an, Taurat,
taufiq/ketepatan, menegakkan argumentasi, Tauhid/ mengesakan Allah,
Sunnah/Jalan, perbaikan, ilham/insting, kemampuan menilai, pengajaran, karunia,
mendorong, mati dalam Islam, pahala, mengingatkan, benar dan kokoh/konsisten.
Dari 27 pengertian tersebut di atas, sesungguhnya Hidayah secara umum, terbagi
menjadi empat bagian utama, yaitu:
a.
Hidayah I’tiqodiyah (Petunjuk Terkait Keyakinan Hidup)
Allah berfirman, Yang artinya:
“Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka
dapat petunjuk (keyakinan hidup), maka sesungguhnya Allah tiada memberi
petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya, dan sekali-kali mereka tiada
mempunyai penolong”. (Q.S.
An-Nahl : 37)
dan Allah juga
berfirman, yang artinya:
“Dan seorang
laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Firaun yang menyembunyikan
imannya berkata: “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia
menyatakan: “Tuhan Penciptaku ialah Allah, padahal dia telah datang kepadamu
dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhan Penciptamu. Dan jika ia seorang
pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan (tetapi) jika ia
seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan
menimpamu”. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk (hidayah) kepada
orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta (penolak kebenaran yang datang
dari-Nya)”. (Q.S.
Al-Mu’min: 28)
b. Hidayah
Thoriqiyah (Petunjuk
Terkait Jalan Hidup, yakni Islam yang didasari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw)
seperti firman
Allah, yang artinya:
“Bagi
tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang mereka lakukan, maka
janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syariat) ini dan
serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan
yang lurus (Islam)”. (Q.S. Al-Hajj:
67)
atau seperti
firman Allah, yang artinya:
“Itu tidak
lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah
tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu
mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk (Islam/ Al-Qur’an) kepada mereka
dari Tuhan mereka”. (Q.S. Annajm:
23)
c. Hidayah
‘Amaliyah (Petunjuk Terkait Aktivitas Hidup)
seperti firman
Allah, yang artinya:
Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Ankabut: 69)
d. Hidayah
Fithriyah(Fitrah).
Hidayah Fithriyah ini terkait dengan
kecenderungan alami yang Allah tanamkan dalam diri manusia untuk meyakini Tuhan
Pencipta, mentauhidkan-Nya dan melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk diri
mereka. Realisasinya tergantung atas pilihan dan keinginan mereka sendiri.
Sumbernya adalah Qalb (hati nurani) dan akal fikiran yang masih bersih
(fithriyah) sebagaimana yang dialami oleh Nabi Ibrahim. Allah menjelaskan dalam
firmannya:
Kemudian
tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah
bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi
petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. (Q.S. Al-An’am: 77).
Jawaban nomor
3
Haikat Pendidikan Islam
Pendidikan
adalah suatu proses yang dilakukan secara sadar atau disengaja guna untuk
menambah pengetahuan, wawasan serta pengalaman untuk menentukan tujuan hidup
sehingga bisa memiliki pandangan yang luas untuk ke arah masa depan lebih baik
dan dengan pendidikan itu sendiri dapat menciptakan orang-orang berkualitas.
Pendidikan
Islam berarti sistem pendidikan yang memberikan kemampuan seseorang untuk
memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah
menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya, dengan kata lain pendidikan Islam
adalah suatu sistem kependidikannya yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang
dibutuhkan oleh hamba Allah sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi
seluruh aspek kehidupan manusia baik duniawi maupun ukhrawi.
Istilah
pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada termal-tarbuyah,
al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari keriga istilah
tersebut term yang populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam adalah
term al-tarbiyah. Sedangkan term al-ta’dib dan al-ta’lim jarang
sekali digunakan. Padalah kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal
pertumbuhan pendidikan Islam.
Fungsi
Pendidikan Islam
Dalam buku Filsafat Pendidikan Islam yang ditulis oleh
Abdul Halim, fungsi pendidikan dilihat secara operasional adalah:
- Alat untuk memelihara, memperluas, dan menghubungan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat nasioanal
- Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan perkembangan. Pada garis besarnya, upaya ini dilakukan melalui potensi ilmu pengetahuan dan skill yang dimiliki, serta melatih tenaga-tenaga manusia (peserta didik) yang produktif dalam menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi yang demikian dinamis.
Menurut pandangan pendidikan islam, fungsi pendidikan
itu bukanlah sekedar mengembangkan kemampuan dan mencerdaskan otak peserta
didik, tetapi juga menyelamatkan fitrahnya. Oleh karena itu fungsi pendidikan
dan pengajaran Islam dalam hubungannya dengan faktor anak didik adalah untuk
menjaga, menyelamatkan, dan mengembangkan fitrah ini agar tetap menjadi al-fithratus
salimah dan terhindar dari al-fithratu ghairus salimah. Artinya,
agar anak tetap memiliki aqidah keimanan yang tetap dibawanya sejak lahir itu,
terus menerus mengokohkannya, sehinggamati dalam keadaan fitrah yang semakin
mantap, tidak menjadi Yahudi, Nashrani, Majusi ataupun agama-agama dan
faham-faham yang selain Islam.
Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan adalah menciptakan seseorang
yang berkualitas dan berkarakter sehingga memiliki pandangan yang luas kedepan
untuk mencapai suatu cita- cita yang di harapkan dan mampu beradaptasi secara
cepat dan tepat di dalam berbagai lingkungan. Karena pendidikan itu sendiri
memotivasi diri kita untuk lebih baik dalam segala aspek kehidupan. Karena
tanpa pendidikan itu sendiri kita akan terjajah oleh adanya kemajuan saat ini,
karena semakin lama semakin ketat pula persaingan dan semakin lama juga mutu
pendidikan akan semakin maju.
Tujuan pendidikan Islam adalah
untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia. Secara menyeluruh
dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran, diri manusia
yang rasional, perasaan dan indra, karena itu, pendidikan hendaknya mencakup
pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik, aspek spiritual, intelektual,
imajinasi, fisik, ilmiah dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif,
dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan
kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan
ketundukan yang sempurna kepada Allah SWT, baik secara pribadi kontinuitas,
maupun seluruh umat manusia.
Tujuan pendidikan ialah perubahan
yang diharapkan pada subyek didik setelahmengalami proses pendidikan baik pada
tingkah laku individu dan
kehidupan pribadinya maupun kehdupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana individu ituhidup.
Sedangkan menurut Omar Muhammad Attoumy Asy- Syaebani tujuan pendidikan
islam memiliki empat ciri pokok :
1.
Sifat yang bercorak agama dan akhlak.
2.
Sifat kemenyeluruhannya yang mencakup segala aspek pribadi pelajar
atausubyek didik, dan semua aspek perkambangan dalam masyrakat.
3.
Sifat keseimbangan, kejelasan, tidak adanya pertentangan antara unsur-unsur
dan cara pelaksanaanya
4.
Sifat realistis dan dapat dilaksanakan, penekanan pada perubahan
yangdikehendaki pada tingkah laku dan pada kehidupan,
memperhitungkan perbedaan-perbedaan perseorangan diantara
individu, masyarakat dankebudayaan di mana-mana dan kesanggupanya
untuk berubah dan berkembanng bila diperlukan
Pendidikan Islam bertugas di samping
menginternalisasikan (menanamkan dalam pribadi) nilai-nilai islami, juga
mengembangkan anak didik agar mampu melakukan pengamalan nilai-nilai itu secara
dinamis dan fleksibel dalam batas-batas konfigurasi idealitas wahyu Tuhan. Hal
ini berarti Pendidikan Islam secara optimal harus mampu mendidik anak didik
agar memiliki “kedewasaan atau kematangan” dalam beriman, bertaqwa, dan
mengamalkan hasil pendidikan yang diperoleh, sehingga menjadi pemikir yang
sekaligus pengamal ajaran Islam, yang dialogis terhadap perkembangan kemajuan
zaman. Dengan kata lain, Pendidikan Islam harus mampu menciptakan para
“mujtahid” baru dalam bidang kehidupan duniawi-ukhrawi yang berkesinambungan
secara interaktif tanpa pengkotakan antara kedua bidang itu.
Menurut H.M.Arifin tujuan
pendidikan islam adalah idealitas (cita-cita) yang mengandung nilai-nilai islam
yang hendak dicapai dalam proses kependidikan yang berdasarkanajaran Islam
secara bertahap. Prof. H. M. Arifin, M. Ed menjabarkan tujuan pendidikan
yang bersasaran pada tiga dimensi hubungan manusia selaku “Khalifah” dimuka
bumi yaitu sebagai berikut:
- Menanamkan sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang dengan Tuhannya.
- Membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang dengan masyarakatnya.
- Mengembangkan kemampuannya untuk menggali, mengelola dan memanfaatkan kekayaan alam ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan hidupnya, dan hidup sesamanya serta bagi kepentingan ubudiahnya kepadanya, dengan dilandasi sikap hubungan yang harmonis.
Tersebut tidak akan terwujut
nyata, bilamana tidak diaktualisasikan melalui ikhtiar yang bersifat
kependidikan secara terarah dan tepat.
Prinsip prinsip dasar pendidikan islam
Pandangan Islam yang bersifat
filosofi terhadap alam jagat, manusia, masyarakat, pengetahuan, dan akhlak,
secra jelas tercermin dalam prinsip-prinsip pendidikan Islam. Dalam
pembelajaran, pendidik merupakan fasilitator. Ia harus mampu memberdayagunakan
beraneka ragam sumber belajar. Dalam memimpin proses pembelajaran, pendidik
perlu perlu memperhatikan prinsip-prinsip dalam pendidikan Islam dan senantiasa
mempedomaninya, bahkan sejauh mungkin merealisasikannya bersama-sama dengan
peserta didik. Adapun yang menjadi prinsip-prinsip pendidikan Islam adalah
sebagai berikut:
1.
Prinsip Integral dan Seimbang
a.
Prinsip Integral
Pendidikan Islam tidak
mengenal adanya pemisahan antara sains dan agama. Keduanya harus terintegrasi
secara harmonis. Dalam ajaran Islam, Allah adalah pencipta alam semesta
termasuk manusia. Allah pula yang menurunkan hukum-hukum untuk mengelola dan
melestarikannya. Hukum-hukum mengenai alam fisik disebut sunatullah, sedangkan
pedoman hidup dan hukum-hukum untuk kehidupan manusia telah ditentukan pula
dalam ajaran agama yang disebut dinullah yang mencakup akidah dan syariah.
b.
Prinsip Seimbang
Pendidikan Islam selalu
memperhatikan keseimbangan di antara berbagai aspek yang meliputi keseimbangan
antara dunia dan akhirat, antara ilmu dan amal, urusan hubungan dengan Allah
dan sesama manusia, hak dan kewajiban.
Keseimbangan antara urusan
dunia dan akhirat dalam ajaran Islam harus menjadi perhatian. Rasul diutus
Allah untuk mengajar dan mendidik manusia agar mereka dapat meraih kebahagiaan
kedua alam itu. implikasinya pendidikan harus senantiasa diarahkan untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam dunia pendidikan,
khususunya dalam pembelajaran, pendidik harus memperhatikan keseimbangan dengan
menggunakan pendekatan yang relevan. selain mentrasfer ilmu pengetahuan,
pendidik perlu mengkondisikan secara bijak dan profesional agar peserta didik
dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapat di dalam maupun di luar kelas.
2.
Prinsip Bagian dari Proses Rububiyah
Al-Qur’an menggambarkan
bahwa Allah adalah Al-Khaliq, dan Rabb Al-Amin (pemelihara semesta alam). Dalam
proses penciptaan alam semesta termasuk manusia. Allah menampakan proses yang
memperlihatkan konsistensi dan keteraturan. Hal demikian kemudian dikenal
sebagai aturan-aturan yang diterpakan Allah atau disebut Sunnatullah.
Sebagaiman Al-Kailani yang
dikutip oleh Bukhari Umar dalam bukunya menjelaskan, bahwa peranan manusia
dalam pendidikan secara teologis dimungkinkan karena posisinya sebagai makhluk,
ciptaan Allah, yang paling sempurna dan dijadikan sebagai khalifatullah fi
al-ardh.
Sebagai khalifah, manusia
juga mengemban fungsi rubbubiyah Allah terhadap alam semesta termasuk diri
manusia sendiri. Dengan perimbangan tersebut dapat dikatakan bahwa karakter
hakiki pendidikan Isam pada intinya terletak pada fungsi rubbubiyah Allah
secara praktis dikuasakan atau diwakilkan kepada manusia. Dengakn kata lain,
pendidikan Islam tidak lain adalah keseluruhan proses dan fungsi rubbubiyah
Allah terhadap manusia, sejak dari proses penciptaan samspai dewasa dan
sempurna.
3.
Prinsip Membentuk Manusia yang Seutuhnya
Manusia yang menjadi objek
pendidikan Islam ialah manusia yang telah tergambar dan terangkum dalam
Al-Qur’an dan hadist. Potret manusia dalam pendidikan sekuler diserhakan pada
orang-orang tertentu dalam msyarakat atau pada seorang individu karena kekuasaanya,
yang berarti diserahkan kepada angan-angan seseorang atau sekelompok orang
semata.
Pendidikan Islam dalam hal
ini merupakan usaha untuk mengubah kesempurnaan potensi yang dimiliki oleh
peserta didik menjadi kesempurnaan aktual, melalui setiap tahapan hidupnya.
Dengan demikian fungsi pendidikan Islam adalah menjaga keutuhan unsur-unsur
individual peserta didik dan mengoptimalkan potensinya dalam garis keridhaan
Allah. Prinsip ini harus direalisasikan oleh pendidik dalam proses
pembelajaran. Pendidik harus mengembangkan baik kecerdasan intelektual,
emosional maupun spiritual secara simultan.
4.
Prinsip Selalu Berkaitan dengan
Agama
Pendidikan Islam sejak
awal merupakan salah satu usaha untuk menumbuhkan dan memantapkan kecendrungan
tauhid yang telah menjadi fitrah manusia. Agama menjadi petunjuk dan penuntun
ke arah itu. Oleh karena itu, pendidikan Islam selalu menyelenggrakan
pendidikan agama. Namun, agama di sini lebih kepada fungsinya sebagai sumebr
moral nilai.
Sesuai dengan ajaran Islam
pula, pendidikan Islam bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu sebagai materi, atau
keterampilan sebagai kegiatan jasmani semata, melainkan selalu mengaitkan
semuanya itu dengan kerangka praktik (‘amaliyyah) yang bermuatan nilai dan
moral. Jadi, pengajaran agama dalam Islam tidak selalu dalam pengertian (ilmu
agama) formal, tetapi dalam pengertian esensinya yang bisa saja berada dalam
ilmu-ilmu lain yang sering dikategorikan secara tidak proporsional sebagai ilmu
sekuler.
5.
Prinsip Terbuka
Dalam Islam diakui adanya
perbedaam manusia. Akan tetapi, perbedaan hakiki ditentukan oleh amal perbuatan
manusia (QS, Al-Mulk : 2), atau ketakwaan (QS, Al-Hujrat : 13). oleh karena
itu, pendidikan Islam pada dasarnya bersifat terbuka, demokratis, dan
universal. menurut Jalaludin yang dikutip oleh Bukhari Umar menjelaskan bahwa
keterbukaan pendidikan Islam ditandai dengan kelenturan untuk mengadopsi
unsur-unsur positif dar luar, sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan
masyarakatnya, dengan tetap menjaga dasar-dasarnya yang original (shalih), yang
bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist.
6.
Menjaga Perbedaan Individual
Perbedaan individual
antara seorang manusia dengan orang lain dikemukakan oleh Al-Qur’an dan hadist.
Sebagai contoh:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan
bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang
demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”.
(QS. Ar-Rum : 22)
Perbedaan-perbedaan yang
dimiliki manusia melahirkan perbedaan tingkah laku karena setiap orang akan
berbuat sesuai dengan keadaanya masing-masing. Menurut Asy-Syaibani yang
dikutip oleh Prof. Dr. H. Ramayulis menjelaskan bahwa pendidikan Islam
sepanjangs sejarahnya telah memlihara perbedaan individual yang dimilki oleh
peserta didik.
7.
Prinsip Pendidikan Islam adalah Dinamis
Pendidikan Islam menganut
prinsip dinamis yang tidak beku dalam tujuan-tujuan, kurikulum dan
metode-metodenya, tetapi berupaya untuk selalu memperbaharuhi diri dan
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Pendidikan Islam seyogyanya mampu
memberikan respon terhadap kebutuhan-kebutuhan zaman dan tempat dan tuntutan
perkembangan dan perubahan social. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip
pendidikan Islam yang memotivasi untuk hidup dinamis.
Menurut saya rumusan tujuan
pendidikan islam yang relavan dg perkembangan kondisi saat ini adalah rumusan tujuan
pendidikan islam yang umum karena tujuan
yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau
dengan cara yang lainnya. Tujuan ini meliputi seluruh aspek kemanusiaan,
seperti: sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan dan pandangan. Tujuan umum
ini berbeda pada tingkat umur, kecerdasan, situasi dan kondisi, dengan kerangka
yang sama. Bentuk Insan Kamil dengan polatakwa kepada Allah swt harus dapat
tergambar dalam pribadi seseorang yang sudah terdidik, walaupun dalam ukuran
kecil dan mutu yang rendah.
Jawaban no 4
1. Metode Dialog (hiwar)
Hiwar
adalah percakapan timbal-balik (silih berganti) antara dua pihak atau lebih mengenai
suatu topik tertentu dan dengan sengaja diarahkan kepada suatu tujuan yang
dikehendaki oleh guru. Tidak soal apakah percakapan tersebut mencapai suatu
kesimpulan atau tidak. Hiwar sangat berpengaruh baik bagi pembicara maupun
pendengar karena beberapa sebab. Pertama, dialog brlangsung secara
dinamis karena kedua belah pihak terlibat langsung dalam suatu pembicaraan dan
kedua belah pihak saling memperhatikan. Dialog Nabi Isa dengan Hawariyun,
Nabi Muhammad dengan para Sahabatnya dan Socrates dengan para muridnya
merupakan contoh hiwar yang berguna. Kedua,pendengar tertarik untuk
mengikuti terus pembicaraan itu karena dia ingin mengetahui
kesimpulannya. Itu sebabnya dialog sering didengarkan oleh mitra
pendengarnya dengan penuh semangat. Ketiga, metode ini dapat
membangkitkan perasaan dan menanamkan kesan dalam jiwa yang dapat membantu
mengarahkan seseorang untuk menemukan sendiri
kesimpulannya. Keempat, bila dialog dilakukan dengan baik, tegasnya
memenuhi ahlak tuntunan Islam, maka cara berdialog, sikap orang yang terlibat,
itu akan mempengaruhi peserta sehingga menimbulkan pengaruh berupa pendidikan
ahlak, sikap dalam berbicara, menghargai pendapat orang lain, dan sebagainya.
Ada beberapa macamhiwar, yaitu hiwar khitabi atau ta’abudi,
hiwar washfi, hiwar qisasi, hiwar jadali.
. Melalui
metode hiwar jenis ini, al-Qur’an berusaha menanamkan aspek-aspek
berikut :
a. Agar tanggap terhadap persoalan
yang diajukan al-Qur’an, merenungkannya, menghadirkan jawaban
sekurang-kurangnya di dalam kalbu.
b. Menghayati makna kandungan
al-Qur’an.
c. Mengarahkan tingkah laku agar
sesuai dengan petunjuk al-Qur’an.
d. Menanamkan rasa bangga pada jiwa
manusia karena dipanggil Tuhan.
Hiwar
washfi (dialog deskriptif) adalah dialog antara Tuhan dengan malaikat atau
dengan mahluk gaib lainnya sebagaimana tersurat dalam kisah nominasi Adam
sebagai khalifah pada QS. 2:30-35. Dialog jenis ini juga terkadang memuat
gambaran (deskripsi) tentang penguni sorga dan neraka sebagaimana tersurat
dalam Surat as-Shafat: 20-23; 27-28; 50-57. Dialog jenis ini bertujuan
menanamkan kesan pada pembaca betapa menyedihkannya nasib ahli neraka dan
betapa menyenangkannya nasib ahli sorga. Sedemikian mendalam tertanamnya kesan
tersebut sampai-sampai seolah-olah pembaca kisah deskriptif itu merasakannya di
alam nyata.
Hiwar
qisasi (dialog naratif) adalah jenis dialog berupa cerita seperti kisah Nabi
Syu’aib dengan kaumnya sebagaimana tersurat dalam Surat Hud. Sepuluh ayat
pertama dalam Surat ini merupakan dialog naratif. Dialog jenis ini berdampak
sangat besar terhadap kejiwaan pembaca dan pendengarnya karena:Dialog jenis ini
menekankan pada pengisyaratan bahwa pendirian oran-orang kafir/zalim itu lemah
dan bahwa pendirian Allah, lewat Nabi-Nya, adalah kuat. Dialog jenis ini
menyajikan kisah secara berseling untuk memperkuat penanaman kesan dari kisah
yang disajikan.
Hiwar
jadali (dialog argumentatif) adalah dialog untuk memantapkan hujjah
sebagaimana disajikan dalam Surat al-Najm ayat 1-5.
Dialog jadali biasanya dilakukan dalam bentuk a tanya jawab.
Diantara dampak psikologis dari dialog jenis ini ialah :
a. Mendidik manusia untuk menegakan
kebenaran dengan menggunakan argumen yang kuat.
b. Mendidik manusia untuk menolak
argumen lemah yang dipakai oleh pembela kebatilan.
c. Mendidik manusia untuk berpikir
jernih-kritis, berpikir dengan menggunakan akal sehat (common sense).
Hiwar nabawi adalah dialog antara Nabi
dengan (pengikutnya).
2. Metode Kisah qurani dan nabawai
Dalam
pendidikan Islam, kisah sebagai metode pendidikan sangat penting karena
beberapa alasan:
Kisah
selalu memikat karena mengundang pembaca atau pendengar untuk mengikuti alur
kisah peristiwanya dan merenungkan maknanya. Makna ini selanjutnya akan
memberikan kesan dalam hati pembaca atau pendengar tersebut.
Kisah
Qurani dan Nabawi dapat menyentuh hati manusia karena kisah menampilkan tokoh
dalam konteksnya yang menyeluruh. Karena tokoh cerita ditampilkan dalam konteks
menyeluruh, maka pembaca atau pendengar dapat ikut menghayati atau merasakan
kisah itu, seakan-akan dia sendiri sebagai tokohnya. Diantara kelebihan kisah
Qurani dan Nabawi ialah bahwa kisah ini bukan saja sangat mengesankan tetapi
juga indah dan tidak mengotori pikiran pembaca atau pendengarnya. Sebagai
contoh, kita dapat merenungkan kisah Yusuf.
Kisah
Qurani mendidik perasaan keimanan dengan cara membangkitkan beragam perasaan
seperti pengharapan (raja’), ketakutan (khauf), kerelaan (rida) dan cinta
(hubb) dan dengan cara melibatkan pembaca atau pendengar ke dalam kisah itu
sehingga dia merasa terlibat langsung secara emosional. Diantara tujuan utama
kisah Qurani ialah:
a. untuk mengungkapkan kemantapan
wahyu dan risalah. Tegasnya, untuk memantapkan perasaan dalam menerima
al-Qur’an dan risalah Rasul-Nya. Kisah-kisah itu menjadi bukti kebenaran wahyu
dan kebenaran risalah rasul-Nya;
b. untuk menjelaskan secara
keseluruhan bahwa al-din itu datang dari Allah;
c. untuk menjelaskan bawa Allah akan
selalu menolong dan mencintai Rasul-Nya dan juga menjelaskan bahwa kaum
mukminin adalah umat yang satu dan Allah adalah Tuhan mereka.
d. untuk memperkuat keimanan kaum
mukminin dan menghibur mereka di kala ditimpa musibah;
e. untuk mengingatkan bahwa musuh
orang mukmin adalah setan; permusuhan abadi itu disajikan melalui
kisah sehingga tampak lebih jelas dan hidup. Kisah Nabawi merupakan
penjabaran lebih rinci dari kisah Qurani seperti mengenai pentingnya keikhlasan
dalam beramal, pentingnya bersedekah dan mensyukuri nikmat Allah.
Disamping
kisah yang bersumber langsung dari al-Quran dan Hadits, cerita-cerita
buatan/rekayasa – baik fiktif maupun historis – yang tidak bersumber kepada
kedua sumber tersebut, sangatlah penting artinya bagi pendidikan anak selama
kisah-kisah tersebut baik cara penyajian maupun kandungan cerita serta inti
pesannya tidak bertentangan dengan norma-norma agama Islam. Cerita atau kisah
dapat disajikan dalam beragam bentuk penyajian: roman, novel, dongeng, mitos,
(cerita tentang asal-usul suatu tempat (legenda), atau cerita tentang binatang
(fabel). Berikut ini disajikan beberapa ringkasan fragmen cerita yang sarat
dengan muatan pendidikan Islami.
3. Metode keteladanan (uswah)
Murid
cenderung meniru perilaku pendidiknya. Alasannya ialah bahwa secara psikologis
anak didik memang senang meniru, tidak saja yang baik tetapi juga yang buruk
sekalipun. Dikatakan dalam sebuah hadits riwayat ‘Aisyah bahwa akhlak Rasul
adalah al-Quran. Maksudnya, perilaku Nabi merupakan interpretasi al-Quran
secara nyata. Perilaku Nabi merupakan teladan tidak hanya dalam praktik ibadah,
tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana ditegaskan di dalam
al-Qur’an (QS. 33:21). Mengenai pentingnya metode keteladanan ini, Anwar
al-Judi menegaskan bahwa anak-anak lebih banyak mengambil pelajaran dengan cara
meniru perilaku gurunya. Cara ini jauh lebih berpengaruh kepada anak-anak
daripada melalui metode nasehat dan petuah lisan. Jadi bisa diambil konsep
sebagai berikut :
a. Metode pendidikan islam berpusat
pada keteladannya. Yang member keteladanan itu guru, kepala sekolah dan aparat
sekolah.
b. Keteladanan untuk guru-guru ialah
Rasullullah. Guru tidak boleh mengambil tokoh-tokoh yang diteladani selain
Rasul Allah.
4. Metode ‘ibrah
Menurut
an-Nahlawi, ‘ibrah (pelajaran) yang diperoleh lewat perenungan (i’tibar)
atas fenomena alam atau peristiwa sejarah merupakan suatu kondisi psikis yang
mengantarkan manusia kepada intisari dari sesuatu yang disaksikan, didengar,
dan dihadapi dengan menggunakan pemahaman nalar yang menyebabkan hati
mengakuinya.
Penggunaan ‘ibrah di
dalam al-Qur’an dan Sunnah banyak sekali ragamnya tergantung pada objeknya.
Al-Qur’an menekankan sekali pentingnya memikirkan (ber-i’tibar) agar
dengan cara itu manusia mendapatkan banyak pelajaran (‘ibrah)
Penyampaian
pesan dalam bentuk ‘ibrah menggunakan beberapa medium, antara lain: kisah
(seperti kisah para Rasul), tamsil (seperti binatang) dan fenomena alam.
Sedemikian pentingnya mengambil pelajaran itu sehingga Allah berulang kali
menyerukan kepada manusia untuk terus-menerus beri’tibar (perhatikan, misalnya,
perintah yang tertera pada Surat
al-Hasyr:2). Pengambilan ‘íbrah dari suatu kisah, tamsil atau
fenomena alam hanya akan dapat dicapai oleh orang yang berpikir dengan akal
sehat sebagaimana Allah tegaskan: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu
terdapat ‘ibrah bagi orang-orang yang menggunakan akal sehatnya” (QS.
Yusuf: 111). Lebih tegas lagi dinyatakan: “Hanya orang-orang berpikir yang akan
mendapatkan pelajaran” (Ali Imran:7). Mengenai pentingnya memikirkan, mengkaji
dan meneliti fenomena alam, sebagai contoh, Allah melukiskan dalam Surat yang
sama yang berbunyi:
“Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi serta silih bergantinya siang dan malam terdapat banyak
fenomena untuk menunjukan kebesaran Allah bagi orang-orang yang berpikir.
[Diantara ciri orang berpikir] yaitu orang-orang yang senantiasa mengingat
Allah baik dalam keadaan berdiri, duduk maupun sedang berbaring/tidur…” (Ali
Imran: 190-191)
Sedemikian
indahnya Allah swt menyampaikan pesan ini sampai-sampai kita dapat menyimpulkan
bahwa ternyata segala fenomena alam baik di langit maupun di bumi merupakan
“materi pelajaran” yang disajikan oleh Mahaguru semesta alam kepada segenap
penghuninya. Pengkajian terhadap fenomena alam itu dimaksudkan untuk
menciptakan kesejahtraan bagi manusia sendiri, bukan untuk Allah. Dus,
pengembangan sains dan teknologi merupakan tugas bagi setiap orang. Sebagaimana
dinyatakan dalam ayat tersebut, bahwa ciri orang berpikir adalah selalu
mengingat Allah. Maksudnya, kurang lebih, orang seperti itu selalu ingat akan
tugas yang Allah bebankan kepadanya, yaitu memikirkan fenomena alam supaya
manusia dapat meraih kebahagiaan. Disamping itu, agar manusia semakin sadar
akan kebesaran dan kekuasaan Allah. Mengingat betapa pentingnya menelaah
fenomena alam sampai-sampai Allah menyajikan beberapa contoh fenomena alam yang
harus dikaji seperti guruh (al-ra’d), gua (al-kahf), cahaya (an-nur), kabut
(ad-dukhan), bukit-bukit (al-ahqaf), angin taufan (ad-dzariyat), matahari
(as-syams), bulan (al-qamar), bintang (an-njam), konstelasi planet
(al-buruj), waktu subuh (al-falaq), fajar (al-fajr), negeri (al-balad),
luapan api (al-lahb), sampai pepohonan dan buah-buahan seperti pohon/buah
Tin dan Zaitun. Bahkan Allah menyruh manusia untuk mengkaji dan menggali
bahan-bahan tambang seperti besi (al-hadid).
Kisah pun, sebagaimana diutarakan
di atas, sarat dengan pelajaran bila dipikirkan, direnungkan dan dikaji
maknanya. Inti pesan (pelajaran) dari kisah nabi Yusuf, misalnya, adalah bahwa
Allah berkuasa untuk menyelamatkan Yusuf setelah dia dilemparkan ke dalam sumur
yang gelap oleh saudara-saudaranya. Kedua, Allah juga berkuasa untuk mengangkat
martabat Yusuf sekalipun dia telah dijebloskan ke dalam penjara. Singkat kata,
Allah berkuasa atas segala sesuatu. Pelajaran seperti ini hanya dapat diperoleh
[dicapai] oleh orang yang berpikir jernih, berpikir kritis dengan akal
sehatnya.
5. Metode targhib dan tarhib
Targhib
adalah usaha pendidik untuk membangkitkan minat atau pengharapan terhadap
sesuatu yang sangat didambakan seperti kesenangan, keselamatan, kemenangan,
kejayaan, dll. Dalam kata lain, targhib adalah usaha pembangkitan
minat dan hasrat manusia untuk memperoleh apa yang dia idamkan. Dalam terminologi
pendidikan,targhib adalah usaha membangkitkan hasrat manusia untuk
mendapatkan ganjaran (reward) yang dijanjikan untuk suatu prestasi yang telah
dicapai (amal saleh) yang dalam istilah agama disebut
sorga. Sedangkan tarhib adalah kebalikan dari targhib.
Tarhib adalah usaha
pendidikan untuk membuat anak didik takut terhadap ancaman hukuman (punishment)
yang dijanjikan untuk suatu perbuatan jahat (amal salah) yang dalam istilah
agama disebut neraka. Berulang kali disebutkan di dalam al-Qur’an bahwa
orang-orang beriman dan berbuat baik akan diberi ganjaran besar berupa sorga.
Sedangkan bagi orang-orang kafir dijanjikan neraka. Dwi-ungkapan di dalam
al-Quran ini merupakan contoh aplikasi
metode targhib dan tarhib.
Dalam
pendidikan Islam, metode targhib dan tarhib memiliki
keistimewaan yang jauh lebih unggul daripada metode ganjaran dan hukuman
(reward and punishment) karena Targhib dan tarhib senantiasa
bersandar pada petunjuk al-Qur’an dan Sunnah untuk menumbuhkan dan memperkokoh
keimanan.
Targhib dan tarhib senantiasa
dikaitkan langsung dengan janji dan ancaman dari Allah berupa surga dan neraka
sehingga dapat menimbulkan rasa kedekatan kepada Tuhan dan rasa penuh
pengharapan (raja’) terhadap apa yang Allah janjikan. Metode reward and
punishment, di lain pihak, hanya mengandalkan ganjaran dan hukuman fisik
di dunia ini saja.
dengan tujuan pendidikan; yaitu
membentuk akhlak yang mulia dalam kaitannya dengan tujuan penciptaan manusia
yaitu mengabdi kepada Allah Swt. Pada pembahasan di atas, telah dijelaskan
prinsip-prinsip kurikulum pendidikan Islam oleh pakar pendidikan Islam.
Pada pembahasan ini, akan
dikemukan ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam menurut Omar Muh. Al-Toumy
al-Syaibany (1979:490-512) sebagai berikut:
1.
Mengutamakan tujuan agama dan akhlak dalam berbagai tujuannya, kandungan,
metode, alat dan teknik yang bercirikan ajaran Islam. Pemberian materi kepada
peserta didik baik di lingkungan sekolah ataupun keluarga berdasarkan
nilai-nilai al-Quran dan as-Sunnah;
2.
Kurikulum yang mencerminkan semangat, pemikiran dan ajaran-ajaran kurikulum
yang cukup luas isi dan kandungannya. Pengembangan dan bimbingan dalam segala
aspek pribadi pelajar baik dari aspek intelektual, psikologis, sosial dan
spiritual;
3.
Kurikulum yang memiliki keseimbangan di antara kandungan kurikulum yang
akan digunakan. Keseimbangan ini mencakup manfaat ilmu pengetahuan bagi
perkembangan individual dan perkembangan sosial;
4.
Penataan kurikulum yang menyeluruh dan seimbang (fleksibel) dalam setiap
materi pelajaran yang diberikan kepada peserta didik. Seperti aktivitas
pendidikan jasmani, pengetahuan teknik, keterampilan, penguasaan bahasa asing
dan ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi peserta didik;
5.
Kurikulum disusun berdasarkan kebutuhan, kemampuan, minat dan bakat peserta
didik, karena setiap individu memiliki perbedaan dalam menerima mata pelajaran
yang diberikan pendidik. Oleh karena itu, penyusunan kurikulum disesuaikan
dengan kebutuhan.
6.
Metode
Nasehat (mau’idhah)
Mau’idhah
adalah nasihat bijaksana yang dapat diterima oleh pikiran dan perasaan orang
yang menerimanya. Rasyid Rida, ketika menjelaskan al-Baqarah ayat 232
berkesimpulan bahwa ma’izah adalah nasehat yang disajikan dengan
cara yang dapat menyentuh kalbu. Inilah yang lazim disebut nasihat baik (mau’izah
hasanah).
Mau’idhah memiliki dua-arti yaitu.
Pertama, ia berarti nasehat, yaitu penyajian kebenaran dengan
maksud mengajak orang yang dinasehati untuk mengamalkannya. Nasihat yang
baik tentu saja harus bersumber dari Yang Mahabaik, yaitu Allah. Untuk
itu, pemberi nasihat juga harus terlepas pula dari kepentingan-kepentigan
pribadi dan duniawi. Nasihat yang dia berikan harus semata-mata bermotifkan
mencari keiridaan Allah [ikhlas] sebagaimana ditegaskan di dalam as-Syu’ara
ayat 109, 127, 145, 164 dan 180 bahwa pemberi nasihat atau pengajak kepada
kebenaran harus selalu berpegang pada prinsip bahwa “Upahku hanya dari Tuhan
semesta alam.” Nasehat Luqman al-Hakim kepada putranya merupakan contoh
nasehat yang baik di mana Luqman menasehati anaknya untuk tidak mempersekutukan
Allah, tidak suka berbuat jahat, menagakan shalat, menganjurkan kebajikan
dan mencegah kerusakan, nasehat untuk bersabar dalam menjalani musibah, nasehat
untuk tidak bersikap congkak dan sombong, serta tentang pentingnya tatakrama di
dalam bertutur kata (QS. 31: 13, 16-19). Dengan menampilkan Luqman sebagai
pemberi nasehat di dalam ayat ini, seakan-akan Allah memberikan pesan kepada
kita (kaum pendidik) bahwa keikhlasan seorang pemberi nasehat itu harus seperti
keikhlasan orang tua dalam memberikan nasehat kepada anaknya.
Kedua, mau’idhah berarti peringatan (tadzkir). Pemberi nasehat
harus berulang kali mengingatkan agar nasihat itu berkesan sehingga yang
dinasehati tertarik untuk mengikutinya. Dus, suatu nasihat harus disajikan
secara ikhlas dan berulang-ulang. Dalam sebuah Hadits diriwayatkan bahwa Nabi
saw. pernah memberikan nasehat yang sangat menyentuh perasaan orang yang
dinasehatinya sehingga penerima nasehat itu memandang nasehat tersebut
seolah-olah sebagai wasiat.
7.
Metode
Perumpamaan (amtsal)
Sering kali Alloh
memberikan pelajaran kepada manusia melalui perumpamaan-perumpamaan sebagaimana
tersurat dalam al-Ankabut ayat 41 dimana Allah mengumpamakan tuhan selain Allah
sebagai sarang laba-laba. Maksudnya, bahwa tuhan selain Allah itu merupakan
sesembahan yang sangat rapuh (palsu). Contoh lain perumpamaan sebagai metode
untuk mendidik manusia supaya jadi insan yang dermawan adalah sebagaimana
termasuk dalam al-Baqarah ayat 261. Diantara keistimewaan metode perumpamaan
adalah sebagai berikut:
1.
Mempermudah
siswa dalam memahami konsep abstrak. Ini terjadi karena perumpamaan mengambil
benda konkrit sebagai medium untuk mewakili konsep abstrak.
2.
Perumpamaan
dapat merangsang kesan terhadap makna yang tersirat dalam perumpamaan tersebut.
Ketika menjelaskan kata darb dalam al-Baqarah ayat 26, Muhammad Abduh
berkomentar bahwa penggunaan kata darbdimaksudkan untuk mempengaruhi dan
memperkuat penanaman kesan, seakan-akan si pembuat perumpamaan “menjewer” atau
“menampar” telinga pembaca dengan perumpamaan itu sehingga pengaruh
tamparan itu meresap ke dalam kalbunya.
3.
Mendidik
manusia (khususnya pendidik) agar dalam menyajikan perumpamaan, maka
perumpamaan itu harus logis dan praktis, mudah dipahami dan
diamalkan. Dalam kata lain, perumpamaan harus memperjelas konsep, bukan
sebaliknya..
Metode yang pendidikan paling tepat untuk mendidik akhlak pada masa
kini adalah metode qisah, dimana dengan metode ini guru menceritakan tentang
kisah-kisah nabi dan sifat-sifat terpuji
yang dimiliki oleh para nabi. Setelah mendengar kisah tentang nabi, seorang anak didik tau mana sifat yg baik dan mana
sifat yang buruk, sehingga tidak akan terjadi suatu parbuatan yang melenceng
dari agama.
Jawaban nomor 5
Metode tujuan dan kurikulum memiliki hubungan yang terintegrasi
karena metode dan tujuan mengukur dan pencapaian yang direncanakan dalam
kurikulum. Tujuan pendidikan yang
ingin dicapai oleh kurikulum dalam pendidikan Islam dan juga sama dengan tujuan
pendidikan; yaitu membentuk akhlak yang mulia dalam kaitannya dengan tujuan
penciptaan manusia yaitu mengabdi kepada Allah Swt. Tujuan pendidikan islam
yang dicapai harus direncanakan atau di programkan dalam kurikulum
Prinsip-prinsip dasar dalam menyusun kurikulum pendidikan islam :
1.
Kurikulum pendidikan islam harus bertautan dengan agama , termasuk ajaran
dan nilainya.
2.
Tujuan dan kandungan kurikulum pendidikan islam harus menyeluruh
3.
Tujuan dan kandungan kurikulum pendidikan islam harus adanya keseimbangan
4.
Kurikulum pendidikan islam harus berkaitan dengan bakat, minat,kemampuan
dan kebutuhan anak didik tersebut hidup
5.
Dapat memelihara perbedaan individu diantara anak didik dalam bakat, minat,
kemmpuan dan kebutuhan mereka
6.
Harus mengikuti perkembangan zaman
7.
Harus bertautan dengan pengalaman dan aktifitas anak didik dalam masyarakat
Upaya untuk
meningkatkan ketertinggalan kualitas pendidikan islam pada saat ini yaitu
dengan menegaskan paradigma dan karakteristik sistem pengembangkan pendidikan
islam yang mana membangun paadigma tersebut dengan cara menggali kembali ajaran
islam yg ada pada al quran dan hadits.
No comments:
Post a Comment