JURNAL KEPERAWATAN GERONTIK
PEMBERIAN INTERVENSI SENAM LANSIA PADA LANSIA DENGAN NYERI LUTUT
ABSTRAK
Menua adalah suatu proses menghilangkan secara perlahan-lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki
diri. Pada usia lanjut, mengalami penurunan pada sistem
muskuloskeletal. Penurunan sistem muskuloskeletal ini ditandai dengan adanya nyeri
pada daerah persendian salah satunya pada sendi lutut. Nyeri lutut merupakan
suatu penyakit regeneratif sendi dan salah satu
tanda dan gejala dari osteoarthritis. Salah satu upaya untuk mengurangi nyeri lutut adalah dengan terapi non farmakologis dengan
senam lansia. Tujuan penelitian adalah memberikan intervensi senam lansia pada lansia dengan nyeri
lutut
untuk
mengurangi nyeri lutut.
Manfaat penelitian
adalah melatih
kemampuan otot sendi dan menurunkan skala nyeri lutut pada lansia. Metode yang digunakan adalah penelitian kuantitatif
dengan jenis eksperimental dan design one group
pre-post test design. Populasi dalam
penelitian ini adalah lansia baik pria maupun wanita di Unit Rehabilitasi Sosial “Margo Mukti” Kabupaten Rembang. Instrumen atau alat yang
digunakan
berupa skala nyeri VAS atau Baourbanis dan lembar observasi.
Pengambilan
sampel menggunakan
jumlah
minimal
sampel bagi penelitian kuantitatif eksperimental
yaitu sebanyak 15responden.
Pelaksanaan senam lansia dapat dilakukan pada pagi
hari sebelum sarapan selama kurang lebih 15-45 menit. Penelitian ini dilakukan
pada tanggal 27 Februari 2012 sampai 3 Maret 2012 di Unit Rehabilitasi
Sosial “Margo Mukti Kabupaten Rembang. Penelitian ini menggunakan
uji
statistik Wilcoxon.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa nilai signifikansi p-value 0,001 yang berarti sig <α=(0,05). Disimpulkan bahwa senam lansia ini efektif mengatasi nyeri lutut pada lansia di Unit
Rehabilitasi Sosial “Margo Mukti” Kabupaten Rembang dan diharapkan senam lansia ini
dapat membantu masyarakat atau lansia untuk mengurangi nyeri sendi lutut.
PENDAHULUAN
Jumlah orang lanjut usia pada tahun 2000 diproyeksikan sebesar 7,28% dan
pada tahun 2020 sebesar 11,34%
(BPS,1992). Dari
data USA-Bureau of the Census, bahkan Indonesia diperkirakan akan mengalami pertambahan warga
lansia terbesar
seluruh dunia, antara tahun
1990-2025, yaitu sebesar 41,4% (Maryam, 2008).
Semakin seseorang bertambah usia
maka
seseorang akan rentan terhadap suat penyakit karena adanya penurunan
pada sistem tubuhnya.
Lansia cenderung mengalami
penurunan pada sistem
muskuloskeletal. Penurunan pada sistem muskuloskeletal ini dapat mempengaruhi mobilitas fisik pada lansia dan
bahkan dapat mengakibatkan gangguan pada mobilitas
fisik pada lansia. Nyeri lutut
merupakan salah satu tanda dan gejala dari osteoarthritis (Taslim, 2001).
Perubahan struktur fungsi, baik fisik maupun mental akan mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk tetap beraktivitas. Lansia dengan proses menua akan berpengaruh
terhadap penampilan, penyakit, penyembuhan dan memerlukan proses rehabilitasi.
Lansia
mempunyai
penampilan
yang
khas seperti adanya tanda dan gejala lansia dalam berjalan karena
adanya penurunan
pada regeneratif sendi sehingga menyebabkan lansia mengalami immobilitas fisik. Banyak
kasus degeneratif dengan gejala seperti nyeri
muskuloskeletal.
Nyeri muskuloskeletal merupakan sindroma geriatrik yang paling sering dijumpai dan
berkaitan dengan masalah kesehatan pada usia
lanjut
(Taslim, 2001).
Gangguan pada muskuloskeletal pada umumnya memberikan gejala atau keluhan nyeri, dari tingkat ringan sampai berat. Keluhan nyeri yang timbul dapat mengganggu penderita
sehingga, penderita tidak dapat bekerja atau beraktivitas dengan nyaman bahkan juga tidak dapat merasakan kenyamanan
dalam hidupnya. Oleh karena itu, penanganan untukgangguan muskuloskeletal yang pertama
kali harus
kita lakukan adalah mengurangi nyeri atau
gejala yang ditimbulkan (Martono, 2009).
Penelitian oleh Havard Osteras, Tom Arild
Torstensen dan Berit Osteras yang berjudul “High-Dosage Medical Exercise
Therapy in Patients with Long- Term Subacromial Shoulder Pain” didapatkan hasil dengan pemberian terapi latihan medik ada penurunan skala nyeri pada bahu dengan
menggunakan skala
ukur VAS (Visual Analog Scale) (Havard, 2009). Manfaat penelitian ini adalah untuk membantu
lansia dalam mengurangi atau menurunkan skala nyeri pada lansia dengan nyeri
lutut Dari penelitian terkait di atas peneliti bermaksud untuk melaksanakan penelitian untuk menilai pemberian intervensi senam lansia pada lansia dengan nyeri
lutut.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan
rancangan
penelitian eksperiment dan desain
one
group pre test-post test. Penelitian
ini melibatkan
15
lansia yang dijadikan responden
sesuai dengan kriteria inklusif, ekslusi
dan
bersedia menjadi
responden dan menandatangani surat
persetujuan. Pengambilan sampel sesuai dengan syarat penelitian untuk
eksperimen. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 27 Februari 2012 hingga 3 Maret 2012 di Unit Rehabilitasi Sosial “Margo Mukti” Kabupaten Rembang.Alat
pengumpulan data menggunakan skala nyeri VAS atau Bourbanis dan lembar observasi (Halimul, 2008).
Pengambilan
data
penelitian
dilakukan dengan mengukur skala nyeri pada lansia sebelum dilakukan terapi senam lansia dan
setelah dilakukan terapi senam lansia dilakukan pengukuran skala nyeri lagi selama 6 hari. Penelitian ini dilakukan selam 6 hari. Uji
satistik menggunakan
uji Wilcoxon. Sebelum dilakukan uji
Wilcoxon dilakukan uji normalitas data
menggunakan Shapiro-Wilk karena jumlah sampel kurang dari
50 responden.
HASIL PENELITIAN
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Unit Rehabilitasi
Sosial
“Margo
Mukti” Kabupaten Rembang Bulan Maret (n=15)
Karakteristik Responden Frekuensi Presentasi
Jenis Kelamin
Laki-Laki 6 40
Perempuan 9 60
Total 15 100
Usia Tahun
55-60 3 20
61-75 12 80
Total 15 100
Tabel 1. menunjukkan bahwa responden dengan jenis kelamin terbanyak
adalah
perempuan
yaitu sebanyak 9 lansia (60%), sebanyak 6 lansia (40%) berjenis
kelamin laki-laki. Responden yang berusia 61-75 tahun sebanyak 12
responden (80%) dan sebanyak 3 responden (20%) responden
berusia 55-60 tahun.
Tabel 2
Pengukuran Skala Nyeri Sebelum dan Sesudah
Intervensi Senam Lansia
Pada Lansia di Unit Rehabilitasi Sosial “Margo
Mukti” Kabupaten Rembang (n=15)
No
|
Skala Nyeri
|
Frekuensi
|
Persentase (%)
|
||
Sebelum Sesudah
|
Sebelum Sesudah
|
||||
1.
|
0 (tidak nyeri)
|
0
|
13
|
0
|
86,7
|
2.
|
1-3 (nyeri ringan)
|
13
|
2
|
73,33
|
13,33
|
3.
|
4-6 (nyeri sedang)
|
2
|
0
|
13,33
|
0
|
Total
|
15
|
15
|
100
|
100
|
Tabel 2. menunjukkan bahwa skala nyeri pada lansia dengan nyeri lutut sebelum diberikan terapi
senam lansia sebanyak 13 responden (73,33%) dengan
skala
nyeri 1-3 (nyeri ringan), dan
sebanyak 2 responden (13,33%) dengan
skala
nyeri 4 (nyeri sedang). Skala nyeri sesudah
dilakukan terapi senam lansia sebanyak 13 responden (86,7%) skala
nyeri 0 (tidak
nyeri) dan sebanyak 2 lansia (13,33%) skala
nyeri 1-3 (nyeri
ringan).
PEMBAHASAN
Lansia dengan jenis kelamin perempuan
cenderung beresiko cidera. Pada perempuan yang berusia lebih dari 50 tahun
mengalami penurunan pada fleksibilitas otot. Hal ini dapat ditangani dengan
meningkatkan kemampuan otot lansia dengan senam. Senam lansia dapat melatih
kemampuan otot sendi. Kemampuan otot apabila semakin sering dilatih maka cairan
sinovial akan meningkat atau bertambah Artinya, penambahan
cairan sinovial pada
sendi dapat mengurangi resiko cidera pada lansia dan mencegah timbulnya
nyeri lutut pada lansia (Taslim, 2001).
Semakin bertambahnya usia pada seseorang
maka, seseorang akan kehilangan
massa tulang pada
laki-laki sebesar 20-30%
dan pada wanita sebesar 40-50%.
Lansia cenderung mengalami
penurunan pada fungsi muskuloskeletal. Fungsi
kartilago sendi mengalami
penurunan sehingga, kartilago
akan menipis dan mengakibatkan kekakuan
sendi. Kekakuan sendi apabila tidak segera ditangani
maka dapat mengganggu mobilitas fisik
pada lansia. Otot sendi apabila digunakan untuk bergerak maka cairan sinovial
akan bertambah dan meningkat sehingga, lansia melakukan aktivitas dengan baik.
Apabila otot sendi
tidak digunakan untuk
melakukan aktivitas maka,
cairan sinovial ini akan tetap sehingga, tidak mengalami peningkatan
(Sudoyo, 2006).
Hasil penelitian pengukuran
skala nyeri sesudah diberikan terapi senam lansia ini sesuai dengan teori yang
telah disampaikan bahwa senam lansia merupakan suatu latihan fisik yang
mempunyai pengaruh yang baik untuk meningkatkan kemampuan otot sendi. Kemampuan otot sendi apabila sering dilatih atau digerakkan maka cairan
sinovial pada sendi akan meningkat. Cairan sinovial ini berfungsi sebagai
pelumas dalam sendi. Peningkatan cairan sinovial ini dapat mengurangi resiko
cidera sendi pada lansia (Taslim, 2001). Senam lansia juga dapat memberikan
kebugaran tubuh dan meningkatkan daya tahan tubuh (Ambar, 2009).
Gangguan pada sistem muskuloskeletal dapat
memberikan dampak immobilitas fisik
pada lansia. Untuk
mencegah immobilitas fisik pada
lansia,lansia dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik seperti senam
lansia, berjalan dan lain-lain. Aktivitas
fisik dapat memberikan
pengaruh yang baik
bagi kesehatan tubuh pada lansia salah satunya adalah melatih kemampuan
otot sendi pada lansia agar tidak terjadi kekakuan sendi (Martono, 2009).
Penelitian
terkait telah dilakukan
olehHavard Osteras, Tom
Arild Torstensen dan
Berit Osteras yang
berjudul “High-Dosage Medical
Exercise Therapy in Patients with Long-Term Subacromial Shoulder Pain” didapatkan
hasil dengan pemberian terapi latihan medik ada penurunan skala nyeri pada bahu
dengan menggunakan skala ukur VAS (Visual Analog Scale)dan hasinya juga terapi
latihan medik dapat mengatasi nyeri bahu pada pasien(Havard, 2009). Hal ini
sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti bahwa terapi senam lansia dapat mengatasi nyeri
lutut pada lansia dari skala nyeri ringan hingga tidak nyeri
KESIMPULAN DAN SARAN
Pemberian intervensi senam lansia pada
lansia dengan nyeri lutut di Unit Rehabilitasi
Sosial “Margo Mukti”
Kabupaten Rembang ini
efektif untuk mengatasi nyeri lutut
pada lansia. Hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa
lansia dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 9 lansia (60%) dan laki-laki
sebanyak 6 lansia (40%). Hasil penelitian berdasarkan usia menunjukkan bahwa
lansia dengan usia 61-75 tahun sebanyak 12 lansia (80%) dan lansia dengan usia
55-60 tahun sebanyak 3 lansia (20%). Hasil penelitian sesudah dilakukan
terapi senam lansia
menunjukkan bahwa sebesar
86,7% lansia memiliki skala nyeri 0 atau tidak nyeri dan 13,33% lansia
mempunyai skala nyeri 1 atau skala nyeri ringan.
Hasil
uji statistik Wilcoxon
diperoleh nilai p-value
0,001 yang berarti sig<α=(0,05). Nilai
signifikansi 0,001 < 0,05 artinya hipotesa diterima. Kesimpulannya pemberian
terapi senam lansia efektif mengatasi nyeri lutut pada lansia.
Pemberian terapi senam lansia ini dapat
digunakan oleh siapapun tanpa mengeluarkan
uang. Sebagai perawat
komunitas terapi senam
lansia dapat diterapkan untuk
meningkatkan kualitas mutu pelayanan
kesehatan lansia di suatu instansi. Terapi senam lansia
efektif dalam mengurangi nyeri lutut pada lansia
DAFTAR PUSTAKA
Ambar Suianti Universitas Negeri Yogyakarta.Pemanfaatan Moment 17 Agustus
Sebagai Sarana
Senam. 2009.Diakses pada tanggal 2 Februari
2012
Pukul 13.00 WIB
Dempsey, PA & Dempsey, AD. Riset Keperawatan : Buku Ajar dan Latihan. Alih
Havard Osteras, Tom Arild Torstensen dan Berit Osteras.“High-Dosage Medical Exercise Therapy in Patients with Long-Term Subacromial Shoulder Pain.
Hidayat, Aziz Alimul.Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah
Edisi 2
Martono, Hadi. Buku Ajar
Boedhi-Darmojo Geriatri
Ilmu Kesehatan
Usia Lanjut.Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2009.
Maryam, Siti S.Kp
dkk.
Mengenal Usia Lanjut
dan Perawatannya.Jakarta: Salemba Medika. 2008.
Sudoyo W Aru, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Cetakan
Kedua.Jakarta:Pusat Penerbitan Departement Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2006.
Wasis, S.kep,Ns.Pedoman Riset Praktis untuk
Profesi Perawat.Jakarta:EGC.2008.
Taslim, Hartono.
Gangguan Muskuloskeletal
pada Usia Lanjut.2001. Diakses
pada tanggal 1
Juni 2012 pukul
08.00
WIB.
EFEKTIVITAS
TERAPI PSIKORELIGIUS TERHADAP PENURUNAN TINGKAT DEPRESI LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA
ABIYOSO
ABSTRAK
Based on an implemented
surrvey at panti sosial
tresna werdha abiyoso, it
was found that
with depression used geriatric depression scale from 80 person as respondent there are 24 person depression. One of
the ways to decrease of the depression by
psychoreligius therapy. This study is a quasi experiment with non equivalent control group design. This research aimed to examine the effectiveness of psychoreligius teraphy in decreasing depression in elderly.
The subject of this study were 34 elderlys whom stayed at panti sosial tresna werdha abiyoso. They
were selected and divided into two groups. First group had 17 people that considered as experiment group and
secondly group had
17
people that
considered
as control
group.
Intrument
being
used
was
the
geriatric depression scale (GDS). The analysis being used to test the diffrence of treatment and control group scores is SPSS one way student
significance level of p =0, 05.
The result of this study showed that the pretest being done, there was no diffrence between mean score of
depression experimental
group and control group.
However, when
the
posttest being done there was significant difference between two groups. After given psychoreligius therapy, the depression scale in elderlys of
the experimental group was lower than control group. Therefore, it be concluded that psychoreligius therapy is effective in decreasing the depression in elderlys at panti sosial tresna werdha
abiyoso.
PENDAHULUAN
Setiap manusia mempunyai
hak asasi termasuk didalamnya
hak
untuk hidup, menjalankan agama dan keyakinannya juga
memperoleh derajat
kesehatan yang optimal. Organisasi Kesehatan Dunia (World
Health Organisation, WHO)
menjelaskan batasan sehat adalah “ suatu keadaan berupa kesejahteraan
fisik, mental dan sosial secara penuh
dan
bukan semata- mata tidak
adanya penyakit atau keadaan lemah tertentu (Baihaqi
et.al, 2005). Definisi ini menekankan kesehatan sebagai
suatu keadaan sejahtera positif
bukan
sekedar
keadaan tanpa
penyakit.
Orang yang memiliki kesejahteraan emosi, fisik dan sosial dapat memenuhi tanggung
jawab kehidupan, berfungsi dengan efektif
dalam kehidupan sehari-hari
dan puas
dengan hubungan
interpersonal dan diri
mereka sendiri (Videbeck, 2008).
Lebih khusus kesehatan jiwa pun mendapat perhatian dari seluruh dunia, menurut WHO
kesehatan jiwa
bukan hanya tidak
ada gangguan jiwa, melainkan mengandung berbagai karasteristik yang positif yang menggambarkan keselarasan
dan
keseimbangan
kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadiannya. Dalam undang-undang kesehatan jiwa No.3 tahun
1996 dijelaskan defenisi
kesehatan jiwa
adalah
kondisi yang memungkinkan
perkembangan fisik, intelektual, emosional secara optimal
dari
seseorang dan
perkembangan ini berjalan
selaras dengan
orang lain. Sedangkan rentang sehat jiwa
yaitu dinamis
bukan
titik statis, rentang dimulai dari sehat
optimal, ada
tahap-tahap, ada
variasi, menggabungkan kemampuan adaptasi dan berfungsi secara efektif sehat (Nasir, Muhith, 2011).
Masalah kesehatan jiwa dihadapi oleh berbagai golongan usia tidak
terkecuali
bagi para lansia. Sebagaimana telah diketahui menua merupakan proses yang
dialami
oleh setiap orang, tujuan
dari menua sehat adalah menjadi
tua
dalam keadaan sehat ( Darmojo, 2010).
Seiring dengan meningkatnya
pendidikan dan pelayanan
kesehatan maka penyakit-
penyakit infeksi mulai dapat dikendalikan dan usia harapan hidup dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun
2000 jumlah usia lanjut diproyeksikan sebesar 7,28% dan pada tahun 2020
sebesar 11, 34% (Badan
Pusat Statistik, 1992). Data dari
USA-bureau
of the Cencus, bahkan indonesia diperkirakan akan mengalami pertambahan
warga lansia terbesar seluruh dunia, antara tahun
1990 – 2025, yaitu
sebesar 414% (Kinsella & Taeuber, cit Darmojo, 2010).
Secara epidemologik, di negara barat depresi dikatakan terdapat pada 15 -20%
populasi usia
lanjut di
masyarakat.
Insidensi bahkan lebih tinggi pada lansia
yang ada di institusi. Sedangkan
di
Asia angkanya jauh lebih rendah. Keadaan
ini
diduga karena terdapat faktor sosio-
kultural-religi yang berpengaruh
positif.
Angka yang didapatkan pada lansia yang menderita depresi sebanyak 2, 3%, angka
di
masyarakat juga didapatkan lebih rendah
(Martono, cit Darmojo, 2010). Depresi semakin berat apabila tingkat kereligiusan lansia rendah. didunia kedokteran dan
keperawatan barat awalnya hanya
mengandalkan pada aspek biopsikososial.
Beberapa dekade terakhir ini pandangan tersebut mulai berubah dimana manusia dipandang secara holistik meliputi biopsikososiospiritual (Hawari, 2002).
Dalam pengkajian klien jiwa,
latar belakang kehidupan
agama klien, keluarga
dan
pendidikan agama merupakan faktor
yang sangat penting” (Kaplan Sadock, 1991). “Semua penyakit kejiwaan
berhubungan dengan agama”( Jung, cit.
Yosef, 2011).
Studi
pendahuluan yang dilakukan di Panti Sosial
Tresna Werdha (PSTW) Abiyoso
didapatkan data
awal dari hasil pemeriksaan lansia yang dilakukan peneliti sebelumnya
(2011) dengan menggunakan
geriatric depresion scale (GDS) dari 80
orang sebagai
responden
24 orang dinyatakan mengalami
depresi. Saat penelitian
dilakukan pada
bulan
Januari 2013
jumlah penghuni panti sebanyak 126 orang, laki-laki berjumlah
34 orang dan jumlah
perempuan sebanyak 92 orang. Klasifikasi pembiayaan penghuni panti
dari jumlah total
126 orang, sebanyak 113 orang ditanggung oleh Dinas Sosial dan 13
orang dengan subsidi silang.
Lansia
dengan umur tertua 96 tahun dan yang
termuda 61 tahun, dari 126 lansia sebanyak 14 orang mendapat perawatan intensif, adapun kegiatan kerohanian yang diikuti oleh penghuni panti
yang rutin
dilaksanakan yaitu bimbingan rohani
setiap hari senin dan kamis (PSTW Abiyoso).
Keadaan
sehat secara umum atau
sehat
jiwa merupakan
target yang ingin dicapai termasuk bagi lansia, pada kenyataannya
sebagian besar lansia mengalami berbagai masalah kesehatan baik fisik maupun
psikis, dan semakin rendah tingkat kereligiusan lansia akan
semakin berat tingkat depresi lansia. Angka depresi di
lapangan (PSTW) yaitu
sebesar 30%.
Adapun yang menjadi ketertarikan dalam
penelitian ini adalah tingginya angka depresi pada lansia yang tinggal di PSTW Abiyoso.
Sehingga dapat diasumsikan bahwa penanganan
depresi perlu mendapat perhatian secara terprogram.
METODE
PENELITIAN
Jenis penelitian
yang akan diakukan adalah penelitian quasi
eksperiment (experiment design) dengan
rancangan penelitian menggunakan
non equivalent control group
design, desain
penelitian ini hampir sama dengan pretest-
posttest group
control design, hanya saja
pada desain ini
kelompok eksperimen
maupun kelompok kontrol
tidak dipilih secara random. Rancangan penelitian ini
akan
membandingkan
hasil
pretest
dan posttest kelompok eksperimen setelah
diberi perlakuan berupa
terapi psikoreligius dengan kelompok kontrol
yang tidak mendapat perlakuan dengan
menggunakan angket The Geriatric Depresion
Scale ( GDS
), skala atau alat ukur ini adalah instrumen yang
disusun secara khusus digunakan lansia untuk mengukur tingkat depresi(Yesavage,
Brink, dalam Kusharyadi, 2010).
Secara garis besar rancangan penelitian ini
adalah:
Pretest
Perlakuan Posttest
O1 X O2 O3 O4
Gambar : Rancangan Penelitian
Keterangan gambar :
X perlakuan berupa terapi psikoreligius
O1 dan O3 Pretest derajat depresi lansia sebelum ada perlakuan
O2 posttest derajat depresi lansia setelah diberi perlakuan
O4 posttest derajat
depresi
lansia yang
tidak mendapat perlakuan
Variabel independen / bebas
dalam penelitian ini adalah terapi psikoreligius sedangkan Variabel dependen / tergantung
tingkat depresi Sampel dalam penelitian
adalah
lansia yang tercatat sebagai
penghuni PSTW Abiyoso Sleman Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Jumlah sampel yang akan digunakan dalam
penelitian ini sebanyak 34 orang, dengan mempertimbangan keadaan lansia,
sebagian akan digunakan sebagai
kelompok kontrol.
Instrumen (alat ukur) adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan datadari
responden/sampel yang akan
diteliti. Ada
beberapa jenis instrumen
yang dapat
digunakan untuk
mengetahui
tingkat
depresi
seseorang diantaranya Beck Depression
Inventory (BDI), Hamilton Rating Scale Depression
(HARSD)
atauGeriatric Depression
Scale (GDS). Instrumen yang akan digunakan
dalam penelitian ini
adalah
Geriatric Depresion Scale (GDS)
yang merupakan alat
ukur
yang valid dan
reliabel untuk menentukan
adanya depresi pada lansia. GDS terdiri
dari
30 pertanyaan dengan jawaban “ ya”
dan ” tidak”, nilai 1 point untuk setiap respons yang cocok
dengan jawaban “ya” atau “tidak” setelah
pertanyaan. Penilaian
: Nilai 5 atau lebih menandakan adanya
depresi. 5-16 depresi
ringan 16 > depresi berat.
Masalah penelitian pada penelitian ini merupakan analitik komparatif katagorikal 2 (dua) kelompok berpasangan,
masalah skala pengukuran data variabelnya katagorikal ratio, maka untuk menganalisa
data tersebut
dilakukan dua kali analisis. Analisis pertama untuk menguji
perbedaan kemampuan awal antara kelompok
eksperimen dan
kelompok kontrol
pengujiannya menggunakan
t-test. Analisis kedua dengan
t-test related yang diuji
adalah perbedaan antara 02 dan 04 uji
hipotesis Wilcoxon apabila sebaran
data
tidak normal dari hasil uji saphyro
wilk
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang dilakukan menggambarkan bahwa
kelompok eksperimen dengan analisis data menggunakan uji wilcoxon didapatkan
skor
Z
sebesar
-4, 638 dengan
nilai
p 0.001. Hal ini dapat diartikan bahwa terapi psikoreligius
efektif terhadap penurunan depresi.
Karasteristik depresi
lansia
dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, keaktifan dalam mengikuti kegiatan panti serta faktor
internal dari lansia itu sendiri yang mana diketahui bahwa
penghuni
panti berasal dari latar belakang sosial budaya dan ekonomi serta spiritual yang berbeda- beda.
Perbedaan tingkat depresi lansia sebelum
diberikan perlakuan dan setelah mendapat perlakuan dapat digambarkan pada tabel berikut :
Tabel 1. Nilai mean pretest dan posttest
Klp Eksperimen Mean Standar Deviasi
Pretest 11.000 5.465
posttest 5.352 4.782
Berdasarkan
tabel
di
atas dapat diketahui
derajat depresi lansia di PSTW
Abiyoso
sebelum diberikan perlakuan
dengan nilai
mean 11.000 setelah mendapatkan
perlakuan berupa terapi psikoreligius
depresi
lansia mengalami penurunan yang mana
diketahui dari nilai
mean sebesar 5.352 Dari data tersebut diketahui adanya pengaruh yang signifikan dari terapi
psikoreligius terhadap penurunan
tingkat
depresi. Hal
ini dapat
diartikan
bahwa
terapi
psikoreligius
efektif terhadap penurunan tingkat depresi uji statistik wilcoxon dengan bantuan program
komputer. Hasil analisis dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2. Hasil uji wilcoxon
variabel Uji Z Sig
O1 – O2 -4.638
0.001
Berdasarkan analisis
uji Wilcoxon diatas dengan membandingkan
antara kelompok
eksperimen
dan
kelompok kontrol didapatkan nilai Z sebesar -4.638,
nilai
Z pada penelitian ini lebih kecil dari nilai Z pada tabel. Jadi terapi psikoreligius
efektif terhadap penurunan tingkat
depresi. Dengan demikian dapat diartikan Ha
diterima
dan
Ho ditolak
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, (2006), Prosedur
Penelitian:suatu pendekatan praktek edisi VI, PT.Rineka cipta, Jakarta
Azwar, (2012), Metode Penelitian, Pustaja Pelajar, Yogyakarta
Azwar, (2008), Sikap Manusia,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Baihaqi, et.al,
(2005), Psikiatri, Konsep Dan Gangguan-gangguan, PT. Refika Aditama, Bandung
Darmojo, (2010),
GERIATRI (Ilmu
Kesehatan
Usia Lanjut),
Balai Penerbit FKUI, Jakarta
Diponegoro, (2010) Al- Qur’an Tajwid & Terjemah, Diponegoro, Bandung
Hawari, (2002),
Dimensi Religi Dalam Praktek Psikiatri dan
Psikologi jakarta, Balai
penerbit Fakultas Kedoteran
Universitas Indonesia, Jakarta
Kaplan & Sadock (2010)
Buku Ajar
Psikiatri Klinis, ed.2(terjemahan), EGC, Jakarta
Kartono, (2002), Patologi Sosial & Gangguan-gangguan Kejiwaan, PT.
Raja Gratindo Perkasa, Jakarta
Kushariyadi, (2010), Asuhan
Keperawatan
Pada Klien Lnjut Usia, Salemba
Medika, Jakarta
Kusumawati, Hartono,
(2011), Buku Ajar Keperawatan Jiwa, Salemba Medika,
Jakarta
Lubis,
(2009),
Depresi Tinjauan Psikologia, Edisi I, Kencana, Jakarta
Maramis, (2009), Catatan Ilmu
Kedokteran Jiwa, Airlangga
University Press, Surabaya
Mustofa, (2011), Energi Dzikir
Alam
Bawah Sadar, Padma, Surabaya
Nasir, Muhith, (2011),
Dasar-dasar Keperawatan Jiwa, Pengantar
Dan Teori, Salemba Medika, Jakarta
No comments:
Post a Comment