1

loading...

Monday, November 19, 2018

MAKALAH EKOMONI ISLAM "Sejarah pemikiran ekonomi islam"


MAKALAH EKOMONI ISLAM "Sejarah pemikiran ekonomi islam"


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Syatibi merupakan seorang muslim yang cendekiawan yang belum dikenal banyak latar belakang kehidupannya. Syatibi seseorang yang selalu ingin tahu tentang apa yang ia yang ia ketahui. Beliau juga mengungkapkan bahwa syariat Islam didatangkan Allah dengan tujuan kemaslahatan hamba. Perintah Allah dan larangan-larangan serta pilihan-pilihanya kembali kepada bagian hak dan kemaslahatan mukallaf, karena Allah tidak membutuhkan hal-hal seperti itu.
Kemaslahatan menurutnya adalah segala sesuatu yang menyebabkan tegaknya kehidupan manusia serta kesempurnaannya dan menyebabkan manusia memperoleh tuntutan keinginan serta pikiran sehingga dinikmatinya secara utuh.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Riwayat Hidup Dari Abu Ishaq Al-Syatibi ?
2.      Apakah konsep maqasid syari’ah ?
3.      Apakah pemikiran ekonomi Abu Ishaq Al-Asyatibi Pada Masanya?
4.      Bagaimana Teori Kesejahteraan Yang Diterapkan Oleh Abu Ishaaq Al-Syatibi ?
5.      Bagaimana relevansi penerapan pemikirannya al-Syatibi pada saat ini?
C.    Tujuan Masalah
1.      Mengetahui Riwayat Hidup Dari Abu Ishaq Al-Syatibi
2.      Mengetahui konsep maqasid syari’ah
3.      Mengetahui pemikiran ekonomi Abu Ishaq Al-Asyatibi Pada Masanya
4.      Mengetahui Teori Kesejahteraan Yang Diterapkan Oleh Abu Ishaaq Al-Syatibi
5.      Mengetahui relevansi penerapan pemikirannya al-Syatibi pada saat ini

BAB II
PEMBAHASAN

A.            Riwayat hidup Abu Ishaq al-Syatibi(790 H/1388 M)
Nama lengkap Abu Ishaq Asy-Syatibi adalah Abu Ishaq ibrahim ibn Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Gharnati Asy-Syaibani. ia lahir dari keluarga yang berasal dari kota Syatibah (Jativa). Oleh karena itu ia dikenal dengan sebutan Asy-Syatibi. Ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Beliau wafat pada tangggal 8 Sya’ban 790 H/1388M).
Al-Syatibi dibesarkan dan  memperoleh pendidikan di ibu kota kerajaan Nash, Granada yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol.
Al-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan mendalami bahasa Arab dari Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhar, al-Biri, Abu Qasim Muhammad ibn Ahmad al-Syatibi dan Abu Ja’far Ahmad al-Syaqwari. Selanjutnya ia belajar dan mendalami hadis dari Abu Qasim ibn Bima dan Syamsuddin al-Tilimsani, ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur al-Zawawi, ilmu ushul figh dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Miqarri dan Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Syarif al-Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasymi, serta berbagi ilmu lainnya, seperti ilmu falaq, mantiq dan debat. Di samping bertemu langsung, ia juga mengirim surat pada salah seorang sufi Abu Abdillah ibn Ibdah al-Rundi untuk meningkatkan pengetahuannya.
Meskipun mempelajari dan mendalami berbagai ilmu, al-Syatibi lebih berminat untuk mempelajari bahasa Arab dan, khususnya ushul fiqh. Ketertarikannya karena metodologi dan falsafah fiqh Islam merupakan faktor yang sangat menentukan kekuatan dan kelemahan fiqh dalam menanggapi perubahan sosial.
Setelah memperoleh ilmu yang memadai ia mengembangkan potensinya dengan mengajarkan pada generasi berikutnya. Seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu bakar al-Qadi dan Abu Abdillah al-Bayani. 

-          Karya-karya Asy-Syatibi
Pemikiran Asy-Syatibi dapat ditelusuri melalui karya-karya ilmiyahnya yang dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu:
Pertama, karya-karya yang tidak diterbitkan yaitu,
a.       Syarh jalil ‘ala Al-Khulasah fi An-Nahw,
b.       Khiyar Al-Majalis (syarh kitab jual beli dari shahih Al-Bukhari)
c.        Syarh Rajz Ibn Malik fi An-Nahw,
d.       Unwan Al-Ittifaq fi Ilm Al-Isytiqaq, dan
e.        Ushul An-Nahw.
 Adapun kelompok kitab yang diterbitkan yaitu,
a.       Al-Muwafaqat fi Ushul Asy-Syariah
b.      Al-Itisham , dan
c.        Al-Ifadat wa Al-Irsyadat.
Di antara kitab-kitab tersebut, yang berkaitan dengan pemikiran Asy-Syatibi tentang metodologi hukum Islam (Ushul fiqh) adalah kitab Al-Muwafaqat fi Ushul Asy-Syariah.[1]
B.     Konsep Maqasid Syari’ah
Sebagai sumber utama agama islam, Al-quran mengandung berbagai ajaran. Ulama membagi kandungan al-quran dalam tiga bagian besar, yaitu aqidah,akhlak,dan syariah. Akidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlak berkaitan dengan etika dan syariah berkaitan dengan berbagai aspek hukum yang muncul dari aqwal(perkataan) dan af’al(perbuatan). Kelompok terakhir (syariah), dalam sistematika hukum islam, dibagi dalam dua hal, yakni ibadah (habl min allah) dan muamalah (habl min al-nas).[2]
Tujuan asal syari’ah terdiri atas tiga tingkatan, yakni Al-Syatibi membagi menjadi tiga, yaitu :
1.      Dhururiayat(kebutuhan primer)
Jenis maqasid ini merupakan kemestian dari landasan dalam menegakan kesejahteraan manusia di dunia dan di akhirat yang mencangkup pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia, yakni agama, jiwa, akal keturunan, dan harta.[3] Kemestian ini menunjukan apabila tujuan ini tidak terwujud maka kemaslahatan dunia akan rusak, bahkan kehidupan nyata serta kenikmatan akhirat tidak akan diraih. Karena itu tujuan primer wajib dipelihara dengan cara menegakan pondasi-pondasinya yang kokoh serta menghilangkan hal-hal yang dapat menghancurkan tujuan primer tersebut. Tujuan ini meliputi tiga wilayah yakni ibadah, adat dan muamalah.
Pada wilayah adat, tujuan hukum diarahkan pada pemeliharaan jiwa dan akal seperti, pangan, sandang dan papan. Adapun wilayah muamalah, tujuan ini adalah pemeliharaan regenerasi(nasab) dan harta. Dengan demikian maka ada lima unsur pokok dalam pemeliharaan kehidupan manusia yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
2.      Hajiyat(kebutuhan sekunder)
Jenis maqasid ini dimaksudkan untuk memudahkaan kehidupan, menghilanngkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia.
3.      Tahsiniyat
Jenis yang ketiga ini adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia.
-          Kolerasi antara Dhururiyat, Hajiyat dan Tahsiniyat
Dari hasil penelaahnya secara lebih mendalam ia menyimpulkan ketiga tingkatan itu sebagai berikut:
1.      Maqasid dhururiyat merupakan dasar maqasid hajiyat dan tahsiniyat.
2.      Kerusakan pada maqasid dhururiyat akan membawa kerusakan pada tingkatan berikutnya.
3.      Sebaliknya bila pada maqasid hajiyat dan tahsiniyat mengalami kerusakan maka tidak akan mempengaruhi maqasid dhururiyat.
4.      Kerusakan pada maqasid hajiyat dan tahsiniyat bersifat absolute yang terkadang dapat mempengaruhi maqasid dhururiyat.
5.      Pemeliharaan maqasid hajiyat dan tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan maqasid dhururiyat secara tepat.
Dengan demikian, apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna maka ketiga tingkatan itu tidak dapat dipisahkan. 
C.    Pemikiran ekonomi Abu Ishaq Al-Asyatibi Pada Masanya
1.      Objek kepemilikan
Pada dasarnya, Asy-Syatibi mengakui hak milik individu. Akan tetapi ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan penggunaannya tidak bisa dimiliki oleh seorang pun. Dalam hal ini, ia membedakan dua macam air, seperti air yang tidak dapat dijadikan kepemilikan diantaranya, air sungai, air laut dan air yang dapat dijadikan kepemilikan, diantaranya air yang di beli dan air yang dimiliki di sebidang tanah milik individu.

2.      Pajak
Dalam pandangan Asy-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat para pendahulunya, sperti Al-Ghazali dan Ibnu Al-Farra, ia menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung jawab masyarakat. Dalam kondisi tidak mampu melaksanakan tanggung jawab ini, masyarakat bisa mengalihkanya kepada baitul mal serta menyumbangkan sebagian kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut.[4]
D.    Teori Kesejahteraan (Wellfare) Al-Syatibi
Dari pemaparan konsep Maqashid al-Syatibi di atas, terlihat jelas bahwa syariah menginginkan setiap individu memerhatikan kesejahteraan mereka.
Pemenuhan kebutuhan adalah tujuan aktivitas ekonomi, dan pencarian terhadap terhadap tujuan ini adalah kewajiban agama. Dengan kata lain, manusia berkewajiban untuk memecahkan berbagai permaslahan ekonominya. Kebutuhan yang belum terpenuhi merupakan kunci utama dalam suatu proses motivasi. Motivasi itu sendiri meliputi, usaha, ketekunan dan tujuan. Hal ini pada akhirnya tentu akan meningkatkan produktivitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.[5]
Menurut Maslow, apabila seluruh kebutuhan seseorang belum terpenuhi pada waktu bersamaan, pemenuhan kebutuhan yang paling mendasar merupakan hal yang menjadi prioritas. Dengan kata lain, seorang individu baru akan beralih untuk memenuhi kebutuhannya hidup lebih tinggi jika kebutuhan dasarnya telah terpenuhi. Lebih jauh, berdasarkan konsep hierarchy of needs , ia berpendapat bahwa garis hirarki kebutuhan manusia berdasarkan skala priioritasnya terdiri dari[6]:
a.       Kebutuhan fisiologi (physiological needs), mencakup kebutuhan dasar manusia, seperti makan dan minum. Jika belum terpenuhi,, kebutuhan dasar ini akan menjadi priorite manusia dan mengesampingkan seluruh kebutuhan hidup yang lain.
b.      Kebutuhan keamanan (safety needs), mencakup kebutuhan perlindungan terhadap gangguan fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi.
c.       Kebutuhan sosial (social needs), mencakup kebutuhan akan cinta , kasih sayang dan persabatan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang.
d.      Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), mencakup kebutuhan terhadap penghormatan dan pengakuan diri. Pemenuhan kebutuhan ini akan mempengaruhi rasa percaya diri seseorang.
e.       Kebutuhan aktualisasi diri (salf-actualization needs), memcakup kebutuhan memberdayakan seluruh potensi dan kemampuan diri. Kebutuhhan ini merupakan tingkat kebutuhan yang paling tinggi.
Dalam dunia manajemen, kebutuhan-kebutuhan yang dikemukakan oleh maslow tersebut dapat diaplikasikan sebagai berikut:
1.      Pemenuhan kebutuhan fisiologi antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian upah atau gaji yang adil dan lingkungan kerja yang nyama.
2.      Pemenuhan kebutuhan keamanan antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian tunjangan, keamanan kerja dan lingkungan kerja yang aman.
3.      Pemenuhan kebutuhan sosial antara lain dapat diaplikasikan dalam hal dorongan terhadap kerjasama, stabilitas kelompok dan kesempatan interaksi sosial.
4.      Pemenuhan kebutuhan akan penghargaan antara lain dapat diaplikasikan dalam hal penghormatan terhadap jenis pekerjaan dan pengakuaan publik terhadap performance yang baik.
5.      Pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pilihan dalam kreativitas  dan tantangan  pekerjaan.[7]
E.     Relevansi Pemikiran Al-Syatibi Pada Zaman Saat Ini
a.        objek kepemilikan
Saat ini sistem kepemilikan yang diterapkan oleh al-Syatibi sudah mulai diterapkan, yaitu pada air, tanah, gunung, dan sumber daya alam lainnya. Contohnya saat ini tidak ada kepemilikan sungai karena sungai itu kepentingan bersama maka pemerintah yang berhak mengelolanya, begitu juga dengan sumber daya alam yang ada lainnya. seseorang hanya dapat memiliki tanah  pada saat ini yang menjadi tempat tinggalnya saja atau tempat usaha mereka. Untuk memiliki tanah yang lain maka butuh pengorbanaan yaitu dengan membelinya.
b.      pajak
Pada saat ini  pemungutan pajak di indonesia sudah mulai melihat dari sudut pandang yang berdasarkan kepentingan umum. Misalnya pemungutan pajak pada kendaraan roda dua atau roda empat dilihat berdasarkan tahun pembuatannya. Dan pada pekerja pun sudah dilihat berdasarkan pekerjaan dan besar gaji yang didapat mereka di kantor masing-masing. Pemungutan pajak saat ini dilakukan 1 tahun sekali.[8]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dapat kita ambil kesimpulan bahwa Al-Syatibi merupakan orang yang tidak mau berhenti menyerah sampai ajal menjemput. Ia selalu mencari dan menambah pengetahuannya dengan datang kepada orang yang sudah lebih dahulu menuntut ilmu. Dari jerih payahnya itulah ia dapat menghasilkan karya-karya yang luar biasa hebatnya. Bila ia sudah mendapat pengetahuan di satu tempat cukup maka ia akan menambahnya ketempat yang lainnya. kemudian setelah ia merasa pengetahuannya memadai maka ia membagikanya kepada generasi penerusnya.
 Ia juga membagi konsep maqasid syari’ah menjadi tiga tingkatan yaitu dhururiyat yang terbagi atas lima unsur pokok yakni agama, akal, jiwa, keturunan dan harta, yang diimbangi sebagai pelengkap hajiat dan tahsiniyah.



Ø   Analisis mengenai pemikiran Abu Ishaq Asy-Syatibi terhadap ekonomi Islam
 Abu Ishaq Asy-Syatibi ia lahir dari keluarga yang berasal dari kota Syatibah (Jativa). Oleh karena itu ia dikenal dengan sebutan Asy-Syatibi.
Beliau merupakan seseorang yang sangat tertarik dengan ilmu fiqh, dilihat dari meskipun beliau telah mempelajari dan mendalami berbagai ilmu,Al-Syatibi lebih berminat untuk mempelajari bahasa Arab dan khususnya usul fiqh. Ketertarikannya terhadap ilmu usul fiqh karena menurutnya, metodologi dan falsafah fiqih islam merupakan faktor yang sangat menentukan kekuatan dan kelemahan fiqih dalam menanggapi perubahan sosial.
ia menyatakan bahwa tidak satu pun hukumAllah swt. yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan yang sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan.
Menurut Al-Syatibi, kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dapat dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam kerangka ini, ia membagi maqhasid menjadi tiga tingkatan, yaitu dharuriyat, hajiyat, dantahsiniyat.
apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna, ketiga tingkat maqhasid tersebut tidak dapat dipisahkan.
Menurut Al-Syatibi, tingkat hajiyat merupakan penyempurnaan tingkat daruriyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurnaan bagi tingkat hajiyat, sedangkan dharuriyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat.
Pada dasarnya, Al-Syyatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak.  Dalam pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). ia menyatkan bahwa pemiliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung jawab masyarakat. Dalam kondisi tidak mampu melaksanakn tanggung jawab ini masyarakat bisa mengalihkannya kepada baitul mal serta menyumbangkan sebagian kekayaan merekasendiri untuk tujuan tersebut.
berbagai tingkat kebutuhan yang dikemukakan oleh maslow diatas sepenuhnya telah terakomodasi dalam konsep maqhasid A-Syari’ah bahkan, konsep yang telah dikemukakan oleq Al-Syatibi mempunyai keunggulan komparatif yang sangat signifikan, Dalam persfektif Islam, berpijak pada doktri keagamaan yang menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam rangka memperolah kemaslahatan di dunia dan di akhirat merupakan bagian dari kewajiban agama, manusia akan termotifasi untuk selalu berkreasi dan bekerja keras. Hal ini, pada akhirnya, tentu akan meningkatkan produktifitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

DAFTAR PUSTAKA

Karim,Adiwarman karim.2014.Sejarah pemikiran ekonomi islam.Jakarta: PT RajaGrapindo Persada.




[1] http://kusumarini21.blogspot.co.id/2013/01/makalah-pengantar-bisnis.html
[2]Abdul wahab khallaf,’ilm ushul fiqh(kairo:dar al-kuwaitiyah,1968),hlm.32.
[3] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada),hlm.380
[4] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada),hlm.386
[5] http://kusumarini21.blogspot.co.id/2013/01/makalah-pengantar-bisnis.html
[6] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada),hlm.388

[7] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada),hlm.388
[8] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada),hlm.385


No comments:

Post a Comment