MAKALAH EKOMONI ISLAM "Sejarah pemikiran ekonomi islam"
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Syatibi
merupakan seorang muslim yang cendekiawan yang belum dikenal banyak latar
belakang kehidupannya. Syatibi seseorang yang selalu ingin tahu tentang apa
yang ia yang ia ketahui. Beliau juga mengungkapkan bahwa syariat Islam
didatangkan Allah dengan tujuan kemaslahatan hamba. Perintah Allah dan
larangan-larangan serta pilihan-pilihanya kembali kepada bagian hak dan
kemaslahatan mukallaf, karena Allah tidak membutuhkan hal-hal seperti itu.
Kemaslahatan
menurutnya adalah segala sesuatu yang menyebabkan tegaknya kehidupan manusia
serta kesempurnaannya dan menyebabkan manusia memperoleh tuntutan keinginan
serta pikiran sehingga dinikmatinya secara utuh.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Riwayat Hidup Dari Abu
Ishaq Al-Syatibi ?
2.
Apakah konsep maqasid syari’ah ?
3.
Apakah pemikiran ekonomi Abu Ishaq
Al-Asyatibi Pada Masanya?
4.
Bagaimana Teori Kesejahteraan Yang
Diterapkan Oleh Abu Ishaaq Al-Syatibi ?
5.
Bagaimana relevansi penerapan
pemikirannya al-Syatibi pada saat ini?
C. Tujuan Masalah
1.
Mengetahui Riwayat Hidup Dari Abu
Ishaq Al-Syatibi
2.
Mengetahui konsep maqasid syari’ah
3.
Mengetahui pemikiran ekonomi Abu
Ishaq Al-Asyatibi Pada Masanya
4.
Mengetahui Teori Kesejahteraan Yang
Diterapkan Oleh Abu Ishaaq Al-Syatibi
5. Mengetahui
relevansi penerapan pemikirannya al-Syatibi pada saat ini
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat
hidup Abu Ishaq al-Syatibi(790 H/1388 M)
Nama lengkap
Abu Ishaq Asy-Syatibi adalah Abu Ishaq ibrahim ibn Musa bin Muhammad Al-Lakhmi
Al-Gharnati Asy-Syaibani. ia lahir dari keluarga yang berasal dari kota
Syatibah (Jativa). Oleh karena itu ia dikenal dengan sebutan Asy-Syatibi. Ia
berasal dari suku Arab Lakhmi. Beliau wafat pada tangggal 8 Sya’ban 790
H/1388M).
Al-Syatibi
dibesarkan dan memperoleh pendidikan di ibu kota kerajaan Nash,
Granada yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol.
Al-Syatibi
memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan mendalami bahasa Arab dari Abu
Abdillah Muhammad ibn Fakhar, al-Biri, Abu Qasim Muhammad ibn Ahmad al-Syatibi
dan Abu Ja’far Ahmad al-Syaqwari. Selanjutnya ia belajar dan mendalami hadis
dari Abu Qasim ibn Bima dan Syamsuddin al-Tilimsani, ilmu kalam dan falsafah
dari Abu Ali Mansur al-Zawawi, ilmu ushul figh dari Abu Abdillah Muhammad bin
Ahmad al-Miqarri dan Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Syarif al-Tilimsani,
ilmu sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasymi, serta berbagi ilmu lainnya,
seperti ilmu falaq, mantiq dan debat. Di samping bertemu langsung, ia juga
mengirim surat pada salah seorang sufi Abu Abdillah ibn Ibdah al-Rundi untuk
meningkatkan pengetahuannya.
Meskipun
mempelajari dan mendalami berbagai ilmu, al-Syatibi lebih berminat untuk
mempelajari bahasa Arab dan, khususnya ushul fiqh. Ketertarikannya karena
metodologi dan falsafah fiqh Islam merupakan faktor yang sangat menentukan
kekuatan dan kelemahan fiqh dalam menanggapi perubahan sosial.
Setelah
memperoleh ilmu yang memadai ia mengembangkan potensinya dengan mengajarkan
pada generasi berikutnya. Seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu bakar al-Qadi dan Abu
Abdillah al-Bayani.
-
Karya-karya
Asy-Syatibi
Pemikiran
Asy-Syatibi dapat ditelusuri melalui karya-karya ilmiyahnya yang dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu:
Pertama,
karya-karya yang tidak diterbitkan yaitu,
a.
Syarh jalil ‘ala Al-Khulasah fi An-Nahw,
b.
Khiyar Al-Majalis (syarh kitab jual beli dari
shahih Al-Bukhari)
c.
Syarh Rajz Ibn Malik fi An-Nahw,
d.
Unwan Al-Ittifaq fi Ilm Al-Isytiqaq, dan
e.
Ushul An-Nahw.
Adapun kelompok kitab yang diterbitkan yaitu,
a.
Al-Muwafaqat fi Ushul Asy-Syariah
b.
Al-Itisham , dan
c.
Al-Ifadat wa Al-Irsyadat.
Di antara
kitab-kitab tersebut, yang berkaitan dengan pemikiran Asy-Syatibi tentang
metodologi hukum Islam (Ushul fiqh) adalah kitab Al-Muwafaqat fi Ushul
Asy-Syariah.[1]
B.
Konsep
Maqasid Syari’ah
Sebagai sumber utama agama islam, Al-quran mengandung berbagai ajaran.
Ulama membagi kandungan al-quran dalam tiga bagian besar, yaitu aqidah,akhlak,dan
syariah. Akidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlak berkaitan dengan
etika dan syariah berkaitan dengan berbagai aspek hukum yang muncul dari
aqwal(perkataan) dan af’al(perbuatan). Kelompok terakhir (syariah), dalam
sistematika hukum islam, dibagi dalam dua hal, yakni ibadah (habl min allah)
dan muamalah (habl min al-nas).[2]
Tujuan asal
syari’ah terdiri atas tiga tingkatan, yakni Al-Syatibi membagi menjadi tiga,
yaitu :
1.
Dhururiayat(kebutuhan primer)
Jenis
maqasid ini merupakan kemestian dari landasan dalam menegakan kesejahteraan manusia
di dunia dan di akhirat yang mencangkup pemeliharaan lima unsur pokok dalam
kehidupan manusia, yakni agama, jiwa, akal keturunan, dan harta.[3]
Kemestian ini menunjukan apabila tujuan ini tidak terwujud maka kemaslahatan
dunia akan rusak, bahkan kehidupan nyata serta kenikmatan akhirat tidak akan
diraih. Karena itu tujuan primer wajib dipelihara dengan cara menegakan
pondasi-pondasinya yang kokoh serta menghilangkan hal-hal yang dapat menghancurkan
tujuan primer tersebut. Tujuan ini meliputi tiga wilayah yakni ibadah, adat dan
muamalah.
Pada wilayah
adat, tujuan hukum diarahkan pada pemeliharaan jiwa dan akal seperti, pangan,
sandang dan papan. Adapun wilayah muamalah, tujuan ini adalah pemeliharaan
regenerasi(nasab) dan harta. Dengan demikian maka ada lima unsur pokok dalam
pemeliharaan kehidupan manusia yaitu, agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
2.
Hajiyat(kebutuhan sekunder)
Jenis
maqasid ini dimaksudkan untuk memudahkaan kehidupan, menghilanngkan kesulitan
atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok
kehidupan manusia.
3.
Tahsiniyat
Jenis yang
ketiga ini adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan
pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia.
-
Kolerasi
antara Dhururiyat, Hajiyat dan Tahsiniyat
Dari hasil
penelaahnya secara lebih mendalam ia menyimpulkan ketiga tingkatan itu sebagai
berikut:
1. Maqasid
dhururiyat merupakan dasar maqasid hajiyat dan tahsiniyat.
2. Kerusakan
pada maqasid dhururiyat akan membawa kerusakan pada tingkatan berikutnya.
3. Sebaliknya
bila pada maqasid hajiyat dan tahsiniyat mengalami kerusakan maka tidak akan
mempengaruhi maqasid dhururiyat.
4. Kerusakan
pada maqasid hajiyat dan tahsiniyat bersifat absolute yang terkadang dapat
mempengaruhi maqasid dhururiyat.
5. Pemeliharaan
maqasid hajiyat dan tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan maqasid dhururiyat
secara tepat.
Dengan
demikian, apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima
unsur pokok secara sempurna maka ketiga tingkatan itu tidak dapat
dipisahkan.
C. Pemikiran ekonomi Abu Ishaq
Al-Asyatibi Pada Masanya
1.
Objek kepemilikan
Pada
dasarnya, Asy-Syatibi mengakui hak milik individu. Akan tetapi ia menolak
kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat
hidup orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan
penggunaannya tidak bisa dimiliki oleh seorang pun. Dalam hal ini, ia
membedakan dua macam air, seperti air yang tidak dapat dijadikan kepemilikan
diantaranya, air sungai, air laut dan air yang dapat dijadikan kepemilikan,
diantaranya air yang di beli dan air yang dimiliki di sebidang tanah milik
individu.
2.
Pajak
Dalam
pandangan Asy-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang
maslahah (kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat para pendahulunya, sperti
Al-Ghazali dan Ibnu Al-Farra, ia menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum
secara esensial adalah tanggung jawab masyarakat. Dalam kondisi tidak mampu
melaksanakan tanggung jawab ini, masyarakat bisa mengalihkanya kepada baitul
mal serta menyumbangkan sebagian kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut.[4]
D. Teori Kesejahteraan (Wellfare) Al-Syatibi
Dari
pemaparan konsep Maqashid al-Syatibi di atas, terlihat jelas bahwa syariah
menginginkan setiap individu memerhatikan kesejahteraan mereka.
Pemenuhan
kebutuhan adalah tujuan aktivitas ekonomi, dan pencarian terhadap terhadap
tujuan ini adalah kewajiban agama. Dengan kata lain, manusia berkewajiban untuk
memecahkan berbagai permaslahan ekonominya. Kebutuhan yang belum terpenuhi
merupakan kunci utama dalam suatu proses motivasi. Motivasi itu sendiri
meliputi, usaha, ketekunan dan tujuan. Hal ini pada akhirnya tentu akan
meningkatkan produktivitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.[5]
Menurut
Maslow, apabila seluruh kebutuhan seseorang belum terpenuhi pada waktu
bersamaan, pemenuhan kebutuhan yang paling mendasar merupakan hal yang menjadi
prioritas. Dengan kata lain, seorang individu baru akan beralih untuk memenuhi
kebutuhannya hidup lebih tinggi jika kebutuhan dasarnya telah terpenuhi. Lebih
jauh, berdasarkan konsep hierarchy of needs , ia berpendapat bahwa garis
hirarki kebutuhan manusia berdasarkan skala priioritasnya terdiri dari[6]:
a.
Kebutuhan fisiologi (physiological
needs), mencakup kebutuhan dasar manusia, seperti makan dan minum. Jika belum
terpenuhi,, kebutuhan dasar ini akan menjadi priorite manusia dan
mengesampingkan seluruh kebutuhan hidup yang lain.
b.
Kebutuhan keamanan (safety needs),
mencakup kebutuhan perlindungan terhadap gangguan fisik dan kesehatan serta
krisis ekonomi.
c.
Kebutuhan sosial (social needs),
mencakup kebutuhan akan cinta , kasih sayang dan persabatan. Tidak terpenuhinya
kebutuhan ini akan mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang.
d.
Kebutuhan akan penghargaan (esteem
needs), mencakup kebutuhan terhadap penghormatan dan pengakuan diri. Pemenuhan
kebutuhan ini akan mempengaruhi rasa percaya diri seseorang.
e.
Kebutuhan aktualisasi diri
(salf-actualization needs), memcakup kebutuhan memberdayakan seluruh potensi
dan kemampuan diri. Kebutuhhan ini merupakan tingkat kebutuhan yang paling
tinggi.
Dalam dunia
manajemen, kebutuhan-kebutuhan yang dikemukakan oleh maslow tersebut dapat
diaplikasikan sebagai berikut:
1.
Pemenuhan kebutuhan fisiologi antara
lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian upah atau gaji yang adil dan
lingkungan kerja yang nyama.
2.
Pemenuhan kebutuhan keamanan antara
lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian tunjangan, keamanan kerja dan
lingkungan kerja yang aman.
3.
Pemenuhan kebutuhan sosial antara
lain dapat diaplikasikan dalam hal dorongan terhadap kerjasama, stabilitas
kelompok dan kesempatan interaksi sosial.
4.
Pemenuhan kebutuhan akan penghargaan
antara lain dapat diaplikasikan dalam hal penghormatan terhadap jenis pekerjaan
dan pengakuaan publik terhadap performance yang baik.
5.
Pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri
antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pilihan dalam
kreativitas dan tantangan pekerjaan.[7]
E. Relevansi Pemikiran Al-Syatibi Pada Zaman Saat Ini
a.
objek kepemilikan
Saat ini
sistem kepemilikan yang diterapkan oleh al-Syatibi sudah mulai diterapkan,
yaitu pada air, tanah, gunung, dan sumber daya alam lainnya. Contohnya saat ini
tidak ada kepemilikan sungai karena sungai itu kepentingan bersama maka
pemerintah yang berhak mengelolanya, begitu juga dengan sumber daya alam yang
ada lainnya. seseorang hanya dapat memiliki tanah pada saat ini yang
menjadi tempat tinggalnya saja atau tempat usaha mereka. Untuk memiliki tanah
yang lain maka butuh pengorbanaan yaitu dengan membelinya.
b.
pajak
Pada saat
ini pemungutan pajak di indonesia sudah mulai melihat dari sudut
pandang yang berdasarkan kepentingan umum. Misalnya pemungutan pajak pada
kendaraan roda dua atau roda empat dilihat berdasarkan tahun pembuatannya. Dan
pada pekerja pun sudah dilihat berdasarkan pekerjaan dan besar gaji yang
didapat mereka di kantor masing-masing. Pemungutan pajak saat ini dilakukan 1
tahun sekali.[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat kita
ambil kesimpulan bahwa Al-Syatibi merupakan orang yang tidak mau berhenti
menyerah sampai ajal menjemput. Ia selalu mencari dan menambah pengetahuannya
dengan datang kepada orang yang sudah lebih dahulu menuntut ilmu. Dari jerih
payahnya itulah ia dapat menghasilkan karya-karya yang luar biasa hebatnya.
Bila ia sudah mendapat pengetahuan di satu tempat cukup maka ia akan
menambahnya ketempat yang lainnya. kemudian setelah ia merasa pengetahuannya
memadai maka ia membagikanya kepada generasi penerusnya.
Ia
juga membagi konsep maqasid syari’ah menjadi tiga tingkatan yaitu dhururiyat
yang terbagi atas lima unsur pokok yakni agama, akal, jiwa, keturunan dan
harta, yang diimbangi sebagai pelengkap hajiat dan tahsiniyah.
Ø
Analisis
mengenai pemikiran Abu Ishaq
Asy-Syatibi terhadap ekonomi Islam
Abu Ishaq Asy-Syatibi ia lahir dari
keluarga yang berasal dari kota Syatibah (Jativa). Oleh karena itu ia dikenal
dengan sebutan Asy-Syatibi.
Beliau
merupakan seseorang yang sangat tertarik dengan ilmu fiqh, dilihat dari meskipun
beliau telah mempelajari dan mendalami berbagai ilmu,Al-Syatibi lebih berminat
untuk mempelajari bahasa Arab dan khususnya usul fiqh. Ketertarikannya terhadap
ilmu usul fiqh karena menurutnya, metodologi dan falsafah fiqih islam merupakan
faktor yang sangat menentukan kekuatan dan kelemahan fiqih dalam menanggapi
perubahan sosial.
ia
menyatakan bahwa tidak satu pun hukumAllah swt. yang tidak mempunyai tujuan
karena hukum yang tidak mempunyai tujuan yang sama dengan membebankan sesuatu
yang tidak dapat dilaksanakan.
Menurut
Al-Syatibi, kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok
kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dapat dipelihara, yaitu agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta. Dalam kerangka ini, ia membagi maqhasid menjadi
tiga tingkatan, yaitu dharuriyat, hajiyat, dantahsiniyat.
apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai
pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna, ketiga tingkat maqhasid tersebut
tidak dapat dipisahkan.
Menurut Al-Syatibi, tingkat hajiyat merupakan
penyempurnaan tingkat daruriyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurnaan
bagi tingkat hajiyat, sedangkan dharuriyat menjadi pokok hajiyat dan
tahsiniyat.
Pada dasarnya, Al-Syyatibi mengakui hak milik
individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya
yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak. Dalam pandangan
Al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah
(kepentingan umum). ia menyatkan bahwa pemiliharaan kepentingan umum secara
esensial adalah tanggung jawab masyarakat. Dalam kondisi tidak mampu
melaksanakn tanggung jawab ini masyarakat bisa mengalihkannya kepada baitul mal
serta menyumbangkan sebagian kekayaan merekasendiri untuk tujuan tersebut.
berbagai tingkat kebutuhan yang dikemukakan oleh
maslow diatas sepenuhnya telah terakomodasi dalam konsep maqhasid A-Syari’ah
bahkan, konsep yang telah dikemukakan oleq Al-Syatibi mempunyai keunggulan
komparatif yang sangat signifikan, Dalam persfektif Islam, berpijak pada doktri
keagamaan yang menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam rangka
memperolah kemaslahatan di dunia dan di akhirat merupakan bagian dari kewajiban
agama, manusia akan termotifasi untuk selalu berkreasi dan bekerja keras. Hal
ini, pada akhirnya, tentu akan meningkatkan produktifitas kerja dan pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
Karim,Adiwarman
karim.2014.Sejarah pemikiran ekonomi
islam.Jakarta: PT RajaGrapindo Persada.
[2]Abdul
wahab khallaf,’ilm ushul fiqh(kairo:dar al-kuwaitiyah,1968),hlm.32.
[3] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada),hlm.380
[4] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada),hlm.386
[5] http://kusumarini21.blogspot.co.id/2013/01/makalah-pengantar-bisnis.html
[6] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada),hlm.388
[7] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada),hlm.388
[8] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada),hlm.385
No comments:
Post a Comment