1

loading...

Monday, November 26, 2018

MAKALAH HUKUM ADAT


MAKALAH HUKUM ADATHukum Kekerabatan’’


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
ndonesia merupakan suatu wilayah yang terdiri atas bermacam-macam suku, budaya,  bahasa daerah dan adat istiadat yang berbeda dari satu daerah dengan daerah lain. Perbedaan tersebut tidak hanya terbatas dari segi budaya saja, akan tetapi kultur dalam segi kekerabatan yang sudah mendarah daging sejak zaman nenek moyang di Indonesia menjadi ciri khas yang kuat dari setiap daerah yang ada di Indonesia. Dalam persoalan hubungan keakraban baik itu adanya faktor sedarah, pertalian pernikahan dan sebagainya hukum kekerabatan di Indonesia sangatlah kompleks dan mempunyai karakter dalam sistem penerapan hukum kekerabatan itu sendiri. Hasil dari perbedaan kultur dalam hal kekerabatan pun menimbulkan suatu akibat untuk menjalin sebuah hubungan (kekerabatan) baik itu sama dalam segi biologis maupun hasil dari keadaan sosial.
Hukum kekerabatan sendiri mempunyai arti, hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota dalam hubungan kekerabatan, serta kedudukan anak terhadap orang tua atau sebaliknya dan juga masalah perwalian anak. Pembahasan mengenai hukum kekerabatan sendiri mengundang ketegangan yang terdapat di berbagai suku daerah bangsa Indonesia antara keluarga dan kesatuan kerabat (suku, klan). Berhubungan dengan hal itu, maka makin pentinglah arti keluarga, sejalan dengan makin merosotnya arti kesatuan kerabat (suku, klan, dan sebagainya).
Adanya permasalahan diatas mengenai merosotnya arti kesatuan kerabat serta ketegangan yang terjadi antar suku daerah akan dibahas dan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya. Sejatinya Indonesia adalah Negara yang kuat dengan semboyan “BHINEKA TUNGGAL IKA”(meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua), untuk itulah dalam hukum adat dijelaskan mengenai hukum kekerabatan yang menjadi cirri khas dari masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita mengetahui sejauh manakah hukum adat mengatur tentang system kekerabatan dan pembagian hukum kekerabatan yang ada di Indonesia.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan Hukum Kekerabatan ?
2.      Bagaimana Hubungan Anak dengan Orangtua?
3.      Bagaimana Hubungan Anak dengan Kerabat?
4.      Bagaimana Pemeliharaan Anak Yatim Piatu?
5.      Bagaimana Adopsi Anak( Pengangkatan Anak)?

C.      Tujuan
1.      Untuk mendeskripsikan dan mengetahui makna Hukum Kekerabatan.
2.      Untuk mengetahui Hubungan Anak dengan Orangtua.
3.      Untuk mengetahui Hubungan Anak dengan kerabat.
4.      Untuk mengetahui Pemeliharaan Anak Yatim.
5.      Untuk mengetahui Pengangkatan anak.


BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Hukum Adat Kekerabatan
Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orangtua dan sebaliknya kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya dan masalah perwalian anak. Jelasnya hukum adat kekerabatan mengatur tentang pertalian sanak, berdasarkan pertalian darah (sekuturunan) pertalian perkawinan dan perkawinan adat.[1]
Dalam sistem kekerabatan masyarakat  adat,  keturunan merupakan hal yang penting untuk meneruskan garis keturunan (clan) baik garis keturunan lurus atau menyamping. Seperti di masyarakat Bali dimana laki-laki nantinya akan meneruskan Pura keluarga untuk menyembah para leluhurnya.
Pada umumnya keturunan mempunyai hubungan hukum yang didasarkan pada hubungan darah,  antara  lain  antara  orangtua  dengan anak-anaknya.  Juga  ada  akibat hukum yang berhubungan dengan keturunan yang bergandengan dengan ketunggalan leluhurnya,  tetapi  akibat  hukum  tersebut  tidak  semuanya  sama  diseluruh  daerah. Meskipun akibat hukum yang berhubungan dengan ketunggalan leluhur diseluruh daerah tidak sama, tapi dalam kenyataannya terdapat satu pandangan pokok yang sama terhadap masalah keturunan ini diseluruh daerah, yaitu bahwa keturunan adalah merupakan unsure yang hakiki serta mutlak bagi suatu klan, suku ataupun kerabat yang menginginkan agar garis keturunannya tidak punah, sehingga ada generasi penerusnya.
Apabila dalam suatu klan, suku ataupun kerabat khawatir akan menghadapi kepunahan klan, suku ataupun kerabat ini pada umumnya melakukan adopsi (pengangkatan anak) untuk  meneruskan garis keturunan, maupun pengangkatan anak yang dilakukan dengan perkawinan atau pengangkatan anak untuk penghormatan. Seperti dalam masyarakat Lampung dimana anak orang lain yang diangkat menjadi tegak tegi diambil dari anak yang masih bertali kerabat dengan bapak angkatnya.
Individu sebagai keturunan  (anggota keluarga ) mempunyai hak dan kewajiban tertentu yang berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan. Misalnya, boleh ikut menggunakan nama keluarga (marga) dan boleh ikut menggunakan dan berhak atas kekayaan keluarga, wajib saling membantu, dapat saling mewakili dalam melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga dan lain sebagainya.[2]
       Menurut Prof. Bushar Muhammad, SH keturunan dapat bersifat :
1.        Lurus,  apabila  orang  seorang  merupakan  langsung  keturunan dari  yang  lain, misalnya antara bapak dan anak; antara kakek, bapak dan anak, disebut lurus kebawah apabila  rangkaiannya dilihat  dari kakek,  bapak  ke  anak,  sedangkan disebut lurus kebawah apabila rangkaiannya dilihat dari anak, bapak ke kakek.
2.        Menyimpang atau  bercabang,  apabila  antara  kedua orang  atau  lebih  terdapat adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak ibunya sama (saudara sekandung), atau sekakek nenek dan lain sebagainya
       Dalam struktur masyarakat adat kita menganut adanya tiga (3) macam sistem kekerabatan, yaitu :
1.         Sistem Kekerabatan parental
Anak menghubungkan diri dengan kedua orangtuanya. Anak juga menghubungkan diri dengan kerabat ayah-ibunya secara bilateral. Dalam sistem kekerabatan parental kedua orang tua maupun kerabat dari ayah-ibu itu berlaku peraturan-peraturan yang sama baik tentang perkawinan , kewajiban memberi nafkah, penghormatan, pewarisan. Dalam susunan parental ini seorang anak hanya memperoleh semenda dengan jalan perkawinan, maupun langsung oleh perkawinannya sendiri, maupun secara tak langsung oleh perkawinan sanak kandungnya, memang kecuali perkawinan antara ibu dan ayahnya sendiri.[3] Susunan sistem kekerabatan parental berlaku pada masyarakat jawa, madura, Kalimantan dan Sulawesi.
2.         Sistem Kekerabatan patrilineal.
Anak  menghubungkan diri  dengan ayahnya  (berdasarkan garis  keturunan  laki-laki). Sistem kekerabatan ini anak juga menghubungkan diri dengan kerabat ayah berdasarkan garis keturunan laki-laki secara unilateral. Di dalam susunan masyarakat Patrilineal yang berdasarkan garis keturunan bapak (laki-laki), keturunan dari pihak  bapak (laki-laki) dinilai mempunyai kedudukan lebih tinggi serta hak-haknya juga akan mendapatkan lebih banyak. Susunan sistem kekerabatan Patrilineal berlaku pada masyarakat Batak dan Bali.
3.        System Kekerabatan matrilineal.
Anak  menghubungkan diri dengan ibunya (berdasarkan garis keturunan perempuan). Sistem kekerabatan ini anak juga menghubungkan diri dengan kerabat ibu berdasarkan garis keturunan perempuan secara unilateral. Dalam masyarakat yang susunannya matrilineal,   keturunan   menurut   garis   ibu   dipandang   sangat   penting,   sehingga menimbulkan hubungan pergaulan kekeluargaan  yang  jauh  lebih  rapat  dan  meresap diantara   para   warganya   yang   seketurunan   menurut   garis   ibu,   hal   mana   yang menyebabkan tumbuhnya konsekuensi (misalkan, dalam masalah warisan) yang  jauh lebih banyakk dan lebih penting daripada keturunan menurut garis bapak. Susunan sistem kekerabatan Matrilinel berlaku pada masyarakat Minangkabau.
B.        Hubungan Anak dengan Orangtuaanya
Anak kandung memiliki kedudukan yang terpenting dalam tiap somah (gezin) dalam  suatu  masyarakat  adat.  Oleh  orang  tua,  anak  itu  dilihat  sebagai  penerus generasinya, juga dipandang sebagai wadah di mana semua harapan orangtuanya dikelak kemudian hari wajib ditumpahkan, pula dipandang sebagai pelindung orangtuanya kelak bila orangtua sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah sendiri.[4]
Menurut hukum adat anak kandung yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan bapak ibu yang sah , walaupun terjadinya perkawinan tersebut setelah ibunya melahirkan terlebih dahulu. Oleh karena itu sejak dalam kandungan hingga anak tersebut lahir sampai dengan anak tersebut tumbuh didalam masyarakat adat akan selalu diadakan ritual khusus untuk mendoakan keselamatan anak tersebut.
Anak  yang  lahir dari perkawinan yang sah dimana anak tersebut  lahir dari perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita, dimana nantinya wanita tersebut yang akan melahirkan dan pria tersebut akan menjadi bapak dan menjadi suami dari wanita tersebut. Itu merupakan keadaan yang normal.
Tetapi keadaan tersebut adakalanya tidak berjalan dengan normal. Di dalam masyarakat sekitar kita sering penyimpangan-penyimpangan didalam melakukan hubungan antara pria dengan wanita sehingga menimbulkan kejadian-kejadian yang tidak normal (abnormal).       Kejadian kejadian tersebut menimbulkan akibat, sebagai berikut :
1.        Anak Lahir Di luar perkawinan
Hubungan anak yang lahir diluar perkawinan dengan wanita yang melahirkan maupun dengan pria yang bersangkutan dengan anak tersebut tiap daerah tidak mempunyai pandangan yang sama.   Di   mentawai,   timor,    minahasa,   dan   ambon, misalnya wanita yang melahirkan anak itu dianggap sebagai ibu anak yang bersangkutan. Jadi biasa seperti kejadian normal seorang wanita melahirkan anak dalam perkawinan yang sah . Tetapi di beberapa daerah lainnya ada pendapat yang wajib mencela keras si ibu yang tidak kawin itu beserta anaknya. Bahkan mereka semula lazimnya dibuang dari persekutuannya (artinya tidak diakui lagi sebagai warga persekutuan), kadang-kadang malah dibunuh atau seperti halnya di daerah kerajaan dahulu mereka itu dipersembahkan kepada raja sebagai budak.
Yang  menimbulkan  tindakan-tindakan  tersebut  dikarenakan  takut  melihat adanya kelahiran yang tidak didahului oleh perkawinan beserta upacara-upacara dan selamatan-selamatan yang diperlukan. Untuk mencegah nasib si ibu dengan anaknya, terdapat suatu tindakan adat dimana akan memaksa pria yang bersangkutan untuk kawin dengan wanita yang telah melahirkan anak itu, jadi si pria tersebut diwajibkan melangsungkan perkawinan dengan wanita yang karena perbuatannya menjadi hamil dan kemudian melahirkan anak pria tersebut. Di sumatera selatan tindakan tersebut dilakukan oleh rapat marga. Demikian pula di Bali, bahkan di daerah ini apabila yang dimaksud tidak  mau  mengawini  wanita  yang  telah  melahirkan  anak  tersebut,  akan  di  jatuhi hukuman.
     Selain melakukan kawin paksa, adapula dengan mengawini wanita hamil tersebut dengan laki-laki lain yang bukan bapak biologis dari anak tersebut. Perkawinan dilakukan dengan maksud agar  anak  tersebut  dilahirkan pada perkawinan yang  sah, sehingga anak itu menjadi anak yang sah. Perkawinan tersebut banyak dijumpai di desa-desa   di Jawa (disebut nikah tambelan) dan di tanah suku Bugis (disebut pattongkog sirik). Anak yang di lahirkan diluar perkawinan tersebut di jawa di sebut anak haram jadah di Astra, lampung di sebut anak kappang. Anak-anak tersebut bisa menjadi sah dan masuk dalam persekutuan apabila dengan pembayaran ataupun sumbangan adat.[5]
Hubungan antara anak dengan bapak yang tidak/belum kawin dengan ibu yang melahirkan, seperti diminahasa, hubungan anak dengan pria yang tak kawin dengan ibu yang melahirkannya, adalah biasa seperti   hubungan anak dengan bapak. Bila si ayah hendak menghilangkan kesangsian mengenai hubungan tersebut, maka ia harus memberikan lilikur (hadiah) kepada ibu anaknya (dalam hal ini antara bapak dengan si ibu tidak tinggal satu rumah) Di daerah lain, anak lahir di luar perkawinan, menurut hukum adat adalah anak yang tidak berbapak.
2.    Anak lahir karena zina
Anak zinah adalah anak yang dilahir dari suatu hubungan antara seorang wanita dengan pria yang bukan suaminya. Menurut hukum adat suaminya akan tetap menjadi bapak anak yang dilahirkan istrinya itu, kecuali apabila sang suami menolak berdasarkan alasan-alasan yang dapat diteriama, dapat menolak menjadi bapak anak yang dilahirkan oleh istrinya karena telah melakukan zina.
3.    Anak Lahir Setelah Perceraian
Anak yang dilahirkan setelah bercerai, menurut adat mempunyai bapak bekas suami wanita yang melahirkan itu, apabila kelahirannya terjadi dalam batas-batas waktu mengandung. Banyak pula di jumpai dimana seorang laki-laki yang memelihara selir disamping dia mempunyai istri yang sah. Anak yang dilahirkan dari selir-selir tersebut mempunyai kedudukan serta hak-hak (seperti; hak warisan) yang tidak sama dengan anak-anak dari isteri yang  sah.  Anak-anak  yang  dilahirkan dari istri yang  sah akan mendapatkan haknya lebih banyak.
Hubungan anak dengan orangtua (anak dengan bapak atau anak dengan ibu) akan menimbulkan akibat hukum sebagai berikut;
1.        larangan kawin antara anak dengan bapak atau anak dengan ibu.
2.        saling berkewajiban     memelihara dan memberi nafkah.
3.        Apabila si ayah ada, maka ia akan bertindak sebagai wali dari anak perempuannya apabila pada upacara akad nikah yang dilakukan secara Islam.
Menurut hukum adat  yang  menganut sistem kekerabatan Parental seperti di masyarakat  jawa  kewajiban  orangtua  kepada  anaknya  sampai  dengan  anak  tersebut dewasa dan hidup mandiri. Pada sistem Parental tanggung jawab tidak hanya dibebankan kepada bapak saja melainkan juga ibu ikut bertanggung kepada anak-anaknya.

C.      Hubungan Anak dengan Kerabatnya
Hukum adat mengatur tentang hubungan anak dengan kerabatnya dimana sesuai dengan keadaan sosial dalam masyarakat bersangkutan yang  berdasarkan dari sistem keturunannya (sistem kekerabatannya).Hukum adat di masyarakat Indonesia dimana persekutuan-persekutuan berlandaskan pada tiga macam garis keturunan, yaitu garis keturunan bapak dan ibu, garis keturunan bapak, dan garis keturunan ibu.
Dalam  masyarakat  parental  hubungan  anak  dengan  kerabat  bapak  maupun ibunya adalah sama . Masyarakat dengan sistem kekerabatan parental maka masalah- masalah tentang larangan kawin, warisan, kewajiban memelihara semuanya berintensitas sama terhadap kedua belah pihak baik kerabat ayah maupun kerabat ibu.
Menurut hukum adat  dimana susunan kekerabatan yang patrilinial dan atau matrilineal yang masih kuat, yang disebut orang tua bukan saja dalam garis lurus keatas tetapi juga dalam garis lurus kesamping, seperti para paman, saudara ayah yang lelaki (Batak, Lampung) dan para paman, saudara ibu yang lelaki (Minangkabau, Semenda) terus ke atas, seperti kakek, buyut, canggah dan Poyang.
Di lingkungan masyarakat adat patrilineal anak tidak hanya hormat kepada ayah maupun ibunya,  tetapi anak  juga  hormat  kepada kerabat  garis keturunan ayah.  Jadi hubungan anak dengan kerabat ayahnya jauh lebih erat dan lebih penting dibandingkan dengan kerabat  dari ibu. Dalam persekutuan patrilineal dimana kerabat ayah tingkat derajat dan lebih tinggi dibandingkan kerabat ibu, tetapi sama sekali tidak melupakan kerabat dari Ibu.   Seperti di Tapanuli pada suku Batak dimana sistem kekerabatannya patrilineal keluarga pihak Ibu khususnya bagi pemudanya, pertama-tama diakui sebagai satu  keluarga  dari  lingkungan  mana  mereka  terutama  harus  mencari  bakal  istrinya. Dimana   persekutuan  keluarga   ibunya   merupakan  apa   yang   disebut   hula-hula”,sedangkan keluarga bapak merupakan boru-nya.
Jadi hubungan keluarga bapak dan keluarga ibu di daerah ini adalah keluarga yang bakal memberikan calon suami (boru) dan keluarga yang bakal memberikan istri (hula-hula). Lainnya dalam masyarakat adat matrilineal hubungan antara anak dengan keluarga dari pihak ibu adalah jauh lebih erat dan jauh dianggap lebih penting dari pada hubungan antara anak dengan keluarga pihak dari bapak. Tetapi hal tersebut juga tidak melupakan kerabat dari pihak bapak, seperti di Minangkabau keluarga pihak bapak yang disebut bako kaki dalam upacara-upacara selalu hadir, bahkan kadang-kadang pihak bapak ini memberi bantuan dalam memelihara anak.
Di lingkungan matrilineal   misalnya di Minangkabau yang terutama wajib dihormati anak kemenakan selain ayah dan ibunya adalah semua mamak saudara lelaki ibu, terutama yang berkedudukan mamak kepala waris. Anak  luar  kawin  meskipun  didalam  masyarakat  dianggap  rendah  tetapi dianggap oleh persekutuan kekerabatannya , misalnya di Jawa tidak ada pembedaan anak luar kawin dengan ayahnya, maka berlaku pula terhadap kekerabatanya. Sedangkan ada daerah  lain  seperti  rejang  yang  menganggak  anak  luar  kawin  itu  dianggap  rendah sehingga anak luar kawin tidak mempunyai hubungan dengan kekerabatannya.

D.      Pemeliharaan Anak Yatim (-Piatu)
Dalam suatu keluarga apabila salah satu orangtua meninggal baik, bapak atau ibu sudah tidak ada lagi sedangkan anak tersebut belum dewasa dalam susunan masyarakat parental maka anak akan berada dalam pemeliharaan dan tetap dalam kekuasaan ibu apabila ayah yang meninggal atau ayah apabila ibu yang meninggal dunia sampai anaknya dewasa dan dapat hidup mandiri. Apabila kedua orangtuanya meninggal dunia anak belum dewasa maka anak akan dipelihara dan menjadi tanggung jawab dari kerabat ayah atau ibu yang terdekat dengan  anak tersebut dan mempunyai kemampuan sampai dengan anak tersebut dewasa dan hidup mandiri.
 Anak yatim piatu dalam masyarakat matrilineal jika yang meninggal dunia adalah si Ibu anak tersebut tetap menetap, dipelihara dan berada dalam kekuasaan dari kerabat Ibunya, ayah hanya akan memperhatikan kepentingan dari anak-anak tersebut.
Sedangkan   si ayah yang meninggal dunia maka Ibu akan meneruskan kekuasaannya terhadap anak-anak yang belum dewasa, misalnya; di Minangkabau.
Jika ayah meninggal dunia dalam masyarakat patrilineal sedangkan si  anak belum dewasa maka ibu  yang akan mendidik anak tersebut, tetapi Ibu beserta anak akan menjadi tanggung jawab dan tetap tinggal di lingkungan kerabat mendiang suaminya , misalnya di Batak dan Bali. Tetapi apabila si Janda ingin keluar dari lingkungan kerabat suaminya tersebut (misalkan kawin dengan laki-laki lain) ia dapat bercerai dengan kerabat suaminya, anak tetap dalam kekuasaan kerabat mendiang suaminya.
Jadi apabila dalam keluarga yang susunan kekerabatannyunilateral orangtuanya meninggal dunia, jika keluarga tersebut patrilineal maka kekuasaan orangtua terhadap anak-anak yang ditinggal selanjutnya berada pada keluarga pihak bapak dan berada pada kekuasaan kerabat ibu jika keluarga tersebut matrilineal.

E.       Adopsi Anak (Pengangkatan Anak)
Keturunan dalam masyarakat adat sangat diperlukan karena untuk meneruskan kekerabatanya. Jadi apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai anak, maka dapat dilakukan pengangkatan anak. Pengangkatan anak tidak hanya dilakukan apabila dalam keluarga tersebut tidak mempunyai keturunan, tetapi keluarga tersebut tidak mempunyai anak laki-laki untuk meneruskan kekerabatannya seperti pada masyarakat Bali.[6]
Kedudukan anak angkat dapat di bedakan antara anak angkat sebagai penerus keturunan (Lampung; tegak tegi), anak angkat karena perkawinan atau untuk penghormatan. Di lampung anak orang lain yang diangkat menjadi tegak tegi biasanya diambil dari anak yang masih bertali kerabat dengan bapak angkatnya.
Di Bali adopsi anak karena perkawinan dilakukan apabila tidak mempunyai anak laki-laki untuk dijadikan penerus keturunan , dimana anak angkat tersebut di kawinkan dengan anak wanita bapak angkatnya yang disebut nyentane dan anak angkat itu menjadi sentane tarikan yang mempunyai hak dan kewajiban dengan anak kandung. Dalam perkawinan tersebut tidak mengakibatkan anak tersebut menjadi pewaris dari bapak angkatnya, melainkan hanya mendapatkan kedudukan dalamkewargaan adat dalam kesatuan kekerabatan bapak angkatnya.
 Anak angkat yang dilakukan sebagai penghormatan  adalah pengangkatan anak atau pengangkatan saudara (Lampung; adat mewari) tertentu sebagai tanda penghargaan, misalnya mengangkat pejabat pemerintahan sebagai saudara angkat. Pengangkatan tersebut tidak menimbulkan akibat hukum waris dari si ayah kepada anak angkatnya, kecuali   ada   perjanjian   tambahan   ketika   upacara   adat   dihadapan   pemuka   ada dilaksanakan.


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orangtua dan sebaliknya kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya dan masalah perwalian anak. Jelasnya hukum adat kekerabatan mengatur tentang pertalian sanak, berdasarkan pertalian darah (sekuturunan) pertalian perkawinan dan perkawinan adat
       Dalam struktur masyarakat adat kita menganut adanya tiga (3) macam sistem kekerabatan, yaitu :
1.        Sistem Kekerabatan parental
2.        Sistem Kekerabatan patrilineal
3.        Sistem Kekerabatan Matriliniear


DAFTAR PUSTAKA


Bushar Muhammad. 2006. Pokok-pokok Hukum Adat.  Jakarta:  PT Pradnya Paramita.
Hilman Hadikusuma. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
Iman Sudiyat. 2007. Hukum Adat sketsa asas. Yogyakarta: Liberty
Van Dijk. 2006. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju





[1] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2003,  hlm. 201.

[2] Bushar Muhammad,  Pokok-pokok Hukum Adat,  Jakarta:  PT Pradnya Paramita, 2006, hlm. 3.
[3] Van Dijk,  Pengantar Hukum Adat Indonesia., Bandung: Mandar Maju, 2006, hlm. 40.

[4] Bushar Muhammad,  Pokok-pokok Hukum Adat,  Jakarta:  PT Pradnya Paramita, 2006, hlm. 5-7.

[5] Iman Sudiyat,  Hukum Adat sketsa asas, Yogyakarta: Liberty, 2007, hlm. 92.

[6] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2003,  hlm. 209.

No comments:

Post a Comment