MAKALAH HUKUM ADAT“Hukum Kekerabatan’’
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
ndonesia merupakan suatu wilayah yang terdiri atas
bermacam-macam suku, budaya, bahasa daerah dan adat istiadat yang
berbeda dari satu daerah dengan daerah lain. Perbedaan tersebut tidak hanya
terbatas dari segi budaya saja, akan tetapi kultur dalam segi kekerabatan yang
sudah mendarah daging sejak zaman nenek moyang di Indonesia menjadi ciri khas
yang kuat dari setiap daerah yang ada di Indonesia. Dalam persoalan hubungan
keakraban baik itu adanya faktor sedarah, pertalian pernikahan dan sebagainya
hukum kekerabatan di Indonesia sangatlah kompleks dan mempunyai karakter dalam
sistem penerapan hukum kekerabatan itu sendiri. Hasil dari perbedaan kultur
dalam hal kekerabatan pun menimbulkan suatu akibat untuk menjalin sebuah
hubungan (kekerabatan) baik itu sama dalam segi biologis maupun hasil dari
keadaan sosial.
Hukum kekerabatan sendiri mempunyai arti, hukum adat yang
mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota dalam
hubungan kekerabatan, serta kedudukan anak terhadap orang tua atau sebaliknya
dan juga masalah perwalian anak. Pembahasan mengenai hukum kekerabatan sendiri
mengundang ketegangan yang terdapat di berbagai suku daerah bangsa Indonesia
antara keluarga dan kesatuan kerabat (suku, klan). Berhubungan dengan hal itu,
maka makin pentinglah arti keluarga, sejalan dengan makin merosotnya arti
kesatuan kerabat (suku, klan, dan sebagainya).
Adanya permasalahan diatas mengenai merosotnya arti kesatuan
kerabat serta ketegangan yang terjadi antar suku daerah akan dibahas dan
diuraikan dalam pembahasan selanjutnya. Sejatinya Indonesia adalah Negara yang
kuat dengan semboyan “BHINEKA TUNGGAL IKA”(meskipun berbeda-beda tetapi tetap
satu jua), untuk itulah dalam hukum adat dijelaskan mengenai hukum kekerabatan
yang menjadi cirri khas dari masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, sudah
seharusnya kita mengetahui sejauh manakah hukum adat mengatur tentang system
kekerabatan dan pembagian hukum kekerabatan yang ada di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud
dengan Hukum Kekerabatan ?
2.
Bagaimana
Hubungan Anak dengan Orangtua?
3.
Bagaimana
Hubungan Anak dengan Kerabat?
4.
Bagaimana
Pemeliharaan Anak Yatim Piatu?
5.
Bagaimana
Adopsi Anak( Pengangkatan Anak)?
C. Tujuan
1.
Untuk
mendeskripsikan dan mengetahui makna Hukum Kekerabatan.
2.
Untuk
mengetahui Hubungan Anak dengan Orangtua.
3.
Untuk
mengetahui Hubungan Anak dengan kerabat.
4.
Untuk
mengetahui Pemeliharaan Anak Yatim.
5.
Untuk
mengetahui Pengangkatan anak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Adat Kekerabatan
Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana
kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orangtua dan sebaliknya kedudukan
anak terhadap kerabat dan sebaliknya dan masalah perwalian anak. Jelasnya hukum
adat kekerabatan mengatur tentang pertalian sanak, berdasarkan pertalian darah (sekuturunan) pertalian perkawinan dan perkawinan adat.[1]
Dalam sistem kekerabatan masyarakat adat, keturunan merupakan hal yang
penting untuk meneruskan garis keturunan (clan) baik garis keturunan lurus atau menyamping. Seperti di masyarakat Bali dimana laki-laki nantinya akan meneruskan
Pura keluarga untuk menyembah para leluhurnya.
Pada umumnya keturunan mempunyai hubungan hukum yang didasarkan
pada
hubungan darah, antara
lain antara
orangtua dengan anak-anaknya.
Juga ada
akibat
hukum yang berhubungan dengan keturunan yang bergandengan dengan ketunggalan
leluhurnya,
tetapi akibat hukum tersebut
tidak semuanya
sama diseluruh daerah. Meskipun akibat hukum yang berhubungan dengan ketunggalan leluhur diseluruh daerah
tidak sama, tapi dalam kenyataannya terdapat satu pandangan pokok yang sama terhadap
masalah keturunan ini diseluruh daerah, yaitu bahwa keturunan
adalah merupakan unsure yang hakiki serta mutlak bagi suatu klan, suku ataupun kerabat yang menginginkan agar garis keturunannya tidak punah,
sehingga ada generasi penerusnya.
Apabila dalam suatu klan, suku ataupun kerabat khawatir akan menghadapi
kepunahan klan, suku ataupun kerabat ini pada umumnya melakukan adopsi
(pengangkatan anak) untuk meneruskan garis keturunan, maupun pengangkatan anak
yang dilakukan dengan perkawinan atau pengangkatan anak untuk penghormatan. Seperti dalam masyarakat Lampung dimana anak orang lain yang diangkat menjadi tegak tegi diambil dari anak yang masih bertali kerabat dengan bapak angkatnya.
Individu sebagai keturunan
(anggota
keluarga ) mempunyai hak dan kewajiban tertentu yang berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan. Misalnya, boleh ikut menggunakan nama keluarga (marga) dan boleh ikut menggunakan
dan
berhak atas kekayaan keluarga, wajib saling membantu, dapat saling mewakili dalam
melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga dan lain sebagainya.[2]
Menurut Prof.
Bushar Muhammad, SH keturunan dapat bersifat :
1.
Lurus,
apabila orang seorang merupakan langsung keturunan dari yang
lain, misalnya antara bapak dan anak;
antara kakek, bapak dan
anak, disebut lurus
kebawah apabila
rangkaiannya dilihat
dari kakek,
bapak ke anak,
sedangkan disebut lurus kebawah apabila rangkaiannya dilihat
dari anak, bapak ke kakek.
2.
Menyimpang atau
bercabang, apabila
antara kedua orang atau lebih
terdapat adanya ketunggalan
leluhur, misalnya bapak ibunya sama (saudara sekandung),
atau sekakek nenek dan lain sebagainya
Dalam struktur masyarakat adat kita menganut adanya tiga (3) macam sistem kekerabatan, yaitu :
1.
Sistem Kekerabatan parental
Anak menghubungkan
diri dengan kedua orangtuanya. Anak juga menghubungkan diri
dengan kerabat ayah-ibunya secara bilateral. Dalam sistem kekerabatan parental
kedua
orang tua maupun kerabat dari ayah-ibu itu berlaku peraturan-peraturan yang sama baik
tentang perkawinan
, kewajiban memberi nafkah, penghormatan, pewarisan. Dalam
susunan parental ini seorang anak hanya memperoleh semenda dengan jalan perkawinan, maupun langsung oleh perkawinannya sendiri, maupun secara tak langsung oleh
perkawinan sanak kandungnya, memang kecuali perkawinan antara ibu dan ayahnya
sendiri.[3] Susunan sistem
kekerabatan
parental berlaku pada
masyarakat jawa, madura, Kalimantan dan Sulawesi.
2.
Sistem Kekerabatan patrilineal.
Anak
menghubungkan diri
dengan ayahnya
(berdasarkan garis keturunan laki-laki). Sistem kekerabatan ini anak juga menghubungkan
diri dengan kerabat ayah berdasarkan
garis keturunan laki-laki secara unilateral. Di
dalam susunan masyarakat Patrilineal yang
berdasarkan garis keturunan bapak (laki-laki), keturunan dari pihak bapak (laki-laki) dinilai mempunyai kedudukan lebih tinggi serta
hak-haknya juga
akan
mendapatkan lebih
banyak. Susunan sistem kekerabatan Patrilineal berlaku pada masyarakat Batak dan Bali.
3.
System Kekerabatan matrilineal.
Anak menghubungkan diri dengan ibunya (berdasarkan garis keturunan perempuan).
Sistem kekerabatan ini anak juga menghubungkan diri dengan kerabat ibu berdasarkan
garis keturunan perempuan secara unilateral. Dalam masyarakat yang susunannya matrilineal, keturunan menurut garis ibu dipandang sangat penting, sehingga
menimbulkan hubungan pergaulan kekeluargaan yang
jauh lebih
rapat dan
meresap
diantara para warganya
yang seketurunan menurut garis ibu, hal mana yang
menyebabkan tumbuhnya konsekuensi (misalkan, dalam masalah warisan) yang jauh
lebih banyakk dan lebih penting daripada keturunan menurut garis bapak. Susunan sistem kekerabatan Matrilinel berlaku pada masyarakat Minangkabau.
B.
Hubungan Anak dengan Orangtuaanya
Anak kandung memiliki kedudukan
yang terpenting dalam tiap somah (gezin) dalam suatu masyarakat adat.
Oleh orang tua,
anak itu dilihat sebagai penerus
generasinya, juga dipandang sebagai wadah di mana semua harapan orangtuanya dikelak kemudian hari wajib ditumpahkan, pula dipandang sebagai
pelindung orangtuanya kelak
bila
orangtua sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah sendiri.[4]
Menurut hukum adat anak kandung yang sah adalah anak yang dilahirkan dari
perkawinan bapak ibu yang sah , walaupun terjadinya perkawinan tersebut setelah ibunya
melahirkan terlebih dahulu. Oleh karena itu sejak dalam kandungan hingga anak tersebut
lahir sampai dengan anak tersebut tumbuh didalam masyarakat adat akan
selalu diadakan
ritual khusus untuk mendoakan keselamatan anak tersebut.
Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dimana anak tersebut lahir dari perkawinan
antara seorang pria dengan seorang wanita, dimana nantinya wanita tersebut
yang akan melahirkan
dan
pria tersebut akan menjadi bapak dan menjadi suami dari
wanita tersebut. Itu merupakan keadaan yang normal.
Tetapi keadaan tersebut adakalanya tidak berjalan dengan normal. Di dalam masyarakat sekitar kita sering penyimpangan-penyimpangan didalam melakukan hubungan antara pria dengan wanita sehingga menimbulkan kejadian-kejadian yang tidak normal (abnormal). Kejadian – kejadian tersebut menimbulkan akibat, sebagai berikut :
1.
Anak Lahir Di luar
perkawinan
Hubungan anak yang lahir diluar perkawinan dengan wanita yang melahirkan maupun dengan pria yang bersangkutan dengan anak tersebut tiap daerah tidak
mempunyai pandangan yang sama. Di mentawai, timor, minahasa, dan ambon, misalnya wanita yang melahirkan anak itu dianggap sebagai ibu anak yang bersangkutan.
Jadi biasa seperti kejadian normal seorang wanita melahirkan
anak dalam perkawinan
yang sah .
Tetapi di beberapa daerah
lainnya ada pendapat yang wajib mencela keras si ibu yang tidak kawin itu beserta anaknya. Bahkan mereka semula lazimnya dibuang dari
persekutuannya (artinya tidak diakui lagi sebagai warga persekutuan), kadang-kadang malah dibunuh
atau seperti halnya di daerah
kerajaan dahulu mereka itu dipersembahkan kepada raja sebagai budak.
Yang menimbulkan tindakan-tindakan tersebut
dikarenakan
takut
melihat
adanya kelahiran yang tidak didahului
oleh perkawinan beserta upacara-upacara dan
selamatan-selamatan yang diperlukan. Untuk mencegah nasib si ibu dengan anaknya,
terdapat suatu tindakan adat dimana akan memaksa pria yang bersangkutan untuk kawin
dengan wanita yang telah melahirkan
anak itu, jadi si pria tersebut diwajibkan
melangsungkan perkawinan dengan wanita yang karena perbuatannya menjadi hamil dan
kemudian melahirkan anak pria tersebut. Di sumatera selatan tindakan tersebut dilakukan oleh rapat marga. Demikian pula di Bali, bahkan di daerah ini apabila yang dimaksud
tidak mau mengawini wanita yang
telah
melahirkan anak tersebut,
akan
di jatuhi hukuman.
Selain melakukan kawin paksa, adapula dengan mengawini wanita hamil tersebut dengan laki-laki lain yang bukan bapak biologis
dari anak tersebut. Perkawinan
dilakukan dengan maksud agar
anak tersebut dilahirkan pada perkawinan yang sah,
sehingga anak itu menjadi anak yang sah. Perkawinan tersebut banyak dijumpai di desa-desa di Jawa (disebut nikah tambelan) dan di tanah suku Bugis (disebut pattongkog sirik). Anak yang di lahirkan diluar perkawinan tersebut di jawa di sebut anak haram
jadah di Astra, lampung di sebut anak kappang. Anak-anak tersebut bisa menjadi sah dan masuk dalam persekutuan apabila dengan pembayaran ataupun sumbangan adat.[5]
Hubungan antara anak dengan bapak yang tidak/belum kawin dengan ibu yang
melahirkan, seperti diminahasa, hubungan anak dengan pria yang tak kawin dengan ibu
yang melahirkannya, adalah biasa seperti hubungan anak dengan bapak. Bila si ayah hendak menghilangkan
kesangsian mengenai hubungan tersebut, maka ia harus memberikan lilikur (hadiah) kepada ibu anaknya (dalam hal ini antara bapak dengan si
ibu
tidak tinggal satu rumah) Di daerah lain, anak lahir di
luar perkawinan, menurut hukum adat adalah anak yang tidak berbapak.
2. Anak lahir karena zina
Anak zinah adalah anak yang dilahir dari
suatu hubungan antara seorang wanita dengan pria yang bukan suaminya. Menurut hukum
adat suaminya akan tetap menjadi
bapak anak yang dilahirkan
istrinya itu, kecuali apabila sang suami menolak berdasarkan alasan-alasan yang dapat diteriama, dapat menolak menjadi bapak anak yang dilahirkan oleh istrinya karena telah melakukan zina.
3. Anak Lahir Setelah Perceraian
Anak yang dilahirkan
setelah bercerai, menurut adat mempunyai bapak bekas suami wanita yang melahirkan itu, apabila kelahirannya terjadi dalam batas-batas waktu mengandung.
Banyak pula di jumpai
dimana seorang laki-laki yang memelihara selir
disamping dia mempunyai istri yang sah. Anak yang dilahirkan dari selir-selir tersebut mempunyai kedudukan serta hak-hak (seperti; hak warisan) yang tidak sama dengan
anak-anak dari isteri yang sah.
Anak-anak
yang dilahirkan dari istri yang sah akan mendapatkan haknya lebih banyak.
Hubungan anak dengan orangtua (anak dengan bapak atau anak dengan ibu)
akan
menimbulkan akibat hukum sebagai berikut;
1.
larangan kawin antara anak
dengan bapak atau anak dengan ibu.
2.
saling berkewajiban memelihara dan memberi nafkah.
3.
Apabila si ayah ada, maka ia akan bertindak sebagai wali dari anak
perempuannya
apabila pada upacara akad nikah yang dilakukan secara Islam.
Menurut hukum adat yang menganut sistem kekerabatan Parental seperti di masyarakat jawa kewajiban orangtua kepada anaknya
sampai
dengan anak
tersebut
dewasa dan hidup mandiri. Pada sistem Parental tanggung jawab
tidak hanya dibebankan kepada bapak saja melainkan juga ibu ikut bertanggung kepada anak-anaknya.
C.
Hubungan Anak dengan Kerabatnya
Hukum adat mengatur tentang hubungan anak dengan kerabatnya dimana sesuai
dengan keadaan sosial dalam masyarakat bersangkutan yang berdasarkan dari sistem
keturunannya (sistem kekerabatannya).Hukum
adat di masyarakat Indonesia dimana persekutuan-persekutuan berlandaskan
pada tiga macam garis keturunan, yaitu garis keturunan bapak dan ibu,
garis keturunan bapak, dan garis keturunan ibu.
Dalam masyarakat
parental
hubungan anak
dengan kerabat
bapak maupun
ibunya adalah sama . Masyarakat dengan sistem kekerabatan
parental maka masalah- masalah tentang larangan kawin, warisan, kewajiban memelihara semuanya berintensitas
sama terhadap kedua belah pihak baik
kerabat ayah maupun kerabat ibu.
Menurut hukum adat
dimana susunan kekerabatan yang patrilinial dan atau
matrilineal
yang masih kuat, yang disebut orang tua bukan saja dalam garis lurus keatas tetapi juga dalam garis lurus kesamping, seperti para paman, saudara ayah yang lelaki
(Batak, Lampung) dan para paman, saudara ibu yang lelaki (Minangkabau, Semenda) terus ke atas, seperti kakek, buyut, canggah dan Poyang.
Di lingkungan masyarakat adat patrilineal anak tidak hanya hormat kepada ayah
maupun ibunya, tetapi anak juga
hormat kepada kerabat garis keturunan ayah. Jadi
hubungan
anak dengan kerabat ayahnya jauh lebih erat dan lebih penting dibandingkan dengan kerabat dari ibu. Dalam persekutuan patrilineal dimana kerabat ayah tingkat
derajat dan lebih tinggi dibandingkan
kerabat ibu, tetapi sama sekali tidak melupakan
kerabat dari Ibu.
Seperti di Tapanuli pada suku Batak dimana sistem kekerabatannya patrilineal
keluarga pihak Ibu khususnya bagi pemudanya, pertama-tama diakui sebagai
satu keluarga dari lingkungan mana
mereka
terutama
harus
mencari bakal istrinya.
Dimana persekutuan
keluarga ibunya merupakan
apa
yang disebut “hula-hula”,sedangkan
keluarga bapak merupakan “boru-nya”.
Jadi hubungan keluarga bapak dan keluarga ibu di daerah ini adalah keluarga yang bakal memberikan calon suami (boru) dan keluarga yang bakal memberikan istri (hula-hula).
Lainnya dalam masyarakat adat matrilineal hubungan antara anak dengan
keluarga dari pihak ibu adalah jauh lebih erat dan jauh dianggap lebih penting dari pada hubungan antara anak dengan keluarga pihak dari bapak. Tetapi hal tersebut juga tidak
melupakan kerabat dari
pihak bapak, seperti di Minangkabau keluarga pihak bapak yang
disebut “bako kaki” dalam upacara-upacara selalu hadir, bahkan kadang-kadang
pihak
bapak ini memberi bantuan dalam memelihara anak.
Di lingkungan
matrilineal misalnya di Minangkabau yang terutama wajib
dihormati
anak kemenakan selain ayah dan ibunya adalah semua mamak saudara lelaki ibu, terutama yang berkedudukan mamak kepala waris. Anak luar kawin
meskipun didalam
masyarakat
dianggap rendah tetapi dianggap
oleh persekutuan kekerabatannya , misalnya di Jawa tidak ada pembedaan anak
luar kawin dengan ayahnya, maka berlaku pula terhadap kekerabatanya. Sedangkan
ada daerah lain
seperti rejang yang
menganggak
anak luar kawin
itu
dianggap rendah sehingga anak luar kawin tidak mempunyai hubungan dengan kekerabatannya.
D.
Pemeliharaan Anak Yatim (-Piatu)
Dalam suatu keluarga apabila salah satu orangtua meninggal baik, bapak atau
ibu
sudah tidak ada lagi sedangkan
anak tersebut belum dewasa dalam susunan
masyarakat parental maka anak akan berada dalam pemeliharaan
dan
tetap dalam kekuasaan ibu apabila ayah yang meninggal atau ayah apabila ibu yang meninggal
dunia
sampai anaknya dewasa dan dapat hidup mandiri.
Apabila kedua orangtuanya meninggal dunia anak belum dewasa maka anak
akan dipelihara dan menjadi
tanggung jawab dari kerabat ayah atau ibu yang terdekat
dengan anak tersebut dan mempunyai kemampuan sampai dengan anak tersebut dewasa dan
hidup mandiri.
Anak yatim piatu dalam masyarakat
matrilineal jika yang meninggal dunia adalah si Ibu anak tersebut tetap menetap, dipelihara dan berada dalam kekuasaan dari kerabat Ibunya, ayah hanya akan memperhatikan kepentingan dari anak-anak tersebut.
Sedangkan si ayah yang meninggal dunia maka Ibu akan meneruskan kekuasaannya terhadap anak-anak yang belum dewasa, misalnya; di Minangkabau.
Jika ayah meninggal dunia dalam masyarakat patrilineal sedangkan si anak
belum dewasa maka ibu
yang akan mendidik anak tersebut,
tetapi Ibu beserta anak akan
menjadi tanggung jawab dan tetap tinggal di lingkungan kerabat mendiang suaminya ,
misalnya di Batak dan Bali. Tetapi apabila si Janda ingin keluar dari lingkungan kerabat suaminya tersebut (misalkan kawin dengan laki-laki lain) ia dapat bercerai
dengan kerabat suaminya, anak tetap dalam kekuasaan kerabat mendiang suaminya.
Jadi apabila dalam
keluarga yang
susunan kekerabatannya unilateral
orangtuanya meninggal dunia, jika
keluarga tersebut patrilineal maka kekuasaan orangtua terhadap anak-anak yang ditinggal
selanjutnya berada pada keluarga pihak bapak dan
berada pada kekuasaan kerabat ibu jika keluarga tersebut matrilineal.
E.
Adopsi Anak (Pengangkatan Anak)
Keturunan dalam masyarakat adat sangat diperlukan
karena untuk meneruskan kekerabatanya. Jadi apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai
anak, maka dapat dilakukan pengangkatan anak. Pengangkatan anak tidak hanya dilakukan apabila dalam
keluarga tersebut tidak mempunyai keturunan, tetapi keluarga tersebut tidak mempunyai anak laki-laki untuk meneruskan kekerabatannya seperti pada masyarakat Bali.[6]
Kedudukan anak angkat dapat di bedakan antara anak angkat sebagai penerus
keturunan (Lampung; tegak tegi), anak angkat karena perkawinan atau untuk penghormatan. Di lampung anak orang lain yang diangkat menjadi tegak tegi
biasanya
diambil dari
anak yang masih bertali kerabat dengan bapak angkatnya.
Di Bali adopsi anak karena perkawinan dilakukan apabila
tidak mempunyai anak laki-laki untuk dijadikan penerus keturunan , dimana anak angkat tersebut di kawinkan dengan anak wanita bapak angkatnya yang disebut nyentane dan
anak angkat itu menjadi sentane tarikan yang mempunyai hak dan kewajiban dengan
anak kandung. Dalam perkawinan tersebut tidak mengakibatkan
anak tersebut menjadi
pewaris dari bapak angkatnya, melainkan hanya mendapatkan kedudukan dalamkewargaan adat dalam kesatuan kekerabatan bapak angkatnya.
Anak angkat yang dilakukan sebagai penghormatan adalah pengangkatan
anak atau pengangkatan saudara (Lampung; adat mewari) tertentu sebagai tanda penghargaan, misalnya mengangkat pejabat pemerintahan
sebagai saudara angkat. Pengangkatan
tersebut tidak menimbulkan akibat hukum waris dari si ayah kepada anak angkatnya, kecuali ada perjanjian tambahan ketika upacara adat dihadapan pemuka
ada dilaksanakan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orangtua dan sebaliknya kedudukan
anak terhadap kerabat dan sebaliknya dan masalah perwalian anak. Jelasnya hukum
adat kekerabatan mengatur tentang pertalian sanak, berdasarkan pertalian darah (sekuturunan) pertalian perkawinan dan perkawinan adat
Dalam struktur masyarakat adat kita menganut adanya tiga (3) macam sistem kekerabatan, yaitu :
1.
Sistem Kekerabatan parental
2.
Sistem Kekerabatan patrilineal
3.
Sistem Kekerabatan Matriliniear
DAFTAR PUSTAKA
Bushar Muhammad. 2006. Pokok-pokok Hukum Adat. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Hilman Hadikusuma. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
Iman Sudiyat. 2007.
Hukum Adat sketsa asas. Yogyakarta:
Liberty
Van Dijk. 2006.
Pengantar Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju
No comments:
Post a Comment