MAKALAH ILMU PERUNDANG-UNDANG
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
Dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan tentu tidak semua kepentingan warga Negara dapat
terakomodir secara penuh, ini disebabkan oleh berbagai factor dan dinamika yang
ada dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.
Sejatinya setiap peraturan peraturan perundang-undangan
dapat mewakili dan menjadi sebuah aturan yang dapat menjadi sarana pembangunan
dan melindungi berbagai kepentingan-kepentingan yang didalamnya memuat berbagai
hal yang bersifat bonafide terhadap kelangsungan hidup berbagai elemen
masyarakat Indonesia.
Ketika Peraturan perundang-undangan itu dibuat, disahkan
lalu diberlakukan, bukan tidakmungkinada beberapa kepentingan-kepentingan
politik yang menyertainya.Bukan hanya itu saja, namun terkadang peraturan
perundang-undangan tersebut hanya menguntungkan kepada satu atau beebrapa
golongan saja, tidak untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya
Tidak sedikit di Indonesia sering terjadi
penyimpangan-penyimpangan peraturan yang menjadi hambatan dan factor yang
memperlambat urgensi laju Pembangunan.Maka untuk menjamin, agar segala
kepentingan-kepentingan suatu birokrasi tersebut dapat terkendali, harus ada
pengawasan yang efektif dan efisien. Ini bertujuan untuk menyeimbangkan segala
bentuk kehidupan demokrasi yang ada di Negara tersebut, pengawasan ini
hendaknya menjadi suatu upaya untuk melindungi warga Negara Indonesia dari
berbagai ketimpangan-ketimpangan yang dapat merusak tatanan kehidupan demokrasi
di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
1. Pengertian
Pengujian Peraturan Perundang-undangan.
2. Sejarah
judicial review di indonesia.
3. Pengujian
undang-undang oleh mahkamah konstitusi.
4. Pengujian
undang-undang oleh mahkamah agung.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian judical review
Judicial
review, menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam buku Hukum Acara
Pengujian Undang-Undang, adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme
lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma. Jimly Asshiddiqie menjelaskan
dalam bukunya bahwa dalam teori pengujian (toetsing), dibedakan antara
materiile toetsing dan formeele toetsing. Pembedaan tersebut biasanya dikaitkan
dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin (undang-undang dalam
arti materiil) dan wet in formele zin (undang-undang dalam arti formal). Kedua
bentuk pengujian tersebut oleh UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang dan materi muatan undang-undang.Pengujian
atas materi muatan undang-undang adalah pengujian materiil, sedangkan pengujian
atas pembentukannya adalah pengujian formil. Jadi judicial review mencakup
pengujian terhadap suatu norma hukum yang terdiri dari pengujian secara
materiil (uji materiil) maupun secara formil (uji formil). Dan hak uji materiil
adalah hak untuk mengajukan uji materiil terhadap norma hukum yang berlaku yang
dianggap melanggar hak-hak konstitusional warga negara.
Pengujian
peraturan perundang-undangan merupakan pengenalan dasar tentang judicial review
(uji materiil sebuah peraturan perundang-undangan), yang di dalam sistem hukum
di Indonesia, baru diadopsi setelah amandemen UUD 1945.[1][1] Judicial
Review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan
oleh lembaga peradilan. Dalam praktik, judicial review (pengujian)
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi (“MK”). Sedangkan, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah Agung (“MA”).[2][2] Pengujian
Undang-Undang merupakan suatu wewenang untuk menilai apakah suatu peraturan
perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan
suatu peraturan tertentu. Pengujian Undang-undang dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia merupakan salah satu bentuk kewenangan MK.
Kewenangan ini diatur dalam UUD dan UU Mahkamah Konstitusi. UUD memberikan hak
kepada masyarakat untuk dapat mengajukan pengujian undang-undang baik materiil
maupun formil atas suatu undang-undang kepada MK. Sedangkan, pengujian
peraturan perundang-undangan dibawah UU, seperti Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah kewenangan menguji baik secara
materiil maupun formil peraturan perundang-undangan di bawah UU berada pada
Mahkamah Agung. Pengujian Undang-undang secara materiil adalah pengujian materi
muatan dalam ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang terhadap
UUD.Pengujian ini untuk membuktikan apakah materi dalam suatu undang-undang
baik berupa ayat, pasal atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan
materi UUD.Undang-undang merupakan sebuah produk politik.Membentuk
undang-undang adalah sebuah pekerjaan yang sarat dengan kepentingan politik.
Amandemen UUD
1945 dan reformasi perundang-udangan di bidang peradilan telah memetakan secara
jelas pengaturan tentang judicial review ini. Sementara dalam UU No. 32 Tahun
2004 yang diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang pemerintah daerah yang
telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 juga menyebutkan kewenangan kewenangan
Departemen Dalam Negeri untuk melakukan pembatalan sebuah peraturan daerah yang
dianggap tidak berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Di parlemen, mekanisme peninjauan dan perubahan perundang-undangan juga
tersedia.Secara ringkas dapat dirumuskan, kewenangan judicial review di
Indonesia dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Sementara
kewenangan administratfi review melekat pada Departemen Dalam Negeri, sebagai
departemen yang secara administrative menanggungjawabi penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Sedangkan kewenangan legislatif review dimiliki Dewan
Perwakilan Rakyat. Dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman yang
telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 dan diubah dengan UU No. 48 Tahun 2009,
disebut kewenangan uji materiil peraturan perundang-undangan di bawah dan
terhadap Undang-undang.[3][3]
Dalam Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
yang diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 mengatur sebagai berikut :
“Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dapat dibatalkan oleh Pemerintah.”
Dalam UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 pasca perubahan, diadakan pembedaan yang tegas antara undang-undang
dengan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945 mengatur sebagai berikut : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar … “. Dalam Pasal 24A ayat (1) UUD
1945 mengatur sebagai berikut : “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang… “[4][4]
Dalam pasal 7
UU No. 12 Tahun 2011, jenis dan Hierarki peraturan peraturan perundang-undangan
yaitu :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dari
ketentuan tersebut diatas, dapat dipastikan mengenai apa saja bentuk-bentuk
peraturan perundang-undangan yang resmi dalam sistem hukum Indonesia berdsarkan
UUD 1945 dan bentuk-bentuk peraturan mana saja yang lebih tinggi dan man yang
lebih rendah tingkatannya satu sama lain. berkaitan dengan itu dapat pula
diketahui dengan pasti mana saja bentuk peraturan perundang-undangan yang
disebut sebagai peraturan di bawah undang-undang, mana saja yang setingkat dan
mana yang lebih tinggi dari pada undang-undang.
Judicial review, menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
dalam buku Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, adalah pengujian yang dilakukan
melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma. Jimly
Asshiddiqie menjelaskan dalam bukunya bahwa dalam teori pengujian (toetsing),
dibedakan antara materiile toetsing dan formeele toetsing. Pembedaan tersebut
biasanya dikaitkan dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin
(undang-undang dalam arti materiil) dan wet in formele zin (undang-undang dalam
arti formal). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang dan
materi muatan undang-undang.Pengujian atas materi muatan undang-undang adalah
pengujian materiil, sedangkan pengujian atas pembentukannya adalah pengujian
formil. Jadi judicial review mencakup pengujian terhadap suatu norma hukum yang
terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun secara formil (uji
formil). Dan hak uji materiil adalah hak untuk mengajukan uji materiil terhadap
norma hukum yang berlaku yang dianggap melanggar hak-hak konstitusional warga
negara.
Pengujian
peraturan perundang-undangan merupakan pengenalan dasar tentang judicial review
(uji materiil sebuah peraturan perundang-undangan), yang di dalam sistem hukum
di Indonesia, baru diadopsi setelah amandemen UUD 1945.[5][1] Judicial Review merupakan proses
pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan.
Dalam praktik, judicial review (pengujian) undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”). Sedangkan, pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah
Agung (“MA”).[6][2] Pengujian
Undang-Undang merupakan suatu wewenang untuk menilai apakah suatu peraturan
perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan
suatu peraturan tertentu. Pengujian Undang-undang dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia merupakan salah satu bentuk kewenangan MK.
Kewenangan ini diatur dalam UUD dan UU Mahkamah Konstitusi. UUD memberikan hak
kepada masyarakat untuk dapat mengajukan pengujian undang-undang baik materiil
maupun formil atas suatu undang-undang kepada MK. Sedangkan, pengujian
peraturan perundang-undangan dibawah UU, seperti Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah kewenangan menguji baik secara
materiil maupun formil peraturan perundang-undangan di bawah UU berada pada
Mahkamah Agung. Pengujian Undang-undang secara materiil adalah pengujian materi
muatan dalam ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang terhadap
UUD.Pengujian ini untuk membuktikan apakah materi dalam suatu undang-undang
baik berupa ayat, pasal atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan
materi UUD.Undang-undang merupakan sebuah produk politik.Membentuk
undang-undang adalah sebuah pekerjaan yang sarat dengan kepentingan politik.
Amandemen UUD
1945 dan reformasi perundang-udangan di bidang peradilan telah memetakan secara
jelas pengaturan tentang judicial review ini. Sementara dalam UU No. 32 Tahun
2004 yang diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang pemerintah daerah yang
telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 juga menyebutkan kewenangan kewenangan
Departemen Dalam Negeri untuk melakukan pembatalan sebuah peraturan daerah yang
dianggap tidak berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Di parlemen, mekanisme peninjauan dan perubahan perundang-undangan juga
tersedia.Secara ringkas dapat dirumuskan, kewenangan judicial review di
Indonesia dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Sementara
kewenangan administratfi review melekat pada Departemen Dalam Negeri, sebagai
departemen yang secara administrative menanggungjawabi penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Sedangkan kewenangan legislatif review dimiliki Dewan
Perwakilan Rakyat. Dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman yang
telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 dan diubah dengan UU No. 48 Tahun 2009,
disebut kewenangan uji materiil peraturan perundang-undangan di bawah dan
terhadap Undang-undang.[7][3]
Dalam Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
yang diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 mengatur sebagai berikut :
“Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dapat dibatalkan oleh Pemerintah.”
Dalam UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 pasca perubahan, diadakan pembedaan yang tegas antara undang-undang
dengan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945 mengatur sebagai berikut : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar … “. Dalam Pasal 24A ayat (1) UUD
1945 mengatur sebagai berikut : “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang… “[8][4]
Dalam pasal 7
UU No. 12 Tahun 2011, jenis dan Hierarki peraturan peraturan perundang-undangan
yaitu :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dari
ketentuan tersebut diatas, dapat dipastikan mengenai apa saja bentuk-bentuk
peraturan perundang-undangan yang resmi dalam sistem hukum Indonesia berdsarkan
UUD 1945 dan bentuk-bentuk peraturan mana saja yang lebih tinggi dan man yang
lebih rendah tingkatannya satu sama lain. berkaitan dengan itu dapat pula
diketahui dengan pasti mana saja bentuk peraturan perundang-undangan yang
disebut sebagai peraturan di bawah undang-undang, mana saja yang setingkat dan
mana yang lebih tinggi dari pada undang-undang.
B.
SEJARAH JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA
1) Historis
Ketatanegaraan
Dahulu banyak produk perundang-undangan yang bertentangan
dengan undang-undang dasar 1945.Undang-Undang Dasar 1945 sudah terreduksi dan
disalah artikan oleh pemerintah demi mempertahankan kekuasaan.Sehingga pasca
reformasi masyarakat menginginkan adanya suatu sistem pengujian agar
undang-undang diterapkan sesuai dengan UUD 1945.
2) Konsep
Supremasi Konstitusi
Indonesia menganut supremasi konstitusi pada masa orde
baru.Undang-undang dasar tidak boleh diganggu-gugat dan ditafsirkan.Sehingga
ketika terjadi amandemen terhadap UUD 1945 banyak usulan untuk membentuk sebuah
lembaga yang berfungsi sebagai penafsir dan pengawal konstitusi.
C.
PELAKSANAAN
JUDICIAL REVIEW DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN
1.
Dalam pelaksanaannya di Indonesia
judicial review dilakukan oleh dua lembaga yakni Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung.Dalam UUD 1945 diatur bahwa Mahkamah Konstitusi berhak menguji
undang-undang terhadap undang-undang dasar.Sedangkan Mahkamah Agung berhak
menguji produk perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang.
Dari ketentuan ini muncul permasalahan apakah jika Mahkamah Konstitusi
membatalkan atau menyatakan suatu undang-undang tidak berlaku lagi maka
bagaimanakah peraturan yang berada di bawah undang-undang tersebut. Apakah akan
batal secara otomatis atau tetap berlaku. Disinilah letak kekurangan sistem
pengujian.Seharusnya kita menganut sistem sentarlisasi.Dimana pengujian
seluruhnya dipegang oleh satu badan. Sehingga putusan yang dikeluarkan tidak
akan mengakibatkan pertentangan. Lingkup Judicial Review/Toetsingrecht di
Indonesia :
a) Peraturan
Perundang-undangan (regeling)
b) Menguji
undang-undang terhadap UUD dilakukan oleh MK (constitutional review)
c) Menguji
peraturan perundang-undang di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh
MA
2.
Pengujian keputusan (beschikking)
dilakukan oleh Peradilan Tata Usaha Negara
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie pengujian terhadap
undang-undang ada dua macam yakni :
a) Pengujian
materiil
Adalah pengujian atas bagian undang-undang yang
bersangkutan. Bagian tersebut dapat berupa bab, ayat, pasal, atau kata bahkan
kalimat dalam suatu pasal atau ayat dalam sebuah undang-undang. Pada dasarnya
pengujian materil berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu
peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut
kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma
yang berlaku umum. Misalnya, berdasarkan prinsip ‘lex specialis derogate lex
generalis’, maka suatu peraturan yang bersifat khusus dapat dinyatakan tetap
berlaku oleh hakim, meskipun isinya bertentangan dengan materi peraturan yang
bersifat umum.
b) Pengujian
formil
Adalah pengujian yang dilakukan terhadap form atau format
dan aspek-aspek formalisasi substansi norma yang diatur itu menjadi suatu
bentuk hukum tertentu menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sehingga substansi norma hukum yang dimaksud menjadi mengikat untuk umum.
Dengan kata lain Pengujian formil biasanya terkait dengan soal-soal prosedural
dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. Hakim
dapat membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan dengan tidak mengikuti aturan
resmi tentang pembentukan peraturan yang bersangkutan.Hakim juga dapat
menyatakan batal suatu peraturan yang tidak ditetapkan oleh lembaga yang memang
memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.[9][5]
Sementara
Sri Sumantri berpendapat bahwa Hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk
menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan
isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya,
serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende acht) berhak mengeluarkan
suatu peraturan tertentu.Jadi hak menguji materiil ini berkenaan dengan isi
dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi
derajatnya.
D.
LEMBAGA YANG BERWENANG DALAM
PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1.
Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.Mahkamah Konstitusi (MK) adalah salah satu lembaga Negara
yang lahir pascaamandemen UUD 1945, yang termasuk rumpun lembaga yang
menjalankan fungsi yudikatif.Berdasarkan UUD 1945 Pasal 24 C Mahkamah
Konstitusi mempunyai kewenangan salah satunya adalah menguji Undang-undang
terhadap Undang-undang Dasar 1945.Lebih lanjut kewenangan Mahkamah Konstitusi
diatur dalam UU. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan
bahwa UU yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah UU yang diundangkan setelah
perubahan UUD 1945, yaitu perubahan pertama UUD 1945 pada tanggal 19 Oktober
1999. Kewenangan memutus permhonan judicial review yang dimiliki
Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir,
keputusannya bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta tidak ada
upaya hukum lain. Pasal 10 UU No. 24 tahun 2003 menyebutkan:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a) Menguji
UU terhadap UUD dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
b) Memutus
sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara
Republik Indonesia tahun 1945
c) Memutus
pembubaran partai politik dan
d) Memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Pemohon dari pengujian UU adalah
pihak yang menganggap hak dan / atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakunya sebuah UU, yaitu:
a) Perorangan
WNI
b) Kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU
c) Badan
hukum public
d) Lembaga
Negara
Yang dimaksud hak konstitusional
menurut penjelasan pasal 51 UU No. 24 tahun 2003 adalah hak-hak yang diatur
dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, sedangkan yang dimaksud dengan
orang perorangan termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama.
Proses beracara di MK yang dimulai
dengan pengajuan permohonan hingga sidang putusan diatur dalam Undang-Undang
(UU) Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia (PMK) No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Tahapan pengajuan dan pemeriksaan
permohonan uji materil meliputi:
a)
Pengajuan Permohonan
Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia
dengan ditandatangani oleh pemohon atau kuasa pemohon.Pendaftaran ini dilakukan
pada panitera MK. Dalam pengajuan permohonan uji materil, permohonan harus
menguraikan secara jelas hak atau kewenangan konstitusionalnya yang
dilanggar.Dalam pengujian formil, Pemohon wajib menjelaskan bahwa pembentukan
undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD dan/atau materi muatan
dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan
dengan UUD. Pengajuan permohonan ini harus disertai dengan bukti-bukti yang
akan digunakan dalam persidangan. Pemohon dalam pengujian UU terhadap UUD 1945
adalah:
1)
Perorangan warga negara Indonesia
atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama.
2)
Kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU;
3)
Badan hukum publik atau badan hukum
privat, atau;
4)
Lembaga negara.
b)
Pemeriksaan kelengkapan permohonan
oleh panitera MK.
Panitera MK yang menerima pengajuan permohonan akan
melakukan pemeriksaan atas kelengkapan administrasi. Apabila dalam permohonan
tersebut syarat-syarat administrasi masih kurang, maka pemohon diberi
kesempatan untuk melengkapinya dalam waktu tujuh hari setelah pemberitahuan
mengenai ketidaklengkapan permohonan diterima oleh pemohon.Apabila dalam waktu
tersebut pemohon tidak memenuhi kelengkapan permohonannya, maka panitera
membuat akta yang menyatakan permohonan tidak diregistrasi dan diberitahukan
kepaa pemohon disertai pengembalian berkas permohonan.
c)
Pencatatan permohonan dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK).
Panitera melakukan pencatatan permohonan yang sudah lengkap
ke dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Dalam waktu paling lambat
tujuh hari sejak permohonan dicatat dalam BRPK, MK menyampaikan salinan
permohonan kepada DPR dan Presiden.Selain itu, MK juga memberitahu kepada MA
mengenai adanya permohonan pengujian undang-undang dimaksud dan meberitahukan agar
MA meberhentikan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
yang sedang diuji.
d)
Pembentukan Panel Hakim
Panitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi
kepada Ketua MK untuk menetapkan susunan panel hakim yang akan memeriksa
perkara pengujian undang-undang tersebut.
e)
Penjadwalan Sidang;
Dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan dicatat
dalam BRPK, MK menetapkan hari sidang pertama untuk sidang pemeriksaan
permohonan.Penetapan ini diberitahukan kepada para pihak dan diumumkan
masyarakat dengan menempelkan pada papan pengumuman MK yang khusus untuk itu
dan dalam situs www.mahkamah konstitusi.go.id, serta disampaikan kepada media
cetak dan elektronik.Pemanggilan sidang harus sudah diterima oleh pemohon atau
kuasanya dalam jangka waktu paling lambat tiga hari sebelum hari persidangan.
f)
Sidang Pemeriksaan Pendahuluan;
Sebelum memeriksa pokok perkara, MK melalui panel hakim
melakukan pemeriksaan pendahuluan permohonan untuk memeriksa kelengkapan dan
kejelasan materi permohonan, kedudukan hukum (legal standing) pemohon dan pokok
permohonan.Dalam pemeriksaan ini, hakim wajib memberikan nasehat kepada pemohon
atau kuasanya untuk melengkapi dan atau memperbaiki permohonan.Pemohon diberi
waktu selama 14 (empat belas) hari untuk melengkapi dan atau memperbaiki
permohonan tersebut.Nasihat yang diberikan kepada pemohon atau kuasanya
termasuk hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tertib persidangan. Dalam
hal hakim berpendapat permohonan telah lengkap dan jelas, dan/atau telah
diperbaiki, panitera menyampaikan salinan permohonan tersebut kepada Presiden,
DPR dan Mahkamah Agung.
g)
Sidang pemeriksaan pokok perkara dan
bukti-bukti;
Dalam sidang pleno dan terbuka untuk umum ini, majelis hakim
yang terdiri dari sembilan hakim MK memulai pemeriksaan terhadap permohonan dan
memeriksa bukti-bukti yang sudah diajukan.Untuk kepentingan persidangan,
majelis hakim wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi
keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada
lembaga negara yang terkait dengan permohonan.
h)
Putusan.
Putusan MK diambil secara musyawarah mufakat dalam forum
Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).Dalam sidang tersebut, setiap hakim wajib
menyampaikan pertimbangan atau pendapatnya secara tertulis.Apabila musyawarah
tidak menghasilkan putusan maka musyawarah ditunda sampai dengan musyawarah
hakim berikutnya.Selanjutnya apabila dalam musyawarah ini masih belum bisa
diambil putusan secara musyawarah mufakat maka putusan diambil berdasarkan
suara terbanyak.Ketua sidang berhak menentukan putusan apabila mekanisme suara
terbanyak juga tidak dapat mengambil putusan.
Putusan MK berkaitan dengan
pengajuan permohonan pengujian undang-undang dapat berupa:
1)
Dikabulkan;
Apabila materi muatan yang terdapat dalam undang-undang
melanggar UUD dan apabila pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan UUD;
2)
Ditolak;
Apabila dalam persidangan terbukti bahwa ternyata
undang-undang yang oleh pemohon diajukan uji materil baik pembentukan maupun
materinya tidak bertentangan dengan UUD;
3)
Tidak diterima;
Apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dalam
undang-undang tidak dipenuhi.
Apabila sebuah permohonan pengujian undang-undang dikabulkan, maka undang-undang, pasal, ayat atau bagian dari sebuah undang-undang yang diajukan tersebut menjadi tidak berlaku.MK merupakan sebuah lembaga peradilan yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta putusannya bersifat final.Tidak ada upaya hukum yang bisa ditempuh para pihak yang tidak puas dengan putusan MK.
Apabila sebuah permohonan pengujian undang-undang dikabulkan, maka undang-undang, pasal, ayat atau bagian dari sebuah undang-undang yang diajukan tersebut menjadi tidak berlaku.MK merupakan sebuah lembaga peradilan yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta putusannya bersifat final.Tidak ada upaya hukum yang bisa ditempuh para pihak yang tidak puas dengan putusan MK.
2.
Mahkamah Agung
Hak uji materil terhadap peraturan perundang-undangan
dibawah UU dapat dilakukan teradap materi muatan ayat, pasal dan/ atau bagian
dari peraturan perundang-undangan yang bertengan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebuh tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan
perundang-undangan. Ketentuan ini diatur dalam pasal 31 A UU No. 5 tahun
2004 Mahkamah Agung sebagai berikut:
1)
Permohonan pengujian peraturan
perundang-undangan dibawah UU terhadap UU diajukan langsung oleh pemohon atau
kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis dalam bahasa
Indonesia.
2)
Permohonan sekurang-kurangnya harus
memuat:
a) Nama
dan alamat pemohon
b) Uraian
mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan wajib menguraikan
dengan jelas bahwa:
c) Materi
muatan ayat, pasal, dan / atau bagian peraturan perundang-undangan dianggap
bertentangan dengan peraturan perundang-undagan yang lebuh tinggi. Dan / atau
d) Pembentukan
peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
e) Hal-hal
yang diminta untuk dihapus
3)
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat
bahwa pemohon atau permohonannya tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan
permohonan tidak diterima.
4)
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat
bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan
5)
Dalam hal permohonan dikabulkan
sebagaimana dimaksud pada ayat 4, amar putusan menyatakan dengan tegas materi
muatan ayat, pasal, dan / atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebuh tinggi.
6)
Dalam hal peraturan
perundang-undangan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebuh tinggi dan/ atau tidak bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan
menyatakan permohonan ditolak.
7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pengajuan peraturan perundang-undangan dibawah UU diatur oleh Mahkamah Agung.[10][6]
3.
Dewan Perwakilan Rakyat
Tidak ada mekanisme yang baku mengenai bagaimana, kapan dan
terhadap UU seperti apa DPR melakukan peninjauan dan revisi UU. Kewenangan
melakukan peninjauan terhadap UU melekat dan berpijak pada kewenangan yang
dimiliki DPR sebagai lembaga legislasi. Mengenai praktik selama ini, DPR
bersama pemerintah melakukan berbagai perubahan UU, jika menemukan
ketidaksesuaian UU dengan UU yang lain. Bisa juga karena factor ketertinggalan
sebuah UU dengan situasi terbaru yang muncul belakangan, atau juga karena
peristiwa hukum yang lahir belakangan tidak cukup terwadahi penyelesaiannya
dalam UU yang sudah ada.Sebagai contoh, di tahun 2006 DPR bersama pemerintah
melakukan peninjauan dan membahas perubahan UU tentang kesehatan.Juga UU
pemilu, partai politik, yang selalu hampir berubah-ubah pada setiap periode
pemilu.
4.
Departemen Dalam Negeri
Kewenangan Departemen Dalam Negeri untuk membatalkan
peraturan daerah jika tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi ini
merupakan konsekuensi dari keberdaan Departemen Dalam Negeri sebagai pihak yang
diberi mandat untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya penyelenggaraan
pemerintahan daerah.UU No. 32 Tahun 2004 bagian pendahuluan angka 7 (tujuh)
menyebutkan pembinaan atas penyelenggraan pemerintahan daerah adalah upaya yang
dilakukan oleh pemerintahan pusat dan atau Gubernur selaku wakil pemerintah di
daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah.
Dalam rangka pembinaan oleh pemerintah, menteri dan pimpinan lembaga pemerintah
non-departemen melakukan pembinaan sesuai dengan fungsi dan kewenangan
masing-masing yang dikoordinasikan oleh menteri dalam negeri untuk pembinaan
dan pengawasan provinsi serta oleh Gubernur untuk pembinaan dan pengawasan
Kabupaten atau kota. Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah
dan peraturan daerah, pemerintah malakukan dengan 2 cara :
1) Pengawasan
terhadap rancangan peraturan daerah (RAPERDA), yaitu terhadap rancangan peraturan
daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum
disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh MENDAGRI untuk
RAPERDA Provinsi, dan oleh Gubernur terhadap RAPERDA Kabupaten/Kota.
2) Pengawasan
terhadap semua peraturan daerah di luar yang termasuk dalam angka 1, yaitu
setiap peraturan daerahwajib disampaikan kepada MENDAGRI untuk provinsi dan
Gubernur untuk Kabupaten/Kota untuk memperoleh klarifikasi.
Mekanisme
pembatalan peraturan Daerah, disebutkan dalam pasal 145 UU No. 32 Tahun
2004
tentang pemerintahan daerah, sebagai berikut :
1)
Perda disampaikan kepada Pemerintah
paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.
2)
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
3)
Keputusan pembatalan Perda
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling
lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
4)
Paling lama 7 (tujuh) hari setelah
keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus
memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah
rnencabut Perda dimaksud.
5)
Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak
dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala
daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
6)
Apabila keberatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dikabulkan ;sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah
Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai
kekuatan hukum.
7)
Apabila Pemerintah tidak
mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Perda dimaksud dinyatakan berlaku.[11][7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Judicial review, menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
dalam buku Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, adalah pengujian yang dilakukan
melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma. Judicial
Review Adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan
terhadap kebenaran suatu norma. yakni menguji bertentangan-tidaknya suatu
undang-undang terhadap konstitusi, dan peraturan UU dengan UU yang lebih
tinggi. Sementara Sri Soemantri berpendapat bahwa Hak menguji materiil adalah
suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan
perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende acht)
berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.Jadi hak menguji materiil ini
berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan
yang lebih tinggi derajatnya.
Mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah
Konstitusi adalah sebagai berikut dimana Permohonan diajukan secara tertulis
dalam Bahasa Indonesia dengan ditandatangani oleh pemohon atau kuasa pemohon.
Pendaftaran ini dilakukan pada panitera MK, kemudian Pemeriksaan kelengkapan
permohonan oleh panitera MK;
Panitera MK yang menerima pengajuan permohonan akan melakukan pemeriksaan atas kelengkapan administrasi, ditindaklanjuti Pencatatan permohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK); Panitera melakukan pencatatan permohonan yang sudah lengkap ke dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK), lalu Panitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi kepada Ketua MK untuk menetapkan susunan panel hakim yang akan memeriksa perkara pengujian undang-undang tersebut dan dilanjutkan dengan penjadwalan persidangan, selanjutnya diadakan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dimana Sebelum memeriksa pokok perkara, MK melalui panel hakim melakukan pemeriksaan pendahuluan permohonan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan, kedudukan hukum (legal standing) pemohon dan pokok permohonan, selanjutnya diadakan Sidang pemeriksaan pokok perkara dan bukti-bukti Dalam sidang pleno dan terbuka untuk umum ini, majelis hakim yang terdiri dari sembilan hakim MK memulai pemeriksaan terhadap permohonan dan memeriksa bukti-bukti yang sudah diajukan, dan yang terakhir adalah Putusan, dimana putusan MK diambil secara musyawarah mufakat dalam forum Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Dalam sidang tersebut, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapatnya secara tertulis
Panitera MK yang menerima pengajuan permohonan akan melakukan pemeriksaan atas kelengkapan administrasi, ditindaklanjuti Pencatatan permohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK); Panitera melakukan pencatatan permohonan yang sudah lengkap ke dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK), lalu Panitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi kepada Ketua MK untuk menetapkan susunan panel hakim yang akan memeriksa perkara pengujian undang-undang tersebut dan dilanjutkan dengan penjadwalan persidangan, selanjutnya diadakan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dimana Sebelum memeriksa pokok perkara, MK melalui panel hakim melakukan pemeriksaan pendahuluan permohonan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan, kedudukan hukum (legal standing) pemohon dan pokok permohonan, selanjutnya diadakan Sidang pemeriksaan pokok perkara dan bukti-bukti Dalam sidang pleno dan terbuka untuk umum ini, majelis hakim yang terdiri dari sembilan hakim MK memulai pemeriksaan terhadap permohonan dan memeriksa bukti-bukti yang sudah diajukan, dan yang terakhir adalah Putusan, dimana putusan MK diambil secara musyawarah mufakat dalam forum Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Dalam sidang tersebut, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapatnya secara tertulis
Daftar Pustaka
Ismail Hasani & Prof. Dr. A. Gani Abdullah,
SH. Pengantar Ilmu Perundang-undangan, FSH UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2006.
Prof. Dr. Jimliy Asshiddiqqi, SH. Hukum
Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi Press, 2006.
Sri Soemantri M, Hak Uji Material di Indonesia, Penerbit
Alumni, Bandung: 1997
Artikel Judicial Review,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1105/praktik-legislative-review-dan-judicial-review-di-indonesia,
diakses tgl12-10-2016
[1][1] Ismail Hasani & Prof. Dr. A.
Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu Perundang-undangan, FSH UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2006. H.78.
[2][2] Artikel Judicial Review,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1105/praktik-legislative-review-dan-judicial-review-di-indonesia,
diakses tgl12-10-2016
[3][3] Ismail Hasani & Prof. Dr. A.
Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu Perundang-undangan, FSH UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2006.
[4][4] Prof. Dr. Jimliy Asshiddiqqi,
SH. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi Press,
2006. H.45
[5][1] Ismail Hasani & Prof. Dr. A.
Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu Perundang-undangan, FSH UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2006. H.78.
[6][2] Artikel Judicial Review,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1105/praktik-legislative-review-dan-judicial-review-di-indonesia,
diakses tgl12-10-2016
[7][3] Ismail Hasani & Prof. Dr. A.
Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu Perundang-undangan, FSH UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2006.
[8][4] Prof. Dr. Jimliy Asshiddiqqi,
SH. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi Press,
2006. H.45
[10][6] Prof. Dr. Jimliy Asshiddiqqi,
SH. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi Press,
2006. H.45
[11][7] Prof. Dr. Jimliy Asshiddiqqi,
SH. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi Press,
2006.
No comments:
Post a Comment