1

loading...

Wednesday, November 14, 2018

MAKALAH ILMU PERUNDANG-UNDANG




MAKALAH ILMU PERUNDANG-UNDANG 


BAB I
PENDAHULUAN
               A.          Latar Belakang.
        Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan tentu tidak semua kepentingan warga Negara dapat terakomodir secara penuh, ini disebabkan oleh berbagai factor dan dinamika yang ada dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.
Sejatinya setiap peraturan peraturan perundang-undangan dapat mewakili dan menjadi sebuah aturan yang dapat menjadi sarana pembangunan dan melindungi berbagai kepentingan-kepentingan yang didalamnya memuat berbagai hal yang bersifat bonafide terhadap kelangsungan hidup berbagai elemen masyarakat Indonesia.
Ketika Peraturan perundang-undangan itu dibuat, disahkan lalu diberlakukan, bukan tidakmungkinada beberapa kepentingan-kepentingan politik yang menyertainya.Bukan hanya itu saja, namun terkadang peraturan perundang-undangan tersebut hanya menguntungkan kepada satu atau beebrapa golongan saja, tidak untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya
Tidak sedikit di Indonesia sering terjadi penyimpangan-penyimpangan peraturan yang menjadi hambatan dan factor yang memperlambat urgensi laju Pembangunan.Maka untuk menjamin, agar segala kepentingan-kepentingan suatu birokrasi tersebut dapat terkendali, harus ada pengawasan yang efektif dan efisien. Ini bertujuan untuk menyeimbangkan segala bentuk kehidupan demokrasi yang ada di Negara tersebut, pengawasan ini hendaknya menjadi suatu upaya untuk melindungi warga Negara Indonesia dari berbagai ketimpangan-ketimpangan yang dapat merusak tatanan kehidupan demokrasi di Indonesia.
                    B.      Rumusan Masalah
1.      Pengertian Pengujian Peraturan Perundang-undangan.
2.      Sejarah judicial review di indonesia.
3.      Pengujian undang-undang oleh mahkamah konstitusi. 
4.      Pengujian undang-undang oleh mahkamah agung.
BAB II
PEMBAHASAN

               A.          Pengertian judical review
        Judicial review, menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam buku Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma. Jimly Asshiddiqie menjelaskan dalam bukunya bahwa dalam teori pengujian (toetsing), dibedakan antara materiile toetsing dan formeele toetsing. Pembedaan tersebut biasanya dikaitkan dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin (undang-undang dalam arti materiil) dan wet in formele zin (undang-undang dalam arti formal). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang dan materi muatan undang-undang.Pengujian atas materi muatan undang-undang adalah pengujian materiil, sedangkan pengujian atas pembentukannya adalah pengujian formil. Jadi judicial review mencakup pengujian terhadap suatu norma hukum yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun secara formil (uji formil). Dan hak uji materiil adalah hak untuk mengajukan uji materiil terhadap norma hukum yang berlaku yang dianggap melanggar hak-hak konstitusional warga negara.
        Pengujian peraturan perundang-undangan merupakan pengenalan dasar tentang judicial review (uji materiil sebuah peraturan perundang-undangan), yang di dalam sistem hukum di Indonesia, baru diadopsi setelah amandemen UUD 1945.[1][1] Judicial Review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Dalam praktik, judicial review (pengujian) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”). Sedangkan, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah Agung (“MA”).[2][2] Pengujian Undang-Undang merupakan suatu wewenang untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.  Pengujian Undang-undang dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia merupakan salah satu bentuk kewenangan MK. Kewenangan ini diatur dalam UUD dan UU Mahkamah Konstitusi. UUD memberikan hak kepada masyarakat untuk dapat mengajukan pengujian undang-undang baik materiil maupun formil atas suatu undang-undang kepada MK. Sedangkan, pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah kewenangan menguji baik secara materiil maupun formil peraturan perundang-undangan di bawah UU berada pada Mahkamah Agung. Pengujian Undang-undang secara materiil adalah pengujian materi muatan dalam ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang terhadap UUD.Pengujian ini untuk membuktikan apakah materi dalam suatu undang-undang baik berupa ayat, pasal atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan materi UUD.Undang-undang merupakan sebuah produk politik.Membentuk undang-undang adalah sebuah pekerjaan yang sarat dengan kepentingan politik.
        Amandemen UUD 1945 dan reformasi perundang-udangan di bidang peradilan telah memetakan secara jelas pengaturan tentang judicial review ini. Sementara dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang pemerintah daerah yang telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 juga menyebutkan kewenangan kewenangan Departemen Dalam Negeri untuk melakukan pembatalan sebuah peraturan daerah yang dianggap tidak berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Di parlemen, mekanisme peninjauan dan perubahan perundang-undangan juga tersedia.Secara ringkas dapat dirumuskan, kewenangan judicial review di Indonesia dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Sementara kewenangan administratfi review melekat pada Departemen Dalam Negeri, sebagai departemen yang secara administrative menanggungjawabi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sedangkan kewenangan legislatif review dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman yang telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 dan diubah dengan UU No. 48 Tahun 2009, disebut kewenangan uji materiil peraturan perundang-undangan di bawah dan terhadap Undang-undang.[3][3]
Dalam Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 mengatur sebagai berikut :
“Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.”

        Dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca perubahan, diadakan pembedaan yang tegas antara undang-undang dengan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 mengatur sebagai berikut : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar … “. Dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 mengatur sebagai berikut : “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang… “[4][4]
        Dalam pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011, jenis dan Hierarki peraturan peraturan perundang-undangan yaitu :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dari ketentuan tersebut diatas, dapat dipastikan mengenai apa saja bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang resmi dalam sistem hukum Indonesia berdsarkan UUD 1945 dan bentuk-bentuk peraturan mana saja yang lebih tinggi dan man yang lebih rendah tingkatannya satu sama lain. berkaitan dengan itu dapat pula diketahui dengan pasti mana saja bentuk peraturan perundang-undangan yang disebut sebagai peraturan di bawah undang-undang, mana saja yang setingkat dan mana yang lebih tinggi dari pada undang-undang.
Judicial review, menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam buku Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma. Jimly Asshiddiqie menjelaskan dalam bukunya bahwa dalam teori pengujian (toetsing), dibedakan antara materiile toetsing dan formeele toetsing. Pembedaan tersebut biasanya dikaitkan dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin (undang-undang dalam arti materiil) dan wet in formele zin (undang-undang dalam arti formal). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang dan materi muatan undang-undang.Pengujian atas materi muatan undang-undang adalah pengujian materiil, sedangkan pengujian atas pembentukannya adalah pengujian formil. Jadi judicial review mencakup pengujian terhadap suatu norma hukum yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun secara formil (uji formil). Dan hak uji materiil adalah hak untuk mengajukan uji materiil terhadap norma hukum yang berlaku yang dianggap melanggar hak-hak konstitusional warga negara.
        Pengujian peraturan perundang-undangan merupakan pengenalan dasar tentang judicial review (uji materiil sebuah peraturan perundang-undangan), yang di dalam sistem hukum di Indonesia, baru diadopsi setelah amandemen UUD 1945.[5][1] Judicial Review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Dalam praktik, judicial review (pengujian) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”). Sedangkan, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah Agung (“MA”).[6][2] Pengujian Undang-Undang merupakan suatu wewenang untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.  Pengujian Undang-undang dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia merupakan salah satu bentuk kewenangan MK. Kewenangan ini diatur dalam UUD dan UU Mahkamah Konstitusi. UUD memberikan hak kepada masyarakat untuk dapat mengajukan pengujian undang-undang baik materiil maupun formil atas suatu undang-undang kepada MK. Sedangkan, pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah kewenangan menguji baik secara materiil maupun formil peraturan perundang-undangan di bawah UU berada pada Mahkamah Agung. Pengujian Undang-undang secara materiil adalah pengujian materi muatan dalam ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang terhadap UUD.Pengujian ini untuk membuktikan apakah materi dalam suatu undang-undang baik berupa ayat, pasal atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan materi UUD.Undang-undang merupakan sebuah produk politik.Membentuk undang-undang adalah sebuah pekerjaan yang sarat dengan kepentingan politik.
        Amandemen UUD 1945 dan reformasi perundang-udangan di bidang peradilan telah memetakan secara jelas pengaturan tentang judicial review ini. Sementara dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang pemerintah daerah yang telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 juga menyebutkan kewenangan kewenangan Departemen Dalam Negeri untuk melakukan pembatalan sebuah peraturan daerah yang dianggap tidak berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Di parlemen, mekanisme peninjauan dan perubahan perundang-undangan juga tersedia.Secara ringkas dapat dirumuskan, kewenangan judicial review di Indonesia dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Sementara kewenangan administratfi review melekat pada Departemen Dalam Negeri, sebagai departemen yang secara administrative menanggungjawabi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sedangkan kewenangan legislatif review dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman yang telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 dan diubah dengan UU No. 48 Tahun 2009, disebut kewenangan uji materiil peraturan perundang-undangan di bawah dan terhadap Undang-undang.[7][3]
Dalam Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 mengatur sebagai berikut :
“Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.”

        Dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca perubahan, diadakan pembedaan yang tegas antara undang-undang dengan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 mengatur sebagai berikut : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar … “. Dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 mengatur sebagai berikut : “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang… “[8][4]
        Dalam pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011, jenis dan Hierarki peraturan peraturan perundang-undangan yaitu :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dari ketentuan tersebut diatas, dapat dipastikan mengenai apa saja bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang resmi dalam sistem hukum Indonesia berdsarkan UUD 1945 dan bentuk-bentuk peraturan mana saja yang lebih tinggi dan man yang lebih rendah tingkatannya satu sama lain. berkaitan dengan itu dapat pula diketahui dengan pasti mana saja bentuk peraturan perundang-undangan yang disebut sebagai peraturan di bawah undang-undang, mana saja yang setingkat dan mana yang lebih tinggi dari pada undang-undang.

                B.          SEJARAH JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA
1)      Historis Ketatanegaraan
Dahulu banyak produk perundang-undangan yang bertentangan dengan undang-undang dasar 1945.Undang-Undang Dasar 1945 sudah terreduksi dan disalah artikan oleh pemerintah demi mempertahankan kekuasaan.Sehingga pasca reformasi masyarakat menginginkan adanya suatu sistem pengujian agar undang-undang diterapkan sesuai dengan UUD 1945.
2)      Konsep Supremasi Konstitusi
Indonesia menganut supremasi konstitusi pada masa orde baru.Undang-undang dasar tidak boleh diganggu-gugat dan ditafsirkan.Sehingga ketika terjadi amandemen terhadap UUD 1945 banyak usulan untuk membentuk sebuah lembaga yang berfungsi sebagai penafsir dan pengawal konstitusi.

          C.               PELAKSANAAN JUDICIAL REVIEW DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN
1.         Dalam pelaksanaannya di Indonesia judicial review dilakukan oleh dua lembaga yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.Dalam UUD 1945 diatur bahwa Mahkamah Konstitusi berhak menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar.Sedangkan Mahkamah Agung berhak menguji produk perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang.  Dari ketentuan ini muncul permasalahan apakah jika Mahkamah Konstitusi membatalkan atau menyatakan suatu undang-undang tidak berlaku lagi maka bagaimanakah peraturan yang berada di bawah undang-undang tersebut. Apakah akan batal secara otomatis atau tetap berlaku. Disinilah letak kekurangan sistem pengujian.Seharusnya kita menganut sistem sentarlisasi.Dimana pengujian seluruhnya dipegang oleh satu badan. Sehingga putusan yang dikeluarkan tidak akan mengakibatkan pertentangan. Lingkup Judicial Review/Toetsingrecht  di Indonesia :
a)      Peraturan Perundang-undangan (regeling)
b)      Menguji undang-undang terhadap UUD dilakukan oleh MK (constitutional review)
c)      Menguji peraturan perundang-undang di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh MA
2.         Pengujian keputusan (beschikking) dilakukan oleh Peradilan Tata Usaha Negara
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie pengujian terhadap undang-undang ada dua macam yakni :
a)      Pengujian materiil
Adalah pengujian atas bagian undang-undang yang bersangkutan. Bagian tersebut dapat berupa bab, ayat, pasal, atau kata bahkan kalimat dalam suatu pasal atau ayat dalam sebuah undang-undang. Pada dasarnya pengujian materil berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum. Misalnya, berdasarkan prinsip ‘lex specialis derogate lex generalis’, maka suatu peraturan yang bersifat khusus dapat dinyatakan tetap berlaku oleh hakim, meskipun isinya bertentangan dengan materi peraturan yang bersifat umum.
b)      Pengujian formil
Adalah pengujian yang dilakukan terhadap form atau format dan aspek-aspek formalisasi substansi norma yang diatur itu menjadi suatu bentuk hukum tertentu menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga substansi norma hukum yang dimaksud menjadi mengikat untuk umum. Dengan kata lain Pengujian formil biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. Hakim dapat membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan dengan tidak mengikuti aturan resmi tentang pembentukan peraturan yang bersangkutan.Hakim juga dapat menyatakan batal suatu peraturan yang tidak ditetapkan oleh lembaga yang memang memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.[9][5]
Sementara Sri Sumantri berpendapat bahwa Hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende acht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.Jadi hak menguji materiil ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.

                    D.           LEMBAGA YANG BERWENANG DALAM PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1.         Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Mahkamah Konstitusi (MK) adalah salah satu lembaga Negara yang lahir pascaamandemen UUD 1945, yang termasuk rumpun lembaga yang menjalankan fungsi yudikatif.Berdasarkan UUD 1945 Pasal 24 C Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan salah satunya adalah menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945.Lebih lanjut kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam UU. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa UU yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945, yaitu perubahan pertama UUD 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999.  Kewenangan memutus permhonan judicial review yang dimiliki Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir, keputusannya bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta tidak ada upaya hukum lain.  Pasal 10 UU No. 24 tahun 2003 menyebutkan:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a)      Menguji UU terhadap UUD dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
b)      Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945
c)      Memutus pembubaran partai politik dan
d)     Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Pemohon dari pengujian UU adalah pihak yang menganggap hak dan / atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya sebuah UU, yaitu:
a)      Perorangan WNI
b)      Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU
c)      Badan hukum public
d)     Lembaga Negara
Yang dimaksud hak konstitusional menurut penjelasan pasal 51 UU No. 24 tahun 2003 adalah hak-hak yang diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, sedangkan yang dimaksud dengan orang perorangan termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama.
Proses beracara di MK yang dimulai dengan pengajuan permohonan hingga sidang putusan diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (PMK) No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Tahapan pengajuan dan pemeriksaan permohonan uji materil meliputi:
a)         Pengajuan Permohonan
Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan ditandatangani oleh pemohon atau kuasa pemohon.Pendaftaran ini dilakukan pada panitera MK. Dalam pengajuan permohonan uji materil, permohonan harus menguraikan secara jelas hak atau kewenangan konstitusionalnya yang dilanggar.Dalam pengujian formil, Pemohon wajib menjelaskan bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD dan/atau materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD. Pengajuan permohonan ini harus disertai dengan bukti-bukti yang akan digunakan dalam persidangan. Pemohon dalam pengujian UU terhadap UUD 1945 adalah:
1)            Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama.
2)            Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU;
3)            Badan hukum publik atau badan hukum privat, atau;
4)            Lembaga negara.
b)        Pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh panitera MK.
Panitera MK yang menerima pengajuan permohonan akan melakukan pemeriksaan atas kelengkapan administrasi. Apabila dalam permohonan tersebut syarat-syarat administrasi masih kurang, maka pemohon diberi kesempatan untuk melengkapinya dalam waktu tujuh hari setelah pemberitahuan mengenai ketidaklengkapan permohonan diterima oleh pemohon.Apabila dalam waktu tersebut pemohon tidak memenuhi kelengkapan permohonannya, maka panitera membuat akta yang menyatakan permohonan tidak diregistrasi dan diberitahukan kepaa pemohon disertai pengembalian berkas permohonan.
c)         Pencatatan permohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK).
Panitera melakukan pencatatan permohonan yang sudah lengkap ke dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Dalam waktu paling lambat tujuh hari sejak permohonan dicatat dalam BRPK, MK menyampaikan salinan permohonan kepada DPR dan Presiden.Selain itu, MK juga memberitahu kepada MA mengenai adanya permohonan pengujian undang-undang dimaksud dan meberitahukan agar MA meberhentikan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang diuji.
d)        Pembentukan Panel Hakim
Panitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi kepada Ketua MK untuk menetapkan susunan panel hakim yang akan memeriksa perkara pengujian undang-undang tersebut.
e)         Penjadwalan Sidang;
Dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan dicatat dalam BRPK, MK menetapkan hari sidang pertama untuk sidang pemeriksaan permohonan.Penetapan ini diberitahukan kepada para pihak dan diumumkan masyarakat dengan menempelkan pada papan pengumuman MK yang khusus untuk itu dan dalam situs www.mahkamah konstitusi.go.id, serta disampaikan kepada media cetak dan elektronik.Pemanggilan sidang harus sudah diterima oleh pemohon atau kuasanya dalam jangka waktu paling lambat tiga hari sebelum hari persidangan.
f)         Sidang Pemeriksaan Pendahuluan;
Sebelum memeriksa pokok perkara, MK melalui panel hakim melakukan pemeriksaan pendahuluan permohonan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan, kedudukan hukum (legal standing) pemohon dan pokok permohonan.Dalam pemeriksaan ini, hakim wajib memberikan nasehat kepada pemohon atau kuasanya untuk melengkapi dan atau memperbaiki permohonan.Pemohon diberi waktu selama 14 (empat belas) hari untuk melengkapi dan atau memperbaiki permohonan tersebut.Nasihat yang diberikan kepada pemohon atau kuasanya termasuk hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tertib persidangan. Dalam hal hakim berpendapat permohonan telah lengkap dan jelas, dan/atau telah diperbaiki, panitera menyampaikan salinan permohonan tersebut kepada Presiden, DPR dan Mahkamah Agung.
g)        Sidang pemeriksaan pokok perkara dan bukti-bukti;
Dalam sidang pleno dan terbuka untuk umum ini, majelis hakim yang terdiri dari sembilan hakim MK memulai pemeriksaan terhadap permohonan dan memeriksa bukti-bukti yang sudah diajukan.Untuk kepentingan persidangan, majelis hakim wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan.
h)        Putusan.
Putusan MK diambil secara musyawarah mufakat dalam forum Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).Dalam sidang tersebut, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapatnya secara tertulis.Apabila musyawarah tidak menghasilkan putusan maka musyawarah ditunda sampai dengan musyawarah hakim berikutnya.Selanjutnya apabila dalam musyawarah ini masih belum bisa diambil putusan secara musyawarah mufakat maka putusan diambil berdasarkan suara terbanyak.Ketua sidang berhak menentukan putusan apabila mekanisme suara terbanyak juga tidak dapat mengambil putusan.

Putusan MK berkaitan dengan pengajuan permohonan pengujian undang-undang dapat berupa:
1)        Dikabulkan;
Apabila materi muatan yang terdapat dalam undang-undang melanggar UUD dan apabila pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD;
2)        Ditolak;
Apabila dalam persidangan terbukti bahwa ternyata undang-undang yang oleh pemohon diajukan uji materil baik pembentukan maupun materinya tidak bertentangan dengan UUD;
3)        Tidak diterima;
Apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dalam undang-undang tidak dipenuhi.
Apabila sebuah permohonan pengujian undang-undang dikabulkan, maka undang-undang, pasal, ayat atau bagian dari sebuah undang-undang yang diajukan tersebut menjadi tidak berlaku.MK merupakan sebuah lembaga peradilan yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta putusannya bersifat final.Tidak ada upaya hukum yang bisa ditempuh para pihak yang tidak puas dengan putusan MK.

2.         Mahkamah Agung
Hak uji materil terhadap peraturan perundang-undangan dibawah UU dapat dilakukan teradap materi muatan ayat, pasal dan/ atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang bertengan dengan peraturan perundang-undangan yang lebuh tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan.  Ketentuan ini diatur dalam pasal 31 A UU No. 5 tahun 2004 Mahkamah Agung sebagai berikut:
1)             Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
2)             Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
a)      Nama dan alamat pemohon
b)      Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar  permohonan dan wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
c)      Materi muatan ayat, pasal, dan / atau bagian peraturan perundang-undangan dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undagan yang lebuh tinggi. Dan / atau
d)     Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
e)      Hal-hal yang diminta untuk dihapus
3)             Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima.
4)             Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan
5)             Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat 4, amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan / atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebuh tinggi.
6)             Dalam hal peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebuh tinggi dan/ atau tidak bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
7)             Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan peraturan perundang-undangan dibawah UU diatur oleh Mahkamah Agung.[10][6]
3.         Dewan Perwakilan Rakyat
Tidak ada mekanisme yang baku mengenai bagaimana, kapan dan terhadap UU seperti apa DPR melakukan peninjauan dan revisi UU. Kewenangan melakukan peninjauan terhadap UU melekat dan berpijak pada kewenangan yang dimiliki DPR sebagai lembaga legislasi. Mengenai praktik selama ini, DPR bersama pemerintah melakukan berbagai perubahan UU, jika menemukan ketidaksesuaian UU dengan UU yang lain. Bisa juga karena factor ketertinggalan sebuah UU dengan situasi terbaru yang muncul belakangan, atau juga karena peristiwa hukum yang lahir belakangan tidak cukup terwadahi penyelesaiannya dalam UU yang sudah ada.Sebagai contoh, di tahun 2006 DPR bersama pemerintah melakukan peninjauan dan membahas perubahan UU tentang kesehatan.Juga UU pemilu, partai politik, yang selalu hampir berubah-ubah pada setiap periode pemilu.

4.         Departemen Dalam Negeri
Kewenangan Departemen Dalam Negeri untuk membatalkan peraturan daerah jika tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi ini merupakan konsekuensi dari keberdaan Departemen Dalam Negeri sebagai pihak yang diberi mandat untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah.UU No. 32 Tahun 2004 bagian pendahuluan angka 7 (tujuh) menyebutkan pembinaan atas penyelenggraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintahan pusat dan atau Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam rangka pembinaan oleh pemerintah, menteri dan pimpinan lembaga pemerintah non-departemen melakukan pembinaan sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh menteri dalam negeri untuk pembinaan dan pengawasan provinsi serta oleh Gubernur untuk pembinaan dan pengawasan Kabupaten atau kota. Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah, pemerintah malakukan dengan 2 cara :
1)      Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (RAPERDA), yaitu terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh MENDAGRI untuk RAPERDA Provinsi, dan oleh Gubernur terhadap RAPERDA Kabupaten/Kota.
2)      Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar yang termasuk dalam angka 1, yaitu setiap peraturan daerahwajib disampaikan kepada MENDAGRI untuk provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/Kota untuk memperoleh klarifikasi.
Mekanisme pembatalan peraturan Daerah, disebutkan dalam pasal 145 UU No. 32 Tahun
2004 tentang pemerintahan daerah, sebagai berikut :
1)        Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.
2)        Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
3)        Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
4)        Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah rnencabut Perda dimaksud.
5)        Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
6)        Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan ;sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
7)        Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda dimaksud dinyatakan berlaku.[11][7]
BAB III
PENUTUP
          A.               Kesimpulan
Judicial review, menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam buku Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma.  Judicial Review Adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma. yakni menguji bertentangan-tidaknya suatu undang-undang terhadap konstitusi, dan peraturan UU dengan UU yang lebih tinggi. Sementara Sri Soemantri berpendapat bahwa Hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende acht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.Jadi hak menguji materiil ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.
Mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut dimana Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan ditandatangani oleh pemohon atau kuasa pemohon. Pendaftaran ini dilakukan pada panitera MK, kemudian Pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh panitera MK;
Panitera MK yang menerima pengajuan permohonan akan melakukan pemeriksaan atas kelengkapan administrasi, ditindaklanjuti Pencatatan permohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK); Panitera melakukan pencatatan permohonan yang sudah lengkap ke dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK), lalu Panitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi kepada Ketua MK untuk menetapkan susunan panel hakim yang akan memeriksa perkara pengujian undang-undang tersebut dan dilanjutkan dengan penjadwalan persidangan, selanjutnya diadakan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dimana Sebelum memeriksa pokok perkara, MK melalui panel hakim melakukan pemeriksaan pendahuluan permohonan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan, kedudukan hukum (legal standing) pemohon dan pokok permohonan, selanjutnya diadakan Sidang pemeriksaan pokok perkara dan bukti-bukti Dalam sidang pleno dan terbuka untuk umum ini, majelis hakim yang terdiri dari sembilan hakim MK memulai pemeriksaan terhadap permohonan dan memeriksa bukti-bukti yang sudah diajukan, dan yang terakhir adalah Putusan, dimana putusan MK diambil secara musyawarah mufakat dalam forum Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Dalam sidang tersebut, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapatnya secara tertulis
Daftar Pustaka

Ismail Hasani & Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu Perundang-undangan, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.

Prof. Dr. Jimliy Asshiddiqqi, SH. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi Press, 2006.
Sri Soemantri M, Hak Uji Material di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung: 1997
Artikel Judicial Review, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1105/praktik-legislative-review-dan-judicial-review-di-indonesia, diakses tgl12-10-2016







[1][1] Ismail Hasani & Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu Perundang-undangan, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006. H.78.
[2][2] Artikel Judicial Review, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1105/praktik-legislative-review-dan-judicial-review-di-indonesia, diakses tgl12-10-2016
[3][3] Ismail Hasani & Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu Perundang-undangan, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.
[4][4] Prof. Dr. Jimliy Asshiddiqqi, SH. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi Press, 2006. H.45
[5][1] Ismail Hasani & Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu Perundang-undangan, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006. H.78.
[6][2] Artikel Judicial Review, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1105/praktik-legislative-review-dan-judicial-review-di-indonesia, diakses tgl12-10-2016
[7][3] Ismail Hasani & Prof. Dr. A. Gani Abdullah, SH. Pengantar Ilmu Perundang-undangan, FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.
[8][4] Prof. Dr. Jimliy Asshiddiqqi, SH. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi Press, 2006. H.45
[9][5] Sri Soemantri M, Hak Uji Material di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung: 1997
[10][6] Prof. Dr. Jimliy Asshiddiqqi, SH. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi Press, 2006. H.45
[11][7] Prof. Dr. Jimliy Asshiddiqqi, SH. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi Press, 2006.

No comments:

Post a Comment