Makalah Pancasila Pancasial sebagai sistem etika
BAB 1
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pancasila adalah ideologi yang dianut oleh negara kesatuan republik Indonesia. Dan salah satu fungsinya adalah sebagai sistem etika dimana
etika itu sendiri merupakan gabungan dari tiga unsur,
Yaitu nilai,
norma, dan moral. Ketigaunsur tersebut
saling berhubungan satu sama lain. Pada hakikatnya, pancasila bukan
merupakan suatu pedoman yang langsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika
yang merupakan sumber norma. Namun, pada kenyataannya sekarang sudah
berubah. Tingkah laku masyarakat
Indonesia dalam prakteknya sekarang tidak lagi mewujudkan bagaimana bentuk pancasila dan tidak lagi memperlihatkan nilai etika
yang baik itu sendiri. ! akhir-akhir ini nilai pancasila sudah memudar,
maksudnya hanya sedikit bangsa Indonesia yang menggunakan nilai pacasila
bagi kehidupannya. Bahakan untuk menggunakan
nilai pancasila, masih banyak bangsa Indonesia lupa atau tertukar dengan sila-sila pancasila. hal ini
dikarenakan kurangnya kita menyebutkan
sila-sila pancasia. Dulu sewaktu kita duduk di bangku sekolah,setiap senin kita
pasti selalu menjalankan upacara
bendera, kita serentak hormat kepada bendera merah putih, menyanyikan lagu
Indonesia raya dan lagu wajib, bahkan
kita serentak menyebutkan pancasila. Tapi sekarang hanya sebagian kecil yang masih menganggap Pancasila itu
merupakan pedoman dan sesuatuyang sangat penting bagi pribadi bangsa
Indonesia itu sendiri.Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia
tidak lepas dari peran penting Pancasila sebagai sebuah ideologi bangsa. sebuah
pedoman luhur yang dicetuskan oleh para pendiri bangsa. Pandangan 'isioner
bagaimana sebuah ideologi tersebut bisa mengawal dan mengarahkan cita-cita
bangsa. bukan hanya satu atau dua tahun ke depan, namun Pancasila diharapkan
sebagai pedoman abadi bangsa ini. semenjak dicetuska Pancasila telah mengalami beberapa masa di antaranya sebelum kemerdekaan, sesudah
kemerdekaan, agresi belanda,
1.pembebasan
Irian barat, masa arde sama, kasus /01&PKI, masa arde baruh ingga reformasi
sekarang ini. Keberadaan Pancasila
merupakan oase bangsa ini untuk tetapmempertahankan keutuhan Negara
Kesatuan Indonesia raya. semangat Pancasila yang menyakini bahwa keutuhan
berbangsa dan bernegara merupakan harga mati yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Namun, Pancasila juga memiliki keluasanmakna
yang dalam jika dikaji dengan mendalam dan komprehensif. Berkenaan Pancasila
sebagai sistem 3 tika, kita menyadari bahwa nilai-nilai yang terkandungdalam Pancasila
merupakan satu kesatuan antara untaian sila dengan sila lainnya.setiap sila
mengandung makna dan nilai tersendiri. masalah
etika merupakan masalah yang makin mendapat perhatian didunia, bahwa
cita-cita Pancasila untuk membangun Indonesia dari berbagai aspek.selain
sebagai sebuah ideologi. Pancasila juga memperhatikan nilai, norma, etika,moral bangsa Indonesia. masyarakat Indonesia
kehilangan jati diri. Litra bangsaini sebagai bangsa yang besar dan ramah
semakin memudar. sudaya ketimuran berubah dengan cepat menjadi
kebaratan. hal ini memang tidak berlaku hanya diIndonesia. banyak bangsa-bangsa timur yang budayanya tergesar oleh
budaya barat. Pernyataan di atas bukan berarti antipati kepada
budaya barat. Karena budaya barat juga memiliki kebaikan-kebaikan
tersendiri.
Namun citra
kesantunandan keramahan budaya timur yang khas itu sendiri yang patut
dipertahankan. tidak lah cukup didefinisikan atau
digeneralisir dari masalahkeramahan dan kesantunan saja. masih
banyak lagi permasalahan yang berkaitandengan etika. 5akupan etika sangat lah
luas.
Pancasila
sebagai sistem etika, makanilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila diaplikasikan ke dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara sebagai wujud etika sesungguhnya. Dengan demikiandapat dipahami,
bahwa Pancasila memiliki peranan penting bagi bangsa ini dalam pembangunan
bangsa dan pembangunan jiwa bangsa ini.
2.Rumusan
Masalah
Pengertian
etika, Nilai, Norma Dan mora pada Pancasila sebagai sistem etika Nilai, Norma, Dan moral Dalam Kehidupan Pancasila sebagai Pandangan hidup bangsa
Indonesi dalam upaya menjaga NilaiNilai luhur Pancasila
3.Tujuan Masalah
Tujuan dari pembuatan makalah ini
adalah sebagai berikut untuk memenuhi tugas
pancasila semester 1 yang diberikan oleh dosen.untuk memberikan informasi
kepada pembaca mengenai pancasila sebagai suatu sistem nilai.untuk memberikan pandangan bagaimana seharusnya
mengaplikasikan pancasila di kehidupan kita sehari-hari, terutama
dari segi etika.untuk mengetahui pengertian
nilai, norma dan moral dalam konteks pancasila sebagai etika
politik Dapat mengerti hubungan antara
nilai, norma dan moral dalam konteks pancasila sebagai etika
politik. Dapat memahami nilai-nilai yang
terkandung dalam pancasila sebagai sumber etika politik
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Etika
Pengertian
Etika
Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi
menjadi beberapa cabang menurut lingkungan bahasannya masing-masing.
Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok yaitu filsafat
teoritis dan filsafat praktis. Kelompok pertama mempertanyakan segala sesuatu
yang ada, sedangkan kelompok kedua membahas bagaimana manusia bersikap terhadap
apa yang ada tersebut. Jadi filsafat teoritis mempertanyakan dan berusaha
mencari jawabanya tentang segala sesuatu, misalnya hakikat manusia, alam,
hakikat realitas sebagai suatu keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa
yang kita ketahui, tentang yang transenden dan lain sebagainya. Dalam hal ini
filsafat teoritispun juga mempunyai maksud-maksud dan berkaitan erat dengan
hal-hal yang bersifat praktis, karena pemahaman yang dicari menggerakkan
kehidupannya. Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua
kelompok yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran
kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika
adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti
suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang
bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai jaran moral (Suseno, 1987). Etika
umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia,
sedangkan etika khusus membahasa prinsip-prinsi itu dalam hubungannya dengan
berbagai aspek kehidupan manusia (Suseni, 1987). Etika khusu dibagi menjadi
etika individual yang membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan
etika sosial yang membahas kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup
masyarakat, yang merupkan suatu bagian terbesar dari etika khusus.
B.Pengertian,
Nilai, Norma, dan Moral
1.Pengertian Nilai
Nilai atau “ value (bhs. Inggris) termasuk pengertian
filsafat. Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu
cabang filsafat yaitu Filsafat Nilai (Axiology, Theory of Value). Filsafat
sering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai di dalam
bidang filsafat dipakai untuk menunjukkan kata
benda yang artinya “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness), dan kata
kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau
melakukan penilaian. (Frankena, 229). Di dalam dictionary of Sociology an
Related Sciences dikemukan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang
ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang
menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. (The believed capacity of
any object to satisfy a humn desire). Jadi nilai itu pada hakekatnya adalah
sifat atau kulitas yang melekat pada suatu objek. Bukan objek itu sendiri.
Sesuatu itu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada
sesuatu itu. Misalnya : bunga itu indah, perbuatan itu susila, Indah, susila
adalah sifat atau kualitas yang melekat pada bunga dan perbuatan. Dengan demikian maka nilai itu sebenarnya adalah
suaut kenyataan yang “tersembunyi” di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Ada
nilai itu karena adanya kenyataan-kenyataan lainnya. adanya nilai karena adanya
kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai (wertrager).
Menilai berarti menimbang, suatu
kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, kemudian
untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu merupakan keputusan nilai
yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik
atau tidak baik, indah atau tidak indah. Keputusan nilai yang dilakukan oleh
subyek penilaian tentu berhubungan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia
sebagai subyek penilai, yaitu unsur-unsur jasmani, akal, rasa, karsa (kehendak)
dan kepercayaan. Sesuatu itu dikatakan bernilai apabila itu berharga,
berguna, benar, indah, baik dan lain sebagainya. Di dalam nilai itu sendiri
terkandung cita-cita, harapan-harapan dambaan-dambaan dan keharusan. Maka apabila
kita berbicara tentang nilai, sebenarnya kita berbicara tentang hal yang ideal;
tentang hal yang merupakan cita-cita, harapan dambaan dan keharusan. Berbicara
tentang nilai berarti berbicarra tentang das Sollen, bukan das Sein; kita masuk
ke bidang makna normatif, bukan kognotif; kita masuk ke dunia ideal dan
bukan dunia real. Meskipun demikian, diantara keduanya, antara das Sollen dan
das Sein, antara yang makna normatif dan kognotif, antar dunia ideal dan dunia
real itu saling berhubungan atau saling berkait secara erat. Artinya bahwa das
Sollen itu harus menjelma menjadi das Sein, yang ideal harus menjadi real, yang
bermakna normatif harus direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari yang
merupakan fakta. (Kodhi, 1989 : 21).
2.Hierarkhi Nilai
Max Scheler mengemukakan bahwa
nilai-nilai yang ada, tidak sama luhurnya dan sama tingginya. Nilai-nilai itu
secara senyatanya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah dibandingkan
dengan nilai-nilai lainnya. Menurut tinggi rendahnya, nilai dapat dikelompokkan
dalam empat tingkatan sebagai berikut :
A. Nilai-nilai
kenikmatan : dalam tingkat ini terdapat deretan nilai-nilai yang mengenakkan
dan tidak mengenakkan (die Wertreihe des Angenehmen und Unangehmen), yang
menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.
B. Nilai-nilai
kehidupan : dalam tingkat ini terdapatlah nilai-nilai yang penting bagi
kehidupan (Werte des vitalen Fuhlens) misalnya kesehatan, kesegaran jasmani,
kesejahteraan umum.
C. Nilai-nilai
kejiwaan : dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistige werte)
yang sama tidak tergantungdari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai
semacam ini ialah keindahan, kebenaran, dan pengetahunan murni yang dicapai
dalam filsafat.
D. .Nilai-nilai
kerohanian : dalam tingkat ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci dan
tidak suci (wermodalitat des Heiligen und Unheiligen).
Nilai-nilai semacam ini terutama terdiri dari
nilai-nilai pribadi. Walter G. Everet menggolong-golongkan nilai-nilai
manusiawi ke dalam delapan kelompok yaitu :
A. Nilai-nilai
ekonomis (ditujukkan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat
dibeli).
B. .Nilai-nilai
kejasmanian (membantu pada kesehatan, efesiensi dan keindahan dari kehidupan
badan).
C. Nilai-nilai
hiburan (nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan
pada pengayaan kehidupan).
D. Nilai-nilai
sosial (berasal mula dari berbagai bentuk perserikatan manusia).
E. .Nilai-nilai
watak (keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan).
F. Nilai-nilai
estetis (nilai-nilai keindahan dalma alam dan karya seni).
G. Nilai-nilai
intelektual (nilai-nilai pengetahuan dan pengejaran kebenaran).
H. Nilai-nilai
keagamaan.
Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu :
A. .Nilai
material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia,
atau kebutuhan material ragawi manusia.
B. .Nilai
vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan
kegiatan atau aktivitas.
C. Nilai
kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai
kerohanian ini dapat dibedakan atas empat macam :
1) Nilai
kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.
2) Nilai
keindahan atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur perasaan (aesthetis,
gevoel, rasa) manusia.
3) Nilai
kebaikan atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak (will, Wollen,
karsa) manusia.
4) Nilai
relegius, yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius
ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.
Masih banyak lagi cara pengelompokan
nilai, misalnya seperti yang dilakukan N. Rescher, yaitu pembagian nilai berdasarkan
pembawa nilai (trager), hakekat keuntungan yang diperoleh, dan hubungan antara
pendukung nilai dan keuntungan yang diperoleh. Begitu pula dengan
pengelompokkan nilai menjadi nilai intrinsic dan ekstinsik : nilai
objektif dan nilai subyektif; nilai positif dan nilai negatif (disvalue); dan
sebagainya. Dari uraian mengenai macam-macam nilai di atas, dapat dikemukakan
pula bahwa yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang berwujud material
saja, akan tetapi juga sesuatu yang berwujud non-material atau imaterial.
Bahkan sesuatu yang immaterial itu
dapat mengandung nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manusia. Nilai-nilai
material relatif lebih mudah diukur, yaitu dengan menggunakan alat indra maupun
alat pengukur seperti berat, panjang, luas dan sebagainya. Sedangkan
nilai kerohanian/spiritual lebih sulit mengukurnya. Dalam menilai hal-hal
kerohanian/spiritual, yang menjadi alat ukurnya adalah hati nurani manusia yang
dibantu oleh alat indra, cipta, rasa, karsa dan keyakinan manusia. Notonagoro
berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila tergolong nilai-nilai kerohanian,
tetapi nilai-nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai
vital. Dengan demikian nilai-nilai Pancasila yang tergolongan nilai kerohanian
itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai
material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau nilai estetis,
nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian
yangsistematik-hirarkhis, yang dimulai dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai “dasar” sampai dengan sila Keadilan
Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai “tujuan” (Darmodiharjo, 1978).
C.Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Nilai Praksis
Dalam kaitannya dengan derivasi atau
penjabarannya maka nilai dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu, nilai
dasar, nilai instrumental dan nilai praksis.
A.Nilai Dasar
Walapun nilai
memiliki sifat abstrak artinya tidak dapat diamati melalui indra manusia, namun
dalam realisasinya nilai berkaitan dengan tingkah laku atau segala aspek
kehidupan manusia yang bersifat nyata (praksis). Namun demikian setiap nilai
memiliki nilai dasar (dalam bahasa ilmiahnya disebut dasar ontologis),
yaitu merupakan hakikat, essensi, intisari atau makna yang terdalam dari nilai-nilai
tersebut. Nilai dasar ini bersifat universal karena menyangkut hakikat
kenyataan objektif segala sesuatu misalnya hakikat Tuhan, manusia atau segala
sesuatu lainnya. Jikalai nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat Tuhan maka
nilai-nilai tersebut bersifat mutlak karena hakikat Tuhan adalah kausa prima
(sebab pertama), sehingga segala sesuatu diciptakan (berasal) dari Tuhan.
Demikian juga jikalau nilai dasar itu berkaitan dengna hakikat manusia maka
nilai-nilai tersebut harus bersumberkan pada hakikat manusia, sehingga jikalau
nilai-nilai dasar kemanusiaan itu dijabarkan dalam norma hukum maka
diistilahkan sebagai hak dasar (hak asasi). Demikian juga hakikat nilai dasar
itu dapat juga berlandaskan pada hakikat sesuatu benda, kuantitas, kualitas, aksi,
relasi, ruang maupun waktu. Demikianlah sehingga nilai dasar dapat juga disebut
sebagai sumber norma yang pada gilirannya dijabarkan dan direalisasikan dalam
suatu kehidupan yang bersifat praksis. Konsekunsinya walaupun dalam aspek
praksis dapat berbeda-beda namun secara sistematis tidak dapat bertentangan
dengan nilai dasar yang merupakan sumber penjabaran norma serta realisasi
praksis tersebut.
B.Nilai Instrumental
Untuk dapat
direalisasikan dalam suatu kehidupan praksis maka nulai dasar tersebut diatas
harus memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas. Nilai
instrumental inilah yang merupakan suatu pedoman yang dapat diukur dan dapat
diarahkan. Bilamana nilai instrumental tersebut berkaitan dengan tingkah laku
manusia dalma kehidupan sehari-hari maka hal itu akan merupakan suatu norma
moral, namun jikalau nilai instrumental itu berkaitan dengan suatu organisasi
ataupun negara maka nilai-nilai instrumental itu merupakan suatu arahan,
kebijaksanaan atau strategi yang bersumber pada nilai dasar. Sehingga dapat
juga dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi
dari nilai dasar.
C.Nilai Praksis
Nilai praksis pada hakikatnya merupakan
penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam suatu kehidupan yang
nyata. Sehingga nilai praksis ini merupakan perwujudan dari nilai dasar dan
nilai instrumental. Realisasi praksis dari nilai dasar dan nilai instrumental
itu dapat juga dimungkinkan berbeda-beda wujudnya, namun demikian tidak
bisa menyimpang atau bahkan tidak dapat bertentangan. Artinya oleh karena
nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis itu merupakan suatu
sistem perwujudannya tidak boleh menyimpang dari sistem tersebut.
D.Hubungan Nilai, Norma, dan Moral
Nilai
berbeda dengan fakta di mana fakta dapat diobservasi melalui suatu verfikasi
empiris, sedangkan nilai bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikirkan
dimengerti dan dihayati oleh manusia. Nilai berkaitan juga dengan harapan,
cita-cita, keinginan dan segala sesuatu pertimbangan internal (batiniah)
manusia. Nilai dengan demikian tidak bersifat kongkrit yaitu tidak dapat
ditangkap dengn indra manusia, dan nilai dapat bersifat subjektif maupun
objektif. Bersifat subjektif manakala nilai tersebut diberikan oleh subjek
(dalam hal ini manusia sebagai pendukung pokok nilai) dan bersifat
objektif jikalau nilai tersebut telah melekat pada sesuatu terlepas dari
penilaian manusia. Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun
sikap dan tingkah laku manusia, maka perlu lebih dikongkritkan lagi serta
diformulasi menjadi lebih objektif sehingga memudahkan manusia untuk
menjabarkannya dalam tingkah laku secara kongkrit. Maka wujud yang lebuih
kongkrit dari nilai tersebut adalah merupakan suatu norma. Terdapat berbagai
macam norma, dan dari berbagai macam norma tersebut norma hukumlah yang paling
kuat berlakuannya, karena dapat dipaksakan oleh suatu kekuasaan eksternal
misalnya penguasa atau penegak hukum. Selanjutnya nilai dan norma
senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung
integritas dan martabat pribadi manusia. Derajad kepribadingan seseorang amat
ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam
kepribadian seseirang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam
pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan
tingkah laku manusia. Hubungan antara moral dan etika memang sangat erat sekali
dan kadangkala kedua hal tersebut disamakan begitu saja. Namun sebenarnya kedua
hal tersebut memiliki perbedaan. Moral yaitu merupakan suatu ajaran-ajaran
ataupun wejangan-wejangan, patokan-patokan, kumpulan peraturan, baik lisan
maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar
menjadi manusia yang baik. Adapun di pihak lain etika adalah suatu cabang
filsafat yaitu suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan- pandangan moral tersebut (Krammer, 1988 dalam Darmodihardjo,
1996). Atau juga sebagaimana dikemukakan oleh De Vos (1987), bahwa etika dpat
diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kesusulaan. Adapun yang dimaksud
dengan kesusulaan adalah identik dengan pengertian moral, sehingga etika pada
hakikatnya adalah sebagai ilmu pengetahuan yang membahas tentang prinsip-prinsip
moralitas. Etika tidak berwenag menentukan apa yang boleh atau tidak boleh
dilakukan oleh seseorang. Wewenang ini dipandang berada di tangan pihak-pihak
yang memberikan ajaran moral. Hal inilah yang menjadi kekurangan dari etika
jikalau dibandingkan dengan ajaran moral. Sekalipun demikian, dalma etika
seseorang dapat mengerti mengapa, dan atas dasar apa manusia harus hidup
menurut norma-norma tertentu. Hal yang berakhir inilah yang merupakan kelebihan
etika jikalau dibandingkan dengan moral. Hal ini dapat dianalogikan bahwa
ajaran moral sebagai buku petunjuk tentang bagaimana kita memperlakukan sebuah
mobil dengan baik, sedangan etika memberikan pengertian pada kita tentang
struktur dan teknologi mobil itu sendiri. Demikianlah hubungan yang sistematik
antara nilai, norma, dan moral yang pada giliriannya ketiga aspek tersebut
terwujud dalam suatu tingkah laku praksis dalam kehidupan manusia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pancasila
memegang peranan dalam perwujudan sebuah sistem etika yang baik di negeri
ini.setiap saat dan di mana saja kita berada, kita diwajibkan untuk beretika
disetiap tingkah laku kita. Seperti tercantum pada
Pancasila sila kedua yaitu
“Kemanusiaan yang adil dan beradab” sehingga tidak dapat
dipungkiri bahwa kehadiran
Pancasila dalam membangun etika bangsa ini sangat berandil besar. Dengan menjiwai butir – butir Pancasila masyarakat dapat
bersikap sesuai etika yang baik yang berlaku dalam masyarakat , bangsa dan
negara.
DAFTAR
PUSTAKA
PROF. DR. KAELAN, M.S. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Penerbit
PARADIGMA Yogyakarta.Susilo
Dwi dan sudjatmoko.2006. pendidikan kewarganegaran.jakarta : Penerbit
Erlangga.
wnatraputra
S.5din. 2002. Pendidikan
Pancasila. Jakarta
Penerbit UniVersitas Terbuka.
http://sucirahmawat13,
blogspot.co.id/2014/09/'.makalah-etika-pancasila.html http://sinarmentari4u.blogspot.co.id/2011/07/makalah-pancasila sebagai-sistem-etika.htm#!/tcmbck
No comments:
Post a Comment