MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BAB 1 IMAN KEPADA HARI AKHIR
A. Latar
Belakang Masalah
Rukun
iman yang kelima adalah beriman kepada hari akhir. Iman kepadahari akhir adalah
percaya akan adanya hari akhir. Hari akhir adalah hari berakhirnya
kehidupan dunia. Pada saat itu baik dan buruknya
perilaku seseorangakan dicatat bergantung bagaimana kadar keimanan
seseorang dalam hatinya.Iman kepada hari akhir rmerupakan sesuatu yang wajib
kita imani sebagaiumat muslim, walaupun kita tidak mengetahui kapan akan
datangnya hari akhirtetapi di al-Qur’an sudah dituliskan di wajibkan untuk
semua kaum musliminuntuk mengimaninya, mengimani hari akhir adalah salah satu
cara agar kita biasselalu meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT, karena
dari kita sudah banyak yang terlena dengan kehidupan duniawi, yang hanya mengedepankan
kehidupan duniawi dan membelakangkan dunia akherat. Inilah yangmelatarbelakangi
dibuatnya makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
masalah di atas, masalah yang dirumuskandalam makalah ini adalah:
1.
Apa
Pengertian Iman Kepada Hari Akhir?
2.
Bagaimana
Tanda-tanda kiamat sudah dekat?
3.
Bagaimana
gambaran hari kiamat menurut Al Qur’an?
4.
Apa
peristiwa yang terjadi pada hari akhir?
5.
Apa
hikmah iman kepada hari akhir?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Dapat
memahami apa itu hari akhir
2.
Dapat
mengetahui apa nama-nama lain dari hari akhir
3.
Dapat
mengetahui tanda-tanda kiamat sudah dekat
4.
Dapat
mengetahui peristiwa apasaja yang terjadi pada hari akhir
5.
Dapat
memahami tentang iman kepada hari akhir
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Iman kepada Hari Akhir
Pengertian
iman dari bahasa Arab yang artinya percaya. Sedangkanmenurut istilah,
pengertian iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkandengan lisan, dan
diamalkan dengan tindakan (perbuatan).Iman kepada hari akhir atau hari kiamat
adalah meyakini adanyakehidupan yang kekal abadi setelah hancurnya alam semesta
ini dan manusia akanmendapat balasan yang seadil-adilnya tentang amal yang
telah dilakukan sewaktudi dunia.Tentang kapan datangnya hari kiamat, tidak ada
yang dapatmengetahuinya termasuk
Nabi dan Rasul kecuali hanyalah Allah
swt. Hari akhirsama dengan hari kiamat.
Para Ulama’ membagi kiamat
menjadi dua macam, yaitu kiamat sugra dankiamat kubra.
1.
Kiamat
Sugra
Kiamat
sugra adalah kiamat kecil, yaitu rusaknya sebagian makhluk,misalnya kematian
dan terjadinya bencana alam seperti gempa bumi, gunungmeletus, banjir dan
sebagainya.
2.
Kiamat
Kubra
Kiamat
kubra adalah kiamat besar Adalah hancurnya alam semestadengan segala isinya
secara serempak, atau berakhirnya seluruh kehidupanmakhluk alam ini secara
serempak. Kapan terjadinya hari kiamat hanya Allahyang tahu, Tidak ada satu
makhlukpun yang dapat mengetahui secara pastikapan kiamat terjadi (QS. Thoha :
15).Setelah kiamat kubra terjadi maka malaikat Israfil akan meniupsangkakala
untuk yang kedua kalinya. Hal ini pertanda Allah akanmembangkitkan dan
menghidupkan kembali manusia yang paling akhir yanghidup du muka bumi akan
bangkitnya dari alam kubur. Peristiwa ini dinamakan Yaumul ba’ast.
B. Tanda-tanda
hari akhir
Tanda-tanda
hari kiamat diterangkan oleh Rasulullah saw dalam hadisyang diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Syibah, Muslim dan Turmudzi. Tanda-tandahari kiamat adalah sebagai
berikut :
1.
Tanda-tanda
kiamat kecil, antara lain :
a.
Hamba
sahaya perempuan melahirkan Tuannya.
b.
Ilmu
agama dianggap tidak penting
c.
Perzinaan,
Minuman keras, Fitnah, Pembuhan meraja rela dimana mana.
d.
Jumlah
wanita lebih banyak daripada laki-laki dengan perbandingan 50:1
e.
Banyak
terjadi gempa bumi / Musibah / Bencana Alam
f.
Lahirnya
Dajjal (tukang dusta) yang mengaku dirinya utusan Allah swt
2.
Tanda-tanda
kiamat besar , anatara lain :
a.
Matahari
terbit dari barat
b.
Munculnya
binatang ajaib yang dapat berbicara
c.
Rusaknya
Ka’bah dengan sendirinya
d.
Seluruh
manusia menjadi kafir dan lenyapnya Al-Qur’an
e.
Berkuasanya
Bangsa Ya’juj dan Ma’juj di muka bumi.
C. Gambaran
hari kiamat menurut Al-Qur’an
1.
Datangnya
hari kiamat ditandai dengan tiupan sang sakala. ( Q.S.An- Naml :87
2.
Bumi
digoncangkan sekuat kuatnya hingga mengeluar kan isi yangdikandungnya (QS.
Al- Zalzalah : 1 – 5)
3.
Gunung-gunung kemudian pecah berterbangan menjadi pasir (QS. Al-Haqqah : 14)
4.
Matahari
di gulung, bintang-bintang berjatuhan dan laut meluap. (QS. Al-Infithor : 1–3)
5.
Manusia
tidak dapat menolong manusia lainnya, bahkan seorang ayahterhadap anaknya
sendiri. (QS. Lukman : 33)
D. Peristiwa
yang berhubungan dengan Hari Akhir
1. Yaumul Barzah (Alam Kubur),
Masa atau waktu antara sesudah meninggalnya seseorang sampai menunggu datangnya
hari kiamat.
BAB II IMAN KEPADA QADA DAN QADAR
A . Latar belakang
Hidup ini memang penuh dengan warna. Dan ingatlah bahwa hakikat
warna-warni kehidupan yang sedang kita jalani di dunia ini telah Allah tuliskan
(tetapkan) dalam kitab “Lauhul Mahfudz” yang terjaga rahasianya dan tidak
satupun makhluk Allah yang mengetahui isinya. Semua kejadian yang telah terjadi
adalah kehendak dan kuasa Allah SWT. Begitu pula dengan bencana-bencana yang
akhir-akhir ini sering menimpa bangsa kita. Gempa, tsunami, tanah longsor,
banjir, angin ribut dan bencana-bancana lain yang telah melanda bangsa kita
adalah atas kehendak, hak, dan kuasa Allah SWT.Dengan bekal keyakinan terhadap
takdir yang telah ditentukan oleh Allah SWT, seorang mukmin tidak pernah
mengenal kata frustrasi dalam kehidupannya, dan tidak berbangga diri dengan
apa-apa yang telah diberikan Allah SWT.
Kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka telah ditetapkan
sesuai ketentuan-ketentuan Ilahiah yang tidak pernah diketahui oleh manusia.
Dengan tidak adanya pengetahuan tentang ketetapan dan ketentuan Allah ini, maka
kita harus berlomba-lomba menjadi hamba yang saleh-muslih, dan berusaha keras
untuk menggapai cita-cita tertinggi yang diinginkan setiap muslim yaitu melihat
Rabbul’alamin dan menjadi penghuni Surga.
Keimanan seorang mukmin yang benar harus mencakup enam rukun. Yang terakhir
adalah beriman terhadap takdir Allah, baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk. Salah memahami keimanan terhadap takdir
dapat berakibat fatal, menyebabkan batalnya keimanan seseorang. Terdapat beberapa
permasalahan yang harus dipahami oleh setiap muslim terkait masalah takdir ini.
B
. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan iman qada’ dan qadar?
2.
Takdir dibagi menjadi berapa macam?
3.
Apa fungsi beriman kepada qada’dan qadar Allah SWT?
4.
Bagaimana ciri – ciri orang yang beriman kepada qada’ dan
qadar?
5.
Bagaimana hikmah bagi orang yang beriman kepada qada’ dan
qadar?
C. Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
1.
Untuk memahami iman kepada qada’ dan qadar
2.
Untuk memahami dan mengetahui macam-macam takdir
3.
Untuk memahami fungsi iman kepada qada’ dan qadar
4.
Untuk mengetahui ciri-ciri orang yang beriman kepada qada’
dan qadar
5.
Untuk mengetahui hikmah bagi orang yang beriman kepada qada’
dan qadar
PEMBAHASAN
IMAN KEPADA QADA’ dan QADAR
1.
PENGERTIAN BERIMAN KEPADA QADA’ DAN QADAR
Iman adalah keyakinan yang diyakini didalam hati, diucapkan dengan lisan, dan
dilaksanakan dengan amal perbuatan. Kalau kita melihat qada’ menurut bahasa
artinya Ketetapan. Qada’artinya ketetapan Allah swt kepada setiap mahluk-Nya
yang bersifat Azali. Azali Artinya ketetapan itu sudah ada sebelumnya keberadaan
atau kelahiran mahluk. Sedangkan Qadar artinya menurut bahasa berarti ukuran.
Qadar artinya terjadi penciptaan sesuai dengan ukuran atau timbangan yang telah
ditentuan sebelumnya. Qada’ dan Qadar dalam keseharian sering kita sebut dengan
takdir. Jadi, Iman kepa qada’ dan qadar adalah percaya sepenuh hati bahwa
sesuatu yang terjadi, sedang terjadi, akan terjadi di alam raya ini, semuangnya
telah ditentukan Allah SWT sejak jaman azali. Iman kepada qada’ dan qadar
termasuk rukun iman yang keenam. Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Iman
adalah kamu percaya kepada allah, para malaikat, kitab-kitab, para rasul-Nya,
hari akhir, dan kamu percaya kepada takdir baik maupun buruk.” (HR. Muslim)
Dan sabda Rasullullah SAW yang artinya : “Malaikat akan
mendatangi nuthfah yang telah menetap dalam rahim selama empat puluh atau empat
puluh lima malam seraya berkata; ‘Ya Tuhanku, apakah nantinya ia ini sengsara
atau bahagia? ‘ Maka ditetapkanlah (salah satu dari) keduanya. Kemudian
malaikat itu bertanya lagi; ‘Ya Tuhanku, apakah nanti ia ini laki-laki ataukah
perempuan? ‘ Maka ditetapkanlah antara salah satu dari keduanya, ditetapkan
pula amalnya, umurnya, ajalnya, dan rezekinya. Setelah itu catatan ketetapan
itu dilipat tanpa ditambah ataupun dikurangi lagi.” (HR. Muslim)
Allah berfirman :
Artinya : “Tiadalah suatu
bencana menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu, melainkan dahulu sudah
tersurat dalam kitab (Lauhul Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya
yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadiid:22)
2.
MACAM-MACAM TAKDIR
Takdir
terbagi menjadi dua bagian,yakni:
a.
Takdir Mu’allaq
Takdir mu’allaq adalah takdir Allah SWT atas makhluknya yang memungkinkan dapat
berubah karena usaha dan ikhtiar manusia. Allah berfirman :
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib
suatu kaum sehingga mereka itu mengubah nasibnya sendiri.” (Ar-Radu : 11)
Contoh
:
1)
Miskin bisa jadi kaya, lantaran bekerja keras
Allah
berfirman :
Artinya : “Dan katakanlah(hai Muhammad) : Bekerjalah kamu
semua, maka Allah dan Rasulnya serta orang mukmin akan melihat hasil
pekerjaanmu.’ (At- Taubah ayat 105)
2) Bodoh Menjadi Pintar , lantaran mau belajar giat
Rasullulah SAW bersabda yang artinya : “Belajarlah kamu
sekalian, ajarkanlah bertawakal kamu kepada guru, serta lemah lembutlah kamu
kepada murid.” (H.R. Tabrani)
3) Orang sakit bisa menjadi sembuh, lantaran berobat dan
berdoa
Allah
berfirman :
Artinya
: “Berdoalah kamu kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan permohonanmu.”
(Al-Mu’minun ayat 60)
b.
Taqdir Mubram
Takdir mubram ialah takdir yang pasti terjadi dan tidak dapat dielakkan
kejadiannya. Contohnya nasib manusia, lahir, kematian, jodoh, rizkinya, dan
terjadinya kiamat dan sebagainya. Qada’ & qadar Allah SWT yang berhubungan
dengan nasib manusia adalah rahasia Allah SWT, hanya Allah SWT yang
mengetahuinya. Manusia diperintahkan mengetahui qada’dan qadarnya melalui usaha
dan ikhtiar. Kapan manusia lahir, bagaimana statusnya sosialnya, bagaimana
rizkinya ,siapa anak istrinya,dan kapanya meninggalnya,adalah rahasia Allah
SWT. Jalan hidup manusia seperti itu sudah ditetapkan sejak zaman azali yaitu
masa sebelum terjadinya sesuatu atau massa yang tidak bermulaan. Tidak seorang
pun yang mengetahuinya.
3.
FUNGSI BERIMAN KEPADA QADA’DAN QADAR ALLAH SWT
Beriman kepada qada’dan qadar
mempunyai fungsi penting bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Diantaranya:
a) Mempunyai semangat ikhtiar
Ikhtar artinya melakukan perbuatan yang baik dengan penuh kesungguhan dan
keyakinan akan hasil yang baik bagi dirinya. Dengan pemahaman seperti itulah
,seorang murid akan bekerja keras agar biasa sukses, pedagang akan hidup hemat
agar usahanya berkembang, dan sebagainya. Allah SWT berfirman:
Artinya:“ Dan bahwa manusia hanya meperoleh apa yang
usahakannya. Dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan
diperlihatkan(kepadanya).”(Q.S.An-Najm, 39-40)
b)
Mempunyai sifat sabar dalam menghadapi cobaan
Dengan percaya qada’ dan qadar, manusia akan sadar bahwa
kehidupan adalah ujian-ujian yang harus dilalui dengan sabar. Sabar adalah
sikap mental yang teguh pendirian,berani menghadapi tantangan,tahan uji,dan
tidak menyerah pada kesulitan. Teguh pendirian berarti tidak mudah goyah dalam
memagang prisip atau pedoman hidup,berani menghadapi tantangan berarti berani
menghadapi cobaan,penderitaan,kesakitan dan kesensaraan. Cobaan harus dihadapi
dengan tenang, dipikir dengan jernih, dicari jalan keluarnya tampa menyerah
pada kesulitan,dan akhirnya diserahkan kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
Artinya: Apakah manusia mengira
bahwa mereka akan dibiarkan hanya mengatakan, ’’kami telah beriman, ”dan mereka
tidak di uji” (Q.S.AL-Ankabut,29:2)
c)
Sabar bahwa cobaan adalah qada’dan qadar dari Allah SWT
Segala yang ada di alam semesta hakikatnya adalah milik Allah SWT dan suatu
saat akan kembali kepada Allah SWT. Firman Allah SWT:
Artinya:“Yaitu orang-orang apabila ditimpa musibah,mereka
berkata’Inna’lilliahi wa inna ilaihi rajiun’.(Q.S. Albaqarah,2:156)
d)Tawakal
Tawakal menurut bahasa artinya bersandar atau berserah diri. Dalam istilah
agama, tawakal artinya berserah dirisepenuhnya kepada Allah SWT dalam
menghadapi atau menunggu hasil dari suatu pekerjaan atau usaha. Menurut
Imam Al-Ghazali, tawakal artinya menyandarkan diri kepada Allah SWT dalam
menghadapi setiap kepentingan. Dalam hal ini, tawakal kepada Allah SWT bkan
berarti penyandaran diri kepada Allah SWT secara mutlak, melaikan penyandaran
diri yang haras didahului dengan kerja keras dalam berikhtiar berdasarkan
kemampuan maksimal.
4.
CIRI- CIRI ORANG YANG BERIMAN KEPADA QADA’DAN QADAR.
a.
Qana’ah dan Kemuliaan Diri
Seseorang yang beriman kepada qadar mengetahui bahwa rizkinya telah
tertuliskan, dan bahwa ia tidak akan meninggal sebelum ia menerima sepenuhnya,
juga bahwa rizki itu tidak akan dicapai oleh semangatnya orang yang sangat
berhasrat dan tidak dapat dicegah oleh kedengkian orang yang dengki. Ia pun
mengetahui bahwa seorang makhluk sebesar apa pun usahanya dalam memperoleh
ataupun mencegahnya dari dirinya, maka ia tidak akan mampu, kecuali apa yang
telah Allah tetapkan baginya. Dari sini muncullah qana’ah terhadap apa yang
telah diberikan, kemuliaan diri dan baiknya usaha, serta membebaskan diri dari
penghambaan kepada makhluk dan mengharap pemberian mereka. Hal tersebut tidak
berarti bahwa jiwanya tidak berhasrat pada kemuliaan, tetapi yang dimaksudkan
dengan qana’ah ialah, qana’ah pada hal-hal keduniaan setelah ia menempuh usaha,
jauh dari kebakhilan, kerakusan, dan dari mengorbankan rasa malunya.
b.
Cita-Cita Yang Tinggi
Maksud dari cita-cita yang tinggi adalah menganggap kecil apa yang bukan akhir
dari perkara-perkara yang mulia. Sedangkan cita-cita yang rendah, yaitu
sebaliknya dari hal itu, ia lebih mengutamakan sesuatu yang tidak berguna,
ridha dengan kehinaan, dan tidak menggapai perkara-perkara yang mulia. Iman
kepada qadar membawa pelakunya kepada kemauan yang tinggi dan menjauhkan mereka
dari kemalasan, berpangku tangan, dan pasrah kepada takdir.
c. Bertekad dan Bersungguh-Sungguh dalam Berbagai Hal
Orang yang beriman kepada qadar, ia akan bersungguh-sungguh dalam berbagai
urusannya, memanfaatkan peluang yang datang kepadanya, dan sangat menginginkan
segala kebaikan, baik akhirat maupun dunia. Sebab, iman kepada qadar mendorong
kepada hal itu, dan sama sekali tidak mendorong kepada kemalasan dan sedikit
beramal.
Bahkan, keimanan ini memiliki pengaruh yang besar dalam mendorong para tokoh
untuk melakukan pekerjaan besar, yang mereka menduga sebelumnya bahwa kemampuan
mereka dan berbagai faktor yang mereka miliki pada saat itu tidak cukup untuk
menggapainya.
d.
Bersikap Adil, Baik Pada Saat Senang Maupun Susah
Iman kepada qadar akan membawa kepada keadilan dalam segala keadaan, sebab
manusia dalam kehidupan dunia ini mengalami keadaan bermacam-macam.
Orang-orang yang beriman kepada qadar menerima sesuatu yang menggembirakan dan menyenangkan dengan sikap menerima, bersyukur kepada Allah atasnya, dan menjadikannya sebagai sarana atas berbagai urusan akhirat dan dunia. Lalu, dengan melakukan hal tersebut, mereka mendapatkan, berbagai kebaikan dan keberkahan, yang semakin melipatgandakan kegembiraan mereka. Mereka menerima hal-hal yang tidak disenangi dengan keridhaan, mencari pahala, bersabar, menghadapi apa yang dapat mereka hadapi, meringankan apa yang dapat mereka ringankan, dan dengan kesabaran yang baik terhadap apa yang harus mereka bersabar terhadapnya. Sehingga mereka, dengan sebab itu, akan mendapatkan berbagai kebaikan yang besar yang dapat menghilangkan hal-hal yang tidak disukai, dan digantikan oleh kegembiraan dan harapan yang baik.
Orang-orang yang beriman kepada qadar menerima sesuatu yang menggembirakan dan menyenangkan dengan sikap menerima, bersyukur kepada Allah atasnya, dan menjadikannya sebagai sarana atas berbagai urusan akhirat dan dunia. Lalu, dengan melakukan hal tersebut, mereka mendapatkan, berbagai kebaikan dan keberkahan, yang semakin melipatgandakan kegembiraan mereka. Mereka menerima hal-hal yang tidak disenangi dengan keridhaan, mencari pahala, bersabar, menghadapi apa yang dapat mereka hadapi, meringankan apa yang dapat mereka ringankan, dan dengan kesabaran yang baik terhadap apa yang harus mereka bersabar terhadapnya. Sehingga mereka, dengan sebab itu, akan mendapatkan berbagai kebaikan yang besar yang dapat menghilangkan hal-hal yang tidak disukai, dan digantikan oleh kegembiraan dan harapan yang baik.
e.
Selamat Dari Kedengkian dan Penentangan
Iman kepada qadar dapat menyembuhkan banyak penyakit yang menjangkiti
masyarakat, di mana penyakit itu telah menanamkan kedengkian di antara mereka,
misalnya hasad yang hina. Orang yang beriman kepada qadar tidak dengki kepada
manusia atas karunia yang Allah berikan kepada mereka, karena keimanan-nya
bahwa Allah-lah yang memberi dan menentukan rizki mereka. Dia memberikan dan
menghalangi dari siapa yang dikehendaki-Nya, sebagai ujian. Apabila dia dengki
kepada selainnya, berarti dia menentang ketentuan Allah. Jika seseorang beriman
kepada qadar, maka dia akan selamat dari kedengkian, selamat dari penentangan
terhadap hukum-hukum Allah yang bersifat syar’i (syari’at) dan
ketentuan-ketentuan-Nya yang bersifat kauni (sunnatullah), serta menyerahkan
segala urusannya kepada Allah semata.
5.
HIKMAH ORANG YANG BERIMAN KEPADA QADA’ DAN QADAR
Dengan beriman kepada qadha dan qadar, banyak hikmah yang amat berharga bagi
kita dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan
akhirat. Hikmah tersebut antara lain:
a. Banyak Bersyukur dan Bersabar
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar, apabila mendapat keberuntungan, maka
ia akan bersyukur, karena keberuntungan itu merupakan nikmat Allah yang harus
disyukuri. Sebaliknya apabila terkena musibah maka ia akan sabar, karena hal
tersebut merupakan ujian. Firman Allah:
Artinya:”dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari
Allah( datangnya), dan bila ditimpa oleh kemudratan, maka hanya kepada-Nyalah
kamu meminta pertolongan. ”( QS. An-Nahl ayat 53).
b.
Menjauhkan Diri dari Sifat Sombong dan Putus Asa
Orang yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila
memperoleh keberhasilan, ia menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata
karena hasil usahanya sendiri. Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia
mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh kesah dan berputus asa , karena ia
menyadari bahwa kegagalan itu sebenarnya adalah ketentuan Allah. Firman Allah
SWT:
Artinya: Hai anak-anakku, pergilah kamu,
maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa
dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan
kaum yang kafir. (QS.Yusuf ayat 87)
c.
Bersifat Optimis dan Giat Bekerja
Manusia tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada
dirinya. Semua orang tentu menginginkan bernasib baik dan beruntung.
Keberuntungan itu tidak datang begitu saja, tetapi harus diusahakan. Oleh sebab
itu, orang yang beriman kepada qadha dan qadar senantiasa optimis dan giat
bekerja untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan itu. Firman Allah:
Artinya
: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS Al-
Qashas ayat 7
d.
Jiwanya Tenang
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar senantiasa mengalami ketenangan jiwa
dalam hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa yang ditentukan Allah
kepadanya. Jika beruntung atau berhasil, ia bersyukur. Jika terkena musibah
atau gagal, ia bersabar dan berusaha lagi.
Artinya
: Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam
sorga-Ku. ( QS. Al-Fajr ayat 27-30)
BAB
III KRITIS DAN DEMOKRATIS
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam
Al-Qur’an banyak terdapatayat-ayat yang menyerukan manusia untuk memperhatikan,
merenung dan memikirkan penciptaan Allah baik yang di langit, bumi maupun
diantara keduanya.Diantara ayat-ayat yang menerangkan tentang hal tersebut
yaitu Q.S Ali Imran ayat 190-191.
Demokrasi
merupakan suatu paham yang didalamnya mengandung asas-asas musyawarah yang
pernah dilakukan Rasulullah SAW semasa hidup beliau dan diperintahkan oleh
Allah SWT dalam Al-Qur’anul-Karim. Indonesia juga merupakan negara demokrasi,
akan tetapi demokrasi di Indonesia adalah demokrasi pancasila yang didasarkan
pada sila-sila yang terdapat dalam pancasila tersebut.
Seperti
halnya ajaran islam demokrasi juga menjunjung nilai persatuan dan kesatuan,
maka dari itu kita sebagai generasi bangsa indonesia haruslah tahu tentang
demokrasi. Dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang menerangkan tentang
demokrasi, salah satunya yaituQS Ali
Imraan: 159
PEMBAHASAN
2.1 Surah Al Imran (3) : 159
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ
الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
وَشَاوِرْهُمْ
فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ
فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (١٥٩)
Artinya: “Maka disebabkan rahmat
dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali Imran : 159)
Penjelasan
Surah Ali Imran Ayat 159
menyebutkan tiga hal secara berurutan untuk
dilakukan sebelum bermusyawarah,
yaitu sebagai berikut
1. Bersikap lemah lembut. Orang yang melakukan musyawarah harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala. Jika tidak,maka mitra musyawarah akan pergi menghindar.
2. Memberi maaf dan bersedia membuka diri. Kecerahan pikiran hanya dapat hadir bersamaan dengan sirnanya kekerasan hati serta kedengkian dan dendam.
3. Memohon ampunan Allah sebagai pengiring dalam bertekad, kemudian bertawakal kepada-Nya atas keputusan yang dicapai yang diharapkan dari musyawarah adalah mufakat untuk kebenaran karena Nabi Muhammad saw.
Di dalam bermusyawarah, kadang
terjadi perselisihan pendapat atau perbedaan.
Ayat ini menyinggung kekhususan
Rasul, yakni akhlak mulia beliau. Ayat ini menyatakan, apa yang menyebabkan
orang-orang Arab yang bersifat keras dan suka perang berkumpul di sisimu dan
beriman kepadamu adalah kelembutan akhlakmu. Sekirannya kamu seperti mereka,
maka tak seorangpun datang ke sisimu dan merekapun yang beriman akan berpaling
darimu. Oleh karenanya, maafkanlah ketidaktaatan mereka dalam perang Uhud dan
beristigfarlah untuk mereka. Meskipun sebelum perang anda bermusyawarah dengan
mereka dan musyawarah ini gagal, namun janganlah anda meninggalkan musyawarah
dengan mereka dalam urusan berhubungan dengan mereka. Karena engkau adalah
teladan mereka.
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kasih sayang
adalah hadiah Tuhan yang diberikan kepada para pimpinan agama.
Siapa yang ingin menasihati orang lain, hendaknya dilakukan dengan
kasih sayang.
2. Di samping melakukan
musyawarah, jangan melupakan tawakal kepada Allah.
Ø Kandungan Qs Ali Imraan: 159
a. Dalam menghadapi semua
masalah harus dengan lemah lembut melalui jalur musyawarah untuk
mufakat, tidak boleh dengan hati yang kasar dan perilaku kekerasan.
b. Mengutamakan musyawarah
untuk mufakat dalam menyelesaikan setiap urusan.
c. Apabila telah dicapai
suatu kesepakatan, maka semua pihak harus menerima dan bertawakal (menyerahkan
diri dan segala urusan) kepada Allah.
d. Allah mencintai
hamba-hambanya yang bertawakkal
Ø Adapun hal
hal yang dapat kita amalkan dalam kehidupan sehari hari
a. Tidak boleh berkeras
hati dan bertindak kasar dalam menyelesaikan suatu permasalahan, tetapi dengan
hati yang lemah lembut.
b. Setiap muslim harus
berlapang dada, berperilaku lemah lembut, pemaaf dan memohonkan ampun kepada
Allah.
c. Dalam kehidupan
sehari-hari kita harus mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam
menyelesaikan setiap persoalan.
d. Apabila telah tercapai
mufakat, maka setiap individu harus menerima dan melaksanakan keputusan
musyawarah.
e. Selalu berserah diri
kepada Allah sehingga tercapai keseimbangan antara ikhtiyar dan berdo’a
2.2 Surah Al Imran (3) : 190-191
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي
الْأَلْبَابِ
Artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (190)
الَّذِينَ
يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ
فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا
سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya:
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (191)
Ø
Uraian dan Tafsir ayat
Dalam ayat 190 menjelaskan bahwa
sesungguhnya dalam tatanan langit dan bumi serta keindahan perkiraan dan
keajaiban ciptaan-Nya juga dalam silih bergantinya siang dan malam secara
teratur sepanjang tahun yang dapat kita rasakan langsung pengaruhnya pada tubuh
kita dan cara berpikir kita karena pengaruh panas matahari, dinginnya malam,
dan pengaruhnya yang ada pada dunia flora dan fauna merupakan tanda dan bukti
yang menunjukkan keesaan Allah, kesempurnaan pengetahuan dan kekuasaan-Nya.
Langit dan bumi dijadikan oleh
Al-Khaliq tersusun dengan sangat tertib.Bukan hanya semata dijadikan, tetapi
setiap saat nampak hidup.Semua bergerak menurut aturan.
Silih bergantinya malam dan siang,
besar pengaruhnya atas hidup kita dan segala yang bernyawa.Kadang-kadang malam
terasa panjang dan sebaliknya.Musim pun silih berganti.Musim dingin, panas,
gugur, dan semi.Demikian juga hujan dan panas.Semua ini menjadi tanda-tanda
kebesaran dan keagungan Allah bagi orang yang berpikir.Bahwa tidaklah semuanya
terjadi dengan sendirinya.Pasti ada yang menciptakan yaitu Allah SWT.
Diriwayatkan dari 'Aisyah ra, bahwa
Rasulullah saw berkata: "Wahai 'Aisyah apakah engkau mengizinkankanda pada
malam ini untuk beribadah kepada Allah SWT sepenuhnya?". Jawab Aisyah ra:
" wahai Rasulullah, Sesungguhnya saya menyenangi apa yang kanda senangi,
menyukai apa yang kanda sukai.Dinda izinkan kanda melakukannya.”Kemudian nabi
mengambil qirbah (tempat air yang terbuat dari kulit domba) yang terletak
didalam rumah, lalu berwudlu.Selanjutnya beliau mengerjakan shalat.Di waktu
salat beliau menangis sampai-sampai air matanya membasahi kainnya, karena
merenungkan ayat Alquran yang dibacanya.Setelah salat beliau duduk memuji-muji
Allah dan kembali menangis tersedu-sedu.Kemudian beliau mengangkat kedua belah
tangannya berdoa dan menangis lagi dan air matanya membasahi tanah.Kemudian
datanglah Bilal untuk azan subuh dan melihat Nabi saw menangis ia bertanya:
"Wahai Rasulullah! Mengapakah Rasulullah menangis, padahal Allah telah
mengampuni dosa Rasulullah baik yang terdahulu maupun yang akan datang".
Nabi menjawab: "Apakah saya ini bukan seorang hamba yang pantas dan layak
bersyukur kepada Allah SWT? Dan bagaimana saya tidak menangis?Pada malam ini
Allah SWT telah menurunkan ayat kepadaku.Selanjutnya beliau berkata:
"Alangkah rugi dan celakanya orang-orang yang membaca ini dan tidak
memikir dan merenungkan kandungan artinya".
Pada ayat 191 mendefinisikan
orang-orang yang mendalam pemahamannya dan berpikir tajam (Ulul Albab), yaitu
orang yang berakal, orang-orang yang mau menggunakan pikirannya, mengambil
faedah, hidayah, dan menggambarkan keagungan Allah.Ia selalu mengingat Allah
(berdzikir) di setiap waktu dan keadaan, baik di waktu ia beridiri, duduk atau
berbaring. Jadi dijelaskan dalam ayat ini bahwa ulul albab yaitu orang-orang
baik lelaki maupun perempuan yang terus menerus mengingat Allah dengan ucapan
atau hati dalam seluruh situasi dan kondisi.
Dari keterangan diatas dapat
diketahui bahwa objek dzikir adalah Allah, sedangkan objek pikir adalah
makhluk-makhluk Allah berupa fenomena alam.Ini berarti pengenalan kepada Allah
lebih banyak didasarkan kepada kalbu, Sedang pengenalan alam raya oleh
penggunaan akal, yakni berpikir. Akal memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk
memikirkan fenomena alam, tetapi ia memiliki keterbatasan dalam memikirkan Dzat
Allah, karena itu dapat dipahami sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh
Abu Nu’aim melalui Ibn ‘Abbas,
تفكرافى
اخلق ولاتتفكروافى اخا
لق
“Pikirkan
dan renungkanlah segala sesuatu yang mengenai makhluk Allah jangan sekali-kali
kamu memikirkan dan merenungkan tentang zat dan hakikat Penciptanya, karena
bagaimanapun juga kamu tidak akan sampai dan tidak akan dapat mencapai hakikat
Zat Nya.”
Orang-orang yang berdzikir lagi berfikir
mengatakan: "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan makhluk ini semua,
yaitu langit dan bumi serta segala isinya dengan sia-sia, tidak mempunyai
hikmah yang mendalam dan tujuan yang tertentu yang akan membahagiakan kami di
dunia dan di akhirat, sebagaimana disebar luaskan oleh sementara orang-orang
yang ingin melihat dan menyaksikan akidah dan tauhid kaum muslimin runtuh dan
hancur. Maha Suci Engkau Ya Allah dari segala sangkaan yang bukan bukan yang
ditujukan kepada Engkau. Karenanya, maka peliharalah kami dari siksa api neraka
yang telah disediakan bagi orang-rang yang tidak beriman.Ucapan ini adalah
lanjutan perasaan sesudah dzikir dan pikir, yaitu tawakkal dan ridha, berserah
dan mengakui kelemahan diri.Sebab itu bertambah tinggi ilmu seseorang,
seyogyanya bertambah pula dia mengingat Allah.Sebagai tanda pengakuan atas
kelemahan diri itu, dihadapan kebesaran Tuhan.
Pada ujung ayat ini ( “Maha
suci Engkau ! maka peliharalah kiranya kami dari azab neraka” )kita memohon
ampun kepada Tuhan dan memohon agar dihindarkan dari siksa neraka dengan upaya
dan kekuatan-Mu serta mudahkanlah kami dalam melakukan amal yang diridhai
Engkau juga lindungilah kami dari azab-Mu yang pedih
Ø Isi Kandungan
Pada QS. Ali-Imran ayat 190-191 di
dalamnya memiliki kandungan hukum yaitu Allah mewajibkan kepada umatnya
untuk menuntu ilmu dan memerintahkan untuk mempergunakan pikiran kita untuk
merenungkan alam, langit dan bumi (yakni memahami ketetapan-ketetapan yang
menunjukkan kepada kebesaran Al-Khaliq, pengetahuan) serta pergantian siang dan
malam. Yang demkian ini menjadi tanda-tanda bagi orang yang berpikir, bahwa
semua ini tidaklah terjadi dengan sendirinya. Kemudian dari hasil berpikir
tersebut, manusia hendaknya merenungkan dan menganalisa semua yang ada di alam
semesta ini, sehingga akan tercipta ilmu pengetahuan
Ø Aspek Tarbawi
Dari
ayat di atas dapat diambil aspek tarbawinya yaitu sebagai berikut :
1. Menuntut
ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
2. Akal
manusia hendaknya digunakan untuk memikirkan, menganalisa, dan menafsirkan
segala ciptaan Allah.
3. Dalam
belajar tidak diperbolehkan memikirkan Dzat Allah, karena manusia mempunyai
keterbatasan dalam hal tersebut dan dikhawatirkan akan terjerumus dalam
berpikir yang tidak sesuai.
4. Jika
seseorang memiliki renungan, ia memiliki pelajaran dalam segala perkara.
5. Hendaknya
manusia mempercayai bahwa semua penciptaan Alah tidak ada yang sia-sia.
BAB IV KEANEKARAGAMAN
DAN DEMOKRASI
1. DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM
Rasulullah
saw bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ القُرُونِ قَبْلَهَا، شِبْرًا
بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ»،
فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَفَارِسَ وَالرُّومِ؟ فَقَالَ: وَمَنِ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ
“Hari
kiamat tak bakalan terjadi hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya,
sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah,
seperti Persia dan Romawi?” Nabi menjawab: “Manusia mana lagi selain mereka
itu?” (HR. Bukhory no. 7319 dari Abu Hurairah r.a)
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (w. 852 H) dalam
kitabnya, Fathul Bariy (13/301), menerangkan bahwa hadist ini berkaitan dengan
tergelincirnya umat Islam mengikuti umat lain dalam masalah pemerintahan dan
pengaturan urusan rakyat.
Sekarang dapat kita rasakan kebenaran sabda Beliau
saw, dalam pemerintahan dan pengaturan urusan rakyat, sistem demokrasi dianggap
sebagai sistem terbaik, bahkan tidak jarang hukum Islam pun dinilai dengan
sudut pandang demokrasi, kalau hukum Islam tersebut dianggap tidak sesuai dg
demokrasi maka tidak segan-segan dibuang atau diabaikan.
Secara ringkas, tulisan ini akan mengkritisi
demokrasi, baik dalam tataran konsep maupun praktiknya dalam sistem
pemerintahan.
Pengertian Demokrasi
Dalam teori, demokrasi adalah pemerintahan oleh
rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan
langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem
pemilihan bebas. Lincoln (1863) menyatakan “Demokrasi adalah pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”[1] Secara teori, dalam sistem
demokrasi, rakyatlah yang dianggap berdaulat, rakyat yang membuat hukum dan
orang yang dipilih rakyat haruslah melaksanakan apa yang telah ditetapkan
rakyat tersebut.
Selain
itu, demokrasi juga menyerukan kebebasan manusia secara menyeluruh dalam hal :
a.
Kebebasan beragama
b.
Kebebasan berpendapat
c.
Kebebasan kepemilikan
d.
Kebebasan bertingkah laku
Inilah
fakta demokrasi yang saat ini dianut dan digunakan oleh hampir semua negara
yang ada di dunia. Tentu saja dalam implementasinya akan mengalami
variasi-variasi tertentu yang dilatar belakangi oleh kebiasaan, adat istiadat
serta agama yang dominan di suatu negara. Namun demikian variasi yang ada
hanyalah terjadi pada bagian cabang bukan pada prinsip tersebut.
Asal
Usul Demokrasi
Istilah
demokrasi berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) “kekuasaan
rakyat”, yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) “rakyat” dan κράτος (Kratos)
“kekuasaan”, merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5
dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi
rakyat pada tahun 508 SM.
Sebelum
istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari
demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa
Sumeria memiliki beberapa negara kota yang independen. Di setiap negara kota
tersebut para rakyat seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu
permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan konsensus atau mufakat.
Barulah
pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang
merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu terdiri dari 1.500
negara kota (poleis) yang kecil dan independen. Negara kota tersebut memiliki
sistem pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan
juga demokrasi. Diantaranya terdapat Athena, negara kota yang mencoba sebuah
model pemerintahan yang baru masa itu yaitu demokrasi langsung. Penggagas dari
demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang penyair dan negarawan.
Paket pembaruan konstitus yang ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar bagi
demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan. Demokrasi
baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan
Athena. Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan
sebaliknya setiap orang mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat
dan memilih kebijakan. Namun dari sekitar 150.000 penduduk Athena, hanya
seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan menyuarakan pendapat mereka.[2]
Menurut
Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Demokrasi Sistem Kufur, demokrasi
mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal Barat selepas Abad
Pertengahan, yakni situasi yang dipenuhi semangat untuk mengeliminir pengaruh
dan peran agama dalam kehidupan manusia. Demokrasi lahir sebagai anti-tesis
terhadap dominasi agama dan gereja terhadap masyarakat Barat. Karena itu,
demokrasi adalah ide yang anti agama, dalam arti idenya tidak bersumber dari
agama dan tidak menjadikan agama sebagai kaidah-kaidah berdemokrasi. Orang
beragama tertentu bisa saja berdemokrasi, tetapi agamanya mustahil menjadi
aturan main dalam berdemokrasi. Secara implisit, beliau mencoba mengingatkan
mereka yang menerima demokrasi secara buta, tanpa menilik latar belakang dan
situasi sejarah yang melingkupi kelahirannya.
Demokrasi
Bertentangan Dengan Islam
Dalam
demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat, konsekuensinya bahwa hak
legislasi (penetapan hukum) berada di tangan rakyat (yang dilakukan oleh
lembaga perwakilannya, seperti DPR). Sementara dalam Islam, kedaulatan berada
di tangan syara’, bukan di tangan rakyat. Ketika syara’ telah mengharamkan
sesuatu, maka sesuatu itu tetap haram walaupun seluruh rakyat sepakat
membolehkannya.
Disisi
lain, kalau diyakini bahwa hukum kesepakatan manusia adalah lebih baik daripada
hukum Allah, maka hal ini bisa menjatuhkan kepada kekufuran dan kemusyrikan.
Ketika Rasulullah saw membacakan:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ
اللَّهِ
Mereka
menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah. (QS. At Taubah : 31)
Ady
bin Hatimr.a berkata:
يارسول الله انهم لم
يكونوا يعبدونهم
Wahai
Rasulullah mereka (org nashrany) tidaklah menyembah mereka (rahib).
Maka
Rasul menjawab:
اجل ولكن يحلون لهم
ما حرم الله فيستحلونه ويحرمون عليهم
ما احل الله فيحرمونه فتلك عبادتهم
لهم
Benar,
akan tetapi mereka (rahib dan org alimnya) menghalalkan apa-apa yang diharamkan
Allah maka mereka (org nashrany) menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa
yang dihalalkan Allah maka mereka (nashrany) mengharamkannya pula, itulah
penyembahan mereka (nashrany) kepada mereka (rahib dan org alimnya) [HR. Al
Baihaqi, juga diriwayatkan oleh at Tirmidzi dengan sanad Hasan]
Berkenaan
dengan kebebasan beragama, Islam memang melarang memaksa manusia untuk masuk
agama tertentu. Namun demikian Islam mengharamkan seorang muslim untuk
meninggalkan aqidah Islam. Rasulullah bersabda:
“Siapa
saja yang mengganti agamanya (murtad dari Islam) maka bunuhlah dia”.(HR
Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ashabus Sunan).
Adapun
kebebasan berpendapat, Islam memandang bahwa pendapat seseorang haruslah
terikat dengan apa yang ditetapkan oleh syariat Islam. Artinya seseorang tidak
boleh melakukan suatu perbuatan atau menyatakan suatu pendapat kecuali
perbuatan atau pendapat tersebut dibenarkan oleh dalil-dalil syara’ yang
membolehkan hal tersebut. Islam mengharuskan kaum muslimin untuk menyatakan
kebenaran dimana saja dan kapan saja. Rasulullah saw bersabda :
“…Dan
kami(hanya senantiasa) menyatakan al-haq (kebenaran) dimana kami berada, kami
tidak khawatir (gentar) terhadap cacian tukang pencela dalam melaksanakan
ketentuan Allah”. (HR Muslim dari Ubadah bin Shamit).
Berkaitan
dengan kepemilikan, Islam melarang individu menguasai barang hak milik umum,
seperti sungai, barang tambang yang depositnya besar, dll, juga melarang cara
mendapatkan/mengembangkan harta yang tidak dibenarkan syara’ seperti riba,
judi, menjual barang haram, menjual kehormatan, dll.
Adapun
kebebasan dalam bertingkah laku, Islam menentang keras perzinaan,
homoseksual-lesbianisme, perjudian, khamr dan sebagainya serta menyediakan
sistem sanksi yang sangat keras untuk setiap perbuatan tersebut. Sementara
demokrasi membolehkan hal tersebut, apalagi kalau didukung suara mayoritas.
sehingga tidak aneh kalau dalam sistem demokrasi, homoseksual yang jelas
diharamkan Islampun tetap dibolehkan asalkan pelakunya sudah dewasa (diatas 18
tahun) dan dilakukan suka-sama suka[3]. Begitu juga perzinaan asal dilakukan
orang dewasa yang suka-sama suka dan tidak terikat tali perkawinan maka
tidaklah dipermasalahkan[4].
Demokrasi
= Syuro (Musyawarah)?
Sebagian
kalangan menyatakan bahwa Demokrasi itu sesungguhnya berasal dari Islam, yakni
sama dengan syuro (musyawarah), amar ma’ruf nahyi munkar dan mengoreksi
penguasa. Hal ini tidaklah tepat karena syuro, amar ma’ruf nahyi munkar dan
mengoreksi penguasa merupakan hukum syara’ yang telah Allah swt tetapkan cara
dan standarnya, yang jauh berbeda dengan demokrasi.
Demokrasi
memutuskan segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Sedang
dalam Islam, tidaklah demikian. Rinciannya adalah sebagai berikut :
(1)
Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah
kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian
Hudaibiyah, dimana Rasulullah saw membuat keputusan yang tidak disepakati oleh
mayoritas shahabat, dan ketika Umar r.a protes, beliau saw menyatakan:
إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ وَلَسْتُ أَعْصِيهِ وَهُوَ
نَاصِرِي
“Aku
ini utusan Allah, dan aku takkan melanggar perintahNya, dan Dia adalah
penolongku.” (HR Bukhari)
(2)
Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau
kebenarannya, bukan suara mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan
dalil untuk ini.
(3)
Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak
memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang
Uhud menjadi dalilnya.
Demokrasi:
Cacat Sejak Lahir
Demokrasi
sejatinya sistem yang cacat sejak kelahirannya. Bahkan sistem ini juga
dicaci-maki di negeri asalnya, Yunani. Aristoteles (348-322 SM) menyebut
demokrasi sebagai Mobocracy atau the rule of the mob. Ia menggambarkan
demokrasi sebagai sebuah sistem yang bobrok, karena sebagai pemerintahan yang
dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan anarkisme.
Plato
(472-347 SM) mengatakan bahwa liberalisasi adalah akar demokrasi, sekaligus
biang petaka mengapa negara demokrasi akan gagal selama-lamanya. Plato dalam
bukunya, The Republic, mengatakan, “.…they are free men; the city is full of
freedom and liberty of speech, and men in it may do what they like”. (…mereka
adalah orang-orang yang merdeka, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan
berbicara, dan orang-orang didalamnya boleh melakukan apa yang disukainya).
Orang-orang akan mengejar kemerdekaan dan kebebasan yang tidak terbatas.
Akibatnya bencana bagi negara dan warganya. Setiap orang ingin mengatur diri
sendiri dan berbuat sesuka hatinya sehingga timbullah bencana disebabkan
berbagai tindakan kekerasan (violence), ketidaktertiban atau kekacauan
(anarchy), tidak bermoral (licentiousness) dan ketidaksopanan (immodesty).
Menurut
Plato, pada masa itu citra negara benar-benar telah rusak. Ia menyaksikan
betapa negara menjadi rusak dan buruk akibat penguasa yang korup. Karena
demokrasi terlalu mendewa-dewakan (kebebasan) individu yang berlebihan sehingga
membawa bencana bagi negara, yakni anarki (kebrutalan) yang memunculkan tirani.
Kala
itu, banyak orang melakuan hal yang tidak senonoh. Anak-anak kehilangan rasa
hormat terhadap orang tua, murid merendahkan guru, dan hancurnya moralitas.
Karena itu, pada perkembangan Yunani, intrik para raja dan rakyat banyak sekali
terjadi. Hak-hak rakyat tercampakkan, korupsi merajalela, dan demokrasi tidak
mampu memberikan keamanan bagi rakyatnya. Hingga pemikir liberal dari Perancis
Benjamin Constan (1767-1830) berkata: ”Demokrasi membawa kita menuju jalan yang
menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”
Demokrasi
Ketuhanan
Karena
menganggap demokrasi sebagai konsep yang bagus walaupun ada kekurangannya,
sebagian kalangan ada yang berupaya mengambil ide demokrasi namun membuang apa
yang menurut mereka jelek. Sehingga mereka katakan, “kita memakai demokrasi
namun yang berdaulat tetaplah syara’” yakni mereka bermaksud berdemokrasi namun
hukum syara’ tidak akan ditolak. Ungkapan seperti ini sebenarnya hanyalah
permainan kata-kata dan definisi saja, seperti orang mau memesan sate ayam namun
mereka syaratkan sate ayamnya tidak menggunakan daging ayam. Dan terhadap hal
seperti ini hendaknya kita berhati-hati menjaga lidah. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa`ina”,
tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang kafir
siksaan yang pedih. (QS Al Baqarah 104)
“Raa
`ina” berarti “sudilah kiranya kamu memperhatikan kami”. Di kala para sahabat
menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudipun memakai pula kata ini
dengan digumam seakan-akan menyebut ”Raa `ina”, padahal yang mereka katakan
ialah ”Ru`uunah” yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada
Rasulullah. Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar
perkataan ”Raa `ina” dengan ”Unzhurna’‘ yang juga sama artinya dengan ”Raa
`ina”. Kalau masalah pilihan kata saja Allah memperhatikan, padahal dua kata
tersebut kurang lebih artinya sama, lalu baggaimana pula dengan kata yang
memang memiliki pemahaman yang khas seperti demokrasi ini? Tentunya harus lebih
hati-hati lagi.
Sistem
Pemerintahan Islam (Khilafah)
Berbeda
dengan demokrasi, Islam menggariskan bahwa sistem pemerintahan yang seharusnya
dipakai umat Islam tegak diatas 4 pilar pokok yakni: [5]
Pertama,
kedaulatan di tangan syara’. Tak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa
kedaulatan di tangan syara’, yakni hanya Allah SWT saja yang berhak menetapkan
hukum bagi manusia, kalaupun semua manusia sepakat menghalalkan yang diharamkan
Allah maka kesepakatan mereka tidak berlaku.
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi
keputusan yang paling baik. (QS Al An’am : 57)
Ketika
terjadi perselisihan, maka keputusan hukumnya juga wajib menggunakan ketentuan
syara’. Allah berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. (QS. An Nisaa’: 59)
Kedua,
kekuasaan[6] di tangan umat, yakni umatlah yang berhak memilih pemimpin yang
dikehendakinya untuk menjalankan kekuasaan. Hal ini dapat dipahami dari
hadis-hadis tentang bai’at, bahwa seseorang tak menjadi kepala negara, kecuali
dibai’at (diangkat) oleh umat.
Ketiga,
mengangkat satu orang khalifah adalah wajib atas seluruh kaum muslimin. Ibnu
Katsir dalam tafsirnya (1/222, Maktabah Syamilah) menyatakan:
فَأَمَّا نَصْبُ إِمَامَيْنِ فِي الْأَرْضِ أَوْ
أَكْثَرَ فَلَا يَجُوزُ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: “مَنْ جَاءَكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ يُرِيدُ
أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَكُمْ فَاقْتُلُوهُ كَائِنًا مَنْ كَانَ”
. وَهَذَا قَوْلُ
الْجُمْهُورِ، وَقَدْ حَكَى الْإِجْمَاعَ عَلَى ذَلِكَ
غَيْرُ وَاحِدٍ، مِنْهُمْ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ
“Adapun
pengangkatan dua imam atau lebih di bumi maka hal itu tidak boleh berdasarkan
sabda Beliau saw: “barang siapa datang kepada kalian sementara urusan kalian
bersatu, (orang itu) hendak memecah kalian maka bunuhlah dia siapapun
orangnya“(HR. Muslim) Dan ini merupakan pendapat jumhur, tidak hanya seorang
yang telah menceritakan adanya ijma’ dalam hal ini, di antara mereka adalah
Imamul Haramain.”
Keempat,
hanya kepala negara saja yang berhak melegislasikan hukum-hukum syara’.
Hal
ini didasarkan pada Ijma’ Shahabat yang melahirkan kaidah syar’iyah yang
termasyhur,
حكم الحاكم يرفع الخلاف
Ketetapan
penguasa menghilangkan perbedaan pendapat. Juga kaidah syar’iyah lain yang tak
kalah masyhur,”Lil Imam an yuhditsa minal aqdhiyati bi qadri mâ yahdutsu min
musykilât.” (Imam (kepala negara) berhak menetapkan keputusan baru sejalan
dengan persoalan-persoalan baru yang terjadi).
Penutup
Demokrasi
yang telah dijajakan Barat ke negeri-negeri Islam itu sesungguhnya adalah
sistem kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam, baik langsung maupun tidak
langsung. Demokrasi bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar dan
perinciannya, dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau asas
yang mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan yang dibawanya.
Fakta
juga membuktikan kerusakan masyarakat akibat dipakainya konsep demokrasi ini,
bukan hanya di Indonesia, namun juga di AS yang menjajakan konsep ini. Allahu
A’lam. (Insya Allah disampaikan di Masjid Nurul Falah Banjarbaru, pada 24 Maret
2013)
[1]
Melvin I. Urofsky, The Root Principles of Democracy, 2
[2]
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
[3]
Lihat Rancangan KUHP BAB XVI tentang Tindak Pidana Kesusilaan
(http://news.detik.com, 7/3/13)
[4]
Lihat Pasal 284 KUHP
[5]
Lihat pembahasan empat pilar Khilafah dalam Mahmud Abdul Majid Al Khalidi,
Qawa’id Nizham Al Hukm fi Al Islam, Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah Al Khilafah
[6]
Kekuasaan (as sulthan) didefinisikan sebagai otoritas untuk menerapkan
hukum-hukum dan perundang-undangan
2 . DEMOKRASI DAN SYURA DALAM PANDANGAN
ISLAM
Sebagian
kaum muslimin mengidentikkan antara syura dan demokrasi, menganggap sama antara
keduanya, atau minimal membenarkan demokrasi karena musyawarah/syura juga
diakui dalam sistem demokrasi. Artikel ini berusaha memaparkan syura secara
ringkas dan nantinya akan berujung pada pemaparan sisi-sisi perbedaan antara
syura dan demokrasi yang merupakan produk sekulerisme.
Definisi
Syura
Menurut
bahasa, syura memiliki dua pengertian, yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu
atau mengambil sesuatu [Mu’jam Maqayis al-Lughah 3/226].
Sedangkan
secara istilah, beberapa ulama terdahulu telah memberikan definisi syura,
diantara mereka adalah Ar Raghib al-Ashfahani yang mendefinisikan syura sebagai
proses mengemukakan pendapat dengan saling merevisi antara peserta syura [Al
Mufradat fi Gharib al-Quran hlm. 207].
Ibnu
al-Arabi al-Maliki mendefinisikannya dengan berkumpul untuk meminta pendapat
(dalam suatu permasalahan) dimana peserta syura saling mengeluarkan pendapat
yang dimiliki [Ahkam al-Quran 1/297].
Sedangkan
definisi syura yang diberikan oleh pakar fikih kontemporer diantaranya adalah
proses menelusuri pendapat para ahli dalam suatu permasalahan untuk mencapai
solusi yang mendekati kebenaran [Asy Syura fi Zhilli Nizhami al-Hukm al-Islami
hlm. 14].
Dari
berbagai definisi yang disampaikan di atas, kita dapat mendefinisikan syura
sebagai proses memaparkan berbagai pendapat yang beraneka ragam dan disertai
sisi argumentatif dalam suatu perkara atau permasalahan, diuji oleh para ahli
yang cerdas dan berakal, agar dapat mencetuskan solusi yang tepat dan terbaik
untuk diamalkan sehingga tujuan yang diharapkan dapat terealisasikan [Asy Syura
fi al-Kitab wa as-Sunnah hlm. 13].
Pensyari’atan
Syura dalam Islam
Islam
telah menuntunkan umatnya untuk bermusyawarah, baik itu di dalam kehidupan
individu, keluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Dalam
kehidupan individu, para sahabat sering meminta pendapat rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallamdalam masalah-masalah yang bersifat personal. Sebagai contoh
adalah tindakan Fathimah yang meminta pendapat kepada nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm berkeinginan untuk melamarnya [HR.
Muslim : 1480].
Dalam
kehidupan berkeluarga, hal ini diterangkan dalam surat al-Baqarah ayat 233,
dimana Allah berfirman,
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ
تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ
تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا
آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (٢٣٣)
“Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan“. [Al Baqarah : 233].
Imam
Ibnu Katsir mengatakan, Maksud dari firman Allah (yang artinya), ” Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya” adalah apabila kedua
orangtua sepakat untuk menyapih sebelum bayi berumur dua tahun, dan keduanya
berpendapat hal itu mengandung kemaslahatan bagi bayi, serta keduanya telah
bermusyawarah dan sepakat melakukannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya.
Dengan demikian, faidah yang terpetik dari hal ini adalah tidaklah cukup
apabila hal ini hanya didukung oleh salah satu orang tua tanpa persetujuan yang
lain. Dan tidak boleh salah satu dari kedua orang tua memilih untuk
melakukannya tanpa bermusyawarah dengan yang lain [Tafsir al-Quran al-‘Azhim
1/635].
Dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Al Quran telah menceritakan bahwa syura
telah dilakukan oleh kaum terdahulu seperti kaum Sabaiyah yang dipimpin oleh
ratunya, yaitu Balqis. Pada surat an-Naml ayat 29-34 menggambarkan musyawarah
yang dilakukan oleh Balqis dan para pembesar dari kaumnya guna mencari solusi
menghadapi nabi Sulaiman ‘alahissalam.
Demikian
pula Allah telah memerintahkan rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk
bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam setiap urusan. Allah Ta’ala
berfirman,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ
لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا
غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى
اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (١٥٩)
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu, Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. [Ali ‘Imran : 159].
Di
dalam ayat yang lain, di surat Asy Syura ayat 38, Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”. [Asy
Syura : 36-39].
Maksud
firman Allah Ta’ala (yang artinya), “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarat antara mereka” adalah mereka tidak melaksanakan suatu urusan sampai
mereka saling bermusyawarah mengenai hal itu agar mereka saling mendukung
dengan pendapat mereka seperti dalam masalah peperangan dan semisalnya [Tafsir
al-Quran al-‘Azhim 7/211].
Seluruh
ayat al-Quran di atas menyatakan bahwasanya syura (musyawarah) disyari’atkan
dalam agama Islam, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa syura adalah sebuah
kewajiban, terlebih bagi pemimpin dan penguasa serta para pemangku jabatan.
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya AllahTa’ala memerintahkan nabi-Nya
bermusyawarah untuk mempersatukan hati para sahabatnya, dan dapat dicontoh oleh
orang-orang setelah beliau, serta agar beliau mampu menggali ide mereka dalam
permasalahan yang di dalamnya tidak diturunkan wahyu, baik permasalahan yang
terkait dengan peperangan, permasalahan parsial, dan selainnya. Dengan
demikian, selain beliau shallallahu’alaihi wa sallam tentu lebih patut untuk
bermusyawarah” [As Siyasah asy-Syar’iyah hlm. 126].
Sunnah
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menunjukkan betapa nabi
shallallahu’alaihi wa sallam sangat memperhatikan untuk senantiasa
bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam berbagai urusan terutama urusan yang
terkait dengan kepentingan orang banyak.
Beliau
pernah bermusyawarah dengan para sahabat pada waktu perang Badar mengenai
keberangkatan menghadang pasukan kafir Quraisy.
Selain
itu, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bermusyawarah untuk
menentukan lokasi berkemah dan beliau menerima pendapat al-Mundzir bin ‘Amr
yang menyarankan untuk berkemah di hadapan lawan.
Dalam
perang Uhud, beliau meminta pendapat para sahabat sebelumnya, apakah tetap
tinggal di Madinah hingga menunngu kedatangan musuh ataukah menyambut mereka di
luar Madinah. Akhirnya, mayoritas sahabat menyarankan untuk keluar Madinah
menghadapi musuh dan beliau pun menyetujuinya.
Dalam
masalah lain, ketika terjadi peristiwa hadits al-ifki, Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam meminta pendapat ‘Ali dan Usamah perihal ibunda
‘Aisyah radhiallahu ‘anhum.
Demikianlan,
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bermusyawarah dengan para sahabatnya
baik dalam masalah perang maupun yang lain.
Urgensi
dan Faedah Syura
Ibnu
‘Athiyah mengatakan, “Syura merupakan aturan terpenting dalam syari’at dan
ketentuan hukum dalam Islam” [Al Muharrar al-Wajiz]. Apa yang dikatakan oleh
beliau mengenai syura benar adanya karena Allah ta’ala telah menjadikan syura
sebagai suatu kewajiban bagi hamba-Nya dalam mencari solusi berbagai persoalan
yang membutuhkan kebersamaan pikiran dengan orang lain. Selain itu, Allah pun
telah menjadikan syura sebagai salah satu nama surat dalam al-Quran al-Karim.
Kedua hal ini cukup untuk menunjukkan betapa syura memiliki kedudukan yang
penting dalam agama ini.
Amir
al-Mukminin, ‘Ali radhiallahu ‘anhu juga pernah menerangkan manfaat dari syura.
Beliau berkata, “Ada tujuh keutamaan syura, yaitu memperoleh solusi yang tepat,
mendapatkan ide yang brilian, terhindar dari kesalahan, terjaga dari celaan,
selamat dari kekecewaan, mempersatukan banyak hati, serta mengikuti atsar (dalil)
[Al Aqd al-Farid hlm. 43].
Urgensi
dan faedah syura banyak diterangkan oleh para ulama, diantaranya imam Fakhr
ad-Din ar-Razy dalam Mafatih al-Ghaib 9/67-68. Secara ringkas beliau
menyebutkan bahwa syura memiliki faedah antara lain adalah sebagai berikut :
a. Musyawarah yang dilakukan nabi
shallallahu’alaihi wa sallam dengan para sahabatnya menunjukkan ketinggian
derajat mereka (di hadapan nabi) dan juga hal ini membuktikan betapa cintanya
mereka kepada beliau dan kerelaan mereka dalam menaati beliau. Jika beliau
tidak mengajak mereka bermusyawarah, tentulah hal ini merupakan bentuk
penghinaan kepada mereka.
b. Musyawarah perlu diadakan karena bisa
saja terlintas dalam benak seseorang pendapat yang mengandung kemaslahatan dan
tidak terpikir oleh waliy al-amr (penguasa). Al Hasan pernah mengatakan,
مَا تَشَاوَرَ قَوْمٌ إِلَّا
هُدُوا لِأَرْشَدِ أَمَرِهِمْ
“Setiap
kaum yang bermusyawarah, niscaya akan dibimbing sehingga mampu melaksanakan
keputusan yang terbaik dalam permasalahan mereka” [Al Adab karya Ibnu Abi
Syaibah 1/149].
c. Al Hasan dan Sufyan ibn ‘Uyainah
mengatakan, “Sesungguhnya nabi diperintahkan untuk bermusyawarah agar bisa
dijadikan teladan bagi yang lain dan agar menjadi sunnah (kebiasaan) bagi
umatnya”
d. Syura memberitahukan kepada rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam dan juga para penguasa setelah beliau mengenai
kadar akal dan pemahaman orang-orang yang mendampinginya, serta untuk
mengetahui seberapa besar kecintaan dan keikhlasan mereka dalam menaati beliau.
Dengan demikian, akan nampak baginya tingkatan mereka dalam keutamaan.
12
Perbedaan antara Syura dan Demokrasi
Telah
disebutkan sebelumnya bahwa artikel ini berusaha untuk memaparkan sisi-sisi
perbedaan antara syura dan demokrasi mengingat beberapa kalangan menyamakan
antara keduanya. Meskipun, komparasi antara keduanya tidaklah tepat mengingat
syura berarti meminta pendapat (thalab ar-ra’yi) sehingga dia adalah sebuah
mekanisme pengambilan pendapat dalam Islam dan merupakan bagian dari proses sistem
pemerintahan Islam (nizham as-Siyasah al-Islamiyah). Sedangkan demokrasi adalah
suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi,
undang-undang, dan sistem pemerintahan, sehingga bukan sekedar proses
pengambilan pendapat [Syura bukan Demokrasi karya M. Shiddiq al-Jawi]. Dengan
demikian, yang tepat adalah ketika kita membandingkan antara system
pemerintahan Islam dengan demokrasi itu sendiri.
Perbedaan
antara sistem pemerintahan Islam yang salah satu landasannya adalah syura
dengan sistem demokrasi terangkum ke dalam poin-poin berikut :
a. Umat (rakyat) dalam suatu sistem
demokrasi dapat didefinisikan sebagai sekumpulan manusia yang menempati suatu
wilayah tertentu, dimana setiap individu di dalamnya berkumpul dikarenakan kesadaran
untuk hidup bersama, dan diantara faktor yang membantu terbentuknya umat adalah
adanya kesatuan ras dan bahasa [Mabadi Nizham al-Hukm fi al-Islam hlm. 489].
Sedangkan
dalam sistem Islam, definisi umat sangatlah berbeda dengan apa yang disebutkan
sebelumnya, karena dalam mendefinisikan umat, Islam tidaklah terbatas pada
faktor kesatuan wilayah, ras, dan bahasa. Namun, umat dalam Islam memiliki
definisi yang lebih luas karena akidah islamiyah-lah yang menjadi tali pengikat
antara setiap individu muslim tanpa membeda-bedakan wilayah, ras, dan bahasa.
Dengan demikian, meski kaum muslimin memiliki beraneka ragam dalam hal ras,
bahasa, dan wilayah, mereka semua adalah satu umat, satu kesatuan dalam
pandangan Islam [Asy Syura wa ad-Dimuqratiyyah al-Ghariyyah hlm. 25].
b. Sistem demokrasi hanya berusaha untuk
merealisasikan berbagai tujuan yang bersifat materil demi mengangkat martabat
bangsa dari segi ekonomi, politik, dan militer. Sistem ini tidaklah
memperhatikan aspek ruhiyah.
Berbeda
tentunya dengan sistem Islam, dia tetap memperhatikan faktor-faktor tersebut
tanpa mengenyampingkan aspek ruhiyah diniyah, bahkan aspek inilah yang menjadi
dasar dan tujuan dalam sistem Islam.Dalam sistem Islam, aspek ruhiyah menjadi
prioritas tujuan dan kemaslahatan manusia yang terkait dengan dunia mereka ikut
beriringan di belakangnya [Asy Syura wa ad-Dimuqratiyyah al-Ghariyyahhlm. 25].
c. Di dalam sistem demokrasi, rakyat
memegang kendali penuh. Suatu undang-undang disusun dan diubah berdasarkan
opini atau pandangan masyarakat. Setiap peraturan yang ditolak oleh masyarakat,
maka dapat dimentahkan, demikian pula peraturan baru yang sesuai dengan
keinginan dan tujuan masyarakat dapat disusun dan diterapkan.
Berbeda
halnya dengan sistem Islam, seluruh kendali berpatokan pada hukum Allah
suhanahu wa ta’ala. Masyarakat tidaklah diperkenankan menetapkan suatu
peraturan apapun kecuali peraturan tersebut sesuai dengan hukum Islam yang
telah diterangkan-Nya dalam al-Quran dan lisan nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian juga dalam permasalahan ijtihadiyah, suatu peraturan dibentuk sesuai
dengan hukum-hukum politik yang sesuai dengan syari’at [An Nazhariyaat
as-Siyaasiyah al-Islamiyah hlm. 338].
d. Kewenangan majelis syura dalam Islam
terikat dengan nash-nash syari’at dan ketaatan kepada waliyul amr (pemerintah).
Syura terbatas pada permasalahan yang tidak memiliki nash (dalil tegas) atau
permasalahan yang memiliki nash namun indikasi yang ditunjukkan memiliki
beberapa pemahaman. Adapun permasalahan yang memiliki nash yang jelas dan
dengan indikasi hukum yang jelas, maka syura tidak lagi diperlukan. Syura hanya
dibutuhkan dalam menentukan mekanisme pelaksanaan nash-nash syari’at.
Ibnu
Hajar mengatakan, “Musyawarah dilakukan apabila dalam suatu permasalahan tidak
terdapat nash syar’i yang menyatakan hukum secara jelas dan berada pada hukum
mubah, sehingga mengandung kemungkinan yang sama antara melakukan atau tidak.
Adapun permasalahan yang hukumnya telah diketahui, maka tidak memerlukan
musyawarah [Fath al-Baari 3/3291].
Adapun
dalam demokrasi, kewenangan parlemen bersifat mutlak. Benar undang-undang
mengatur kewenangannya, namun sekali lagi undang-undang tersebut rentan akan
perubahan [Asy Syura wa Atsaruha fi ad- Dimuqratiyah hlm. 427-428].
e. Syura yang berlandaskan Islam senantiasa
terikat dengan nilai-nilai akhlaqiyah yang bersumber dari agama. Oleh karena
itu, nilai-nilai tersebut bersifat tetap dan tidak tunduk terhadap berbagai
perubahan kepentingan dan tujuan. Dengan demikian, nilai-nilai tersebutlah yang
akan menetapkan hukum atas berbagai aktivitas dan tujuan umat.
Di
sisi lain, demokrasi justru berpegang pada nilai-nilai yang relatif/nisbi
karena dikontrol oleh beranka ragam kepentingan dan tujuan yang diinginkan oleh
mayoritas [Asy Syura wa Atsaruha fi ad- Dimuqratiyahhlm. 427-428].
f. Demokrasi memiliki kaitan erat dengan
eksistensi partai-partai politik, padahal hal ini tidak sejalan dengan ajaran
Islam karena akan menumbuhkan ruh perpecahan dan bergolong-golongan.
g.
Syari’at Islam telah menggariskan
batasan-batasan syar’i yang bersifat tetap dan tidak boleh dilanggar oleh
majelis syura. Berbagai batasan tersebut kekal selama Islam ada.
Adapun
demokrasi tidak mengenal dan mengakui batasan yang tetap. Justru aturan-aturan
yang dibuat dalam sistem demokrasi akan senantiasa berevolusi dan menghantarkan
pada tercapainya hukum yang mengandung kezhaliman menyeluruh yang dibungkus
dengan slogan hukum mayoritas [Fiqh asy-Syura wal al-Istisyarah hlm. 12].
h. Demokrasi menganggap rakyatlah yang
memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang berdasar pada hukum
mayoritas, suara mayoritaslah yang memegang kendali pensyari’atan suatu hukum
dalam menghalalkan dan mengharamkan. Adapun di dalam sistem syura, rakyat
tunduk dan taat kepada Allah dan rasul-Nya kemudian kepada para pemimpin kaum
muslimin [Asy Syura la ad-Dimuqratiyah hlm. 40-41, Ad Dimuqratiyah Din hlm.
32].
i. Syura bertujuan untuk menghasilkan
solusi yang selaras dengan al-haq meski bertentangan dengan suara mayoritas,
sedangkan demokrasi justru sebaliknya lebih mementingkan solusi yang merupakan
perwujudan suara mayoritas meski hal itu menyelisihi kebenaran [Hukm
ad-Dimuqratiyah hlm. 32].
j. Kriteria ahli syura sangatlah berbeda
dengan kriteria para konstituen dan anggota parlemen yang ada dalam sistem
demokrasi. Al Mawardi telah menyebutkan kriteria ahli syura, beliau mengatakan,
“Pertama, memiliki akal yang sempurna dan berpengalaman; Kedua, intens terhadap
agama dan bertakwa karena keduanya merupakan pondasi seluruh kebaikan; Ketiga,
memiliki karakter senang member nasehat dan penyayang, tidak dengki dan iri,
dan jauhilah bermusyawarah dengan wanita; Keempat, berpikiran sehat, terbebas
dari kegelisahan dan kebingungan yang menyibukkan; Kelima, tidak memiliki
tendensi pribadi dan dikendalikan oleh hawa nafsu dalam membahas permasalahan
yang menjadi topik musyawarah [Adab ad-Dunya wa ad-Din hlm. 367; Al ‘Umdah fi
I’dad al-‘Uddah hlm. 116; Al Ahkam as-Sulthaniyah hlm. 6; Al Ahkam as-Sultaniyah
karya Abu Yala hlm. 24; Ghiyats al-Umam hlm. 33].
Adapun
dalam sistem demokrasi, setiap warga negara memiliki porsi yang sama dalam
mengemukakan pendapat, baik dia seorang kafir, fasik (pelaku maksiat), zindik,
ataupun sekuler. Al ‘Allamah Ahmad Muhammad Syakir mengatakan, “Diantara konsep
yang telah terbukti dan tidak lagi membutuhkan dalil adalah bahwasanya
rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan para pemangku
pemerintahan setelah beliau untuk bermusyawarah dengan mereka yang terkenal
akan keshalihannya, menegakkan aturan-aturan Allah, bertakwa kepada-Nya,
menegakkan shalat, menunaikan zakat dan berjihad di jalan-Nya. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebut perihal mereka dalam sabdanya,
لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى
“Hendaklah
yang dekat denganku (dalam shaf shalat) adalah mereka yang cerdas serta
berakal” [HR. Muslim: 974].
Mereka
bukanlah kaum mulhid (atheis), bukanpula mereka yang memerangi agama Allah,
tidakpula para pelaku maksiat yang tidak berusaha menahan diri dari
kemungkaran, dan juga bukan mereka yang beranggapan bahwa mereka diperbolehkan
menyusun syari’at dan undang-undang yang menyelisihi agama Allah serta mereka
boleh menghancurkan syari’at Islam [‘Umdat at-Tafsir 1/383-384].
k. Ahli syura mengedepankan musyawarah
dan nasehat kepada pemimpin serta mereka wajib untuk menaatinya dalam
permasalahan yang diperintahkannya. Dengan demikian, kekuasaan dipegang oleh
pemimpin. Pemimpinlah yang menetapkan dan memberhentikan majelis syura
bergantung pada maslahat yang dipandangnya [Al ‘Umdah fi I’dad al-‘Uddah 112].
Sedangkan
dalam demokrasi, kekuasaan dipegang oleh parlemen, pemimpin wajib menaati dan
parlemen memiliki kewenangan memberhentikan pemimpin dan menghalangi orang yang
kredibel dari pemerintahan.
l. Apabila terdapat nash syar’i dari
al-Quran dan hadits, maka ahli syura wajib berpegang dengannya dan
mengenyampingkan pendapat yang menyelisihi keduanya, baik pendapat tersebut
merupakan pendapat minoritas ataupun mayoritas.
Al
Bukhari berkata dalam Shahih-nya, “Para imam/pemimpin sepeninggal nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dengan orang-orang berilmu yang
amanah dalam permasalahan yang mubah agar mampu menemukan solusi yang termudah.
Apabila al-Quran dan hadits telah jelas menerangkan suatu permasalahan, maka
mereka tidak berpaling kepada selainnya dalam rangka mengikuti nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Abu Bakr telah berpandangan untuk memerangi kaum yang
menolak membayar zakat, maka Umar pun mengatakan, “Bagaimana bisa anda
memerangi mereka padahal rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan
laa ilaha illallah. Jika mereka telah mengucapkannya, maka darah dan harta
mereka telah terjaga kecuali dengan alasan yang hak dan kelak perhitungannya di
sisi Allah ta’ala.” Maka Abu Bakr pun menjawab, “Demi Allah, saya akan
memerangi orang yang memisah-misahkan sesuatu yang justru digabungkan oleh
rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Kemudian Umar pun mengikuti pendapat beliau.
Abu
Bakr tidak lagi butuh pada musyawarah dalam permasalahan di atas, karena beliau
telah mengetahui ketetapan rasulullah terhadap mereka yang berusaha memisahkan
antara shalat dan zakat serta berkeinginan merubah aturan dan hukum dalam agama
[Shahih al-Bukhari 9/112; Asy-Syamilah].
Adapun
di dalam demokrasi, maka nash-nash syari’at tidaklah berharga karena demokrasi
dibangun di atas asas al-Laadiniyah/al-’Ilmaniyah (ateisme). Oleh karenanya,
demokrasi seringkali menyelisihi berbagai ajaran prinsipil dalam agama Islam
seperti penghalalan riba, zina, dan berbagai hukum yang tidak sejalan dengan
apa yang diturunkan Allah ta’ala.
Kesimpulannya
adalah tidak ada celah untuk menyamakan antara sistem yang dibentuk dan
diridhai Allah untuk seluruh hamba-Nya dengan sebuah sistem dari manusia yang
datang untuk menutup kekurangan, namun masih mengandung kekurangan, dan
berusaha untuk mengurai permasalahan, namun dia sendiri merupakan masalah yang
membutuhkan solusi [Asy Syura wa ad-Dimuqratiyyah al-Gharbiyyah hlm. 32].
Meskipun
ada persamaan antara syura dan demokrasi sebagaimana yang dinyatakan oleh
sebagian kalangan. Namun, terdapat perbedaan yang sangat substansial antara
keduanya, mengingat bahwa memang syura adalah sebuah metode yang berasal dari
Rabb al-basyar (Rabb manusia), yaitu Allah, sedangkan demokrasi merupakan buah
pemikiran dari manusia yang lemah yang tentunya tidak lepas dari kekurangan.
Wallahu
al-Muwaffiq.
Sumber
rujukan :
Asy
Syura fi al-Kitab wa as-Sunnah wa ‘inda Ulama al-Muslimin karya Prof. Dr.
Muhammad bin Ahmad bin Shalih ash-Shalih
Asy
Syura fi Dhlaui al-Quran wa as-Sunnah karya Prof. Dr. Hasan Dhliya ad-Din
Muhammad ‘Atr
Fitnah
ad-Dimuqratiyah karya al-Imam Ahmad Walad al-Kiwari al-’Alawi asy-Syinqithi
Makalah
Nazharat Mu’ashirah fi Fiqh asy-Syura karya Prof. Dr. Ahmad ‘Ali al-Imam
Syura
bukan Demokrasi karya M. Shiddiq al-Jawi
BAB V SIFAT TERPUJI
Sikap
Terpuji (Akhlakul Karimah)
Sangat
penting memiliki akhlak baik atau akhlak mulia bagi setiap manusia. Di mana pun
berada, apa pun pekerjaan, kita akan di senangi oleh siapa pun. Artinya, akhlak
menentukan baik buruknya seseorang di hadapan sesama.
Pengertian
Sikap Terpuji.
- Akhlak terpuji
ialah sikap atau perilaku baik dari segi ucapan atau perbuatan yang sesuai
dangan tuntunan ajaran Islam dan norma aturan yang berlaku.
- Akhlak terpuji
adalah akhlak yang baik, diwujudkan dalam bentuk sikap, ucapan dan
perbuatan yang baik sesuai dengan ajaran islam. Akhlak terpuji yang
ditujukan kepada Allah SWT berupa ibadah, dan kepada Rasulullah SAW dengan
mengikuti ajaran-ajarannya, serta kepada sesama manusia dengan selalu
bersikap baik kepada sesama. (AQIDAH AKHLAQ Ahmad Abid Al-Arif )
- Akhlak terpuji
adalah akhlak yang meningkatkan derajat seseorang di sisi Allah SWT dan
juga dalam pandangan manusia.
Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan akhlak terpuji adalah sikap atau perbuatan
seorang muslim baik dari segi ucapan ataupun perbuatan yang tidak melanggar
dari apa yang telah dicontohkan Rasulullah SAW dan ajaran-ajaran islam.
Contoh-Contoh Sikap Terpuji
Contoh-Contoh Sikap Terpuji
1. Amanah (dapat
dipercaya)
Amanah
merupakan salah satu sifat terpuji yang di miliki oleh rasulullah SAW yang
harus di contoh oleh kita selaku umatnya. Sifat dapat dipercaya artinya
menyampaikan amanat kepada orang yang berhak menerimanya tanpa di
lebih-lebihkan atau di kurangi.
2.Shidiq(benar)
Shidiq juga merupakan salah satu sifat terpuji yang dimiliki Rasulullah SAW. Dalam kehidupan sehari-hari shidiq dapat diartikan jujur. Seorang muslim harus bersikap jujur dalam setiap ucapan atau perbuatan, karena kejujuran merupakan salah satu kunci dari kesuksesan.
3.Adil
Adil adalah memberikan setiap hak kepada pemiliknya tanpa pilih sasih atau membeda-bedakan.(Prof.DR.AhmadTafsir)
Sebagai muslim yang bijak, apabila ia mempunyai posisi sebagai pemimpin, maka hendaklah ia bersikap adil dan harus berupaya sekuat tenaga untuk selalu menegakkan keadilan.
4.Memaafkan
Kita sebagai seorang muslim harus menyadari bahwa siapa pun sebagai manusia pasti mengalami kesalahan dan kekhilafan. Untuk itu, dalam menjalani kehidupan sehari-hari hendaknya kita selalu memiliki jiwa yang lapang dan berhati besar sehingga mudah memaafkan kesalahan-kesalahan yang di perbuat oleh orang lain.
2.Shidiq(benar)
Shidiq juga merupakan salah satu sifat terpuji yang dimiliki Rasulullah SAW. Dalam kehidupan sehari-hari shidiq dapat diartikan jujur. Seorang muslim harus bersikap jujur dalam setiap ucapan atau perbuatan, karena kejujuran merupakan salah satu kunci dari kesuksesan.
3.Adil
Adil adalah memberikan setiap hak kepada pemiliknya tanpa pilih sasih atau membeda-bedakan.(Prof.DR.AhmadTafsir)
Sebagai muslim yang bijak, apabila ia mempunyai posisi sebagai pemimpin, maka hendaklah ia bersikap adil dan harus berupaya sekuat tenaga untuk selalu menegakkan keadilan.
4.Memaafkan
Kita sebagai seorang muslim harus menyadari bahwa siapa pun sebagai manusia pasti mengalami kesalahan dan kekhilafan. Untuk itu, dalam menjalani kehidupan sehari-hari hendaknya kita selalu memiliki jiwa yang lapang dan berhati besar sehingga mudah memaafkan kesalahan-kesalahan yang di perbuat oleh orang lain.
5.Tolong-Menolong
Tiada ada manusia yang dapat hidup berdiri sendiri, tanpa memerlukan bantuan orang lain walaupun setinggi apapun jabatan yang dimilikinya dan sekaya apapun harta yang dipunyainya. Setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti membutuhkan pertolongan orang lain. Oleh karena itu islam sangat menganjurkan kepada umatnya agar saling tolong-menolong dengan sesama, baik berupa materi, tenaga atau pikiran.
Tiada ada manusia yang dapat hidup berdiri sendiri, tanpa memerlukan bantuan orang lain walaupun setinggi apapun jabatan yang dimilikinya dan sekaya apapun harta yang dipunyainya. Setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti membutuhkan pertolongan orang lain. Oleh karena itu islam sangat menganjurkan kepada umatnya agar saling tolong-menolong dengan sesama, baik berupa materi, tenaga atau pikiran.
6.KerjaKeras
Di dunia ini tidak ada kesuksesan tanpa adanya usaha, tidak ada yang bersifat bim salabim, hanya dengan membalikan telapak tangan, melaikan semuanya harus melalui proses sebab akibat dan itu merupakan sunnatullah. Kesuksesan dapat diraih dengan cara berusaha dan bekerja keras. Karna sesungguhnya Allah menyukai hambanya yang mau bersungguh-sungguh dalam mengerjakan segala amal kebaikan.
Di dunia ini tidak ada kesuksesan tanpa adanya usaha, tidak ada yang bersifat bim salabim, hanya dengan membalikan telapak tangan, melaikan semuanya harus melalui proses sebab akibat dan itu merupakan sunnatullah. Kesuksesan dapat diraih dengan cara berusaha dan bekerja keras. Karna sesungguhnya Allah menyukai hambanya yang mau bersungguh-sungguh dalam mengerjakan segala amal kebaikan.
7.Islah
Yang dimaksud islakh di sini adalah usaha mendamaikan antara dua orang atau lebih yang bertengkar atau bermusuhan, atau mendamaikan dari hal-hal yang dapat menimbulkan peperangan dan permusuhan.
Yang dimaksud islakh di sini adalah usaha mendamaikan antara dua orang atau lebih yang bertengkar atau bermusuhan, atau mendamaikan dari hal-hal yang dapat menimbulkan peperangan dan permusuhan.
Islam
diturunkan oleh Allah sebagai rahmat (kedamaian) bagi seluruh alam. Untuk itu
siapa pun insan yang mengaku sebagai muslim harus selalu berusaha memancarkan
rahmat, yang di antaranya dapat berupa mendamaikan seorang manusia yang sedang
bertikai atau bermusuhan. karena dengan perdamaian itu akan lahir kesadaran.
Dengan kesadaran ia akan mengakui segala kekhilafan dan kealpaan.
8.Silaturrahim
Istilah silaturrahim tersusun dari kata sillah (menyambung) dan rahimi (tali persaudaraan). Adapun maksudnya adalah usaha untuk menyambung, mengikat, dan menjalin kasih sayang atau tali persaudaraan antara sesama manusia, terutama dangan sanak keluarga (kerabat). Manusia pertama di alam semeata ini adalah Nabi Adam As dan Siti Hawa. Untuk itu semua manusia di muka bumi ini pada hakekatnya adalah saudara. Maka dari itu kita sebagai umat islam, marilah kita jalin silaturrahim agar terciptanya tali persaudaraan antar sesama muslim.
Istilah silaturrahim tersusun dari kata sillah (menyambung) dan rahimi (tali persaudaraan). Adapun maksudnya adalah usaha untuk menyambung, mengikat, dan menjalin kasih sayang atau tali persaudaraan antara sesama manusia, terutama dangan sanak keluarga (kerabat). Manusia pertama di alam semeata ini adalah Nabi Adam As dan Siti Hawa. Untuk itu semua manusia di muka bumi ini pada hakekatnya adalah saudara. Maka dari itu kita sebagai umat islam, marilah kita jalin silaturrahim agar terciptanya tali persaudaraan antar sesama muslim.
No comments:
Post a Comment