MAKALAH PERAN PARADIGMA BARU DALAM REVOLUSI SCIENCE
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Paradigma Revolusi Sains
1.
Pengertian
Paradigma
Paradigma Revolusi Sains berasal dari tiga kata
yaitu Paradigma, Revolusi dan Sains atau Ilmu pengetahuan. Paradigma itu
sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata “Para” yang berarti samping, di sebelah dan dikenal, sedangkan
diegma berarti berarti suatu model, teladan, dan ideal. Jadi secara etimologi
arti paradigma adalah satu model dalam teori ilmu pengetahuan atau kerangka
pikir. Sedangkan secara
terminologis arti paradigma adalah konstruk berpikir berdasarkan pandangan yang
menyeluruh dan konseptual terhadap suatu permasalahan dengan menggunakan teori
formal, eksperimentasi dan metode keilmuan yang terpecaya.
2.
Pengertian
Revolusi
Revolusi adalah
proses menjebol tatanan lama sampai ke akar-akarnya, kemudian menggantinya
dengan tatanan yang baru sama sekali.
Pada saat masyarakat terbagi kedalam dua kelompok, yang satu
berusaha mempertahankan konstelasi kelembagaan yang lama dan yang lain berupaya
mendirikan yang baru. Dan jika polarisasi itu terjadi, maka penyelesaian secara
politis gagal. Karena mereka berselisih tentang matrik kelembagaan tempat
mencapai dan menilai perubahan politik, karena tidak ada supraintitusional yang
diakui oleh mereka untuk mengadili perselisihan revolusioner ini menggunakan
bantuan tehnik-tehnik persuasi massa, seringkali dengan melibatkan kekuatan.
Meskipun revolusi mempunyai peran yang vital dalam evolusi lembaga-lembaga
politik, peran ini bergantung pada apakah revolusi itu merupakan peristiwa yang
sebagian ekstrapolitis dan ekstraintitusional.
dalam
pemilihan paradigma tidak adastandar yang lebih tinggi daripada persetujuan
masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkapkan bagaimana revolusi sains
dipengaruhi, kita tidak hanya harus meneliti dampak sifat dan dampak logika,
tetapi juga tehnik-tehnik argumentasi persuasif dan efektif didalam
kelompok-kelompok yang sangat khusus yang membentuk masyarakat sains itu.
Sesuatu yang bahkan lebih fundamental daripada standar-standar dan nilai-nilai,
bagaimanapun juga dipertaruhkan.
3.
Pengertian
Sains atau Ilmu Pengetahuan
Pengertian ilmu menurut beberapa ahli adalah
sebagai berikut :
Ashley Montagu menyebutkan
bahwa “Science is a systemized knowledge services form observation, study, and
experiment carried on under determine the nature of principles of what being
studied.” (ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang disusun dalam suatu system
yang berasal dari pengamatan, studi dan pengalaman untuk menentukan hakikat dan
prinsip hal yang sedang dipelajari).
Harold H. Titus mendefinisikan
“Ilmu (Science) diartikan sebagai common sense yang diatur dan diorganisasikan,
mengadakan pendekatan terhadap benda-benda atau peristiwa-peristiwa dengan
menggunakan metode-metode observasi yang teliti dan kritis).
Jadi Paradigma
Revolusi Sains adalah Perubahan mendasar yang merupakan episode perkembangan
non-kumulatif, dimana paradigma lama diganti sebagian atau seluruhnya oleh
paradigma baru yang ber-tentangan, karena adanya
fakta-fakta ilmiah yang tidak sesuai dengan kenyataan.[1]
B. Paradigma Revolusi
Sains
Revolusi sains muncul
karena adanya anomali dalam riset ilmiah yang makin parah dan munculnya krisis
yang tidak dapat diselesaikan oleh paradigma yang menjadi referensi riset.
Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang
lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma
tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika
terwujud, maka lahirlah revolusi sains.
Revolusi sains
merupakan episode perkembangan non-kumulatif, dimana paradigma lama diganti
sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang bertentangan.
Transformasi-transformasi paradigma yang berurutan dari paradigma yang satu ke
paradigma yang lainnya melalui revolusi, adalah pola perkembangan yang biasa
dari sains yang telah matang. Jalan revolusi sains menuju sains normal bukanlah
jalan bebas hambatan.
Sebagian ilmuwan atau
masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau menerima paradigma baru dan ini
menimbulkan masalah sendiri. Dalam pemilihan paradigma tidak ada standar yang
lebih tinggi dari pada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Untuk
menyingkap bagaimana revolusi sains itu dipengaruhi, kita harus meneliti dampak
sifat dan dampak logika juga teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif
di dalam kelompok-kelompok yang membentuk masyarakat sains itu. Oleh karena itu
permasalahan paradigma sebagai akibat dari revolusi sains, hanya sebuah
konsensus yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan masyarakat sains itu
sendiri. Semakin paradigma baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat sains,
maka revolusi sains kian dapat terwujud.
Selama revolusi, para
ilmuwan melihat hal-hal yang baru dan berbeda dengan ketika menggunakan
instrumen-instrumen yang sangat dikenal untuk melihat tempat-tempat yang pernah
dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan ke
daerah lain di mana obyek-obyek yang sangat dikenal sebelumnya tampak dalam
penerangan yang berbeda, berbaur dengan obyek-obyek yang tidak dikenal. Ilmuwan
yang tidak mau menerima paradigma baru sebagai landasan risetnya, dan tetap
bertahan pada paradigma yang telah dibongkar dan sudah tidak mendapat dukungan
dari mayoritas masyarakat sains, maka aktivitas risetnya tidak berguna sama
sekali.
Konsep sentral Kuhn
adalah apa yang dinamakan dengan paradigma. Istilah ini tidak dijelaskan secara
konsisten, sehingga dalam berbagai keterangannya sering terjadi perubahan
konteks dan arti. Pemilihan kata ini erat kaitannya dengan sains normal, yang
oleh Kuhn dimaksudkan untuk mengemukakan bahwa beberapa contoh praktik ilmiah
nyata yang diterima (yaitu contoh-contoh yang bersama-sama mencakup dalil,
teori, penerapan dan instrumentasi) menyajikan model-model yang melahirkan
tradisi-tradisi padu tertentu dari riset ilmiah. Atau ia dimaksudkan sebagai
kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun praktik-praktik ilmiah
dalam periode tertentu.
Paradigma ini
membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, di mana ilmuwan
berkesempatan mengembangkan secara rinci dan mendalam, karena tidak terlalu
memperhatikan dengan hal-hal yang mendasar. Dalam tahap ini ilmuwan tidak
bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktifitas ilmiahnya, dan
selama menjalankan riset ini ilmuwan bisa menjumpai berbagai fenomena yang
disebut anomali. Jika anomali ini kian menumpuk, maka bisa timbul krisis. Dalam
krisis inilah paradigma mulai dipertanyakan. Dengan demikian ilmuwan sudah
keluar dari sains normal. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi
pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau
mengembangkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan
membimbing riset berikutnya. Jika terwujud, maka lahirlah revolusi ilmiah.
Dari sini nampak bahwa
paradigma pada saat pertama kali muncul itu sifatnya masih sangat terbatas,
baik dalam cakupan maupun ketepatannya. Paradigma memperoleh statusnya karena
lebih berhasil dari pada saingannya dalam memecahkan masalah yang mulai diakui
oleh kelompok praktisi bahwa masalah-masalah itu rawan.
Keberhasilan sebuah
paradigma misalnya analisis Aristoteles mengenai gerak, atau perhitungan
Ptolemaeus tentang kedudukan planet, atau yang lainnya. Pada mulanya sebagian
besar adalah perwujudan akan keberhasilan yang dapat ditemukan sebelumnya,
contoh-contoh pilihan yang belum lengkap.
Dan ini sifatnya masih terbatas serta ketepatannya masih dipertanyakan. Dalam
perkembangan selanjutnya, secara dramatis, ketidak berhasilan teori Ptolemaeus
betul-betul terungkap ketika muncul paradigma baru dari Copernicus. Contoh lain
tentang hal ini, misalnya bisa dilihat pada bidang fisika yang berkenaan dengan
teori cahaya. Mula-mula cahaya dinyatakan sebagai foton, yaitu wujud mekanis
kuantum yang memperlihatkan beberapa karakteristik gelombang dan beberapa
karakteristik partikel. Teori ini menjadi landasan riset selanjutnya yang hanya
berumur setengah abad dan berakhir ketika muncul teori baru dari Newton yang
mengajarkan bahwa cahaya adalah partikel yang sangat halus. Teori ini pun
sempat diterima oleh hampir semua praktisi sains optika, kemudian muncul teori
baru yang bisa dikatakan lebih “unggul” yang digagas oleh Young dan Fresnel
pada awal abad XIX yang selanjutnya dikembangkan oleh Planck dan Einstein,
yaitu bahwa cahaya adalah gerakan gelombang tranversal.
Transformasi-transformasi
paradigma semacam ini adalah revolusi sains, dan transisi yang berurutan dari
paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi, adalah pola
perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang[2]
C. Keunggulan Paradigma
Sejarahwan harus membandingkan
paradigma-paradigma masyarakat itu satu sama lain dengan laporan riset pada
masa itu, tujuannya adalah menemukan unsure-unsur yang dapat diisolasi secara
gambling atau tersirat yang oleh para anggota masyarakat bisa jadi telah
diringkaskan dari paradigma-paradigma yang lebih global dan digunakan sebagai
kaidah-kaidah dalam riset mereka. Meskipun demikian jika kepaduan tradisi riset
akan dipahami dari segi kaidah-kaidah, diperkukan beberapa rincian tentang
dasar bersama dalam bidang yang sesuai akibatnya, pencarian kumpulan kaidah
yang berwenang membentuk tradisi riset normal tertentu menjadi sumber frustasi
yang dalam dan berkesinambungan.
Para ilmjuwan bisa sepakat bahwa Newton,
Lavoisier, Maxwell atau Einstein telah menghasilkan pemecahan yang tampaknya
permanen bagi sekelompok masalah penting namun tidak sepakat tentang
karakteristik-karakteristik abstrak tertentu yang menjadikan
pemecahan-pemecahan itu permanen. Artinya mereka bisa sepakat dalam
identifikasi tentang suatu paradigma tanpa sepakat dalam atau bahkan berupaya
untuk menghasilkan interpretasi atau rasionalisasi yang bulat tentang paradigm
itu. Sesuatu yang jenisnya sama bisa saja berlaku bagi berbagai teknik dan
masalah riset yang timbul dalam suatu tradisi sains yang normal.
Para ilmuwan bekerja berdasarkan model-model
yang diperoleh melalui pendidikan dan selanjutnya melalui terpaan kepustakaan
sering tanpa mengetahui atau merasa perlu mengetahui
karakteristik-karakteristik apa yang telah diberikan oleh model-model ini bagi
status paradigmaparadigma masyarakat.Para ilmuwan tidak biasa menanyakan atau
memperdebatkan apa yang membuat suatu masalah atau pemecahan tertentu itu sah
mendorong kita untuk menduga bahwa sekurang-kurangnya secara naluriah mereka
mengetahui jawabannya. Paradigma-paradigma bisa lebih unggul, lebih mengikat
dan lebih lengkap daripada perangkat manapun dari kaidah-kaidah untuk riset
yang tidak diragukan pasti disarikan dari paradigma-paradigma itu.
Proses belajarteori bergantung pada studi penerapannya
termasuk praktek pemecahan masalah baik dengan potlot dan kertas maupun dengan
instrument di laboratorium. Sains yang normal hanya bisa berjalan tanpa
kaidah-kaidah selama masyarakat ilmiah yang relevan menerimanya tanpa
mempertanyakan pemecahan masalah tertentu yang telah dicapainya. Oleh sebab itu
kaidah-kaidah harus menjadi penting dan ketakpedulian yang khas terhadapnya
akanlenyap bilamana paradigmaparadigma tau model-model dibiarkan tidak kukuh. [3]
D. Siklus Paradigma
Revolusi Sains
Istilah
paradigma menjadi begitu popular setelah diintroduksikan oleh ThomasKuhn melalui bukunya The Structure of Scientific Revolution yang
membicarakan tentang Filsafat Sains. Khun menjelaskan bahwa Paradigma merupakan suatu cara pandang, nilai-nilai, metode-metode,prinsip dasar atau memecahkan sesuatu masalah yang
dianut oleh suatu masyarakatilmiah pada suatu tertentu. Apabila suatu cara
pandang tertentu mendapat tantangan dari luar atau mengalami krisis
(“anomalies”), kepercayaan terhadap cara pandang tersebut menjadi
luntur, dan cara pandang yang demikian menjadi kurang berwibawa,pada saat itulah menjadi pertanda telah terjadi
pergeseran paradigma. Untuk lebih jelasnya berikut diuraikan siklus
revolusi sains menurut Kuhn adalah:
Paradigma awal, Normal Sains,Anomali, Krisis, Revolusi Sains, Paradigma
Baru
1. Paradigma Awal
Paradigma pada saat
pertama kali muncul itu sifatnya masih sangat terbatas, baik dalam cakupan
maupun ketepatannya. Paradigma memperoleh statusnya karena lebih berhasil dari
pada saingannya dalam memecahkan masalah yang mulai diakui oleh kelompok
ilmuwan bahwa masalah-masalah itu rawan,
maka ilmuwan dalam hal ini
bersaing mengumpulkan fakta tanpa menghiraukan kaidah-kaidah teoritisnya. Pada
tahap ini terdapat sejumlah aliran yang saling bersaing, tetapi tidak ada
satupun aliran yang memperoleh penerimaan secara umum. Namun perlahan-lahan
salah satu sistem yang teoritikal mulai memperoleh penerimaan secara umum dan
dengan itu paradigma pertama sebuah disiplin terbentuk, dan dengan terbentuknya
paradigma itu kegiatan ilmiah sebuah disiplin memasuki periode Normal Sains.
Konsep sentral Kuhn
adalah apa yang dinamakan dengan paradigma. Istilah ini tidak dijelaskan secara
konsisten, sehingga dalam berbagai keterangannya sering berubah konteks dan
arti. Pemilihan kata ini erat kaitannya dengan sains normal, yang oleh Kuhn di
maksudkan untuk mengemukakan bahwa beberapa contoh praktik ilmiah nyata yang
diterima (yaitu contoh-contoh yang bersama-sama mencakup dalil, teori,
penerapan dan instrumentasi) menyajikan model-model yang melahirkan
tradisi-tradisi padu tertentu dari riset ilmiah. Atau ia dimaksudkan sebagai
kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun praktik-praktik ilmiah
dalam periode tertentu.
Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, di
mana ilmuwan berkesempatan mengembangkan secara rinci dan mendalam, karena
tidak sibuk dengan hal-hal yang mendasar. Dalam tahap ini ilmuwan tidak
bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktifitas ilmiahnya, dan
selama menjalankan riset ini ilmuwan bisa menjumpai berbagai fenomena yang
disebut anomali. Jika anomali ini kian menumpuk, maka bisa timbul krisis. Dalam krisis inilah paradigma mulai dipertanyakan.
Dengan demikian sang ilmuwan sudah keluar dari sains normal. Untuk mengatasi
krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil
memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan
masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika yang terakhir ini terjadi, maka
lahirlah revolusi ilmiah.
Keberhasilan sebuah
paradigma semisal analisis Aristoteles mengenai gerak, atau perhitungan
Ptolemaeus tentang kedudukan planet, atau yang lainnya. Pada mulanya sebagian
besar adalah janji akan keberhasilan yang dapat ditemukan contoh-contoh pilihan
dan yang belum lengkap. Dan ini sifatnya masih terbatas serta ketepatannya
masih dipertanyakan. Dalam perkembangan selanjutnya, secara dramatis, ketidak
berhasilan teori Ptolemaeus betul-betul terungkap ketika muncul paradigma baru
dari Copernicus. Ptolemeus mengatakan bahwa bumi tidak bergerak, matahari dan
bintang-bintanglah yang bergerak mengelilingi bumi. Saat itu para tokoh agama
dan dosen-dosen universitas di seluruh Italia mengganggap ajaran Aristoteles
dan Ptolemeus adalah ajaran yang paling benar. Karena, mereka salah menafsirkan
sepenggal ayat yang tedapat dalam Kitab Suci. Sementara itu, Galileo tetap
mempertahankan teorinya dan mendukung teori Copernicus yang mengatakan bahwa
matahari adalah pusat tata surya. Akibatnya, ia ditangkap para tokoh agama,
diadili, dan dijatuhi hukuman sebagai tahanan rumah. Galileo meninggal pada
usia 78 tahun di Arcetri pada tanggal 8 Januari 1642 karena demam. Namun,
meskipun demikian teori-teorinya tetap dipakai seluruh orang di dunia hingga
kini.
Contoh Kasus Paradigma
Awal
Contoh lain tentang hal ini adalah
teoriabiogenesis yang diungkapkan oleh Aristoteles dianggap
sebagai paradigma karena saat itu ada sebagian ilmuan yang memang mendukung
Teori Abiosgebesis. Tokoh teori Abiogenesis adalah Aristoteles (384-322 SM).
Dia adalah seorang filosof dan tokoh ilmu pengetahuan Yunani Kuno. Teori
Abiogenesis ini menyatakan bahwa makhluk hidup yang pertama kali menghuni bumi
ini berasal dari benda mati. Sebenarnya Aristoteles mengetahui bahwa
telur-telur ikan apabila menetas akan menjadi ikan yang sifatnya sama seperti
induknya. Telur-telur tersebut merupakan hasil perkawinan dari induk-induk
ikan. Walau demikian, Aristoteles berkeyakinan bahwa ada ikan yang berasal dari
Lumpur.
Bagaimana cara terbentuknya makhluk tersebut ? Menurut pengzanut paham
abiogenesis, makhluk hidup tersebut terjadi begitu saja atau secara spontan.
Oleh sebab itu, paham atau teori abiogenesis ini disebut juga paham generation
spontaneae. Jadi, kalau pengertian abiogenesis dan generation spontanea kita
gabungkan, mak pendapat paham tersebut adalah makhluk hidup yang pertama kali
di bumi tersebut dari benda mati / tak hidup yang terkjadinya secara spontan,
misalnya :
a. ikan dan katak
berasal dari Lumpur.
b. Cacing berasal dari
tanah
c. Belatung berasal
dari daging yang membusuk.
Paham abiogenesis bertahan cukup lama, yaitu semenjak zaman Yunani Kuno
(Ratusan Tahun Sebelum Masehi) hingga pertengahan abad ke-17. Pada pertengahan
abad ke-17, Antonie Van Leeuwenhoek menemukan mikroskop sederhana yang dapat
digunakan untuk mengamati benda-benda aneh yang amat kecil yang terdapat pada
setetes air rendaman jerami. Oleh para pendukung paham abiogenesis, hasil
pengamatan Antonie Van Leeuwenhoek ini seolah-olah memperkuat pendapat mereka
tentang kevalaidan teori Abiogenesis. Pendukung lainnya yaitu Jhon Needham
(kehidupan berasal dari kaldu), Van Helment (tikus berasal dari biji dan
karung)
Transformasi-transformasi paradigma semacam ini adalah revolusi sains,
dan transisi yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya
melalui revolusi, adalah pola perkembangan yang biasa dari sains yang telah
matang.
2.
Normal Sains
Kuhn menyebut Normal
Sains sebagai suatu kegiatan penelitian yang secara teguh berdasarkan satu atau
lebih pencapaian ilmiah di masa lalu yakni pencapaian-pencapaian yang oleh
komunitas ilmiah pada suatu masa dinyatakan sebagai pemberi landasan untuk
praktek selanjutnya. Normal
Sains memiliki dua esensi yakni:
(1) Pencapaian ilmiah itu cukup
baru sehingga menarik para praktisi ilmu dari berbagai aliran, menjalankan
kegiatan ilmiah, maksudnya dihadapkan pada berbagai alternatif cara menjalankan
kegiatan ilmiah. Sebagian besar praktisi ilmu cenderung untuk memilih dan
mengacu pada pencapaian itu dalam menjalankan kegiatan ilmiah mereka.
(2) Pencapaian itu cukup terbuka
sehingga masih terdapat berbagai masalah yang memeprlukan penyelesaian oleh
praktisi ilmu dengan mengacu pada pencapaian-pencapaian itu. Kuhn berpendapat
bahwa kemajuan ilmu itu pertama-tama bersifat revolusioner dan tidak bersifat
evolusioner atau komulatif.
Normal Sains bekerja
berdasarkan paradigma yang dianut atau yang berlaku, oleh karena itu pada
dasarnya penelitian normal tidak dimaksudkan untuk pembaharuan besar melainkan
hanya untuk mengartikulasi paradigma itu. Kegiatan ilmiah Normal Sains hanya
bertujuan untuk menambah lingkup dan presisi pada bidang-bidang yang
terhadapnya oaradigma tersebut dapat diaplikasikan. Oleh karena itu, sebagai “an
attempt to force nature into the performed and relatively inflexible box that
the paradigm supplies”.Jadi Normal Sains adalah jenis kegiatan ilmiah yang
sangat restriktif dan keuntungannya adalah bahwa kegiatan ilmiah yang demikian
itu
akan semakin memberikan hasil yang mendalam. Para ilmuwan dalam Normal Sains
biasanya bekerja dalam kerangka seperangkat aturan yang sudah dirumuskan secara
jelas berdasarkan paradigm dalam bidang tertentu, sehingga pada dasarnya
solusinya sudah dapat diantisipasi terlebih dahulu. Dengan demikian, kegiatan
ilmiah dalam kerangka ilmu noprmal adalah seperti kegiatan “puzzle solving”.
Implikasinya adalah bahwa kegagalan menghasilkan suatu solusi terhadap masalah
tertentu lebih mencerminkan tingkat kemampuan ilmuwannya ketimbang sifat dari
masalah yang bersangkutan atau metode yang digunakan.
Contoh
Kasus Normal Sains “ Teori Abiogenesis”
Perkembangan sains yang terus berlangsung para ilmuan berusaha untuk
memperoleh Normal Sains dari teori Abiogenesis tersebut yang sempat bertahan
berabad-abad.
3. Anomali dan Munculnya Penemuan
Baru
Walaupun Normal Sains itu
adalah kegiatan komulatif (menambah pengetahuan) dalam bidang yang
batas-batasnya ditentukan oleh paradigm tertentu, namun dalam perjalanan
kegiatan dapat menimbulkan hasil yang tidak diharapkan. Maksudnya dalam kegiatan
ilmiah itu dapat timbul penyimpangan, yang oleh Kuhn disebut anomali. Terbawa
oleh sifatnya sendiri yakni oleh batasbatas yang ditetapkan oleh paradigma,
Normal Sains akan mendorong para ilmuwan pemprakteknya menyadari adanya
anomali, yakni hal baru atau pertanyaan yang tidak tercover atau
terliputi oleh kerangka paradigma yang bersangkutan yang tidak terantisipasi
berdasarkan paradigma yang menjadi acuan kegiatan ilmiah. Adanya anomali ini
merupakan prasyarat bagi penemuan baru yang akhirnya dapat mengakibatkan
perubahan paradigma. Mengenali dan mengakui adanya anomali memerlukan waktu
yang lama, dan biasanya terjadi resistensi terhadap anomali itu. Jika penemuan
baru dapat menangani anomali tertentu, maka akan terjadi penyesuaian kecil pada
paradigma. Penyesuaian yang demikian itu biasanya hanya mempengaruhi sekelompok
spesialis yang bekerja dalam bidang khusus tertentu tempat pertama kali
ditemukannya anomali itu.
Tetapi dari waktu ke waktu
sejumlah anomaly terjadi dalam lingkungan Normal Sains tertentu yang
menciptakan semacam krisis sedemikian rupa sehingga kegiatan “puzzle solving”
biasa tidak dapat dijalankan, hal ini dapat membawa akibat yang besar terhadap
komunitas ilmiah yang bersangkutan. Adanya anomali yang krisis itu kemudian
menyebabkan sikap para ilmuwan terhadap paradigma yang berlaku, berubah dan
sesuai dengan itu sifat penelitian mereka juga berubah. Kesemuanya itu adalah “symptoms
of a transitions from normal to extradinary research”. Extradinary
research ini menciptakan pentas bagi kemungkinan berlangsungnya revolusi
ilmiah yang menumbuhkan suatu paradigma baru berkenaan dengan
akseptalibitasnya.Jika paradigma baru itu diterima oleh komunitas ilmiah, maka
hal itu berarti bahwa paradigma terdahulu ditolak atau ditinggalkan. Paradigma yang
baru akan diterima sebagai pengganti yang lama, jika paradigma baru itu mampu
memberikan penyelesaian terhadap anomali yang ditemukan dan tidak terselesaikan
dalam kerangka paradigma lama, memiliki lebih banyak prefisi kuantitatif dan
dapat meramalkan fenomena baru, memiliki kualitas estetika tertentu atau
didukung oleh sejumlah anggota komunitas yang berpengaruh. Diterimanya
paradigma baru berarti terbentuk Normal Sains baru yang akan berkembang sampai
terjadi lagi revolusi ilmiah. Demikianlah bahwa dalam dinamika kegiatan ilmiah,
para ilmuwan dapat menyadari adanya peningkatan anomali yang penyelesaiannya
menyimpang dari paradigma yang berlaku.
Anomali
dan penyelesaiannya mulai dipandang sebagai eksemplar baru. Telaah terhadap
lembaran baru ini mempunyai dampak umpan balik terhadap kerangka interpretasi
paradigmatik. Asimilasi teori baru yang ditimbulkannya memerlukan rekonstruksi
teori sebelumnya dan evaluasi ulang terhadap fakta sebelumnya dan dengan itu
terjadilah “paradigm shifts” (pergantian paradigma). Perubahan paradigma
itu menimbulkan berbagai perubahan dalam kegiatan ilmiah. Hal itu akan
menimbulkan redefinisi ilmu yang bersangkutan. Beberapa masalah dinyatakan
sebagai masalah yang termasuk dalam disiplin lain atau dinyatakan bukan masalah
ilmiah lagi. Dengan demikian, yang sebelumnya dianggap bukan masalah atau hanya
masalah kecil, kini menjadi masalah pokok. Standar dan kriteria untuk
menentukan keabsahan masalah dan keabsahan solusi masalah dengan sendirinya
juga berubah. Secara umum dapat dikatakan bahwa perubahan paradigma itu membawa
transformasi dalam “ the scientific imagination” dan dengan itu juga
terjadi “transformation of the world.
Dalam puzzle solving, para ilmuwan membuat percobaan dan
mengadakan observasi yang bertujuan untuk memecahkan teka-teki, bukan mencari
pembenaran. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan
penting atau malah mengakibatkan konflik, maka suatu paradigma baru harus
diciptakan. Dengan demikian kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan kepada
penemuan paradigma baru, dan jika penemuan baru ini berhasil, maka akan terjadi
perubahan besar dalam ilmu pengetahuan.
Penemuan baru bukanlah peristiwa-peristiwa yang tersaing, melainkan
episode-episode yang diperluas dengan struktur yang berulang secara teratur.
Penemuan diawali dengan kesadaran akan anomali, yakni dengan pengakuan bahwa
alam dengan suatu cara, telah melanggar pengharapan yang didorong oleh
paradigma yang menguasai sains yang normal. Kemudian ia berlanjut dengan
eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah anomali. Dan ia hanya
berakhir bila teori atau paradigma itu telah disesuaikan sehingga yang
menyimpang itu menjadi sesuai dengan yang diharapkan. Jadi yang jelas, dalam
penemuan baru harus ada penyesuaian antara fakta dengan teori yang baru.
Contoh Kasus Anomali
Sains adalah Tentang “Teori Abiogenesis”
Dalam perkembangannya sebagian Ilmuan tidak merasa
puas dan meragagukan kevalidan teori abiogenesis dan untuk menghilangkan
keraguan tersebut sebagian ilmuan membuat percoban sendiri seperti Francesco
Redi (Italia, 1626-1799) . Berikut percobaan yang dilakukan Francesco Redi.
Percobaan Francesco
Redi ( 1626-1697)
Untuk menjawab
keragu-raguannya terhadap paham abiogenesis, Francesco Redi mengadakan
percobaan. Pada percobaannya Redi menggunakan bahan tiga kerat daging dan tiga
toples. Percobaan Redi selengkapnya adalah sebagai berikut :
Stoples I : diisi
dengan sekerat daging, kemudian ditutup rapat-rapat.
Stoples II :diisi
dengan sekerat daging, kemudian ditutup dengan kain kasa
Stoples III : disi
dengan sekerat daging,kemudian dibiarkan tetap terbuka.
Selanjutnya ketiga
stoples tersebut diletakkan pada tempat yang aman. Setelah beberapa hari,
keadaan daging dalam ketiga stoples tersebut diamati. Dan hasilnya sebagai
berikut:
Stoples I : daging
tidak busuk dan pada daging ini tidak ditemukan jentik / larva atau belatung
lalat.
Stoples II : Daging
tampak membusuk tetapi belatungnya relative sedikit dari pada diatas kain kasa
penutup
Stoples III : daging tampak membusuk dan didalamnya ditemukan banyak larva atau belatung lalat.
Stoples III : daging tampak membusuk dan didalamnya ditemukan banyak larva atau belatung lalat.
Berdasarkan hasil
percobaan tersebut, Francesco redi menyimpulkan bahwa larva atau belatung yang
terdapat dalam daging busuk di stoples II dan III bukan terbentuk dari daging
yang membusuk, tetapi berasal dari telur lalat yang ditinggal pada daging ini
ketika lalat tersebut hinggap disitu. Hal ini akan lebih jelas lagi, apabila
melihat keadaan pada stoples II, yang tertutup kain kasa. Pada kain kasa
penutupnya ditemukan lebih banyak belatung, tetapi pada dagingnya yang membusuk
belatung relative sedikit.
4. Krisis Sains
Perubahan yang
melibatkan penemuan-penemuan ini semuannya destruktif dan sekaligus
konstruktif. Namun penemuan atau bukan, satu-satunya sumber paradigma
destruktif – kostruktif ini berubah. Kita akan mulai meninjau perubahan yang
serupa, tetapi biasanya lebih luas, yang disebabkan oleh penciptaan teori-teori
baru. Kita asumsikan bahwa krisis merupakan prakondisi yang diperlukan dan
penting bagi munculnya teori-teori baru. Meskipun mereka mungkin kehilangan
kepercayaan dan kemudian mempertimbangkan alternatif-alternatif, mereka tidak
meninggalkan paradigma yang telah membawa mereka kedalam krisis. Artinya mereka
tidak melakukan anomali-anomali sebagai kasus pengganti meskipun dalam
perbendaharaan kata filsafat sains demikian adanya.
Akan tetapi, ini memang
berarti-apa yang akhirnya akan menjadi masalah pokok – bahwa tindakan
mempertimbangkan yang mengakibatkan para ilmuwan menolak teori yang semula
diterima itu selalu didasarkan atas lebih daripada perbandingan teori itu
dengan dunia. Putusan untuk menolak sebuah paradigma selalu sekaligus merupakan
putusan untuk menerima yang lain, dan pertimbangan yang mengakibatkan putusan
itu melibatkan perbandingan paradigma-paradigma dengan alam maupun satu sama
lain. Sains yang normal berupaya dan harus secara berkesinambungan berupaya
membawa teori dan fakta kepada kesesuaian yang lebih dekat, dan kegiatan itu
dapat dengan mudah dilihat sebagai penguji atau pencari pengukuhan dan
falsifikasi. Ini berarti bahwa jika suatu anomali akan menimbulkan krisis,
biasanya harus lebih daripada sekadar sebuah anomali. Selalu ada kesulitan
dalam kecocokan paradigma alam; kebanyakan diantara cepat atau lambat
diluruskan, seringkali dengan proses-proses yang mungkin tidak diramalkan.
Kadang-kadang sains yang normal akhirnya ternyata mampu menangani masalah yang
membangkitkan krisis meskipun ada keputusan pada mereka yang melihatnya
sebagai akhir dari suatu paradigma yang ada.
Transisi dari paradigma
dalam krisis kepada paradigma baru yang daripadanya dapat muncul dari tradisi
baru sains yang normal itu jauh dari proses kumulatif yang dicapai dengan
artikulasi atau perluasan paradigma yang lama. antisipasi sebelumnya bisa
membantu kita mengenal krisis sebagai pendahuluan yang tepat bagi munculnya
teori-teori baru, terutama karena kita telah meneliti versi kecil-kecilan dari
proses yang sama dalam membahas munculnya sebuah penemuan. Paradigma baru
sering muncul, setidak-tidaknya sebagai embrio, sebelum krisis berkembang jauh
atau telah diakui dengan tegas. Bertambah banyaknya artikulasi yang bersaingan,
kesediaan untuk mencoba apapun, pengungkapan ketidakpuasan yang nyata,
semuannya merupakan gejala transisi dari riset yang normal kepada riset
istimewa. Gagasan sains yang normal lebih bergantung eksistensi semua ini
ketimbang pada revolusi-revolusi.
5. Revolusi Sains
Kemudian revolusi sains muncul karena adanya anomali dalam riset ilmiah
yang makin parah dan munculnya krisis yang tidak dapat diselesaikan oleh
paradigma lama yang menjadi referensi riset. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan
bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara
itu atau mengembangkan sesuatu paradigma
tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika
yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi sains.
Revolusi sains merupakan episode perkembangan non-kumulatif, dimana
paradigma lama diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang
ber-tentangan. Transformasi-transformasi paradigma yang berurutan dari
paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi, adalah pola
perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang. Jalan revolusi sains
menuju sains normal bukanlah jalan bebas hambatan
Selama revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal yang baru dan berbeda
ketika menggunakan instrumen-instrumen yang sangat dikenal untuk melihat
tempat-tempat yang pernah dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu
tiba-tiba dipindahkan ke daerah lain di mana obyek-obyek yang sangat dikenal
sebelumnya tampak dalam penerangan yang berbeda, berbaur dengan obyek-obyek
yang tidak dikenal. Ilmuwan yang tidak mau menerima paradigma baru sebagai
landasan risetnya, dan tetap bertahan pada paradigma yang telah dibongkar dan
sudah tidak mendapat dukungan dari mayoritas masyarakat sains, maka aktivitas
risetnya tidak berguna sama sekali.
Revolusi sains di sini dianggap sebagai episode perkembangan
non-kumulatif yang di dalamnya paradigma yang lama diganti sebagian atau
seluruhnya oleh paradigma baru yang bertentangan.
Adanya revolusi sains bukan merupakan hal yang berjalan dengan mulus tanpa
hambatan. Sebagian ilmuwan atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau
menerima paradigma baru. Dan ini menimbulkan masalah sendiri yang memerlukan
pemilihan dan legitimasi paradigma yang lebih definitif.
Dalam pemilihan paradigma tidak ada standar yang lebih tinggi dari pada
persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkapkan bagaimana
revolusi sains itu dipengaruhi, kita tidak hanya harus meneliti dampak sifat
dan dampak logika, tetapi juga teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif
di dalam kelompok-kelompok yang sangat khusus yang membentuk masyarakat sains
itu. Oleh karena itu permasalahan
paradigma sebagai akibat dari revolusi sains, hanyalah sebuah konsensus yang
sangat ditentukan oleh retorika di kalangan akademisi dan atau masyarakat sains
itu sendiri. Semakin paradigma baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat
sains, maka revolusi sains kian dapat terwujud.
Selama revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal yang baru dan berbeda
dengan ketika menggunakan instrumen-instrumen yang sangat dikenal untuk melihat
tempat-tempat yang pernah dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu
tiba-tiba dipindahkan ke daerah lain di mana obyek-obyek yang sangat dikenal
sebelumnya tampak dalam penerangan yang berbeda dan juga berbaur dengan
obyek-obyek yang tidak dikenal
Kalaupun ada ilmuwan yang tidak mau menerima paradigma baru sebagai
landasan risetnya, dan ia tetap bertahan pada paradigma yang telah dibongkar
dan sudah tidak mendapat dukungan lagi dari mayoritas masyarakat sains, maka
aktivitas-aktivitas risetnya hanya merupakan tautologi, yang tidak berguna sama
sekali.
Contoh Kasus Revolusi
tentang “Teori Abiogenesis”
Untuk mengatasi dari krisis yang berkepanjangan tersebut, para ilmuan
kembali mencari kevalidan. Ilmuwan yang tidak mendapat kepuasan tentang
pemahaman kehidupan dari berasal benda mati ataupun dari mahluk hidup. Ilmuan
mencari kevalidan tersebut dengan menggunakan cara-cara lama dan mengembangkan
paradigma yang menjadi tandingannya. Dan berupaya memecahkan masalah dan
membimbing riset berikutnya. Dengan hasil temuannya dapat suatu kesimpulan
bahwa Kehidupan berasal dari benda hidup (makhluk hidup) bersel satu yang
berkembang menjadi makhluk hidup yang lebih kompleks (evolusi biologi), dan
mahluk bersel satu tersebut terbentuk oleh evolusi kimia. Unsure-unsur yang
terkandung dalam makhluk hidup (bahan organic; asam amino, lipid, dll) persis
sama dengan apa yang terdapat dialam yang telah mengalami evolusi kimia.
Pendapat evolusi kimia ini banyak pendukungnya karena lebih logis dan dpat
diuji secara eksperimental. Pada masa ini terjadi revolusi, paham yang
menyatakan bahwa kehidupan berasal dari benda mati (kaldu, jerami, dll) kevalidan
sudah berkurang dan banyak ilmuan lebih menyetujui bahwa kehidupan berasal dari
benda hidup.
6. Paradigma Baru
Sebagian ilmuwan atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau
menerima paradigma baru dan ini menimbulkan masalah sendiri. Dalam pemilihan
paradigma tidak ada standar yang lebih tinggi dari pada persetujuan masyarakat
yang bersangkutan. Untuk menyingkap bagaimana revolusi sains itu dipengaruhi,
kita harus meneliti dampak sifat dan dampak logika juga teknik-teknik
argumentasi persuasif yang efektif di dalam kelompok-kelompok yang membentuk
masyarakat sains itu. Oleh karena itu per-masalahan paradigma sebagai akibat
dari revolusi sains, hanya sebuah konsensus yang sangat ditentukan oleh
retorika di kalangan masyarakat sains itu sendiri. Semakin paradigma baru itu
diterima oleh mayoritas masyarakat sains, maka revolusi sains kian dapat
terwujud.
Kesemuanya
itu dimulai dengan adanya “paradigma”. Menurutnya ilmu yang sudah matang,
dikuasai oleh suatu paradigma tunggal. Paradigma ini berfungsi sebagai
pembimbing kegiatan ilmiah dalam masa Normal Sains yang mana ilmuwan
berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma secara rinci dan mendalam
karena tidak sibuk dengan hal-hal yang mendasar. Paradigma diterima oleh suatu
kelompok masyarakat ilmiah jika paradigma itu mewakili karya yang telah
dilakukannya. Paradigma Baru memperoleh status karena:
(a) Berhasil memecahkan
masalah-masalah dalam praktek
(b) Memperluas pengetahuan tentang fakta-fakta
yang oleh paradigma diperlihatkan sebagai pembuka pikiran
Jadi
dengan menggunakan istilah paradigma itu, Kuhn hendak menunjuk sejumlah contoh
praktek ilmiah aktual yang diterima atau diakui di lingkungan komunitas ilmiah,
menyajikan model-model yang mendasarkan lahirnya tradisi ilmiah yang terpadu.
Contoh praktek ini mencakup dalil-dalil, teori penerapan dan instrumentasi.
Dengan demikian para ilmuwan yang penelitiannya didasarkan pada paradigma yang
sama yang pada dasarnya terikat pada aturan dan standar yang sama pula dalam
mengemban ilmunya. Keterikatan pada aturan dan standar ini adalah prasyarat
bagi adanya Normal Sains. Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa
paradigma itu adalah gejala atau cara pandang atau kerangka berpikir yang
mendasarkan fakta atau gejala disinterpretasi dan dipahami. Hanya masalah yang
memenuhi kriteria yang diderifiasi dari paradigma saja yang dapat disebut
masalah ilmiah yang layak digarap oleh ilmuwan. Dengan demikian maka paradigma
menjadi sumber keterpaduan bagi tradisi penelitian yang normal. Aturan
penelitian diderivasi dari paradigma namun menurut Kuhn, tanpa adanya aturan
ini paradigma saja sudah cukup untuk membimbing penelitian. Jadi ilmuwan normal
sebenarnya,tidak terlalu memerlukan aturan atau metode yang standar (yang
disepakati oleh komunitas ilmiah[4]
[1]https://
07027996983860637232.google.com, Paradigma Revolusi Sains Makalah Tarmudi &
Arifin.doc
[2]
http://dyahpuspitasari04.blogspot.co.id/2016/10/filsafat-ilmu-paradigma-revolusi-sains.html
[3]http://dokumen.tips/documents/tugasfilsafatilmu-resumethomaskuhn.html
[4] https://
07027996983860637232.google.com, Paradigma Revolusi Sains Makalah Tarmudi &
Arifin.doc
No comments:
Post a Comment