MAKALAH
FIQIH MUQARIN
“TALAK TIGA DALAM SATU MAJELIS”
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada dasarnya
ikatan perkawinan dalam syari’at Islam merupakan suatu wujud perjanjian yang
suci dan kokoh, sehingga keberlangsungan (kelanggengannya) merupakan suatu
tujuan yang sangat dikehendaki untuk dicapai oleh Islam. Akad nikah bertujuan
untuk selamanya dan seterusnya hingga meninggal dunia agar suami istri
bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga yang penuh kasih sayang serta dapat
memelihara anak-anaknya dalam pertumbuhan yang baik. Oleh karena itu ikatan perkawinan adalah ikatan paling suci dan paling
kokoh.
Akan tetapi
terkadang keharmonisan dalam keluarga tidak selamanya bisa dipertahankan ke
arah yang sama. Ada beberapa hal tertentu yang dapat membuat rumah tangga retak
jika alur pikir dan persepsi pasangan suami istri tak lagi sejalan sehingga
terjadi perselisihan maupun kesalah pahaman
dan perbedaan pendapat yang akhirnya berujung pada pertengkaran dan
ketidak rukunan. Jika perselisihan dan pertengkaran itu tidak segera dicari
jalan keluarnya dengan baik sangat dimungkinkan pertengkaran itu dapat
bertambah dan berlarut-larut yang akhirnya mengakibatkan ketidak harmonisan
keluarga yang pada akhirnya berbuntut pada perceraian.
Talak dalam
hukum Islam merupakan jalan keluar terakhir yang ditempuh suami istri dalam
mengakhiri kemelut rumah tangga. Konsep talak telah ada sejak zaman jahiliyyah,
namun prakteknya sangat merugikan pihak wanita. Kebiasaan orang jahiliyyah
dalam mentalak istrinya sering bersifat aniaya. Apabila seornag suami
menjatuhkan talak kepada istrinya, maka pada akhir masa ‘iddah suami rujuk
dengan istrinya, kemudian di talak kembali.
Para ulama
sepakat membolehkan talak. Bisa saja sebuah rumah tangga mengalami keretakan
hubungan yang mengakibatkan runyamnya keadaan pernikahan sehingga pernikahan
mereka berada dalam keadaan kritis, terancam perpecahan, serta pertengkaran
yang tidak membawa keuntungan sama sekali. Dan pada saat itu, dituntut adanya
jalan untuk menghindari dan menghilangkan berbagai hal negatif tersebut dengan
cara talak.
Tata cara
perceraian pun diatur sedemikian rupa, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 129
yang berbunyi:
“Seorang
suami yag akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik
lisan maupun tertulis kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal
istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan
itu.”
B. Rumusan Masalah
1.
Hukum
talak tiga dalam 1 (satu) majelis
2.
Dasar
hukum talak tiga
3.
Pandangan
beberapa imam besar terhadap talak tiga
C. Tujuan
1.
Menjelaskan
hukum talak tiga dalam 1 (satu) majelis
2.
Menjelaskan
dasar-dasar hukum talak tiga
3.
Menjelaskan
pandangan dari imam besar terhadap talak tiga
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perceraian Talak 3
Perceraian talak 3 merupakan talak dimana
suami telah menjatuhkan talak tiga terhadap istrinya. Ketika sudah talak tiga,
perempuan yang merupakan istrinya tersebut sudah tidak halal lagi baginya
sebelum perempuan itu kawin dengan laki-laki lain. Menurut surat Al-Baqarah
ayat 230, jika seseorang suami sudah
menjatuhkan talak ketiga kepada istrinya, perempuan tersebut sudah tidak halal
lagi bagi suaminya sebelum perempuan tersebut kawin dengan pria lain. Jadi jika
sudah terjadi perceraian talak 3 perlu muhallil untuk memungkinkan pasangan
tersebut rujuk kembali antara suami istri pertama[1].
Muhallil adalah orang yang menghalalkan istri
wajib kawin dulu dengan seorang pria lain dan sudah melakukan hubungan intim
dengan suami tersebut sebagai hal yang menjadi inti perkawinan jika pasangan
itu bercerai, maka barulah pasangan suami istri pertama dapat kawin lagi.Perceraian
talak tiga juga disebut dengan talak bai’in kubra. Hal ini tercantum dalam
pasal 120 KHI. Pasal tersebut menjelaskan bahwa talak bai’in kubra tidak dapat
rujuk dan tidak dapat dinikahkan lagi kecuali jika pernikahan tersebut
dilakukan setelah istri menikah dengan pria lain dan terjadi perceraian ba’da
al dukhul serta habis masa iddahnya.
Terkait talak tiga tersebut, perempuan yang
sudah dijatuhi talak tiga harus sudah menikah lagi dengan pria lain dan
bercerai. Jika terjadi seorang pria dibayar oleh bekas suami pertama supaya
menikah dengan istrinya selanjutnya mentalaknya agar bekas suami pertama dapat menikahi
lagi perempuan tersebut sebenarnya tidak dibenarkan dalam syariat islam.[2]
Talak 3 adalah talak yang dijatuhkan sesudah
talak 2 atau bisa dengan 1x talak secara jelas seperti "aku talak kamu
dengan talak 3, dan hukum talak 3 tsb sah. Ketika jatuh talak 3 maka suami
istri tidak bisa rujuk sebelum istri menjadi janda orang lain. Talak yang
diucapkan 3x atau bahkan lebih namun dalam 1 waktu tanpa ada kejelasan ucapan
talak 3 maka dianggap masih talak 1. Misalkan suami mengatakan "aku
ceraikan kamu, aku ceraikan kamu, aku ceraikan kamu" walau 3x ucapan maka
dianggap talak 1.
Begitu juga ketika untuk waktu kedua memberi
talak. Jika seorang suami yang belum pernah memberi talak lalu menjatuhkan
talak 3 sekaligus, namun setelah itu suami merasa menyesal dan ingin kembali
maka dianggap talak tersebut adalah talak 1.[3]
Adapun talak tiga tidak boleh rujuk atau kawin
kembali kecuali apabila si perempuan telah menikah dengan orang lain dan telah
di talak pula oleh suami yang kudua itu. Sebagaimana Firman Allah:
“Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
istri) untuk menikah kembali jika keduanya akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah” (Al-Baqaroh :
230)
Jadi si perempuan yang sudah ditalak oleh
suaminya talak tiga boleh menikah kembali kepada suaminya apabila si istri
menikah dengan yang lain dan sudah dicampuri suami keduanya dan ditalak serta
masa Iddahnya sudah habis dari talak suami yang kedua. Akan tetapi perlu di
ingat pernikahan tersebut benar-benar kehendak suami yang kedua dan kesukaan
istri terhadap suami yang kedua bukan karena kehendak suami yang pertama
dan perbuatan ini tidak diperbolehkan
oleh Agama bahkan dimurkai oleh Allah dan Rasulnya.
Adapun kalimat atau cara talak tiga yang di
sahkan oleh Ulama, yaitu:
1. Menjatuhkan talak tiga pada masa yang
berlainan contoh suami menalak istrinya yang
pertama kemudian rujuk, setelah itu suami kembali menalak istrinya yang
kedua kemiad rujuk lagi, kemudian si suami kembali menalak istrinya yang
ketiga.
2. Seorang suami menalak istrinya lalu menikahnya
setelah masa iddahnya habis, begitu juga dengan talak yang kedua si suami
menalak istrinya lalu menikahinya seterlah masa iddahnya habis, kemudian
ditalak lagi ketiga kalinya. Dalam dua cara tersebut para ulama sepakat talak
tersebut menjadi talak tiga, dan berlaku hukum talak tiga yang sudah dijelaskan
diatas.
3. Suami menalak istrinya dengan kalimat “saya
talak kamu talak tiga” atau “saya talak kamu, saya talak kamu, saya talak kamu”
B. Dasar Hukum Talak Tiga dan Pandangan Menurut Imam Mazhab
1) Mazhab Maliki:
Dalam kitab Al-Muwatta’ dari Malik, “telah sampai padaku bahwa Ali bin
Thalib berfatwa tentang lelaki yang berkata kepada istrinya, ‘Engkau haram
atasku’, maka itu merupakan talak tiga”. Dari hadis ini, dapat dipahami bahwa Sayidina
Ali memberi fatwa terhadap ucapan talak secara kinayah (samar) yakni “Engkau
haram atasku”. Akibat dari
ucapan ini jatuh talak tiga, padahal disitu tidak disebutkan bilangan tiga
secara terang-terangan. Lebih layak lagi jatuhnya talak tiga bila dalam
ucapannya disebutkan bilangan tiga.
Dalam kitab Muqaddimah jilid II/76-77 disebutkan: “Dan begitu juga menurut
imam Malik tidak boleh mentalak istri dengan talak tiga sekaligus, namun kalau
dilakukan juga maka jatuh talak tiga. Hal ini, berdasarkan firman Allah :
“…Demikianlah hukum-hukum Allah janganlah kamu melampauinya dan barangsiapa
melanggar hukum-hukum Allah maka ia telah menganiaya dirinya sendiri. Engkau tidak mengetahui bahwa mungkin Allah akan mendatangkan
sesuatu perkara sesudah yang demikian itu” (QS. ath-thalaq [65]:1)
Perkara yang
dimaksud dalam ayat ini adalah rujuk. Allah telah menjadikan wanita dimaksud sebagai
wanita yang hilang (tidak dapat lagi didekati oleh suami) dengan sebab jatuhnya
talak tiga sekaligus.
Kalau sekiranya (talak seperti itu) tidak jatuh dan tidak pula
dijatuhkan hukum niscaya dia tidak kehilangan isteri dan tidak pula dia
menganiaya diri sendiri. Tidak pula Rasulallah Saw. mengharuskan Abdullah bin
Umar untuk merujuk isteri yang telah ditalaknya pada waktu haid, sebagaimana
sabdanya, “Suruh dia merujuk isterinya”.
Ini menunjukkan bahwa talak yang berdasarkan
sunnah atau tidak berdasarkan sunnah akan berlaku hukumnya dan dialah mazhab
fuqaha dan para ulama Islam pada umumnya. Tidak ada yang menyimpang dari mereka
dalam masalah ini kecuali segelintir orang yang menentangnya itu tidak perlu
diperhatikan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan menurut
mazhab Maliki tidak boleh menjatuhkan talak tiga sekaligus, tetapi kalau itu
terjadi maka dianggap sah dan berlaku
sebagai talak tiga. Dalam kitab
Muqaddimah disebutkan juga, fatwa seperti ini adalah fatwa para ulama ahli
fiqih dan mayoritas ulama Islam. Yang keluar dari fatwa ini hanyalah segelintir
orang yang tidak perlu diperhatikan.
2) Mazhab Imam Syafi’i
Dalam kitab Al-Umm jilid V/138 Allah
berfirman,
“Talak itu dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi secara baikatau menceraikan
dengan cara yang baik…”. (QS.[2]:229)
Pada ayat 230, Allah SWT berfirman :
“Lalu jika suami mentalaknya (sesudah cerai yang kedua), maka tidaklah si
wanita itu halal baginya, sehingga dia kawin lagi dengan suami yang lain”.
Dengan demikian, Al-Qur’an telah
menunjukkan–wallahu a’lam–bahwa orang yang mentalak istrinya dengan talak tiga
sekaligus, baik sesudah digauli atau belum, mantan istrinya itu tidak halal
baginya sehingga ia kawin lagi dengan suami yang lain. Apabila seorang lelaki
berkata kepada istrinya, ‘Engkau tertalak tiga’ maka haramlah ia baginya,
kecuali kalau dia sudah kawin lagi dengan suami yang lain”.Fatwa imam Syafi’i
jelas bahwa talak tiga sekaligus adalah jatuh tiga dan suami tidak boleh rujuk
lagi. Kalau itu
dilakukan maka perkawinannya tidak sah.
3) Imam Nawawi
Dalam kitabnya Minhajut Thalibin bab talak berkata, “Kalau seorang suami
berkata, ‘Saya menceraikan engkau atau engkau tercerai’ dan ia meniatkan dengan
bilangan (dua atau tiga) maka jatuhlah dua atau tiga itu’. Seperti ini pula
pada lafaz kinayah”. Fatwa imam ini jelas, baik talak yang sharih (jelas) atau
kinayah (samar), kalau diniatkan berapa bilangannya, jatuhlah talak sesuai
dengan bilangan yang diniatkannya. Contoh talak kinayah, ‘pulanglah engkau
kerumah ibumu’ dan ia meniatkan perkataan itu untuk menceraikan istrinya dan
iapun meniatkan talak tiga maka jatuhlah talak tiga.
4) Mazhab Hanbali:
Dalam mazhab ini
talak tiga sekaligus juga terhitung talak tiga. Hal ini diterangkan dalam kitab
Al-Kafi, sebuah kitab fiqih mazhab Hambali karangan Ibnu Qadomah yang terdiri
dari tiga jilid besar. Dalam jilid II/803 beliau berkata, “Jika seseorang
berkata kepada istrinya: ‘Engkau tertalak tiga’ jatuhlah talak tiga walaupun
dia meniatkan talak satu, karena ucapannya itu adalah nash kepada talak tiga,
tidak ada kemungkinan terhadap yang lain”.
Pada halaman 804 dikitab ini, beliau berkata, “Jika seseorang berkata
kepada istrinya: ‘Engkau tertalak dengan sebenar-benar talak, atau dengan
seluruh talak atau dengan talak yang terbanyak atau dengan talak yang
terakhir’, tertalaklah istrinya itu dengan talak tiga. Jika sang suami berkata,
‘Engkau tetralak sebanyak bilangan air atau sebanyak bilangan angin atau
sebanyak bilangan tanah atau seperti bilangan seribu’, tertalak lah istrinya
itu dengan talak tiga”.
Demikianlah dalil-dalil hadis dan fatwa para imam mazhab yang berkaitan dengan
talak tiga sekaligus dan yang dijadikan dalil oleh sebagian besar kaum muslimin.
C. SYARAT TALAK
Untuk keabsahan talak yang dijatuhkan oleh seorang
suami juga mesti memenuhi beberapa syarat yang telahdikemukakan oleh para
ulama. Dalam menetapkan syarat-syarat yang terpenuhi untuk keabsahan talak ini juga
terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama .
Menurut ulama dari kalangan hanafiyyah,
syarat-syarat talak yang mesti dipenuhi dibagi dalam tiga kategori, yaitu terdapat
pada suami, terdapat pada istri dana dan terdapat pada rukun halal.[5]
1.
Syarat-syarat
yang terdapat pada suami
i.
Suami mesti
yang berakal
Oleh karena itu orang gila dan anak kecil tidak sah talaknya, sebab keduanya
tidak berakal, sementara berakalnya seseorang merupakan syarat cakap untuk bertindak
hukum. Ketentuan ini disandarkan hadis Nabi SAW yang di riwayatkan oleh ahmad dan
al-Arba`ah kecuali al-Tarmidzi sebagai berikut:
“Diterima dari aisyah r.a., dari Nabi SAW
bahwa ia bersabda: dibebaskan dari tiga macam orang, yaitu dari orang tidur hingga
ia bangun, dari anak kecil hingga ia dewasa dan dari orang gila hingga ia ingat
atau sadar” (H.R. Ahmad dan al-Arba`ah kecuali al-Tirmidzi. Hadis dianggap sahih oleh
al-hakim dan juga diriwayatkan oleh ibnu hibban).
ii. Suami itu tidak dungu, bingung, pitam atau sedangtidur.
Dasar hukum tidak sahnya talak orang dungu dan
orang bingung tersebut adalah hadis Nabi SAW:
“setiap talak boleh kecuali talak anak kecil dan orang bodoh”
2.
Syarat-syarat yang terdapat pada wanita adalah bahwa wanita tersebut adalah miliknya atau masih berada dalam masa 'iddah talak. Oleh karena itu, apabila seorang laki-laki menjatuhkan talak kepada wanita yang bukan isterinya atau tidak berada dalam masa 'iddah maka talaknya tidak sah.
Ketentuan ini berdasarkan kepada hadits Nabi SAW, di antaranya adalah:
"Diterimadari 'Amru Bin Syu'aib, dari Bapaknya dari kakeknya, ia berkata
bahwa Nabi SAW pernah bersabda: Tidak ada (kewajiban menunaikan) nadzar bagi anak
adam (manusia) terhadap nadzar yang tidak ia miliki, tidak ada kemerdekaan budak
baginya terhadap apa yang tidak ia miliki dan tidak ada talak baginya terhadap apa
yang tidak ia miliki" (H.R. Abu Daud dan
al-Tirmidzi men-shahih-kannya di nukilkan dari al-Bukhari bahwa hadits ini adalah
hadits yang paling shahih).
3.
Syarat-syarat yang
terdapat pada rukun
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
i.
Lafal tersebut tidak diiringi oleh istitsna'
(pengecualian), baik pengecualian tersebut bersifat wadh'I maupun 'urfiiy.
ii. Syarat yang terdapat pada waktu, yaitu berlalu masa Ila' yang
mana masa tersebut selama empat bulan merupakan syarat terjadinya talak dengan cara
ila' dan talak tidak jatuh sebelum habis masa itu.
Adapun menurut jumhur ulama, disyaratkan pada setiap rukun talak yang telah
mereka kemukakan itu beberapa syarat sebagai berikut:
a. Syarat-syarat yang terdapat pada orang yang menjatuh kan talak adalah:
Orang yang menjatuhkan talak tersebut mesti mempunyai hubungan pernikahan dengan orang yang
menjatuhkan talaknya. Maksudnya,
talak itu dijatuhkan oleh seorang suami kepada istrinya. Adapun dasarnya adalah Hadits Nabi SAW berikut:
"Diterima dari
Jabir r.a dia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: Tidak ada talak kecuali
setelah ada pernikahan dan tidak ada memerdekakan budak kecuali setelah ada pemiliknya"
(H.R., Abu Ya'ladan Hakim men-shahihkan-nya).
Talak yang dijatuh kan oleh
suami yang berada dalam keadaan sangat marah juga tidak sahdan karenanya tidak mempunyai
kekuatan sekaligus dasar hukum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut surat Al-Baqarah ayat 230, jika seseorang suami sudah menjatuhkan talak
ketiga kepada istrinya, perempuan tersebut sudah tidak halal lagi bagi suaminya
sebelum perempuan tersebut kawin dengan pria lain. Jadi jika sudah terjadi
perceraian talak 3 perlu muhallil untuk memungkinkan pasangan tersebut rujuk
kembali antara suami istri pertama.
Menurut ulama dari kalangan hanafiyyah,
syarat-syarat talak yang mesti dipenuhi dibagi dalam tiga kategori, yaitu
terdapat pada suami, terdapat pada istri dana dan terdapat pada rukun halal.
B. Saran
Bagi pihak suami di harapkan untuk memikirkan
lebih matang sebelum melakukan hak cerainya terhadap istri, sebab selain
berakibat pada diri sendiri juga tidak baik untuk anak-anak yang pada akhirnya
muncul beberapa generasi frustasi dan kenakalan remaja yang di akibatkan oleh
perceraian orang tuanya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Rahmad
Rosyadi. 2003. Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif,
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Abu Malik Kamal bin Sayyid
Salim. 2002. Fiqih Sunnah untuk Wanita. Jakarta: Al-I’tishom Cahaya
Umat.
Ahmad Rofiq.
1995. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Cet, 1.
Sayyid Sabiq. 2009. Fikih Sunnah V, Jakarta:
Cakrawala Publishing.
[1] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqih Sunnah untuk Wanita.
Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat. 2002, hal.755
[2]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Cet, 1, 1995, hal.124
[3]A. Rahmad Rosyadi, Advokat dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003, hal. 80
[5]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Cet, 1, 1995, hal.235
No comments:
Post a Comment