|
MAKALAH PERINTAH MENUNTUT ILMU
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sesungguhnya
Islam adalah syarat keselamatan di sisi Allah. Islam tidak tegak dan tidak akan
ada kecuali dengan ilmu. Tidak ada cara dan jalan untuk mengenal Allah dan
sampai kepada-Nya kecuali dengan ilmu. Allah lah yang telah menunjukan jalan
yang paling dekat dan mudah untuk sampai kepada-Nya. Barangsiapa yang menempuh
jalan tersebut, tidak akan menyimpang dari tujuan yang dicita-citakannya.
Mencari
ilmu merupakan kewajiban setiap manusia. Tanpa ilmu kita tidak bisa menjalani
hidup ini dengan baik. Orang yang tidak memiliki ilmu biasanya akan di
manfaatkan oleh orang lain. Bahkan, orang yang tak berilmu itu akan dibodohi
oleh orang lain. Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan
pikiran carilah ilmu demi kelangsungan hidup yang lebih baik. Menuntut
ilmu dalam Islam hukumnya wajib (fardhu). Para ahli fiqih mengelompokannya dua
bagian, yaitu 1). Fardhu ‘ain; dan 2).
Fardhu kifayah. Orang yang berilmu sangat dimuliakan oleh Allah SWT dan akan
diangkat derajatnya oleh Allah SWT.
Sehingga Dengan
ilmunya para ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan
mulia kehormatannya. Para ulama bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan
menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa petunjuk dengan ilmunya, mereka
mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh dengan kebaikan) serta
derajat orang-orang yang bertaqwa.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1.
|
2.
Bagaimana keutamaan orang yang berilmu dalam islam ?
3.
Bagaimana kedudukan Ulama dalam islam ?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.
Untuk memahami perintah menuntut ilmu dalam islam.
2.
Untuk menjelaskan keutamaan orang yang berilmu dalam islam.
3.
Untuk menjelaskan kududukan Ulama dalam islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perintah Menuntut Ilmu
Sesungguhnya
Islam adalah syarat keselamatan di sisi Allah. Islam tidak tegak dan tidak akan
ada kecuali dengan ilmu. Tidak ada cara dan jalan untuk mengenal Allah dan
sampai kepada-Nya kecuali dengan ilmu. Allah lah yang telah menunjukan jalan
yang paling dekat dan mudah untuk sampai kepada-Nya. Barangsiapa yang menempuh
jalan tersebut, tidak akan menyimpang dari tujuan yang dicita-citakannya.
Jumhur
ulama sepakat, tidak ada dalil yang lebih tepat selain wahyu pertama yang
disampaikan Allah SWT kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw sebagai landasan
utama perintah untuk menuntut ilmu. Dijelaskannya pula sarana untuk
mendapatkannya, disertai bagaimana nikmatnya memiliki ilmu, kemuliaannya, dan
urgensinya dalam mengenal ke-Maha Agung-an Sang Khalik dan mengetahui rahasia
penciptaan serta menunjukkan tentang hakikat ilmiah yang tetap. Sebagaimana
firman-Nya : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang
Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam (baca tulis).
Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.(Q.S. Al ‘Alaq
[96]: 1-5).
Dalam ayat
yang lain, Allah SWT juga berfirman : “…Katakanlah : “ Adakah sama
orang-orang yang mengetahui (ilmu agama Islam) dengan orang-orang yang tidak
mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (Q.S. Az Zumar [39]: 9).
|
Terkait hal
tersebut, Rasulullah saw menandaskan bahwa menuntut, memahami dan mendalami
ilmu agama Islam itu, merupakan kewajiban utama setiap muslim. Sebagaimana
hadis yang diriwayatkan Abi Sufyan r.a., ia mendengar Rasulullah Saw telah
bersabda : “siapa yang dikehendaki menjadi orang baik oleh Allah, Allah
akan memberikan kepahaman kepadanya dalam agama Islam”. (H.R. Bukhari,
Muslim). Memahami ilmu agama akan membuat seorang muslim, baik dan benar dalam
beribadah kepada Allah SWT, jauh dari Bid’ah atau hal-hal lain yang membatalkan
ibadah kita. Serta mampu membentengi diri dan keluarga dari aqidah berbahaya.
Menuntut
ilmu dalam Islam hukumnya wajib (fardhu). Para ahli fiqih mengelompokannya dua
bagian, yaitu 1). Fardhu ‘ain; dan 2). Fardhu kifayah.
1.
Fardhu ‘ain, adalah setiap ilmu yang harus dipelajari oleh setiap
muslim tentang Ilmu Agama Islam, agar akidahnya selamat, ibadahnya benar, mu’amalahnya
lurus dan sesuai dengan yang disyariatkan Allah Azza wa Jalla, yang tertuang
dalam Al Qur’an dan Sunah Nabi-Nya yang sahih. Inilah yang diperintahkan Allah
dalam firman-Nya, “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan
(yang hak) Melainkan Allah”. (Q.S. Muhammad [47]: 19). Juga yang
dimaksudkan oleh Rasulullah Saw dalam haditsnya, “ Mencari ilmu itu
wajib bagi setiap muslim”. (H.R. Ibnu Majah). Pengertian mencari ilmu di
sini, adalah mencari ilmu agama Islam, hukumnya wajib bagi laki-laki dan
perempuan.
2.
Fardhu kifayah : adalah ilmu yang memperdalam ilmu-ilmu syariat
dengan mempelajari, menghafal, dan membahasnya. Misalnya spesialisasi dalam
ilmu-ilmu yang dibutuhkan umat Islam, seperti sistem pemerintahan, hukum,
kedokteran, perekonomian, dan lain-lain. Tapi jika sebagian dari mereka ada
yang mengerjakannya, maka gugurlah kewajiban dari yang lainnya. Sedangkan jika
tidak ada seorang pun yang melakukannya, maka semua menanggung resikonya.
Inilah yang
diserukan Allah SWT dalam firman-Nya, “Tidak sepatutnya bagi
orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan
mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (Q.S.
At-Taubah [9]: 122).
Bahwa tidak
ada jalan untuk mengenal Allah, meraih ridha-Nya serta menggapai keuntungan
dan kedekatan dengan-Nya, kecuali dengan ilmu. Ilmu adalah cahaya yang
dengannya Allah mengutus para Rasul, menurunkan kitab-kitab, dan dengannya pula
memberi petunjuk dari kesesatan dan kebodohan. Dengan ilmu terungkaplah seluruh
keraguan, khurafat dan kerancuan. (Q.S. Al Maidah [5]: 15-16) dan (Q.S.
Al-A’raf [7] : 157).
Allah SWT
dan Rasul-Nya telah pula menentukan pedoman bagi kita hingga akhir
zaman, barangsiapa yang berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As Sunnah (Hadis) Sahih,
tidak akan sesat selamanya. Sebagaimana firman Allah SWT :
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri
di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya “. (Q.S. An Nisa [4] : 59).
Dan hadits nabi Saw.
“ Sesungguhnya
aku telah meninggalkan sesuatu bagimu, jikalau kamu berpegang teguh dengannya,
maka kamu tidak akan sesat selamanya, (yaitu) Kitab Allah (Al Qur’an) dan
Sunnah Nabi-Nya”. (H.R. Hakim; at-Targhib, 1 : 60).
Banyak
jalan untuk menuntut ilmu agama. Antara lain mengikuti majelis taklim yang
istiqomah mengkaji Al Qur’an dan As Sunnah sahih di berbagai tempat dan media.
Ilmu agama ada di Qur’an , Tafsir Qur’an, juga hadis-hadis sahih, yang sudah
diterjemahkan. Jika kita tidak memahami ilmu agama Islam, bagaimana kita bisa
tahu mana perintah dan larangan Allah ? Bagaimana kita bisa tahu ibadah yang
kita lakukan itu sah dan diterima Allah ? Tapi umat Islam juga jangan
sembarangan menimba ilmu. Salah-salah memilih sumber ilmu, maka kelak ilmu yang
dimiliki itu akan tersesat.
B.
Keutamaan Orang Berilmu
Mencari
ilmu merupakan kewajiban setiap manusia. Tanpa ilmu kita tidak bisa menjalani
hidup ini dengan baik. Orang yang tidak memiliki ilmu biasanya akan di
manfaatkan oleh orang lain. Bahkan, orang yang tak berilmu itu akan dibodohi
oleh orang lain. Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan
pikiran carilah ilmu demi kelangsungan hidup yang lebih baik.
Ilmu menurut Imam Al Ghozali, dibagi menjadi 2
yaitu :
1.
Ilmu yang bersifat Syariat
2.
Ilmu yang bersifat Akal
Dari keduanya ada yang berupa Ilmiah Teoritis, dan ada yang Ilmiah
Praktis
1.
Ilmu Syari’at
Ilmu Syariat ini terbagi menjadi 2 :
a)
Ilmu Ushul (Pokok) atau Ilmu Tauhid ( Merupakan Ilmiah Teoritis)
b)
Ilmu Furu' atau Cabang ( Merupakan Ilmiah Praktis ), hal ini ada
yang menyangkut Hak Alloh Ta'ala seperti segala yang terkait Ibadah, Hak Hamba Alloh terkait dengan tata pergaulan manusia yang terdiri 2 : aspek, yaitu Aspek Mu'amalah dan Aspek Mu'aqodah, serta Hak Jiwa (Akhlak/Budi pekerti) sifat / akhlak baik harus dibina, dimiliki, dikembangkan dan sifat / akhlak jelek harus dihindari, dibuang.
yang menyangkut Hak Alloh Ta'ala seperti segala yang terkait Ibadah, Hak Hamba Alloh terkait dengan tata pergaulan manusia yang terdiri 2 : aspek, yaitu Aspek Mu'amalah dan Aspek Mu'aqodah, serta Hak Jiwa (Akhlak/Budi pekerti) sifat / akhlak baik harus dibina, dimiliki, dikembangkan dan sifat / akhlak jelek harus dihindari, dibuang.
2.
Ilmu Akal
Ilmu Akal itu bersifat berdiri sendiri, yang melahirkan komposisi keseimbangan.
Ilmu Akal ini menurut beliau dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
1)
Tingkat Kesatu ialah Matematika dan Logika
2)
Tingkat kedua ialah Ilmu Alamiah ( Aksi dan Reaksi Alam )
3)
Tingkat ketiga, adalah Ilmu Teori tentang Realitas, berujung pada
ilmu Kenabian, Mukjijat, Teori Jiwa yang Suci.
ilmu Kenabian, Mukjijat, Teori Jiwa yang Suci.
Ilmu
memiliki banyak keutamaan, diantaranya:
1)
Ilmu adalah amalan yang tidak terputus pahalanya sebagaimana dalam
hadits: ”jika manusia meninggal maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara:
shodaqoh jariahnya, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakan
kedua orang tuanya,” (HR Bukhori dan Muslim)
2)
Menjadi saksi terhadap
kebenaran sebagaimana dalam firman Allah SWT: (Allah menyatakan bahwasanya
tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali dia. Yang menegakkan keadilan. para
malaikat dan orang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu,). (QS. Ali Imran
18)
3)
Allah memerintahkan kepada nabinya Muhammad SAW untuk meminta
ditambahkan ilmu sebagaimana dalam firman Allah, (… dan katakanlah: Ya Rabb ku,
tambahkanlah kepadaku ilmu) (QS.Thahaa 114)
4)
Allah mengangkat derajat orang yang berilmu. Sebagaimana firman
Allah, (… Allah mengangkat orang beriman dan memiliki ilmu diantara kalian
beberapa derajat dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan). (QS. Mujadilah
11)
5)
Orang berilmu adalah orang
yang takut Allah SWT, sebagaimana dalam firmannya: (…. sesungguhnya yang takut
kepada Allah diantara hambanya hanyalah orang-orangyang berilmu). (QS. Fathir
25).
6)
Ilmu adalah anugerah Allah yang sangat besar, sebagaimana
firman-Nya: (Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang
Al-Quran dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang
dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan
hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman
Allah)). ( QS. Al-Baqarah 269)
7)
Ilmu merupakan tanda
kebaikan Allah kepada seseorang ”Barang siapa yang Allah menghendaki kebaikan
padanya, maka Allah akan membuat dia paham dalam agama,” (HR Bukhari dan
Muslim).
8)
Menuntut ilmu merupakan
jalan menuju surga, ”Barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka
menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga,” (HR
Muslim)
9)
Diperbolehkannya ”hasad” kepada ahli ilmu,”Tidak hasad kecuali
dalam dua hal, yaitu terhadap orang yang Allah beri harta dan ia menggunakannya
dalam kebenaran dan orang yang Allah beri hikmah lalu ia mengamalkannya dan
mengajarkannya,” (HR Bukhari )Malaikat akan membentangkan sayap terhadap
penuntut ilmu,”Sesungguhnya para malaikat benar-benar membentangkan sayapnya
karena ridho atas apa yang dicarinya,” (HR. Ahmad dan Ibnu majah).
C.
Kedudukan Ulama dalam Islam
Tidak samar
bagi setiap muslim akan kedudukan ulama dan tokoh agama, serta tingginya
kedudukan, martabat dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan mereka sebagai
teladan dan pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh perbuatan dan
pemikiran mereka. Para ulama bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan
menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa petunjuk dengan ilmunya, mereka
mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh dengan kebaikan) serta
derajat orang-orang yang bertaqwa.
Dengan
ilmunya para ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan
mulia kehormatannya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا
يَعْلَمُونَ Katakanlah, “Apakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
(QS. az-Zumar: 9) Dan firman-Nya Azza wa Jalla: يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا
الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ Niscaya Allah
akan mengangkat (derajat) orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS. al-Mujadilah: 11)
Diantara
keutamaannya adalah para malaikat akan membentangkan sayapnya karena tunduk
akan ucapan mereka, dan seluruh makhluk hingga ikan yang berada di airpun ikut
memohonkan ampun baginya. Para ulama itu adalah pewaris Nabi, dan sesungguhnya
para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan
hanyala ilmu, dan pewaris sama kedudukannya dengan yang mewariskannya, maka
bagi pewaris mendapatkan kedudukan yang sama dengan yang mewariskannya itu. Di
dalam hadits Abi Darda radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa
yang meniti suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya
jalan menuju surga. Sesungguhya para malaikat akan membuka sayapnya untuk orang
yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan
sesungguhnya seorang yang alim akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di
langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan
orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang.
Sesungguhnya
para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan
dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa
yang mengambil ilmu itu, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan bagian yang
paling banyak.” (Shahih, HR Ahmad (V/196), Abu Dawud (3641), at-Tirmidzi
(2682), Ibnu Majah (223) dan Ibnu Hibban (80/al-Mawarid).
Para ulama
telah mewarisi ilmu yang telah dibawa oleh para Nabi, dan melanjutkan peranan
dakwah di tengah-tengah umatnya untuk menyeru kepada Allah dan ketaatan
kepada-Nya. Juga melarang dari perbuatan maksiat serta membela agama Allah.
Mereka berkedudukan seperti rasul-rasul antara Allah dan hamba-hamba-Nya dalam
memberi nasehat, penjelasan dan petunjuk, serta untuk menegakkan hujjah,
menepis alasan yang tak berdalih dan menerangi jalan. Muhammad bin al-Munkadir
berkata, “Sesungguhnya orang alim itu perantara antara Allah dan
hamba-hamba-Nya, maka perhatikanlah bagaimana dia bisa masuk di kalangan
hamba-hamba-Nya.”
Sufyan bin
‘Uyainah berkata, “Manusia yang paling agung kedudukannya adalah yang menjadi
perantara antara Allah dengan hamba-hamba-Nya, yaitu para Nabi dan ulama.” Sahl
bin Abdullah berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat majlisnya para Nabi, maka
hendaklah dia melihat majelisnya para ulama, dimana ada seseorang yang datang
kemudian bertanya, ‘Wahai fulan apa pendapatmu terhadap seorang laki-laki yang
bersumpah kepada istrinya demikian dan demikian?’ Kemudian dia menjawab,
‘Istrinya telah dicerai.’ Kemudian datang orang lain dan bertanya, ‘Apa
pendapatmu tentang seorang laki-laki yang bersumpah pada istrinya
demikian-demikian?’ Maka dia menjawab, ‘Dia telah melanggar sumpahnya dengan
ucapannya ini.’ Dan ini tidak dimiliki kecuali oleh Nabi atau orang alim. (maka
cari tahulah tentang mereka itu).” Maimun bin Mahran berkata, “Perumpamaan
seorang alim disuatu negeri itu, bagaikan mata air yang tawar di negeri itu.”
Jikalau
para ulama memiliki kedudukan dan martabat yang tinggi seperti itu, maka wajib
atas orang-orang yang awam untuk menjaga kehormatan serta kemuliaannya. Dari
Ubadah bin Ashomit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam bersabda, “Bukan termasuk umatku orang yang tidak memuliakan orang
yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak tahu kedudukan
ulama.” Dan di antara hak para ulama adalah mereka tidak diremehkan dalam hal
keahlian dan kemampuannya, yaitu menjelaskan tentang agama Allah, serta
penetapan hukum-hukum dan yang semisalnya dengan mendahului mereka, atau
merendahkan kedudukannya, serta sewenang-wenang dengan kesalahannya, juga
menjauhkan manusia darinya atau perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh
orang-orang jahil yang tidak tahu akan kedudukan dan martabat para ulama.
Satu hal
yang sudah maklum bagi setiap orang, bahwa mempercayakan setiap cabang-cabang
ilmu tidak dilakukan kecuali kepada para ahli dalam bidangnya. Jangan meminta
pendapat tentang kedokteran kepada makanik, dan jangan pula meminta pendapat
tentang senibena kepada para dokter, maka janganlah meminta pendapat dalam
suatu ilmu kecuali kepada para ahlinya. Maka bagaimana dengan ilmu syariah,
pengetahuan tentang hukum-hukum dan fiqh kontemporer? Bagaimana kita meminta
pendapat kepada orang yang tidak terkenal alim mengenainya dan tidak pula punya
kemampuan memahaminya jauh sekali sebagai ulama yang mujtahid dan para imam
yang kukuh ilmunya serta ahli fiqh yang memiliki keupayaan sebagai ahli
istimbath? Allah Ta’ala berfirman: "Dan apabila sampai kepada mereka suatu
berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya,
(padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri).
Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu
mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu). (QS.
an-Nisa`: 83)
Dan yang
dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat ini adalah para ulama yang 'Alim dan
cermat dalam beristimbath hukum-hukum syariat baik dari kitab maupun sunnah,
karena nash-nash yang jelas tidaklah cukup untuk menjelaskan seluruh
permasalahan kontemporer dan hukum-hukum terkini, dan tidaklah begitu mahir
untuk beristimbath serta mengerluarkan hukum-hukum dari nash-nash kecuali para
ulama yang berkelayakan. Abul ‘aliyah mengatakan tentang makna “Ulil Amri”
dalam ayat ini, “Mereka adalah para ulama, tidakkah kamu tahu Allah berfirman,
‘(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara
mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)’.” Dari Qatadah,
“(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara
mereka”, dia mengatakan, “Kepada ulamanya.” “Tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka
(Rasul dan Ulil Amri).”, tentulah orang-orang yang membahas dan menyelidikinya
mengetahui akan hal itu. Dan dari Ibu Juraij, “(Padahal) apabila mereka
menyerahkannya kepada Rasul” sehingga beliaulah yang akan memberitakannya “dan
kepada Ulil Amri” orang yang faqih dan faham agama. Al-Hafidz Ibnu Hajar
mengatakan dalam Fath al-Bari: Ibnu Attin menukil dari ad-Dawudi, bahwasanya
beliau menafsirkan firman Allah Ta’ala “Dan Kami turunkan az-Zikir
(al-Qur`an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka.” An-Nahl : 44, berkata: Allah Ta’ala banyak
menurunkan perkara-perkara yang masih bersifat global, kemudian ditafsirkan
oleh Nabi-Nya apa-apa yang diperlukan pada waktu itu, sedangkan apa-apa yang
belum terjadi pada saat itu, penafsirannya di wakilkan kepada para ulama.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala : (padahal) apabila mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya
(secara resmi) dari mereka. (QS. an-Nisa`: 83) Al-’Allamah Abdurrahman bin
Sa’di rahimahullahu menafsirkan ayat ini: Ini merupakan pelajaran tentang adab
dari Allah untuk para hamba-Nya, bahwa perbuatan mereka tidak layak, maka
sewajarnya bagi mereka, apabila ada urusan yang penting, juga untuk
kemaslahatan umum, yang berkaitan dengan keamanan dan kebahagiaan kaum
mukminin, atau ketakutan yang timbul dari suatu musibah, maka wajib bagi mereka
untuk memperjelas dan tidak tergesa-gesa untuk menyebarkan berita itu, bahkan
mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri dikalangan mereka, yang ahli
dalam hal pemikiran ilmu, dan nasehat , yang faham akan permasalahan,
kemaslahatan dan mafsadatnya.
Jikalau
mereka memandang pada penyebaran berita itu ada maslahat dan sebagai
penyemangat bagi kaum mukminin, yang membahagiakan mereka, serta dapat
melindungi dari musuh-musuhnya maka hal itu dilakukan, dan apabila mereka
memandang hal itu tidak bermanfaat, atau ada manfaatnya akan tetapi mudhorotnya
lebih besar dari manfaatnya maka tidak menyebarkan berita itu, oleh karena itu
Allah berfirman : “tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya
(akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka.” Yaitu: mengerahkan
pikiran dan pandangannya yang lurus serta ilmunya yang benar. Dan dalam hal ini
ada kaidah tentang etika (adab) yaitu: apabila ada pembahasan dalam suatu
masalah hendaknya di berikan kepada ahlinya dan tidak mendahului mereka, karena
itu lebih dekat dengan kebenaran dan lebih selamat dari kesalahan. Juga ada
larangan untuk tergesa-gesa menyebarkan berita tatkala mendengarnya, yang patut
adalah dengan memperhatikan dan merenungi sebelum berbicara, apakah ada
maslahat maka disebarkan atau mudharat maka dicegah. Selesai ucapan syaikh
rahimahullahu.
Dengan
penjelasan ini diketahui wahai teman-teman semua, bahwa perkara yang sulit dan
hukum-hukum yang kontemporer serta penjelasan hukum-hukum syariatnya tidak
semua orang boleh campur tangan dalam masalah itu, kecuali para ulama yang
memiliki bashirah dalam agama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu
berkata, “Jabatan dan kedudukan tidaklah menjadikan orang yang bukan alim
menjadi orang yang alim, kalau seandainya ucapan dalam ilmu dan agama itu
berdasarkan kedudukan dan jabatan niscaya khalifah dan sulthan (pemimpin
negara) lebih berhak untuk berpendapat dalam ilmu dan agama. Juga dimintai
fatwa oleh manusia, dan mereka kembali kepadanya pada permasalahan yang sulit
difahami baik dalam ilmu ataupun agama.
Apabila
pemimpin negara saja tidak mengaku akan kemampuan itu pada dirinya, dan tidak
memerintahkan rakyatnya untuk mengikuti suatu hukum dalam satu pendapat tanpa
mengambil pendapat yang lain, kecuali dengan al-Qur`an dan as-Sunnah, maka
orang yang tidak memiliki jabatan dan kedudukan lebih tidak dianggap
pendapatnya.” Selesai ucapan Ibnu Taimiyah. Dan kita memohon kepada Allah Ta’ala
agar memberkati kita, dengan adanya para ulama, juga memberikan kita manfaat
dengan ilmu mereka, serta membalas mereka dengan sebaik-baik balasan.
Sesungguhnya Allah Maha mendengar dan mengabulkan permintaan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sesungguhnya
Islam adalah syarat keselamatan di sisi Allah. Islam tidak tegak dan tidak akan
ada kecuali dengan ilmu. . Tidak ada cara dan jalan untuk mengenal Allah dan
sampai kepada-Nya kecuali dengan ilmu. Allah lah yang telah menunjukan jalan
yang paling dekat dan mudah untuk sampai kepada-Nya. Barangsiapa yang menempuh
jalan tersebut, tidak akan menyimpang dari tujuan yang dicita-citakannya.
Menuntut ilmu dalam Islam hukumnya wajib (fardhu). Para ahli fiqih
mengelompokannya dua bagian, yaitu 1). Fardhu ‘ain; dan 2). Fardhu kifayah.
Ilmu
memiliki banyak keutamaan, diantaranya:
1.
Ilmu adalah amalan yang tidak terputus pahalanya.
2.
Menjadi saksi terhadap kebenaran.
3.
Allah memerintahkan kepada nabinya Muhammad SAW untuk meminta
ditambahkan ilmu.
4.
Allah mengangkat derajat orang yang berilmu.
5.
Orang berilmu adalah orang yang takut Allah SWT.
6.
Ilmu adalah anugerah Allah
yang sangat besar.
7.
Ilmu merupakan tanda kebaikan Allah kepada seseorang.
8.
Menuntut ilmu merupakan
jalan menuju surge.
9.
Diperbolehkannya ”hasad” kepada ahli ilmu.
10. Malaikat akan membentangkan
sayap terhadap penuntut ilmu
|
B.
Saran
Sebagai
seorang muslim kita sudah semestinya bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu,
karena dalam islam orang yang berilmu itu sangat di muliakan dan akan diangkat
derajatnya oleh Allah SWT. Selain dari itu, ilmu juga memiliki banyak
keutamaan. Maka dari itu, setelah kta memahami tentang perintah menuntut ilmu
dalam islam, keutamaan ilmu dan kedudukan orang yang berilmu, kita sebagai
ummat muslim diharapkan dapat mengamalkannya dalam kehidupan kita sehari-hari
DAFTAR PUSTAKA
Riyanto, Prof. 2010. Ceramah Kultum. Diakses pada tanggal13
Maret 2015.
Admin. 2013. Al-qur’an dan Hadits. Diakses pada tanggal 13
Maret 2015
Indra, Dodi. 2013. Keutamaan Ilmu. Diakses pada tanggal 14
Maret 2015.
Monica. 2014. Kedudukan Ulama dalam Islam. Diakses pada
tanggal 14 Maret
2015.
No comments:
Post a Comment