1

loading...

Wednesday, May 29, 2019

MAKALAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIAPEMIKIRAN PEMBAHARUAN NURCHOLISH MADJID


MAKALAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIAPEMIKIRAN PEMBAHARUAN NURCHOLISH MADJID

                                                                    BAB I
                                                               PENDAHULUAN
      A.    LATAR BELAKANG
         Perkembangan kesadaran keagamaan umat Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari munculnya gerakan pembaruan pemikiran sejak abad ke 19 lalu.Istilah gerakan yang disebut “pembaruan” ini memberi arah dan perspektif keagamaan yang relative berbeda dari pusat-pusat peradaban Islam di Timur Tengah.Salah satu ciri utamanya adalah kuatnya pembaruan antara nilai-nilai keislaman dengan tradisi local.Pembaruan itu terjadi akibat proses dialog antara nilai-nilai keislaman dengan kebutuhan modernitas dan aktualisasi zaman umat lewat cara damai (penetration pacifigure) dan mengedepankan konsesi-konsesi budaya masyarakat setempat.
Sebagai seorang cendekiwan Muslim Indonesia ternama,pemikiran Nurcholish Madjid telah mempengaruhi sebagian besar pemahaman keislaman masyarakat Indonesia.Masyrakat Indonesia lebih mengenalnya berkat pidato dalam pertemuan silaturohim pemuda Islam yang tergabung dalam organisasi seperti,HMI,GPI,dan PII .”Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, merupakan pidato penting sekaligus tonggak perubahan pemikiran keislamannya dalam pertemuan tersebut.Ada dua momen sejarah penting sehubungan pidatonya tanggal 3 Januari 1970 itu.Pertama,berakhirnya periodesasi sejarah gerakan pembaruan pemikiran Islam modernisme dan munculnya periodesasi neo-modernisme.Kedua,mulai berkuasanya pemerintahan Orde Baru yang secara terang tak mau mengakomodir kepentingan politik Islam.Dalam dua konteks itu,Nurcholish Madjid menyampaikan dalam pidato 3 Januari 1970 tersebut ungkapkan; Islam,Yes,Partai Islam,No,serta menganjurkan sekularisasi pemahaman keislaman masyarakat Muslim Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
1.      apa latar belakang pemikiran nicolish masjid?
2.      
Sebutkan pokok pemikiran pembaharuan nurcholish madjid?
3.      Bagaimana
aspek  pembaharuan nurcholish madjid?    

C. Tujuan Penulisan
              Adapun tujuan pembahasan makalah ini.
       1.    Untuk mengetahui latar belakang pemikiran nicolish masjid
       2.    Untuk mengetahui pokok pemikiran pembaharuan nurcholish madjid
       3.    Untuk mengetahui aspek pemikiran pembaharuan nurcholish madjid
       4.    Untuk mengetahui evaluasi dan apresiasi pemikiran pembaharuan nurcholish madjid

                                                                          BAB II
                                                                   PEMBAHASAN

A. pokok pemikiran pembahruan nurcholis madjid
    1. Modernisasi
        Modernitas sebagai gerakan pembaharuan yang berawal di Eropa menawarkan cara pandang baru terhadap fenomena kebudayaan. Modernitas muncul sebagai sejarah penaklukan nilai-nilai lama abad pertengahan oleh nilai-nilai baru modernis. Kekuatan rasional digunakan untuk memecahkan segala persoalan kamanusiaan dan menguji kebenaran lain seperti wahyu dan mitos tradisional.
        Jika modernisasi merupakan produk perkembangan ilmu pengetahuan, maka Islam menurut Nurcholis Madjid, adalah agama yang sangat modern bahkan terlalu modern untuk zamannya, karena Islam adalah agama yang secara sejati memiliki hubungan organik dengan ilmu pengetahuan dan mampu menjelaskan kedudukan ilmu pengetahuan tersebut dalam kerangka keimanan, maka kaum Muslim hendaknya yakin bahwa Islam bukan saja tidak menentang ilmu pengetahuan, tetapi justru menjadi pengembangannya  dan tidak melihat perpisahan antara iman dan ilmu.[1]
        Argumentasi Nurcholis Madjid tersebut berkembang dari pandangannya tentang historisitas sejarah Islam yang sempat mengalami puncak kejayaannya sejak masa kekhalifaan sampai runtuhnya kerajaan-kerajaan awal Islam di zaman klasik yang semuanya memiliki kultur pengembangan ilmu pengetahuan yang sangat kuat[2]. Kultur ini terjadi karena di zaman itu (zaman klasik Islam) terjadi usaha-usaha yang serius dalam hal interpretasi teks-teks kitab suci yang dampak positifnya masih terasa hingga sekarang.
      
   2.    Tentang Substansi
Nurcholish  Madjid dikategorikan sebagai kelompok pemikir substantivistik. Hal itu dimaksudkan sebagai penekanan terhadap pemikirannya bahwa substansi atau makna iman dan peribadatan lebih penting daripada formalitas dan simbolisme keberagamaan serta ketaatan yang bersifat literal kepada teks wahyu. Pesan-pesan al-Qur’an dan Hadīth yang mengandung esensi abadi dan bermakna universal, ditafsirkan kembali berdasarkan sejarah kaum Muslim serta dikontekstualisasikan dengan kondisi-kondisi sosial yang berlaku pada masanya.
Dengan pemikiran substantivistiknya, Madjid mengelaborasi apa yang disebutnya paralelisme atau penunggalan keislaman dan keindonesiaan. Dengan kata lain, sebagai salah satu pendukung dan sumber utama nilai-nilai keindonesiaan, Islam harus tampil produktif dan konstruktif terutama dalam mengisi nilai-nilai keindonesiaan dalam kerangka Pancasila, yang menjadi kesepakatan luhur dan merupakan pedoman bangsa Indonesia.
Pemikiran Madjid tersebut terinspirasi dari pengalamannya berada di dunia barat dimana etika dan nilai-nilai kesalihan sosial diterapkan dengan baik. Sehingga dalam kehidupan bermasyarakat kelihatan lebih “islami” daripada umat Islam yang berada di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Untuk kasus di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragaman Islam, maka nilai-nilai keislaman yang seharusnya lebih dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga orientasi kehidupan umat Islam semestinya tidak hanya mengarah pada kesalihan pribadi dengan orientasi keakhiratan saja, melainkan harus menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat.[3]

2.      Integrasi Keislaman dan Keindonesiaan
Madjid menyadari bahwa pluralisme internal sebagai kondisi obyektif bangsa Indonesia tidak dapat dihentikan, bahkan dihindari. Oleh karena itu dia berpendapat bahwa pengembangan Islam di Indonesia memerlukan pemahaman dan strategi yang matang. Ia mengajukan gagasan tentang perlunya integrasi keislaman dan keindonesiaan. Menurutnya, meskipun nilai-nilai dan ajaran Islam bersifat universal, pelaksanaannya itu sendiri menuntut pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan sosio-kultural masyarakatnya secara keseluruhan, termasuk didalamnya lingkungan politik dalam kerangka konsep nation-state (negara bangsa).
Dengan adanya integrasi keislaman dan keindonesiaan bangsa Indonesia, Madjid optimis Indonesia siap menghadapi dan menerima modernisasi. Modernisasi berarti rasionalisasi untuk berpikir dan bekerja yang maksimal. Modernisasi berarti berpikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah yang hāq. manusia harus mengerti terlebih dahulu hukum yang berlaku dalam alam itu (perintah Allah). Pemahaman manusia terhadap hukum-hukum alam melahirkan ilmu pengetahuan, sehingga modern berarti ilmiah. Dan ilmu pengetahuan diperoleh manusia melalui akalnya (rasionya), sehingga modern berarti  ilmiah, berarti pula rasional.
  3.    Penerimaan Terhadap Pancasila
Mengenai penerimaan Pancasila sebagai ideologi umat Islam Indonesia, Madjid mengapresiasi peran besar dari NU dan Muhammadiyah sehingga Pancasila dapat diterima oleh umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas. Tinggal bagaimana caranya untuk mengisi dan menjalankan Pancasila secara lebih baik dan konsisten. Mengingat bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi terbuka, maka terbuka lebar kesempatan untuk semua kelompok sosial guna mengambil bagian secara positif untuk mengisi dan melaksanakannya. Madjid mengatakan bahwa kaum Muslim Indonesia dapat menerima Pancasila setidak-tidaknya dengan dua pertimbangan. Pertama, Nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran Islam. Kedua, Fungsinya sebagai kesepakatan antara berbagai golongan untuk mewujudkan suatu kesatuan politik bersama.
Pendapat Madjid tersebut merupakan perwujudan dari cara berfikirnya yang modern. Pengalaman dari beberapa negara yang berusaha mendirikan negara Islam memberikan pelajaran bahwa konsep tersebut hanya akan mengecilkan dan mempersempit peranan Islam sendiri sebagai sebuah sistem nilai. Perdebatan mengenai penerimaan Pancasila seharusnya sudah dianggap selesai pada saat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Apalagi nilai-nilai yang dikandung dalam Pancasila tidak ada yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dikembangkan dalam Islam.
 4.    Islam Yes, Partai Islam No!
Mangenai peranan umat Islam dalam bidang politik, Madjid mengetengahkan pendapat “Islam yes, partai Islam no!”. Menurutnya, jika partai-partai Islam merupakan wadah ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, telah jelas bahwa ide-ide tersebut sudah tidak menarik untuk masa sekarang. Karena ide-ide tersebut sekarang sedang menjadi absolut, memfosil, dan kehilangan dinamika. Kenyataannya, partai-partai Islam ada yang gagal dalam membangun citra positif dan simpatik dan bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Misalnya semakin banyaknya umat Islam yang melakukan korupsi. Madjid tidak setuju dijadikannya Islam sebagai ideologi politik. Baginya yang terpenting adalah membentuk masyarakat yang sudah ada ini menjadi lebih Islami dengan pendekatan-pendekatan kultural yang bisa dilakukan.

 5.    Sekularisasi bukan Sekularisme
Salah satu pemikiran Nurcholish Madjid yang mendapatkan banyak reaksi keras adalah tentang sekularisasi. Madjid mengatakan bahwa Sekularisasi yang dimaksudkannya tidaklah diarahkan untuk penerapan sekularisme. Menurutnya,  yang dimaksud dengan sekularisasi adalah setiap bentuk liberating development. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam dalam perjalanan sejarahnya tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangka Islami, mana yang transendental dan mana yang sifatnya temporal. Oleh karena itu, sekularisasi harus dipahami sebagai sebuah proses perkembangan yang membebaskan dan menginginkan umat Islam melaksanakan upaya mereka mengaitkan universalisme Islam.
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan merubah Muslim menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang semestinya bersifat duniawi. Dengan demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan moral, material, ataupun historis, menjadi sifat kaum muslimin.  Mengenai banyaknya sikap kontra terhadap idenya tersebut, Madjid mengatakan bahwa Ia tidak pernah menganjurkan sekularisme akan tetapi sekularisasi”.
Sekularisasi yang dimaksud di atas tampaknya mengarah kepada ketelitian dan kecerdasan kaum Muslim dalam mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi. Mereka harus mampu membedakan mana urusan dunia dan mana urusan akhirat. Umat Islam harus dapat berfikir secara bebas dan kreatif, karena dengan begitu memungkinkan umat Islam untuk mampu berijtihad dalam mengatasi permasalahan-permasalahan baru yang muncul.
 6.    Peranan Umat Islam
Mengenai peranan yang harus dimainkan umat Islam di Indonesia, menurut Madjid terpusat pada tiga hal, yaitu: Pertama, mendukung negara Nasional Republik Indonesia. Dalam hal ini Pancasila dipandang sebagai kontrak sosial yang mengikat seluruh masyarakat. Kedua, Mengembangkan pemahaman terhadap agama Islam sebagai sumber kesadaran makna hidup yang tangguh bagi masyarakat yang sedang mengalami perubahan dinamis. Ketiga, mengembangkan prasarana sosio-kultural untuk mendukung proses pembangunan menuju masyarakat industri yang maju. Hal ini harus dijadikan pemahaman keagamaan umat Islam sehingga akan menghasilkan proses saling menguatkan antara agama dan masyarakat.
Menurut Madjid, Islam adalah agama yang partikular dan universal. Di satu pihak Islam bersifat universal yang terbebas dari pengaruh budaya lokal. Di pihak lain, Islam harus hadir di bumi yang penyebaran dan penerimaannya oleh umat manusia terbungkus oleh budaya-budaya setempat. Ajaran Islam yang universal hanya bisa ditangkap dalam bentuk nilai, sehingga ketika ia turun dan jatuh ke tangan manusia menjadi bentuk dalam pengertian budaya. Dalam pengertian budaya inilah Islam dapat muncul dalam berbagai warna dan corak
Dengan demikian, integrasi antara keislaman dan keindonesiaan akan dapat terwujud jika umat Islam mampu memaknai dan memahami Pancasila dengan benar. Hal itu sebenarnya tidak sulit untuk diwujudkan karena  pada dasarnya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sesuai dengan nilai-nilai Islam. Selain itu, Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang masuk dengan damai dan melalui proses dialogis dengan budaya yang ada di Indonesia, yang banyak di antaranya dikembangkan oleh para wali songo. Islam pada dasarnya sudah berakulturasi dan mengakar dalam budaya Indonesia jauh sebelum kemerdekaan. Sehingga momentum kebebasan dan demokrasi yang berkembang setelah jatuhnya Suharto seharusnya dapat dimanfaatkan oleh umat Islam untuk semakin mengukuhkan nilai-nilai yang diajarkan agama dalam kehidupan masyarakat modern. 

        C.aspek  pembaharuan nurcholish madjid
Ide-ide pembaruan Madjid semakin meluas ke berbagai kalangan berkat organisasi Paramadina yang dibentuknya pada pertengahan 1980-an. Paramadina berhasil menarik para elit dan profesional abangan perkotaan, kalangan pengusaha, mahasiswa, dan pegawai negeri untuk mendalami Islam dan mengokohkan keimanannya, dan mengarahkan pandangan progresif tentang peranan agama di masyarakat. Dapat dikatakan bahwa peranan Paramadina mirip dengan fungsi madrasah atau tradisi pesantren akhir abad ke-20. Paradigma neomodernisme tampak jelas pada misi yang diemban Paramadina. Sebagaimana pernyataan Madjid sebagai pendirinya, paramadina adalah lembaga pendidikan yang secara penuh mempercayau bahwa nilai-nilai Islam universal dapat dibuat konkrit dalam konteks tradisi lokal Indonesia serta keislaman dan keindonesiaan. Yayasan Paramadina dirancang sebagai pusat keislaman yang kreatif, konstruktif dan produktif, dan positif untuk memajukan masyarakat tanpa bersikap defensif atau bahkan reaksioner.
Paramadina mangakomodir banyak pengusaha santri dan para birokrat santri terutama yang ada di kota besar seperti Jakarta yang membutuhkan sejenis majlis taklim yang modern dan corak kehidupan Islam yang lebih intelektual. Melalui Paramadina, Madjid meletakkan pengaruhnya bukan saja pada sosialisasi pemikiran-pemikirannya, melainkan juga pada terbentuknya yang menjadi pendukung pemikirannya dari kalangan santri kota. Paramadina sebagai lembaga keagamaan dengan semangat keterbukaan merupakan kelompok strategis dalam masyarakat yang mampu untuk mengatasi perbedaan orientasi engan menciptakan pemikiran dan network yang kuat bagi pemberdayaan masyarakat madani. Di paramadina pula dikembangkan pemikiran-pemikiran alternatif yang dapat dipakai sebagai common platform bagi proses pemberdayaan itu.
Menurut Madjid, program Paramadina merupakan “human investment” yang bersifat jangka panjang, sehingga harapan jangka pendek dapat diantisipasi. Apalagi jika harapan-harapan tersebut bersifat politik, maka akan dihindari. Dalam gerakan intelektual, dimensi waktu disadari berada dalam skala besar, karena itu bersifat prediksi. Prediksi dan harapan yang akan dicapai Paramadina adalah demokratisasi, yaitu demokratisasi dalam konteks keindonesiaan. Keindonesiaan inilah yang diharapkan akan terwujud di Indonesia. Dalam hal ini, Madjid membandingkan dengan Amerikanisme di Amerika. Sekalipun Amerika terdiri dari berbagai bangsa dan agama, basis karakter dan etika Amerika sebagian besar berakar dalam Protestanisme dan tradisi budaya Eropa Barat Laut.
Gagasan Madjid tersebut tampaknya mengarah kepada masa depan Indonesia yang dia harapkan dapat memiliki suatu karakter yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Dengan membandingkan kuatnya karakter kaum Protestan di Amerika, semestinya yang terjadi di Indonesia adalah kuatnya karakter Islam dalam kehidupan kebangsaan, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Selain itu, niali-nilai Islam sudah banyak yang menyatu dengan kultur Indonesia, terutama karena Islam masuk ke Indonesia secara damai.  
 D. evaluasi dan apresiasi pemikiran nurcholish madjid
Dari beberapa pemikiran Nurcholish Madjid tersebut di atas, terdapat keparalelan. Pemikiran tentang substansi Islam yang harus dikedepankan daripada formalitas dan simbol-simbol belaka mengarah pada penerapan Islam sebagai suatu sistem nilai. Sistem nilai ini kemudian harus diterapkan dengan mempertimbangkan konteks masyarakat yang dihadapi. Dalam hal ini memunculkan ide integrasi keislaman dan keindonesiaan. Integrasi yang diterapkan akhirnya mengarah kepada penerimaan Pancasila sebagai kesepakatan bersama seluruh bangsa Indonesia. Penerimaan Pancasila sebagai ideologi kehidupan berbangsa dapat menjadikan Islam lebih membumi. Penolakan Madjid terhadap partai Islam dimaksudkan agar Islam tidak terkebiri oleh pemeluknya sendiri. Penerapan substansi nilai Islam lebih baik daripada penggunaannya secara formal dalam bentuk ideologi negara maupun partai, mengingat Islam memiliki nilai-nilai yang bersifat universal.   
 Sekularisme yang digagas Madjid bukan dimaksudkan untuk menjauhkan umat dari ajaran agama, melainkan untuk mengarahkan mereka menuju keseimbangan antara kehidupan antara dunia dan akhirat. Umat Islam harus dapat memilah dengan benar mana urusan agama dan mana urusan dunia. Pendapat tersebut memiliki korelasi dengan pemikiran-pemikiran Madjid secara keseluruhan. Harapannya Umat Islam dapat lebih maju dan siap menjadi modern dengan tidak meninggalkan Islam dalam nuansa keindonesiaan.
Meskipun banyak yang mendukung ide-ide Nurcholish Madjid, terutama dari kalangan umat Islam yang berfikir modern, namun demikian banyak pula yang menolak ide-ide tersebut, terutama dari kalangan fundamentalis. Kaum fundamentalis menganggap Madjid pro barat dan berusaha meggiring umat Islam menjadi seperti bangsa barat yang kafir. Secara umum, masyarakat yang menerima pemikiran Madjid lebih banyak daripada yang menolak. Hal itu diindikasikan dengan semakin banyaknya kajian baik secara lisan dan tulisan mengenai pemikirannya dan para pemikir yang lain yang sejalan dengannya.  
 BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
       Sebagai seorang cendekiwan Muslim Indonesia ternama,pemikiran Nurcholish Madjid telah mempengaruhi sebagian besar pemahaman keislaman masyarakat Indonesia.Masyrakat Indonesia lebih mengenalnya berkat pidato dalam pertemuan silaturohim pemuda Islam yang tergabung dalam organisasi seperti,HMI,GPI,dan PII .”Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, merupakan pidato penting sekaligus tonggak perubahan pemikiran keislamannya dalam pertemuan tersebut.
               Modernitas sebagai gerakan pembaharuan yang berawal di Eropa menawarkan cara pandang baru terhadap fenomena kebudayaan. Modernitas muncul sebagai sejarah penaklukan nilai-nilai lama abad pertengahan oleh nilai-nilai baru modernis. Kekuatan rasional digunakan untuk memecahkan segala persoalan kamanusiaan dan menguji kebenaran lain seperti wahyu dan mitos tradisional.
Nurcholish  Madjid dikategorikan sebagai kelompok pemikir substantivistik. Hal itu dimaksudkan sebagai penekanan terhadap pemikirannya bahwa substansi atau makna iman dan peribadatan lebih penting daripada formalitas dan simbolisme keberagamaan serta ketaatan yang bersifat literal dengan kondisi-kondisi sosial yang berlaku pada masanya.
Menurut Madjid, program Paramadina merupakan “human investment” yang bersifat jangka panjang, sehingga harapan jangka pendek dapat diantisipasi. Apalagi jika harapan-harapan tersebut bersifat politik, maka akan dihindari. Dalam gerakan intelektual, dimensi waktu disadari berada dalam skala besar, karena itu bersifat prediksi. Prediksi dan harapan yang akan dicapai Paramadina adalah demokratisasi, yaitu demokratisasi dalam konteks keindonesiaan. Keindonesiaan inilah yang diharapkan akan terwujud di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Djamaludin, Dedy dan Idi Subandi Ibrahim, Zaman baru Islam (Bandung: Zaman, 1998).
Majid,Nurcholish, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 2002)
Madjid,Nurcholish, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1999)
Hidayatullah Syarif,  Islam “Isme-isme”: Aliran dan Paham Islam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
Madjid,Nurcholish , Dialog Keterbukaan Artikulasi nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998)
Gould, Carol. C, Demokrasi Ditinjau Kembali (Yogya: Tiara Wacana,1993).


















[1] Dedy Djamaludin dan Idi Subandi Ibrahim, op.cit., hlm. 123.             
[2] Nurcholish Madjid, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 62.
[3] Carol. C Gould., Demokrasi Ditinjau Kembali (Yogya: Tiara Wacana,1993), hlm. 145-146.

No comments:

Post a Comment