MAKALAH QAIDAH AD-DHARARU YAZALU
BAB II
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Qaidah Ad-Dhararu Yuzalu
Al-Dhararu memberikan pengertian bahwa manusia
harus dijauhkan dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya sendiri
maupun orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada
orang lain.
Menurut etimologi, kata ضرر
(dharar) berarti kekurangan yang terdapat pada sesuatu, batasan ضرر
adalah keadaan yang membahayakan yang dialami manusia atau masyaqqah yang parah
yang tak mungkin mampu dipikul olehnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
disebutkan bahwa kemudaratan adalah sesuatu yang tidak menguntungkan, rugi atau
kerugian secara adjectiva ia berarti merugikan dan tidak berguna. Maka
kemudharatan dapat dipahami sebagai sesuatu yang membahayakan dan tidak
memiliki kegunaan bagi manusia.[1]
Kata ضرر
dharar menurut bahasa adalah balasan yang sengaja dilakukan sebagai balasan
atas kemudharatan yang menimpanya. Dengan kata lain dia membalas atau
menimpakan kemudharatan kepada orang lain sesuai dengan kemudharatan yang
menimpa dirinya. Sedangkan kita semua mengetahui bahwa kata mudharat itu
sendiri menurut bahasa adalah kebalikan dari manfaat, atau dapat juga dikatakan
bahaya. Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan mencatat makna dari ضرر
dharar dalam kaidah ini adalah tidak bolehnya menimpakan mudharat kepada orang
lain, baik hal tersebut menyebabkan kemudaharatan atau tidak.[2]
Kata يُزَالُ (yuzaal) berasal dari kata
zaala-yaziilu-zaalatan kata ini dalam bentuk majhul dengan wazan fu’al yang
berarti dihilangkan. Maka setiap kemudharatan yang ada harus dihilangkan. Jadi
secara garis besar kaidah fikih ini melarang segala sesuatu perbuatan yang
mendatangkan mudharat/bahaya tanpa alasan yang benar serta tidak boleh membalas
kemudharatan/bahaya dengan kemudharatan yang serupa juga, apalagi dengan yang
lebih besar dari kemudharatan yang menimpanya.[3]
2. Dalil-Dalil Pembentukannya
Dasar dari qai’dah ini adalah Al-Quran dan Hadits Nabi. Ayat Al-Quran
yang senafas dengan qai’dah ini adalah surat al-Baqarah ayat 231 dan ayat 229:
#sÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& Æèdqä3Å¡øBr'sù
“Apabila
kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka
rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara
yang ma’ruf pula. Jangan rujuki mereka untuk memberi kemadharatan, karena
dengan demikian kamu menganiaya mereka.”
ß,»n=©Ü9$# Èb$s?§sD ( 88$|¡øBÎ*sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& 7xÎô£s? 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 wur @Ïts öNà6s9 br& (#räè{ù's? !$£JÏB £`èdqßJçF÷s?#uä $º«øx© HwÎ) br& !$sù$ss wr& $yJÉ)ã yrßãm «!$# ( ÷bÎ*sù ÷LäêøÿÅz wr& $uKÉ)ã yrßãn «!$# xsù yy$oYã_ $yJÍkön=tã $uKÏù ôNytGøù$# ¾ÏmÎ/ 3 y7ù=Ï? ßrßãn «!$# xsù $ydrßtG÷ès? 4 `tBur £yètGt yrßãn «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqãKÎ=»©à9$# ÇËËÒÈ
“Thalaq (yang dapat dirujuki)
dua kali. Setelah itu tidak boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik.”
Kedua ayat diatas menjelaskan bahwa laki-laki
jika telah mentalaq istrinya, maka ia diperbolehkan rujuk, tapi apabila ia
sudah tidak membutuhkanya lagi karena sudah tidak ada kecocokan, maka tidak
boleh mencegahnya, karena akan menimbulkan dhoro pada pihak istri, yaitu masa
iddah yang perempuan.
Ayat di atas walaupun menjelaskan tentang
aturan talaq tapi juga melarang berbuat atau menyebabkan bahaya kepada orang
lain (istri). Masih banyak ayat-ayat yang pada intinya melarang berbuat atau
menyebabkan bahaya, baik dalam bentuk yang besar maupun kecil.
Sedangkan hadist Nabi Shalallahu Allaihi wasallam dan menjadi dasar
qaidah ini adalah hadist yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari Abi Sa’id
al-Hudri:
“Tidak boleh berbuat dharar (bahaya) dan
membalas perbuatan bahaya kepada orang lain, bagi siapa yang berbuat bahaya
kepada orang lain maka Allah akan berbuat bahaya kepada orang tersebut dan bagi
siapa yang mempersulit orang lain, maka Allah akan mempersulit dia.”
3. Kaidah-Kaidah Cabang
1) ا لضر ر ل ىز ا ل با لضر
“Kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan”
Maksud dari qaidah ini ialah sesuatu yang
berbahaya tidak boleh dihilangkan dengan suatu bahaya yang lain. Walaupun
kemudaratan itu mestilah dihilangkan, namun bukanlah dengan cara menimbulkan
kemudaratan yang sama. Apalagi jika lahir kemudaratan yang lebih besar.
Contoh kaedah ini ialah: Seseorang yang
terdesak kelaparan tidak boleh memakan makanan orang lain yang sama-sama
kelaparan, karena perbuatan ini sama saja menghilangkan bahaya dengan cara
menimbulkan bahaya lain. Kecuali semua orang dalam keadaan kritis makanan, dan
sama-sama sangat membutuhkan makanan untuk sekedar menyambung hidup, maka bagi
pemiliknya tanpa memandang hukum sosial berhak menggunakannya sendiri,
berdasarkan sadba Rasulullah shallallahu Allaihi wasallam: “Dahulukanlah
dirimu”.
2)ا ز ا لت ضر ر ا ءظم با ر تكا ب ضر ر ا خف
“Kemudaratan lebih berat dihilangkan dengan melaksanakan kemudaratan
lebih ringan. “
Apabila terdapat dua kemudaratan atau perkara
bahaya serentak atau dalam satu masa. Penyelesaiannya ialah kemudaratan yang
lebih berat seharusnya dihilangkan dengan dibuat kemudaratan yang lebih ringan
atau pun diperhatikan yang mana lebih besar mendatangkan bahaya. Kemudian dilaksanakan
yang lebih kecil bahayanya dan dihindarkan yang lebih besar kemudaratannya.[4]
Contoh kaedah ini ialah: Melakukan Qisash
karena bahaya yang kecil bisa dilakukan demi menghilangkan bahaya yang lebih
besar, maka diterapaknlah hukum qisash. Menerapkan qisash dengan cara membunuh
pelaku pembunuhan suatu bahaya akan tetapi bahayannya lebih kecil bila
dibanding dengan bahaya akibat meninggalkan qisash. Sebab jika qisash tidak
diterapkan, maka setiap orang akan merasa tidak melakukan pembunuhan dan tindak
kriminal lainnya. Maka tidak diragukan lagi bahwa banyaknya kasus pembunuhan
merupakan dlarar yang jauh lebih besar daripada hanya sekedar dlarar akibat
qishas. Bahkan qisash sebenarnya adalah upaya untuk melestarikan kehidupan.
Seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 179 :
öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quym Í<'ré'¯»t É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÐÒÈ
“Dan dalam qisash itu ada
(jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang berakal, supaya kamu
bertakwa.
3)ىحتمل ا لضر ر ا لخا ص لد فح ا لضر ر ا لعا م
“ Melakukan kemudaratan yang khusus untuk menolak kemudaratan yang
umum.
Kaedah ini
menjelaskan Syariat islam didatangkan untuk tujuan melindungi manusia, baik
menyangkut agama, jiwa, akal, keturunan maupun harta. Segala sesuatu yang bisa
menodai atau mereduksi eksistensi salah satu dari kelima hal tersebut merupakan
kejahatan (dharar) yang wajib dihilangkan sedapat mungkin. Maka kejahatan yang
bersifat umum harus ditolak, meskipun hal itu harus dilakukan dengan cara
menggunakan dharar yang bersifat khusus.
Contoh masalah yang termasuk dibawah pecahan
ini ialah: Pencekalan terhadap pemegang otoritas fatwa (mufti) yang hilang
ingatannya. Hukum pencekalan ini tentunya merupakan dlarar bagi mufti, karena
mengekang kebebasannya. Akan tetapi imbas dari dlarar tersebut hanya menimpa
pada diri mufti seorang. Sebaliknya, jika pencekalan ini tidak dilakukan, maka
mufti yang hilang ingatan akan mengumbar fatwa sesukannya, sehingga mengganggu
keberlangsungan syariat Islam dan menimbulkan kebingungan umat. Demi menjaga
keberlangsungan agama di masyarakat, maka hukum cekal ini harus diterapkan.
4)دفع ا لمفا سد ا و لى من جلب ا لمصلح
“Menolak kerusakan adalah lebih utama daripada mendatangkan kebaikan.”
Kaedah ini bermaksud, apabila bertemu di antara
perkara yang membawa kemaslahatan dengan perkara yang membawa kerusakan atau
bahaya, pelaksanaannya hendaklah didahulukan mencegah kemudaratan. Sekiranya
ada pertentangan antara kebaikan dengan kerosakan, usaha mencegah kerosakan
lebih diutamakan daripada usaha untuk mendapat kebaikan yang sedikit.
Contoh kaedah ini ialah: Berkumur dengan
mengocok air yang berada didalam mulut sampai kepangkal tenggorokan dan
menghirup air lewat hidung dalam melaksanakan wudhu adalah disunnahkan. Tetapi
hal itu dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa dimakruhkan, sebab untuk
menjaga jangan sampai air tersebut terus masuk sampai keperut hingga
membatalkan puasa. Bersuci dengan menekan-nekankan jari basah di sela-sela
pangkal rambut disunnahkan. Tetapi hal itu dimakruhkan bagi orang yang sedang
menjalankan ihram, untuk menjaga jangan sampai menggugurkan rambut yang menjadi
pantangan dalam ihram. Dan seseorang dibenarkan meninggalkan sebahagian kecil
kewajiban disebabkan ada kesulitan seperti berbuka puasa seandainya sakit.
5) و ما ا بىح للضر و ر ة ىقد ر بقر ها
“Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat ditetapkan hanya sekedar
kedaruratannya.”
Hal ini adalah logis. Sebab yang
membolehkannya itu adalah suasana itu sendiri, yaitu suasana darurat dan
krisis. Jadi,sekiranya suasana krisis sudah dapat di atasi, maka suasana
berubah menjadi normal kembali dan karenanya hukum harus kembali senormal
suasana itu pula.
Contoh Kasus : Seorang diperkenankan mengambil
rumput milik orang lain tanpa izinnya untuk memberikan makanan binatangnya yang
dalam keadaan kelaparan, tetapi tidak diperbolehkan mengambilnya lagi untuk
dijual kepada orang lain yang memiliki binatang yang dalam keadaan yang sama.[5]
[2] Rosmawati
Ali & Abd. Latif Muda. Perbahasan Kaedah-kaedah Fiqh. Kuala Lumpur: Pustaka
Salam Sdn. Bhd. 2000.
No comments:
Post a Comment