1

loading...

Wednesday, May 15, 2019

MAKALAH QAIDAH AD-DHARARU YAZALU


MAKALAH QAIDAH AD-DHARARU YAZALU
BAB II
PEMBAHASAN
1.  Pengertian Qaidah Ad-Dhararu Yuzalu
Al-Dhararu memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya sendiri maupun orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.
Menurut etimologi, kata ضرر (dharar) berarti kekurangan yang terdapat pada sesuatu, batasan ضرر adalah keadaan yang membahayakan yang dialami manusia atau masyaqqah yang parah yang tak mungkin mampu dipikul olehnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kemudaratan adalah sesuatu yang tidak menguntungkan, rugi atau kerugian secara adjectiva ia berarti merugikan dan tidak berguna. Maka kemudharatan dapat dipahami sebagai sesuatu yang membahayakan dan tidak memiliki kegunaan bagi manusia.[1]
Kata ضرر dharar menurut bahasa adalah balasan yang sengaja dilakukan sebagai balasan atas kemudharatan yang menimpanya. Dengan kata lain dia membalas atau menimpakan kemudharatan kepada orang lain sesuai dengan kemudharatan yang menimpa dirinya. Sedangkan kita semua mengetahui bahwa kata mudharat itu sendiri menurut bahasa adalah kebalikan dari manfaat, atau dapat juga dikatakan bahaya. Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan mencatat makna dari ضرر dharar dalam kaidah ini adalah tidak bolehnya menimpakan mudharat kepada orang lain, baik hal tersebut menyebabkan kemudaharatan atau tidak.[2]
Kata يُزَالُ (yuzaal) berasal dari kata zaala-yaziilu-zaalatan kata ini dalam bentuk majhul dengan wazan fu’al yang berarti dihilangkan. Maka setiap kemudharatan yang ada harus dihilangkan. Jadi secara garis besar kaidah fikih ini melarang segala sesuatu perbuatan yang mendatangkan mudharat/bahaya tanpa alasan yang benar serta tidak boleh membalas kemudharatan/bahaya dengan kemudharatan yang serupa juga, apalagi dengan yang lebih besar dari kemudharatan yang menimpanya.[3]
2.  Dalil-Dalil Pembentukannya
Dasar dari qai’dah ini adalah Al-Quran dan Hadits Nabi. Ayat Al-Quran yang senafas dengan qai’dah ini adalah surat al-Baqarah ayat 231 dan ayat 229:
#sŒÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r&  Æèdqä3Å¡øBr'sù   
   “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf pula. Jangan rujuki mereka untuk memberi kemadharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.”
 ß,»n=©Ü9$# Èb$s?§sD ( 88$|¡øBÎ*sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& 7xƒÎŽô£s? 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 Ÿwur @Ïts öNà6s9 br& (#räè{ù's? !$£JÏB £`èdqßJçF÷s?#uä $º«øx© HwÎ) br& !$sù$sƒs žwr& $yJŠÉ)ムyŠrßãm «!$# ( ÷bÎ*sù ÷LäêøÿÅz žwr& $uKÉ)ムyŠrßãn «!$# Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã $uKÏù ôNytGøù$# ¾ÏmÎ/ 3 y7ù=Ï? ߊrßãn «!$# Ÿxsù $ydrßtG÷ès? 4 `tBur £yètGtƒ yŠrßãn «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqãKÎ=»©à9$# ÇËËÒÈ  

 “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu tidak boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”
Kedua ayat diatas menjelaskan bahwa laki-laki jika telah mentalaq istrinya, maka ia diperbolehkan rujuk, tapi apabila ia sudah tidak membutuhkanya lagi karena sudah tidak ada kecocokan, maka tidak boleh mencegahnya, karena akan menimbulkan dhoro pada pihak istri, yaitu masa iddah yang perempuan.
Ayat di atas walaupun menjelaskan tentang aturan talaq tapi juga melarang berbuat atau menyebabkan bahaya kepada orang lain (istri). Masih banyak ayat-ayat yang pada intinya melarang berbuat atau menyebabkan bahaya, baik dalam bentuk yang besar maupun kecil.
Sedangkan hadist Nabi Shalallahu Allaihi wasallam dan menjadi dasar qaidah ini adalah hadist yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari Abi Sa’id al-Hudri:
“Tidak boleh berbuat dharar (bahaya) dan membalas perbuatan bahaya kepada orang lain, bagi siapa yang berbuat bahaya kepada orang lain maka Allah akan berbuat bahaya kepada orang tersebut dan bagi siapa yang mempersulit orang lain, maka Allah akan mempersulit dia.”
3. Kaidah-Kaidah Cabang
1) ا لضر ر ل ىز ا ل با لضر
“Kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan”
Maksud dari qaidah ini ialah sesuatu yang berbahaya tidak boleh dihilangkan dengan suatu bahaya yang lain. Walaupun kemudaratan itu mestilah dihilangkan, namun bukanlah dengan cara menimbulkan kemudaratan yang sama. Apalagi jika lahir kemudaratan yang lebih besar.
Contoh kaedah ini ialah: Seseorang yang terdesak kelaparan tidak boleh memakan makanan orang lain yang sama-sama kelaparan, karena perbuatan ini sama saja menghilangkan bahaya dengan cara menimbulkan bahaya lain. Kecuali semua orang dalam keadaan kritis makanan, dan sama-sama sangat membutuhkan makanan untuk sekedar menyambung hidup, maka bagi pemiliknya tanpa memandang hukum sosial berhak menggunakannya sendiri, berdasarkan sadba Rasulullah shallallahu Allaihi wasallam: “Dahulukanlah dirimu”.
2)ا ز ا لت ضر ر ا ءظم با ر تكا ب ضر ر ا خف
“Kemudaratan lebih berat dihilangkan dengan melaksanakan kemudaratan lebih ringan. “
Apabila terdapat dua kemudaratan atau perkara bahaya serentak atau dalam satu masa. Penyelesaiannya ialah kemudaratan yang lebih berat seharusnya dihilangkan dengan dibuat kemudaratan yang lebih ringan atau pun diperhatikan yang mana lebih besar mendatangkan bahaya. Kemudian dilaksanakan yang lebih kecil bahayanya dan dihindarkan yang lebih besar kemudaratannya.[4]
Contoh kaedah ini ialah: Melakukan Qisash karena bahaya yang kecil bisa dilakukan demi menghilangkan bahaya yang lebih besar, maka diterapaknlah hukum qisash. Menerapkan qisash dengan cara membunuh pelaku pembunuhan suatu bahaya akan tetapi bahayannya lebih kecil bila dibanding dengan bahaya akibat meninggalkan qisash. Sebab jika qisash tidak diterapkan, maka setiap orang akan merasa tidak melakukan pembunuhan dan tindak kriminal lainnya. Maka tidak diragukan lagi bahwa banyaknya kasus pembunuhan merupakan dlarar yang jauh lebih besar daripada hanya sekedar dlarar akibat qishas. Bahkan qisash sebenarnya adalah upaya untuk melestarikan kehidupan. Seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 179 :
öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quŠym Í<'ré'¯»tƒ É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÐÒÈ      
 “Dan dalam qisash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang berakal, supaya kamu bertakwa.
3)ىحتمل ا لضر ر ا لخا ص لد فح ا لضر ر ا لعا م
“ Melakukan kemudaratan yang khusus untuk menolak kemudaratan yang umum.
            Kaedah ini menjelaskan Syariat islam didatangkan untuk tujuan melindungi manusia, baik menyangkut agama, jiwa, akal, keturunan maupun harta. Segala sesuatu yang bisa menodai atau mereduksi eksistensi salah satu dari kelima hal tersebut merupakan kejahatan (dharar) yang wajib dihilangkan sedapat mungkin. Maka kejahatan yang bersifat umum harus ditolak, meskipun hal itu harus dilakukan dengan cara menggunakan dharar yang bersifat khusus.
Contoh masalah yang termasuk dibawah pecahan ini ialah: Pencekalan terhadap pemegang otoritas fatwa (mufti) yang hilang ingatannya. Hukum pencekalan ini tentunya merupakan dlarar bagi mufti, karena mengekang kebebasannya. Akan tetapi imbas dari dlarar tersebut hanya menimpa pada diri mufti seorang. Sebaliknya, jika pencekalan ini tidak dilakukan, maka mufti yang hilang ingatan akan mengumbar fatwa sesukannya, sehingga mengganggu keberlangsungan syariat Islam dan menimbulkan kebingungan umat. Demi menjaga keberlangsungan agama di masyarakat, maka hukum cekal ini harus diterapkan.
4)دفع ا لمفا سد ا و لى من جلب ا لمصلح
“Menolak kerusakan adalah lebih utama daripada mendatangkan kebaikan.”
Kaedah ini bermaksud, apabila bertemu di antara perkara yang membawa kemaslahatan dengan perkara yang membawa kerusakan atau bahaya, pelaksanaannya hendaklah didahulukan mencegah kemudaratan. Sekiranya ada pertentangan antara kebaikan dengan kerosakan, usaha mencegah kerosakan lebih diutamakan daripada usaha untuk mendapat kebaikan yang sedikit.
Contoh kaedah ini ialah: Berkumur dengan mengocok air yang berada didalam mulut sampai kepangkal tenggorokan dan menghirup air lewat hidung dalam melaksanakan wudhu adalah disunnahkan. Tetapi hal itu dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa dimakruhkan, sebab untuk menjaga jangan sampai air tersebut terus masuk sampai keperut hingga membatalkan puasa. Bersuci dengan menekan-nekankan jari basah di sela-sela pangkal rambut disunnahkan. Tetapi hal itu dimakruhkan bagi orang yang sedang menjalankan ihram, untuk menjaga jangan sampai menggugurkan rambut yang menjadi pantangan dalam ihram. Dan seseorang dibenarkan meninggalkan sebahagian kecil kewajiban disebabkan ada kesulitan seperti berbuka puasa seandainya sakit.
5) و ما ا بىح للضر و ر ة ىقد ر بقر ها
“Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat ditetapkan hanya sekedar kedaruratannya.”
Hal ini adalah logis. Sebab yang membolehkannya itu adalah suasana itu sendiri, yaitu suasana darurat dan krisis. Jadi,sekiranya suasana krisis sudah dapat di atasi, maka suasana berubah menjadi normal kembali dan karenanya hukum harus kembali senormal suasana itu pula.
Contoh Kasus : Seorang diperkenankan mengambil rumput milik orang lain tanpa izinnya untuk memberikan makanan binatangnya yang dalam keadaan kelaparan, tetapi tidak diperbolehkan mengambilnya lagi untuk dijual kepada orang lain yang memiliki binatang yang dalam keadaan yang sama.[5]













[1] Nashr farid Muhammad Washil,Abdul Aziz M. Qawaid Fiqhiyyah. Jakarta: Amzah. 2016
[2] Rosmawati Ali & Abd. Latif Muda. Perbahasan Kaedah-kaedah Fiqh. Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn. Bhd. 2000.

[3] Toha Andiko. Ilmu Qawaid Fiqiyyah. Yogyakarta: Teras. 2011.

[4]Https://Www.Academia.Edu/5990138/Pppg_3243_Kaedah-Kaedah_Fiqh_Sem_2_10_11_La_Dharar_Wa_La_Dhirar


No comments:

Post a Comment