MAKALAH
TUHAN MANUSIA DAN ESKATOLOGI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan sangat signifikan,
sejalan dengan kebutuhan manusia yang semakin hari tidak ada habisnya.
Kebutuhan tersebut tidak hanya berkisar pada ranah kebutuhan yang bersifat
materi atau dhahoirnya, akan tetapi juga kebutuhan spiritual. Keberadaan ilmu
jadi tidak ada artinya jika ia berjalan sendiri, tanpa di barengi agama dalam
memback up konsep-konsep yang ditawarkan oleh ilmu tersebut. Keduanya tidak
dapat dipisahkan antara satu sama lain, karena akan terjadi kepincangan yang
menghambat perkembangannya, sepakat dengan stetamant bijak “ilmu tanpa agama
akan buta, sedangkan agama tanpa ilmu akan lumpuh”. Jadi, keduanya harus
berjalan beriringan dan saling melengkapi satu sama lain. Belbagai konsep yang
ditawarkan oleh keduanya guna menjawab, memberikan solusi dari
permasalahan-permasalahan yang timbul didalam kehidupan manusia.
B.
Rumusan masalah
1.
Apa yang dimaksud
dengan tuhan?
2.
Apa yang dimaksud
dengan manusia?
3.
Apayang dimaksud dengan
eskatologi?
4.
Apa hubungan atara
tuhan, manusia dan eskatologi?
C. Tujuan
1. Apa yang dimaksud dengan tuhan?
2. Apa yang dimaksud dengan manusia?
3. Apayang dimaksud dengan eskatologi?
4. Apa hubungan atara tuhan, manusia dan eskatologi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tuhan
Kata Tuhan dalam bahasa Melayu berasal dari kata tuan. Buku pertama yang memberi keterangan tentang hubungan kata tuan dan Tuhan
adalah adalah Ensiklopedi Populer Gereja oleh Adolf Heuken SJ
(1976). Menurut buku tersebut, arti kata Tuhan ada hubungannya
dengan kata Melayu tuan yang berarti atasan, penguasa dan pemilik. Kata "tuan"
ditujukan kepada manusia, atau hal-hal lain yang memiliki sifat menguasai,
memiliki, atau memelihara. Digunakan pula untuk menyebut seseorang yang
memiliki derajat yang lebih tinggi, atau seseorang yang dihormati.
Penggunaannya lumrah digunakan bersama-sama dengan disertakan dengan kata lain
mengikuti kata "tuan" itu sendiri, dimisalkan pada kata "tuan
rumah" atau "tuan tanah" dan lain sebagainya. Kata ini biasanya
digunakan dalam konteks selain keagamaan yang bersifat ketuhanan.
Dalam bahasa Indonesia modern, kata "Tuhan"
pada umumnya dipakai untuk merujuk kepada suatu Dzat abadi dan supernatural.
Dalam konteks rumpun agama samawi, kata Tuhan (dengan huruf T besar) hampir selalu mengacu pada Allah, yang diyakini sebagai Dzat yang Maha sempurna, pemilik langit dan bumi
yang disembah manusia. Dalam bahasa Arab kata ini sepadan dengan kata rabb. Menurut Ibnu Atsir, Tuhan dan tuan secara bahasa diartikan pemilik,
penguasa, pengatur, pembina, pengurus dan pemberi nikmat. Kata Tuhan
disebutkan lebih dari 1.000 kali dalam Al-Qur'an. Dalam monoteisme, biasanya dikatakan bahwa Tuhan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya.
Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-konsep yang
mirip dengan ini, misalnya sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki
seluruh alam semesta, yang keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber
segala yang ada; kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk
hidup; atau apa pun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.
B.
Manusia
1. Manusia dalam perspektif filsafat
Disimpulkan bahwa
manusia merupakan hewan yang berpikir karena memiliki nalar intelektual. Dengan
nalar intelektual itulah manusia dapat berpikir, menganalisis, memperkirakan,
meyimpulkan, membandingkan, dan sebagainya. Nalar intelektual ini pula yang
membuat manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang jelek, antara yang
salah dan yang benar.
a.
Hakekat Manusia
Pada saat-saat tertentu
dalam perjalanan hidupnya, manusia mempertanyakan tentang asal-usul alam
semesta dan asal-usul keber-ada-an dirinya sendiri. Terdapat dua aliran
pokok filsafat yang memberikan jawaban atas
pertanyaan tersebut, yaitu Evolusionisme dan Kreasionisme.
Menurut Evolusionisme, manusia adalah hasil puncak
dari mata rantai evolusi yang terjadi
di alam semesta. Manusia sebagaimana halnya alam
semesta ada dengan sendirinya berkembang dari alam itu
sendiri, tanpa Pencipta. Penganut aliran ini antara lain Herbert Spencer,
Charles Darwin, dan Konosuke Matsushita. Sebaliknya, Kreasionisme
menyatakan bahwa asal usul manusia sebagaimana halnya alam semesta adalah
ciptaan suatu Creative Cause atau Personality, yaitu Tuhan YME. Penganut aliran
ini antara lain Thomas Aquinas. Memang kita dapat menerima
gagasan tentang adanya proses evolusi di
alam semesta termasuk pada diri manusia, tetapi
tentunya kita menolak pandangan yang menyatakan adanya
manusia di alam semesta semata-mata sebagai hasil evolusi dari alam itu
sendiri, tanpa Pencipta.
b.
Wujud dan Potensi
Manusia
Wujud Manusia.
menurut penganut aliran Materialisme yaitu Julien
de La Mettrie bahwa esensi manusia semata-mata
bersifat badani, esensi manusia adalah tubuh atau fisiknya.
Sebab itu, segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah
dipandangnya hanya sebagai resonansi dari
berfungsinya badan atau organ tubuh. Tubuhlah yang
mempengaruhi jiwa. Contoh: Jika ada organ tubuh luka muncullah rasa sakit.
Pandangan hubungan antara badan dan jiwa
seperti itu dikenal sebagai Epiphenomenalisme.
Bertentangan dengan gagasan Julien de La
Metrie, menurut Plato salah seorang penganut aliran
Idealisme bahwa esensi manusia bersifat kejiwaan,
spiritual dan rohaniah. Memang Plato tidak
mengingkari adanya aspek badan, namun menurut
dia jiwa mempunyai kedudukan lebih tinggi
daripada badan.
2.
Manusia dalam
perspektif Islam
Penciptaan manusia
terdiri dari bentuk jasmani yang bersifat kongkrit, juga disertai pemberian
sebagian Ruh ciptaan Allah swt yang bersifat abstrak. Manusia dicirikan oleh
sebuah intelegensi sentral atau total bukan sekedar parsial atau pinggiran.
Manusia dicirikan oleh kemampuan mengasihi dan ketulusan, bukan sekedar
refles-refleks egoistis. Sedangkan, binatang, tidak mengetahui apa-apa diluar
dunia inderawi, meskipun barangkali memiliki kepekaan tentang yang sakral.
Manusia perlu mengenali
hakekat dirinya, agar akal yang digunakannya untuk menguasai alam dan jagad
raya yang maha luas dikendalikan oleh iman, sehingga mampu mengenali ke-Maha
Pekasaan Allah dalam mencipta dan mengendalikan kehidupan ciptaanNya. Dalam
memahami ayat-ayat Allah dalam kesadaran akan hakekat dirinya, manusia menjadi
mampu memberi arti dan makna hidupnya, yang harus diisi dengan patuh dan taat
pada perintah-perintah dan berusaha menjauhi larangan-larangan Allah. Berikut
adalah hakekat manusia menurut pandangan Islam:
a. Manusia adalah Makhluk Ciptaan Allah Swt
Hakekat pertama ini
berlaku umum bagi seluruh jagat raya dan isinya yang bersifat baru, sebagai
ciptaan Allah SWT di luar alam yang disebut akhirat. Alam ciptaan meupakan alam
nyata yang konkrit, sedang alam akhirat merupakan ciptaan yang ghaib, kecuali
Allah SWT yang bersifat ghaib bukan ciptaan, yang ada karena adanya sendiri.[1] Firman
Allah SWT mengenai penciptaan manusia dalam Q.S. Al-Hajj ayat 5 :
Artinya
: “Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari
setetes air mani menjadi segumpal darah, menjadi segumpal daging yang diberi
bentuk dan yang tidak berbentuk, untuk Kami perlihatkan kekuasaan Tuhanmu.”
Firman tersebut
menjelaskan pada manusia tentang asal muasal dirinya, bahwa hanya manusia
pertama Nabi Adam AS yang diciptakan langsung dari tanah, sedang istrinya
diciptakan dari satu bagian tubuh suaminya. Setelah itu semua manusia
berikutnya diciptakan melalui perantaraan seorang ibu dan dari seorang
ayah, yang dimulai dari setetes air mani yang dipertemukan dengan sel telur di
dalam rahim. Hakikat pertama ini berlaku pada umumnya manusia di seluruh
jagad raya sebagai ciptaan Allah diluar alam yang disebut akhirat. Alam ciptaan
merupakan alam nyata yang konkrit sedangkan alam akhirat merupakan ciptaan yang
ghaib kecuali Allah yang bersifat ghaib bukan ciptaan yang ada karena dirinya
sendiri.
b. Kemandirian dan Kebersamaan (Individualitas dan Sosialita).
Kemanunggalan tubuh dan
jiwa yang diciptakan Allah Swt, merupakan satu diri individu yang berbeda
dengan yang lain. setiap manusia dari individu memiliki jati diri masing -
masing. Jati diri tersebut merupakan aspek dari fisik dan psikis di dalam
kesatuan. Setiap individu mengalami perkembangan dan berusah untuk
mengenali jati dirinya sehingga mereka menyadari bahwa jati diri mereka
berbeda dengan yang lain. Firman Allah dalam Q.S. Al-A’raf 189 artinya “Dialah
yang menciptakanmu dari satu diri”
Firman tersebut jelas
menyatakan bahwa sebagai satu diri (individu) dalam merealisasikan dirinya
melalui kehidupan, ternyata diantaranya terdapat manusia yang mampu
mensyukurinya dan menjadi beriman. Di dalam sabda Rasulullah SAW menjelaskan
petunjuk tentang cara mewujudkan sosialitas yang diridhoiNya, diantara hadist
tersebut mengatakan:“Seorang dari kamu tidak beriman sebelum
mencintai kawannya seperti mencintai dirinya sendiri” (Diriwayatkan
oleh Bukhari)“Senyummu kepada kawan adalah sedekah”(Diriwayatkan oleh
Ibnu Hibban dan Baihaqi).[2]
Kebersamaan (sosialitas) hanya akan terwujud
jika dalam keterhubungan itu manusia mampu saling menempatkan sebagai subyek,
untuk memungkinkannya menjalin hubungan manusiawi yang efektif, sebagai
hubungan yang disukai dan diridhai Allah Swt. Selain itu manusia merupakan
suatu kaum (masyarakat) dalam menjalani hidup bersama dan berhadapan dengan
kaum (masyarakat) yang lain. Manusia dalam perspektif agama Islam juga harus
menyadari bahwa pemeluk agama Islam adalah bersaudara satu dengan yang lain.[3]
c. Manusia Merupakan Makhluk yang Terbatas
Manusia memiliki
kebebasan dalam mewujudkan diri (self realization), baik sebagai satu diri
(individu) maupun sebagai makhluk social, terrnyata tidak dapat melepaskan diri
dari berbagai keterikatan yang membatasinya. Keterikatan atau keterbatasan itu
merupakan hakikat manusia yang melekat dan dibawa sejak manusia diciptakan
Allah SWT. Keterbatasan itu berbentuk tuntutan memikul tanggung jawab yang
lebih berat daripada makhluk-makhluk lainnya. Tanggung jawab yang paling asasi
sudah dipikulkan ke pundak manusia pada saat berada dalam proses penciptaan
setiap anak cucu Adam berupa janji atau kesaksian akan menjalani hidup di dalam
fitrah beragama tauhid. Firman Allah Q.S. Al-A’raf ayat 172 sebagai berikut:
artinya “Dan ingat lah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian jiwa mereka, “Bukankah Aku
ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul Engkau Tuhan kami dan kami bersaksi.”Kesaksian
tersebut merupakan sumpah yang mengikat atau membatasi manusia sebagai individu
bahwa didalam kehidupannya tidak akan menyembah selain Allah SWT. Bersaksi akan
menjadi manusia yang bertaqwa pada Allah SWT. Manusia tidak bebas menyembah
sesuatu selain Allah SWT, yang sebagai perbuatan syirik dan kufur hanya akan
mengantarkannya menjadi makhluk yang terkutuk dan dimurkaiNya.
C.
Eskatologi
1.
Konsep
Awal Eskatologi
Eskatologi dalam pandangan para teolog adalah ilmu atau pengetahuan
yang membahas tentang kebangkitan. Eskatologi merupakan bahasa dalam setiap
agama terutama agama-agama samawi. Eskatologi dalam agama islam adalah prinsip
keimanan, yakni percaya akan hari akhir, tanpa keyakinan terhadap hal ini, akan
gugurlah keimanan seorang muslim. Pembahasan eskatologi secara generik
kehidupan umat muslim, dan hal ini sesuai dengan firman allah swt dalam ayat
al-Quran misalnya, disebut dala surat al-isra(17):49-15:
s%u
Artinya: Dan mereka berkata: "Apakah bila Kami telah menjadi
tulang belulang dan benda-benda yang hancur, apa benar-benarkah Kami akan
dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?"Katakanlah: "Jadilah
kamu sekalian batu atau besi, Atau suatu makhluk dari makhluk yang tidak
mungkin (hidup) menurut pikiranmu". Maka mereka akan bertanya: "Siapa
yang akan menghidupkan Kami kembali?" Katakanlah: "Yang telah
menciptakan kamu pada kali yang pertama". lalu mereka akan
menggeleng-gelengkan kepala mereka kepadamu dan berkata: "Kapan itu (akan
terjadi)?" Katakanlah: "Mudah-mudahan waktu berbangkit itu dekat.”
Kajian-kajian sistematik mengenai ma’ad sering disepadankan dengan
analisis mengenai konsep al-mabda (asal muasal). Kemudian hal ini ditegaskan
didalam al-Qur’an:
Artinya: Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan
keadilan". dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri )mu di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah
dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan
kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya).
Konsep mengenai asal-muasal dan tempat kembali membahas hakikat
manusia dan hubungannya dengan Allah, sebab-sebab penciptaan manusia, kebaikan
tertinggi dan cara manusia mencapinya. Manusia hidup didunia adalah proses
perjalanan menuju kebaikan tertinggi. Karena, pada dasarnya di dalam kehidupan
yang sekarang mansia harus bekerja keras agar dapat mencapai kesempurnaan baik secara moral,
spiritual maupun intelektual.
Sebenarnya ada hal yang sering dilupakan dalam tahapan eskatologi,
yaitu kematian. Kematian adalah pintu yang menghubungkan antara kehidupan dunia
dengan kehidupan akhirat. Kematian adalah akhir dari perjalanan jiwa manusia di
dunia. Namun, jiwa manusia akan melanjutkan kehidupannya diakhirat kelak, yakni
kembali ke sisi Allah. Dan kembalinya manusia dari kehidupan dunia menuju
kehidupan lain digambarkan dengan istilah maut (kematian). Banyak manusia yang
takut akan menghadapi kematian, yang pada hakikatnya kematian adalah
non-eksistensi dari satu tahap menuju eksistensi di tahap lain. Manusia tidak
akan mengalami kematian mutlak, malainkan hanya kehilangan kondisi tertentu dan
beralih kekondisi yang lain. Maka keimanan itu bersifat relatif. Fakta bahwa
ketakutan manusia akan mati, kata imam Husein Thabthabi adalah bukti bahwa hal
itu adalah buah dari hasrat manusia pada keabadian, dan mengingat bahwa tak ada
yang sia-sia di alam ini, maka hasrat ini sendiri bisa menjadi dalil bagi
kekelan hidup manusia sesudah mati.
Kematian pun adalah penyempurnaan potensi-potensi yang ada dalam
diri manusia, karena kehidupan manusia di dunia ini layaknya seperti kehidupan
manusia di alam rahim. Seperti diketahui, bahwa ketika seorang bayi masih
berada dalam rahim, semua aksesoris khas manusianya belum berfungsi , dan
semuanya baru brfungsi ketika bayi telah terlahir kedunia. Manusia hidup
melalui tahapan-tahapan yang terus-menerus meningkat, dan hal ini dimulai dari
permulaan kehidupan manusia dan hingga manusia kembali kepada Allah. Tujun
melintasi semua alam itu adalah memperoleh pengetahuan dari setiap
realisasinya. Manusia pada mulanya mengetahui sesuatu yang universal tentang
Allah, dan semenjak jiwa menyatu ke dalam tubuh material, dirinya menjadi
terbatas. Maka wajar jika jiwa manusia mengharapkan dan ingin mengetahui
pengetahuan universal kembali.
Dalam bahasa filosofis, Mulla Sadra mengatakan “ setiap jiwa manusia,
karena hakikat priordialnya yang diberikan Allah, layak mengenal segala
sesuatu” pada mulanya ruh mempunyai pengetahuan mengenai hal-hal yang universal
dan bukan hal-hal yang partikular. Ia empunyai pengalaman tentang hal yang
ghaib, tetapi bukan alam nyata. Ketika ia disatukan dengan dunia ini dan
dilatih serta diasuh sebagaimana
mestinya, ia meperoleh
pengetahuan mengenai hal-al yang bersifat universal maupun partikular, dan yang
menjadi mengetahui yang ghaib dan yang nyata sebagai khalifah allah. Dalam ruh
ini tidak mempuyai kekuatan atau instrumen yang dibutuhkan untuk melakukan
tugas-tugas sebagai khalifah allah. Didalam dunia inilah ia memperoleh kekuatan
dan instrumen yang dibutuhkan, dengan demikian mencapai kesempurnaan pada
tingkatan kekhalifahan itu.
2.
Argumentasi
eskatologi
a.
Argumentasi
akal
1)
Tetapnya
kepribadian (personality) manusia dalam keberlangsungan badan
Seperti yang telah diketahui,
bahwasannya perubahan dan gerakan yang berefek adalah keniscayaan bagi
wujud-wujud materi. Sel-sel yang tebentuk dalam fisik manusia akan mengalami
perubahan dan pergantian, dan para ulama sepakat bahwa badan manusia akan
mengalami pembaharuan secara menyeluruh setiap sepuluh tahun sekali.
2)
Tidak
ada keterbagian
Keterbagian adalah keestian bagi
materi, sedangkan bagi jiwa tidak ada keterbagian karena jiwa tidak ada
keterbagian karena jiwa adalah esensi , dan esensi berbeda dengan aksiden yang
terbagi.
b.
Argumentasi
wahyu
Banyak ayat al-Qur’an yang menunjukkan keterlepasan jiwa dan
tentang keabadian jiwa setelah kematian . M isalnya surat al-Zumar ayat 42.
3.
Tema-tema
eskatologi dalam al-Qur’an
a.
Kubur
atau alam barzakh
b.
Kebangkitan
c.
Penimbangan
d.
Buku
e.
Kolam
f.
Titian
g.
Surga
h.
Neraka[4]
[4] Abdillah, Eskatologi
Kematian dan Kemenjadian Manusia (Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas
Ushuluddin Universitas Isla Negeri SGD Bandung).
No comments:
Post a Comment