MAKALAH NASIONALISME MESIR
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Perkembangan nasionalisme mesir Pada 1882 muncul pemberontakan
Arabi Pasha yang dipengaruhi paham Jamaludin Al Afghani. Pemberontakan ini merupakan
tonggak dari nasionalisme Mesir yang menuntut agar segera diubahnya sistem pemerintahan
di Mesir. Tuntutan tersebut dianggap membahayakan posisi Inggris diMesir.
Sebagai antisipasinya, dengan cepat Inggris segera mengirimkan pasukannya untuk
menyerang Arabi Pasha. Desakan tersebut membuat Arabi Pasha menyerahkan diri
dan mengakui kekalahannya dari pihakInggris. Sejak saat itulah Inggris memegang
kekuasaan penuh diMesir. Walaupun Arabi Pasha telah tertangkap namun
cita-citanya sedikitdemi sedikit terus diperjuangkan oleh para tokoh nasionalis.
Hal itu mulai nampak dari diadakannya Kongres Nasional di bawah Mustafa Kamil dengan
bertujuan untuk mencapaikemerdekaan secara penuh. Lagi-lagi Inggris berkehendak
lain, mereka mulai melucuti tubuh kongres denganmenangkap dan membuang
tokoh-tokohnya. Akan tetapi tindakan Inggris tersebut tidak membuat takut dan
jera para tokoh nasionalis. Dengan munculnya Partai Wafd tahun 1919 di bawah
pimpinan Saad Zaghul Pasha, menandakan bahwa semangat nasionalisme di Mesir
masih tetapberkobar. Pada November 1918 di bawah pimpinan Saad Saglul, kaum nasionalis
menuntut agar Mesir diberikan kemerdekaan penuh. Dua kali Zaglul Pasha
ditangkap dan diasingkan olehInggris; pertama ke Malta danyang kedua ke
Gibraltar.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
Latar belakang Nasionalisme Mesir ?
2.
Apa
Pengaruh Nasionalisme Mesir ?
C.
TUJUAN
1.
Untuk
mengetahui Latar belakang Nasionalisme
Mesir ?
2.
Untuk
mengetahui Pengaruh Nasionalisme Mesir ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH KEBANGKITAN NASIONALISME MESIR
1.
Latar
Belakang Nasionalisme Mesir
Memudarnya pengaruh Kekhilafan Turki
‘Uthmani (1294-1924 M) di permulaan abad 20 berdampak pada eskalasi politik
yang meningkat di provinsi-provinsi dari wilayah taklukan yang jauh dari pusat
pemerintahan. Hak otonomi yang diberikan oleh pemerintah pusat, disikapi beragam
oleh pemerintahan lokal. Penguasa Mesir (Pasha) saat itu yakni Muhammad ‘Ali
mengambil kesempatan dari otonomi untuk melakukan sebuah lompatan kebudayaan;
menerima modernisasi Barat. Sebuah keputusan besar yang kelak menjadi pondasi bagi
gerakan Nasionalisme Mesir.
Pasha Muhammad ‘Ali memulai
proyeknya dengan mengirim pemagang teknologi militer ke Italia dan Perancis di
tahun 1839. Gelombang berikutnya disusul oleh para pemagang di bidang birokrasi
dan teknologi manufaktur. Akibatnya muncul kelas baru di Mesir yakni golongan
teknokrat alumni Barat. Ciri umum dari golongan ini yakni apriori terhadap
nilai tradisi, cenderung kapitalistik dan permissif dengan apapun yang menjadi
tren di Barat. Kemunculan golongan ini menimbulkan benturan kebudayaan di level
akar rumput mengingat unsur tradisi Arab-Islam yang mengakar kuat.
Situasi Mesir antara 1850-1914
sungguh pelik. Secara teritorial, Mesir adalah bagian dari Daulah
‘Uthma>niyyah Turki namun Mesir juga di bawah kolonialisme Inggris. Periode tersebut
juga akrab dengan krisis ekonomi yang berdampak terhadap minimnya akses masyarakat
terhadap pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan secara umum.Instabilitas politik
dan krisis ekonomi seringkali menjadi bahan bakar bagi tersulutnya perubahan
radikal.
Generasi revolusioner lahir dari
kalangan terpelajar terutama yang mengecap terbukanya sebuah era baru di Barat.
Dengan didorong teknologi informasi yang semakin maju menjadi media penyebaran
ide-ide revolusi dengan kalangan muda dengan mengandalkan jurnalisme sebagai
media utama penyebarannya. Gairah revolusi tidak mungkin dibendung, resistensi
terhadap gerakan ini hanya punya kesempatan untuk melakukan pengendalian.
Revolusi yang digemakan adalah
revolusi dimensi sosial terutama berkaitan dengan dua hal isu strategis yakni
politik dan keagamaan. Mesir termasuk negara yang dapat melewati fase revolusi
ini dengan damai meski ditempuh dalam waktu yang cukup lama. Gejolak hanya terjadi
di level elit, sementara masyarakat akar rumput cenderung sibuk dengan
rutinitas harian dan lebih tenang berada dalam “payung” tradisi. Konflik
terjadi dalam level yang tidak ekstrim meski eskalasinya begitu panas dan
menarik banyak pihak untuk mencermati perkembangannya.
2.
Pilar
Nasionalisme Mesir
Setiap ide dan gerakan pasti
memiliki pondasi-pondasi ideologis. Pondasi-pondasi tersebut dapat digali
kembali melalui kajian epistemologis. Mayoritas peneliti orientalis biasanya
merujuk kepada konsep pondasi nasionalisme 8 Mesir yang dirumuskan oleh Taha
Husayn. Berdasarkan rumusan tersebut, terdapat tiga pilar utama tegaknya
Nasionalisme Mesir yakni
a.
Warisan
Arab
Sulit untuk tidak mengatakan Mesir bukan Arab. Meski bagian
kontinental dari Afrika, Mesir bahkan dapat dikatakan lebih Arab daripada
beberapa negara di kawasan Timur Tengah. Perjalanan sejarah bersama Arab
(Islam) sejak penaklukannya oleh ‘Amr Ibn al-‘As di tahun 16 H (637 H) hingga
abad modern ini menjadi bukti konsistensi kultur Arab di Mesir.
Bahasa Arab adalah bahasa resmi Mesir menggantikan bahasa Romawi
yang digunakan sejak 30 SM.12 Nama yang diberikan orang tua kepada anaknya
adalah nama Arab. Bahasa sehari-hari yang digunakan selama ratusan tahun adalah
Bahasa Arab. Membicarakan Mesir berarti membicarakan salah satu devian dari
bangsa Arab sebagaimana kita membicarakan Saudi, Iraq, Kuwait atau Qatar.
Warisan sesungguhnya (the real legacy) dari bangsa Arab adalah
Islam. Islam adalah pondasi bagi konsistensi kultur Arab di Mesir.
Simbol-simbol Islam sangat mendominasi kehidupan rakyat Mesir. Simbol Islam
tidak hanya tersirat dalam arsitektur yang diejawantahkan oleh masjid-masjid
dan makam-makam, bahkan simbol tersebut teraplikasikan dalam dunia
politik-kemasyarakatan. Univesitas Al-Azhar13 dapat dimasukkan sebagai bukti
dominasi simbol tersebut. Islam tidak hanya warisan bangsa Arab, Islam telah
menjadi identitas rakyat Mesir.
Dalam konteks Mesir masa revolusi, penjagaan terhadap warisan Arab
ini merupakan arus utama. Tantangannya adalah meski menjadi arus utama kelompok
ini terbelah menjadi dua kelompok besar yakni kelompok tradisional-konservatif
dan modern-transformatif. Kesamaan dari kedua kelompok ini adalah keduanya
mengusung Islam sebagai sebuah warisan berharga bagi keberlangsungan umat.
b.
Rasionalisme
(Yunani)
Yunani adalah simbol bagi pendayagunaan kekuatan akal sebagai pilar
bagi pendayagunaan manusia. Klaim ini tentu tidak nihil perdebatan, namun
diakui atau tidak sumbangsih Yunani terhadap filsafat sebagai mother of science
sangat besar. Filsafat Yunani kemudian bertemu dengan peradaban Islam di era
kejayaan ekonomi Arab, perkenalan tersebut melahirkan nama-nama besar seperti
Ibnu Rushd dan Ibn Sina.
Tidak sedikit cendikiawan muslim meyakini bahwa kejayaan peradaban
Islam di interval abad IV – X H dibangun di atas pilar-pilar filsafat.
Kemunduran yang terjadi di era setelahnya diyakini merupakan akibat umat lebih
memilih hidup dalam asketisme dan pesimis terhadap potensi akal manusia.
Filsafat diabaikan, fanatisme golongan ditumbuh suburkan. Taha Husayn adalah
tokoh lokomotif bagi gerbong pemikiran ini.
Diawali dengan penerjemahan karya-karya Yunani di pemerintahan
al-Ma’mun kemudian karya tersebut diadaptasi bahkan dikembangkan dengan format
yang sangat berbeda dari warisan pemikiran Yunani oleh pemikir-pemikir Muslim.
Lihat Syamsudin Arif dan Dinar Dewi Kania, Filsafat Islam dan Tradisi Keilmuwan
Islam dalam Adian Husaini, Seorang sastrawan yang menjadi pelopor kritik
teks-teks agama. Karya-karyanya diperhitungkan sebagai penggerak modernisasi
pemikiran di Mesir.
Kritik terhadap pengusung Rasionalisme Yunani ini terlihat seperti
langkah mundur yang terlalu jauh. Padahal peradaban Islam juga memiliki konsep
Rasionalisme yang merupakan versi adaptasi dari para filososof Yunani dengan
menambahkan nafas keIslaman. Pembuktian di ranah kajian pun menunjukkan bahwa
elaborasi para intelektual modern di Mesir terhadap Rasionalisme Yunani
dilakukan via peradaban baru yang sedang tumbuh di Barat pasca Revolusi
Perancis dan Revolusi Industri.
c.
Kejayaan
Masa Lampau
Mesir Kuno (Ancient Egypt) adalah legenda peradaban dunia.
Peninggalanpeninggalannya merupakan “target buruan” paling menjanjikan bagi
ilmuwan arkeolog bahkan pasar gelap barang antik memasang harga tertinggi bagi
setiap kepingan peninggalan Mesir Kuno. Mesir Kuno juga sering dianggap bukti
lompatan peradaban manusia. Manusia secara tiba-tiba menguasai sains yang
kompleks dan bahkan tetap menjadi misteri di masa modern.
Akibatnya berkembang isu bahwa peradaban Mesir Kuno diajarkan oleh
makhluk luar angkasa (alien). Meski sebatas isu namun publik justru merespon
positif, banyak novel fiksi ilmiah dan film-film blockbuster Hollywood mengadaptasi
isu itu menjadi pondasi cerita yang laris di pasaran. Era Mesir Kuno berakhir
di masa Cleopatra.30 Kehebatan Legiun Romawi di masa itu sulit ditandingi
bangsa manapun termasuk Mesir. Seketika itu peradaban Mesir runtuh oleh
imperialisme. Romawi juga menyita banyak peninggalan Mesir Kuno; tidak hanya emas
atau perhiasan, Obelisk yang merupakan simbol agama Mesir Kuno juga dipindahkan
ke Romawi.
Tidak ada peradaban yang abadi. Seperti halnya Mesir yang berhasil
ditaklukan, Romawi juga perlahan mulai memudar kedigdayaanya. Kemudian dari
jazirah Arab yang tandus sedang terbit sebuah kekuatan baru bernama Islam.
Konflik militer diantara keduanya menjadi tidak terhindarkan di Semenanjung
Arab termasuk Mesir. Romawi yang mulai menua akhirnya dipukul mundur dari
Semenanjung Arab. Mesir kemudian berganti penguasa.
Keruntuhan Khilafah ‘Uthmani> turut menyeret Mesir ke titik
nadirnya. Kemalangan Mesir ini kemudian menjadi pemicu bagi bangsa Mesir untuk
melakukan sesuatu untuknegaranya. Sebagian intelektual kemudian mengkampanyekan
unsur nostalgia tentangkejayaan Mesir di masa lalu.
Bangsa Mesir sangat lentur dalam menyikapi perubahan-perubahan yang
terjadi dalam sejarah mereka. Transisi dari paganisme Mesir Kuno kemudian
menjadi pantulan dari peradaban Romawi berhasil dilewati dengan sukses. Meski
menderita banyak kehilangan akibat imperialisme namun Mesir tidak sulit untuk
mengubah dirinya. Hal sama terjadi pula tatkala Mesir berada dalam otoritas Muslim.
Mungkin peradaban yang dibangun oleh generasi baru Mesir tidak sedahsyat
pencapaian leluhur mereka dari generais kuno namun generasi baru Mesir selalu
bisa memberi warna tersendiri dalam memberikan sumbangsih mereka terhadap
dunia.
Fakta di lapangan juga membuktikan bahwa isu utama revolusi Mesir
adalah pembaruan dalam pemikiran keagamaan. Islam tetap menjadi poros utama
dari ide perubahan di Mesir. Hari ini kita melihat Mesir cenderung tidak banyak
berubah secara fisik baik secara ekonomi dan domain-domain sosial lainnya,
tetapi sumbangsih Mesir kepada dunia tidak bisa diremehkan terutama terhadap
Islam. Mesir saat ini adalah pustaka keilmuan Islam terbesar di dunia. Segala
hal tentang Islam dari berbagai sudut pandang bahkan aliran dapat diakses referensinya
di Mesir. Sehingga meski tidak segemerlap Perancis, tidak sekuat Amerika
Serikat, tidak secanggih Jerman atau Jepang; Mesir tetap memiliki tempat
tersendiri di mata dunia yakni sebagai ladang riset yang menjanjikan terhadap
studi kawasan Timur Tengah.
B.
PENGARUH NASIONALISME MESIR
Sejarah berkembangnya nasionalisme
di dunia identik dengan sebuah perubahan besar di ranah sosial kemasyarakatan.
Fenomena yang umum terjadi adalah pengentalan identitas kebangsaan yang
tercermin dalam falsafah hidup. Berbicara tentang falsafah hidup, kesetaraan
derajat merupakan ide yang paling sering disuarakan. Ide kesetaraan ini tidak
berjalan sendiri karena biasanya dikaitkan dengan demokrasi sebagai bentuk
pengejawantahan kesetaraan dalam ranah politik.
Nasionalisme juga menjadi corong
bagi gerakan publik yang menyuarakan kemandirian bangsa yakni kebebasan sebuah
bangsa menentukan nasibnya tanpa intervensi bangsa lain. Nasionalisme sering
dihadapkan dan dibenturkan dengan kolonialisme dan imperialisme. Tidak sedikit yang
menjadikan nasionalisme sebagai pilar kemerdekaan sebagaimana di Indonesia oleh
Soekarno.
Dalam konteks Nasionalisme Mesir,
isu kesetaraan dan kemandirian bangsa sangat kuat disuarakan. Sisi uniknya
dalam kasus Nasionalisme Mesir adalah munculnya gerakan kebangkitan Islam yang
turut serta mengambil peran dalam gerakan Nasionalisme Mesir. Penganjurnya
adalah para cendikiawan muslim seperti Abduh dan muridnya Ridha. Rincian
tentang pengaruh nasionalisme dalam kehidupan berbangsa rakyat Mesir akan
dibahas pada pembahasan berikut ini.
1.
Pengaruh
Sosial Politik
a.
Nation
State
Selama hampir satu abad (1800-1900 M), Mesir berada dalam kekusutan
kekuasaan. Sulit disebutkan siapakah penguasa Mesir sebenarnya. Terdapat tiga
oknum kekuatan yang memainkan peran kekuasaan di Mesir yaitu penguasa lokal
(khediv), Khilafah Turki ‘Uthmani dan Inggris.34 Kondisi politik yang tidak
sehat ini tentu berdampak langsung pada kemajuan Mesir.
Gerakan Nasionalisme kemudian disuarakan oleh kalangan terpelajar.
Mereka menuntut terbentuknya format negara yang jelas dengan kemandirian bangsa
sebagai pondasinya. Pengaruh Inggris dianggap sebagai sebuah penjajahan,
sementara Khilafah ‘Uthmaniyah dianggap tidak cukup kuat untuk menggerakkan
pembangunan di Mesir. Nasionalisme Mesir menyuarakan terbentuknya Negara Bangsa
(Nation State).
Nasionalisme dan nation state dapat diibaratkan seperti 2 sisi mata
uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Masing-masing adalah alasan
keberadaan sisi yang lain. Diawali dari sebuah kondisi kejiwaan yang mengarah
kepada pengabdian kepada negara secara totalitas. Kondisi tersebut kemudian
menemukan pijakan episteme-nya sehingga terbentuklah sebuah ideologi yang
meletakkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. Tujuan
ideologi ini adalah terwujudnya sebuah negara bangsa.
Negara bangsa adalah suatu
gagasan yang didirikan untuk seluruh bangsa berdasarkan kesepakatan bersama
yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara
pihak-pihak yang terlibat kesepakatan tersebut. Dengan kondisi dunia modern
yang semakin terbuka terhadap latar belakang agama dan ras, banyak yang
berkeyakinan bahwa negara bangsa adalah solusi terbaik bentuk negara di abad
modern. Nasionalisme Mesir akhirnya berhasil digerakkan oleh golongan
terpelajar. Perjuangan menyuarakan nasionlisme lebih sering disuarakan pada
forum-forum diskusi dan kajian ilmiah. Ketegangan keamanan dapat diminimalisir
sehingga revolusi berdarah dapat dihindarkan. Ide nasionalisme ini mengalami
pasang-surut selama hampir 100 tahun lamanya sebelum akhirnya sampai pada
puncaknya yakni deklarasi kemerdekan Mesir pada tahun 1956 sebagai sebuah
negara bangsa.
b.
Egaliterianisme
Sebagai
negara dengan penduduk mayoritas muslim, ada beberapa isu sensitif yang lazim
terjadi dalam tradisi muslim klasik yakni isu hubungan muslimkafir dan isu
gender. Mengenai relasi muslim-kafir di masa lalu relatif tidak banyak
persoalan tajam karena negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim telah
teruji sebagai kelompok masyarakat yang paling toleran terhadap perbedaan
agama.
Tantangan
berbeda saat monarki dianggap terlalu uzur untuk bisa memacu negara-negara
muslim dalam persaingan global. Tidak sedikit negara -termasuk Mesir- yang
kemudian memilih mencoba sistem politik baru yakni demokrasi. Sehingga corak
nasionalisme yang lahir di Mesir adalah nasionalisme demokratis berbeda dengan
tetangganya yaitu Arab Saudi yang membingkai nasionalismenya tetap berada dalam
jalur monarki-teokrasi.
Demokrasi
mensyaratkan partisipasi publik secara total dalam politik. Akses politik harus
terbuka bagi siapa saja. Egaliterianisme menjadi nafas bagi demokrasi. Sehingga
membicarakan egaliterianisme pasti akan bersinggungan dengan pembahasan
demokrasi. Bukan rahasia lagi jika semua isme (paham) yang dikembangkan sejak
era industri-modern selalu bermuara di politik.
Bangsa
Mesir telah lama menjadikan Islam sebagai bagian dari kehidupan mereka. Islam
mempunyai banyak peran termasuk diantaranya menjadi pertimbangan utama
penerimaan khalayak terhadap sebuah ide yang diadaptasi dari pemikiran atau
kebudayaan asing. Di sisi lain, Islam memiliki konsep kesetaraan yang banyak
sisi di dalamnya menjanjikan ruang dialogis dengan konteks zaman. Ruang itu
yang diincar oleh para penggiat egaliterianisme dalam berkampanye.
Egaliterianisme
tidak benar-benar hidup dan berkembang di Mesir. Kekuaatan kultur-primordial
yang mengakar kuat menjadi tembok kokoh bagi penyebaran paham ini secara massif
dan menjadi falsafah utama publik Mesir. Meski demikian, egaliterianisme tidak
benar-benar ditolak dan diacuhkan. Kelahiran Republik Mesir menjadi bukti bahwa
egaliterianisme memiliki posisi yang unik di Mesir. Hal ini justru menjadi
faktor genuine dari gerakan Nasionalisme Mesir.
2. Pengaruh Pemikiran Keagamaan
Selama ratusan tahun sampai detik ini, Mesir identik dengan pusat
pengajaran dan pembelajaran kajian-kajian Islam. Peran Mesir di masa klasik
adalah menjadi arena berlaga bagi diskusi dan perdebatan berbagai madhhab dari
berbagai disiplin kajian keagamaan. Fiqh, Tasawuf, dan Kalam merupakan
penyumbang terbesar bagi perdebatan yang produktif tersebut.
Meski memiliki brand sebagai pusat kajian keagamaan yang dinamis,
realitanya mayoritas masyarakat Mesir lebih nyaman dengan penyatuan pemikiran
berdasarkan warisan pemikiran generasi sebelumnya. Budaya kritis tidak
terlarang di Mesir namun tidak banyak yang antusias melakukannya. Sistem
pengajaran agama secara kultural dibangun berdasarkan kemampuan menghafal dan
sedikit menepikan kemampuan memahami. Hal ini menjadi gambaran umum dari
mayoritas markasmarkas pengkajian agama di daerah-daerah Mesir.
Diantara golongan minoritas yang antusias terhadap budaya kritis
terhadap pemikiran keagamaan adalah al-Azhar. Sejarah membuktikan bahwa tidak
sedikit cendikiawan al-Azhar memiliki karakter yang kuat dalam meletakkan ilmu
sebagai panglima terdepan pembangunan peradaban. Seorang alumni al-Azhar bisa
saja menjadi seorang fanatis, namun kefanatikannya lahir dari proses pengkajian
yang mendalam bukan dari sikap taqli>d buta.
Golongan berikutnya adalah
para sarjana yang bersentuhan dengan filsafat Barat Modern. Ruh dari filsafat
ini cenderung sekuler. Tentu saja term sekulerisme tersebut menimbulkan
kegaduhan di Mesir mengingat kondisi sosio kultur Mesir yang terbiasa dengan prinsip
religius baik dalam tataran formal-positif maupun dalam penghayatan nilai.
Pemisahan keduanya dalam ruang yang berbeda dianggap sebuah penghianatan besar
terhadap agama.
Bangsa Mesir adalah bangsa yang cinta ilmu dan menghargai
kebenaran. Berlatar sikap cinta ilmu itulah, Islam berhasil didakwahkan di
Mesir secara damai. Waktu yang lama dan keistiqomahan para penyebar Islam
menjadikan agama Islam sebagai agama yang dianut mayoritas rakyat Mesir.37
Sikap fanatik yang bersarang di Mesir bukan lahir dari karakter asli Bangsa
Mesir, sikap tersebut lahir akibat dari keterbatasan akses mayoritas muslim
Mesir terhadap lautan hikmah ilmu. Ekonomi yang tersendat dan stabilitas
politik yang tidak menentu menjadi alasan terkuat bagi keterbatasan akses
tersebut bisa terjadi.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Memudarnya pengaruh Kekhilafan Turki
‘Uthmani (1294-1924 M) di permulaan abad 20 berdampak pada eskalasi politik
yang meningkat di provinsi-provinsi dari wilayah taklukan yang jauh dari pusat
pemerintahan. Hak otonomi yang diberikan oleh pemerintah pusat, disikapi
beragam oleh pemerintahan lokal. Penguasa Mesir (Pasha) saat itu yakni Muhammad
‘Ali mengambil kesempatan dari otonomi untuk melakukan sebuah lompatan
kebudayaan; menerima modernisasi Barat. Sebuah keputusan besar yang kelak
menjadi pondasi bagi gerakan Nasionalisme Mesir.
Setiap ide dan gerakan pasti
memiliki pondasi-pondasi ideologis. Pondasi-pondasi tersebut dapat digali
kembali melalui kajian epistemologis. Mayoritas peneliti orientalis biasanya
merujuk kepada konsep pondasi nasionalisme 8 Mesir yang dirumuskan oleh Taha
Husayn.
Sejarah berkembangnya nasionalisme
di dunia identik dengan sebuah perubahan besar di ranah sosial kemasyarakatan.
Fenomena yang umum terjadi adalah pengentalan identitas kebangsaan yang
tercermin dalam falsafah hidup. Berbicara tentang falsafah hidup, kesetaraan
derajat merupakan ide yang paling sering disuarakan. Ide kesetaraan ini tidak
berjalan sendiri karena biasanya dikaitkan dengan demokrasi sebagai bentuk
pengejawantahan kesetaraan dalam ranah politik.
B.
SARAN
Semoga makalah
ini dapat dapat bermanfaat, menjadi acuan refrensi bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Badrika, I Wayan. 2006. Sejarah Nasional Indonesia dan umum 2.
Jakarta :
Erlangga
Hamid Hasan,Said dkk. 2010. Sejarah SMA 2 program IPS.
Jakarta : Bumi
Aksara
Ratnaningsih, Neiny. 2003. Memahami sejarah 2. Bandung :
Ganera Exact
M.C.
No comments:
Post a Comment