MAKALAH KERAJAAN
BERCORAK ISLAM SEBELUM PENJAJAHAN BELANDA KHUSUSNYA WILAYAH JAWA DAN SUMATRASEJARAH
ISLAM INDONESIA
Kerajaan
bercorak Islam di Jawa dan Sumatra
A.
Kerajaan-kerajaan
Islam di Sumatera
1.
Kerajaan Samudra
Pasai
Samudera, sebelum kedatangan dan proses
penyebaran Islam, hanyalah sebuah kampung yang dipimpin oleh kepala suku.
Meskipun belum menjadi kota, kampung tersebut sudah berfungsi sebagai tempat
persinggahan para pedagang. Sejak abad ke-7, kampung ini mulai didatangi oleh
para pedagang Muslim. Kota ini kemudian menjadi pusat kerajaan Islam Samudera
Pasai.[1]
Samudera Pasai adalah kerajaan Islam
pertama di Indonesia yang merupakan kerajaan kembar. Kerajaan ini terletak di
pesisir Timur Laut Aceh. Kemunculannya sebagai kerajaaan Islam diperkirakan
mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M sebagai hasil dari proses Islamisasi
daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad
ke-7- ke-8 M, dan seterusnya. Kerajaan ini didirikan oleh Maurah Selu dengan
gelar Al-Malikush Shalih (1261-1289M). Bukti berdirinya kerajaan Samudra Pasai
pada abad ke-13 M ini didukung oleh adanya nisan kubur terbuat dari granit asal
Samudra Pasai. Dari Nisan itu dapat diketahui bahwa Raja pertama kerajaan itu
meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertetapatan
dengan tahun 1297M.[2]
Maurah Selu masih keturunan Raja
Perlak, Makhdum Sultan Malik Ibrahim Johan Berdaulat. Samudra Pasai mengalami
puncak kejayaan pada masa Sultan Malik Azh-Zhahir.[3]Diantaranya
majunya kegiatan-kegiatan agama dan keadaan masyarakat makmur (ekonomi, sosial,
dan pemerintahan aman). Mereka bermata pencaharian umumnya dengan berdagang,
dari sini memperkokoh sendi-sendi kerajaan dan juga ditambah dengan pajak yang
besar. Ini dilihat dari keadaan waktu itu Pasai yang terletak sangat strategis
dan menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara, mereka umumnya menggunakan
dirham. Dari cerita tersebut menunjukkan masyarakat waktu itu sudah maju dan
damai.[4]
Adapun
para raja yang pernah memerintah di kerajaan Samudra pasai adalah sebagai
berikut :
1. Sultan
Malik Azh-Zhahir (1297-1326 M)
2. Sultan Mahmud Malik Azh-Zhahir (1326-1345 M)
3. Sultan
Manshur Malik Azh-Zhahir (1345-1346 M)
4. Sultan
Ahmad malik Azh-Zhahir (1346-1383 M)
5. Sultan
Zainal Abidin Malik Azh-Zhahir (1383-1405 M)
6. Sultan
Nahrasiyah (1405 M)
7. Sultan
Abu Zaid Malik Azh- Zhahir (1455 M)
8. Sultan
Mahmud Malik Azh-Zhahir (1455-1477 M)
9. Sultan
Zainal Abidin (1477-1500 M)
10. Sultan
Abdullah Malik Azh-Zhahir (1500-1513 M)
11. Sultan
Zainal Abidin (1513-1524 M)
Kerajaan
samudra Pasai berakhir tahun 1524 M
ketika direbut oleh kerajaan Aceh Darussalam dibawah pimpinan Sultan Ali
Mughayat Syah.[5]
2.
Aceh Darussalam
Aceh Darussalam segera tumbuh
menjadi kota dan pusat kerajaan Islam setelah Samudera Pasai. Kota Aceh
terletak disebuah lembah dan diapit oleh gunung-gunung tinggi.[6]
Kerajaan Aceh terletak di daerah
yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Disini pula letak ibu
kotanya. Kurang begitu diketahui kapan kerajaan ini sebenarnya berdiri. Anas
Machmud berpendapat, Kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15, diatas puing-puing
kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). Dialah yang membangun kota
Aceh Darussalam. Menurutnya, pada masa pemerintahanya Aceh Darussalam mulai
mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan, karena saudagar-saudagar Muslim
yang sebelumnya berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh,
setelah Malaka dikuasai Portugis (1511 M). Sebagai akibat penaklukan Malaka
oleh Portugis itu, jalan dagang yang sebelumnya dari Laut Jawa ke utara melalui
Selat Karimata terus ke Malaka, pindah melalui Selat Sunda dan menyusuri pantai
Barat Sumatera, terus ke Aceh. Dengan demikian, Aceh menjadi ramai dikunjungi
oleh para saudagar dari berbagai negeri.
Menurut H.J. de Graaf, kerajaan Aceh
merupakan penyatuan dari dua kerajaan kecil, yaitu Lamuri dan Aceh Dar
Al-Kamal. Ia juga berpendapat bahwa rajanya yang pertama adalah Ali Mughayat
Syah. Ia meluaskan wilayah kekuasaanya
ke daerah Pidie yang bekerja sama dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun
1524 M. Dengan kemenanganya terhadap dua kerajaaan tersebut, Aceh dengan mudah
melebarkan sayap kekuasaanya ke Sumatera Timur. Peletak dasar kebesaran
kerajaan Aceh adalah Sultan Alaudin Riayat Syah yang bergelar Al-Qahar. Puncak
kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1608-1637 M). Pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir Timur
dan Barat Sumatera. Dari Aceh, Tanah Gayo yang berbatasan diislamkan, juga
Minangkabau.
Masa-masa semenjak Sultan Alaiddin
Ali Mughaiyat Syah sampai kepada masa Ratu Tajul Alam Safiatuddin adalah “Zaman
Gemilang” yang menanjak, sementara masa-masa setelah itu, semenjak masa
pemerintahan Ratu Nurul Alam Naqiyatuddin sampai kepada Sultan Alaiddin
Muhammad Daud Syah, adalah masa suram yang terus menurun.[7]
B.
Kerajaan-kerajaan
di Jawa
1.
Kerajaan Demak
Kerajaan Demak didirikan atas
prakarsa para Walisongo. Dibawah pimpinan Sunan Ampel Denta, walisongo
bersepakat mengangkat Raden Patah sebagai Raja pertama kerajaan Demak. Ia
mendapat gelar Senopati Jinbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin
Panataagama.[8]
Ia mempunyai beberapa putra dan putri yang lahir dari tiga ibu. Yat Sun
(adipati Yunus) dan Tung Ka Lo (Trenggana) lahir dari cucu perempuan Sunan
Ampel alias Bong swi Hoo; Kaduruwan lahir dari putri randu Sanga; Raden Kikin
alias pangeran Seda Lepen lahir dari adipati Jipang, disebelah timur Blora.
Keturunan lainnya ialah putri, yakni Ratu Mas Nyawa.
Raden Patah dalam menjalankan
pemerintahannya, terutama dalam berbagai permasalahan agama dibantu oleh para
wali. Sebelumnya, Demak yang masih bernama Bintoro merupakan daerah Vassal
(kekuasaan) Majapahit yang diberikan Raja Majapahit kepada Raden Patah. Daerah
ini semakin lama semakin berkembang menjadi daerah yang ramai dan pusat
perkembangan agama islam yang diselenggarakan para wali.[9]
Pemerintahan Raden Patah berlangsung
kira-kira diakhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Dikatakan ia adalah
seorang anak Raja Majapahit dari seorang ibu muslim keturunan Campa. Dalam
naskah cerita dan babad dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, raja Demak kedua
sebagai pengganti Raden Patah adalah pangeran Sabrang-Lor atau disebut Pati
Unus. Nama itu ternyata berasal dari tempat tinggalnya di “Seberang Utara”.[10]
Menurut Tome Pires, Pati Unus baru
berumur 17 tahun ketika menggantikan ayahnya sekitar tahun 1507. Menurutnya
tidak lama setelah naik tahta ia merencanakan suatu serangan terhadap Malaka.
Semangat serangnya semakin memuncak ketika Malaka ditaklukan oleh Portugis pada
tahun 1511. Akan tetapi sekitar pergantian tahun 1512-1513 tentaranya mengalami
kekalahan besar[11]
Pati unus digantikan oleh Trenggono
yang dilantik sebagai Sultan oleh Sunan Gunungjati dengan gelar Sultan Ahmad
Abdul ‘Arifin. Ia memerintah pada tahun 1524-1546. Pada masa Sultan Demak yang
ketiga inilah Islam dikembangkan keseluruh tanah Jawa, bahkan sampai ke
Kalimantan Selatan. Penaklukan Sunda Kelapa berakhir tahun 1527 yang dilakukan
oleh pasukan gabungan Demak dan Cirebon dibawah pimpinan Fadhilah Khan.
Majapahit dan Tuban jatuh ke bawah kekuasaan kerajaan Demak diperkirakan pada
tahun 1527 itu juga. Selanjutnya pada tahun 1529, Demak berhasil menundukkan
Madiun, Blora (1530), Surabaya (1531), Pasuruan (1535), dan antara tahun
1541-1542 Lamongan, Blitar, Wirasaba, dan Kediri (1544). Palembang dan
Banjarmasin mengakui kekuasaan Demak. Sementara daerah Jawa Tengah bagian
Selatan sekitar Gunung Merapi, Pengging, dan Pajang berhasil dikuasai berkat
pemuka Islam, Syekh Siti Jenar dan Sunan Tembayat. Pada tahun 1546, dalam
penyerbuan ke Blambangan, Sultan Trenggono terbunuh. Ia digantikan adiknya,
Prawoto. Masa pemerintahannya tidak berlangsung lama karena terjadi
pemberontakan oleh adipati-adipati sekitar kerajaan Demak. Sunan Prawoto
sendiri kemudian dibunuh oleh Aria Penangsang dari Jipang pada tahun 1549.
Dengan demikian kerajaan Demak berakhir dan dilanjutkan oleh kerajaan Pajang di
bawah Jaka Tingkir yang berhasil membunuh Aria Penangsang.[12]
Adapun
para Sultan kerajaan Demak adalah:
1. Raden
Patah (1478-1518 M)
2. Adipati
Unus (1518-1521 M)
3. Sultan
Trenggono (1521-1546 M
4. Sunan
Prawoto (1546-1546 M)[13]
2.
Kerajaan Pajang
Kesultanan Pajang adalah pelanjut
dan dipandang sebagai pewaris kerajaan Islam Demak. Kesultanan yang terletak di
daerah Kartasura sekarang itu merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di
daerah pedalaman pulau Jawa. Usia kesultanan ini tidak panjang. Kekuasaan dan
kebesarannya kemudian diambil alih oleh kerajaan mataram. [14]
Sultan atau raja pertama kesultanan
ini adalah Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging, di lereng Gunung Merapi.
Oleh Raja Demak ketiga, Sultan Trenggono, Jaka Tingkir diangkat menjadi
penguasa di Pajang, setelah sebelumnya dikawinkan dengan anak perempuannya.
Kediaman Pajang itu, menurut babad, dibangun dengan mencontoh keraton Demak.
Jaka Tingkir berkuasa pada waktu itu
segera mengambil alih kekuasaan, karena anak sulung Sultan Trenggono yang
menjadi pewaris tahta kesultanan
sesuhunan Prawoto yang dibunuh oleh Aria Penangsang penguasa Jipang
(Bojonegoro). Pada tahun 1546 M. Setelah ia memerintah, agar semua benda pusaka
Demak dipindah ke Pajang. Sultan Adiwijaya pada masa pemerintahannya ia
memperluas kekuasaan ditanah pedalaman ke arah Timur sampai daerah Madiun, di
daerah aliran anak sungai Bengawan Solo
yang terbesar. Setelah itu berturut-turut menguasai Blora (1554 M). Dan Kediri
(1577 M). Pada tahun 1581 M, ia berhasil mendapatkan pengakuan sebagai sultan
Islam dari raja-raja terpenting di Jawa Timur, pada umumnya hubungan keraton
Pajang dengan keraton Jawa Timur memang bersahabat.[15]
Selama pemerintahan Sultan Adiwijaya
kesusastraan dan kesenian keraton sudah maju peradabannya. Pengaruh Islam yang
kuat di pesisir menjalar dan tersebar ke daerah pedalaman. Sultan Pajang
meninggal di taman kerajaan akibat kecelakaan oleh juru tamannya (1587 M). Ia
dimakamkan di Butuh yang dikenal dengan nama makam Aji oleh ahli warisnya raja Tuban,
Demak, raja Arosbaya dan puteranya pangeran Banawa.[16]
Dia digantikan oleh menantunya, Aria
Pangiri, anak susuhunan Prawoto. Waktu Aria Pangiri menjadi penguasa di Demak.
Setelah menetap di keraton Pajang, Aria Pangiri dikelilingi oleh pejabat-pejabat
yang dibawanya dari Demak. Sementara itu, anak Sultan Adiwijaya, Pngeran
Banawa, dijadikan penguasa di Jipang. Pangeran Banawa tidak puas dengan
nasibnya ditengah-tengah lingkungan yang masih asing baginya, ia meminta
bantuan kepada Senopati Mataram untuk mengusir raja Pajang yang baru itu. Pada
tahun 1588, usahanya itu berhasil. Sebagai rasa terima kasih, Pangeran Banawa
menyerahkan hak warisnya kepada Senopati Mataram, akan tetapi senopati hanya
mengingankan “pusaka kerajaan” Pajang. Mataram ketika itu memang sedang dalam
proses menjadi sebuah kerajaan yang besar. Pangeran Banawa kemudian dikukuhkan
sebagai raja Pajang, akan tetapi berada di bawah perlindungan kerajaan Mataram.
Sejak itu, Pajang sepenuhnya menjadi berada di bawah kekuassaan Mataram.[17]
Riwayat kerajaan Pajang berakhir tahun 1618. Kerajaan Pajang
waktu itu memberontak terhadap Mataram yang ketika itu dibawah Sultan Agung.
Pajang dihancurkan, rajanya melarikan diri ke Giri dan Surabaya.
3.
Kerajaan Mataram
Awal dari kerajaan Mataram adalah ketika
Sultan Adiwijaya dari Pajang meminta
bantuan kepada Ki Pamanahan yang berasal dari daerah pedalaman untuk
menghadapi dan menumpas pemberontakan Aria Penangsang. Sebagai hadiah atasnya,
Sultan kemudian menghadiahkan daerah Mataram kepada Ki Pamanahan yang
menurunkan raja-raja Mataram Islam kemudian.
Pada tahun 1577 M, Ki Gede Pamanahan
menempati istana barunya di Mataram. Dia digantikan oleh puteranya, Senopati,
tahun 1584 M dan dikukuhkan oleh Sultan Pajang. Senopatilah yang dipandang
sebagai Sultan Mataram pertama, setelah pangeran Banawa menawarkan kekuasaan
atas Pajang kepada Senopati. Meskipun Senopati menolak dan hanya meminya pusaka
kerajaan, diantaranya Gong Kiai Skar Dlima, Kendali Kiai Macan Guguh, dan
Pelana Kiai Jatayu, namun dalam tradisi Jawa artinya dengan penyerahan
kekuasaan.
Pada abad ke-16 Mataram mengadakan
perluasan daerah kekuasaan dari Malaka sampai daerah Cirebon. Puncak raja
Mataram berkuasa, ia mengusai kerajaan Madiun (1590 M), pada tahun 1591 M ia
berusaha menduduki kerajaan Kediri dan membangun tembok penghalang untuk
melindungi diri dari musuh selesai tahun 1592-1593 M. Pada tahun 1598-1599 M
mengadakan serangan ke Tuban setelah selesai peperangan ia menikah dengan
puteri raja Madiun (1590 M).Dari sumber orang Belanda menyatakan bahwa,
Panembahan Senopati berusaha agar kekuasaannya diakui di Banten, tapi sebagai
peletak utama kerajaan Islam di Mataram adalah Panembahan Senopati (1601 M), ia
meninggal di Kajenar (Sragen).[18]
Kemudian ia digantikan oleh
puteranya Seda Ing Krapyak yang memerintah sampai tahun 1613 M. Kemudian ia
digantikan oleh puteranya juga, Sultan Agung. Pada tahun 1619 M, seluruh Jawa
Timur praktis sudah berada dibawah kekuasaannya. Pada masa inilah kontak-kontak
bersenjata antara kerajaan Mataram dengan VOC mulai terjadi. Pada tahun 1630 M,
Sultan Agung menetapkan Amangkurat I sebagai putera mahkota. Sultan Agung wafat
tahun 1646 M dan dimakamkan di Imogiri. Ia digantikan oleh putera mahkota. Masa
pemerintahan Amangkurat I hampir tidak pernah reda dari konflik. Tindakan
pertama dalam pemerintahannya adalah menumpas pendukung Pangeran Alit dengan
membunuh banyak ulama yang dicurigai. Ia yakin ulama dan santri adalah bahaya
bagi tahtanya. Sekitar 5000-6000 ulama beserta keluarganya dibunuh (1647 M).
Amangkurat I bahkan merasa tidak memerlukan titel “Sultan”. Pada tahun 1677 M
dan 1678 M pemberontakan para ulama muncul kembali dengan tokoh spiritual Raden
Kajoran. Pemberontakan-pemberontakan itulah yang mengakibatkan runtuhnya
Keraton Mataram.[19]
4.
Kerajaan Cirebon
Kerajaan Islam Cirebon merupakan
kerajaan Islam pertama di daerah Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan
Gunung Jati. Sunan Gunung Jati diperkirakan lahir pada tahun 1448 M dan wafat
pada tahun 1568 M dalam usia 120 tahun.
Di awal abad ke-16 Cirebon masih
merupakan sebuah daerah kecil di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Raja
Pajajaran hanya menempatkan juru labuhan disana, bernama Pangeran
Walangsungsang, seorang tokoh yang mempunyai hubungan darah dengan raja Pajajaran. Dia berhasil
memajukan Cirebon ketika sudah masuk Islam. Disebutkan Tome Pires, Islam sudah
ada di Cirebon sekitar 1470-1475 M. Akan tetapi yang berhasil meningkatkan
status Cirebon menjadi sebuah kerajaan adalah Syarif Hidayatullah, pengganti pangeran
Walangsungsang dan sekaligus keponakannya. Dialah pendiri dinasti raja-raja
Cirebon dan kemudan Banten.[20]
Karena kedudukannya sebagai
walisongo, ia mendapat penghormatan dari Raja-raja di Jawa seperti Demak dan
Pajang. Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan Islam yang
merdeka dari kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha meruntuhkan
Pajajaran yang masih belum menganut ajaran Islam.[21]
Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati
mengembangkan ajaran Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat seperti
Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa dan Banten. Dasar bagi
pengembangan Islam dan perdagangan kaum muslimin di Banten diletakkan oleh
Sunan Gunung Jati tahun 1524 atau 1525 M. Ketika ia kembali ke Cirebon, Banten
diserahkan kepada anaknya, Sultan Hasanuddin. Sultan inilah yang menurunkan
Raja-raja Banten. Di tangan Raja-raja Banten tersebut akhirnya kerajaan
Pajajaran dikalahkan. Atas prakarsa Sunan Gunung Jati juga penyerangan ke Sunda
Kelapa dilakukan (1527 M). Penyerangan ini dipimpin oleh Falatehan dengan
bantuan tentara Demak.[22]
Setelah Sunan Gunung Jati wafat ia
digantikan oleh cicitnya yang terkenal dengan gelar Pangeran Ratu atau
Panembahan Ratu. Panembahan Ratu wafat tahun 1650 dan digantikan oleh putranya
yang bergelar Panembahan Girilaya.
Keutuhan Cirebon sebagai satu
kerajaan hanya sampai pangeran Girilaya itu. Panembahan Girilaya dimakamkan di
Yogyakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja-raja Mataram di Imogiri,
sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.[23]
Sepeninggalnya sesuai dengan kehendaknya
sendiri Cirebon diperintah oleh dua putranya Martawijaya atau Panembahan Sepuh
dan Kartawijaya atau Panembahan Anom. Panembahan Sepuh memimpin kesultanan
Kasepuhan sebagai Rajanya yang pertama dengan gelar Samsuddin, sementara
panembahan Anom memimpin kesultanan Kanoman dengan gelar Badruddin.
5.
Kerajaan Banten
Kerajaan ini muncul, ketika anak muda
Pasai keturunan Makkah datang ke Demak untuk mengabdi kepada Sultan Trenggono.
Dia diangkat menjadi panglima perang, dan mendapatkan hadiah dinikahkan dengan
adiknya Sultan Demak. Dia adalah panglima perang dalam penaklukan kota Banten
yang dikuasai portugis yaitu Sarif Hidayatullah atau Maulana Nuruddin Ibrahim.
Dia adalah ayah dari Sultan Hassanuddin, raja pertama dari kerajan Banten. Dia
juga peletak dasar pengembangan agama Islam dan kerajaan Islam bagi perdagangan
orang-orang disana.[24]
Dalam
penaklukan dia menghadap dua perkara besar :
a.
Kerajaan
Pajajaran masih teguh memegang agama Hindu
b.
Masih adanya
perjanjian dengan bangsa Portugis
Sejak sebelum zaman Islam, ketika
masih berada dibawah kekuasaan Raja-raja Sunda (dari Pajajaran, atau mungkin
sebelumnya), Banten sudah menjadi kota yang berarti. Dalam tulisan Sunda Kuno,
cerita Parahyangan disebut-sebut nama Wahanten Girang. Nama ini dapat
dihubungkan dengan Banten, sebuah kota pelabuhan diujung barat pantai utara
Jawa. Pada tahun 1524 atau 1425, Sunan Gunung Jati dari Cirebon meletakkan
dasar bagi pengembangan agama dan kerajaan Islam serta bagi perdagangan
orang-orang Islam disana.
Menurut sumber tradisional, penguasa
Pajajaran di Banten menerima Sunan Gunung Jati dengan ramah tamah dan tertarik
masuk Islam. Ia meratakan jalan bagi kegiatan pengislaman di sana. Dengan
segera ia menjadi orang yang berkuasa atas kota itu dengan bantuan tentara Jawa
yang memang dimintanya.
Untuk menyebarkan Islam di Jawa Barat,
langkah Sunan gunung jati berikutnya adalah menduduki pelabuhan Sunda yang
sudah tua, kira-kira tahun 1527. Ia memperluas kekuasaannya atas kota-kota
pelabuhan Jawa Barat lain yang semula Pajajaran.[25]
Kerajaan Islam Banten didirikan oleh
Sunan Gunung Jati. Setelah Sunan Gunung Jati menaklukan Banten pada tahun 1525
M, ia kembali ke Cirebon, dan kekuasaannya diserahkan kepada anaknya yaitu
Sultan Hasanuddin. Hasanuddin kemudian menikahi putri Demak dan diresmikan
menjadi panembahan Banten pada tahun 1552 M.
Pada tahun 1568 M, ketika kekuasaan
Demak beralih ke Pajang, Sultan Hasanuddin memerdekakan Banten. Oleh karena itu
ia dianggap sebagai Raja Islam pertama dari Banten. Ketika ia meninggal pada
tahun 1570 M, kedudukannya digantikan oleh putranya yaitu Pangeran Yusuf.
Pangeran Yusuf menaklukan Pakuan pada tahun 1579 M, sehingga banyak para
bangsawan Sunda yang masuk Islam. Setelah Pangeran Yusuf meninggal pada tahun
1580 ia digantikan oleh putranya yaitu Maulana Muhammad yang masih muda.
Maulana Muhammad bergelar Kanjeng Ratu Banten. Maulana Muhammad meninggal pada
tahun 1596 M dalam usia 25 tahun. Setelah itu kedudukannya digantikan oleh
anaknya yang masih kecil bernama Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir. Ia
memerintah secara resmi pada tahun 1638 M.[26]
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Hasjmy, 1990 Sejarah Kebudayaan Islam di
Indonesia. Jakarta, PT Bulan Bintang
Apipudin,
2010. Penyebaran Islam di Daerah Galuh
sampai dengan Abad ke- 17,Jakarta.Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
Badri
Yatim, 2003 Sejarah Peradaban Islam
Dirasah Islamiyah II.Jakarta,PT. Raja
Grafindo Persada,
De
Graaf dan TH. Pigeaud,2003. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta,PT.
Pustaka Utama Grafiti.
Fatah
Syukur, 2011. Sejarah Peradaban Islam,
Semarang.PT. Pustaka Rizk Putra,
Gadjahnata
dan Sri Edi Swasono, 1986. Masuk dan
Berkembangnya Islam di Sumatera
Selatan. Jakarta, Universitas Indonesia,
H.
J. de Graaf dan Th. G. Th Piegaud, 1986. Kerajaan-kerajaan
Islam di Jawa, Jakarta : PT.
Temprint, 1986
Nur
Huda, 2007. Islam Nusantara, Jogjakarta. Ar-Ruzz Media Group
Samsul
Munir Amin,2009. Sejarah Peradaban Islam.
Jakarta,Amzah,
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam
Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 205
[8]
Ibid, hlm. 335
[9]
A. Hasjmy, Op. Cit, hlm. 335
[10]
De
Graaf dan TH. Pigeaud, Kerajaan Islam
Pertama di Jawa, (Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, 2003), hlm. 44
[16]
H.
J. de Graaf dan Th. G. Th Piegaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, (Jakarta :
PT. Temprint, 1986), hlm. 272
[19] Badri Yatim, Op.
Cit, hlm. 215
[20] Fatah Syukur,
Op. Cit, hlm. 208
[22] Badri Yatim,
Op.cit. hlm. 216-217
[23] Apipudin,Penyebaran
Islam di Daerah Galuh sampai dengan Abad ke-17, ( Jakarta : Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI, 2010),hlm. 137
[24]
Fatah
Syukur, Op. Cit, hlm. 20-209
[25] Samsul Munir
Amin, Op.cit, hlm. 338-339
No comments:
Post a Comment