1

loading...

Wednesday, October 30, 2019

MAKALAH KERAJAAN BERCORAK ISLAM SEBELUM PENJAJAHAN BELANDA KHUSUSNYA WILAYAH JAWA DAN SUMATRASEJARAH ISLAM INDONESIA



MAKALAH KERAJAAN BERCORAK ISLAM SEBELUM PENJAJAHAN BELANDA KHUSUSNYA WILAYAH JAWA DAN SUMATRASEJARAH ISLAM INDONESIA 

Kerajaan bercorak Islam di Jawa dan Sumatra
  
        A.  Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera

1.   Kerajaan Samudra Pasai
          Samudera, sebelum kedatangan dan proses penyebaran Islam, hanyalah sebuah kampung yang dipimpin oleh kepala suku. Meskipun belum menjadi kota, kampung tersebut sudah berfungsi sebagai tempat persinggahan para pedagang. Sejak abad ke-7, kampung ini mulai didatangi oleh para pedagang Muslim. Kota ini kemudian menjadi pusat kerajaan Islam Samudera Pasai.[1]
          Samudera Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia yang merupakan kerajaan kembar. Kerajaan ini terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kemunculannya sebagai kerajaaan Islam diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7- ke-8 M, dan seterusnya. Kerajaan ini didirikan oleh Maurah Selu dengan gelar Al-Malikush Shalih (1261-1289M). Bukti berdirinya kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-13 M ini didukung oleh adanya nisan kubur terbuat dari granit asal Samudra Pasai. Dari Nisan itu dapat diketahui bahwa Raja pertama kerajaan itu meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertetapatan dengan tahun 1297M.[2]
          Maurah Selu masih keturunan Raja Perlak, Makhdum Sultan Malik Ibrahim Johan Berdaulat. Samudra Pasai mengalami puncak kejayaan pada masa Sultan Malik Azh-Zhahir.[3]Diantaranya majunya kegiatan-kegiatan agama dan keadaan masyarakat makmur (ekonomi, sosial, dan pemerintahan aman). Mereka bermata pencaharian umumnya dengan berdagang, dari sini memperkokoh sendi-sendi kerajaan dan juga ditambah dengan pajak yang besar. Ini dilihat dari keadaan waktu itu Pasai yang terletak sangat strategis dan menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara, mereka umumnya menggunakan dirham. Dari cerita tersebut menunjukkan masyarakat waktu itu sudah maju dan damai.[4]
Adapun para raja yang pernah memerintah di kerajaan Samudra pasai adalah sebagai berikut :
      1.      Sultan Malik Azh-Zhahir (1297-1326 M)
      2.       Sultan Mahmud Malik Azh-Zhahir (1326-1345 M)
      3.      Sultan Manshur Malik Azh-Zhahir (1345-1346 M)
      4.      Sultan Ahmad malik Azh-Zhahir (1346-1383 M)
      5.      Sultan Zainal Abidin Malik Azh-Zhahir (1383-1405 M)
      6.      Sultan Nahrasiyah (1405 M)
      7.      Sultan Abu Zaid Malik Azh- Zhahir (1455 M)
      8.      Sultan Mahmud Malik Azh-Zhahir (1455-1477 M)
      9.      Sultan Zainal Abidin (1477-1500 M)
     10.  Sultan Abdullah Malik Azh-Zhahir (1500-1513 M)
     11.  Sultan Zainal Abidin (1513-1524 M)
Kerajaan samudra Pasai berakhir tahun  1524 M ketika direbut oleh kerajaan Aceh Darussalam dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah.[5]
2.   Aceh Darussalam
            Aceh Darussalam segera tumbuh menjadi kota dan pusat kerajaan Islam setelah Samudera Pasai. Kota Aceh terletak disebuah lembah dan diapit oleh gunung-gunung tinggi.[6]
            Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Disini pula letak ibu kotanya. Kurang begitu diketahui kapan kerajaan ini sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat, Kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15, diatas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). Dialah yang membangun kota Aceh Darussalam. Menurutnya, pada masa pemerintahanya Aceh Darussalam mulai mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan, karena saudagar-saudagar Muslim yang sebelumnya berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis (1511 M). Sebagai akibat penaklukan Malaka oleh Portugis itu, jalan dagang yang sebelumnya dari Laut Jawa ke utara melalui Selat Karimata terus ke Malaka, pindah melalui Selat Sunda dan menyusuri pantai Barat Sumatera, terus ke Aceh. Dengan demikian, Aceh menjadi ramai dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri.
            Menurut H.J. de Graaf, kerajaan Aceh merupakan penyatuan dari dua kerajaan kecil, yaitu Lamuri dan Aceh Dar Al-Kamal. Ia juga berpendapat bahwa rajanya yang pertama adalah Ali Mughayat Syah. Ia  meluaskan wilayah kekuasaanya ke daerah Pidie yang bekerja sama dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. Dengan kemenanganya terhadap dua kerajaaan tersebut, Aceh dengan mudah melebarkan sayap kekuasaanya ke Sumatera Timur. Peletak dasar kebesaran kerajaan Aceh adalah Sultan Alaudin Riayat Syah yang bergelar Al-Qahar. Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M). Pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir Timur dan Barat Sumatera. Dari Aceh, Tanah Gayo yang berbatasan diislamkan, juga Minangkabau.
            Masa-masa semenjak Sultan Alaiddin Ali Mughaiyat Syah sampai kepada masa Ratu Tajul Alam Safiatuddin adalah “Zaman Gemilang” yang menanjak, sementara masa-masa setelah itu, semenjak masa pemerintahan Ratu Nurul Alam Naqiyatuddin sampai kepada Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah, adalah masa suram yang terus menurun.[7]
       B.     Kerajaan-kerajaan di Jawa

1.      Kerajaan Demak
            Kerajaan Demak didirikan atas prakarsa para Walisongo. Dibawah pimpinan Sunan Ampel Denta, walisongo bersepakat mengangkat Raden Patah sebagai Raja pertama kerajaan Demak. Ia mendapat gelar Senopati Jinbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panataagama.[8] Ia mempunyai beberapa putra dan putri yang lahir dari tiga ibu. Yat Sun (adipati Yunus) dan Tung Ka Lo (Trenggana) lahir dari cucu perempuan Sunan Ampel alias Bong swi Hoo; Kaduruwan lahir dari putri randu Sanga; Raden Kikin alias pangeran Seda Lepen lahir dari adipati Jipang, disebelah timur Blora. Keturunan lainnya ialah putri, yakni Ratu Mas Nyawa.
            Raden Patah dalam menjalankan pemerintahannya, terutama dalam berbagai permasalahan agama dibantu oleh para wali. Sebelumnya, Demak yang masih bernama Bintoro merupakan daerah Vassal (kekuasaan) Majapahit yang diberikan Raja Majapahit kepada Raden Patah. Daerah ini semakin lama semakin berkembang menjadi daerah yang ramai dan pusat perkembangan agama islam yang diselenggarakan para wali.[9]
            Pemerintahan Raden Patah berlangsung kira-kira diakhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Dikatakan ia adalah seorang anak Raja Majapahit dari seorang ibu muslim keturunan Campa. Dalam naskah cerita dan babad dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, raja Demak kedua sebagai pengganti Raden Patah adalah pangeran Sabrang-Lor atau disebut Pati Unus. Nama itu ternyata berasal dari tempat tinggalnya di “Seberang Utara”.[10]
            Menurut Tome Pires, Pati Unus baru berumur 17 tahun ketika menggantikan ayahnya sekitar tahun 1507. Menurutnya tidak lama setelah naik tahta ia merencanakan suatu serangan terhadap Malaka. Semangat serangnya semakin memuncak ketika Malaka ditaklukan oleh Portugis pada tahun 1511. Akan tetapi sekitar pergantian tahun 1512-1513 tentaranya mengalami kekalahan besar[11]
            Pati unus digantikan oleh Trenggono yang dilantik sebagai Sultan oleh Sunan Gunungjati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul ‘Arifin. Ia memerintah pada tahun 1524-1546. Pada masa Sultan Demak yang ketiga inilah Islam dikembangkan keseluruh tanah Jawa, bahkan sampai ke Kalimantan Selatan. Penaklukan Sunda Kelapa berakhir tahun 1527 yang dilakukan oleh pasukan gabungan Demak dan Cirebon dibawah pimpinan Fadhilah Khan. Majapahit dan Tuban jatuh ke bawah kekuasaan kerajaan Demak diperkirakan pada tahun 1527 itu juga. Selanjutnya pada tahun 1529, Demak berhasil menundukkan Madiun, Blora (1530), Surabaya (1531), Pasuruan (1535), dan antara tahun 1541-1542 Lamongan, Blitar, Wirasaba, dan Kediri (1544). Palembang dan Banjarmasin mengakui kekuasaan Demak. Sementara daerah Jawa Tengah bagian Selatan sekitar Gunung Merapi, Pengging, dan Pajang berhasil dikuasai berkat pemuka Islam, Syekh Siti Jenar dan Sunan Tembayat. Pada tahun 1546, dalam penyerbuan ke Blambangan, Sultan Trenggono terbunuh. Ia digantikan adiknya, Prawoto. Masa pemerintahannya tidak berlangsung lama karena terjadi pemberontakan oleh adipati-adipati sekitar kerajaan Demak. Sunan Prawoto sendiri kemudian dibunuh oleh Aria Penangsang dari Jipang pada tahun 1549. Dengan demikian kerajaan Demak berakhir dan dilanjutkan oleh kerajaan Pajang di bawah Jaka Tingkir yang berhasil membunuh Aria Penangsang.[12]
Adapun para Sultan kerajaan Demak adalah:
       1.      Raden Patah (1478-1518 M)
       2.      Adipati Unus (1518-1521 M)
       3.      Sultan Trenggono (1521-1546 M
       4.      Sunan Prawoto (1546-1546 M)[13]

2.      Kerajaan Pajang
            Kesultanan Pajang adalah pelanjut dan dipandang sebagai pewaris kerajaan Islam Demak. Kesultanan yang terletak di daerah Kartasura sekarang itu merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di daerah pedalaman pulau Jawa. Usia kesultanan ini tidak panjang. Kekuasaan dan kebesarannya kemudian diambil alih oleh kerajaan mataram. [14]
            Sultan atau raja pertama kesultanan ini adalah Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging, di lereng Gunung Merapi. Oleh Raja Demak ketiga, Sultan Trenggono, Jaka Tingkir diangkat menjadi penguasa di Pajang, setelah sebelumnya dikawinkan dengan anak perempuannya. Kediaman Pajang itu, menurut babad, dibangun dengan mencontoh keraton Demak.
           
            Jaka Tingkir berkuasa pada waktu itu segera mengambil alih kekuasaan, karena anak sulung Sultan Trenggono yang menjadi pewaris tahta kesultanan  sesuhunan Prawoto yang dibunuh oleh Aria Penangsang penguasa Jipang (Bojonegoro). Pada tahun 1546 M. Setelah ia memerintah, agar semua benda pusaka Demak dipindah ke Pajang. Sultan Adiwijaya pada masa pemerintahannya ia memperluas kekuasaan ditanah pedalaman ke arah Timur sampai daerah Madiun, di daerah aliran anak sungai Bengawan  Solo yang terbesar. Setelah itu berturut-turut menguasai Blora (1554 M). Dan Kediri (1577 M). Pada tahun 1581 M, ia berhasil mendapatkan pengakuan sebagai sultan Islam dari raja-raja terpenting di Jawa Timur, pada umumnya hubungan keraton Pajang dengan keraton Jawa Timur memang bersahabat.[15]
            Selama pemerintahan Sultan Adiwijaya kesusastraan dan kesenian keraton sudah maju peradabannya. Pengaruh Islam yang kuat di pesisir menjalar dan tersebar ke daerah pedalaman. Sultan Pajang meninggal di taman kerajaan akibat kecelakaan oleh juru tamannya (1587 M). Ia dimakamkan di Butuh yang dikenal dengan nama makam Aji oleh ahli warisnya raja Tuban, Demak, raja Arosbaya dan puteranya pangeran Banawa.[16]
            Dia digantikan oleh menantunya, Aria Pangiri, anak susuhunan Prawoto. Waktu Aria Pangiri menjadi penguasa di Demak. Setelah menetap di keraton Pajang, Aria Pangiri dikelilingi oleh pejabat-pejabat yang dibawanya dari Demak. Sementara itu, anak Sultan Adiwijaya, Pngeran Banawa, dijadikan penguasa di Jipang. Pangeran Banawa tidak puas dengan nasibnya ditengah-tengah lingkungan yang masih asing baginya, ia meminta bantuan kepada Senopati Mataram untuk mengusir raja Pajang yang baru itu. Pada tahun 1588, usahanya itu berhasil. Sebagai rasa terima kasih, Pangeran Banawa menyerahkan hak warisnya kepada Senopati Mataram, akan tetapi senopati hanya mengingankan “pusaka kerajaan” Pajang. Mataram ketika itu memang sedang dalam proses menjadi sebuah kerajaan yang besar. Pangeran Banawa kemudian dikukuhkan sebagai raja Pajang, akan tetapi berada di bawah perlindungan kerajaan Mataram. Sejak itu, Pajang sepenuhnya menjadi berada di bawah kekuassaan Mataram.[17]
            Riwayat kerajaan  Pajang berakhir tahun 1618. Kerajaan Pajang waktu itu memberontak terhadap Mataram yang ketika itu dibawah Sultan Agung. Pajang dihancurkan, rajanya melarikan diri ke Giri dan Surabaya.

3.      Kerajaan Mataram

            Awal dari kerajaan Mataram adalah ketika Sultan Adiwijaya dari Pajang meminta  bantuan kepada Ki Pamanahan yang berasal dari daerah pedalaman untuk menghadapi dan menumpas pemberontakan Aria Penangsang. Sebagai hadiah atasnya, Sultan kemudian menghadiahkan daerah Mataram kepada Ki Pamanahan yang menurunkan raja-raja Mataram Islam kemudian.
            Pada tahun 1577 M, Ki Gede Pamanahan menempati istana barunya di Mataram. Dia digantikan oleh puteranya, Senopati, tahun 1584 M dan dikukuhkan oleh Sultan Pajang. Senopatilah yang dipandang sebagai Sultan Mataram pertama, setelah pangeran Banawa menawarkan kekuasaan atas Pajang kepada Senopati. Meskipun Senopati menolak dan hanya meminya pusaka kerajaan, diantaranya Gong Kiai Skar Dlima, Kendali Kiai Macan Guguh, dan Pelana Kiai Jatayu, namun dalam tradisi Jawa artinya dengan penyerahan kekuasaan.
            Pada abad ke-16 Mataram mengadakan perluasan daerah kekuasaan dari Malaka sampai daerah Cirebon. Puncak raja Mataram berkuasa, ia mengusai kerajaan Madiun (1590 M), pada tahun 1591 M ia berusaha menduduki kerajaan Kediri dan membangun tembok penghalang untuk melindungi diri dari musuh selesai tahun 1592-1593 M. Pada tahun 1598-1599 M mengadakan serangan ke Tuban setelah selesai peperangan ia menikah dengan puteri raja Madiun (1590 M).Dari sumber orang Belanda menyatakan bahwa, Panembahan Senopati berusaha agar kekuasaannya diakui di Banten, tapi sebagai peletak utama kerajaan Islam di Mataram adalah Panembahan Senopati (1601 M), ia meninggal di Kajenar (Sragen).[18]
            Kemudian ia digantikan oleh puteranya Seda Ing Krapyak yang memerintah sampai tahun 1613 M. Kemudian ia digantikan oleh puteranya juga, Sultan Agung. Pada tahun 1619 M, seluruh Jawa Timur praktis sudah berada dibawah kekuasaannya. Pada masa inilah kontak-kontak bersenjata antara kerajaan Mataram dengan VOC mulai terjadi. Pada tahun 1630 M, Sultan Agung menetapkan Amangkurat I sebagai putera mahkota. Sultan Agung wafat tahun 1646 M dan dimakamkan di Imogiri. Ia digantikan oleh putera mahkota. Masa pemerintahan Amangkurat I hampir tidak pernah reda dari konflik. Tindakan pertama dalam pemerintahannya adalah menumpas pendukung Pangeran Alit dengan membunuh banyak ulama yang dicurigai. Ia yakin ulama dan santri adalah bahaya bagi tahtanya. Sekitar 5000-6000 ulama beserta keluarganya dibunuh (1647 M). Amangkurat I bahkan merasa tidak memerlukan titel “Sultan”. Pada tahun 1677 M dan 1678 M pemberontakan para ulama muncul kembali dengan tokoh spiritual Raden Kajoran. Pemberontakan-pemberontakan itulah yang mengakibatkan runtuhnya Keraton Mataram.[19]

4.      Kerajaan Cirebon
            Kerajaan Islam Cirebon merupakan kerajaan Islam pertama di daerah Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati diperkirakan lahir pada tahun 1448 M dan wafat pada tahun 1568 M dalam usia 120 tahun.
            Di awal abad ke-16 Cirebon masih merupakan sebuah daerah kecil di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Raja Pajajaran hanya menempatkan juru labuhan disana, bernama Pangeran Walangsungsang, seorang tokoh yang mempunyai hubungan  darah dengan raja Pajajaran. Dia berhasil memajukan Cirebon ketika sudah masuk Islam. Disebutkan Tome Pires, Islam sudah ada di Cirebon sekitar 1470-1475 M. Akan tetapi yang berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah kerajaan adalah Syarif  Hidayatullah, pengganti pangeran Walangsungsang dan sekaligus keponakannya. Dialah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan kemudan Banten.[20]
            Karena kedudukannya sebagai walisongo, ia mendapat penghormatan dari Raja-raja di Jawa seperti Demak dan Pajang. Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan Islam yang merdeka dari kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha meruntuhkan Pajajaran yang masih belum menganut ajaran Islam.[21]
            Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan ajaran Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa dan Banten. Dasar bagi pengembangan Islam dan perdagangan kaum muslimin di Banten diletakkan oleh Sunan Gunung Jati tahun 1524 atau 1525 M. Ketika ia kembali ke Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya, Sultan Hasanuddin. Sultan inilah yang menurunkan Raja-raja Banten. Di tangan Raja-raja Banten tersebut akhirnya kerajaan Pajajaran dikalahkan. Atas prakarsa Sunan Gunung Jati juga penyerangan ke Sunda Kelapa dilakukan (1527 M). Penyerangan ini dipimpin oleh Falatehan dengan bantuan tentara Demak.[22]
            Setelah Sunan Gunung Jati wafat ia digantikan oleh cicitnya yang terkenal dengan gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Panembahan Ratu wafat tahun 1650 dan digantikan oleh putranya yang bergelar Panembahan Girilaya.
            Keutuhan Cirebon sebagai satu kerajaan hanya sampai pangeran Girilaya itu. Panembahan Girilaya dimakamkan di Yogyakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja-raja Mataram di Imogiri, sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.[23]
            Sepeninggalnya sesuai dengan kehendaknya sendiri Cirebon diperintah oleh dua putranya Martawijaya atau Panembahan Sepuh dan Kartawijaya atau Panembahan Anom. Panembahan Sepuh memimpin kesultanan Kasepuhan sebagai Rajanya yang pertama dengan gelar Samsuddin, sementara panembahan Anom memimpin kesultanan Kanoman dengan gelar Badruddin.

5.      Kerajaan Banten
          Kerajaan ini muncul, ketika anak muda Pasai keturunan Makkah datang ke Demak untuk mengabdi kepada Sultan Trenggono. Dia diangkat menjadi panglima perang, dan mendapatkan hadiah dinikahkan dengan adiknya Sultan Demak. Dia adalah panglima perang dalam penaklukan kota Banten yang dikuasai portugis yaitu Sarif Hidayatullah atau Maulana Nuruddin Ibrahim. Dia adalah ayah dari Sultan Hassanuddin, raja pertama dari kerajan Banten. Dia juga peletak dasar pengembangan agama Islam dan kerajaan Islam bagi perdagangan orang-orang disana.[24]
Dalam penaklukan dia menghadap dua perkara besar :
a.  Kerajaan Pajajaran masih teguh memegang agama Hindu
b. Masih adanya perjanjian dengan bangsa Portugis

          Sejak sebelum zaman Islam, ketika masih berada dibawah kekuasaan Raja-raja Sunda (dari Pajajaran, atau mungkin sebelumnya), Banten sudah menjadi kota yang berarti. Dalam tulisan Sunda Kuno, cerita Parahyangan disebut-sebut nama Wahanten Girang. Nama ini dapat dihubungkan dengan Banten, sebuah kota pelabuhan diujung barat pantai utara Jawa. Pada tahun 1524 atau 1425, Sunan Gunung Jati dari Cirebon meletakkan dasar bagi pengembangan agama dan kerajaan Islam serta bagi perdagangan orang-orang Islam disana.
          Menurut sumber tradisional, penguasa Pajajaran di Banten menerima Sunan Gunung Jati dengan ramah tamah dan tertarik masuk Islam. Ia meratakan jalan bagi kegiatan pengislaman di sana. Dengan segera ia menjadi orang yang berkuasa atas kota itu dengan bantuan tentara Jawa yang memang dimintanya.
          Untuk menyebarkan Islam di Jawa Barat, langkah Sunan gunung jati berikutnya adalah menduduki pelabuhan Sunda yang sudah tua, kira-kira tahun 1527. Ia memperluas kekuasaannya atas kota-kota pelabuhan Jawa Barat lain yang semula Pajajaran.[25]
          Kerajaan Islam Banten didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Setelah Sunan Gunung Jati menaklukan Banten pada tahun 1525 M, ia kembali ke Cirebon, dan kekuasaannya diserahkan kepada anaknya yaitu Sultan Hasanuddin. Hasanuddin kemudian menikahi putri Demak dan diresmikan menjadi panembahan Banten pada tahun 1552 M.

          Pada tahun 1568 M, ketika kekuasaan Demak beralih ke Pajang, Sultan Hasanuddin memerdekakan Banten. Oleh karena itu ia dianggap sebagai Raja Islam pertama dari Banten. Ketika ia meninggal pada tahun 1570 M, kedudukannya digantikan oleh putranya yaitu Pangeran Yusuf. Pangeran Yusuf menaklukan Pakuan pada tahun 1579 M, sehingga banyak para bangsawan Sunda yang masuk Islam. Setelah Pangeran Yusuf meninggal pada tahun 1580 ia digantikan oleh putranya yaitu Maulana Muhammad yang masih muda. Maulana Muhammad bergelar Kanjeng Ratu Banten. Maulana Muhammad meninggal pada tahun 1596 M dalam usia 25 tahun. Setelah itu kedudukannya digantikan oleh anaknya yang masih kecil bernama Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir. Ia memerintah secara resmi pada tahun 1638 M.[26]

DAFTAR PUSTAKA

A. Hasjmy, 1990 Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia. Jakarta, PT Bulan  Bintang
Apipudin, 2010. Penyebaran Islam di Daerah Galuh sampai dengan Abad ke- 17,Jakarta.Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
Badri Yatim, 2003 Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II.Jakarta,PT.        Raja Grafindo Persada,
De Graaf  dan TH. Pigeaud,2003. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta,PT.    Pustaka Utama Grafiti.
Fatah Syukur, 2011. Sejarah Peradaban Islam, Semarang.PT. Pustaka Rizk Putra,
Gadjahnata dan Sri Edi Swasono, 1986. Masuk dan Berkembangnya Islam di         Sumatera Selatan. Jakarta, Universitas Indonesia,
H. J. de Graaf dan Th. G. Th Piegaud, 1986. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa,     Jakarta : PT. Temprint, 1986
Nur Huda, 2007.  Islam Nusantara, Jogjakarta. Ar-Ruzz Media Group
Samsul Munir Amin,2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta,Amzah,


[1]  Nur Huda,  Islam Nusantara,  (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2007), hlm. 54
[2]  Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003),      hlm. 205
[3] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 332
[4] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 332
[5] Ibid, hlm.347
[6] Nur Huda, Op. Cit, hlm. 55
[7] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990), hlm.  335
[8] Ibid, hlm. 335
[9] A. Hasjmy, Op. Cit, hlm. 335
[10] De Graaf  dan TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, (Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, 2003), hlm. 44

[11] Badri Yatim, Op.cit, hlm. 211
[12] Ibid, hlm. 212
[13] Samsul Munir Amin, Op.cit, hlm. 336
[14] Ibid, hlm. 212
[15] Ibid, hlm. 212-213
[16] H. J. de Graaf dan Th. G. Th Piegaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, (Jakarta : PT. Temprint, 1986), hlm. 272
[17] Badri Yatim,  Op.Cit, hlm. 213-214
[18] H. J. de Graaf dan Th. G. Th Pigeaud, Op. Cit, hlm. 288-293
[19] Badri Yatim, Op. Cit, hlm. 215
[20] Fatah Syukur, Op. Cit, hlm. 208
[21] Ibid, hlm. 338
[22] Badri Yatim, Op.cit. hlm. 216-217
[23] Apipudin,Penyebaran Islam di Daerah Galuh sampai dengan Abad ke-17, ( Jakarta : Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010),hlm. 137
[24] Fatah Syukur, Op. Cit, hlm. 20-209
[25] Samsul Munir Amin, Op.cit, hlm. 338-339
[26] Badri Yatim, Op.cit, hlm. 217-218

No comments:

Post a Comment