MAKALAH ISLAM TERHADAP ORIENTALIS
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Seringkali umat Islam tak menyadari bahwa usaha
para orientalis mempelajari dan mengkaji Islam sudah berlangsung sangat jauh.
Hasil kajian mereka pun sudah betebaran di negara-negara muslim. Padahal
pemikiran mereka itu sebagian besar jelas-jelas merugikan Islam dan kaum
muslimin. Sebagai contoh, orientalis Yahudi, Patrica Croen dan Michael Cook,
dalam berbagai karyanya menyebut Islam sebagai agama Hagarism, yang berarti
agama para budak. Nama Hagarism sendiri dikaitkan dengan Hajar, isteri Nabi
Ibrahim. Kemudian ia juga menyebut Hukum Islam itu buatan para tabi’in. Dan
tentunya masih banyak lagi konsep-konsep Islam yang maknanya mereka
selewenangkan dengan seenaknya.
Pembahasan Fiqh dan Ushul Fiqh tidak terlepas
dari Hukum Islam yang merupakan tujuan dibangunnya paradigma ushul dan fiqh
tersebut. Maka makalah ini akan mengkaji bagaimana pandangan orientalis dalam
mengkaji dasar dan hukum Islam ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Peletak Dasar Kajian Dalam Bidang Hukum Islam Di Barat ?
2.
Bagaimana Kelompok Pemikiran Utama Dalam Kajian
Hukum Islam ?
3.
Bagaimana Dasar Teori Kajian Orientalis Dalam
Islam ?
4.
Bagaimana Lima Teori Orientalis Tentang
Syari’ah ?
5.
Apa saja Kelemahan Fundamental Orientalis Dalam
Kajian Hukum Islam ?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui Peletak Dasar Kajian Dalam
Bidang Hukum Islam Di Barat
2.
Untuk mengetahui Kelompok Pemikiran Utama Dalam
Kajian Hukum Islam
3.
Untuk mengetahui Dasar Teori Kajian Orientalis
Dalam Islam
4.
Untuk mengetahui Lima Teori Orientalis Tentang
Syari’ah
5.
Untuk mengetahui Kelemahan Fundamental
Orientalis Dalam Kajian Hukum Islam
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Peletak Dasar Kajian dalam Bidang Hukum Islam
di Barat
Berkenaan hukum dan fiqh Islam, orientalis
Perancis yang tercatat paling awal menulis adalah M. Perron. Diterjemahkannya
Mukhtashar Khalil, sebuah kitab rujukan mazhab Maliki yang masyhur dipakai di
wilayah Afrika Utara. Kegiatan mereka mencapai titik puncaknya dengan
kemunculan Revue Algérienne, Tunisienne et Marocaine de Législation et
Jurisprudence, majalah berkala yang khas menyoroti masalah hukum dan
perundang-undangan di wilayah jajahan Perancis tersebut[1].
Menyusul invasi mereka ke Libya (yang dengan
gigih ditentang oleh Sidi Umar Mukhtar), orang-orang Itali tak ketinggalan
menyelidiki Islam dan seluk-beluknya. Orientalis mereka dalam hal ini, Ignazio
Guidi dan David Santillana, menggarap terjemah Mukhtashar tersebut ke dalam
bahasa Itali.
Sementara itu di Spanyol, studi mengenai hukum
Islam dipelopori oleh Pascual de Gayangos yang juga mulai dengan penerbitan
kitab Isa ibn Jabir dengan judul Tratados de Legislación Musulmana pada tahun
1853. Karya ini bertujuan memenuhi keperluan kaum minoritas Muslim di Spanyol.
Namun tak dinafikan terselipnya kepentingan kolonial mereka di Maroko dan
Filipina. Kemudian didirikan pula oleh Pemerintah Spanyol sebuah lembaga
penelitian bernama Escuelas de Estudios Arabes pada tahun 1931 di Madrid dan
Granada yang terkenal melalui jurnalnya:al-Andalus.
Orientalis Belanda memfokuskan kajian mereka
pada fiqh mazhab Syafi’i yang dianut oleh mayoritas penduduk daerah jajahan
mereka. Karya perdana muncul pada tahun 1874 dari Lodewijk W.C. Van den Berg
yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis pada 1896. Namun tokoh
terpenting orientalis Belanda tentu saja adalah Christian Snouck Hurgronje.
Dikenal produktif menulis, Hurgronje terjun langsung ke dalam, menyamar sebagai
mu’allaf, lantas bermukim di Mekkah untuk mempelajari tradisi dan mentalitas
orang Islam. Dan secara sadar terlibat dalam politik kolonial Belanda. Tak
kalah penting sumbangan Claudius dan Michael de Goeje serta Theodor W.
Juynboll. Disamping mempelajari bahasa dan adat istiadat bangsa pribumi,
orientalis Belanda juga mengumpulkan dan mengkaji karya tulis yang berpengaruh,
semisal matan Ghayatu al-Ikhtishar wa at-Taqrib karya Abu Syuja’ al-Isfahani (w.
593 H/1197 M) yang masyhur di kalangan pondok pesantren di Asia Tenggara[2].
Hal yang sama berlaku di kalangan orientalis
Jerman. Lantaran mereka menduduki sebagian besar wilayah Afrika Timur yang
penduduknya kebanyakan bermazhab Syafi’i, maka studi orientalis Jerman pun
diarahkan kesana. Sebagai contoh ditunjuknya karya-karya Eduard Sachau, seorang
pakar yang cukup disegani, karyanya berisi seputar sejarah hukum Islam dan
hukum waris yang diterbitkan Akademi Ilmu Pengetahuan Austria-Jerman antara
tahun 1870 dan 1897, juga tulisan-tulisan Heinrich F. Wüstenfeld.
Tak jauh berbeda dengan tetangga mereka,
orientalis Inggris , disamping mendalami bahasa, alam pikir dan adat-istiadat,
mereka pun berusaha menyelami sistem perundang-undangan Islam yang diamalkan warga
India, Pakistan, Bangladesh, dan Malaya. Tokoh pionir dalam bidang ini antara
lain Charles Hamilton yang pada tahun 1791 merampungkan terjemah kitab
al-Hidayah karya al-Marghinani (w. 593 H/1197 M) ke bahasa Inggris, dan Sir
William Jones yang menerjemahkan matan al-Sirajiyyah. Usaha itu diteruskan oleh
Neil Benjamin Baillie, William H. MacNaghten, dan Sir Roland K. Wilsonyang pada
gilirannya mempelopori lahirnya ‘sistem perundanganbernama Anglo-Muhammadan Law[3].
B. Kelompok Pemikiran Utama dalam Kajian Hukum
Islam
Pada
dasarnya pendekatan sejarah dalam kajian hukum islam di barat berorientasi pada
dua kelompok pemikiran utama yang oleh J. Koren dan Y.D. disebut sebagai
kelompok tradisionalis dan revisionis[4].
1. Kelompok
Tradisionalis
Kelompok tradisionalis secara umum, mereka
mengkaji hukum islam melalui literature-literatur yang ditulis oleh orang arab
atau orang islam. Menurut mereka literature tersebut dapat dijadikan sebagai
bahan sumber kajian Islam, dan setiap fakta dan data yang ada dipandang benar
selama tidak ada fakta lain yang membuktikan sebaliknya, salah satu pendukung
kelompok tradisionalis adalah W. Montgomery Watt, ia merefleksikan dukungannya
melalui karya-karyanya seperti; Muhammadrophet and statesmen. Adapun dalam
bidang hukum, antara lain dapat disebutkan nama-nama seperti David S Power dan
Wael B Hallaq.
2. Kelompok
Revisionis
Sementara kelompok revisionis lebih ekstrem
terhadap Islam, bahkan mereka menyatakan bahwa Islam itu sebenarnya tidak
memounyai rumusan ajaran hukum, menurut mereka hampir seluruh formulasi hukum
yang ada merupakan hasil jiplakan dari aturan agama sebelumnya, khususnya
yahudi; dan terkait dengan literature Arab atau Islam yang ada, merupakan upaya
menjustifikasi kebenaran dan kehebatan Islam, bukan sebagai data-data sejarah,
Akibatnya dalam banyak hal ditemukan sejumlah pendapat yang tidak factual atau
kontradiktif. Salah satu contoh adalah hadist Nabi yang menjelaskan tentang
pernikahan Nabi pada saat melakukan haji, di satu pihak sumber yang ada
menyebutkan Nabi melakukannya pada waktu haji dan sementara di pihak lain
menyebutkan sesudahnya. Hal ini menyebabkan terjadinya silang pendapat di
kalangan fuqaha’, apakah kawin pada saat haji itu boleh atau tidak.
Kedua kelompok ini saling bertentangan, bahkan
diantra mereka saling mengkritisi karya yang satu dengan yang lain, seperti
kasus Montgomery Watt ia menyatakan bahwa Mekkah merupakan pusat dan jalur lalu
lintas perdagangan, sehingga posisi strategis ini menjadi arti penting dalam
penyebaran isalm, pandangan ini ditolak oleh Patricia Crone dengan menyatakan
bahwa kota segersang Mekkah tidak mungkin memproduksi bahan yang menarik
perhatian luar, oleh karena itu menurutnya perlu fakta lain untuk mengungkapkan
kenapa Islam menyebar dengan cepat kewilayah diluar Mekkah. Namun menurut
Rodinson bahwa terdapat perbedaan bahkan kontradiksi antara data yang ditulis
pengarang satu dengan yana lain, akan tetapi secara tegas Rodinson menyatakan
hal itu bukanlah suatu alasan untuk menolak karya orang-orang Arab atau Islam,
selain Rodinson, Serjeant juga mengecam hasil penelitian Crone dengan
menuduhnya sarjana yang tidak mempunyai bekal bahasa Arab yang memadai dan
Crone sendiri menanggapi bahwaq serjeant terkesan mengada-ada dan sikapnya itu
disebabkan karena fanatisme seorang Arab.
Tujuan kaum revisionis ialah menghapus sejarah
islam secara menyeluruh dan pemalsuan terhadap sejarah islam, dengan berbagai
upaya pengaburan terhadap ajaran Islam, demi sebuah ideologi dan arena politik.
Adapun yang menjadi tujuan utama mereka adalah memberikan proteksi yang kuat
terhadap agama Kristen dalam menghadapi arus kemajuan agama Islam. Sekarang
muncul metode baru dikalangan ilmuwan barat dalam menyerang tradisi buku-buku
tafsir yang menuntut pembaharuan. Dengan alasan hak tersendiri dalam
menafsirkan kitab suci. Basetti Sani dan Youakim Moubarak keduanya bersikeras
bahwa tafsiran Al-Qur’an mesti dibuat sejalan dengan ukuran kebenaran agama
Kristen, dan pernyataan mereka mendapat acungan jempol dari W.C. Smith dan
Kenneth Cragg, sebagai seorang pemimpin gereja Anglican, Cragg menekankan agar
umat islam menghapus semua ayat yg diturunkan di Madinah (dengan penekanan
dibidang politik dan hukum) guna mem-pertahankan esensi ayat-ayat Makkiyah yang
secara umum lebih menyentuh masalah KeEsaan Tuhan (Monotheism) dimana ayat
Madaniyyah dianggap meremehkan nilai keTuhanan dari esensi pernyataan “Tiada
Tuhan Selain Allah” Konsep pemikiran ini bermaksud untuk “menggoyang”
orang-orang yg lemah iman dan was-was dengan menggunakan senjata “Sikap Sinis”
kaum orientalis yg selalu menghujat Al-Qur’an agar semakin mudah menerima
ideology Barat[5].
C. Dasar Teori Kajian Orientalis Dalam Islam
Setiap penelitian ilmiah pakai metode, dan
setiap metode punya teori, dan setiap teori mengandung hipotesis atau presuposisi
yakni pendapat-pendapat yang kebenarannya memang dianggap tak perlu dan tak
boleh sengaja tidak dipertanyakan, sebab jika dipersoalkan niscaya penelitian
tersebut mustahil terlaksana, sebab si peneliti harus membuktikan dulu
kebenaran presuposisi tersebut sebelum ia dapat memulai risetnya.
Maka untuk menghindari sirkularitas alias
‘muter-muter’, dianggaplah dan diyakini sajalah presuposisi itu seolah-olah
sudah atau bahkan pasti benar. Nah, di sinilah letak persoalannya. Berikut ini
sejumlah teori dan presuposisi yang mendasari kajian orientalis mengenai
Syari’ah dan fiqh Islam.
Pertama, teori evolusi. Adalah Ignaz Goldziher
yang sering kali secara panjang lebar menulis bahwasanya hukum Islam itu
mengalami perkembangan dan pemekaran. Dalam arti; tidak langsung matang,
lengkap atau tertib dari permulaan, akan tetapi melalui proses panjang dari
masa pembentukan, kelahiran, pertumbuhan, pematangan dan akhirnya kemerosotan.
Semua itu konon terjadi akibat tuntutan zaman dan perubahan masyarakat dari masa
ke masa[6].
Teori yang menyertai pendekatan historis ini menjadi ‘rukun iman’ orientalisme
yang digigit kuat-kuat oleh para pengkaji sezaman maupun sesudahnya Alois
Sprenger, David Samuel Margoliouth, Duncan B. Macdonald, dan E. Gräf. Padahal
realitas saat ini yang dianggap kemerosotan itu adalah aplikasi umat yang
kurang sesuai, bukan hukumnya yang tidak sesuai. Fiqh kontemporer yang saat ini
digalakkan ulama-ulama merupakan salah satu bentuk usaha untuk menggali hukum
untuk problematika baru, dengan tetap berpijak pada Hukum Ashl-nya. Para ulama
kontemporer, dengan tetap berpegang pada fiqh yang ada, menggali hukum untuk
problematika yang baru, bukan menggali hukum baru.
Kedua, teori pengaruh dan pinjaman yang juga
merupakan asas dari metode penelitian sejarah. Teori ini mengandaikan
bahwasanya agama seperti halnya pengetahuan, keterampilan dan seni adalah hasil
budi daya dan reka cipta manusia. Ia muncul berasal dari pergaulan antar
anggota masyarakat, bangsa tertentu dengan bangsa lainnya. Maka Islam pun
beserta segala ajarannya disikapi sebagai bikinan manusia (bukan wahyu samawi).
Bertolak dari andaian ini para orientalis mencari-cari apa yang mereka percaya
sebagai asal-usul, sumber, atau unsur-unsur asing yang mempunyai kesan atau
pengaruh terhadap ajaran-ajaran Islam. Para orientalis umumnya mendakwa
sebagian besar ajaran Islam berkenaan aqidah dan ibadah diambil dari doktrin
dan tradisi agama Yahudi ataupun Nasrani. Demikian menurut Rudolf Macuch, Carl
H. Becker, A.J. Wensinck, I.K.A. Howard, Uri Rubin, Georges Vajda, C.S.
Hurgronje, H. Lazarus-Yafeh, dan lain-lain.
Khusus mengenai fiqh dan ushul fiqh sebagai
disiplin ilmu, metodologi, dan falsafah perundang-undangan, maka Alfred von
Kremer, I. Goldziher, G. Bergsträsser, Joseph Schacht, G.-H. Bousquet, Judith
R. Wegner, Patricia Crone, Norman Calder, Harald Motzki, Christopher Melchert,
dan Wael B. Hallaq. Semua orientalis ini pada intinya sebulat suara bahwasanya
fiqh dan ushul fiqh sebagai suatu bangunan ilmu baru muncul pada abad kedua dan
atau ketiga Hijriah, sekitar seratus hingga dua ratus tahun setelah wafatnya
Nabi Muhammad saw. Masih menurut mereka, fiqh bermula dari praktik masyarakat
yang tetap terpelihara turun-temurun alias living traditions istilah Schacht
yang kemudian ditulis dan dibincangkan oleh sekelompok cendekiawan hingga
lama-kelamaan tersusun and terbentuk menjadi sebuah disiplin ilmu. Hadits
beserta sanadnya dicipta sebagai alat justifikasi suatu tindakan atau pendapat
tertentu dalam polemik antar mazhab. Imam as-Syafi’i dinilai berjasa sebagai
pengasas ushul fiqh akan tetapi juga dituduh bersalah sebagai pengunci pintu
ijtihad dan penyebab kemandegan fiqh. Demikian pendapat Schacht dan para
pengekornya[7].
Ketiga, teori kebohongan atau manipulasi, yang
menuding adanya semacam konspirasi para cendekiawan pada abad-abad kedua,
ketiga dan keempat Hijriah untuk menipu publik dengan ‘menyuapkan’ Hadits dan
sebagainya ke ‘mulut’ Nabi saw. Dengan kata lain, orientalis menuduh ulama
terdahulu telah melakukan kebohongan publik dengan bersepakat atas hadits yang
mereka buat sendiri, tetapi disandarkan kepada Nabi. Sarjana orientalis semisal
Motzki memuji seorang rekannya yang katanya telah mendemonstrasikan dengan
contoh-contoh bagaimana tradisi sahabat menjadi Hadits dari Nabi.
D. Lima Teori Orientalis Tentang Syari’ah
Pandangan
orientalis Barat terhadap Syari’at Islam dapat dikategorikan sebagai berikut:
Pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa
Syariat Islam itu tak lebih dari sekadar wacana, karena tak pernah dilaksanakan
dalam kenyataannya[8].
Teori ini dipegang oleh Noel J. Coulson[9].
Pandangan keliru ini jelas sekali mengesampingkan fakta sejarah Umat Islam,
seolah-olah kaum Muslimin tidak pernah dan tidak mau mengamalkan Syari’at
agamanya. Walaupun benar tidak selamanya dan tidak sepenuhnya hukum-hukum
Syari’ah diberlakukan, hal itu tidak berarti ia merupakan idealisme belaka.
Semua ulama dan kaum Muslimin dari dahulu hingga sekarang sepakat hukum Allah
wajib ditegakkan di muka bumi dan mengabaikannya adalah dosa. Peliknya, teori
yang pertama kali dilontarkan oleh Ignaz Goldziher dan diamini oleh Joseph
Schacht ini justru disebarkan di Indonesia dalam bentuk dikotomi ‘Islam
normatif’ dan ‘Islam historis’. Istilah Amin Abdullah ini penulis pikir
hanyalah merupakan sebuah cara untuk memisahkan antara nash yang ideal, dan
realitas yang terjadi pada umat Islam secara umum. Seharusnya kita (sebagai
orang Indonesia pada khususnya) lebih bijak dengan mengintegrasikan keduanya,
dimana historis yang harus mengikuti normatif. Bukannya membenarkan historis
dan memegang teguh keyakinan nenek moyang, tetapi harus terus diperbaharui
dengan disesuaikan dengan nash Qur’an dan Hadits (normatif)[10].
Pandangan kedua menyifatkan Syariat Islam itu
sangat sewenang-wenangauthoritarian to the last degree, kata Hamilton A.R. Gibb[11].
Pendapat miring ini pun mirip dengan tuduhan kaum liberal yang dengan alasan
sama menolak mentah-mentah implementasi Syari’ah di Indonesia negeri yang lebih
dari sembilan-puluh persen penduduknya beragama Islam- karena dinilai menghukum
sewenang-wenang. Padahal terdapat banyak data historis betapa luwes dan luasnya
praktek legislasi dan yurisprudensi oleh para khulafa’ dan fuqaha’ sebelum ini,
sebagaimana tercermin dalam kumpulan fatwa dan sebagainya.
Teori ketiga disuarakan oleh Snouck Hurgronje.
Menurutnya, dari sejak awal telah terjadi perceraian antara Syari’ah (yakni
ulama yang mewakili sistem perundangan dan kehakiman) dan Negara (yakni umara’
atau penguasa yang menentukan sistem perpolitikan). Masing-masing berjalan
mengikut caranya sendiri. Penguasa tak peduli apa kata ulama, manakala ulama
mengecam tirani penguasa dan kerusakan masyarakatnya. Gambaran negatif ini
merupakan generalisasi semata. Ia hanya betul untuk beberapa kasus tertentu dan
tidak terbukti dalam banyak periode dimana terjadi ‘simbiosis konstruktif’
meminjam istilah Haim Gerber yakni masa-masa dimana para ulama’ menyikapi
situasi secara bijak dan realistis, bukan karena putus asa, melainkan karena
mereka sangat menyadari pentingnya fungsi negara dalam mempertahankan Islam dan
menegakkan Syari’ahnya.
Lawrence Rosen mengusung teori yang keempat.
Menurut dia, Hukum Islam itu kacaubalau, bersumber dari budaya dan adat
istiadat, tidak memiliki standar rasional seperti Hukum Barat (common law Anglo
Amerika atau civil law Eropa) yang tersusun rapi lagi rasional[12].
Teori ini serupa dengan pernyataan seorang tokoh nasional Indonesia bahwa
Syari’at Islam itu cermin budaya Arab dan oleh karenanya implementasi Syari’ah
itu sama dengan Arabisasi yang berarti mundur ke abad ketujuh Masehi. Dalam
bukunya, Rosen mengutip ungkapan beberapa praktisi hukum di Barat yang
melecehkan lembaga peradilan masyarakat Islam.Ia sendiri lantas menarik
kesimpulan bahwa sistem peradilan hukum Islam sangat tergantung pada budaya
masyarakatnya. Pendapat miring Rosen ini memantulkan kembali imej orientalisme
klasik tentang Islam sebagai sistem masyarakat primitif berbanding pola pikir
Barat modern yang jauh lebih maju dan canggih.
Teori kelima dianjurkan J. Schacht, yang
mendakwa Syari’at Islam hanya berjalan selama lebih kurang dua abad untuk
kemudian mandeg gara-gara Imam as-Syafi’i[13].
Jika sebelumnya ramai orang berijtihad, maka zaman sesudah Imam as-Syafi’i
bermulalah era kejumudan alias ankylose. Cukuplah literatur fatwa fuqaha’
sebagai pengejawantahan ijtihad menukas lontaran orientalis tersebut[14].
E. Kelemahan Fundamental Orientalis Dalam Kajian
Hukum Islam
Para pengamat studi orientalis yang jujur
mengemukakan beberapa kelemahan orientalis yang sulit dipungkiri siapa pun. Di
antaranya sebagai berikut[15]:
1.
Tidak menguasai bahasa Arab secara baik, sense
bahasa yang lemah, dan pemahaman yang terbatas atas konteks pemakaian bahasa
Arab yang variatif. Kelemahan ini tentu mempengaruhi pemahaman mereka atas
referensi-referensi Islam yang inti, seperti Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena
itu, pemahaman mereka tentang Islam dan risalahnya rancu dan kabur. Hal ini
diungkapkan oleh Syaikh Musthafa as-Siba’i setelah ia meninjau langsung pusat
orientalisme di sekitar Eropa dan berdialog langsung dengan para orientalis.
Para orientalis itu pada akhirnya banyak yang mengakui bahwa keterbatasan
mereka dalam memahani materi-materi keislaman lebih menonjol ketimbang
kelebihan metodologi yang mereka miliki. Bahkan, ada di antara mereka yang
berterus terang bahwa Arablah (muslimlah) yang seharusnya memegang pekerjaan
ini. Keterbatasan dalam menguasai bahasa Arab sangat mempengaruhi pemahaman
mereka tentang Islam.
2.
Perasaan “superioritas” sebagai orang Barat.
Ilmuwan Barat, khususnya orientalis, senantiasa merasa bahwa “Barat” adalah
“guru” dalam segala hal, khususnya dalam logika dan peradaban. Mereka cenderung
tidak mau digurui oleh orang Timur.
3.
Orientalis Barat sangat memegang teguh
doktrin-doktrin mereka yang tidak boleh dikritik, bahkan sampai ke tingkat
fanatik buta. Di antaranya dua doktrin inti, yaitu bahwa Al-Qur’an dalam pandangan
insan Barat bukan kalam Allah dan Muhammad bukan rasul Allah. Doktrin ini sudah
lebih dulu tertanam dalam pikiran mereka sebelum meneliti, sebab ini merupakan
doktrin agama mereka yang ditanamkan sejak kecil. Sehingga, penelitian yang
dilakukannya diarahkan hanya untuk mendukung asumsinya saja, bukan ingin
mencari kebenaran secara objektif dan bebas. Karena itulah, peneliti-peneliti
Barat menelan mentah-mentah riwayat-riwayat palsu, membesar-besarkan masalah
kecil, menggunakan tuduhan palsu sebagai argumentasi, dan beralasan dengan
sesuatu yang tidak diakui sebagi dalil. Mereka menolak semua pendapat yang
berbeda dengan pikirannya, sekalipun itu benar dan argumentatif.
Dari segi metodologi, dia telah memiliki
prakonsepsi dan tidak mau dikritik, bahkan fanatis. Oleh karena itu, hati-hati
dengan hasil karya mereka. Sebab, dari mereka ada yang bersikap halus. Dalam
tulisan-tulisannya, mereka sengaja menyajikan Islam secara benar dan
kejayaannya di masa silam. Tetapi, ada satu atau dua poin konsep yang sangat
membahayakan mereka selipkan dalam tulisan itu. Pujian dan sanjungan mereka
terhadap Islam di permulaan bertujuan untuk menggiring pembaca untuk
membenarkan seluruh isi buku dan tidak merasakan hal-hal yang ganjil, sehingga
berkesimpulan bahwa penulis tersebut jujur dan objektif. Misalnya, kasus Noel
J. Coulson, orientalis Inggris, guru besar “hukum Islam” di Universitas London.
Sepintas lalu dengan membaca karya-karyanya, orang akan mengira bahwa Coulson
adalah orientalis yang jujur. Karena, ia mengakui bahwa sistem hukum Islam
adalah sistem yang dinamis, bisa digunakan, dan telah mengakar dalam sanubari
umatnya. Berbeda sekali dengan pandangan gurunya, Joseph Schacht yang
terang-terangan anti-hukum Islam, dan menuduhnya dengan sederetan tuduhan keji
yang tidak masuk akal.
Di sela-sela sanjungannya dalam buku A History
of Islamic Law, Coulson punya sejumlah pendapat yang aneh-aneh tentang kekuatan
As-Sunnah sebagai sumber hukum dan tentang ushul fiqih. Coulson mengatakan
bahwa Imam Syafi’i adalah “founder” ‘penemu’ ushul fiqih. Sebuah pendapat yang
tidak pernah dibenarkan oleh ahli-ahli ushul fiqih sendiri. Ia juga berpendapat
bahwa kedudukan As-Sunnah sebagai pelengkap Al-Qur’an untuk menyelami kehendak
Ilahi pertama kali dikemukakan oleh Imam Syafi’i. Sepintas lalu Coulson
terkesan mengagumi kehebatan Imam Syafi’i (yang memang hebat, walapun tidak
perlu dikagumi Coulson), tetapi ada suatu kesan terselubung dari ungkapan itu.
Yakni, bahwa sebelum Imam Syafi’i ilmu ushul fiqih belum ada. Padahal, rentang
waktu dua abad sebelumnya justru merupakan pondasi berdirinya “building” ushul
fiqih pada fase-fase berikutnya. Pandangan Coulson itu mengesankan bahwa
sebelum datangnya Imam Syafi’i, para fuqaha tidak memiliki kerangka berijtihad
yang disepakati bersama. Jelas ini merupakan sebuah pemutarbalikkan fakta.
Lalu, bagaimana dahulu para fuqaha selama dua ratus tahun menetapkan hukum bagi
kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat Islam, kalau mereka tidak punya
standar yang disepakati bersama? Apakah mereka harus menunggu selama dua abad
tidak berijtihad, hingga Imam Syafi’i datang?
4.
Banyak dari kajian-kajian orientalisme yang
terkait erat dengan kepentingan negara-negara tertentu yang mendanai kajian
itu. Percuma saja negara-negara Barat menghamburkan uangnya jutaan bahkan
miliaran dollar hanya untuk kepentingan ilmiah semata, kalau bukan karena ada
target-target tertentu yang sangat berharga bagi kepentingan mereka. Target itu
bisa bersifat politis, bisnis, strategis, dan misi. Hal ini seperti pernah
diungkap oleh Prof. Ismail al-Faruqi dalam sebuah artikelnya di majalah The
Contemporary Muslim bahwa studi Islam di Barat, khususnya di Amerika Serikat,
tidak pernah luput dari misi zionis dan salibis. Orientalis yang mengajar di
jurusan itu, katanya, sebagian besar orang Yahudi atau Kristen fanatis. Di
beberapa universitas Amerika, studi Islam ditempatkan di Fakultas Lahut
(teologi), jurusan “misionarisme” dan materinya dikenal dengan “perbandingan
agama”. Dosen-dosen yang ada di sana kerjanya mencari “titik-titik lemah” Islam
untuk diserang. Oleh karena itu, kajian-kajian mereka banyak menyangkut
aliran-aliran yang menyimpang. Misalnya, Syi’ah, Isma’iliyah, Tasawud
(mistisisme), Ahmadiyah, an Baha’iyyah. Jika mereka belajar Al-Qur’an, hadits,
dan fiqih, motivasinya adalah untuk mengkritik kebenaran materi-materi itu. Dan
ultimategoalnya untuk mencari “titik-titik lemah”. Sebagai misal, tulis Faruqi,
“Pusat Studi Perbandingan Agama” di Harvard berada di bawah Fakultas Teologi.
Demikian juga di Universitas Chicago.
BAB
III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Paham orientalissebenarnya didasarkan pada
paradigma sekular orientalis.Secara intelektual, perilaku itu jelas menunjukkan
betapa miskinnya pemikiran kaum liberal.Sebab, mereka tak percaya diri dengan
warisan intelektual ulama salaf yang sangat kaya sehingga mereka lalu
mengemis-ngemis pemikiran secara hina kepada Barat.Kalau Amien Rais menyebut
bangsa ini sebagai beggar nation/bangsa pengemis karena gemar utang luar
negeri; bolehlah kaum liberal (seperti JIL) kita sebut beggar
intellectual/intelektual pengemis (Shidiq Al-Jawi).
Pada intinya para orientalis sebulat suara
bahwasanya suatu bangunan ilmu yang baru muncul pada abad kedua dan atau ketiga
Hijriah, sekitar seratus hingga dua ratus tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad
saw. Masih menurut mereka, fiqh bermula dari praktik masyarakat yang tetap
terpelihara turun-temurun alias living traditions –istilah Schacht- yang
kemudian ditulis dan dibincangkan oleh sekelompok cendekiawan hingga
lama-kelamaan tersusun and terbentuk menjadi sebuah disiplin ilmu.
Bagi orientalis semuapendapat tentang semua
perkara (termasuk yang qot’i dan bayyin dalam agama) harus selalu terbuka untuk
diperdebatkan, menganggap semua pendapat (agama, aliran, sekte, kelompok dan
lain-lain) sama benarnya, tergantung dari sudut pandang masing-masing dan tidak
mampu lagi membedakan mana yang hak dan mana yang batil bahkan sengaja
memutarbalikkan data dan fakta. Yang batil dipoles dan dikemas sedemikian rupa
sehingga tampak seolah-olah haq.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid Mutawalli ,Asy-Syariat al islamiyah wa Mauqifu
Ulama’ Al-musttasyriqin . Cairo 1976
Abdullah, Amir, 2000,Mencari Islam, Study Islam dengan Berbagai
Pendekatan, YogyakartaT.Tiara Wacana Jogja.
Abdurrahman Badawi, 2003, Ensiklopedi Tokoh Orientalis,
(Yogyakarta : LkiS)
Arif, Syamsuddin, Dr. M.A. 2008. Orientalis dan Diabolisme
Pemikiran. Jakarta: Gema Insani Press.
H. A. R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, Jakarta,
Raja Grafindo Persada, 1996
http//al-islamu.com//Diadaptasi dari Pembaruan Islam dan
Orientalisme dalam Sorotan, Daud Rasyid (Jakarta: Akbar, Media Eka Sarana,
2002), hlm. 117-125, 129, 131)
http//risalah hati.blogspot.com//
http://ganesyawidya.wordpress.com/2010/11/22/ushul-fikih-palsu-kaum-liberal/ M.
Shidiq Al-Jawi. Ushul Fikih Palsu Kaum Liberal.diakses tanggal 26 Mei
2011 pukul 13.39
Ignaz Goldziher, Int roduction to Islamic Law. Alih bahasa
Hesri Setiawan , Jakarta:INIS 1991
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: The
Clorendon Press, 1965), hlm
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence,
(Oxford: The Clarendon Press, 1967)
Ma’mun Efendi Nur, : Mengenal Beberapa Metode Orientalis
Terhadap Kajian Islam Risalah WALISONGO Fak. Da’wah Edisi ke-49
Januari-Febr 1994.
Muslehuddin, Muhammad. 1991. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran
Orientalis. Penerjemah Yudian Wahyudi Asmin, et al. Philosophy of Islamic Law
and the Orientalist. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Noel J. Coulson, The History of Islamic Law, (Edinburg: Edinburg
University Press, 1990)
[1]
Abdullah, Amir,
2000,Mencari Islam, Study Islam dengan Berbagai Pendekatan, YogyakartaT.Tiara
Wacana Jogja.
[2]
Arif,
Syamsuddin, Dr. M.A. 2008. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta:
Gema Insani Press.
[3]
Muslehuddin,
Muhammad. 1991. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis. Penerjemah
Yudian Wahyudi Asmin, et al. Philosophy of Islamic Law and the Orientalist.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
[10]
Ma’mun Efendi
Nur, : Mengenal Beberapa Metode Orientalis Terhadap Kajian Islam Risalah
WALISONGO Fak. Da’wah Edisi ke-49 Januari-Febr 1994.
[12]
http://ganesyawidya.wordpress.com/2010/11/22/ushul-fikih-palsu-kaum-liberal/ M. Shidiq
Al-Jawi. Ushul Fikih Palsu Kaum Liberal.diakses tanggal 26 Mei 2011
pukul 13.39
[13] .http//al-islamu.com//Diadaptasi
dari Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Daud Rasyid (Jakarta:
Akbar, Media Eka Sarana, 2002), hlm. 117-125, 129, 131)
No comments:
Post a Comment